Anda di halaman 1dari 83

Out Line Buku Sejarah HMI cabang palu

Judul : Menentang Arus, Meneguhkan Identitas


Sejarah Perjuangan HMI Cabang palu 1997-2007
Tim Penyusun :

Pengarah
Temu Sutrisno
Aswin Saikim

Koordinator
Edi Kuswandi, S.Pd

Anggota
Hariman Podungge
Fatmawati, SE
Zultin Abdullah, SHI

Penyunting
Temu Sutrisno
Edi Kuswandi, S.Pd

Halaman Judul
Kata Pengantar
Sambutan Ketua Umum HMI Cabang Palu
Pendahuluan
- Isi Seputar keharusan menulis sejarah dan nilai penting sejarah
Latar belakang Pendirian HMI
- HMI Secara Nasional
- HMI Cabang Palu
- HMI Cabang Palu
Dinamika Internal HMI Cabang palu
HMI Ditengah Gerakan Mahasiswa dan Rakyat
Perkembangan Pemikiran HMI
Wajah Perkaderan HMI Cabang Palu
34

BAB II

SEJARAH BERDIRINYA HMI CABANG PALU

A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya HMI: Sebuah Tinjauan Umum

Kelahiran HMI pada tahun 1997 sudah merupakan tuntutan sejarah. Dengan

perkataan lain bahwa HMI lahir sangat ditentukan oleh kondisi yang terkait di

dalamnya, yaitu keIslaman, keIndonesiaan dan kemahasiswaan. Oleh karena itu

ketiga aspek ini patut pula untuk diulas.

a. Ke Islaman

Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, Muhammad Abduh,

Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan sebagainya menggulirkan

pembaharuan pemikiran tentang Islam. Rifyal Ka’bah menyatakan:

pembaharuan yang muncul pada akhir abad XIX dan awal abad XX ini lebih
banyak merupakan pembaharuan sosial dan pemikiran dari pada
pembaharuan keagamaan seperti yang dipahami dari reformasi keagamaan
di Eropa. Ia lahir dalam masa kemunduran sebagai reaksi terhadap ide-ide
peradaban Barat yang mulai masuk kedalam rumah-rumah orang Islam
(Rifyal Ka’bah, 1984:164).

Gerakan pembaharuan pemikiran ini di Indonesia lebih di kenal dengan

gerakan modernis Islam. Melalui ulama-ulama Islam Indonesia yang berangkat

ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji atau yang khusus belajar Islam di

Mesir. Pelopor-pelopor pembaharuan pemikiran Islam ini telah dicatat oleh

Deliar Noor dalam bukunya ”Gerakan Modrenis Islam”, seperti Syaikh Ahmad

Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul),

Ahmad Dahlan dan sebagainya. Dalam bentuk organisasi, Muhammadiyah


35

sangat berarti dalam perkembangan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia

di samping Persis dan Al Irsyad.

Sepanjang sejarah perjuangan dalam merebut kemerdekaan, umat

Islam telah menunjukkan peranannya. Dengan demikian, sejarah perjuangan

bangsa tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan umat Islam itu sendiri.

Di samping itu, sebagai konsekuensi logis dari suatu penjajahan, maka yang

paling banyak merasakan penindasan dan ketebelakangan adalah umat Islam

dengan tidak mengabaikan apa yang terjadi pada pribumi lainnya. Dalam

kondisi yang demikian inilah umat Islam kemudian bangkit mengorganisir diri

dan potensinya dengan melalui mobilisasi nassa.

Benang merah yang memintal antara upaya ummat Islam dalam

mengantisipasi kendala yang dihadapinya dengan pembaharuan pemikiran

MuhammadAbduh dan kawan-kawanya adalah melalui tulisan-tulisan yang

beredar. Melaui media inilah Lafran Pane pendiri HMI banyak mengolah

wawasan ke Islamannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ridwan Saidi:

Terdaftarnya Lafran Pane sebagai mahasiswa STI telah ”mengubah”


wawasan berfikirnya tentang perjuangan dan Islam itu sendiri. Di STI ia
berkenalan dengan seorang tokoh Islam Kahar Muzakir. Bahkan di STI ia
mendapatkan kuliah-kuliah Islam dari (DR) Rasyidi, namun yang sangat
berkesan baginya adalah kuliah yang diberikan oleh seorang tokoh
Muhammadiyah dari kauman Yogyakarta: Kyai Hanat. Lafran Pane
kemudia mulai menyibak lembaran demi lembaran buku-buku Muhammad
Abduh (Ridwan Saidi, 1984:111).

Pada sisi lain, Ummat Islam juga mengalami konflik internal akibat

perbedaan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran atau Hadist. Perbedaan

dalam pemahaman ini juga mengakibatkan perbedaan dalam praktek dan

pendirian masing-masing organisasi. Menyangkut masalah-masalah yang


36

khilafiyah merupakan tema sentral dari pertentangan tersebut. Dengan

demikian, kondisi umat Islam seperti ii merupakan salah satu sisi yang

melatar belakangi berdirinya HMI. Oleh karena itu HMI berupaya hadir

sebagai anak kandung dari ummat Islam, bukan anak dari salah satu

organisasi masyakrat lainnya atau organisasi politik.

b. Ke Indonesiaan

Setelah bangsa Indonesia melalui perjalanan yang panjang dan

melelahkan, maka periode selanjutnya adalah bagaimana bangsa Indonesia

harus mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Bagi umat

Islam, permasalahan, tantangan dan kendala adalah hal yang lumrah dalam

perjalanan hidupnya. Hidup bagi umat Islam adalah perjuangan. Oleh karenan

itu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah permasalahannya

juga, baik dalam bidang kebudayaan, ekonomi, dan sebagainya.

Ketika HMI lahir pada tahun 1997, berarti kemerdekaan kita baru

berusia dua tahun. Kemerdekaan yang baru diproklamirkan tentunya belum

dapat menjamin kestabilan nasional. Pemerintahan kolonial Belanda yang diusir

oleh Jepang beberpa tahun terakhir sebelum kemerdekaan, ternyata masih

memiliki rencana agresi yang kedua kalinya. Hal ini merupakan ancaman yang

cukup serius bagi bangsa kita yang baru saja merdeka. Berbagai kepentinganpun

kemudian muncul kepermukaan, bagaimana perjalanan bangsa ini harus

diwarnai oleh ideologi tertentu, di samping kepentingan politik lainnya.

Salah satu golongan yang dengan gigih menanamkan pengaruhnya

kepada masyarakat adalah golongan Komunis.


37

c. Ke Mahasiswaan

Berdirinya HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) tidak terlepas dari

adanya agitasi politik pemerintah, khususnya pemberlakuan asas tunggal Pancasila.

Pola ini dilakukan pada masa kekuasaan Suharto atau dikenal dengan sebutan Orde

Baru sebagai pengganti pemerintahan Soekarno (Orde lama). Memasuki awal

dekade 80-an HMI menunjukkan adanya perubahan sikap dan pandangan (change

of behaviour) terhadap kekuasaan atau pemerintah. Hal itu selain disebabkan oleh

adanya pengentalan paham keislaman secara komprehensif, juga dapat disebut

sebagai respons terhadap kekuasaan Orde Baru. Hasanuddin M. Saleh (1996)

menyatakan bahwa :

Fenomena HMI 1980-an dan sebelum 1980-an menunjukan penampakan


yang jauh berbeda. Sebelum dekade 1980-an HMI cenderung sangat
akomodatif terutama untuk menjaga kepentingan-kepentingan politiknya.
Hal itu dapat dilihat dengan sikap HMI menghadapi kekuasaan Soekarno
yakni cenderung menentang konsep Nasakom. Demikian juga terdapat riak
yang cukup berarti secara kelembagaan terhadap perilaku politik Orde Baru
antara tahun 1968-1980.

Berdasarkan pernyataan di atas bahwa HMI menjadi organisasi yang

senantiasa memperhatikan kondisi kebangsaannya dan selalu menyikapi kebijakan

pemerintah. Perubahan yang terjadi dikalangan internal HMI yang kemudian

mencoba mengambil sikap bertentangan dengan pemerintah adalah ketika

pemerintahan Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Keormasan yakni UU.

No. 8/1985. Undang-undang keormasan tersebut mengharuskan kepada setiap

organisasi-organisasi masyarakat (Ormas) dan organisasi-organisasi politik

(Orsospol) untuk tidak mengambil asas selain asas Tunggal Pancasila, maksudnya
38

adalah setiap organisasi harus menggunakan asas Pancasila. Mengenai

pemberlakuan asas Tunggal ini, M. Rusli Karim (1997:127) Menyatakan bahwa:

Kebijakan pemerintah tentang pergantian dasar ormas oleh umat Islam


ditanggapi dalam empat sikap. Pertama, menerima tanpa banyak persoalan,
yaitu NU dan kelompok-kelompok lain yang memiliki hubungan dengan
pemerintah atau partai pemerintah, dengan alasan bahwa Pancasila tidak
bertentangan dengan Islam. Kedua, mau menerima tetapi menunggu adanya
undang-undang formal yang dibuat oleh pemerintah. Kebanyakan ormas
Islam mengambil sikap kedua ini, termasuk Muhammadiyah. Ketiga,
bersikap apatis, yaitu mereka yang berpendidikan rendah dan selalu
mendukung kehendak pemerintah. Inilah sikap mayoritas umat Islam.
Keempat, menolak sama sekali kebijakan itu, yaitu HMI MPO, Pelajar Islam
Indonesia, dan Gerakan Pemuda Marhaenis.

Dari pernyataan Rusli Karim di atas menjadi jelas bahwa kebijakan mengenai

pergantian dasar organisasi diterima oleh setiap organisasi masyarakat kecuali tiga

Organisasi Kepemudaan yaitu; HMI MPO, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan

Gerakan Pemuda Marhaenis. HMI sebagaimana dalam Anggaran Dasar adalah

organisasi yang berasaskan Islam, sehingga organisasi ini tetap konsisten dengan

mempertahankan asas ideologi Islam. Sejak didirikan, HMI sebenarnya menerima

Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Menurut Abdurahman Wahid (dalam M.

Rusli Karim,1997:129) “HMI adalah organisasi mahasiswa yang ‘paling

Pancasilais’ dalam gerakan Islam di Indonesia, yaitu dengan memasukan semua

prinsip ke dalam Anggaran Dasarnya”. Timbulnya masalah ketika pemerintah

mengharuskan asas ormas, termasuk yang selama ini berasaskan Islam, untuk

menggantinya dengan Pancasila. Inilah sumber konflik umat Islam dengan

Pancasila.
39

HMI menolak asas tunggal Pancasila hanyalah salah satu respons politik

kelembagaan untuk menghindari sandungan dalam proses penyempurnaan

paradigma gerakan. Syafinuddin Al-Mandary (2003:73-74) menyatakan :

Adalah salah satu anggapan yang keliru bila HMI MPO hanya
diidentifikasikan pada penolakan asas tunggal Pancasila saja. HMI MPO
sejak menyatakan diri secara tegas menolak asas tunggal Pancasila telah
menunjukan karakteristik akar yang membedakan dengan HMI Dipo yaitu
pertama, mereka secara konsisten melakukan penyempurnaan paradigma
gerakan sesuai dengan tuntutan sejarahnya. HMI MPO merasa bahwa
kepentingan untuk melanjutkan perjuangan keumatan adalah terlebih dahulu
melakukan reorientasi paradigma gerakan. Kedua, HMI MPO tetap
mempertahankan idependensinya meskipun dengan resiko terbatasnya ruang
gerak dan berkurangnya peluang untuk mengartikulasi peran-peran
intelektual, politik, sosial, dan budaya. Ketiga, HMI MPO secara pasti dapat
memanfaatkan independensi gerakan dan keunggulan ideologinya untuk
membangkitkan spirit perjuangan dalam menciptakan posisi tawar dengan
penentu kebijakan Negara.

Pernyataan di atas, menjelaskan bahwa keliru bila hanya

mengidentifikasikan HMI MPO dengan penolakan terhadap asas tunggal Pancasila

akan tetapi sikap tersebut telah membedakannya dengan organisasi lain termasuk

HMI Dipo. Penolakan tersebut juga berarti bahwa HMI MPO tetap konsisten

dengan idealitas organisasi yang senantiasa independen, sehingga memiliki

keleluasaan dalam perjuangan.

Abdullah Hemahua Ketua Umum PB HMI periode 1979-1981 melalui

suratnya kepada Harry Azis Ketua Umum PB HMI periode 1983-1986 (dalam

Syafinuddin Al-Mandari, 2003: 66) memberi 4 alasan sehingga mengecam sikap

PB HMI yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi. (1) alasan idiologis.

Menurut Hemahua bahwasannya Islam dapat menjadi suatu tawaran sistem nilai

untuk tata dunia baru. Artinya hal-hal pokok menyangkut substansi nilai ajaran

Islam adalah sesuatu yang patut menjiwai seluruh sistem kehidupan dalam tatanan
40

masyarakat; (2) alasan historis. Perjuangan kemerdekaan bangsa oleh wilayah-

wilayah atau kerajaan-kerajaan diseluruh nusantara sebenarnya merupakan

perjuangan yang didorong oleh semangat religius; (3) alasan konstitusional.

Pancasila sebagai dasar Negara adalah hasil kompromi golongan nasionalis sekuler

dan agamis (Islam) dalam sidang PPKI. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan

bahwa dasar Negara Pancasila adalah dasar Negara yang dijiwai oleh Piagam

Jakarta. Ketetapan ini diperkuat dengan TAP MPRS 1968 dan dilakukan lewat TAP

MPR RI 1973, maka Pancasila sebagai asas tunggal sangat bertentangan dengan hal

tersebut; dan (4) alasan operasional. Asas tunggal Pancasila adalah suatu paket

politik yang gegabah. Maksudnya adalah jika disebut bahwa UU No. 8/1985 atau

lazim disebut UU keormasan tentang organisasi kemasyarkatan adalah operasional

dari pasal 28 UUD 1945, maka harus :

a. Di putuskan sesuai dengan semangat Pasal 28 UUD 1945 dengan metode

musyawarah, terbuka, dan edukatif sebagai aspirasi.

b. Tidak mereduksi makna Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan dan persamaan

hak dalam mengemukakan pendapat, berserikat, dan berkumpul.

Selain itu, terdapat pertimbangan organisatoris seperti; penerimaan asas

Pancasila di luar Kongres disebut inkonstitusional maka keputusan tersebut tidak

sah; peserta Kongres yang tidak representatif dimana peserta penuh dari Kongres

adalah Pengurus cabang defenitif. Pengurus Cabang yang sah adalah yang terpilih

lewat Konferensi sedangkan yang mengikuti Kongres XVI di Padang adalah

Pengurus cabang transitif yang disulap PB HMI. Tidak hanya itu, para calon peserta

Kongres XVI di Padang, harus melalui suatu interogasi intelijen ABRI atau pihak
41

Dinas sosial politik pemerintah yang merupakan tindakan di luar kelaziman dan

melanggar independensi HMI.

1. Proses Terbentuknya HMI MPO

Pada awal April 1985, jamaah HMI yang ada di tingkatan cabang-cabang

dikejutkan oleh sikap dan pernyataan Pengurus Besar (PB) HMI yang dimuat dalam

media massa, bahwa HMI menerima asas tunggal Pancasila melalui sidang di Ciloto

atau yang kemudian hari dikenal dengan sebutan “Pertemuan Ciloto.” Cabang-

cabang HMI menganggap pernyataan tersebut dipandang berlawanan dengan apa

yang ditunjukan PB HMI sebelumnya, yaitu; Ketua Umum PB HMI Harry A. Azis

dengan penuh antusias pernah mengunjungi jamaah yang ada di cabang-cabang

seluruh Indonesia mengajak seluruh aparat HMI untuk mempertahankan asas Islam

sampai titik darah yang penghabisan.

PB HMI mengancam akan mengambil tindakan tegas terhadap pengurus

BADKO dan cabang yang mengambil sikap di luar sikap PB HMI; PB HMI

mengajukan pandangan kritisnya mengenai rancangan UU Keormasan kepada

DPR. Pada intinya PB HMI berpandangan bahwa rencana memberlakukan asas

tunggal Pancasila bagi semua organisasi kemasyarakatan sebagaimana termuat

dalam RUU Keormasan tidak dapat dibenarkan, karena mengabaikan realitas

kebhinekaan dalam masyarakat, dan pemerintah telah terlalu jauh mencampuri

urusan intern organisasi masyarakat, termasuk dalam cara berfikir.

Pengurus-pengurus cabang HMI merasa dikhianati, karena di kalangan

jamaah yang ada di cabang-cabang HMI telah terbentuk sikap yang teguh untuk

mempertahankan Islam sebagai dasar pendirian dan kehendak PB HMI


42

sebelumnya. Selain itu, PB HMI telah melanggar konstitusi dalam mengambil sikap

dan keputusan. Konstitusi yang dimaksud adalah Kongres, sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi organisasi. Disinilah awal mula terjadinya konflik internal di

tubuh HMI yang akhirnya, organisasi ini pecah menjadi dua.yakni HMI MPO yang

menolak Pancasila dan HMI Diponegoro yang menerima Pancasila.

Mengenai berdirinya HMI MPO, M. Rusli Karim,1997 : 131) menyatakan:

Didirikannya HMI MPO adalah pada situasi konflik keras yang sangat
diwarnai oleh sikap-sikap emosional kaum muda. Tidak ada tanggal yang
pasti kapan HMI MPO didirikan. Ada yang mengatakan bahwa HMI MPO
lahir sejak adanya dua HMI di Yogyakarta yakni HMI Dagen yang menolak
asas Pancasila dan HMI cabang Timur yang menerima Pancasila. Adapula
yang berpendapat bahwa lahirnya HMI MPO bersamaan dengan terbitnya
buku Berkas Putih, yaitu 10 Agustus 1986. sedangkan di dalam Berkas Putih
sendiri dinyatakan bahwa HMI MPO lahir pada 15 Maret 1986. Namun yang
jelas adalah HMI MPO didirikan di Jakarta oleh sembilan cabang HMI yang
terdiri dari: Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujung Pandang, Purwokerto,
Tanjung Karang, Pekalongan, Metro, dan Pinrang. Empat cabang yang
pertama, disebut sebagai cabang pelopor lahirnya HMI MPO.

Berdasarkan pernyataan Rusli Karim di atas berdirinya HMI MPO di saat

adanya konflik keras dan sikap emosional kalangan kaum muda sehingga tanggal

yang pasti berdirinya HMI MPO secara formal tidak ada, hal itu diakibatkan karena

kondisi sosial poltik dan adanya sikap pemerintah yang tidak mengakui organisasi

ini atas pembangkangannya menolak Pancasila. Karakteristik HMI MPO adalah

bahwasannya organisasi ini tetap berasaskan Islam, dengan tujuan “terbinanya

mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas

terwujudnya tatanan masyarakat yang teratur dan diridhai oleh Allah

subhanahuwata’ala” Insan Ulul albab antara lain memiliki kualifikasi sebagai

berikut; memiliki ilmu dan hikmah, kritis dan teguh pendirian, progresif dalam

berdakwah, hanya takut kepada Allah, dan tekun beribadah. Untuk mencapai
43

tujuannya, menurut pasal 5 Anggaran Dasar HMI MPO, dilakukan usaha-usaha

sebagai berikut:

Membina mahasiswa Islam untuk menuju tercapainya insan “mu’abbid,


mujahid, mujtahid, dan mujaddid, mengembangkan potensi kreatif terhadap
berbagai aspek kehidupan; mengambil peranan aktif mewarnai dunia
kemahasiswaan dan perguruan tinggi serta kemasyarakatan dengan
partisipasi konstruktif-kreatif, sehingga tercapainya nuansa yang Islami,
memajukan kehidupan umat Islam, mewujudkan kerjasama dengan
organisasi-organisasi lainnya yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan,
kebenaran, dan keadilan, dan melakukan usaha-usaha lainnya yang sesuai
dengan dasar organisasi dan berguna untuk mencapai tujuan.

