Anda di halaman 1dari 131

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN

KEMBALI HARTA SESERAHAN PASCA PERCERAIAN


(Studi Kasus di Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan
Kabupaten Brebes)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syariah

Oleh:

Sulaeman Jazuli
082111037

JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH


FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

ii

iii

MOTTO
4
u
9 #$ u
O }
M #$ ?n
t #( u $y ?s
u (
3 u )
G 9#$ u h 9 9 #$ ?n
t #( u $y ?s u
>
$)
s 9 #$


x !
#$
) ( !
#$ #( )
? #$ u
"Dan
Dan tolongtolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolongtolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksasiksa-Nya."
Nya.
(AlAl-Maidah: 2)
2)

     

Saling memberi hadiahlah kamu, karena sesungguhnya hadiah itu
dapat mencabut rasa dendam
dendam
(Al(Al-Hadis)

 
Saling memberi hadiahlah kamu,
niscaya kamu akan saling mencintai
(Al(Al-Hadis)

iv

Persembahan
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk
 Bapak Miftahudin dan Ibu Rohati.
 Kakakku tercinta kak Saeful Mukarom.
 Tetehku terkasih Nur Rohmah dan kak Masruhan
 Adekq tersayang dede Himatul Aliyah (Aliya)
 Kelurga besar Bani Brata Wijaya
 Adeq Nanda yang telah memberikan motivasi tuk menyelesaikan
skripsi ini
 Keluarga besar pondok Pesantren Al-Marufiyah Bringin Wetan
 Keluarga

Besar

Pondok

Pesantren

Miftahul

Huda

Sindangjaya

ketanggungan Brebes
 Keluarga BINORA Fakultas Syariah IAIN WS Semarang
 Guru-guruku yang telah mengajari penulis dari berbagai dimensi
kebenaran
 Almamaterku Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
 Temen-temen Kos Karonseh Selatan X RT 07 RW 06 Ngaliyan

Mudah-mudahan ini menjadi baktiku bagi semuanya. Amiiiiiin.

ABSTRAK
Dalam masyarakat pedesaan yang sangat erat dengan nilai-nilai tradisi, perkawinan
tidak hanya dilakukan dengan tata cara atau peraturan sesuai dengan ketetapan agama. Salah
satu yang terpenting dalam penyelenggaraan sebuah perkawinan adalah adanya mahar.
Desa Sindangjaya yang menjadi lokasi penelitian skripsi ini, selain pemberian
mahar juga ada seserahan yakni pemberian dari calon suami kepada calon isteri berbentuk
barang-barang perlengkapan rumah tangga mulai lemari, dipan/ tempat tidur, kursi dengan
meja, lemari hias, dan sebagainya. Barang-barang ini dibawa ke rumah pihak mempelai
perempuan pada saat penyelenggaraan pernikahan. Seserahan ini dipastikan selalu ada di
hampir semua perkawinan yang berlangsung di Desa Sindangjaya. Seserahan ini tidak
disebutkan dalam prosesi Ijab Qabul seperti halnya mahar tetapi keberadaannya diketahui
semua orang sebagai sebuah tradisi yang dianggap wajib bagi yang mampu. Harta
seserahan ini akan di tarik kembali walaupun sudah campur (dukhul) dan di bagi dua ketika
pernikahan mereka (suami isteri) berakhir dengan perceraian dan belum dikaruniani
keturunan. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana proses dan tradisi
penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang ada di Desa Sindangjaya? Dan
bagaimana pandangan hukum Islam terhadap penarikan kembali harta seserahan pasca
perceraian yang terjadi di Desa Sindangjaya?
Metode penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (field research). Pengumpulan
data menggunakan metode observasi dan mencari data-data yang diperlukan dari obyek
penelitian yang sebenarnya. Setelah mendapatkan data yang diperlukan, maka data tersebut
dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tradisi penarikan kembali harta seserahan pasca
perceraian di Desa Sindangjaya adalah adat yang sudah dilaksanakan dari jaman dahulu. Adat
ini dikenal oleh masyarakat Sindangjaya dan sebagian besar melaksanakan adat ini. Proses
penarikan kembali harta seserahan ini dengan cara kekeluargaan dan musyawarah, dari pihak
keluarga suami mendatangi pihak keluarga isteri dan membagi harta seserahan. Tradisi yang
ada di Desa Sindangjaya ini menurut Islam adalah urf yakni segala sesuatu baik berupa
perkataan atau perbuatan yang dilaksanakan masyarakat secara berulang-ulang dan dikenal
oleh semua masyarakat. Urf atau tardisi yag ada di Desa Sindangjaya termasuk urf amali dan
khas karena urf tersebut berupa perbuatan masyarakat dan hanya ada di Desa Sindangjaya.
Tradisi ini juga termasuk pemberian bersyarat karena harta seserahan menjadi milik isteri
sepenuhnya apabila pernikahannya rukun, abadi dan mendapatkan keturunan.
Melihat praktek yang demikian maka dapat disimpulkan bahwa tradisi yang ada di
Desa Sindangjaya boleh dilaksanakan karena tidak bertentangan dengan dalil syara dan tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Kata Kunci: Tradisi, Perkawinan

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kesadaran, ketulusan, kejujuran,


serta rasa tanggung jawab terhadap pengembangan
keilmuan akademik, maka dengan ini penulis
menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya
penulis sendiri. Adapun tulisan orang lain yang ada
di dalamnya hanya sekadar dijadikan refrensi dan
sumber rujukan.

Semarang, 15 Juni 2012


Deklarator

Sulaeman Jazuli
NIM: 082111037

vii

KATA PENGANTAR
Bismillahirramanirrahim
Maha suci Allah, yang telah melimpahkan nikmat kekuatan fisik, spiritual
maupun intelektual, sehingga penulisan skripsi yang cukup berat nan
melelahkan ini dapat terselesaikan. Tanpa semua nikmat-Nya, tentu saja tulisan
ini tidak akan pernah mengenal kata selesai. Sebab, hanya dengan rida-Nya
pula setiap kesulitan hidup di muka bumi dalam pelbagai dimensinya akan
selalu dapat ditemukan solusinya. Shalawat serta salam senantiasa teriring pada
pemimpin besar revolusi Islam, Sayyid al-Mursalin wa Khair al-Anbiya wa
Habib ar-Rab al-Alamin, Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para
pengikut setianya.
Sebagai sebuah produk penelitian, skripsi ini tentunya melibatkan
partisipasi banyak pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung
dalam membantu mempermudah kesulitan-kesulitan yang penyusun alami.
Sejujurnya, bagi penyusun, tugas pengerjaan skripsi ini sangatlah
melelahkan. Tidak saja dari aspek finansial, tetapi juga aspek intelektual yang
terus-menerus diforsir. Oleh sebab itu, sangatlah layak jika skripsi ini tidak
lepas dari berbagai kekurangan, walaupun penyusun telah berusaha semaksimal
mungkin mencurahkan semua tenaga dan pikiran untuk dapat dipersembahkan
dengan penuh kualitas. Meskipun demikian, skripsi sederhana ini tidak akan
rampung tanpa bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Maka, ijinkanlah
terima kasih sedalam-dalamnya penyusun haturkan kepada:
1.

Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag Rektor IAIN Walisongo Semarang.

2.

Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.

3.

Bapak H. Abd. Ghofur, M.Ag Pembantu Dekan I Fakultas Syariah IAIN


Walisongo Semarang.

4.

Bapak Muhammad Saefullah, M.Ag Pembantu Dekan II Fakultas Syariah


IAIN Walisongo Semarang.

5.

Bapak Achmad Arief Budiman, M.Ag Pembantu Dekan III Fakultas


Syariah IAIN Walisongo Semarang.

viii

6.

Ibu Anthin Lathifah, M.Ag (Kajur AS) dan Nur Hidayati Setiyani, SH.,MH.
(Sekjur AS) yang tiada hentinya memberi motivasi dan pengarahan.

7.

Bapak Drs. Slamet Hambali, M.S.I, selaku dosen pembimbing I serta Bapak
RufiI, M.Ag dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan dalam materi
skripsi ini.

8.

Bapak Iman Fadhhilah, SHI. M.SI, Tedi Khaliludin, SHI. M.Si dan Pak
Rusmadi, S.Th.I.M.Si yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis.

9.

Segenap dosen dan karyawan-karyawan di lingkungan Fakultas Syariah


IAIN Walisongo Semarang.

10. Mama, Ibu, Kakak, Teteh, Adekq dan kelurga ku tercinta, saya tidak bisa
membalas semua jerih payah semuanya.
11. Anak-anak BINORA: Nurul, Duke, Sondol, Wahyu, Ahmadi, Ratih,
Aziziah, Rina, Amoy, Auva, Ulum, Mujib, Ayi, Dewi, Bambang, Mas
rofik, Mas Tris, Mas Arif, Mas Aniq, Mas dem, dan semuanya.
Terimakasih kebersamaannya dan canda tawanya. Sabar dan sungguhsungguh mengembangkan BNORA karena semuanya akan memberi
pengalaman dan ilmu.
12. Kawan-kawan ku pecinta bola voly: mas Mumun, mas Abadi, mas Eko,
Bisri, Ficky, Abbas, dan laen-laen. Kebersamaan kita membuat hidup sehat
dan tertawa.
13. Keluarga besar Pon-Pes Al-Marufiyah: Fahmi, Faizin, Ali Pamor, Wawan,
Benjo, Majid, Elvas, dan semuanya.
14. Anak-anak kost: Mas Amin, Ikhsan, Lutfi, Asep, Lukman, Rojikin, dan
Fauzan yang telah menemani setiap langkah dari tidur sampai tidur lagi.
15. Rekan-rekan ku kelas ASB VIII angkatan 2008 yang tidak bisa sebutkan
satu persatu.
16. Tim KKN 2012 posko 34 Desa Sambung Godong Grobogan: Aeni, Iffa,
Anif, Diah, Salma, Mba Ida, Togar, Toni, Ubab, Isa, mas Aji, SafiI yang
telah berjalan bersama demi realisasinya program kerja.
17. Yang pernah ada dihatiku dan yang ada di hatiku (Nanda Ayu), terimaksih
telah memberikan motivasi dan semangat untuk pantang menyerah dan
berjuang terus.

ix

Kepada semua pihak yang telah penulis sebutkan di atas, semoga Allah swt
senantiasa memberikan balasan. Mudah-mudahan Allah swt selalu menambahkan
Rahmat dan HidayahNya kepada penulis dan mereka semua.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai kesempurnaan
dalam arti yang sebenarnya, akan tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususunya dan pembaca pada umumnya. Hanya kepada-Nya
penulis memohon petunjuk dan berserah diri. Amiiiieennn.
Semarang, 15 Juni 2012
Penulis

Sulaeman Jazuli
NIM: 082111037

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

ii

HALAMAN PENGESAHAN ..

iii

HALAMAN MOTTO

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

HALAMAN ABSTRAK....

vi

HALAMAN DEKLARASI...

vii

HALAMAN KATA PENGANTAR..

viii

HALAMAN DAFTAR ISI.

xi

BAB I

PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang..

B. Perumusan Masalah...

14

C. Tujuan Penilitian

14

D. Manfaat Penelitian

15

E. Kerangka Teori..

16

F. Tinjauan Pustaka

21

G. Metode Penelitian..

25

H. Metode Analisis Data

30

I.

31

BAB II

Sistematika Penulisan

PERKAWINAN DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM


ADAT....

33

A. Perkawinan Ditinjau Dari Perspektif Islam. 33


1. Pengertian Perkawinan 33
2. Syarat dan Rukun Pernikahan. 35
3. Tujuan Pernikahan... 38
4. Hukum Pernikahan.. 39
5. Hak dan Kewajiban Suami Isteri. 47
6. Putusnya Pernikahan 51
xi

7. Pemberian Calon Suami Kepada Calon Isteri. 57

B. Perkawinan Ditinjau dari Hukum Adat..

65

1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan 65


2. Azas-azas Perkawinan Menurut Hukum Adat...

66

3. Fungsi Perkawinan Menurut Hukum Adat

67

4. Tradisi Seserahan Dalam Perkawinan Hukum Adat.

68

BAB III PENARIAKAN KEMBALI HARTA SESERAHAN PASCA PERCERAIAN


DI DESA SINDANGJAYA

72

A. Gambaran Umum Desa Sindangjaya... 72


1. Kondisi Setting Sosial. 72
2. Kondisi Mata Pencaharian.. 74
3. Kondisi Pendidikan 76
4. Kondisi Ekonomi Msyarakat.. 79
5. Kondisi Kehidupan Masyarakat. 82
B. Tradisi Seserahan di Desa Sindangjaya....................................... 86
C. Penarikan

Kembali

Harta

Seserahan

Pasca

Perceraian

di

Desa

Sindangjaya..... 91

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI


HARTA

SESERAHAN

PASCA

PERCERAIAN

DI

DESA

SINDANGJAYA 95

A. Analisis Tradisi Penarikan Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian Di


Desa Sindangjaya.

95

B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Penarikan Kembali Harta


Seserahan Pasca Perceraian Di Desa Sindangjaya.. 101

xii

BAB V

PENUTUP.. 107
A. Kesimpulan... 107
B. Saran-Saran... 109
C. Penutup. 110

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIARAN

xiii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap makhluk diciptakan saling berpasangan, begitu juga manusia. Jika
pada makhluk lain untuk berpasangan tidak memerlukan tata cara dan
peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Pada manusia terdapat
beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan
untuk hidup bersama pasangan, baik itu peraturan agama, adat-istiadat
maupun sosial kemasyarakatan.1
Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan inilah istilah perkawinan
atau pernikahan disebutkan. Perkawinan merupakan sebuah upacara
penyatuan dua jiwa manusia, menjadi sebuah keluarga melalui akad
perjanjian yang diatur oleh agama.2 Penyatuan antara dua manusia menjadi
sakral dan agung oleh sebab adanya tata cara khusus ini, setiap agama
memiliki tata cara peraturan tersendiri. Kesemuanya mengacu pada satu hal
yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mulia, mempunyai karunia
akal budi sehingga dalam banyak perilaku kehidupannya tidak sama dengan
makhluk lain seperti halnya binatang.

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakat, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 11-12.
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, Yogyakarta:
Hanggar Kreator, 2008, hlm. 1.
2

Perkawinan pertama-tama harus dipahami sebagai ikhtiar manusia untuk


menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggungjawab. Dari sini,
diharapkan akan terjalin hubungan kasih sayang, cinta, dan tanggungjawab
untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan
peradaban manusia.3
Sebagaimana dipahami dari teks-teks suci Islam, Al-Quran dan assunnah (hadis Nabi), perkawinan juga dimaksudkan sebagai usaha
menyelamatkan dan mengamankan alat-alat kelamin dari berbagai bentuk
penyimpangan seksual yang pada gilirannya dapat merusak fungsi-fungsi
reproduksi. Jadi, perkawinan merupakan sarana atau wahana bagi
perkembangbiakan manusia seecara sehat dalam arti yang seluas-luasnya,
baik menyangkut fisik, psikis, mental dan spiritual, serta sosial.4
Perkawinan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh
(wathi).5 Sedangkan menurut istilah hukum Islam, perkawinan menurut
syara yaitu akad yang ditetapkan syara untuk membolehkan bersenangsenang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenangsenangnya perempuan dengan laki-laki.6
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
3

Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama Dan Gender,
Yogjakarta: LKiS, 2001, hlm. 105.
4
Ibid, hlm. 105.
5
Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam Juz 3, Bandung: Dahlan, t.t, Jilid 3,
hlm. 109.
6
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, cet ke-3,
hlm 29.

melaksanakannya

merupakan

ibadah.

Perkawinan

bertujuan

untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan


warahmah.7
Pengertian pernikahan ini tidak beda jauh dengan Undang-Undang
Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
anatara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.8
Perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum apabila sudah memenuhi
syarat-syarat sah dan rukun pernikahan. Salah satu syarat sah pernikahan
adalah dengan adanya pemberian mahar atau maskawin kepada calon
mempelai putri/calon isteri. Menurut kesepakatan para ulama, mahar adalah
pemberian wajib bagi calon suami kepada calon isteri yang merupakan salah
satu syarat sahnya pernikahan.9
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar
adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
isteri kepada calon suaminya.10
Kata mahar ini berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa
Indonesia terpakai, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai perkataan
7

Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hlm. 7.


R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2008, hlm. 537-538.
9
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
101.
10
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, Bandung: CV. Pustaka setia, 1999,
cet ke-1, hlm. 105.
8

maskawin.11 Dalam Al-Quran kata mahar tidak digunakan, akan tetapi


digunakan kata shaduqah.12
Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan berbagai macam nama, yaitu:
mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba, ujr, uqar, dan alaiq,13 tetapi ada juga
yang

mengatakan

dengan

kata

thaul.14

Keseluruhan

kata

tersebut

mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang


diterima.
Dalam Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang
atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.15
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita
dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima
mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon isteri, bukan
kepada wanita lainnya atau siapa pun, walaupun sangat dekat dengannya.
Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya meskipun oleh
suaminya sendiri, kecuali dengan ridla dan kerelaan isteri.16
Dalam tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab fiqh mahar
itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya
akad nikah, dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula

11

Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
1974, hlm. 77.
12
Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 100.
13
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 84.
14
Husein Muhammad, op.cit, hlm. 109.
15
Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 14.
16
Abdul Rahman Ghozali, op.cit, hlm. 85.

sesudah berlangsungnya akad nikah itu. Definisi yang diberikan ulama waktu
itu sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh karena itu, definisi
tepat yang dapat mencakup dua kemungkinan itu adalah pemberian khusus
yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai lakilaki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat berlangsungnya akad
nikah.17
Dari definisi mahar tersebur di atas jelaslah bahwa hukum taklifi dari
mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang
perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa suami
yang tidak menyerahkan mahar kepada isterinya. Dalil dalam ayat Al-Quran
adalah firman Allah dalam surat An-Nisa: 4.

=3s $Tt i &x t 3s9 t *s 4 \'s#t Js%| u!$|i9$# (#?#uu


$\ $\y
Artinya:Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)18
Adapun dalil dari hadis di antaranya adalah sabda Nabi yang berasal dari
Sahal bin Saad Al-Saidi dalam suatu kisah panjangnya dalam bentuk hadis
mutafaq alaih:

  

 
       
!"$ %* ( ' $   + *$ ,-
. *  $ 01$
17
18

Amir Syarifudin, op.cit, hlm. 85.


Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: Dipenogoro, 2003, hlm. 61.

0% ' %2 *  $ 3- . + *$ 5 6 ($ 3- 78 


( %9 <=%  0% >=?.)  
. 98:  "! %
Artinya:Wahai Rasulullah jika anda tidak merasa tertarik kepada wanita ini,
tolong nikahkan saja ia denganku. Beliau bertanya: apakah kamu
mempunyai sesuatu (sebagai mahar)?. Ia menjawab: demi Allah
tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: pergilah kepada
keluargamu, perhatikanlah apakah kamu menemukan sesuatu. Ia pun
segera pergi dan tak lama kemudian ia (datang) segera kembali dan
berkata: tidak saya memperoleh sesuatu ya Rasulullah. Nabi
berkata: carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi.19
Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan mahar
itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar
kepada isteri. Tidak ditemukan dalam literatur ulama yang menempatkannya
sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkan sebagai syarat sah bagi suatu
perkawinan, dalam arti perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak
sah.20
Meskipun demikian, bila setelah menerima mahar si isteri memberikan
lagi sebagian dari mahar tersebut kepada suaminya secara sukarela, suami
boleh mengambilnya. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ujung ayat 4
surat An-Nisa tersebut di atas.21
Mahar itu adalah suatu yang wajib diadakan meskipun tidak dijelaskan
bentuk dan harganya pada waktu akad. Dari segi dijelaskan atau tidaknya
mahar pada waktu akad, mahar digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad,
atau disebut mahar Musamma, dan mahar yang tidak disebutkan jenis dan
19

Imam Husein Muslim Ibnu Hijaj, Shoheh Muslim Juz 3, Libanon: Daarul Kutub AlIlmiyah, tt, hlm.1041.
20
Amir Syarifudin, op.cit, hlm. 86.
21
Ibid, hlm. 87.

jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar


sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya. Mahar
dalam bentuk ini disebut mahar Mitsil.22
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar
itu tidak ada batas tertinggi. Mereka berselisih pendapat tentang batas
terendahnya. Menurut Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha
Madinah dari kalangan tabiin berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas
terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain
dapat dijadikan mahar. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar
itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan
bahwa mahar paling sedikit seperempat dinar emas murni (Rp. 552.500,-),
atau perak seberat tiga dirham (Rp. 201.000), atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas dan perak tersebut.23
Sebaliknya pemberian maskawin secara berlebihan justru dilarang. Hal
ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan bagi pemuda untuk
melangsungkan perkawinannya. Mempersulit perkawinan bisa melahirkan
implikasi-implikasi yang buruk, atau bahkan merusak secara personal
maupun sosial. Ummar bin Khatab pernah menyampaikan bahwa ketika
seseorang laki-laki diharuskan memberi maskawin yang mahal kepada calon
istrinya, boleh jadi ia akan menyimpan kebencian kepada perempuan itu.24

22

Ibid, hlm. 87.


Abdul Rahman Ghazali, op.cit, hlm. 88-89.
24
Husein Muhammad, op.cit, hlm. 109.
23

Para ahli fiqh sepakat bahwa pemberian mahar itu wajib diberikan suami
kepada istrinya apabila telah tejadi campur (dukhul) dan suami tidak boleh
menguranginya sedikit pun. Firman Allah surat An-Nisa: 20.

#Y$s% 1yn) F#s?#uu 8ly %x6 8ly t#y7G$# ?ur& )u


$Y#6 $VO)u $YtG/ tz's?r& 4 $x (#{'s? s
Artinya:Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali
darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa
yang nyata (Qs. An-Nisa: 20).25
Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 21.

6 yzr&u <t/ 4n<) 6t/ 4|r& s%u t{'s? y#x.u


$Z=x $)sVi
Artinya:Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami
isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat. (Qs. An-Nisa: 20).26
Kalau melihat zahir ayat, maka yang diwajibkan membayar maskawin
penuh ialah orang-orang yang telah bercampur dengan isterinya dan haram
hukumnya mencabut kembali mahar yang telah diberikan kepada isterinya.
Mengenai orang-orang yang telah berkhalwat dengan isterinya sukar
diketahui dengan pasti, apakah telah terjadi campur (dukhul) antara mereka

25
26

Departemen Agama, op.cit, hlm. 64


Ibid, hlm. 64

atau belum. Pengakuan salah seorang saja dari suami atau isteri, belum bisa
dijadikan alat bukti bahwa telah terjadi campur antara mereka.27
Menurut Imam Malik, Imam Syafii dan Abu Daud mewajibkan memberi
maskawin secara penuh apabila telah tejadi khalwat (bersendiri), sedangkan
Abu Hanifah tidak mewajibkannya28
Dalam hal isteri di talak oleh suaminya sebelum terjadi dukhul dan
jumlah maskawin telah ditetapkan, maka suami wajib membayar separuh dari
mahar yang telah ditetapkan. Firman Allah:

$t #s Z.s m; Ft.s s%u %ys? r& 6s% F)=s )u


t.s
Artinya:Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu,..(QS. Al-Baqarah: 237).29
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

'$  % %  %2    , 9   B




(% >=?.) 30 '$ 6 ( *'% ? B
Artinya:Orang yang meminta kembali benda-benda yang telah diberikan
sama dengan anjing yang muntah kemudian memakan kembali
muntahnya itu30

Dalam riwayat lain Ibnu Ummar dan Ibnu Abbas ra. Dari Nabi saw
bersabda:

27

Kamal Muhtar, op.cit, hlm, 83.


Ibid, hlm. 83.
29
Departemen Agama, op.cit, hlm. 30.
30
Imam Husein Muslim Ibnu Hijaj, op.cit hlm. 1241.
28

10

%. ! G + % 0%  %2 B  


B
! 9


.!?  GG2 + 9 H )H  90$  + 0$ 5! 6 0I ' I
( G  B

Artinya:Haram bagi seseorang muslim memberi sesutu kepada orang lain
kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada
anaknya.31
Hadis di atas dengan sangat jelas menjelaskan bahwa orang yang
menarik kembali sedekahnya, atau hibahnya, atau pemberiannya yang lain,
adalah ibarat anjing yang

memakan kembali muntah yang telah

dikeluarkannya. Dengan kata lain status hukum barang yang telah


dihibahkannya kepada orang lain, telah haram menjadi miliknya kembali
karena tidak lagi menjadi haknya.32
Sehubungan dengan praktek kebiasaan masyarakat yang mana calon
mempelai pria memberikan sesuatu pada saat peminangan, yang disebut
dengan tunangan, di mana Kompilasi Hukum Islam tidak membicaraknnya.
Pada dasarnya, pemberian semacam ini telah menjadi urf atau kebiasaan yang
dianggap baik. Tentu saja, apabila tunangan tersebut berlanjut hingga
perkawinan dilangsungkan, dan rumah tangga tersebut berjalan rukun damai
tanpa ada gangguan badai yang memporak porandakannya. Namun demikian
adalah hal yang lumrah terjadi dalam rumah tangga kadang terjadi
perselisihan. Oleh karena itu penyelesaian perselisihan atau perbedaan
pendapat itu diselesaikan dengan musyawarah.33

31

Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, op.cit, hlm. 90.


Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 478.
33
Ibid, hlm, 106.
32

11

Di Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes yang


memiliki tradisi seserahan pada saat pernikahan. Seserahan adalah
penyerahan perabotan rumah tangga dari pihak calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita pada saat sehari sebelum akad nikah berlangsung.
Seserahan ini di antaranya berbentuk lemari, satu set kursi dan meja untuk
ruang tamu, perangkat tempat tidur lengkap dengan kasur, bantal, bantal
guling, seprai dan sarung bantal serta selimut, barang-barang pecah belah,
lemari sebagai tempatnya, peralatan dapur, dan alat-alat kecantikan/ kosmetik
dengan lemari hiasnya.34 Seserahan ini di luar mas kawin yang disebutkan
secara terang-terangan saat akad nikah berlangsung di hadapan penghulu dan
para saksi dari kedua belah pihak.
Ketetapan seserahan ini menjadi tradisi dalam hampir setiap pernikahan
masyarakat Desa Sindangjaya. Untuk sampai pada hari pernikahan
dibutuhkan banyak persiapan. Keluarga calon mempelai pria harus memiliki
persiapan materi yang tidak sedikit. Sedangkan mas kawin biasanya akan
ditentukan oleh calon pengantin wanita dengan jumlah standar atau barang
standar seperti emas dengan jumlah gram yang tidak besar, yaitu dua hingga
lima gram atau seperti kebiasaan yang sudah berlaku yakni seperangkat alat
sholat yang dijadikan mahar.35
Seserahan ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum akad nikah
dilaksanakan. Seserahan dibawa oleh pihak mempelai pria dan diberikan

34

Wawancara dengan Bapak Tjarlam A,ma (Kapala Desa Sindangjaya) pada tanggal 17
Februari 2012 di Kantor Kepala desa Sindangjaya jam 14.00 wib.
35
Wawancara dengan Bapak Rasmud (Mudin Desa Sindangjaya) pada tanggal 18 Februari
2012 di rumahnya jam 6.30 wib.

12

kepada pihak mempelai wanita. Dalam seserahan ini ada proses serah terima
yakni dari pihak mempelai putra memberikan sambutan sebagai penyerahan
barang seserahan dan dari pihak mempelai wanita juga ada sambutan sebagai
penerima barang seserahan yang diberikan.
Tradisi seserahan dalam pernikahan ini memang sudah tidak heran lagi
karena sebagian besar masyarakat di Indonesia mengikuti tradisi seserahan
tersebut, baik pernikahan adat Sunda ataupun pernikahan adat Jawa, akan
tetapi yang menjadi menarik dan aneh yang membuat penulis ingin meneliti
tradisi seserahan di Desa Sindangjaya ini karena harta seserahan tersebut di
tarik kembali pasca perceraian. Harta seserahan yang sudah diberikan suami
kepada isterinya pada saat pernikahan akan ditarik kembali setelah keduanya
resmi bercerai. Harta seserahan tersebut akan dibagi dua, sebagian harta
seserahan untuk isteri dan sebagian lagi untuk suami. Tradisi penarikan
kembali harta seserahan pasca perceraian ini sebagian masyarakat
Sindangjaya bahkan seluruhnya mengikuti tradisi tersebut.
Kasus penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang terjadi
di Desa Sindangjaya seperti yang di alami oleh keluarga saudara Abdullah
Iman. Abdullah Iman menikah dengan saudari Iswati yang berasal dari Desa
Cikeusal. Pada saat pernikahan Abdullah Iman membawa barang seserahan
mengikuti adat yang ada di Desa Sindangjaya. Layaknya sebuah keluarga,
Abdullah Iman dan Iswati hidup rukun dan bahagia, akan tetapi beberapa
bulan kemudian sendi-sendi perpecahan keluarga mulai muncul. Isteri
Abdullah Iman dipergoki sedang bermesraan dengan pria lain yang mana pria

13

tersebut adalah tetangganya, dari situlah awal terjadinya percekcokan yang


berakhir pada perceraian. Singkat cerita Abdullah Iman pun resmi bercerai,
dan barang-barang yang di bawa pada saat seserahan di tarik kembali. Barang
seserahan di bagi dua, sebagian untuk mantan isteri dan sebagian lagi untuk
Abdullah Iman. Barang-barang seserahan yang bersifat untuk kebutuhan
perempuan untuk pihak bekas isteri dan barang-barang yang bersifat
kebutuhan suami untuk bekas suami.36 Penarikan kembali harta seserahan
pasca perceraian ini sebagian besar masyarakat Sindangjaya bahkan
semuanya mengikuti adat tersebut.
Maka dengan adanya kasus tersebut penulis tertarik untuk meneliti tradisi
penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang terjadi di Desa
Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Berebes itu sebenarnya
menurut pandangan hukm Islam itu bagaimana? Menurut dalil-dalil yang
sudah dipaparkan sebelumnya, tradisi yang terjadi di Desa Sindangjaya,
Ketanggungan, Brebes tersebut adalah bertentangan dengan dalil-dalil yang
sudah dipaparkan sebelumnnya.
Sebelumnya penelitian serupa tidak pernah dilakukan di Desa
Sindangjaya, baik dengan perspektif hukum Islam ataupun hukum positif.
Karena itulah penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan di
lokasi penelitian, yaitu Desa Sindangjaya. Penelitian tentang tradisi penarikan
kembali harta seserahan pasca perceraian ini diberi judul PANDANGAN
HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN KEMBALI HARTA
36

Wawancara dengan Abdullah Iman pada tanggal 16 Februari 2012 jam 19.30 di
rumahnya RT 10 RW 02 Sindangjaya Ketanggungan Brebes.

14

SESERAHAN PASCA PERCERAIAN (Studi Kasus di Desa Sindangjaya


Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk lebih detailnya akan diagendakan
beberapa

persoalan

yang

diharapkan

mampu

menghantarkan

pada

pemahaman yang sistematis dan mendalam, yaitu:


1. Bagaimanakah proses dan tradisi penarikan kembali harta seserahan pasca
perceraian di Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten
Brebes?
2. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap tradisi penarikan
kembali harta seserahan pasca perceraian di Desa Sindangjaya Kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses dan tradisi penarikan kembali harta seserahan
pasca perceraian di Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan
Kabupaten Brebes.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap tradisi penarikan
kembali harta seserahan pasca percerian di Desa Sindangjaya Kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes.

15

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan data deskriptif tentang tradisi seserahan pada
saat perkawinan dan pandangan hukum Islam tentang tradisi penarikan
kembali harta seserahan pasca perceraian di desa Sindangjaya Kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes. Secara khusus manfaat penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti
Dengan penelitian ini, peneliti mengetahui pandangan hukum Islam
tentang tradisi penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang
terjadi di Desa Sindangjaya dan sekaligus peneliti menyelesaikan satu
permasalahan yang ada dimasyarakat tentang kejelasan hukum penarikan
kembali harta seserahan pasca perceraian. Selain itu juga peneliti
menyelesaikan satu tugas akademik untuk mendapatkan gelar sarjana
strata satu dalam bidang hukum Islam.
2. Bagi Masyarakat
Terutama bagi masyarakat Desa Sindangjaya, dimana sebelumnya
penelitian sejenis belum pernah dilakukan. Maka hasil penelitian ini
menyelesaikan satu permasalahan dan menghasilkan kejelasan hukum
tentang tradisi penarikan kembali harta seserahan yang terjadi di Desa
Sindangjaya. Hasil penelitian ini juga sebagai dokumen pertama bagi desa
Sindangjaya.

16

3. Bagi Kalangan Akademis


Bagi sesama mahasiswa atau kalangan akademis di kampus, hasil
penelitian ini akan menjadi tambahan wacana keilmuan tentang
pernikahan dan realita yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini juga
menjadi referensi di masa yang akan datang, yang memungkinkan akan
diadakannya penelitian sejenis oleh kalangan akademis lainnya.

E. Kerangka Teori
Tradisi

seringkali

diidentikkan

dengan

kebudayaan.

Padahal

kebudayaan itu bermakna jauh lebih luas daripada tradisi yang sebenarnya
lebih merupakan adat istiadat. Kebudayaan sendiri bermakna produk atau
hasil dari aktivitas manusia, dimana ia memiliki kesejajaran dengan bahasa
yang juga merupakan produk dari aktivitas nalar manusia tersebut.37
Berbicara tradisi berarti berbicara tentang tatanan eksistensi manusia dan
bagaimana masyarakat mempresentasikannya di dalam kehidupannya.38
1. Tradisi dalam perspektif Islam
Jika tradisi adalah adat istiadat dan bukannya kebudayaan, maka
tradisi dalam Islam yang disebut urf bermakna sebagai kebiasaan yang
ada dalam masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun
temurun dengan tanpa membedakan tradisi yang mempunyai sanksi dan
tidak mempunyai sanksi.39

37

Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi Yogyakarta: Lkis, 2007, hlm. 104-105.


Ibid, hlm. 70-71
39
Anonime, Ensiklopedi Islam, Vol.1 Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, hlm. 21
38

17

Selangkah lebih maju, dengan merujuk pada pendapat Mustofa


Salabi, Amir Syarifudin menambahkan bahwa apabila dilihat dari sudut
pandang kebahasaan (etimilogi) maka kata urf dapat dipahami sebagai
sebuah tradisi yang baik, sedangkan kata aladah sendiri di artikan
sebagai tradisi yang netral (bisa baik atau buruk).40
Sementara itu, Ali Ibn Al-Jurjaniy memberikan suatu makna
yang berbeda dalam mangartikan kata urf dan al-adh yaitu: bahwa
adat adalah tradisi atau kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari
yang tercakup dalam istilah muamalah, bukan ibadah. Sedangkan urf
adalah sesuatu

yang diyakini oleh jiwa melalui persetujuan atau

persaksian akal dan kemudian diterima oleh akal sehat, dan keberadaan
urf sendiri dikenal sebagai dasar hukum (hujjah). Sementara itu adat
diartikan sebagai yang dianut atau dilaksanakan oleh masyarakat atas
dasar pertimbangan rasional41
Searah dengan penjelasan di atas, urf diartikan sebagai sesuatu
yang telah diketahui dan dikerjakan oleh manusia kebanyakan, baik
berupa perkataan, perbuatan, atau segala sesuatu yang mereka
tinggalkan.42 Dijelaskan juga bahwa urf dapat dipahami sebagai
kebiasaan mayoritas umat Islam baik berupa perkataan dan atau
perbuatan.43

40
41

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid II Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 362.
Ali Ibn Muhammad Al-Jarjuniy, Kitab Al-Tarifat, Bairut: Maktabah Lubnan, 1990, hlm.

362;
42

Abdul Wahaf Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqih, Cet. 12; tt: Al-anshr Wal tauzik, 1978/1398,

43

Nasrudin Harun, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 138.

124.

18

a. Macam-macam Adat dan Urf


Klasifikasi adat atauurf dapat ditinjau dari beberapa sudut
pandang, yaitu antara lain:
1) Materi yang biasa dilakukan, yang dalam hal ini terbagi
menjadi 2 macam, yaitu:
 Al-urf

al-lafdzi

menggunakan

yaitu

kata-kata

kebiasaan
tertentu

masyarakat

dalam

dalam mengungkapkan

sesuatu sehingga makna iutlah yang kemudian dipahami dan


terlintas dalam pikiran masyarakat.
 Al-urf al-amaliy yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan.
2) Ruang lingkup penggunaannya, sehingga dalam hal ini urf dibagi
menjadi dua, yaitu:
 Al-urf al-am yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku cara luas
diseluruh lapisan masyarakat dan daerah.
 Al-urf al khash yaitu kebisaan yang berlaku di masyarakat dan
daerah-daerah tertentu.
3) Penilaian baik dan buruk atau keabsahannya, dalam pola pandang
ini urf menjadi dua bagian, yaitu:
 Al-urf al-shahih yaitu kebiasaan yang berlaku di tengahtengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Quran
atau hadis. Selain itu juga tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka dan tidak pula membawa kesulitan kepada mereka. Al-

19

urf al-shahih tidak menghalalkan yang haram atau bahkan


membatalkan yang wajib.
 Al-urf al fasid yang di artikan sebagai kebiasaan yang
bertentangan dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah dasar yang
ada dalam syara.44
Para ushuliyyun sepakat bahwa semua macam urf di atas kecuali
Al-urf al-fasid dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara.
Seorang fiqih (pakar ilmu fuqih) dari golongan maliki menyatakan
bahwa seorang mujtahid di dalam menetapkan suatu hukum harus
meneliti terlebih dahulu kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengahtengah masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang akan
diputuskannya nanti tidak bertentangan atau bahkan menghilangkan
kemaslahatan yang menyangkut masyarakat itu sendiri.45

2. Tradisi dalam perspektif sosial


Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang
sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan yang lain
berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai
pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi
pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakat.
Kebudayaan dan tradisi memang bukan hal yang sama. Tetapi
dalam masyarakat seringkali dicampur adukkan bahkan disamakan.
44
45

Rahmat Syafii, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm, 128.
Nasrudin Harun, op.cit, hlm, 142.