HMI MPO berusaha mewujudkan kondisi mahasiswa yang tekun beribadah

(mu’abbid), hanya takut kepada Allah (mujahid), dan mahasiswa yang kritis dan

pemihakannya pada kebenaran untuk aktif melakukan pembaharuan berdasarkan

kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman (mujaddid). Karakteristik HMI

MPO berisikan unsur-unsur ideologis, yaitu komitmen yang tinggi terhadap Islam.

Aktivitasnya mengutamakan intelektualitas dan membatasi politik praktis guna

aktualisasi nilai-nilai dan ajaran Islam sehingga menjadi leluasa dalam melakukan

gerakan mengutamakan pengkaderan, dan studi, mengabdikan diri kepada

masyarakat secara realistik.

HMI MPO adalah organisasi kader yang asas perjuangannya adalah Tauhid,

ummah, jama’ah, dakwah, uswah hasanah, tarbiah, ilmiah, dan dasar ikhtiar.

Penolakan HMI MPO terhadap Pancasila tidak bermakna menjadi penghambat dari

arus utama gerakan Islam, melainkan berfungsi untuk memberikan kritik, “nahy

munkar” terhadap gerakan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, HMI MPO

mempunyai empat misi; (1), tetap pada arus utama gerakan Islam sebagai induknya;

(2), memanfaatkan dinamika mahasiswa secara cermat; (3), menjadi pemersatu atau
44

penengah gerakan mahasiswa atau pemuda Islam di Indonesia; (4), mempersiapkan

kader-kader umat yang sadar sejarah umatnya di masa depan (M. Rusli Karim,

1997:134-135).

2. Latar Belakang Berdirinya HMI MPO Cabang Palu

Pada tahun 1991, Ketua Badan Koordinasi (BADKO) HMI Indonesia bagian

timur (Inbagtim) atas nama Abdul Azis Kahar Muzakar berkunjung ke Palu untuk

bertemu dengan para aktivis lembaga dakwah kampus guna membicarakan strategi

Lembaga Dakwah Kampus (LDK) se Indonesia Timur. Di sela-sela waktu non

formal Abdul Aziz Kahar Muzakar bertemu dengan Sudirman Zuhdi salah satu

aktifis lembaga dakwah kampus. Dalam pertemuan tersebut membahas mengenai

eksistensi HMI MPO. Pertemuan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal

berdirinya HMI MPO di Palu, namun karena kondisi sosial politik yang tidak

kondusif maka usaha pendirian HMI MPO di Palu mengendap.

Pada tahun 1997 Ketua Badan Koordinasi (Badko) HMI Indonesia Bagian

Timur (Inbagtim) dipegang oleh Mohammad Arsyad Fadlan. Dia melakukan

pertemuan dengan Pengurus HMI Cabang Palu yang pada saat itu dipimpin oleh

Ahmad Anton untuk membicarakan peluang berdirinya HMI MPO cabang Palu.

Akan tetapi, karena situasi dan kondisi yang tidak mendukung, maka tawaran Ketua

BADKO Inbagtim untuk memfasilitasi berdirinya HMI MPO cabang Palu tidak

dapat diterima.

Menurut penulis HMI cabang Palu di bawah pimpinan Ahmad Anton tidak

menerima HMI MPO karena HMI cabang Palu semenjak digulirkannya Undang-

Undang Keormasan No. 5 Tahun 1985 menerima Pancasila sebagai asas organisasi,
45

sehingga memiliki hubungan yang akomodatif dengan pemerintah. Pemerintah

menganggap HMI MPO adalah organisasi pembangkang terhadap penerapan asas

Tunggal, sehingga kehadirannya akan mengganggu dan mengancam HMI Cabang

Palu terutama kaitannya dengan jaringan politik dengan pemerintah.

Semangat dan kegigihan Ketua BADKO Inbagtim mulai membuahkan hasil,

ketika Ahmad Anton memberikan tawaran kepada Sudirman Zuhdi untuk

mengupayakan berdirinya HMI MPO di Palu. Ahmad Anton mengusulkan nama

Sudirman Zuhdi karena sama-sama aktivis mahasiswa dan terjalin dalam hubungan

persahabatan yang akrab. Sudirman Zuhdi pernah mengikuti pengkaderan LK I di

HMI meskipun hanya sekitar tiga hari, artinya tidak ikut pengkaderan sampai

selesai. Pada tahun yang sama 1997 Sudirman Zuhdi diundang secara khusus oleh

PB HMI yang pada saat itu dipegang oleh Lukman Hakim periode 1995-1997,

untuk mengikuti Kongres HMI di Jogjakarta. Setelah mengikuti Kongres akhirnya

PB HMI memberikan surat mandat kepada Sudirman Zuhdi untuk membentuk

HMI MPO cabang Palu. Sekembalinya dari Kongres hingga tiga bulan setelah

diberikannya surat mandat kepada Sudirman Zuhdi, usaha pembentukan HMI MPO

cabang Palu mengalami kemandegan, karena belum ada orang-orang yang bersedia

duduk dalam kepengurusan.

Untuk merekrut kader BADKO Inbagtim menyarankan melaksanakan

Latihan Kader (LK) I. Akhirnya LK I terlaksana dengan jumlah peserta 5 orang

yakni; Dedi Irawan, Abdul Azis, Anas, Sahruddin dan Ogi Farmadi. Tempat

pelaksanaan LK I di Masjid Al-Munawarah jalan Kinore Kelurahan Ujuna Palu

Barat. Adapun Pemateri pada LK I tersebut berjumlah 10 orang yang terdiri dari
46

Pengurus PB, pengurus BADKO Inbagtim dan pengurus HMI MPO cabang

Makasar.

Setelah pengkaderan LK I selesai maka dilangsungkan pelantikan pengurus

HMI MPO cabang Palu yang pertama. Mengenai Pengangkatan Ketua Umum HMI

MPO cabang Palu, semula diamanahkan kepada Sudirman Zuhdi tetapi karena

kondisi kesehatannya yang terganggu maka berdasarkan kesepakatan dan secara

aklamasi menunjuk Andi Ridwan sebagai Ketua Umum HMI MPO cabang Palu

periode awal yakni 1997-1999.

Menjelang deklarasi berdirinya HMI MPO cabang Palu Sudirman Zuhdi

mengundang pengurus dan kader-kader HMI, tetapi tidak dihadiri oleh satupun

pengurus HMI karena keberadaan HMI MPO di Palu akan menjadi ancaman besar

bagi eksistensi HMI sebab pentolan-pentolan HMI banyak yang keluar dan

bergabung dengan HMI MPO. Akhirnya pada bulan September 1997, atas upaya

Ketua Badan Koordinasi Indonesia bagian Timur Muhammad Arsyad Fadlan

bersama Sudirman Zuhdi, berhasil mendeklarasikan berdirinya HMI MPO cabang

di Palu.

Pendeklarasian berdirinya HMI MPO cabang Palu dilakukan pada malam

hari sekitar pukul 22.00 WIT di Masjid Al-Munawarah, yang dihadiri oleh tokoh-

tokoh mahasiswa gerakan Islam seperti Muhammad Ridha Saleh, Ogi Farmadi,

Armin Salasa dan Muhammad Fakih Akbar, Ketua Umum PB HMI Imron Fadhil

Syam, dan Staf PB Zainal Abidin. Selain itu, hadir Pengurus Cabang Makassar

Syafinuddin Al-Mandary, dan Bustaman. Mengenai pembentukan HMI MPO

Cabang Palu Sudirman Zuhdi menjelaskan bahwa “HMI MPO adalah suatu
47

organisasi pergerakan yang masif dan berbasis pada mahasiswa. Oleh karena itu

HMI MPO menjadi sebuah pilihan wadah gerakan bagi aktivis mahasiswa Islam.

Secara umum gerakan mahasiswa pada saat itu tidak mampu merespons

ketimpangan sosial yang terjadi, sehingga menjadi alasan bagi HMI MPO untuk

mencermati berbagai problem sosial yang sedang dihadapi oleh masyarkat Kota

Palu”.

Berdasarkan penjelasan Sudirman Zuhdi di atas, HMI MPO menjadi pilihan

wadah gerakan bagi para aktifis mahasiswa Islam sebenarnya karena organisasi

tersebut memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai independensi, sehingga tidak

memiliki keterikatan dengan pemerintah atau organisasi politik dan mampu

menyikapi kondisi kebangsaan ataupun kemahasiswaan. Perbedaan yang terjadi

dengan organisasi masyarakat atau kemahasiswaan yang lain terletak pada nilai

independensi, oleh karena itu banyak organisasi mahasiswa yang cenderung tidak

dapat berbuat banyak menyikapi kondisi bangsa karena hubungan akomodatif

dengan pemerintah tanpa menyadari nilai substansi yang melekat pada organisasi

dan tugas korektif konstruktif bagi pemerintah.

Setelah pendeklarasian berdirinya HMI MPO Cabang Palu di atas berarti

mulai saat itu di Palu terdapat dua HMI yakni HMI Dipo dan HMI MPO dengan

model kepengurusan dan karakteristik tersendiri. Berdirinya HMI MPO cabang

Palu tidak akan pernah terlepas dari faktor-faktor yang turut memberikan andil dan

tidak dapat diabaikan dalam proses pendirian. Faktor-faktor tersebut terdiri dari

faktor pendukung dan faktor penghambat berdirinya HMI MPO Cabang Palu.
48

Menurut Temu Sutrisno, faktor pendukung dan penghambat berdirinya HMI MPO

Cabang Palu adalah :

1. Faktor Pendukung Berdirinya HMI MPO Cabang Palu

a. Semangat perlawanan terhadap Orde Baru. Dalam kepengurusan HMI

Cabang Palu yang menerima Pancasila terdapat para kader-kader yang

memiliki semangat perlawanan terhadap Orde Baru. sebagian dari

mereka ada yang keluar dan lebih memilih bergabung dengan organisasi

pergerakan yang lainnya. Mereka sangat membutuhkan wadah untuk

melakukan perlawanan olehnya HMI MPO adalah wadah yang tepat

untuk itu.

b. Wacana intelektual. Wacana intelektual yang dibangun di HMI MPO

cabang Palu pada masa itu relatif bersesesuaian dengan pemikiran dan

wacana yang dibangun para aktivis dan tokoh-tokoh pergerakan pada

umumnya di kota Palu.

c. Semangat perubahan. Disamping semangat perlawanan yang di usung

oleh HMI MPO cabang Palu, terdapat satu semangat yakni semangat

perubahan dan semangat perubahan yang dibawa HMI MPO, mendapat

respon positif di kalangan organisasi pergerakan pada umumnya di Kota

Palu.

d. Kesesuaian dengan gerakan kemahasiswaan. Gerakan HMI MPO yang

progresif dan transformatif cocok dengan gerakan kemahasiswaan di

kota Palu pada saat itu, yang cenderung revolusioner atau radikal.

2. Faktor Penghambat Berdirinya HMI MPO Cabang Palu


49

a. Kondisi sosial politik tidak kondusif. Kondisi sosial politik dan

pemerintahan Orde Baru yang represif membuat para pengurus dan

kader-kader HMI MPO cabang Palu cenderung berhati-hati karena

penolakannya terhadap Dasar Negara (Pancasila).

b. Pertentangan wacana. Wacana perlawanan HMI MPO cabang Palu

terhadap Orde Baru sangat tidak didukung oleh tokoh-tokoh gerakan tua

atau tokoh gerakan Islam senior, di Kota Palu, serta Korps Alumni HMI

(KAHMI). Menurut tokoh-tokoh gerakan tua atau gerakan Islam senior

HMI MPO akan merusak jaringan politik dengan pemerintah.

c. Tekanan internal dan eksternal. Terdapat tekanan dari para pengurus

HMI Dipo cabang Palu yang menerima Pancasila dan merasa

eksistensinya terganggu. Disamping itu juga tekanan yang berasal dari

pemerintah sebagai konsekuensi penolakannya atas Pancasila. Namun

bagi HMI MPO hal itu merupakan hal biasa dalam perjuangan.

d. Pendanaan yang minim. Faktor infrastuktur organisasi semisal

pendanaan yang sangat minim, sehingga ini berpengaruh terhadap

perkaderan HMI MPO cabang Palu.

4. Karakteristik HMI MPO Cabang Palu

Karakteristik HMI MPO cabang Palu sangat penting untuk dikemukakan

karena selama ini masyarakat hanya mengetahui HMI ada, tetapi masih banyak

yang belum bisa membedakan antara HMI Dipo dan HMI MPO. Karakteristik HMI

MPO yakni tetap berasaskan Islam sesuai dalam Anggaran Dasar Organisasi pasal

3, sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan dengan tujuan “Terbinanya


50

mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas

terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala”

(pasal 4, Anggaran Dasar Organisasi).

“Secara umum, mainstream gerakan HMI MPO cabang Palu terbingkai

dalam satu pola yang sifatnya progresif transformatif. Maksudnya, memiliki suatu

kekuatan yang sifatnya dinamis dan transformatif. HMI MPO hadir sebagai salah

satu organisasi kemahasiswaan dan pergerakan yang menekankan pada upaya

perubahan, baik dalam konteks kemahasiswaan yang berupa pencerahan intelektual

maupun konteks masyarakat kota Palu berupa pencerahan dan penyadaran terhadap

perubahan dalam masyarakat . (Sumber : Hasil wawancara dengan Temu Sutrisno

pada tanggal 30 Juli 2006 di Palu Timur)

Karakteristik yang menonjol bahkan sudah menjadi ciri khas bagi HMI MPO

cabang Palu adalah gerakannya lebih bersifat intelektual, progresif, dan

transformatif. Dikatakan sebagai organisasi yang bersifat intelektual karena basis

kader HMI MPO adalah mahasiswa. Hal itu dapat diamati dari kecenderungan

gerakan yang lebih mengutamakan intelektual kader. Progesifitas dan transformatif

yang dimaksud adalah secara organisasi HMI MPO cabang Palu senantiasa menjadi

organisasi yang konsen dan memiliki ghirah (semangat) yang tinggi terhadap

perubahan masyarakat ilmiah di kampus atau masyarakat kota Palu pada

khususnya. Keinginan perubahan yang ditunjukan oleh HMI MPO cabang Palu

diwujudkan melalui berbagai gerakan dan upaya pencerahan intelektual mahasiswa

dan masyarakat kota Palu.(Sumber : Hasil wawancara dengan Itho Murthadha pada

tanggal 22 Juli 2006 di Palu Timur).


51

Dalam Anggaran Dasar Organisasi HMI MPO Bab II pasal 6 di jelaskan

bahwasannya “HMI MPO adalah organisasi yang bersifat independen”, kalau

meminjam kata-kata Syafinuddin Al-Mandari (2003) ‘independensi’ adalah sebuah

idealitas organisasi atau yang dicita-citakan. Agar tujuan dapat dicapai, HMI MPO

(dalam Syafinuddin Al-Mandari, 2003: 21) menyimpulkan bahwa:

Karakteristik sikap-sikap kader yang independen adalah:


1. Cenderung pada kebenaran
2. Bebas, merdeka dan terbuka
3. Objektif, rasional dan kritis
4. Progresif dan dinamis
5. Demokrasi, jujur dan adil.

Menurut Syafinuddin Al-Mandari sikap-sikap kader di atas merupakan

prasyarat utama yang harus inhern dalam diri kader agar tujuan ke-HMI-an serta

idealitas keIslamannya dapat diperjuangkan. Sejak berdirinya hingga sekarang,

HMI MPO cabang Palu tetap konsisten mempertahankan nilai independensinya.

Hal itu ditunjukan melalui keberadaan HMI MPO cabang Palu yang hingga saat ini

tidak pernah menjadi underbow dari partai politik atau organisasi tertentu, dan tidak

tergantung dengan aliansi-aliansi gerakan lain. Bentuk independen dari HMI MPO

cabang Palu juga dibuktikan melalui sikap organisasi dan secara personal para

kader-kader HMI MPO cabang Palu jika dilihat dari sikap politik membatasi diri

dengan politik praktis dan lebih bercorak pada daya kritis.

HMI MPO cabang Palu tidak terlalu jauh terlibat dalam politik praktis. Akan

tetapi, sebagai suatu kekuatan politik HMI MPO sebenarnya cukup concern atau

serius dalam menyikapi masalah politik, baik yang bersifat lokal, nasional maupun

internasional. “Pola pembatasan HMI MPO cabang Palu terhadap politik praktis

dan sikap kritisnya dalam menyikapi masalah politik, bagi organisasi lain hal itu
52

kadang tidak kondusif dan tidak strategis karena dengan adanya sikap yang kritis

terhadap politik akan berimplikasi pada rusaknya jalinan politik, biasanya ini terjadi

bagi organisasi-organisasi yang menjadi underbow partai-partai politik, akan tetapi

bagi HMI MPO cabang Palu semua itu adalah sebagai konsekuensi logis dari suatu

organisasi perjuangan”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Abdullah Mukarram

pada tanggal 14 Juli 2006 di Palu Barat).

Dalam pengamatan penulis, HMI MPO cabang Palu hingga saat ini memang

menjadi suatu organisasi yang memiliki komitmen untuk mempertahankan nilai

independensinya. Komitmen ini termaktub dalam Anggaran Dasar Organisasi,

hingga saat ini HMI MPO cabang Palu tetap sebagai organisasi yang lebih bersifat

korektif atau bisa disebut organisasi oposisi. Keberadaan organisasi oposisi sangat

diperlukan karena prasyarat suatu negara yang memiliki sistem demokrasi perlu ada

organisasi oposisi sebagai sarana korektif yang sifatnya konstruktif (membangun)

bukan dekonstruktif (merusak). Di samping itu, HMI MPO cabang Palu hingga saat

ini tidak menjadi satu komunitas penyangga kebijakan pemerintah apalagi yang

bersifat tidak populis atau tidak menyentuh kepentingan mendasar masyarakat akar

rumput (grass roots). Oleh karena itu HMI MPO cabang Palu senantiasa menyikapi

kebijakan pemerintah baik lokal maupun nasional terutama kebijakan yang tidak

sesuai dengan hati nurani rakyat.

Ketika pemilihan umum, HMI MPO cabang Palu sering melakukan

penolakan terhadap pemilu (Golput) sebagai perwujudan organisasi oposisi,

misalnya pada Pemilu tahun 2004. Alasannya karena merasa pesimis dengan pemilu

dalam kaitannya terhadap perubahan bangsa yang signifikan. Menurut organisasi,


53

ini Pemilu tidak akan melahirkan pemimpin bangsa yang benar-benar

memperjuangkan aspirasi masyarakat dan memiliki komitmen moral untuk

memperbaiki wajah Indonesia. “ HMI MPO cabang Palu berkeyakinan bahwa

Pemilu 2004 tetap gagal dalam menghantarkan terbentuknya rezim demokratis

nantinya. Untuk itu, sebagai sebuah upaya pendidikan politik kepada rakyat, dan

refleksi kritis terhadap wajah demokrasi bangsa yang kian memprihatinkan, HMI

MPO menyerukan kepada seluruh masyarakat Kota Palu untuk Golput pada Pemilu

2004”. (Itho Murthadha dalam Radar Sulteng, Senin 5 April 2004).