20

Karena

keduanya

sama-sama

dilahirkan

oleh

manusia

(baca:

masyarakat) itu sendiri. Dalam adat istiadat atau tradisi terdapat sistem
budaya, sistem norma yang secara lebih khusus lagi dapat diperinci ke
dalam berbagai macam norma menurut pranata-pranata yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan.46
Berbeda dengan pandangan agama yang sumber hukumnya jelas
yaitu Al-Quran dan sunnah, maka dalam perspektif sosial, tradisi atau
adat istiadat ini memiliki batasan yang berbeda. Secara sosiologis, tiap
masyarakat

memiliki

kebudayaan

dan

dapat

melahirkan

adat

istiadatnya tersendiri yang diberlakukan secara turun temurun dengan


pertimbangan dari segi baiknya saja.
Kebiasaan/ tradisi diartikan sebagai perbuatan yang berulangulang dalam bentuk yang sama dan merupakan suatu bukti bahwa orang
banyak

menyukai

perilaku

tersebut.

Sehingga

penyimpangan

terhadapnya akan dicela oleh umum.47 Apabila kebiasaan itu diakui


serta diterima sebagai kaidah maka kebiasaan itu menjadi tata kelakuan
atau mores.
Adat istiadat atau tradisi mempunyai ikatan dan pengaruh yang
kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada
masyarakat (atau, bagian masyarakat) yang mendukung adat istiadat
tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.
Pada umumnya, adat dibagi atas empat bagian, yaitu:
46

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990, hlm,

47

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Rajawali Pers, 2010, hlm. 68.

221.

21

a. Adat yang sebenarnya adat. Ini adalah merupakan undang-undang


alam, dimana dan kapan pun dia akan tetap sama, antara lain adat air
membasahi, adat api membakar dan sebagainya.
b. Adat istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah
yang dipertunaikan selama ini, artinya diterima oleh generasi yang
sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat kokoh berdirinya.
c. Adat setempat yang dapat ditambah atau dikurangi menurut tempat
dan waktu.
d. Adat yang diadatkan. Ini adalah adat yang dipakai setempat, seperti
dalam satu daerah adat menyebut dalam perkawinan mempelai harus
memakai pakaian kebesarannya, kalau tidak maka helat tidak akan
terjadi.48

F. Tinjauan Pustaka
Pembahsan dan penelitian tentang pernikahan sudah banyak dilakukan
dalam skripsi, buku maupun kitab-kitab fiqih. Namun pembahasan tersebut
tidak ada yang membahas tentang tradisi penarikan kembali harta seserahan
pasca perceraian.
Dalam bukunya Musthafa Kamal Pasha yang berjudul Fiqh Islam
menjelaskan bahwa mahar ialah suatu pemberian yang disampaikan oleh

48

Soejono Soekanto, op.cit, 72-73

22

pihak mempelai putra kepada mempelai putri disebabkan karena terjadinya


ikatan perkawinan.49
Dalam buku ini dijelaskan secara rinci pernikahan menurut Islam,
pengertian pernikahan, hukum pernikahan, mahar, hikmah pernikahan,
keluarga berencana, sampai sebab-sebab putusnya pernikahan. Akan tetapi
dalam buku ini tidak ada pembahasan yang bersangkutan dengan tema skripsi
yang kami angkat.
Muhammad Jawad Mughniyah, dalam bukunya Al-Fiqh Ala Madzhab
Al-Khamsah (Fiqh Lima Mazhab Penrj. Afif Muhammad, dkk) menyatakan
bahwa menurut Imam Imamiyah dan Hanafi sepakat bahwa mahar adalah
milik hak isteri, dan merupakan salah satu di antara haknya. Sedangkan
kebutuhan-kebutuhan lain dirinya, semisal pakaian, perlengkapan kamar
tidur, dan perabotan rumah tangga merupakan kewajiban suami untuk
menyediakannya, adapun si isteri tidak diharuskan menyediakan apa pun.
Sebab, nafkah dan seluruh jenis-jenis kebutuhan rumah tangga, khusus
diminta dari suami.50
Dalam buku ini menjelaskan pendapat lima Imam Mazhab tentang hak
isteri untuk mendapatkan mahar, tetapi ada juga mahar tersebut yang
dibelanjakan untuk perabotan rumah. Ketentuan tersebut tergantung pada adat
istiadat yang ada di masyarakat tersebut.
Dalam skripsi Muhammad Subhan (2004) dengan judul skripsi Tradisi
Perkawinan Jawa Di Tinjau Dari Hukum Islam (Kasus di Kelurahan Kauman
49

Musthafa Kamal Pasha, Fiqh Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009, hlm. 274.
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh Ala Madzhab Al-Khamsah (Fiqh Lima Mazhab
Penrj. Afif Muhammad, dkk), Jakarta: Basrie Press, 1994, hlm. 95.
50

23

Kec. Mojosari Kab. Mojokerto). Adat diteliti adalah petungan / petung bulan
untuk mantu yaitu pemilihan bulan yang menentukan bulan tertentu untuk
melangsungkan pernikahan. Adapun hasil penelitian ini adalah: Bagi
sebagian masyarakat Jawa yang mempunyai hajat perkawinan tidak
melakukan perkawinan begitu saja, tetapi ada proses yang sangat menarik
yaitu proses pemilihan bulan yang diharapkan akan membawa keberuntungan
dan keselamatan dari mara-bahaya, juga hidup kekal dan bahagia bersama
pasangannya. Karena sebagian masyarakat percaya bahwa semua yang di
awali dengan kebaikan, maka yang akan di dapatkan pun baik. Pemilihan
bulan yang disandarkan pada petungan sebenarnya tidak bertentangan
dengan syariat Islam karena sebagian sudah diatur dalam Al-Quran dan
Hadis.
Skripsi Abdul Wasid (2005) dengan judul Proses Perkawinan Adat
Sunda Perspektif Fiqih (Study di Kel. Karang Mekar Kec. Cimahi Tengah
Kab. Bandung). Dalam penelitian ini Abdul Wasid memaparkan mulai dari
awal yaitu prosesi peminangan sampai acara pestanya semua menggunakan
Adat Sunda. Disini ada sembilan tahapan yang harus dilalui dalam prosesi ini:
1. Nanyaan. Tahap awal yang mana pihak laki-laki berkunjung kepihak
perempuan untuk menanyakan statusnya.
2. Neundeun Omong. Tahap musyawarah antara kedua pihak setelah
mengetahui bahwa gadis yang di tanyakan tidak dalam pinangan orang
lain.
3. Nyeureuhan atau Ngalamar. Kepastian bahwa sigadis akan di pinang.

24

4. Seserahan. Merupakan acara pemberitahuan mahar yang akan di berikan


serta penentuan hari dan tanggal pernikahan.
5. Ngeuyeuk Seureuh. Suatu acara pemberian wejangan dan petuah dari
kedua orang tua calon penganten.
6. Ijab Qobul. Merupakan acara peresmian sebagai suami istri.
7. Panggih. Acara sungkem kepada kedua orang tua penganten.
8. Huap Lingkung. Merupakan acara hiburan dan ramah tamah bagi para
tamu.
9. Ngunduh Lingkung. Perkenalan antara kedua keluarga mempelai.
Muallimatul Athiyah (2010) dalam skripsinya yang berjudul Tradisi
Penyerahan Perabot Rumah Tangga Dalam Perkawinan (Studi Kasus di Desa
Karduluk, Kec. Peragaan, Kab. Sumenep Madura) menyatakan bahwa dalam
perkawinan ada tradisi penyerahan perabot rumah tangga. Tradisi masyarakat
Desa Karduluk setiap pernikahan identik dengan Bhaghibha (barang bawaan)
dari mempelai pria ke rumah mempelai wanitanya. Barang-barang Bhaghibha
ini dianggap sebagai bagian dari mahar, selain mas kawin yang diserahkan
langsung di hadapan penghulu pada saat akad nikah. Barang-barang
bhaghibha ini dibawa dalam rombongan besar lamaran dari pihak pengantin
pria. Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah keharusan bagi
seorang mempelai pria, meskipun tidak ada permintaan khusus dari mempelai
wanita.
Menurut Muallimatul Athiyah mengenai barang bawaan dalam Islam
merupakan tanggungan calon mempelai pria, oleh karena itu tradisi yang ada

25

di Desa Karduluk Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep tidak sama sekali


bertentangan dengan hukum Islam
Dari beberapa penelitian yang sudah ada baik buku ataupun skripsi
belum ada penelitian yang membahas tentang tradisi penarikan kembali harta
seserahan. Dengan demikian penelitian ini tidak sama dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan.

G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya dan dibandingkan dengan standar ukuran
yang telah ditentukan.51 Dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode
penelitian yang meliputi :
1) Jenis Penelitian Lapangan (Field Research)
Jenis penelitian merupakan penelitian yang dipakai sebagai dasar
utama pelaksanaan riset. Oleh karena itu, penentuan jenis penelitian
didasarkan pada penilaian yang tepat karena berpengaruh pada seluruh
perjalanan riset. Dilihat dari jenisnya, maka penelitian ini termasuk dalam
kategori study kasus (cass study). Secara umum, Robert K. Yin dalam Cas
study Research and Methods yang dikutip oleh Imam Suprayogo52
mengemukakan bahwa study kasus sangat cocok untuk digunakan dalam
penelitian dengan menggunakan pertanyaan How (bagaimana) Why

51

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:Rineka


Cipta, 2002, hlm 126-127.
52
Imam Suprayogo, Tabroni, Metode Penelitian Sosial Agama, Bandung: Posda Karya,
2011, hlm. 138.

26

(mengapa). Dalam konteks ini, study kasus yang dimaksud berkenaan


dengan fenomena tradisi Seserahan dalam Perkawinan dan Penarikan
Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian di Desa Sindangjaya
Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes. Sebagaimana penjelasan di
atas, maka study kasus memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Menekankan kedalaman dan kebutuhan objek yang diteliti.
b. Sasaran studinya bisa manusia, benda atau peristiwa.
c. Unit analisisnya bisa berupa individu/ kelompok (lembaga organisasi)
masyarakat, undang-undang/ peraturan dan lain-lain. Berkaitan dengan
penelitian ini, maka unit analisisnya adalah masyarakat di Desa
Sindangjaya.
Sedangkan jenis penelitian berdasarkan pada sifatnya, penelitian ini
dikategorikan

sebagai

penelitian

deskriptif.

Penelitian

diskriptif

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang


manusia, keadaan atau gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teoriteori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.53
2) Pendekatan Penelitian
Pendekatan adalah metode atau cara mengadakan penelitian54
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu pengamatan, wawancara, atau pemahaman dokumen.55
Peneliti memilih jenis pendekatan ini didasari atas beberapa alasan.
53

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 10.
Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm 23.
55
Lexy Moleong, op.cit, hlm. 9.
54

27

Pertama, pendekatan kualitatif ini digunakan karena data-data yang


dibutuhkan berupa sebaran sebaran informasi yang tidak perlu
diaktualifikasikan. Dalam hal ini peneliti bisa mendapatkan data yang
akurat dikarenakan peneliti bertemu atau berhadapan langsung dengan
informan. Kedua, peneliti mendiskripsikan tentang objek yang diteliti.
Ketiga, peneliti juga mengemukakan tentang fenomena-fenomena sosial
yang terjadi dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta sosial
yang ada.56 Dalam hal ini peneliti mengemukakan fenomena sosial yang
terjadi di Desa Sindangjaya, Kec. Ketanggungan, Kab. Brebes.
3) Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data
diperoleh.57 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
e. Data Primer
Data primer (Primary Data) adalah data yang diperoleh langsung
dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.58 Dengan
kata lain, data lain diambil oleh peneliti secara langsung dari objek
penelitiannya, tanpa diperantarai oleh pihak ketiga, keempat dan
seterusnya. Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari
lapangan baik yang berupa observasi maupun yang berupa hasil
wawancara tentang bagaimana tradisi seserahan dalam perkawinan dan

56

Marsi Singgaribun dan Sofyan Efendy, Metode Penelitian, Jakarta: Pustaka LP3S, 1989,

57

Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm. 107.


Marzuki, Metodologi Riset, Yogjakarta: PT. Prasatia Widya Pratama, 2002, hlm. 56.

hlm. 4.
58

28

penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian di Desa


Sindangjaya, Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes.
Adapun data primer dalam penelitian ini diperoleh dari sumber
individu atau perseorangan yang terlibat langsung dalam permasalahan
yang ditelilti, seperti dari tokoh agama, tokoh masyarakat, para pelaku
dan orang-orang yang terkait dengan tradisi tersebut; seperti pelaku
tradisi seserahan dalam perkawinan dan penarikan kembali harta
seserahan pasca perceraian.
f. Data Sekunder
Data Sekunder (seconder data) adalah data yang mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.59 Adapun data sekunder
dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku ilmiah, pendapatpendapat pakar, fatwa-fatwa ulama dan literature yang sesuai dengan
tema dalam penelitian.
4) Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan
data sebagai berikut:
a. Observasi atau melihat langsung objek penelitian.
Observasi adalah suatu usaha sadar untuk mengumpulkan data
yang dilakukan secara sistematis dengan prosedur yang terstandart,
sedangkan menurut Kerlinger, mengobservasi adalah suatu istilah

59

Soejono Soekanto, op.cit, hlm. 12.