Berdasarkan penjelasan Itho Murthadaha di atas HMI MPO lebih memilih

melakukan golput dan menjadi oposisi karena melihat kondisi sistem pemerintah

dan sistem pemilu yang belum bersih. Demokrasi dalam pemilu nyaris hilang

kebebasan bersuara belum tercipta, politik uang (many politik) terjadi, dan yang

penting rakyat belum memiliki kesadaran kritis terhadap politik, walhasil rakyat

memilih bukan melihat dari apakah calon pemimpin memiliki kualitas, rasionalitas,

kredibilitas melainkan karena besarnya bantuan dan pemberian kaos saat

kampanye. Selain itu, disebabkan oleh adanya sistem Pemilu yang tidak adil.

Pengurus Besar HMI MPO menyatakan mengenai penolakan tersebut. Harian

Republika edisi Sabtu, 11 Oktober 2003, menjelaskan bahwa:

HMI MPO tolak sistem Pemilu bukan berarti kami menolak proses Pemilu
yang akan berlangsung. Akan tetapi, penolakan terhadap sistem Pemilu yang
tidak adil. Salah satu bentuk ketidakadilan sistem Pemilu tersebut adalah
adanya pelarangan terhadap warga Negara yang pernah terlibat dalam
organisasi terlarang di masa Orde Lama untuk menjadi anggota legislatif.
Bentuk pelarangan seperti itu seharusnya tidak berlaku lagi, karena sangat
diskriminatif. Negara harus bersikap adil dan menghormati hak-hak politik
warga Negara. Selain itu, ada beberapa ketentuan yang masih menjadi cacat
sistem Pemilu 2004. Diantaranya, toleransi terhadap kasus terdakwa yang
bisa menjadi calon Presiden.
54

Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa penolakan HMI MPO

Cabang Palu terhadap Pemilu bukan pada proses pelaksanaan pemilu tetapi karena

sistem Pemilu yang tidak adil dan masih adanya perlakuan diskriminatif terhadap

warga negara Indonesia, di samping itu menolak calon-calon pemimpin yang tidak

memiliki visi murni untuk memperjuangkan rakyat.

B. HMI MPO Cabang Palu : Sebuah Tinjauan Struktur

1. Struktur Organisasi HMI MPO Secara Nasional

Sebelum berbicara tentang struktur organisasi HMI MPO cabang Palu,

maka perlu dijelaskan terlebih dahulu struktur organisasi HMI MPO di tingkat

nasional, karena menjadi acuan HMI MPO cabang dan telah terdapat pada

Anggaran Rumah Tangga HMI MPO. Berikut ini akan diuraikan struktur organisasi

HMI MPO yang terdiri dari Struktur Kekuasaan dan Struktur Pimpinan.

a. Struktur Kekuasaan

HMI dalam strukturnya, memiliki tiga tingkatan struktur kekuasaan.

Yakni; tingkat Pengurus Besar (PB), tingkat Cabang dan tingkat Komisariat.

Pada tingkat pusat, Kongres menjadi forum pengambilan keputusan tertinggi

dalam organisasi HMI, Konferensi di tingkat Cabang dan Rapat Anggota

Komisariat (RAK) di tingkatan Komisariat.

1. Kongres, merupakan forum musyawarah utusan cabang-cabang yang

diadakan rutin 2 (dua) tahun sekali. Kongres mempunyai kekuasaan atau

wewenang; menilai pertanggung-jawaban Pengurus Besar HMI,

mendengar Laporan Pelaksanaan Tugas Majelis Syuro Indonesia,


55

menetapkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Khitoh

Perjuangan, dan pedoman-pedoman operasional HMI, memilih Ketua

Umum yang merangkap sebagai Formateur dan memilih 4 (empat) Mide

Formateur dan menunjuk Majelis Syuro Organisasi.

2. Konferensi Cabang, merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat

cabang, tempat musyawarah utusan komisariat-komisariat di tingkatan

cabang yang diadakan rutin 1 (satu) kali setahun. Konferensi mempunyai

kekuasaan atau wewenang; menetapkan Garis Besar Program Kerja sebagai

pengejawantahan ketetapan-ketetapan kongres, menilai pertanggung-

jawaban Pengurus Cabang HMI, memilih Ketua Umum yang merangkap

sebagai Formateur dan kemudian memilih 4 (empat) Mide Formateur,

mendengar Laporan pelaksanaan tugas MSO Cabang dan menunjuk anggota

MSO Cabang.

3. Rapat Anggota Komisariat, adalah pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat

komisariat, tempat musyawarah anggota komisariat yang diadakan 1 (satu)

kali setahun. Rapat Anggota Komisariat mempunyai kekuasan atau

wewenang; menetapkan Garis Besar Haluan Kerja komisariat sebagai

pengejawantahan ketetapan konferensi, menilai pertanggung-jawaban

Pengurus Komisariat dan memilih Ketua Umum merangkap sebagai

Formateur dan kemudian memilih 4 (empat) Mide Formateur.

b. Struktur Pimpinan

Struktur Pimpinan dalam HMI terdiri dari Pengurus Besar (PB), Pengurus

Cabang, dan Pengurus Komisariat.


56

1. Pengurus Besar adalah badan tertinggi di struktur kepemipinan HMI dengan

masa jabatannya adalah 2 (dua) tahun. Pengurus Besar terdiri dari Ketua

Umum, Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Pengurus Harian, Lembaga

Koordinasi, Lembaga-Lembaga Kekaryaan dan Lembaga-lembaga Khusus

dan para stafnya. Pengurus Besar adalah anggota HMI yang pernah menjadi

Pengurus cabang, dan atau telah mengikuti Latihan Kader II. Tugas dan

kewajiban Pengurus Besar adalah; melaksanakan ketetapan-ketetapan

Kongres, mengumumkan keseluruh cabang segala kebijakan strategi HMI,

dan Pengurus Besar bertangung-jawab pada Kongres.

2. Pengurus Cabang adalah badan tertinggi dalam struktur kepemimpinan HMI

di tingkat Cabang. Pengurus Cabang terdiri dari Ketua Umum dan Pengurus

Harian, Koordinator Komisariat, Lembaga-lembaga Khusus, dan Lembaga-

lembaga Kekaryaan. Pengurus cabang adalah anggota yang pernah menjadi

Pengurus Komisariat dan atau telah lulus Latihan Kader II dengan masa

jabatan 1 (satu) tahun.

Pengurus Cabang memiliki tugas dan kewajiban melaksanakan

kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Pengurus Besar dan ketetapan-ketetapan

Konferensi, memberikan Laporan kepada Pengurus Besar tiap 4 (empat)

bulan, dan Pengurus cabang/Ketua Umum Cabang bertanggungjawab pada

Konferensi.

3. Pengurus Komisariat merupakan kesatuan organisasi pada suatu Perguruan

Tinggi/Fakultas/Jurusan, atau beberapa Fakultas/Jurusan pada perguruan

tinggi yang sama yang dibentuk oleh Pengurus Cabang. Pengurus Komisariat
57

adalah badan tertinggi dalam struktur kepimpinan HMI di tingkat komisariat,

minimal terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Umum dan Bendahara Umum

dengan masa jabatan 1 (satu) tahun. Tugas dan kewajiban Pengurus

Komisariat adalah melaksanakan keputusan-keputusan Pengurus cabang dan

ketetapan-ketetapan Rapat Anggota, memberikan Laporan kepada Pengurus

Cabang tiap 4 (empat) bulan, dan Ketua Umum Komisariat sebagai

pemimpin Pengurus Komisariat bertanggungjawab pada Rapat Anggota

Komisariat. Untuk lebih jelasnya struktur organisasi HMI MPO terlampir.

2. Struktur Organisasi HMI MPO Cabang Palu

Menurut Indrarto dan Soehardjono (2002:44) “struktur organisasi adalah

hubungan antara fungsi-fungsi, wewenang dan tanggung jawab tiap-tiap anggota

organisasi yang memikul tiap-tiap tugas pekerjaan”. Berdasarkan pernyataan di atas

dapat diketahui bahwa suatu organisasi harus menghendaki adanya pembagian

kerja, sehingga dalam kerja-kerja organisasi untuk mencapai tujuannya tidak

mengalami tumpang tindih. Melihat kenyataan yang terjadi pada struktur organisasi

HMI MPO cabang Palu, terdiri dari struktur kekuasaan, dan struktur pimpinan.

Struktur Kekuasaan merupakan forum atau tempat untuk pengambilan

keputusan tertinggi dalam organisasi HMI, sedangkan struktur pimpinan

merupakan struktur yang memiliki peran dalam menjalankan amanah yang

dihasilkan oleh struktur kekuasaan. Kalau meninjau struktur kekuasaan pada HMI

MPO cabang Palu terdiri dari dua yakni konferensi cabang dan Rapat Anggota

Komisariat (RAK), sedangkan struktur pimpinan terdiri dari Pengurus Cabang dan

Pengurus Komisariat.
58

Konferensi cabang (Konfercab) mempunyai kekuasaan dan wewenang

sama seperti pada struktur organisasi secara umum yakni mengangkat ketua umum

HMI MPO cabang Palu, merangkap sebagai Formateur dan memilih 4 (empat)

Mide Formatur yang bertugas membantu formateur dalam pembentukan struktur

kepengurusan. Mide Formateur akan bubar dengan sendirinya saat pengurus yang

terbentuk dilantik. Rapat Anggota Komisariat (RAK) mengangkat ketua umum

Komisariat sebagai Formateur dan memilih 4 (empat) Mide Formateur sebagai

pembantu Formateur dalam menyusun kepengurusan.

3. Struktur Kepengurusan HMI MPO Cabang Palu

Kenyataan yang terjadi di HMI MPO cabang Palu, menunjukan bahwa

setiap periode kepengurusan terjadi perubahan model struktur. Hal itu disebabkan

oleh adanya sifat timbal balik struktur kepengurusan, maksudnya adalah struktur

kepengurusan berkaitan erat dengan visi gerakan yang dicanangkan dalam setiap

periode kepengurusan tertentu. Misalnya ketika dalam suatu periode kepengurusan

memiliki visi dan tema kepengurusan untuk menggarap intelektual, maka struktur

yang terbentuk selalu diarahkan pada orientasi visi intelektual tersebut. Dengan

adanya model struktur yang disesuaikan dengan visi dan tema kepengurusan, maka

kinerja kepengurusan akan berjalan dengan optimal, sistematis dan sesuai dengan

tujuan.

“Perubahan struktur juga disebabkan oleh adanya kondisi internal dan

kondisi eksternal. Kondisi internal dapat dilihat dari ketersediaan jumlah kader yang

memiliki kemampuan untuk menduduki posisi kepengurusan, sementara kondisi

eksternal terkait dengan hal-hal yang mendesak diantaranya situasi sosial, politik,
59

ekonomi, dan budaya yang ada di kota Palu yang harus direspons oleh kebijakan

dalam program kepengurusan yang ada dalam suatu periode”. (Sumber: Hasil

wawancara dengan Itho Murthadha pada tanggal 22 Juli 2006 di Jln. Yojokodi No.

35 Palu Timur).

Jenjang kepengurusan di HMI MPO cabang Palu secara struktural terdiri

dari dua yakni pengurus cabang dan pengurus komisariat. Untuk menjadi pengurus

cabang harus memenuhi persyaratan, yakni pernah mengikuti dan lulus dalam

intermediate tranning atau Latihan Kader (LK II), sementara untuk menjadi

pengurus komisariat harus telah mengikuti dan lulus LK I serta telah memahami

konstitusi HMI MPO. “Idealnya jenjang kepengurusan HMI MPO harus sesuai

dengan jenjang yang telah berlaku secara nasional akan tetapi ada situasi-situasi

tertentu yang dipermaklumkan oleh kebijakan organisasi dan pimpinan sehingga

ada kader-kader yang tidak sesuai dan tidak memenuhi persyaratan dapat dipakai

dalam struktur kepengurusan”. Sumber : Hasil wawancara dengan Hariman

Podungge pada tanggal 13 Juli 2006 di Palu Timur).

Tampaknya kepengurusan di HMI MPO cabang Palu sejalan dengan apa

yang telah diuraikan Hariman di atas karena terdapat orang-orang yang duduk di

kepengurusan tanpa melalui jenjang dan persyaratan yang telah berlaku di HMI

MPO secara nasional. Hal itu terjadi karena kondisi perkaderan yang belum

kondusif dan masih kurangnya kemampuan para kader yang akan menduduki dalam

struktur kepengurusan, namun orang-orang yang dipilih menduduki struktur

kepengurusan dituntut mampu beradaptasi atau menyesuaikan dengan amanah yang


60

diembannya. Walhasil pengurus tanpa melalui jenjang membuat tidak maksimalnya

pelaksanaan proram kerja.

4. Manajemen Organisasi HMI MPO Cabang Palu

Indrarto dan Soehardjono (2002 :97) menyatakan bahwa "Manajemen

terkait erat dengan kemampuan, kecakapan dan penguasaan ilmu, wawasan dan

kepribadian pemimpin dalam pelaksanaan pekerjaan, maupun kegiatan dalam

berbagai lini kehidupan." Mengamati setiap periode kepengurusan terlihat bahwa

manajemen organisasi yang berlaku di HMI MPO cabang Palu dalam setiap periode

kepengurusan adalah menggunakan manajemen kolektif bertingkat sesuai dengan

struktur kepemimpinan cabang dan komisariat. Sehingga setiap perumusan program

kerja dilakukan melalui musyawarah mufakat misalnya dalam pengangkatan ketua

umum (formatur dan mid formatur) melalui konferensi cabang (Konfrencab),

begitu juga dengan pengangkatan ketua umum komisariat melewati Rapat Anggota

Komisariat (RAK). Hal itu telah diatur dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga dan

Pedoman Dasar Organisasi HMI MPO.

Manajemen kerja-kerja kepengurusan HMI MPO cabang Palu selain

melalui struktur kepengurusan bertingkat juga dibantu oleh lembaga-lembaga

khusus yakni Korps Pengader (KP) dan Korps HMI Wati (Kohati). Keberadaan

Lembaga Khusus tersebut untuk melaksanakan tugas-tugas dalam bidang khusus

yang tidak dapat tertampung dalam struktur lainnya, dan lembaga ini bersifat semi

otonom dari struktur pimpinan.

Korps pengader (KP) merupakan lembaga khusus yang memiliki tanggung

jawab dalam proses perkaderan atau peningkatan dan pengembangan kwalitas


61

pengader, sehingga memiliki bangunan intelektual dan spiritual yang mapan. Korps

Pengader bagian integral dari proses perkaderan bertugas untuk membentuk

terciptanya salah satu segmen perjuangan yakni sumber daya pengader terutama

lepasan Senior Course (SC). “Sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab

dalam proses perkaderan maka orang-orang yang duduk dalam lembaga ini

memiliki konsekuensi untuk memiliki kemampuan intelektual, keterampilan dalam

mengelola forum, serta menguasai materi-materi yang termuat dalam mekanisme

perkaderan terutama materi Latihan Kader (LK. I)”. (Sumber : Hasil wawancara

dengan Amiruddin Ibnu Majid pada tanggal 26 Juli 2006 di Palu Timur).

Dalam laporan pertanggung jawaban pengurus HMI MPO cabang Palu

periode 2003-2004 ditegaskan bahwa:

Perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam pada dasarnya merupakan proses


upaya organisasi untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi
anggotanya dengan memberikan pemahaman ajaran dan nilai kebenaran
Islam secara penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang. Perkaderan
tersebut meliputi pembinaan sikap, ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang memungkinkan kader HMI tampil sebagai sosok khalifah Allah di
muka bumi. Dengan demikian secara utuh proses perkaderan HMI dapat
dipandang sebagai upaya memberi respon strategis terhadap tantangan
internal, dalam artian kualitas pengader, yang kemudian secara simultan
akan memberi jawaban secara eksternal tantangan yang dihadapi umat
Islam.kedua respon tersebut merupakan dataran jihad terpadu, yang
mestinya berbeda dalam satu wilayah strategi, yang juga bermakna tuntutan
akan adanya sistem pembinaan yang tepat bagi lepasan Senior Course (SC).

Berdasarkan pernyataan di atas Korps Pengader memiliki tugas dan

tanggung jawab terhadap kualitas kader HMI MPO terutama pematangan ajaran

Islam dan mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan baik secara personal

maupun secara sosial di masyarakat. Mengamati struktur kepengurusan HMI MPO

cabang Palu, dalam setiap priode senantiasa memiliki masalah internal terutama
62

perkaderan, tetapi yang menarik dari organisasi ini adalah meskipun terjadi masalah

secara internal hal itu tidak berpengaruh terhadap gerakan HMI MPO cabang Palu

secara umum. Maksud dari masalah internal adalah masalah-masalah yang sifatnya

berasal dari person-person kader atau pengurus HMI.

Korps HMI Wati (Kohati), adalah lembaga khusus yang berada di bawah

naungan HMI dan sekaligus pembantu pimpinan cabang. Sejak berdirinya 1966-

2005 lembaga ini bersifat koordinatif dan merupakan sub struktur dalam

kepemimpinan HMI. Dalam Kongres HMI yang ke-25 pada tanggal 13-20 Agustus

2005 di Palu posisi Kohati sebagai lembaga khusus juga di tempatkan sebagai unsur

pimpinan yang sama posisinya dengan ketua-ketua komisi kebijakan.

“Lembaga Khusus Kohati memiliki tanggung jawab dalam menangani

masalah-masalah keperempuanan atau kemuslimahan. Secara internal Kohati

berperan sebagai wadah pembinaan dan pengembangan potensi kader HMI Wati,

sehingga menjadi mar’atusalehah atau menjadi perempuan yang soleh memiliki

keimanan dan ketaqwaan, sedangkan secara eksternal Kohati berfungsi sebagai

ujung tombak dalam melakukan gerakan keperempuanan”.(Sumber : Hasil

wawancara dengan Nurmin pada tanggal 12 Juli 2006 di Palu Timur).

Dalam persoalan manajemen organisasi, HMI MPO cabang Palu dari

periode awal hingga sekarang masih memiliki kelemahan, terutama yang terkait

dengan prinsip kerja manajemen. Indrarto dan Soehardjono (2002:98) menegaskan

bahwa “prinsip kerja manajemen harus menunjukan suatu pola kerja yang dinamis

dan konstruktif antara perencanaan, pengorganisasian, controlling dan actuating

(prosese gerak atau menjalankan) semua komponen dalam manajemen”. Mengenai


63

perencanan, pengorganisasian, controlling dapat dikatakan dalam HMI MPO

cabang Palu sudah kondusif, akan tetapi dari segi actuating terkadang tidak sejalan

dengan apa yang direncanakan, seperti adanya kerja suatu bidang yang merangkap

kerja bidang lain. Proses gerak menjalankan perencanaan atau yang telah

dirumuskan melalui program kerja setiap periode kepengurusan HMI MPO cabang

Palu belum maksimal, karena masih ada program kerja yang tidak terlaksana dalam

setiap periode kepengurusan. Faktor yang paling menonjol sehingga tidak

terlaksana program kerja karena HMI MPO cabang Palu belum maksimal dalam

masalah infrastruktur terutama pendanaan organisasi yang minim dan belum

mandiri.

Nama-nama pimpinan HMI MPO cabang Palu dari periode awal berdirinya

tahun 1997 hingga sekarang dapat dilihat dalam tabel berikut Tabel 4. 4

Nama-Nama Ketua Umum dan Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Palu
sejak berdirinya sampai sekarang (1997-2006).