29

umum yang menpunyai arti semua bentuk penerimanan data yang


dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitung, mengukur dan
mencatatnya.60 Dalam hal ini penulis bertindak langsung sebagai
pengumpul data dengan melakukan observasi atau pengamatan terhadap
objek

penelitian

yakni

masyarakat

Desa

Sindangjaya

Kec.

Ketanggungan Kab. Brebes.


b. Wawancara atau Interview
Interview yang sering juga disebut kuisioner lisan adalah sebuah
dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk
memperoleh informasi dari terwawancara, sedangkan wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah interview bebas (ingueded
interview), dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi
juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan.61 Hal ini
dilakukan guna mendapatkan hasil atau data yang valid dan terfokus
pada pokok permasalahan yang sedang diteliti, dalam penelitian ini,
peneliti melakukan wawancara dengan tokoh masyaraka, tokoh agama
setempat dan pelaku dari penarikan kembali harta seserahan pasca
perceraian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,

60
61

Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm. 197.


Ibid, hlm. 132.

30

notulen rapat, agenda dan sebagainya.62 Dalam definisi lain dokumen


adalah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak
dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik.63 Adapun
peneliti menggunakan metode ini untuk memperoleh data-data dan
buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian diantaranya
meliputi arsip jumlah penduduk, pekerjaan, agama, ekonomi, dan
pendidikan penduduk, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek
penelitian ini, kemudian foto-foto selama penelitian berlangsung dan
catatan lapangan atau hasil wawancara yang nantinya akan diolah
menjadi analisis data.

H. Metode Analisis Data


Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisia data,
mengambil kesimpulan dari data yang terkumpul. Kesemuanya adalah untuk
menyimpulkan data secara teratur dan rapi. Dalam pengolahan data ini
penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu metode yang
digunakan terhadap suatu data yang telah dikumpulkan, kemudian
diklasifikasikan, disusun, dijelaskan yakni digambarkan dengan kata-kata
atau kalimat yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menganalisis data yang diperoleh, maka penelitian yang meliputi
edition, pengelompokan klasifikasi, dan penyajian data. Yang dimaksud
adalah bahwa data yang telah diperoleh tentang pelaksanaan seserahan pada
62
63

Ibid, hlm. 206.


Lexy A. Moleong, op. cit, hlm. 216.

31

saat pernikahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang
terjadi di Desa Sindangjaya melalui pendekatan kualitatif, kemudian
menafsirkannya dengan bentuk deskriptif tentang proses seserahan pada saat
pernikahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang
terjadi di Desa Sindangjaya tersebut.

I.

Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Tinjauan Pustaka,
Metode Penelitian, Metode Analisis Data dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Merupakan landasan teori yang berisi tentang penjelasan
perkawinan perspektif Islam: pengertian perkawinan, syarat dan rukun
pernikahan, tujuan pernikahan, hukum pernikahan, mahar, hak dan kewajiban
suami istri, dan putusnya pernikahan. Pernikahan ditinjau dari hukum adat:
pengertian dan tujuan perkawinan, azas-azas perkawinan menurut hukum
adat, fungsi perkawinan menurut hukum adat, tradisi seserahan dalam
perkawinan hukum adat.
BAB III: Penarikan Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian di
desa Sindangjaya; Gambaran Umum Desa Sindangjaya: Kondisi Setting
Sosial, Kondisi Mata Pencaharian, Kondisi Pendidikan, Kondisi Ekonomi
Masyarakat, Kondisi Kehidupan Masayarakat. Tradisi Seserahan di Desa

32

Sindangjaya dan Penarikan Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian di


Desa Sindangjaya.
BAB IV: Pndangan Hukum Islam Terhadap Penarikan Kembali Harta
Seserahan Pasca Perceraian di Desa Sindangjaya; Analisis Terhadap Tradisi
Penarikan Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian Yang Terjadi di Desa
Sindangjaya, dan Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Penarikan
Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian di Desa Sindangjaya.
BABA V: Penutup yang berisikan kesimpulan, Saran-Saran dan
Penutup.

BAB II
PERKAWINAN DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT

A. Perkawinan Ditinjau Dari Perspektif Islam


1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh
(wathi).1 Sedangkan menurut istilah hukum Islam, perkawinan menurut
syara yaitu akad yang ditetapkan syara untuk membolehkan bersenangsenang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenangsenangnya perempuan dengan laki-laki.2
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.3
Pengertian pernikahan ini tidak beda jauh dengan Udang-Undang
Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin anatara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri-

Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam, Bandung: Dahlan, t.t, Jilid 3, hlm.

109.
2

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, cet ke-3,

hlm 29.
3

Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hlm. 7.

33

34

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan


kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Oleh karena itu dapat disimpulkan pernikahan adalah suatu akad
antara sorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan
kesukaan belah pihak (calon suami isteri), yang dilakukan oleh pihak lain
(wali) menurut

sifat

dan syarat yang telah ditetapkan syara untuk

menghalalkan percampuran

antara keduanya, sehingga satu sama lain

saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman dalam rumah tangga.


Pernikahan adalah pintu gerbang yang sakral yang harus dimasuki
oleh setiap insan untuk membentuk sebuah lembaga yang bernama
keluarga. Perhatian Islam terhadap keluarga begitu besar, karena keluarga
merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih luas.
Keluarga adalah pemberi warna dalam setiap masyarakat, baik tidaknya
sebuah masyarakat tergantung pada masing-masing keluarga yang terdapat
dalam masyarakat tersebut.5
Pernikahan merupkan sunnatullah yang umum dan berlaku semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia
adalah suatu cara yang dipilih Allah swt. sebagai jalan bagi makhluk-Nya
untuk berkembag biak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap
melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dari

R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya


Paramita, 2008, hlm. 537-538.
5
Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah Dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm.
1.

35

pernikahan itu sendiri. Allah swt tidak menjadikan manusia seperti


makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan
antara jantan dan betina secara anergik atau tidak ada aturan, akan tetapi
untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah swt
mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.
2. Syarat dan Rukun Pernikahan
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat, atau menurut
Islam calon pengantin laki-laki/ perempuan itu harus beragama Islam.
Sedangkan rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan
takbiratul ihram untuk shalat, atau adanya calon pengantin laki-laki/
perempuan dalam perkawinan.
Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan
syarat.6 Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara
perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam
arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 45-46.

36

Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah
sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur
yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya.7
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
a. Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin lakilaki.8
Sedangkan syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah
dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
1. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya isteri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang
haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun
untuk selama-lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.9
Adapun secara rinci masing-masing syarat sah pernikahan yaitu:

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Isalm Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 59.
8
Abd. Rahman Ghazali, op.cit, hlm. 49.
9
Ibid, hlm. 49.

37

a. Syarat calon pengantin pria:


1. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
2. Jelas orangnya.
3. Tidak terdapat halangan perkawinan.
4. Beragama Islam.
5. Calon mempelai laki-laki itu tahu betul calon isterinya halal
baginya.
6. Tidak karena paksaan.
7. Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin wanita:
1. Beragama Islam atau ahli atau beragama meskipun Yahudi atau
Nasrani.10
2. Jelas bahwa ia perempuan.
3. Jelas orangnya.
4. Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Syarat-syarat wali
1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya
5. Berakal dan adil (tidak fasik).11
d. Syarat-syarat saksi
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa dan berakal.
e. Ijab qabul syarat-syaratnya
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata nikah
dan tazwij
4. Antara ijab dan qabul bersambungan
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. Orang yang berkait ijab qabul tidak sedang ihram haji/ umrah

10

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995,

hlm. 71.
11

Abd. Rahman Ghazaly, op. cit, hlm. 59.

38

7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang,
yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai
wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.12
3. Tujuan Pernikahan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban
anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir batin
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga
timbul kebahagian, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Menurut Imam Ghazali tujuan perkawinan yaitu:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memlihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
dan kasih sayang.13

12

Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 72.


Abd. Rahman Ghazaly, op.cit, hlm. 22-24.

13

39

4. Hukum Pernikahan
Kata hukum memiliki dua makna, yang di maksud disini adalah:
sifat syara pada sesuatu (seperti wajib, haram, makruh, sunnah, dan
mubah), dan pengaruh yang ditimbulkan sesuatu menurut syara, seperti
jual beli adalah memindahkan pemilikan barang terjual kepada pembeli
dan hukum sewa menyewa (ijarah) adalah pemilikan penyewa pada
manfaat barang yang disewakan. Demikian juga hukum perkawinan atau
pernikahan berarti penghalalan masing-masing dari sepasang suami isteri
untuk bersenang-senang kepada yang lain, kewajiban suami terhadap
mahar dan nafkah terhadap isteri, kewajiban isteri untuk taat terhaap
suami dan pergaulan yang baik.14
Dalam hukum pernikahan ini dimaksudkan makna yang pertama,
yaitu sifat syara. Maksudnya hukum yang ditetapkan syara apakah
dituntut mengerjakan atau tidak, itulah yang disebut dengan hukum taklifi
(hukum pembebanan).
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi
mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi
kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi
seluruh mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri
yang spesifik sesuai dengan kondisinya yang spesifik pula, baik
persyaratan harta, fisik dan akhlak.

14

Abd. Aziz Moh. Azam dan Abd. Wahab Sayyed Hawass, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Amzah, 2009, hlm. 43.

40

berkenaan dengan pernikahan ini, manusia terbagi menjadi tiga


macam:
Pertama, Orang yang takut terjerumus dalam pelanggaran jika ia
tidak menikah. Menurut fara fuqaha secara keseluruhan, keadaan sepeti itu
menjadikan seoarang wajib menikah, demi menjaga kesucian dirinya, dan
jalannya adalah dengan cara menikah.15 Sabda Nabi Muhammad saw:

 
   
"   #
    ) ( ' & 

(",- .)
Artinya:Tetapi aku berpuasa dan juga berbuka (tidak puasa), mengerjakan
shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang
tidak mengikuti sunnahku, maka ia termasuk bukan golonganku.
(HR. Bukhari).16
Kedua, Orang yang disunnahkan untuk menikah. Yaitu orang yang
syahwatnya

bergejolak,

yang

dengan

pernikahan

tersebut

dapat

menyelamatkannya dari berbuat maksiat kepada Allah swt. Menurut


pendapat Ashabur Rayi, menikah dalam keadaan seperti itu adalah lebih
utama dari pada menjalankan ibadah sunnah, dan itu pula yang menjadi
pendapat para sahabat. Ibnu Masud pernah mengungkapkan, seandainya
ajalku hanya tinggal sepuluh hari dan aku tahu bahwa aku akan meninggal
pada hari yang kesepuluh, sedang pada saat itu aku mempunyai
kesempatan untuk menikah, niscaya aku akan menikah.17

15

Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, cet 1, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 32.
Imam Husein Muslim Ibnu Hijaj, Shoheh Muslim, Libanon: Daarul Kutbi Al-Ilmiyah, tt,
hlm. 1020.
17
Hasan Ayyub , op.cit, hlm. 31.
16

41

Imam Syafii berpendapat, mengasingkan diri untuk beribadah


kepada Allah adalah lebih baik dari pada menikah, karena Allah telah
memuji Yahya bin Zakaria melalui firmannya:

4zsu/ x8 eu; !$# r& >#t s9$# j?| !$s% uu s3n=y9$# ?y$os
ts=9$# zi $w;tu #Yymu #Yhyu !$# zi 7y=s3/ $P%d|
Artinya:Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyya, sedang ia
tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya),
sesungguhnya Allah mengembirakan kamu dengan kelahiran
(seseorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang
datang) dari Allah, menjadi ikutan menahan dari (hawa nafsu),
dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh. (QS.
Ali Imron: 39).18
Kata al-hasur dalam ayat terakhir ini berarti tidak mencampuri
wanita. Seandainya nikah itu lebih baik, niscaya dia tidak akan memuji
Yahya karena meninggalkannya.19
Sesungguhnya menikah itu lebih dari sekedar kepentingan pribadi,
tetapi ia juga mencakup pemeliharaan agama, perlindungan terhadap
wanita, pengembangan keturunan, serta memperbanyak umat dan
merealisasikan harapan Nabi, dan masih banyak lagi kemaslahatan
lainnya.
Ketiga, orang yang tidak mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah
syahwat atau sebenarnya ia mempunyai nafsu birahi tetapi hilang karena
penyakit atau karena hal lainnya. Mengenai hal tersebut ada dua pendapat:
Pertama, ia tetap disunnahkan menikah, karena universalitas alasan yang
18

Departemen Agama, Al-Quran Dan Terjemahnya, Bandung: Dipenogoro, 2003, hlm. 43.
Hasan Ayyub, op. cit, hlm. 32.