Nama Ketua Umum dan


NO Periode
Sekretaris Umum
1 2 3
Periode 1997-1999
1. KETUA UMUM : ANDI RIDWAN ADAM
SEKRETARIS UMUM : OGI FARMADI
Periode 1999-2000
KETUA UMUM : SUDIRMAN ZUHDI S.Pd
2.
SEKRETARIS UMUM : TEMU SUTRISNO

Periode 2000-2001
KETUA UMUM : ABDUL HARIS ABDULLAH
3. SEKRETARIS UMUM : DEDI IRAWAN, diganti
BUNYAMIN MUCHTAR,
diganti MOH. FADLY LADJIN.
Periode 2001-2002
KETUA UMUM : DEDI IRAWAN
4.
SEKRETARIS UMUM : TAUFIK ABDULLAH diganti
ITHO MURTADHA
Periode 2002-2003
5. KETUA UMUM : RAHMAT IRAWAN
SEKRETARIS UMUM : HARIMAN PODUNGGE
6. Periode 2003-2004
64

KETUA UMUM : ITHO MURTADHA


SEKRETARIS UMUM : INDRA KUSUMA
Periode 2004-2005
7. KETUA UMUM : ABDULLAH MUKARRAM
SEKRETARIS UMUM : AMIRUDIN
Periode 2005-2006 (Sekarang)
KETUA UMUM : HARIMAN PODUNGGE
8.
SEKRETARIS UMUM : RUSLAN H. HUSEN diganti
AKHLIS
Sumber: Laporan Pertanggung jawaban (LPJ) HMI MPO cabang Palu Periode
2004-2005.

Berdasarkan tabel di atas, dapat dicermati bahwa HMI MPO cabang Palu

sejak berdirinya pada tahun 1997 hingga sekarang tahun 2006 telah melakukan

delapan kali pergantian kepengurusan, dan telah melangsungkan Konferensi yang

ke-30, jika dihitung dari awal berdirinya HMI cabang Palu yakni pada tahun 31 Juli

1965. Pada tahun 1965 sampai 1988 HMI cabang Palu telah melakukan Konferensi

23 kali. Akan tetapi karena pada tahun 1988 HMI Cabang Palu menerima Pancasila

maka mulai tahun 1988 sampai dengan 1997 atau selama 9 (sembilan) tahun bagi

HMI MPO tidak terdapat kepengurusan HMI, kecuali para person-person atau

kader-kader HMI yang pada masa itu keluar dari HMI dan bergabung dengan

organisasi pergerakan yang lain. Nanti pada bulan september 1997 bagi HMI MPO

cabang Palu terdapat kepengurusan dengan dideklarasikan berdirinya HMI MPO

cabang Palu. Tahun 1997 hingga tahun 2005 HMI MPO melaksanakan delapan kali

Konferensi, jadi dari tahun 1965 hingga tahun 2005 HMI MPO Cabang Palu telah

melangsungkan Konferensi 30 kali.

Berdasarkan tabel di atas dapat dicermati bahwa kepemimpinan Andi

Ridwan menjabat selama dua tahun berarti telah melanggar batasan periode

kepengurusan, karena Berdasarkan Anggaran Rumah Tangga (ART) Organisasi

HMI MPO bahwa masa jabatan Ketua Umum Cabang adalah satu tahun,
65

menjabatnya Andi Ridwan selama dua tahun dikarenakan posisi HMI MPO masih

dalam tataran melakukan peneguhan eksistensi dan pengembangan keorganisasian.

Di samping itu dalam kepengurusan HMI MPO cabang Palu terjadi pergantian

Sekretaris Umum dalam satu periode kepengurusan, karena adanya masalah

internal kelembagaan dan internal kader, misalnya pada masa periode kepengurusan

Abdul Haris Abdullah (2000-2001) mengalami tiga kali pergantian Sekretaris

Umum yakni Dedi Irawan diganti oleh Bunyamin Muchtar karena mengundurkan

diri dan beralih ke direktur lembaga advokasi HMI, dan Bunyamin Mukhtar diganti

oleh Moh. Fadli Lazim atas permintaan sendiri melepaskan jabatan Sekretaris

menjadi wakil Sekretaris karena alasan kerja. Periode kepengurusan Dedi Irawan

(2001-2002), Taufik Abdullah diganti oleh Itho Murthadha karena pelanggaran

konstitusi, dan pada periode 2005-2006 kepengurusan sekarang, Ruslan H. Husein

diganti oleh Akhlis karena persoalan kinerja yang tidak efektif.

Dalam struktur kepengurusan, pengangkatan pimpinan atau Ketua Umum

HMI MPO cabang Palu tampak menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan

musyawarah untuk mufakat. Di samping itu, tidak terdapat paham-paham yang

sifatnya sentimen etnisitas dalam pemilihan. Hal itu dapat dilihat dalam uraian

pergantian pimpinan HMI MPO cabang Palu dari awal sampai sekarang

berdasarkan pada berbagai latar belakang suku. Pemimpin pertama HMI MPO

cabang Palu periode 1997-1999, Andi Ridwan Adam latar belakang sukunya adalah

Bugis dan Sekretaris Umumnya Ogi Farmadi suku Jawa. Periode 1999-2000,

Sudirman Zuhdi S.pd suku Bugis dan Sekretaris Umum Temu Sutrisno suku Jawa.
66

Periode 2000-2001 dibawah pimpinan Abdul Haris Abdullah adalah Kaili

dengan tiga kali pergantian Sekretaris Umum, pertama Dedi Irawan suku Kaili,

Bunyamin Mukhtar suku Bugis, Mohammad Fadli Ladjin suku Luwuk. Periode

2001-2002 dipimpin oleh Dedi Irawan suku Kaili, mengalami dua kali pergantian

Sekretaris Umum pertama Taufik Bidullah suku Luwuk Banggai, dan Itho

Murtadha suku Buol. Periode 2002-2003 dibawah pimpinan Rahmat Irawan latar

belakang sukunya Jawa dan Sekretaris Umum Hariman Podungge suku Kaili.

Periode 2003-2004 dipimpin oleh Itho Murtadha latar belakang sukunya adalah

Buol dan Sekretaris Umum Indra Kusuma suku Jawa. Periode 2004-2005 dipimpin

oleh Abdullah Mukarram suku Bugis dan Sekretaris Umumnya Amiruddin Ibnu

Majid suku Bugis.

Periode sekarang 2005-2006 dipimpin oleh Hariman Podungge dengan latar

belakang suku Kaili, dan mengalami dua kali pergantian Sekretaris Umum, pertama

Ruslan H. Husen suku Bugis, Akhlis suku Kaili. Berdasarkan uraian nama-nama

pimpinan HMI MPO cabang Palu dari awal berdiri sampai sekarang, menunjukan

tidak adanya dominasi kesukuan atau sentimen etnisitas dalam pengangkatan

seorang pimpinan. “Dalam pengangkatan pimpinan organisasi, HMI MPO cabang

Palu tidak membatasi pada persoalan etnisitas atau kesukuan. Setiap kader bisa

menduduki jabatan sebagai pimpinan selama kader tersebut memiliki kemampuan,

telah lulus LK II dan memahami konstitusi HMI ”. (Sumber : Hasil wawancara

dengan Temu Sutrisno pada tanggal 4 Agustus 2006 di Palu Timur).

5. Tema Gerakan: Dari Periode Awal Sampai Sekarang


67

Dalam setiap periode kepengurusan HMI MPO cabang Palu senantiasa

merumuskan tema kepengurusan sekaligus sebagai tema gerakan. Hal ini

dikarenakan agar program kerja kepengurusan dan gerakan yang dilakukan bisa

terarah serta efektif. Sebagaimana dalam Laporan Pertanggungjawaban Pengurus

HMI MPO cabang Palu periode 2002-2003 menegaskan:

Tema kepengurusan merupakan satu hal yang harus senantiasa ada dalam
setiap kepengurusan sebagai hasil ‘perenungan’ terus menerus dari
kepengurusan sebelumnya. Tema yang digagas hendaknya bersinambung
dengan tema kepengurusan sebelumnya sehingga tidak terjadi keterputusan
tema antar kepengurusan. Tema yang telah dirumuskan akan menjadi arah
gerak, arah perjuangan, dan kerangka organisatoris yang akan memberikan
arah kepada kepengurusan yang mengangkat tema tersebut. Dengan kata
lain seluruh aspek organisatoris harus diarahkan pada upaya untuk
merealisasikan tema yang telah dipilih.

Berdasarkan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa tema kepengurusan

dalam setiap periode menjadi arah gerak. Oleh karena itu senantiasa

berkesinambungan dari periode awal sampai sekarang. Tema kepengurusan

diamanahkan dalam setiap pelaksanaan Konferensi, berfungsi untuk mengarahkan

program kerja atau gerakan pada setiap periode kepengurusan. Di dalamnya

mencakup rencana strategis gerakan, skala perioritas dalam suatu gerakan dan

perkaderan. Tema yang diamanahkan dalam setiap periode kepengurusan

merupakan tema turunan dari tujuan HMI dan desain global perjuangan dan

pergerakan.

Berikut ini akan diuraikan tema-tema kepengurusan HMI MPO cabang Palu

dari periode awal berdirinya 1997-1999 sampai sekarang 2005-2006. pada periode

awal 1997-1999 penulis tidak menemukan tema kepengurusan karena para

pengurus periode ini tidak berada di kota Palu. Di samping itu, HMI MPO masih
68

dalam tataran peneguhan organisasi dan pengembangan jaringan, Sehingga penulis

tidak menemukan dokumen dan arsip, karena sekretariat sering pindah. Periode

1999-2000 diamanahi tema oleh Konferensi ke-25 sebagai berikut “ Transformasi

Nilai Profestis Dalam Diri Kader Menjawab Dinamika Perubahan Masyarakat”.

Maksud dari tema tersebut adalah HMI MPO cabang Palu senantiasa melakukan

penanaman nilai-nilai yang diwariskan oleh para nabi-nabi dalam kehidupan.

Sehingga dengan telah tertanamnya nilai-nilai tersebut maka dapat memaksimalkan

gerakan guna mempercepat perubahan masyarakat.

Periode 2000-2001 diamanahi tema oleh Konferensi ke-26 yaitu “

Internalisasi Nilai Profetis Dalam diri Kader Sebagai Upaya Akselerasi

Pemberlakuan Syariat Islam”. Adapun penjelasan dari tema tersebut memiliki dua

dimensi garap sebagai berikut ; (1) adalah garapan organisasi secara internal.

Internalisasi nilai profetis yang dimaksud adalah gerakan kedalam, dimana HMI

cabang Palu pada periode berjalan diamanahkan untuk melakukan pembenahan dan

pemapanan organisasi melalui sistem perkaderan ; dan (2) bidang garap secara

eksternal akselerasi pemberlakuan Syariat Islam merupakan satu isyarat gerakan

HMI secara eksternal untuk turut serta bersama komponen umat yang lain

memperjuangkan satu gerakan pemberlakuan syariat Islam. (LPJ Pengurus HMI

MPO Cab. Palu periode 2000-2001).

Kepengurusan HMI cabang Palu Periode 2001-2002 diamanahi oleh

Konferensi ke-27 untuk mengusung tema gerakan sebagai berikut “Impelementasi

Nilai-Nilai Kemanusiaan Dalam Upaya Pemberdayaan Kaum Mustadh’afien”.

Implementasi nilai-nilai kemanusiaan mengandung makna bahwasannya HMI


69

harus mengejawantah dan mendorong masyarakat secara menyeluruh untuk

senantiasa berupaya menggali dan menemukan hakikat eksistensi manusia, yang

secara fitrawi cenderung kepada kehanifan. HMI bertekad untuk tetap menegakan

nilai-nilai kemanusiaan di era modernitas dimana paham materialisme telah

mendistorsi pemaknaan dan implementasi nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam upaya mendorong terciptanya iklim sosial yang memiliki apresiasi

dan kehendak dalam mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan HMI cabang

Palu melakukan tiga peran yakni; (1) pencerahan di tengah masyarakat, upaya ini

dimaksudkan untuk merubah paradigma berfikir, kesadaran dan perilaku

masyarakat yang telah dihegemoni oleh tawaran-tawaran materialisme

(kapitalisme) ; (2) melakukan advokasi problem-problem keumatan sebagai wujud

komitmen keberpihakan terhadap kepentingan komunitas yang terpinggirkan

(kaum mustadh’afien) ; Dan (3) pemberdayaan masyarakat yang diarahkan tidak

sebatas pada penggalian dan pengembangan potensi-potensi ekonomis semata,

melainkan sampai kepada tahap pembangunan spiritual guna menemukan hakikat

eksistensi kemanusiaan. (LPJ Pengurus HMI MPO Cab. Palu periode 2001-2002).

Periode 2002-2003 diamanahi tema gerakan oleh Konferensi ke-28 sebagai

berikut “Penegasan Peran HMI Dalam Pembelaan kaum Mustadh’afien; Sebuah

Akselerasi Revolusi Sistemik”. Penegasan pembelaan kaum mustadh’afien

mengandung maksud bahwasannya HMI MPO cabang Palu menggambarkan secara

global gerak langkah yang akan diambil dalam membentuk cita idealnya. Upaya

penegasan peran kader HMI MPO yang harus diusung senantiasa membutuhkan

kesadaran idiologis yang mengejawantah dalam komitmen moral Islam dan spirit
70

tauhid. Kesadaran adalah kata kunci revolusi tauhid yang digagas oleh peran-peran

kenabian. Adanya tekad untuk menegakan nilai-nilai kemanusiaan di era

modernitas dewasa ini merupakan wajah cerah sejarah yang menandai bangkitnya

perlawanan terhadap materialisme yang selama ini telah mendistorsi substansi nilai-

nilai kemanusiaan”. (LPJ Pengurus HMI MPO Cab. Palu periode 2002-2003).

Pada periode 2003-2004, tema gerakan yang diamanahkan oleh Konferensi

ke-29 adalah “Rekayasa Perlawanan Kaum Lemah dan Terpinggirkan yang

Berbasis Gerakan Moral dan Intelektual”. Ada tiga maksud dari tema tersebut

yaitu; (1)Rekayasa Perlawanan. Menurut HMI gerakan perlawanan yang

diagendakan oleh gerakan sosial dewasa ini belum memiliki landasan konseptual

yang mapan, terkait dengan arah, strategi, tahapan dan model alternatif perubahan

yang hendak dicapai. Dalam lingkup Kota Palu mainstream gerakan yang

berkembang cenderung didominasi oleh idiologi gerakan beraliran Marxian. Hal

itu, akhirnya berimplikasi logis terhadap design perubahan yang monolitik dan juga

menyampingkan ruang apresiasi secara kreatif terhadap konsep perubahan

kemasadepanan yang lebih bersesuaian dengan kondisi sosio-kultural lokal. Oleh

karena itu, HMI MPO cabang Palu diamanahi membuat suatu rekayasa gerakan

HMI yang lebih kontekstual dengan situasi lokal tanpa mengabaikan ruh Islam yang

telah dipahami secara haqqul yakin oleh segenap warga Himpunan ; (2) kaum

lemah dan terpinggirkan. Kaum lemah dan terpinggirkan adalah identitas vital

dalam setiap perubahan sosial yang terjadi dimanapun. Proyek perjuangan HMI

yang telah dicanangkan pada dasarnya ditujukan untuk melakukan pembelaan

secara mondial terhadap nasib kaum lemah dan terpinggirkan mulai dari aspek
71

sosial-politik, hukum, ekonomi, kultural, intelektual, pendidikan, HAM, dan

spiritual ; dan (3) berbasis gerakan moral dan intelektual, maksudnya adalah setting

gerakan perubahan mutlak memiliki nilai-nilai dasar yang akan menyifati

karakteristik sebuah gerakan dan alur perubahan nantinya. Bagi HMI MPO, nilai-

nilai dasar yang dimaksud adalah aspek moral dan intelektual. Sebab dua aspek

tersebut merupakan ciri terpenting dari sebuah gerakan yang berpandangan dunia

Islam (tauhid). Moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan bagi gerakan Islam

karena dengannya ikhtiar untuk melahirkan suatu tata sosial dan peradaban yang

humanis, egaliter, demokratis, berkeadilan, di bawah naungan Rahmat dan

Maghfirah Ilahi, dapat terwujud.( LPJ Pengurus HMI MPO cab. Palu periode 2003-

2004).

Periode 2004-2005 diamanahkan tema oleh Konferensi ke-30 adalah

sebagai berikut “Penegasan Peran Intelektual Kader yang Berbasis Moral

Intelektual Sebagai Upaya Pembelaan Kaum Lemah Terpinggirkan”. Adapun

Maksud dari tema kepengurusan tersebut adalah; (1) Penegasan peran intelektual

kader merupakan upaya organisasi untuk melakukan internalisasi atas segenap

potensi intelektual kader. Melakukan penajaman analisa secara konseptual serta

menumbuhkan budaya (kultur) intelektual yang nantinya menjadikan kader-kader

HMI selalu menggunakan analisa dan takaran berfikir yang konstruktif secara ril,

termanifestasi dalam tawaran-tawaran solutif saat mendapati dan menyiasati

masalah pribadinya maupun masalah-masalah sosial yang melingkupinya; (2) basis

moral intelektual. Rapuhnya suatu tatanan hidup yang dibangun baik oleh individu

atau sekelompok manusia sangat ditentukan oleh baik atau buruknya fundamen
72

moral-etik yang diberlakukan atau menjadi kebiasaan (budaya), dan (3) pembelaan

kaum lemah dan terpinggirkan. Unsur utama dari entitas yang secara sistemik

terjerembab oleh kekuatan politik, sosial-kultural dan ekonomi menjadi perjuangan

yang digalang himpunan untuk mengembalikan vitalitas dan memory kolektif

masyarakat yang lemah dan terpinggirkan. (LPJ Pengurus HMI MPO Cab. Palu

periode 2004-2005).

Periode kepengurusan 2005-2006 diamanahkan oleh Konferensi ke-31

adalah sebagai berikut “Penguatan Peran Intelektual Himpunan Dalam Seting

Gerakan Tamadduni masyarakat Sipil Untuk Pembelaan Kaum Lemah

Terpinggirkan”. Maksud dari gerakan Tamadduni (civilization movement) adalah

HMI MPO cabang Palu memiliki ihktiar dan ijtihad tingkat tinggi untuk mendorong

seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial kearah

terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam

konsep tujuan. Tujuan dari gerakan Tamadduni tersebut adalah sebagai berikut; (1)

di tingkat suprastruktur gerakan HMI MPO mengharapkan adanya bangunan

Tauhid yang kokoh pada batin segenap anggota masyarakat; (2) di tingkat kultur,

yakni mengupayakan kondisi masyarakat yang memiliki ketinggian dan kemerataan

tingkat keilmuan, kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik

dibidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan, dan (3) di tingkat struktur, gerakan

tamadduni mempunyai tugas memperbaiki sistem, struktur kenegaraan agar

memenuhi hak-hak masyarakat.

C. HMI MPO Cabang Palu dan Gerakan Kota


73

Identitas HMI MPO cabang Palu sebagaimana dalam Anggaran Dasarnya

adalah organisasi perkaderan dan perjuangan yang senantiasa konsisten dengan

melakukan gerakan-gerakan untuk menuju perubahan, baik gerakan dalam lingkup

kemahasiswaan juga kemasyarakatan. Menurut penulis gerakan HMI MPO cabang

Palu dapat dikatakan sebagai gerakan kota sebagaimana konsep ‘gerakan kota’ yang

dikemukakan oleh Imam Subkhan (2003:xl) sebagai berikut :

Gerakan Kota bukan semata-mata suatu gerakan yang dilakukan oleh orang-
orang yang berada di Kota akan tetapi suatu gerakan terorganisir yang
berasal dari desa dan dilakukan oleh orang-orang desa juga bisa disebut
sebagai gerakan kota selama gerakan tersebut berpijak pada visi etis
masyarakat madani atau cicil society dan sadar akan perubahan. Visi etis
masyarakat madani adalah kondisi ideal sebuah masyarakat yang beradab
(civilized).

Gerakan kota yang dilakukan HMI MPO cabang Palu tampak melalui

gerakan-gerakan yang dilakukan dalam perubahan dan transformasi sosial kota

Palu, dilakukan secara terorganisir dengan karakteristik progresif dan transformatif,

menitik beratkan pada pencerahan intelektual dan pembinaan moralitas baik dalam

konteks kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Sebagaimana tujuan HMI MPO

dalam Anggaran dasar pasal 4 bahwasannya tujuan HMI MPO adalah “terbinanya

mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas

terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala”.

Insan ulul albab maksudnya adalah insan yang memiliki ilmu dan hikmah,

kritis dan teguh pendirian, progresif dalam berdakwah, hanya takut kepada Allah

dan tekun beribadah. Kata turut dalam tujuan HMI MPO adalah bahwasannya HMI

MPO cabang Palu menyadari untuk mewujudkan masyarakat yang diridhai oleh

Allah membutuhkan banyak elemen gerakan. Pada posisi ini, HMI MPO
74

menempatkan diri dari bagian umat Islam dan gerakan Islam. Selain itu, HMI MPO

cabang Palu senantiasa menjadi organisasi perkaderan dan perjuangan yang

senantiasa bertanggung jawab dan turut serta dalam upaya perubahan dan

transformasi sosial, sedangkan masyarakat yang diridhoi Alah SWT adalah kondisi

ideal sebuah masyarakat yang beradab (civilized), dalam HMI MPO kondisi

masyarakat yang beradab tersebut dikenal dengan cita masyarakat HMI.

Gerakan kota untuk menciptakan kondisi masyarakat yang beradab

(civilized) itu tidak bisa dilakukan oleh satu kelompok atau gerakan semata. Akan

tetapi, gerakan kota membutuhkan gerakan dari kelompok yang lainnnya. HMI

MPO Cabang Palu pun demikian, dalam melakukan gerakan di kota Palu senantiasa

melibatkan kelompok gerakan lainnya. Sehingga membentuk front-front dan aliansi

sifatnya taktis dalam melakukan gerakan menyikapi isu-isu dan kebijakan

pemerintah diantaranya yaitu ; PII, IMM, KAMMI, GEMA, PMII, GMKI, PMKRI,

LMND, dan PRD. Front dan aliansi ini tidak hanya dengan organisasi gerakan yang

se-idiologi, Tapi juga dengan organisasi pergerakan di luar idiologinya misalnya,

GMKI dan PMKRI beridiologikan Kristen, LMND dan PRD sebagai organisasi

yang beridiologi Demokrasi Kerakyatan, front/aliansi yang dimaksud bersifat taktis

atau dalam jangka waktu tertentu.

1. Strategi Membangun Komunitas Intelektual Islam

a. Kampus Sebagai Basis Gerakan

Kampus sebagai lembaga perguruan tinggi adalah basis pengembangan

dan basis gerakan karena HMI MPO pada substansinya merupakan organisasi

mahasiswa ekstra universiter. Adapun perguruan tinggi yang sekarang menjadi


75

basis gerakan dan telah terdapat pengurus Komisariat adalah sebagai berikut;

Universitas Tadulako (UNTAD), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Datokarama Palu, Universitas Alkhairat (UNISA), dan Universitas

Muhamadiyah (UNISMUH). Perguruan tinggi yang telah terdapat komisariat

HMI MPO tersebut selama ini menjadi tempat untuk basis gerakan sekaligus

sebagai sarana untuk memperkenalkan ide-ide dan gagasan HMI MPO cabang

Palu. Gerakan HMI MPO cabang Palu dalam konteks kemahasiswaan setiap

periode kepengurusan tentunya memiliki bentuk yang berbeda namun visinya

sama sesuai dengan tujuan HMI.

b. Dunia Kemahasiswaan dan Kaderisasi

Kaderisasi bagi HMI MPO cabang Palu merupakan ruh dalam organisasi

karena bagaimanapun keberadaan suatu organisasi akan sangat ditentukan oleh

keberadaan kader atau anggotanya. Kaderisasi dalam HMI MPO bersifat

kontinyu dari periode awal sampai sekarang, kaderisasi tersebut dikhususkan

bagi mahasiswa-mahasiswa muslim karena berasaskan Islam. Ridwan Saidi

(1984:72) menyatakan “HMI adalah suatu organisasi dimana tempat

berhimpunnya mahasiswa-mahasiswa yang beridentitas Islam, dengan

mengemban misi keIslaman, keIndonesiaan dan kemahasiswaan”.

Dalam proses kaderisasi secara formal tetap menggunakan pola

sebagaimana yang berlaku secara nasional. Formalitas latihan kader

dilaksanakan secara berjenjang dimana setiap jenjang latihan kader tersebut

memiliki perasyaratan-persyaratan tertentu bagi persertanya. Jenjang latihan

kader secara formal terdiri dari tiga jenjang latihan kader, yakni Basic Training
76

(Latihan kader LK I) di tingkat pertama; Intermediate Training (LK II) di tingkat

kedua; dan Advance Training (LK III). Setiap periode kepengurusan HMI MPO

cabang Palu secara rutin melakukan LK I dan LK II, sedangkan Latihan Kader

III belum pernah melaksanakannya. Oleh karena itu, untuk menghasilkan para

kader-kader yang memiliki jenjang LK III tersebut harus mengirim anggotanya

ke PB HMI atau cabang lain, setiap ada pelaksanaan LK III.

Mengenai alasan belum melaksanakannya LK III, Temu Sutrisno

menjelaskan “Ada dua penyebab sehingga belum melaksanakannya yakni; (1)

tokoh-tokoh intelektual yang memiliki kapasitas untuk mengisi dan membawa

materi pada forum LK III jika mengacu pada standar perkaderan masih terbatas.

Jadi untuk melaksanakan LK III perlu menghadirkan tokoh-tokoh intelektual dari

luar kota Palu, sementara untuk menghadirkan tokoh-tokoh intelektual di kota

Palu membutuhkan biaya yang besar. Adapun standar pemateri jika mengacu

pada standar perkaderan LK III secara umum adalah harus memiliki kapasitas

keilmuan sesuai dengan bidang akademisnya serta diakui secara nasional dan

internasional; (2) belum tersediannya pemandu atau instruktur LK III, karena

syarat menjadi pemandu pada forum LK III adalah harus lepasan LK III”. (Hasil

wawancara dengan Temu Sutrisno pada tanggal 5 Agustus 2006 di Palu Timur).

Pelaksanaan kaderisasi formal dari periode awal sampai sekarang

memiliki perbedaan yang sangat mendasar, pada masa kepengurusan awal

kaderiasasi diwarnai oleh semangat perlawanan terhadap rezim orde Baru,

kaderisasi dilakukan secara tertutup dan rahasia bahkan berpindah-pindah tempat

meskipun hanya menggunakan lilin sebagai penerangnya, karena pada saat itu

kondisi sosial dan politik tidak kondusif serta pemerintah Orde Baru dengan
77

karakter kepemimpinan yang represif. Mengenai karakter kepemimpinan

represif Muhammad Ryas Rasyid (2002:118) menjelaskan :

Karaketer pemimpin represif ditandai dengan sikap pamimpin yang


arogan dan egostik, monopoli atas kebenaran dilakukan secara telanjang,
tanpa rasa malu sama sekali. Dalam benak sang pemimpin, kekuasaan
identik dengan kebenaran, sehingga semakin besar suatu kekuasaan,
semakin besar pula kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, ia mudah
curiga dan cemburu kepada setiap orang atau kelompok masyarakat yang
bersikap kritikal atau yang memiliki potensi untuk naik sebagai rivalnya,
karena mereka dianggap sebagai ancaman terhadap kebenaran.
Berdasarkan penjelasan Ryas Rasyid di atas berarti pemimpin dengan

karakter represif tidak layak bagi negara yang menganut sistem pemerintahan

demokrasi, karena pemimpin yang menjunjung tinggi nilai demokrasi cenderung

bersikap terbuka terhadap kritik, pada masa pemerintah Orde Baru oposisi

dengan pemerintah berarti musuhnya pemerintah. Pemerintah tidak bisa dikritik

dan bisa melakukan segala apa yang diinginkan dengan merangkul pihak militer.

Menurut pemerintah Orde Baru HMI MPO adalah organisasi yang akan

menggoyahkan kekuasaannya, sehingga perlu ditekan, namun bagi HMI MPO

hal itu memberikan modal dan melahirkan semangat perlawanan. Setelah

lengsernya Orde Baru dari tampuk kekuasaan dan lahirnya Orde Reformasi

pelaksanaan kaderisasi sudah mengalami perubahan dan dilakukan secara

terang-terangan.

Dalam setiap periode kepengurusan frekuensi pelaksanaan kaderiasasi

LK I mencapai rata-rata 10 kali dan komisariat empat kali dengan jumlah peserta

antara 10 sampai 15 orang dalam setiap pelaksanaan perkaderan, sedangkan

pelaksanaan LK II dan Senior Course (SC) selama ini baru dilaksanakan satu kali

dalam setiap periode kepengurusan dengan jumlah peserta maksimal 15 orang.


78

Proses kaderisasi tidak hanya secara formal melainkan juga dilakukan dalam

aktivitas kehidupan di kampus dan di masyarakat yang sifatnya non formal,

misalnya melaksanakam pendampingan intelektual bagi anggota HMI dan juga

setiap pasca pelaksanaan Latihan Kader baik LK I maupun LK II di adakan

follow up training, tujuan adalah; Agar para lepasan training dapat lebih

maksimal dalam memahami materi-materi training terutama materi Khitah

Perjuangan serta konstitusi HMI dan kemudian dapat mengaktualisasikan apa-

apa yang telah didapatnya dalam training, memperkenalkan HMI secara tuntas

kepada kader atau anggota, sehingga para kader memiliki ikatan emosional untuk

ber HMI, selain itu juga dilakukan kajian-kajian dan diskusi sebagai sarana

pendampingan intelektual baik dikampus maupun di masyarakat. (Sumber: Hasil

wawancara dengan Mahful Haruna pada tanggal 23 Juli 2006 di Palu Timur).

Pendampingan intelektual melalui Kajian dan diskusi di kampus-kampus

terutama yang diadakan oleh pengurus komisariat bersifat terbuka untuk

mahasiswa bahkan biasanya mengundang aktifis-aktifis dari organisasi intera

kampus. Adapun model diskusi yang dilaksanakan adalah diskusi lepas di

pelataran kampus, diskusi interaktif, diskusi panel dan bedah buku.

c. Jaringan Dalam kampus

Sebagai organisasi kemahasiswaan ekstra kampus dan menjadikan

kampus sebagai basis gerakannya, HMI MPO Cabang Palu membangun jaringan

dengan organisasi-organisasi intera kampus termasuk di dalamnya Badan

Eksekutif Mahasiswa Universitas Tadulako (BEMUT), Badan Eksekutif

mahasiswa Fakultas (BEMFAK), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan


79

yang paling utama lagi dengan lembaga-lembaga dakwah kampus seperti Unit

Pengkajian Islam Mahasiswa (UPIM), Mahasiswa Pecinta Mushollah (MPM).

Pembangunan jaringan diperlukan karena tujuan-tujuan HMI tidak dapat

diwujudkan hanya melalui kerja-kerja HMI semata. Tujuan dari membangun

jaringan dengan organisasi intera kampus adalah agar wacana dan gerakan yang

diangkat oleh HMI MPO cabang Palu dapat berjalan sinergis dengan gerakan

organisasi mahasiswa intera kampus, sehingga tujuan gerakan HMI dapat

berjalan dengan baik. Dalam konteks kemahasiswaan isu yang digagas adalah

pablik mahasiswa yakni rekonstruksi dan reposisi gerakan mahasiswa sebagai

gerakan intelektual dan moral dan juga memformat gerakan politik yang mandiri

atau independen. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Hariman Podungge pada

tanggal 13 Juli 2006 di Palu Timur).

HMI MPO cabang Palu membentuk sebuah sarana pengguliran ide-ide

dan gagasan yang disebut dengan institusi kantong. Institusi-institusi kantong

dibentuk pada setiap program bidang studi di perguruan tinggi Sulawesi Tengah

yang terdapat pengurus komisariatnya. Institusi kantong dan kelompok studi ini

dibentuk dengan tujuan agar wacana-wacana ke-HMI-an di kampus dapat terus

bergulir sehingga akhirnya gerakan intelektual HMI dapat diterima oleh

kalangan mahasiswa. Institusi kantong juga dapat dijadikan sarana dalam

merekrut anggota atau kader, dan sebagai wadah untuk memperkenalkan ide-ide

dan gagasan tentang perubahan, intelektual, sosial, budaya, politik, dan

sebagainya. (Sumber: Hasil wawancara dengan Mahful Haruna pada tanggal 22

Juli 2006 di Palu Timur).


80

HMI MPO cabang Palu memiliki peranan dalam pengembangan

kreatifitas kemahasiswaan, sehingga turut membantu pihak perguruan tinggi

dalam melaksanakan pendidikan, sehingga mahasiswa yang telah mengikuti

pengkaderan dan menjadi kader atau mahasiswa yang sering mengikuti kajian

dan diskusi yang diadakan oleh organisasi tersebut memiliki wawasan keilmuan,

bersikap kreatif, dan progresif dalam menapaki kehidupan di kampus.

2. Gerakan Membangun Masyarakat Islam Di Kota Palu

Isu yang sering diusung oleh HMI MPO cabang Palu dalam konteks

masyarakat kota Palu adalah konsolidasi masyarakat sipil yaitu dengan

mendorong setiap elemen masyarakat sipil baik secara indifidu maupun

kelompok, organisasi masyarakat, keagamaan dan budaya untuk berpartisipasi

secara kritik dan konstruktif dalam upaya pembangunan masyarakat kota palu.

Tujuan gerakan yang dilakukan bukan semata-mata untuk masyarakat kota Palu

saja, akan tetapi lebih diarahkan pada tema-tema besar yang diusung oleh PB

HMI MPO sebagaimana diarahkan oleh tujuannya.

Gerakan dalam konteks masyarakat kota Palu dari priode awal sampai

sekarang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut; Tor Dakwah, perkaderan

Remaja Islam Masjid (Risma), pendampingan pelajar siswa SMA dalam

kepengurusan Hariman Podungge 2005-2006, Mahful Haruna ketua bidang

Intelektual Dan Budaya (Inbud) membentuk organisasi pelajar Islam yang

disebut dengan Himpunan Pelajar Islam (HPI), pendirian organisasi HPI tersebut

bertujuan agar wacana-wacana ke HMI-an juga dapat dikenal oleh kalangan

pelajar SMA, pemberantasan buta huruf Al-Quran gratis untuk anak-anak dan

dewasa. Upaya penyadaran masyarakat kota Palu dilakukan dengan


81

memperbanyak kader agar dakwah tetap dinamis, melakukan penyadaran kritis

masyarakat, mendampingi ibu-ibu pengajian dalam masyarakat, memberikan

khotbah jum’at dalam masyarakat sebagai media transformasi ide dan gagasan

HMI MPO di tengah-tengah masyarakat.

Pada kepengurusan sekarang, telah melaksanakan training pendidikan

berbasis keluarga untuk antisipasi dini narkoba dan free sek dikalangan remaja,

mengadakan training politik dalam bentuk seminar dan diskusi sebagai upaya

untuk merubah nalar politik masyarakat kota Palu, mengadakan seminar tentang

keagamaan, pendidikan, sosial,budaya, politik dan ekonomi sebagai sarana untuk

pencerahan terhadap masyarakat kota Palu, melakukan silaturahmi kepanti-panti

asuhan. Kohati sebagai lembaga khusus yang menanganai keperempuanan juga

melakukan advokasi dan pendampingan terhadap pelecehan seksual dan tindak

kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan di kota Palu. Selain itu, senantiasa

melakukan aksi turun kejalan bersama komponen masyarakat yang lain dalam

menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah baik lokal maupun pusat khususnya

kebijakan yang tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat kota Palu.

E. Peranan Gerakan HMI MPO Terhadap Kebijakan Pemerintah Dan

Perubahan Masyarakat Kota Palu

Peran gerakan HMI MPO cabang Palu terhadap kebijakan Pemerintah

kota Palu secara spesifik belum ada, namun keterlibatan pengambilan kebijakan

yang dimaksud adalah dalam bentuk gerakan ekstra parlementer. Peran gerakan

terhadap kebijakan pemerintah yang dimaksud adalah sejauhmana gerakan


82

ekstra parlementer yang sifatnya korektif itu dapat menjadi kontribusi pemikiran

bagi penentu kebijakan terutama pemerintah Kota Palu.

Kontribusi gerakan ekstra parlementer yang pernah dilakukan dan

menurut penulis berperan dalam penentuan kebijakan pemerintah kota Palu

adalah sebagai berikut; gerakan penutupan lokalisasi di Tondo kiri, ini dilakukan

pada masa kepengurusan Sudirman, pada kepengurusan ini HMI MPO sebagai

satu-satunya organisasi yang diundang secara intens oleh Walikota pada saat itu

untuk membahas kebijakan mengenai usaha pemindahan masyarakat kota Palu

terutama yang bermukim di lokasi pantai Talise ke perumahan Layana Indah, hal

itu tentunya membuktikan bahwa HMI MPO cabang Palu termasuk organisasi

yang cukup diperhitungkan. Pemberantasan minuman keras juga dilakukan, dan

belum lama ini kepengurusan Hariman Podungge melakukan aksi gerakan

mengenai pemasangan ATM kondom di kota Palu yang akhirnya berhasil

memaksa pemerintah melakukan pencabutan dan penutupan terhadap ATM

kondom tersebut.

“Secara umum kontribusi HMI MPO cabang Palu melalui gerakan ekstra

Parlementer cukup diperhitungkan. Hal itu, dibuktikan dengan sikap sensistifnya

dalam menyikapi isu-isu dan setiap kebijakan-kebijakan pemerintah baik lokal,

nasional maupun internasional. Dalam konteks lokal kota Palu misalnya;

menyikapi pelaku korupsi pejabat daerah, tindak kekerasan dan militerisme, dan

utamanya adalah menyikapi kebijakan pemerintah kota Palu yang tidak sesuai

dengan hati nurani masyarakat”. (Hasil wawancara dengan Aswin Saikim pada

tanggal, 3 Agustus 2006 di Palu Timur).


83

Mengenai respons terhadap isu nasional dibuktikan melalui berbagai aksi

diantaranya; kenaikan BBM dan tarif dasar Litrik, penolakan sistem pemilu yang

bobrok, mengutuk praktek KKN pejabat negara, dan masalah harga kebutuhan

masyarakat. Terkait dengan isu internasional dapat terpahami dengan

penyikapan dan aksi diantaranya; menyikapi pelanggaran terhadap HAM dan

nilai-nilai kemanusiaan seperti terhadap pembunuhan Syekh Ahmad Yassin dan

para mujahid muslim lainnya, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW

melalui karikatur, serangan Israel terhadap Palestina, Invansi Amerika ke Irak,

serangan Israel ke Lebanon, menyikapi kebijakan pemerintah Amerika dan

negara besar lainnya yang berusaha mendiskreditkan negara-negara berkembang

terutama Indonesia.