19

42

telah dikemukakan diatas. Kedua, tidak menikah adalah lebih baik


baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan
menghalangi isterinya untuk dapat menikah dengan laki-laki lain yang
lebih memenuhi syarat.20
Sedangkan secara rinci hukum pernikahan yaitu:
a. Fardu
Hukum pernikahan fardu, pada kondisi seseorang yang mampu
biaya wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya
diri bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan
isteri yakni pergaulan dengan baik. Demikian juga, ia yakin bahwa jika
tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan puasa yang
dianjurkan Nabi tidak akan mampu menghindarkan dari perbuatan
tersebut. Nabi bersabda:

  
  ! #
% &#   


  
!  )  # +!& # -. 

/
Artinya: Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian ada kemampuan
biaya nikah, maka nikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu
hendaknya berpuasalah, sesungguhnya ia sebagai perisai
baginya.21
Pada saat seperti di atas, seseorang dihukumi fardu untuk
menikah, berdosa meninggalkannya dan maksiat serta melanggar
keharaman.

20

Hassan Ayyub, op.cit, hlm. 33.


Imam Husein Muslim Ibnu Hijaj, op.cit, hlm. 1019.

21

43

b. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaya nikah, mampu menegakan keadilan dalam pergaulan
yang baik dengan isteri yang dinikahinya, dan ia mempunyai dugaan
yang kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah. Keadaan
seseorang seperti di atas wajib untuk menikah, tetapi tidak sama dengan
kewajiban pada fardu nikah di atas. Karena dalam fardu, dalilnya pasti
atau yakin (qathi) sebab-sebabnya pun juga pasti. Sedangka dalam
wajib nikah, dalil dan sebab-sebabnya adalah atas dugaan kuat (zhanni),
maka produk hukumnya pun tidak qathi tetapi zhanni.22
c. Sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan keamampuan untuk
melangsungkan

perkawinan,

tetapi

kalau

tidak

kawin

tidak

dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukumnya melakukan


perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat. 23
d. Haram
Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki
kemampuan nafkah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah.
Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram
secara pasti, jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi
penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti

22

Abd. Aziz Moh. Azam dan Abd. Wahab Sayyed Hawass, op.cit, hlm. 45.
Abd. Rahman Ghazaly, op.cit, hlm.19-20.

23

44

melarang hak-hak isteri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti,


maka menikahnya menjadi haram. Firman Allah SWT:

...012 3 4 "(7' 8



Artinya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan..(QS Al-Baqaroh: 195)24
Termasuk juga hukumnya haram perkawinan bila seseorang
kawin dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, masalah wanita
yang dikawini itu tidak di urus hanya agar wanita itu tidak dapat kawin
dengan orang lain.25
e. Mubah
Pernikahan hukumnya mubah seperti akad jual beli dan makan
minum. Seseorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak
khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekali pun membujang lama
dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap isteri. Demikian juga
pendapat Asy-Syafiiyah dan orang-orang yang sepakat dengan
pendapat mereka. Alasannya yang dikemukakan mereka bahwa
menikah mubah dan tidak wajib adalah dalil yang dipetik dari teks AlQuran dan hadis (dalil manqul) dan dalil yang diambil dari akal (dalil
maqul).26

24

Departemen Agama, op.cit, hlm.23.


Abd. Rahman Ghazaly, op. cit, hlm. 21.
26
Abd. Aziz Moh. Azzam dan Abd Wahhab Sayyed Hawwas, op.cit, hlm. 47-48.
25

45

Dalil nash (manqul) yang dijadikan dasar adalah firman Allah swt:

u 'x tt 39ur'/ (#tF6s? r& 69s u!#uu $ 3s9 m&u


4 s|
Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina. (QS. An-Nisa: 24).27
Ayat ini mengungkapkan pernikahan atau perkawinan dengan
menggunakan kata :;< (uhilla) maknanya dihalalkan berarti mubah,
tidak wajib dan tidak mandub. Kata tersebut hanya dipahami mubah,
tidak bisa yang lain.
Ulama Syafiiyah mengambil dalil secara manqul, bahwa
seseorang yang mampu menikah, jika tidak khawatir dirinya melakukan
perbuatan zina kemudian ia tinggalkan karena cinta beribadah, maka
beribadah baginya lebih utama.28
Dalil rasional (maqul), pernikahan itu urusan duniawi, yakni
untuk memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan, dan berpakaian.
Seseorang yang memenuhi kebutuhan biologisnya dengan pernikahan
berarti sebagaimana memenuhinya dengan makan dan minum. Orang
yang melakukannya berarti mempertahankan instinknya. Oleh karena
itu, nikah berlaku bagi orang mukmin dan selain mukmin, orang baik
dan orang jahat, dalam hal untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya.

27

Departemen Agama, op.cit, hlm.65.


Abd. Aziz Moh. Azzam dan Abd Wahhab Sayyed Hawwas, op.cit, hlm. 47-48.

28

46

Itulah di antara ciri-ciri mubah, tidak dituntut syara dan tidak dilarang.
Ia dibiarkan berjalan sesuai dengan alur kondisi seseorang, baik secara
psikologi maupun tradisi.29
Sedangkan

menurut

mayoritas

ulama

seperti

Hanafiyah,

Malikiyah, dan Hanabilah, hukum nikah seseorang dalam keadaan


normal adalah sunnah muakkadah. Alasan yang dikemukakan mereka,
bahwa Nabi saw melakukan dan menganjurkannnya, tetapi tidak
mewajibkan kepada setiap individu dari manusia sebagaimana dalam
fardu dan wajib. Dalil yang dijadikan dasar adalah hadis yang
diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:

"  
 # '  ;
Artinya:Barangsiapa yang senang fitrahku, hendaklah melakukan
sunnahku dan di antara sunnahku adalah menikah.30
Hadis di atas menunjukan sunnahnya pernikahan secara muakkad
(anjuran kuat, tidak ditinggalkan kalau tidak udzur syari). Syariat Islam
peduli pernikahan karena melihat bahwa hanya dengan menikah urusan
sosial, perumahtanggaan, dan pendidikan generasi akan berjalan dengan
baik dan sempurna.
f. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran.
Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak di

29
30

Abd. Aziz Moh. Azzam dan Abd Wahhab Sayyed Hawwas, op.cit, hlm. 50-51
Imam Husein Muslim Ibnu Hijaj, op.cit, hlm. 1020.

47

khawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi


penganiayaan isteri yang tidak sampai ke tingkat yakin.31

5. Hak dan Kewajiban Suami Isteri


Jika akad nikah telah berlangsung, dan sah memenuhi syarat
rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan
menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami isteri.
Jika suami isteri sama-sama menjalankan tanggungjawabanya
masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati,
sehingga sempurnalah kebahagian hidup berumah tangga. Dengan
demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntutan
agama, yakni sakinah, mawaddah wa rahmah.
f. Hak bersama suami isteri
1. Suami isteri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan
seksual.
2. Haram melakukan perkawinan, yaitu isteri haram dinikahi oleh ayah
suaminya, datuknya (kakeknya), anaknya dan cucunya. Begitu juga
ibu isterinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram
dinikahi oleh suaminya.
3. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah,
bilamana seseorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan

31

Ibid, hlm. 46.

48

perkawinan, yang lain dapat mewarisi hartanya, sekalipun belum


pernah berhubungan seksual.32
4. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi suaminya.
5. Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) yang baik, sehingga
dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup.33 firman Allah
swt:

.. y9$$/ $tu
Artinya:. Dan pergaulilah mereka (isteri) dengan baik
(QS. An-Nisa: 19).34
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan
secara rinci, yakni:
a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah warahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
b. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
d. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

32

M. Thalib, Perkawinan Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993,hlm. 20.


Abd. Rahman Ghazaly, op.cit, hlm. 155-157.
34
Departemen Agama, op.cit, hlm. 64
33

49

e. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat


mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. (pasal 77)35
f. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
g. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh
suami isteri bersama. (pasal 78).36
g. Hak dan kewajiban suami terhadap isteri
1) Hak suami atas isteri
a. Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat.
b. Isteri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
c. Menjauhkan

diri

dari

mencampuri

sesuatu

yang

dapat

menyusahkan suami.
d. Tidak bermuka musam di hadapan suami.
e. Tidak menunjukan keadaan yang tidak disenangi suami.37
2) Kewajiban suami terhadap isteri
a. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya,
akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang pentingpenting diputuskan oleh suami isteri bersama. Suami adalah kepala
rumah tangga.
b. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

35

Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 28.


Ibid, hlm. 28.
37
Abd. Rahman Ghazaly, op.cit, hlm. 158.
36

50

c. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan


memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, dan bangsa.
d. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, kiswah
dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan pengobatan bagi isteri dan anak serta pendidikan
bagi anak. (pasal 80)38
h. Hak dan Kewajiban isteri terhadap suami
1) Kewajiban isteri terhadap suaminya:
a. Taat dan patuh kepada suami.
b. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman
c. Mengatur rumah dengan baik
d. Menghormati keluarga suami
e. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami
f. Tidak mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk
maju
g. Ridla dan syukur terhadap apa yang diberikan suami
h. Selalu berhemat dan suka menabung
i. Selalu berhias, bersolek untuk dan dihadapan suami.39
2) Hak-hak isteri terhadap suami:
a. Mendapatkan sandang, nafkah, dan papan.

38
39

Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 29.


Abd. Rahman Ghazaly, op. cit, hlm 163.

51

b. Tidak ada yang melarang seorang suami untuk membantu isteri


dalam menyeleasaikan pekerjaan rumah tangga.
c. Sikap lembut terhadap keluarga adalah adab Islami.
d. Melarang suami untuk pulang tengah malam agar keluarganya
tidak terganggu maupun dikejutkan dengan situasi yang
menakutkan.40
e. Hak-hak moril diantaranya: perlakuan yang baik, menjaganya
dengan baik, dan mengumpuli istrinya.41
6. Putusnya Pernikahan
Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut undang-undang No. 1
tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1
menegaskan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.42 Karena itu, undang-undang ini juga
menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan
di depan sidang pengadilan.
Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang, ini dapat dilihat pada
isyarat Rasulullah saw bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal
yang paling dibenci oleh Allah. Sabda Nabi Muhammad saw:

40

M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Fiqh Cinta Kasih: Rahasia Kebahagian Rumah Tangga
(Penerjemah Ahmad Taqyudin ), Kairo Mesir: Erlangga, 2008, hlm. 31-37.
41
M. Thalib, op.cit, hlm. 31-40.
42
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, hlm. 537.

52

(4"B@ F"   . )
?
 ?  @ B C
D
Artinya: Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian). (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan AlHakim).43
Isyarat tersebut menunjukan bahwa talak atau perceraian merupakan
alternative terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh, manakala
bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan
keutuhannya.
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan
rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus/
putusnya perkawinan.44
a. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri, dan
d. Lian karena salah satu melakukan fahisyah, terlebih lagi terbukti
melakukan zina, maka jelas penyelasainnya akan memutuskan tali
perkawinan.
Dalam undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 38 menyatakan bahwa
perkawinan dapat putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas keputusan pengadilan.45

43

Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, op.cit, hlm. 168.


Ibid, hlm 269-274.
45
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, hlm. 549.

44

53

Pekawinan dalam Islam adalah ibadah dan mitsaqan ghalidhan


(perjanjian suci). Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi
perceraian, tidak begitu saja selsesai urusannya, akan tetapi ada akibatakibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai.
Malahan akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan karena
perceraian saja, namun kematian salah satu pihak, juga memiliki
konsekuensi hukum tersendiri.46
Dalam pasal 38 UU nomor 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa
perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, dan atas keputusan
pengadilan.
Menurut ketentuan pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anaknya.
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, dan ibu bisa ikut memikul biaya
tersebut apabila bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.47
d) Ketentuan pasal 41 Undang-Undang Perkawinan tersebut memang lebih
bersifat global, dan kompilasi merincinya dalam lima kategori yakni:
46
47

Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 282.


R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, hlm. 550.

54

akibat cerai talak, cerai gugat, akibat khulu, akibat lian, dan akibat
kematian suami. 48
1. Akibat talak
Menurut ketentuan pasal 149 Kompilasi Hukum Isalam
dinyatakan sebagai berikut: Bilamana perkawinan putus karena
talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mutah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla
dukhul.
b. Memberi nafkah, maskawin dan kiswah (tempat tinggal dan
pakaian) kepada bekas isteri selama dalam masa iddah, kecuali
bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh
apabila qabla dukhul.
d. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan, termasuk di
dalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai
umur 21 tahun.49 Firman Allah swt:

s9 (# s? r& "ys? s9 $t u!$|i9$# )=s ) /3n=t yy$u_ 


$JtGt ys% I)9$# n?tu ys% RQ$# n?t nFtu 4 Z s
tsRQ$# n?t $)ym ( +y9$$/
48
49

Kompilasi Hokum Islam, op.cit, hlm. 48-52.


Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 48.

55

Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika


kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah (pemberian)
kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut.Yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang yang berbuat kebijakan.
(QS. Al-Baqaroh: 236).50
2. Akibat perceraian(cerai gugat)
Akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 156:51
a. Anak yang beluum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah
dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh: wanita-wanita dalam garis lurus
ke atas dari ibu, ayah, wanita lurus ke atas dari ayah, saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita kerabat
sedarah menurut garis samping ibu dan ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadlanah dari ayah atau ibunya.
3. Akibat Khulu
Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa
perceraian dengan jalan khulu mengurangi jumlah talak dan tidak
dapat dirujuk.52

50

Departemen Agama, op.cit, hlm. 30.


Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 50.
52
Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 52.
51

56

Akibat hukum khulu adalah sama dengan akibat hukum


karena talak tiga. Menurut mayoritas (jumhur) ulama, suami apabila
telah mengkhulu isterinya, maka isteri itu bebas, dan semua
urusannya terserah kepadanya, dan tidak boleh lagi suami rujuk
kepadanya, karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk
membebaskan dirinya dari perkawinan.53
4. Akibat lian
Pasal 162 Kompilasi Hukum Isalm menjelaskan Bilamana
lian terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak
yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya
terbebas dari kewajiban memberi nafkah.54
5. Akibat kematian suami
Apabila si suami meninggal, maka si isteri selain menjalani
masa tunggu ia juga berhak mewarisi harta peninggalan si suami,
dan sekaligus berkewajiban memelihara anak-anaknya. Disamping
itu Kompilasi juga mengintrodusir pembagian harta bersama
sebelum harta peninggalan suaminya itu dibagi menurut ketentuan
pembagian harta waris. Pasal 157 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana
tersebut dalam pasal 96 dan 97:55
a. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama.
53

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 6, kairo: Maktabah Al- Adab,tt, hlm. 114.
Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 51.
55
Kompilasi Hukum Islam, op.cit, hlm. 31.
54

57

b. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang


isteri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan Pengadilan Agama.56
7. Pemberian dari Calon Suami Kepada Calon Isteri
a. Mahar
Mahar berasal dari perkataan Arab didalam Al-Quran

istilah

mahar disebut denagan al-shadaq, al-saduqoh, al-nihlah, al-ajr, alfaridah dan al-aqduh. Menurut istilah syara mahar ialah suatu
pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri dengan
sebab pernikahan.57
Mengikuti tafsiran akta undang-undang keluarga Islam (wilayah
persekutuan)

1984

menyatakan

maskawin

berarti pembayaran

perkawinan yang wajib dibayar dibawah hukum syara oleh

suami

kepada isteri pada masa perkawinan di akad nikahkan, sama ada berupa
uang yang sebenarnya dibayar atau diakui sebagai hutang dengan atau
tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang menurut hukum syara dapat
dinilai dengan uang. Terdapat banyak dalil yang mewajibkan mahar
kepada isteri, firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 4:

=3s $Tt i &x t 3s9 t *s 4 \'s#t Js%| u!$|i9$# #?#uu


$\+ $\y
56
57

Ibid, hlm. 33.


Amir Syarifudin, op.cit, hlm. 84.

58

Artinya:Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senag hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
(QS. An-Nisa: 04).58
Firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 24

4 3n=t !$# |=tG. ( 6yr& Ms3n=t $t ) !$|i9$# z Mo|s9$#u


u 'x tt 39ur'/ (#tF6s? r& 69s u!#uu $ 3s9 m&u
u 4 Z s u_& ?$ts ] / tGtG$# $ys 4 s|
$=t t%x. !$# ) 4 x9$# t/ . / F?|t s? $y 3n=t yy$o_
$V3ym
Artinya:Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapannya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa: 24).59
Pemberian

mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami

terhadap isteri. Selain itu ia mencerminkan kasih sayang dan kesediaan


suami hidup bersama isteri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan

58
59

Departemen Agama, op.cit, hlm. 61.


Ibid, hlm. 65.

59

rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang


suami terhadap isteri.
Walau bagaimana pun mahar tidaklah merupakan rukun nikah atau
syarat sahnya suatu pernikahan. Sekiranya pasangan setuju menikah
tanpa menentukan jumlah mahar, pernikahan tersebut tetap sah tetapi
suami diwajibkan membayar mahar misil (yang sepadan). Ini
berdasarkan satu kisah yang berlaku pada zaman Rasululah saw dimana
seorang perempuan menikah tanpa disebutkan maharnya. Tidak lama
kemudian

suaminya meninggal dunia

sebelum

sempat

bersama

dengannya (melakukan persetubuhan) lalu Rasulullah mengeluarkan


hukum supaya perempuan tersebut diberikan mahar misil untuknya.60
b. Macam-macam mahar
1. Mahar Musamma
Mahar yang disebut dengan jelas jumlah dan jenisnya dalam
suatu akad nikah seperti yang di amalkan dalam perkawinan
masyarakat kita pada saat ini. Ulama telah bersepakat bahwa mahar
musamma wajib dibayar oleh suami apabila berlaku salah satu dari
pada perkara-perkara berikut:
a. Berlakunya persetubuhan di antara suami isteri
b. Kematian salah seorang diantara mereka baik suami ataupun isteri.61
2. Mahar Misil (mahar yang sepadan)

60
61

Amir Syarifudin, op.cit, hlm. 85.


Ibid, hlm.85

60

Mahar yang tidak disebut jumlah dan jenisnya dalam suatu akad
nikah. Sekiranya berlaku keadaan ini, mahar tersebut hendaklah di
qiyaskan (disamakan) dengan mahar perempuan yang setara dengannya
dikalangan keluarganya sendiri seperti adik beradik perempuan seibu
sebapak atau sebapak atau ibu saudarnya. Sekiranya tiada, maka di
qiyaskan pula

dengan mahar

setara dengannya

dari

segi

perempuan-perempuan
kehidupan dalam

lain

masyarakat

yang
dan

sekiranya tiada juga, terpulang kepada suami berdasarkan kepada


adat dan tradisi setempat.62
c. Syarat- syarat Mahar
Mahar boleh berupa uang, perhiasaan, perabot rumah tangga,
binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya yang
mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara
jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global, misalnya
sepotong emas atau sekarung gandum.63
Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan
mahar itu adalah barang yamg halal dan

berharga dalam syariat

Islam.64
Selain itu, perincian syarat mahar adalah sebagai berikut:
1. Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa
khamar dan babi juga yang telah diharamkan oleh agama.
62

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 1999,
hlm. 116-120.
63
Abd. Aziz Moh. Azzam dan Abd Wahhab Sayyed Hawwas, op.cit, hlm. 184.
64
Muammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzha (penrj. Afif Muhammad, dkk),
Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004, hlm. 365

61

2. Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidak jelasan maka tidak
sah dijadikan mahar seperti mahar rumah yang tidak ditentukan.
3. Mahar dimilki dengan pemilikan sempurna. Syarat ini mengecualikan
yang kurang atau tidak sempurna, seperti mahar sesuatu yang dibeli
dan belum diterima, pemilikan seperti ini tidak sah dijadikan mahar.
4. Mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang
tidak ada kemampuan menyerahkan seperti burung di awangawang atau ikan di laut.65
d. Batasan Mahar
Para wali tidak boleh menetapkan syarat uang atau harta (kepada
pihak lelaki) untuk diri mereka, sebab mereka tidak mempunyai hak
dalam hal ini. Ini ialah hak perempuan (calon isteri) semata, kecuali
ayah. Ayah boleh meminta syarat kepada calon menantu sesuatu yang
tidak merugikan puteri dan mengganggu pernikahannya. Jika ayah tidak
meminta persyaratan seperti itu, maka itu lebih baik dan utama. Allah swt
berfirman dalam surat An-Nur ayat 32:

(#3t ) 4 6!$t)u /.$t6 ts=9$#u 3 4ytF{$# (#s3r&u


=t u !$#u 3 &#s !$# u!#t s)
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan

65

Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op.cit.,hlm.116-120

62

mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas


(pemberianNya)Lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32).66

Manakala beban biaya pernikahan itu semakin sederhana dan


mudah, maka semakin mudahlah penyelamatan terhadap kesucian
kehormatan laki-laki dan wanita dan semakin kurang pulalah peruntukan
keji (zina) dan kemungkaran dan jumlah umat Islam makin bertambah
banyak.
Rasulullah menganjurkan agar kita mempermudah mahar. Walau
bagaimana pun suami boleh memberikan mahar yang tinggi kepada isteri
berdasarkan ayat Al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 20

s #Y$s% 1yn) F?s?#uu 8ly %x6 8ly t#y7G$# ?ur& )u


$Y?6 $VO)u $YtG/ tz's?r& 4 $x (#{'s?
Artinya: Dan jika kamu inigin mengganti isterimu dengan isteri yang
lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang
diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali darinya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. (QS. N-Nisa:
20).67

b. Khitbah (pinangan)
Peminangan merupakan langkah awal menuju kearah perjodohan
antara seorang pria dan seorang wanita. Islam mensyaritkannya agar

66
67

Departemen Agama, op.cit, hlm. 282.


Departemen Agama, op.cit, hlm. 64.

63

masing-masing calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami


pribadi mereka.
Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang
laki-laki terhadap seorang wanita, belum berakibat hukum. Pada
prinsipnya peminangan belum berakibat hukum, maka di antara mereka
yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi)
sampai dengan mereka melangsungkan akad perkawinan.

68

Apabila

bersepi-sepi disertai dengan mahrom, maka dibolehkan, karena adanya


mahrom dapat menghindarkan mereka terjadinya maksiat. Riwayat
Jabir, menyatakan Nabi Saw. bersabda: barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka janganlah mereka bersepi-sepi dengan
perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena pihak ketiganya
adalah syaitan.
Tidak jelas penyebabnya, tampaknya ada anggapan sebagian
masyarakat seakan-akan apabila mereka sudah bertunangan, ibaratnya
sudah ada jaminan mereka menjadi suami isteri. Oleh karena itu hal ini
patut mendapat perhatian semua pihak. Bukan mustahil karena
longgarnya norma-norma etika sebagian masyarakat, terlebih yang telah
bertunangan, akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari, apabila
mereka terjebak ke dalam perzinaan.69
Dalam kaitan peminangan ini, dalam masyarakat terdapat
kebiasaan pada waktu upacara tunangan, calon mempelai laki-laki
68
69

Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 67


Ibid, hlm. 67

64

memberikan sesuatu pemberian seperti perhiasan atau cendera hati


lainnya sebagai kesungguhan niatnya untuk melanjutkannya ke jenjang
perkawinan. Pemberian ini harus dibedakan dengan mahar. Mahar
adalah pemberian yang di ucapkan dalam akad nikah. Sementara
pemberian ini, termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah. Akibat
yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah, berbeda dengan pemberian
dalam bentuk mahar. Apabila peminangan tersebut berlanjut ke jenjang
perkawinan memang tidak menimbulka maslah, tetapi jika tidak,
diperlukan penjelasan tentang status pemberian itu.
Apabila pemberian tersebut sebagai hadiah atau hibah, jika
peminangan tidak dilanjutkan dengan perkawinan, maka si pemberi
tidak tidak dapat menuntut kembalinya pemberian itu. Persoalan
sekarang, bagaimana apabila hal tersebut terjadi. Sebaiknya petunjuk
Rasulullah saw dipedomani, akan tetapi apabila ternyata timbul
masalah, maka musyawarah untuk mencari perdamaian adalah
alternatife yang harus ditempuh, karena damailah pilihan yang Qurani.
Sepanjang perdamaian tersebut tidak bertujuan menghalalkan yang
haram atau yang mengharamkan yang halal. Dengan demikian, dapat
diambil kompromi antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai satu sama
lain.70

70

Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 68.

65

B. Perkawinan Ditinjau dari Hukum Adat


1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut wanita dan pria, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.71
Dalam pengertian lain perkawinan atau nikah adalah akad yang
memberikan hak (keabsahan) kepada laki-laki untuk memanfaatkan tubuh
perempuan demi kenikmatan seksualnya. Sementara menurut yang lain
mengatakan bahwa perkawinan merupakan suatu transaksi dan kontrak
yang sah dan resmi antara seorang wanita dengan seorang pria yang
mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks satu sama
lain. Dipandang dari sudut kebudayaan, menurut Kontjaraningrat,
perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut
dengan kehidupan seknya, ialah kelakuan seks, terutama persetubuan.72
Pengertian perkawinan tersebut di atas, menunjukkan bahwa perkawinan
merupakan bentuk kontrak sosial yang mana kontrak sosial tersebut bisa
saja disahkan oleh kebiasaan/ adat, oleh agama, oleh negara atau ketigatiganya.
Dari uraian tersebut, perkawinan dapat diartikan sebagai kontrak
sosial antara laki-laki dengan perempuan, yang dilegalkan oleh adat atau

71

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung


Agung, 1984, hlm. 122.
72
Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat 1992, hlm.
93.