Peran HMI MPO cabang Palu terhadap perubahan masyarakat kota Palu

dapat dilihat sebagaimana dalam tujuan HMI dan konsep perubahan yang ingin

dicapainya. Dalam pedoman perkaderan HMI MPO mengenai masyarakat cita

HMI. Masyarakat cita yang akan diwujudkan HMI adalah suatu tatanan

masyarakat berperadaban yang memiliki karakteristik ideal, dalam pedoman

perkaderan HMI dijelaskan mengenai masyarakat cita HMI sebagai berikut :

a. Berdasarkan semangat rabbaniyyah atau robbiyah yang


terformulasikandalam konsep tauhid (QS. Ali Imran, 3:79 dan 146);
b. Tumbuh pola hubungan antar personal maupun kelembagaan yang dinamis
dan progresif atas dasar akhlakul karimah;
c. Tegak atas landasan keadilan yang bersendikan keteguhan pada hukum yang
dimuai dari komitmen pribadi (QS. An-Nisa, 4:58; Al-hadid, 57:25; Al-
Hujurat, 49:9);
d. Bervisikan amar ma’ruf (itikad baik) nahi munkar, yang menjadi pijakan
moral dan etika dalam masyarakat dan diterjemahkan dalam bentuk amal
saleh, sebagai manifestasi dari tanggung jawab (QS. At-Taubah, (:7;
Fushilat, 41:46; Al-Jatsiyah, 45:15);
84

e. Memiliki semangat keterbukaan sebagai konsekuensi dari pandangan


kemanusiaan atau sikap positif yang optimis dalam arti selalu menerapkan
prasangka baik kecuali untuk pertahanan dalam masalah spesifik (QS. Al-
A’raf, 7:172; Ar-Rum, 30:30; Al-Hujurat, 49:12 dan An-Nisa, 4:28);
f. Menjunjung tinggi sikap musyawarah dan semanagat egaliter dalam arti
hubungan interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebenaran dan
kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian bersama dalam
suasana persamaan hak dan kewajiban antar indifidu dan masyarakat (QS.
Asy-Syura 42:38; Ali-Imran, 3:159; Al-Hujurat 49:3);
g. Memiliki semangat persaudaraan (Ukhuwah) saling memahami, toleransi,
saling menasehati, dan tolong menolong sehingga menciptakan
kebersamaan yang utuh dan abadi (QS. Al-Hujurat, 49:10-12);
h. Tumbuh sikap kerendahan hati tidak selalu merasa benar (klaim kebenaran
personal atau kelembagaan) dan kesediaan mendengar pendapat opini
publik (QS. Az-Zumar, 39:17-18).
(Sumber: Pedoman perkaderan HMI MPO cabang Palu).

Peran terhadap perubahan sosial adalah berupaya untuk mewujudkan

kondisi masyarakat sesuai dengan masyarakat yang dicita-citakan oleh HMI atau

cita masyarakat HMI. Peran terhadap perubahan masyarakat kota Palu dilakukan

dengan melalui berbagai macam gerakan-gerakan sosial sebagai berikut;

berusaha melakukan penyadaran kritis masyarakat melalui training politik dalam

bentuk seminar dan diskusi, melakukan aksi-aksi bersama dengan masyarakat

hal ini menurut penulis termasuk pendidikan politik bagi masyarakat, melakukan

pencerahan terhadap masyarakat dengan berbagai kegiatan seperti diskusi,

seminar, bedah buku dan penyampaian khotbah jumat oleh Pengurus dan kader-

kader HMI MPO cabang Palu dalam masyarakat. Selain itu, gerakan sosial juga

dilakukan melalui bantuan-bantuan terhadap korban bencana alam terutama yang

terjadi di kota Palu.

Peran perubahan di masyarakat kota Palu secara kongkrit melalui

kontribusi pemikiran dengan melakukan penyadaran kritis di masyarakat, hal ini

dapat dilihat dengan kondisi masyarakat kota Palu sekarang. Maksudnya adalah
85

masyarakat kota Palu telah memiliki kesadaran kritis terutama dalam menyikapi

kebijakan pemerintah. Masyarakat sudah mulai mampu menilai calon para

pemimpinnya. Masyarakat kota Palu sebagian besar sudah tidak dapat dibohongi

lagi dengan uang atau money politic, sehingga ada istilah ‘ambil

uangnya/kaosnya tapi lihat dulu calonnya’.

Peran perubahan juga dilakukan oleh para kader dengan menulis opini-

opini baik di buletin, media, surat kabar/Koran hal itu dimaksudkan sebagai

sarana penyampaian ide-ide dan gagasan perubahan HMI MPO dalam

masyarakat, selain itu juga melakukan penyadaran akan perubahan bagi

masyarakat, karena menurut HMI MPO cabang Palu pada dasarnya perubahan

itu akan terjadi jika dilakukan oleh orang-orang yang sadar akan perubahan.

F. Cerita Di Balik Aksi: HMI MPO Cabang Palu Dimata Kawan atau Lawan

a. HMI Dipo: Gerakan Islam Atau Kiri

Pemberlakuan asaz tunggal oleh pemerintahan Orde Baru juga

mengakibatkan HMI di Palu menjadi dua yakni HMI Dipo dan HMI MPO. HMI

Cabang cabang Palu secara resmi berdiri pada tanggal 31 Juli 1965 berdasarkan

surat mandat Pengurus Besar No. 1938/Sek/B/1965, tertanggal 24 Februari 1965

kepada Nazaruddin Pakedo. Menurut Rusdi Toana (dalam Aruji Rahmat 1992:60 )

Ada tiga dasar pemikiran yang melatar belakangi berdirinya HMI Cabang Palu,

yaitu :

1. Berusaha mendahului berdirinya CGMI yang merupakan salah satu


organisasi mantel PKI di tingkat kemahasiswaan.
2. Adanya perguruan tinggi Universitas Tadulako Cabang UNHAS dan
IKIP Ujung Pandang Cabang Palu yang telah berdiri sejak tahun 1963.
86

3. Terjadinya konflik diantara organisasi yang terdapat di Palu khususnya


antara Al Khairat dengan Muhammadiyah.

Berdasarkan pernyataan di atas bahwa ada tiga faktor yang melatarbelakangi

proses kelahiran HMI di Palu yakni berusaha mendahului berdirinya CGMI yang

merupakan organisasi mantel PKI, hal itu dilakukan karena pada dasarnya kedua

organisasi tersebut berbeda secara idiologi yakni landasan pokok gerak organisasi

(dasar organisasi) atau antara Islam dengan komunis. Selain itu berdirinya

Universitas Tadulako tahun 1963, karena HMI merupakan organisasi

kemahasiswaan maka basis perkaderannya perguruan tinggi. Konflik antara

organisasi Islam yakni Alkhairat dan Muhammadiyah terjadi karena adanya

persoalan khilafiyah misalnya antara Qunut dengan tidak disaat sholat subuh, baca

tahlil dan tidak ketika ada yang meningal. Oleh karena itu HMI Cabang Palu

berusaha menengahi persoalan itu sehingga HMI tidak menonjolkan aliran atau

mahzab melainkan didalamnya terdapat kader-kader dengan keberagaman mahzab

ataupun organisasi, yakni ada Alkhairat, Muhammadiyah, Nahdatul ulama bahkan

ada juga yang bermahzab Syi’ah.

Proses kelahiran HMI Cabang Palu dan periode pertama serta beberapa

periode kemudian sejak Orde Baru lebih banyak diwarnai oleh susasana konflik,

dengan pembatasan yang tidak tegas hingga periode 1972-1973. Dalam periode

selanjutnya HMI lebih berkonsentrasi dalam upaya merealisasikan program

kerjanya. Tantangan yang dihadapi kemudian tidak lagi tertumpu pada upaya

mempertahankan eksistensi seperti periode-periode awal akan tetapi terfokus pada


87

bagaimana cara mengembangkan organisasi dengan operasional program serta

peningkatan kualitas kader di samping kuantitasnya. (Arruji rakhmat 1992 :61).

Pasca Orde Baru dan setelah dicabutnya Undang-undang keormasan No. 5

Tahun 1985 maka HMI Dipo yang semula menerima Pancasila kembali

menggunakan Islam sebagai Asas Organisasi. Akan tetapi dari kedua HMI tersebut

memiliki karakteristik ditinjau dari format gerakannya, gerakan HMI Dipo lebih

menekankan pada format gerakan akomodatif dengan pemerintah (birokrasi)

sementara itu, HMI MPO sebagai organisasi yang menolak pemberlakuan asas

tunggal Pancasila ekuivalen dengan melakukan perlawanan terhadap pemerintah

dan hingga saat ini lebih menekankan gerakan ekstra parlementer dan membatasi

pada politik praktis, namun peran korektif terhadap pembangunan masih dapat

diperhitungkan.

Berikut ini akan diuraikan pandangan pengurus HMI Dipo cabang Palu

terhadap gerakan HMI MPO cabang Palu. Dalam pandangan HMI Dipo, HMI MPO

tidak memiliki format gerakan dan idiologi yang jelas. “HMI MPO di Kota Palu

tidak memiliki idiologi gerakan yang jelas bahkan cenderung berafiliasi dengan

gerakan-gerakan lain yang basisnya tidak jelas. Dalam gerakan-gerakan jalanan

yang dilakukan HMI MPO mereka lebih mirip dengan gerakan kekiri-kirian, dan

disinilah letak ketidak jelasan pembawaan gerakannya. HMI MPO cabang Palu

berusaha mencampur adukan antara religi dan idiologi kiri”. (Sumber : Hasil

wawancara dengan Mohammad Syarif, pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu

Timur).
88

Pernyataan yang diungkapkan pengurus HMI Dipo di atas menurut penulis

merupakan bahasa dari pengurus HMI yang menginginkan tidak adanya perbedaan

dalam HMI atau dalam artian mengharapkan adanya gerakan HMI yang sesuai

dengan satu tujuan HMI. Melihat gerakan yang dilakukan HMI MPO cabang Palu,

menjadi jelas bahwa organisasi tersebut tetap konsisten dengan asas Islam,

idiologinya adalah Islam, sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan yang

memiliki tujuan. Mengenai gerakan yang dikatakan kekiri-kirian karena HMI MPO

memiliki kesamaan dengan organisasi kiri yakni progresifitas gerakan tapi HMI

MPO tetap sebagai organisasi yang berdasarkan idiologi Islam bukan kiri.

Membatasi pada politik praktis bagi organisasi lain memang tidak kondusif

terutama bagi organisasi-organisasi underbow dari partai politik tertentu, karena hal

itu akan membawa dampak pada terhambatnya jaringan politik, namun bagi HMI

MPO cabang Palu hal itu sebagai konsekuensi dari suatu perjuangan yang tetap

menjunjung tinggi nilai-nilai independensi organisasi.

HMI MPO dilihat dari gerakannya di kota Palu cukup progresif, namun

yang perlu diperhatikan oleh teman-teman MPO adalah gerakan yang diusung harus

senantiasa memperhatikan kebutuhan mahasiswa saat ini karena pada dasarnya

kebutuhan mahasiswa sifatnya fluktuatif atau tidak tetap. (Sumber : Hasil

wawancara dengan Ridwan, pada tanggal 10 Januari 2007 di Palu Timur).

Berdasarkan pernyataan di atas yang perlu dilakukan oleh HMI MPO cabang Palu

saat ini adalah harus melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan kebutuhan

mahasiswa sehingga mahasiswa lebih tertarik untuk mengikuti setiap kegiatan yang

dilakukan dan hal itu akan mempermudah dalam proses rekrutmen kader.
89

b. Pelajar Islam Indonesia (PII): Jangan Tinggalkan Duniamu

PII merupakan Organisasi masyarakat (ormas) pelajar yang dikenal sangat

konsisten menggarap para pelajar, dan mengamalkan ajaran Islam. Dalam

menghadapi kebijakan pemerintah tentang asas Pancasila, PII juga merupakan

organisasi yang menolak terhadap Asas Tunggal Pancasila. Tujuan PII menurut

pasal 5 Anggaran Dasarnya adalah “kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan

yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia”.

(dalam M. Rusli Karim,1997:127).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa PII dengan

HMI lahir dari satu rahim yang sama yakni Islam, selain itu memiliki akar historis

yang sama pula karena keduanya adalah organisasi yang melakukan penolakan

terhadap pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi atau dikenal

dengan undang-undang keormasan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kenyataan di kota Palu, PII sangat konsisiten dalam perjuangan untuk

mewujudkan tujuannya. Bagaimana PII memandang HMI MPO cabang Palu,

berikut akan diuraikan beberapa pandangan pengurus PII terhadap gerakan HMI

MPO di kota Palu. “gerakan HMI MPO tergolong unik karena dia konsen pada

gerakan intelektual dan gerakan intelektual tersebut tentunya dapat bersentuhan

langsung dengan banyak kelompok bukan hanya gerakan Islam akan tetapi gerakan

di luar Islam. Namun, ada dampak gerakan tersendiri bagi HMI MPO terutama

berasal dari gerakan kelompok Islam tradisional yang terkadang tidak sepakat

dengan pemikiran dan sikap HMI MPO, tapi itu merupakan sebuah pilihan gerakan.

Gerakan jalanan menyikapi isu-isu dan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai
90

dengan nurani rakyat cukup aktif. Kedepan untuk menjadi organisasi yang maju

harus melakukan dua hal yakni gerakan jalanan dan mengusung sampul-sampul isu

transformatif. Kalaupun ada gerakan yang tidak mengambil isu ini bisa muncul

akan tetapi pasti akan mati karena ditinggalkan massanya. Gerakan HMI MPO

cabang Palu di kampus sekarang agak menjauh dari gerakan intelektual, meskipun

usahanya maksimal tapi masif. Kedepan sampul gerakan HMI MPO perlu

diperbaiki agar dapat menarik kalangan mahasiswa. (Sumber: Hasil wawancara

dengan Andi Aril Pattalau pada tanggal 1 Agustus 2006 di Palu Timur).

Mengamati gerakan HMI MPO Cabang Palu di Perguruan Tinggi

nampaknya apa yang diungkapkan oleh pengurus PII di atas sejalan dengan

kondisionalitas HMI MPO sekarang. Kegiatan atau gerakan di kampus tidak terlalu

nampak padahal sebagai organisasi yang berbasis mahasiswa. Oleh karena itu, jika

berdasarkan karakteristiknya merupakan organisasi yang menonjolkan gerakan

intelektual maka gerakan di kampus seperti kajian/diskusi, bedah buku dan kegiatan

yang menyentuh mahasiswa harus ditingkatkan. Penulis menekankan pada kegiatan

yang menyentuh mahasiswa karena selama ini banyak mahasiswa yang enggan

mengikuti kajian/diskusi karena wacana diskusi yang digulirkan tidak sesuai

dengan kebutuhan mahasiswa.

Gerakan HMI MPO cabang Palu sebagaimana dalam uraian

karakteristiknya adalah organisasi yang lebih menonjolkan pada gerakan

intelektual. Hal itu, karena pada dasarnya organisasi ini adalah organisasi intera

kampus dan basisnya adalah mahasiswa. Dampak gerakan HMI MPO dari gerakan

kelompok Islam tradisional dikarenakan gerakan intelektual yang dibangun adalah


91

gerakan pembaharuan yang digulirkan oleh para pemikir Islam modernis.

Disamping itu, sikap politik yang kritis dan membatasi pada politik praktis menurut

kelompok gerakan senior Islam tradisional akan menghambat gerakan Islam.

“Secara umum gerakan HMI MPO lebih menonjolkan gerakan intelektual,

di kalangan mahasiswa gerakan HMI MPO masih trend. Kehadiran HMI MPO

sebagai organisasi pergerakan sebenarnya memiliki potensi kedepan karena

disamping melakukan advokasi juga konsen sebagai organisasi kemahasiswaan

yang masih mengedepankan kultur Islam. Dalam kenyataannya, sekarang gerakan

HMI MPO di perguruan tinggi terkait dengan gerakan intelektual masih perlu

ditingkatkan lagi sehingga gerakan HMI MPO sebagai organisasi kemahasiswaan

gaungnya akan lebih baik lagi”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Indar Ismail dan

Sarlin pada tanggal, 30 Juli 2006 di Palu Timur).

Mengamati gerakan HMI MPO cabang Palu diperguruan tinggi, nampaknya

apa yang diungkapkan oleh pengurus PII sejalan dalam relitas gerakan HMI MPO

di kampus atau perguruan tinggi. Oleh karena itu gerakan HMI MPO cabang Palu

di kampus masih perlu ditingkatkan lagi karena kampus adalah basis dan dunia

HMI. HMI MPO cabang Palu harus memperbaiki sampul, isu-isu dan wacana

sehingga dapat lebih menarik bagi kalangan mahasiswa. Sebagai organisasi

kemahasiswaan intera kampus maka keberadaan perguruan tinggi memiliki peran

cukup besar. Akan tetapi, dalam kenyataannya di Kota Palu masih banyak kampus

yang belum tersentuh oleh HMI MPO tersebut, padahal kampus adalah basis

gerakan HMI.
92

c. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM): Tingkatkan Komitmen

Independensi

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memiliki hubungan yang cukup

baik dengan HMI MPO cabang Palu karena pada dasarnya organisasi tersebut

memiliki kesamaan yakni idiologi Islam. Hubungan dan komunikasi terjalin dengan

semangat dakwah memperjuangkan nilai-nilai Islam dilakukan dengan melaui

gerakan-gerakan dalam bentuk aliansi taktis atau front. Gerakan aliansi dan front

yang dilakukan ketika menyikapi isu-isu lokal, nasional, bahkan internasional serta

kebijakan pemerintah yang tidak sesuai baik dengan umat Islam sendiri maupun

masyarakat secara luas.

“Hubungan IMM dengan HMI MPO hingga sekarang terjalin ukuwah

Islamiyah yang cukup baik, karena idiologi gerakannya adalah sama yakni Islam

dengan tujuan yang sama kalau ditinjau secara umum yaitu membentuk umat,

mahasiswa dan bangsa pada masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan diridhoi

oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dalam segi sosial HMI MPO sangat proaktif

dengan gerakan-gerakan kerakyatan dan sangat respon terhadap isu-isu kekinian

baik lokal, nasional maupun internasional. Dalam segi politik HMI MPO cabang

Palu masih tetap teguh untuk menjaga nilai independensinya, sehingga tidak masuk

pada politik praktis dan lebih menekankan pada upaya korektif. Dalam dunia

perguruan tinggi wacana gerakan HMI MPO relatif bersesuaian dengan wacana

gerakan kemahasiswaan sehingga gerakannya mudah diterima”. (Sumber: Hasil

Wawancara dengan Abdul Majid Irawan pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu

Timur).
93

Berdasarkan pandangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa IMM dan

HMI MPO memiliki tujuan organisasi yang sama yakni membentuk mahasiswa dan

masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Perbedaan yang dimiliki oleh kedua

organisasi ini terletak pada organisasi keislaman. IMM merupakan organisasi

khusus mahasiswa Muhammadiyah sedangkan dalam HMI MPO memiliki

keberagaman organisasi Islam, misalnya Al-Khairat, Muhammadiyah, Nahdatul

Ulama dan ada pula Syi’ah).

“Gerakan HMI MPO masih tetap pada porsinya artinya gerakannya masih

dalam kapasitas sebagai gerakan mahasiswa Islam, gerakan HMI MPO juga

nampak dalam membantu masyarakat khususnya di Kota Palu. Di perguruan tinggi

gerakan HMI MPO perlu ditingkatkan jangan hanya lebih nampak pada kegiatan

training. Dari segi personal kader HMI MPO harus lebih memiliki komitmen untuk

tetap menjaga nilai-nilai independensi, karena kepentingan individu atau personal

kader akan mengakar pada lembaga atau organisasi”. (Sumber: Hasil wawancara

dengan Muhammad Rizal pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur).

Pengurus IMM memandang bahwa yang perlu ditingkatkan oleh HMI MPO

cabang Palu adalah gerakan diperguruan tinggi atau di kampus. Selain itu, dari segi

individu atau person kader HMI MPO harus lebih mencerminkan nilai-nilai

independensi, karena kepentingan individu dalam suatu organisasi akan turut

memberikan implikasi terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu organisasi.

Oleh karena itu, HMI MPO cabang Palu dituntut untuk meningkatkan manajemen

organisasi khususnya upaya mengintegrasikan kepentingan individu/ kader dengan

tujuan organisasi.
94

d. Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi (LMND : Kesamaan Yang Berbeda

LMND merupakan organisasi ekstra kampus yang beridiologikan

Demokrasi Kerakyatan dan senantiasa mengusung pemikiran Karl Marx atau

dikenal dengan kelompok gerakan kiri. Gerakan LMND di Kota Palu sangat

progresif dan kental dengan isu-isu gerakan kerakyatan sesuai dengan tujuannya

menciptakan kehidupan yang sosialis Demokratis. Meskipun berbeda idiologis

dengan HMI MPO kedua organisasi ini tampak memiliki kesamaan, dan kesamaan

tersebut akan dipahami ketika mengamati gerakan yang dilakukan, yakni keduanya

sama-sama progresif, radikal dan konsen memperjuangkan rakyat yang tertindas.

Dalam bagian ini penulis berusaha menguraikan beberapa pandangan LMND

terhadap gerakan HMI MPO cabang Palu.

“HMI MPO dalam melakukan gerakan-gerakannya lebih cenderung kepada

rakyat atau perjuangan rakyat tertindas dan senantiasa melakukan gerakan-gerakan

ektra parlementer. Terdapat titik temu antara HMI MPO dengan LMND, LMND

mengakui organisasi yang bisa jalan sama-sama menyuarakan demokrasi rakyat

hanya HMI MPO. Selama ini LMND dan HMI MPO sering melakukan front-front

gerakan atau aliansi yang sifatnya taktis, menyikapi kebijakan-kebijakan

pemerintah baik lokal maupun nasional terutama yang tidak berpihak kepada

rakyat. Kelemahan HMI MPO adalah mereka lebih menonjolkan politik agamais

misalnya gerakan-gerakan selama ini lebih mengedepankan keagamaan misalnya

menyikapi isu-isu sara dan spesifik Islam, sebenarnya HMI harus memiliki cara

pandang yang universal dan gerakannya haruslah gerakan yang juga menjadi
95

problem masyarakat secara luas”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Aziz Wijaya

pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur).

Berdasarkan pernyataan di atas memang pada dasarnya HMI MPO memiliki

konsep gerakan rakyat yang dikenal dengan perjuangan kaum mustadh’afien atau

perjuangan bagi kaum yang lemah dan terpinggirkan. Perjuangan rakyat

terpinggirkan atau kaum mustadh’afien dalam HMI MPO cabang Palu menjadi

tema sentral kepengurusan mulai dari periode 2001-2002 sampai dengan periode

sekarang. Menurut penulis gerakan yang dilakukan oleh HMI MPO merupakan

gerakan kemanusiaan jadi tidak tersekat oleh aspek internal keagamaan, misalnya

menyikapi tindakan kekerasan dan kejahatan manusia di atas manusia ini berlaku

universal.

“perpecahan yang terjadi ditubuh HMI sehingga menjadi HMI Dipo dan

HMI MPO sebenarnya karena persoalan perbedaan cara pandang terutama dalam

melakukan strategi dan taktik merespon persoalan yang dihadapi rakyat. Dalam

merespon persoalan yang dihadapi rakyat HMI Dipo lebih menonjolkan pada

gerakan-gerakan dengan pendekatan yang sangat birokratis sedangkan HMI MPO

mengambil alternatif gerakan ekstra parlementer. Gerakan birokratis sekarang

sudah tidak bisa dipertahankan lagi akibat dari revolusi 1998 yang gagal, dimana

gerakan mahasiswa saat ini lebih banyak diboncengi oleh orang-orang yang

mengaku revormis padahal bukan revormis”. (Sumber : Hasil wawancara dengan

Ajiz Wijaya pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur).

Pernyataan di atas menjelaskan perbedaan antara HMI MPO dengan HMI

Dipo bahwa HMI MPO dalam gerakannya lebih menekankan pada gerakan yang
96

sifatnya ekstra parlementer atau upaya korektif terhadap pemerintah sedangkan

HMI Dipo lebih menonjol pada gerakan Birokratis atau berusaha akomodatif

dengan pemerintah. Mengenai kelemahan gerakan HMI MPO Cabang Palu

diungkapkan oleh Albar berikut, “Kelamahan gerakan HMI MPO cabang Palu

adalah organisasi tersebut tidak memiliki solusi politik yang jelas terhadap problem

yang dihadapi masyarakat, HMI MPO belum mau terlibat dalam parlemen padahal

untuk memperjuangkan rakyat harus masuk dalam parlemen. Kalau HMI MPO

cabang Palu tidak terlibat dalam politik praktis dan golput sementara LMND

kedepan akan berusaha merespon dan ikut terlibat dalam pemilu dengan

membentuk front yang bisa menyatukan elemen-elemen masyarakat”. (Sumber:

Hasil wawancara dengan Albar pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur)

Berdasarkan pernyataan di atas kelemahan yang dimiliki oleh HMI MPO

cabang Palu adalah pada persoalan solusi politik HMI MPO yang belum jelas. Oleh

karena itu menjadi masukan bagi HMI MPO cabang Palu. Tapi yang perlu

diperjelas ukuran solusi politik antara keduanya beda persepsi. Bagi LMND untuk

mewujudkan kejelasan solusi politik dengan keterlibatan dalam parlemen. Menurut

LMND untuk konteks kekinian memperjuangkan rakyat butuh keterlibatan dalam

parlemen. Bagi HMI MPO cabang Palu kejelasan solusi politik terletak pada usaha

yang dilakukan, sehingga organisasi ini mengusung gerakan ekstra parlementer dan

membatasi pada politik praktis untuk memberikan kebebasan korektif terhadap

pemerintah. Gerakan tersebut dilakukan untuk menghindari sandungan politik

dengan organisasi lainnya dan memberikan kebebasan bagi gerakannya.


97

Letak kesamaan antara HMI MPO dengan LMND adalah kedua organisasi

ini memiliki sikap progresifitas, radikal dan semangat yang tinggi dalam gerakan

memperjuangkan rakyat, tapi kedua organisasi ini berbeda dalam aspek idiologis

yaitu Islam dengan Demokrasi Kerakyatan yang pada dasarnya saling bertolak

belakang karena LMND merupakan organisasi yang berdasarkan pemikiran

Sosialis-Komunis bahkan sejarah telah mencatatnya bahwa diantara kedua idiologi

ini tidak pernah akur dan saling bermusuhan.

e. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI): Pertahankan Toleransi

Beragama

GMKI adalah organisasi ekstra universiter yang konsen dalam menggarap

dunia kemahasiswaan terutama mahasiswa-mahasiswi Kristen. Gerakan jalanan

yang dilakukan oleh GMKI cukup aktif dan sering melakukan front dengan

gerakan-gerakan mahasiswa yang lainnya terutama dalam menyikapi isu-isu dan

kebijakan pemerintah. Bila ditinjau dari segi idiologis, maka antara GMKI dan HMI

MPO sangat jelas perbedaannya karena GMKI adalah organisasi yang

beridiologikan Kristen sementara HMI MPO beridiologikan Islam. Meskipun

organisasi ini memiliki perbedaan idiologi dengan HMI MPO, namun itu tidak

menjadi penghalang bagi kedua organisasi tersebut untuk memperjuangkan rakyat.

Hal itu diwujudkan dengan gerakan jalanan bersama dengan membentuk aliansi

atau front yang sifatnya taktis.

Berikut ini pandangan dari beberapa pengurus GMKI Kota

Palu.“mengamati gerakan HMI MPO cabang Palu hingga saat ini masih cukup

bagus, sebagai elemen gerakan keagamaan HMI MPO tidak terlalu fanatik.
98

Sekarang ini cukup banyak gerakan-gerakan keagamaan Islam yang doktrinnya

sangat agamais dan ekslusif sementara HMI MPO tidak dan organisasi ini mampu

melakukan gerakan dengan masyarakat secara luas dan tidak kaku serta membawa

wacana-wacana perubahan sosial. HMI MPO cabang Palu sangat sensistif dalam

menyikapi kebijakan-kebiajakan pemerintah yang tentunya tidak berpihak kepada

rakyat. GMKI dan HMI MPO cabang Palu selama ini jika ditinjau dari segi

hubungan komunikasi cukup baik, bahkan pengurus GMKI pernah di undang

diskusi dan membentuk front untuk melakukan aksi turun kejalan”. (Sumber: Hasil

wawancara dengan Amus pada tanggal, 1 Agustus 2006 di Palu Timur).

GMKI memandang HMI MPO cabang Palu dalam melakukan gerakan tidak

kaku dan dan tidak fanatik. Hal itu dikarenakan HMI MPO adalah oraganiasasi

mahasiswa Islam yang di dalamnya memiliki pemikiran Islam modern. Pemikiran

Islam modern yang dimaksud HMI MPO dari segi gerakannya termotivasi oleh

semangat pemikiran yang digagas oleh para pemikir-pemikir Islam modern seperti,

Mohammad Abduh, Jamaluddin Al’afghani, Rasyid Ridha, Moh. Ikbal dan lain

sebagainya. Sehingga dalam melakukan gerakannya HMI MPO cabang Palu tidak

ekslusif dan fanatik bahkan melibatkan komponen masyarakat yang lainnya.

Jaringan bagi HMI MPO sangat diutamakan karena untuk mencapai perubahan

tidak dapat dilakukan secara sepihak tapi membutuhkan banyak komponen.

“Gerakan HMI MPO harus tetap komitmen untuk memperjuangkan

masyarakat secara luas, sekarang banyak organisasi pergerakan Islam yang sangat

berambisi untuk mendirikan Negara syariat Islam akan tetapi mereka tidak

memahami kalau kemerdekaan yang selama ini dirasakan itu melibatkan banyak
99

komponen masyarakat bukan hanya kelompok Islam”. (Sumber: Hasil wawancara

dengan Rosalita dan Yanmer pada tanggal, 2 Agustus 2006 di Palu Timur).

Berdasarkan pernyataan di atas tidak salah kalau HMI MPO

memperjuangkan masyarakat luas karena asas organisasi Islam merupakan

rahmatan lil’alamin atau untuk alam semesta tapi HMI MPO memiliki cita-cita

untuk menegakan syari’at Islam, karena organisasi ini memiliki komitmen yang

tinggi terhadap Islam, olehnya pada periode 2000-2001 diamanahi tema tentang

pemberlakuan Syariat Islam. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari

perjuangan secara agamis dan umat Islam memiliki kontribusi yang sangat besar

oleh karena itu dirumuskan Piagam Jakarta sebagai konsekuensi perjuangan

meskipun harus rela merubahnya karena kebesaran hati para pejuang-pejuang

muslim.

G. Masa Kini dan Mendatang HMI MPO Cabang Palu : Catatan-Catatan


Penting

1. Realitas Masa Lalu

Pada bagian ini penulis menguraikan kondisi HMI MPO cabang Palu

pada masa yang lalu. Masa lalu yang dimaksud mulai dari awal berdirinya tahun

1997 sampai tahun 2000 atau dari periode pimpinan Andi Ridwan dan Sudirman

Zuhdi. Periode kepengurusan awal (1997-1999) HMI MPO cabang Palu

dipimpin oleh Andi Ridwan Adam. Periode Andi Ridwan Adam ini adalah satu-

satunya pimpinan yang menjabat selama dua tahun, karena pada masa itu masih

dalam upaya peneguhan dan pengembangan organisasi. Kepengurusan di isi oleh

para aktivis gerakan dan pentolan-pentolan HMI cabang Palu yang memiliki
100

semangat perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru. Kader-kader HMI pada

masa itu merasa senang karena telah memiliki wadah yang strategis untuk

melakukan perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru, yang sebelumnya hanya

dapat bergerak dibawah tanah dan bergabung dengan kelompok gerakan-gerakan

yang memiliki kesamaan semangat perlawanan terhadap Orde Baru.

Pengurus pada masa awal memiliki Kesolidan yang tinggi dan personal

kepengurusan siap menerima amanah. Pada periode ini untuk mencari figur

Ketua umum atau pimpinan HMI sangat sulit sehingga untuk pemilihan Ketua

Umum dilakukan secara musyawarah. HMI MPO cabang Palu pada masa itu

selalu menjadi kelompok terdepan bersama lembaga intera kampus dalam

melakukan gerakan menyikapi kebijakan pemerintah. Hal itu dikarenakan para

pengurus HMI MPO cabang Palu banyak menempati jabatan strategis pada

lembaga intera kampus.

Andi Ridwan Adam sebagai pimpinan pada masa itu adalah mantan ketua

senat mahasiswa Untad, Ridha Saleh yang juga masuk dalam kepengurusan

adalah mantan ketua senat mahasiswa Untad. Pada masa periode 1999-2000,

Sudirman Zuhdi selain sebagai aktivis lembaga dakwah kampus juga pernah

menjabat sebagai sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Untad.

Periode Sudirman Zuhdi, sekretaris umum dipegang oleh Temu Sutrisno

mahasiswa yang aktif pada lembaga dakwah kampus, pengurus Upim, dan ketua

Taman Pengajian Hizbullah Fakultas Teknik Untad. Ketua bidang PTK dipegang

oleh Dedi Irawan pada saat itu menjabat sebagai ketua Badan Eksekutif

Mahasiswa FKIP Untad”.


101

Bardasarkan uraian di atas dapat dicermati bahwa orang-orang yang

duduk dalam kepengurusan periode awal terdiri dari para aktivis kampus dan

menduduki jabatan-jabatan strategis dalam lembaga intera kampus, sehingga

mempermudah dalam melakukan gerakan di kampus terutama dalam

menggulirkan ide-ide dan gagasan. Oleh karena itu, Gerakan HMI MPO menjadi

ikon bagi gerakan lembaga-lembaga kemahasiwaan baik intera kampus maupun

ekstra kampus.

Program kerja kepengurusan awal menitik beratkan pada kampanye

mengenai keberadaan HMI MPO cabang Palu dan rekrutmen kader. Periode

Sudirman Zuhdi juga memiliki dua bidang garapan yakni pengembangan

jaringan dan rekrutmen kader. Kepengurusan awal masih dalam tahapan

pembenahan infra struktur dan kampanye mengenai keberadaan HMI MPO,

penguatan jaringan, serta pada persoalan rekrutmen kader. Penguatan jaringan

dimaksudkan agar HMI MPO cabang Palu dapat melakukan gerakan dengan

komponen masyarakat yang lain. Rekrutmen kader menjadi fokus utama pada

saat itu karena ketersediaan kader-kader HMI MPO masih minim.

Persoalan administrasi pada periode ini tidak berjalan sebagaimana

mestinya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam panduan

kesekretariatan. Pengarsipan tidak berjalan dengan kondusif sehingga banyak

dokumen-dokumen yang tercecer, karena sering pindahnya sekretariat. Sampai

sekarang HMI MPO cabang Palu mengalami tujuh kali pindah. Kemapanan

administrasi terjadi pada masa kepengurusan Sudirman Zuhdi dengan Sekretaris

Umumnya Temu Sutrisno. Akan tetapi, masih banyak yang tercecer karena
102

diakibatkan oleh persoalan yang sama. Administrasi dan pengarsipan secara

bagus dan mapan dilakukan pada masa periode Abdul Haris Abdullah dengan

Sekretaris Umum Bunyamin Mukhtar sampai periode sekarang.

2. Kondisionalitas HMI MPO cabang Palu

Evaluasi terhadap kondisi HMI MPO cabang Palu pada bahagian ini lebih

ditekankan pada kondisi sekarang, yaitu periode kepengurusan tahun 2005-2006,

dibawah kepemimpinan Hariman Podungge. Pada konteks kehidupan mahasiswa

sekarang secara umum mengalami perubahan paradigma (cara berfikir).

Perubahan yang dimaksud adalah mahasiswa saat ini lebih cenderung pada

pemikiran yang sifatnya pragmatis dan hedonis. Berfikir pragmatis maksudnya

segala aktivitas dilakukan selama sesuai dengan kepentingannya atau bisa

menghasilkan keuntungan, sedangkan Hedonis adalah suatu perbuatan yang

lebih menonjolkan aktivitas kesenangan yang berlebihan. Mengenai kondisi

kemahasiswaan saat ini, apa yang diungkapkan oleh Dawam Raharjo (dalam

Harian Pelita tanggal 20 September 1990), masih sejalan dengan kondisi

kemahasiswaan sekarang ini, ia memberikan penilainnya sebagai berikut :

Atmosfir pemikiran dan orientasi yang tercipta kini dalam kemahasiswaan


adalah orientasi yang cenderung pragmatis. Semua dinilai dengan efisiensi
dan efektifitas berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi. Kegiatan intelektual
tidak lagi begitu menarik dikalangan mahasiswa.

Pernyataan Dawam Raharjo di atas pada dasarnya sesuai dengan kondisi

kehidupan mahasiswa sekarang, hal itu akan terlihat dengan kehidupan

mahasiswa dewasa ini, mereka enggan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang

sifatnya intelektual, contoh kecilnya mereka tidak mau mengikuti undangan


103

diskusi, kajian atau seminar. Perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi

keadaan tersebut dengan melakukan counter/menangkal budaya dan paradigma

barat yang masih menghegemoni kehidupan kampus, sehingga perannya sebagai

penyelenggara pendidikan tinggi dapat terlaksana secara substansif.

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kondisi perguruan tinggi saat ini

bisa dikatakan gagal karena tidak mampu melakukan counter cultur dan

penetrasi kultur dalam kehidupan perguruan tinggi terutama kemahasiswaan.

Akhirnya sebagai konsekuensi banyak mahasiswa yang lebih menonjolkan

pemikiran dan gaya hidup posmo/gaya hidup postmodernisme yang diusung oleh

neoliberalisme. Dengan kondisi seperti itu maka sikap dan peran mahasiswa

sebagai agen of change dalam masyarakat menjadi kabur dan tidak bermakna.

Kondisi perguruan tinggi sangat menentukan semangat mahasiswa

dalam berorganisasi selama perguruan tinggi tersebut mampu menciptakan

suasana yang memberikan keleluasaan dan kebebasan mahasiswa untuk

mengembangkan diri. Seharusnya, organisasi kemahasiswaan di perguruan

tinggi diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa,

sebagaimana diperkuat dengan diundang-undangkannya UUSPN Nomor 2

Tahun 1989, PP Nomor 30 Tahun 1990 dan dijabarkan lebih lanjut dalam SK

Mendikbud Nomor 045/0/1990, pada garis besarnya sebagai berikut :

1. organisasi kemahasiswaan diperguruan tinggi merupakan wahana dan sarana


pengembangan diri mahasiswa kearah perluasan wawasan dan peningkatan
kecendekiawanan serta integritas kepribadian mahasiswa.
2. organisasi kemahasiswaan juga merupakan wadah pengembangan kegiatan
ekstra kurikuler mahasiswa diperguruan tinggi yang meliputi ;
pengembangan penalaran, dan keilmuan, minat dan kegemaran, upaya
perbaikan kesejahteraan mahasiswa di perguruan tinggi, dan bakti sosial
104

mahasiswa kepada masyarakat. (DEPDIKBUD, Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi, 1996 :68-69).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan

suatu organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi sangat menentukan

pengembangan diri mahasiswa baik dari segi intelektual, dan intergritas

kepribadian mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan juga berperan bagi

mahasiswa dalam hal ini sebagai sarana pengembangan penalaran, wawasan

keilmuan, sehingga mahasiswa menjadi sadar akan tugasnya dalam kehidupan

masyarakat. Oleh karena itu perguruan tinggi harus memberikan keleluasaan

terhadap mahasiswa dalam menjalankan roda organisasi dengan prinsip dari,

oleh, dan untuk mahasiswa, sehingga tercipta hubungan mitra dan dialogis antara

dosen dengan mahasiswa, selain itu juga tercipta otonomi keilmuan, kebebasan

akademik dan mimbar akademik.

Kenyataan saat ini terdapat kebijakan perguruan tinggi yang justru

membuat mahasiswa menjadi enggan untuk berorganisasi, misalnya satuan

kredit semester (SKS) yang padat kuliah akhirnya membuat sebagian besar

mahasiswa kurang semangat dalam keterlibatannya pada organisasi, mereka

lebih konsentrasi terhadap agenda akademiknya atau hanya kuliah dapat ijazah,

tanpa memiliki tanggungjawab keilmuan, walhasil mahasiswa menjadi takut

untuk masuk dan aktif dalam organisasi karena hal itu akan merusak nilai Indeks

Prestasi Komulatif (IPK) nantinya. Hal mengenai SKS di atas nampaknya

memang tidak dapat dihindari karena merupakan kebijaksanaan yang digulirkan

oleh birokrasi perguruan tinggi.


105

Melihat kondisi kemahasiswaan seperti di atas, maka organisasi-

organisasi saat ini, terutama HMI MPO cabang Palu harus berani melakukan

otokritik, mengajukan sebuah pertanyaan ada apa dengan para mahasiswa,

mengapa mereka cenderung untuk tidak terlibat dalam organisasi dan memahami

substansi kemahasiswaannya, hal itu mungkin saja bisa berasal dari diri

organisasi tersebut, misalnya selama ini organisasi-organisasi tersebut tidak

mampu berkampanye dan mensosialisasikan dirinya sehingga dapat menarik

minat dan keberadaannya tidak membuat jenuh para kalangan mahasiswa atau

organisasi tersebut ataukah selama ini tidak pernah melakukan suatu gerakan

melalui kegiatan-kegiatan yang dapat menyentuh dan sesuai dengan kebutuhan

para mahasiswa pada umumnya. Kalau suatu organisasi bisa memberikan

tawaran perubahan yang lebih baik, mahasiswa pasti akan memiliki

kecenderungan terlibat dalam organisasi.

Melihat Kondisionalitas HMI MPO cabang Palu sekarang, tampak disatu

sisi mengalami peningkatan, seperti orang-orang yang duduk dalam

kepengurusan terdiri dari orang-orang yang progresif, dalam kepengurusan juga

sangat sensitif dalam melakukan korektif terhadap kebijakan-kebijakan

pemerintah baik lokal maupun nasional hal itu dapat dilihat dari seringnya aksi

di Kota Palu, menyikapi isu-isu dan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai

dengan hati nurani masyarakat, namun masih ada yang belum maksimal dan

perlu ditingkatkan lagi seperti dalam kerja-kerja kepengurusan dari tingkat

cabang sampai komisariat. Kondisi HMI MPO cabang Palu sekarang senada

dengan apa yang diungkapkan oleh Arruji Rakhmat (1992) sebagai berikut :
106

Permasalahan yang dihadapi oleh HMI Cabang Palu kini adalah


lemahnya institusi Cabang dan Komisariat dengan kecenderungan tidak
mengakar lagi di kampus, sehubungan dengan semakin lajunya arus
globalisasi yang di dalamnya sangat dituntut kompetisi kualitas, maka
HMI harus mampu mengantisipasi kondisi yang dihadapinya sekarang
sehingga HMI Cabang Palu dapat memainkan perannya.

Pernyataan Arruji Rakhmat di atas masih sejalan dengan kondisionalitas

sekarang terbukti dengan masih lemahnya kerja-kerja kepengurusan baik Cabang

maupun tingkatan Komisariat yang ada di beberapa perguruan tinggi. Hasil Pleno

III tanggal 2 Juli 2006, bisa menjadi refleksi kondisi kepengurusan sekarang.

Satu permasalahan kalasik yang secara umum muncul dalam setiap priode

kepengurusan seperti adanya sebagian pengurus dan kader yang lebih

mementingkan agenda akademiknya sehingga kerja-kerja dalam kepengurusan

terbengkalai. Bidang pembinaan aparat kader belum maksimal dalam melakukan

kerja-kerjanya hal ini dapat dilihat dengan masih perlu ditingkatkan kesolidan

antar pengurus dan kader, silaturahmi komisariat (silakom) sebagai sarana untuk

merekatkan hubungan dan silaturahmi antar pengurus dan kader atau cabang

dengan komisariat perlu diintensifkan lagi. Begitupula halnya dengan bidang

pengembangan intelektual dan budaya (Indbud) sebagai bidang yang sangat

berperan dalam pengembangan tradisi ilmiah dan intelektual perlu bersemangat

lagi dalam merumuskan strategi pendampingan intelektual kader misalnya

melakukan pemetaan terhadap wacana-wacana yang dibutuhkan kader, kajian-

kajian dan diskusi di sentrum kajian perlu di hidupkan kembali sehingga

hubungan emosional kader dan mahasiswa pada umumnya tetap terjaga. Bidang

perguruan tinggi dan kemahasiswaan (PTK) masih perlu melakukan penguatan

jaringan dengan organisasi-organisasi intera kampus dan lebih mengintenskan


107

lagi komunikasi dengan institusi kantong sebagai sayap pengemban gagasan dan

perjuangan HMI di kampus.

KOHATI adalah lembaga khusus yang bertugas mengurusi masalah-

masalah keperempuanan/kemuslimahan, tapi lebih nampak upaya mereka untuk

mensosialisasikan program-programnya, khususnya dibidang pengembangan

wawasan. KP yang memiliki tanggung jawab dalam proses perkaderan perlu

meningkatkan pengembangan kwalitas pengader terutama lebih memaksimalkan

lagi pengelolaan Senior Course (SC) dan follow up bagi lepasan SC tersebut

sehingga setiap pengader dapat mengetahui betul tugas dan tanggung jawab

sebagai pengader.

Di tingkat komisariat, saat ini sangat nampak kepasifannya, misalnya

terkadang pengelolaan LK I diambil alih oleh cabang dengan alasan-alasan

tertentu. Komisariat-komisariat yang ada hanya memiliki keunggulan secara

kuantitas jumlah anggota dan kader namun dari segi kualitas kader komisariat

yang aktif terlibat dalam kepengurusan bisa dikatakan sangat minim, hal itulah

yang menyebabkan tidak berkembang dan tidak maksimalnya pelaksanaan

program-program kerja kepengurusan. Kelemahan komisariat yang lain adalah

dalam persoalan rekrutmen kader, sehingga banyak mahasiswa yang memiliki

bakat dan potensi akademik serta kepemimpinan yang baik tidak sempat

terpantau dan terekrut kedalam anggota/kader HMI MPO, selain itu masih

terdapat pengurus komisariat yang belum memahami job deskription atau

pembagian kerja sehingga mereka masih kebingungan dalam melakukan kerja-

kerjanya.
108

Pelaksanaan perkaderan secara formal melalui LK I memang dilakukan

oleh komisariat namun hasil dari LK I yang dilakukan oleh komisariat-

komisariat selama ini tidak dapat berbuat banyak. Hal itu disebabkan oleh tidak

rutinnya pelaksanaan folow up training sebagai media dalam mematangkan

wacana-wacana ke HMI-an bagi para kader baru, sehingga mereka tidak

memahami konstitusi dan tidak memiliki ikatan emosional dengan HMI. Faktor

lain yang mengakibatkan lemahnya komisariat adalah kurangnya pendampingan

intelektual di kalangan pengurus dan kader komisariat sehingga pengembangan

wacana ke-HMI-an dan tradisi ilmiah sangat sulit diharapkan, bahkan hal itulah

yang membuat banyak kader yang lepas atau keluar dari jamaah.

Salah satu faktor yang penting dan urgen bagi keberadaan suatu organisasi

adalah ketersediaannya sekretariat sebagai pusat informasi dan sentral aktivitas

organisasi. HMI MPO cabang Palu dari kepengurusan awal hingga sekarang

ternyata belum memiliki sekretariat secara penuh, maksudnya adalah hingga

sekarang masih harus menyediakan dana yang cukup besar untuk membayar

sewa kontrak setiap tahunnya. Begitu juga dengan komisariat-komisariat yang

ada juga mengalami persoalan yang sama yakni tidak tersedianya komisariat

tetap sehingga terkadang masih numpang dengan sekretariat cabang kalau tidak

di Mushollah kampus.

Pendanaan dalam suatu organisasi sangatlah dibutuhkan untuk kelancaran

pelaksanaan program kerja. Mengenai persoalan dana bagi HMI MPO cabang

Palu sudah menjadi persoalan yang sangat klasik, hingga sekarang belum

memiliki sumber dana mandiri, melainkan harus tetap bersabar dan prihatin
109

menulis proposal dan menyodorkan kepada simpatisan yang sifatnya tidak

mengikat, sehingga hal ini yang biasanya mengakibatkan tidak terlaksananya

beberapa program kerja.

3. Bercermin Dari Sejarah, Menuju Masa Depan

Dalam dispilin ilmu sejarah masa lalu, masa kini dan akan datang adalah

tiga dimensi waktu yang tidak dapat dipisahkan. Masa kini merupakan produksi

masa lalu, demikian selanjutnya masa yang akan datang adalah reproduksi dari

masa kini. Dalam bagian ini penulis akan mencoba memprediksikan masa depan

HMI MPO cabang Palu dengan berpijak pada kondisi HMI MPO cabang Palu

sekarang.

HMI MPO adalah bahagian integral dari umat Islam dan bangsa

Indonesia, oleh karena itu akan berjalan pada ruang dan waktu yang sama. Arus

globalisasi yang semakin deras, kemajuan sain dan teknologi khususnya

komunikasi yang tak terelakan membawa dampak positif dan negatif dengan

berbagai konsekuensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya

mempersiapkan diri dalam menapaki kehidupan masa depan terkadang tidak

akan dapat tercapai jika itu hanya dilakukan dengan melihat kecenderungan

sendiri, akan tetapi yang harus diperhatikan adalah mempertimbangkan

kecenderungan yang muncul di dunia lain. Mengenai kecenderungan keluar

Ketua Umum PB HMI, Cahyo Pamungkas dalam laporan

pertanggungjawabannya di Kongres HMI ke-25 pada tanggal 13 sampai 20

Agustus 2005 di Palu, Sulawesi Tengah menjelaskan sebagai berikut :


110

Jaringan adalah bentuk-bentuk hubungan HMI dengan organisasi-


organisasi, lembaga-lembaga, dan pihak-pihak di luar HMI.
Pembangunan jaringan sangat diperlukan dalam HMI karena pada
dasarnya tujuan HMI tidak akan pernah dapat diwujudkan jika hal itu
hanya dilakukan oleh kerja-kerja HMI semata. HMI adalah bagian dari
lingkungan masyarakat lokal, nasional, maupun internasional. Jaringan
pada tingkat nasional juga perlu dibangun sebaik mungkin untuk
meneguhkan eksistensi HMI pada tingkat nasional. Sementara jaringan di
tingkat internasional dibentuk untuk mewujudkan asas-asas universalitas
Islam.

HMI MPO cabang Palu sebagai organisasi beridentitaskan perkaderan

dan perjuangan tentunya sudah harus cerdas melihat kenyataan ini.

Sesungguhnya pada diri HMI MPO cabang Palu memiliki lima potensi yang

utama serta dapat digunakan dalam menapaki masa depannya. (1), tersedianya

stok kader yang terpenuhi lewat kontinuitas perkaderan dimana anggota atau

kader adalah mahasiswa yang secara tidak langsung dapat mewakili masyarakat

ilmiah Indonesia. (2), sikap independensi yang tetap terjaga sebagai karakteristik

dasar HMI secara umum. Sehingga leluasa dalam mengaktualkan ide-ide

maupun praksis gerakan, tanpa harus merasa takut untuk mengambil sikap dan

tergantung kepada individu atau kelompok lain. (3), kultur himpunan yang tegak

dalam proses intelektualitas dan moralitas. (4), militansi perjuangan yang

tumbuh berkembang secara bersama dalam intelektual dan moralitas kader. (5),

bukan organisasi massa, melainkan berorientasi pada pembinaan kader.

Belum maksimalnya kerja-kerja kepengurusan baik ditingkat cabang

maupun komisariat pada HMI MPO cabang Palu, maka dapat disimpulkan

bahwa untuk mengembangkan potensi pertama diatas belum dapat dilaksanakan

secara maksimal. Oleh karena itu, mapannya institusi cabang dan komisariat

akan memungkinkan peningkatan kualitas intelektual dan moral kader.


111

Peningkatan kualitas kader merupakan tuntutan sekaligus peluang bagi HMI

pada umumnya, apalagi dalam hal peningkatan kualitas sudah merupakan tema

sentral bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi sekarang ini.

HMI MPO cabang Palu sebagai bahagian yang integral dari umat Islam

dan bangsa Indonesia, maka alternatif satu-satunya yang harus ditempuh adalah

tetap mengedepankan faktor kualitas intelektual dan moral kadernya. Disamping

itu, HMI MPO cabang Palu harus serius dalam melakukan gerakan dan upaya

peningkatan kualitas kader-kadernya, sehingga gerakan-gerakan yang dilakukan

oleh HMI MPO cabang Palu akan diperhitungkan dan senantiasa menjadi faktor

perubahan khususnya di kota Palu. Begitu juga dengan tujuan dan cita

masyarakat yang ingin dicapainya semua itu akan terwujud jika proses kaderisasi

mengedepankan kualitas kader.

4. Tantangan Gerakan HMI MPO Cabang Palu

Dalam kehidupan ini pasti tidak akan pernah luput dari yang namanya

tantangan karena dengan tantangan itulah pada dasarnya terdapat pelajaran yang

akan menuju pada tataran yang lebih baik lagi. Begitupula halnya dengan

gerakan HMI MPO cabang Palu juga tidak luput dari tantangan tersebut, dalam

bagian ini penulis akan mencoba memetakakan beberapa tantangan yang kiranya

mulai dari sekarang dan kedepan perlu dipikirkan oleh jamaah HMI MPO cabang

Palu agar eksistensi dan gerakan organisasi ini kedepan akan lebih populis

terutama dalam upaya mencapai tujuan dan cita masyarakat HMI yang
112

diidealkan. Adapun tantangan gerakan HMI MPO cabang Palu berasal dari

internal dan eksternal.

a. Tantangan Internal

1. Design struktur organisasi, tuntunan organisatoris HMI MPO cabang Palu

adalah untuk memiliki out put gerakan yang dapat dilihat secara real dan

mengakomodir segenap potensi dan kecenderungan kader, hal itu tentunya

mensyaratkan design struktur organisasi yang relevan dengan kepentingan

tersebut. Oleh karena itu maka perlu ada lembaga kekaryaan sebagai

alternatif untuk menjembatani kebutuhan ini sampai terjadi perubahan

design struktur organisasi secara nasional.

2. Maksimalisasi perkaderan, tumpuan gerakan HMI MPO cabang Palu

adalah pada dimensi perkaderan. Sehingga, maksimalisasi perkaderan

sesungguhnya berbanding lurus dengan capaian gerakan yang

dikehendaki. Realitas perkaderan selama ini terkesan belum

mengapresiasi secara maksimal terhadap model perkaderan aktivitas dan

jaringan kiranya mesti mendapat aksentuasi positif kedepan.

3. Kondisi personal kader, kondisi personal kader sebagai sesuatu yang sukar

terpisahkan dari dinamika HMI MPO cabang Palu menjadi salah satu

tantangan yang mesti mendapatkan perhatian untuk dikelola secara arif,

karena cukup menyulitkan langkah organisatoris dalam mencapai

tujuannya. Kondisi personal ini kerap kali dipengaruhi oleh background

kader sebelum masuk dan tidak bisa habis terkikis secara keseluruhan.
113

4. Kemandirian ekonomi, kesulitan yang sering kali dihadapi oleh HMI

MPO cabang Palu adalah kemandirian ekonomi organisasi, hal ini

berimplikasi logis terhadap maksimalisasi kinerja di masing-masing

substruktur pimpinan baik pada kampanye ide-ide HMI maupun pada

agenda-agenda yang bersifat praksis dan secara eksternal menimbulkan

ketergantungan kepada pihak atau kelompok tertentu. Oleh Karena itu,

harus ada ikhtiar untuk menggali potensi ekonomi yang dapat dikelola

secara mandiri.

b. Tantangan eksternal

1. Pluralitas ideologi dan mahzab, keberagaman ideologi non-Islam dan

mahzab secara internal dalam tubuh umat Islam, senantiasa berkembang

menjadi satu tantangan umat Islam dalam mewujudkan visi sosialnya.

Keberagaman ideologi non Islam, terutama yang bersumber dari ideologi

materialisme telah menyeret masyarakat kepada pendefinisian makna

hidup yang sesat. Di samping itu, pluralitas mahzab dalam tubuh umat

Islam sayangnya terpola dalam bingkai pemahaman yang fantatis,

sehingga alih-alih positif, justru berpotensi untuk melemahkan gerakan

umat Islam.

2. Sistem dan visi politik, sistem dan visi politik lokal yang belum

menunjukan perubahan signifikan di era otonomi daerah, bahkan akan

cenderung kontra produktif dan menutup ruang gerak HMI cabang Palu

untuk bergerak di wilayah publik. Sistem dan visi politik yang tetap

bersandar kepada logika dasar yang berlaku secara nasional dan


114

ketidakmampuan pemerintah lokal untuk menggali local content

menjadikan tata pemerintahan berjalan tanpa memiliki orientasi yang

jelas dan tentunya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

3. Realitas pendidikan, masih terdapat realitas konsepsional dan

implementasi pendidikan yang tidak mendapatkan sentuhan ide-ide baru

dan keluar dari filosofi dasarnya, akhirnya terjadi pereduksian substansi

dari pendidikan yang sebenarnya, ini akan turut menyulitkan bagi HMI

MPO cabang Palu untuk melakukan konsolidasi paradigma, orientasi,

strategi dan praksis gerakan dengan setiap elemen gerakan yang berbasis

dunia pendidikan.

4. Budaya lokal, di masyarakat kota Palu masalah feodalisme dan

sektarianisme masih kelihatan kental dan itu merupakan tantangan yang

amat berat terutama dalam melakukan transformasi gagasan apalagi

menggunakan kultur lokal sebagai basis sosiologis untuk

mengkonsolidasi kesadaran kritis masyarakat. Untuk itu, harus ada upaya

mengikis akar feodalisme dalam kultur lokal sembari memperkenalkan

gagasan-gagasan yang bersifat pembaharuan (rasional/intelektual)

kemasyarakat luas.

Pemetaan Tantangan gerakan diharapkan dapat memberikan kontribusi

bagi pihak HMI MPO cabang Palu nantinya, terutama sebagai referensi

organisatoris untuk mengkalkulasi potensi dan energi internal, serta

mensiasati tantangan yang berkemungkinan akan menghambat maksimalisasi

gerakan.internal dan eksternal. Sehingga kedepan HMI MPO cabang Palu


115

tetap konsisten dalam melakukan gerakan perubahan, baik dalam dunia

perguruan tinggi, kemahasiswaan maupun masyarakat kota Palu pada

khususnya.

Anda mungkin juga menyukai