66

norma hukum formal untuk melakukan hubungan persetubuhan dan


membentuk keluarga.73
Banyaknya budaya dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia membuat perkawinan tidak serta merta berarti suatu ikatan
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk bermaksud
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan
keluarga rumah tangga. Berdasarkan hukum adat perkawinan juga berarti
suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak
isteri dan pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan
kekerabatan untuk dapat saling membantu dan

menunjang hubungan

kekerabatan yang rukun dan damai.74


Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari suatu
perkawinan tersebut didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah
orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu ataupun garis
orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang
sebagi anggota kerabat adalah merupakan barometer dari asal usul
keturunan seseorang yang baik dan teratur.
2. Azas-azas Perkawinan Menurut Hukum Adat
Adapun azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

73

Sugeng Pujileksono, Petualangan Antropologi Sebuh Pengantar Ilmu Antropologi,


Malang: UMM Press 2006, hlm. 43-53.
74
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT Citra Adtya Bakti, 1995,
hlm. 70.

67

b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama


dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para
anggota kerabat.
c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut
hukum adat setempat.
d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat. Masyarakat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang
tidak di akui oleh masyarakat.
e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria atau wanita yang belum cukup
umur atau masih anak-anak, begitu pula walaupun sudah cukup umur
perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/ keluarga dan kerabat.75
f. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan,
perceraian antara suami isteri dapat berakibat pecahnya hubungan
kekerabatan antara dua pihak.76
g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan
sebagai ibu rumah tangga dan ada yang bukan ibu rumah tangga.77
3. Fungsi Perkawinan Menurut Hukum Adat
Dalam kehidupan manusia kita dapat melihat kenyataan-kenyataan
bahwa dua orang yang berlainan jenis yaitu antara seorang pria dan wanita

75

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Haji


Masagung, 1989, hlm. 133.
76
Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 71-73.
77
Hilman Hadikusuma, op.cit.,hlm. 71.

68

menjalani kehidupan bersama dalam suatu kesatuan rumah tangga. Mereka


itu yang disebut suami isteri, kehidupan mereka didasari oleh kaidahkaidah hukum yang ditentukan. Keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
menentukan prosedur yang harus dilalui beserta ketentuan-ketentuan
hukum yang menentukan akibat-akibat hukumnya, itulah yang dinamakan
dengan hukum perkawinan.78
Menurut hukum adat perkawinan itu sendiri berfungsi

untuk

meneruskan keturunan yang didapat dari hasil perkawinan itu. Oleh karena
itulah di dalam hukum, adat perkawinan itu bukan hanya urusan dari pihak
yang akan melaksanakan perkawinan saja melainkan urusan dari orang tua
kedua belah pihak saja.79

4. Tradisi Seserahan Dalam Perkawinan Hukum Adat


Seserahan sudah menjadi tradisi bagian yang umum dalam
rangkaian pernikahan di Indonesia. Seserahan yang dulu tidak wajib
hukumnya, kini sudah mengakar budaya dan menjadi bagian dari proses
pernikahan. Seserahan ini kadang juga disebut hantaran.
Seserahan ini juga ada yang mengartikan dengan uang hantaran atau
tukon yakni sumbangan atau bantuan dari pihak mempelai pria kepada

78

Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang Tentang


Perkawinan Serta Peraturan Pelaksaannya, Bandung: Tarsito 1992, hlm. 1.
79
Ibid, hlm. 2.

69

pihak mempelai wanita untuk meringankan biaya resepsi atau upacara


perkawinan yang diselenggarakan oleh pihak wanita.80
Seserahan merupakan simbolik dari pihak pria sebagai bentuk
tanggung jawab ke pihak keluarga, terutama orang tua calon pengantin
perempuan.Untuk adat istiadat di Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur) biasanya seserahan diberikan pada saat malam sebelum akad
nikah, tetapi ada juga yang melakukan seserahan pada saat acara
pernikahan.
Di Jawa biasanya disamping mas kawin atau sir kawin (daun sirih)
yang merupakan pengaruh Islam (mahar), pihak mempelai pria biasanya
masih memberikan uang tukon dan barang-barang lainnya yang disebut
lamaran, serah-serahan, atau walimah yang berupa bahan mentah maupun
makanan yang sudah masak dan kadang-kadang juga ternak hidup (ayam,
kambing atau sapi) untuk membantu mencukupi kebutuhan pihak kelurga
mempelai wanita.81
Barang-barang yang lazimnya menjadi barang seserahan adalah:
pakaian (kebaya dan kain/ baju kerja/ baju pesta), alat-alat perawatan
tubuh (sabun, shampoo, body lation, bedak badan), perhiasan, makanan,
dan perhiasan. Barang seserahan di atas tidak mutlak tetapi dapat
disesuaikan dengan kebutuhan, selera dan budget (dana yang ada). Intinya
barang seserahan biasanya adalah barang yang bisa dipakai oleh calon

80

H. A. M. Effendi, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang: Duta Grafika, 1990, hlm. 124-

81

Ibid, hlm. 125

125.

70

pengantin perempuan. Jumlahnya biasanya ganjil 5/ 7/ 9 tergantung


selera.82
Pada masa lampau, jumlah barang hantaran menunjukan tingkat
sosial keluarga pengantin pria. Memang walaupun budaya seserahan ini
tidak wajib dalam pernikahan, tetapi sudah seperti menjadi kewajiban
tersendiri dari pihak pengantin pria dalam rangka keseriusannya meminang
sang pengantin wanita.
Di beberapa daerah yang masih memegang teguh adat istiadat,
biasanya dimasukkan juga barang pusaka seperti keris, kain adat, dan
semacamnya di dalam seserahan. Pemberian daun sirih ayu bermakna
mendoakan

keselamatan,

pakaian

batik

bermakna

mendoakan

kebahagiaan, kain kebaya bermakna mendoakan kebahagiaan, dan buahbuahan bermakna mendoakan keselamatan.
Setelah pihak pengantin pria memberikan seserahan kepada
pengantin wanita, maka pihak pengantin wanita akan memberikan
seserahan balik kepada pihak pengantin pria, akan tetapi hal ini sifatnya
tidak wajib. Isi dari kotak seserahan tersebut di antaranya adalah pakaian
pengantin dan seluruh perlengkapannya yang akan dipakai oleh pengantin
pria pada saat akad nikah/ pemberkatan, keperluan pengantin pria seperti
pakaian, sepatu, parfum, dasi, ikat pinggang, makanan, barang pusaka
milik keluarga pengantin pria, dan lain-lain.

82

http://tipspernikahan.blogspot.com/2011/07/budaya-seserahan-pada-pernikahan.html.
Di akses pada taggal 22 Februari 2012.

71

Seserahan hanyalah budaya tradisional dan bukan merupakan rukun


dari pernikahan itu sendiri, jadi pernikahannya tetap sah dimata agama dan
hukum sipil.83

83

http://tipspernikahan.blogspot.com/2011/07/budaya-seserahan-pada-pernikahan.html. Di
akses tanggal 25 Februari 2012

BAB III
PENARIKAN KEMBALI HARTA SESERAHAN PASCA PERCERAIAN
DI DESA SINDANGJAYA

A. Gambaran Umum Desa Sindangjaya


1. Kondisi Setting Sosial
Secara geografis Desa Sindangjaya berada dalam wilayah Kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes, Kabupaten paling barat di Provinsi Jawa
Tengah. Kabupaten Brebes berbatasan dengan Kota Tegal di sebelah timur
dan berbatasan dengan Kota Cirebon di sebelah barat. Kabupaten Brebes
terkenal dengan ciri khasnya yaitu penghasil telur asin dan bawang merah,
daerah Brebes bagian utara penghasil telur asin sedangkan daerah Brebes
bagian selatan penghasil bawang merah.1
Desa Sindangjaya berada dalam wilayah Kecamatan Ketanggungan,
sebelah timur berbatasan dengan Desa Kamal yang merupakan bagian dari
daerah kecamatan Larangan Kabupaten Brebes. Bagian utara berbatasan
dengan desa Cikeusal Kecamatan Ketanggungan, bagian selatan berbatasan
dengan Desa Ciseureuh Kecamatan Ketaggungan dan bagian barat
berbatasan dengan Desa Pamedaran Kecamatan Ketanggungan Kabupaten
Berebes.2

1
2

Data Monografi Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011
Ibid

72

73

Desa Sindangjaya memiliki dua Dukuh yakni Dukuh Pasir Panjang


dan Dukuh Parenca. Dukuh Parenca ini berada dibagian timur Desa
Sindangjaya dan Dukuh Pasir Panjang berada disebelah selatan Desa
Sindangjaya.3
Aparat Pemerintahan Desa Sindangjaya yaitu; Kepala Desa: Tjarlam
A.ma, Sekretaris Desa: Amat Syukur, Kaur Pemerintahan: Amal H, Kaur
Exbang: Rohim, Kaur KU: Safar, Kaur Umum: Kasid, Kadus I: Imron
Rosyadi, Kadus II: Sarna, Kadus III: Muhtadi, Kesra: Rasmud,
Pemerintahan Kesra: Cartim. Di Desa Sindangjaya juga ada Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Badan Perwakilan Desa (BPD), dan
PKK.4
Desa Sindangjaya memiliki luas daerah/ wilayah 340 HA, luas Desa/
Kelurahan 340 HA, tanah sawah 232,5 HA, irigasi teknis 0, irigasi setengah
teknis 40,5 HA, sederhana 0, tadar 192 HA, tanah kering 107 HA,
pakarangan/ bangunan 23,5 HA, padang gembala 0, rawa 0, dan hutan
Negara 35 HA. Desa Sindangjaya memiliki Desa/ Kelurahan I, Dusun 3,
Dukuh 2, RW 5, dan RT 24.5
Desa Sindangjaya memiliki 4541 jiwa yang terdiri dari 2249 laki-laki
dan 2292 perempuan, 2623 kepala keluarga (KK), 639 buah rumah tembok,
301 buah rumah setengah tembok, 266 buah rumah dengan bambu, 34 buah

Data Monografi Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011
Struktur pemerintahan Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes
tahun 2012.
5
Arsip Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes
4

74

Mushola, 24 buah kendaraan roda empat, 482 buah kendaraan roda dua, 32
orang PNS, dan 41 orang Sarjana.6
2. Kondisi Mata Pencaharian
Wilayah Desa Sindangjaya merupakan daerah pegunungan dan
dataran rendah, di sekililing Desa Sindangjaya terdapat gunung-gunung
kecil, area persawahan, perkebunan, dan tegalan. Mayoritas masyarakat
Desa Sindangjaya adalah petani, mereka sehari-sehari mencari rejeki dari
hasil pertanian. Masyarakat Desa Sindangjaya mendapatkan penghasilannya
dari hasil pertanian yakni setelah pertanian mereka panen.
Pertanian yang terkenal di Desa Sindangjaya yaitu perkebunan
Bawang Merah. Kebanyakan masyarakat Desa Sindangjaya bercocok tanam
bawang merah. Pertanian bawang merah ini menjadi andalan dan di
unggulkan oleh masyarakat Desa Sindangjaya, karena apabila harga bawang
merah tinggi dan hasil panen juga baik maka pendapatan yang didapat
cukup banyak, akan tetapi apabila harga tidak mendukung maka kerugian
pun cukup banyak karena biaya yang dibutuhkan untuk menanam bawang
merah cukup banyak.7
Masyarakat Desa Sindangjaya selain penghasil bawang merah juga
penghasil jagung dan padi. Mereka menanam bawang merah, jagung dan
padi secara berurutan dalam setahun, menyesuaikan musim yang ada.
Masyarakat Desa Sindangjaya selain ngurusi pertanian di waktu
tenggangnya mereka ngurusi peternakan, mereka mempunyai hewan ternak
6

Arsip jumlah warga Desa Sindangjaya pada tanggal 26 Januari 2011.


Wawancara dengan Bapak Khoerudin (petani bawang merah) di rumahnya tanggal 21
Februari 2012 jam 19.30 wib.
7

75

seperti sapi dan kambing. Akan tetapi tidak semua masyarakat mempunyai
hewan ternak ini. Hewan ternak ini sebagai harta tabungan jikalau suatu saat
nanti ada kebutuhan yang mendadak dan tidak ada uang mereka menjual
hewan ternak tersebut. Hewan ternak yang mereka pelihara juga jumlahnya
tidak banyak, karena memelihara hewan ternak bukan sebagai mata
pencaharian utama, tetapi hanyalah untuk mengisi waktu senggang.8
Mata pencaharian masyarakat Desa Sindangjaya selain sebagai petani,
sebagian masyarakat yang lain juga ada yang menjadi juragan/ bakul
bawang merah, hasil pertanian dan hewan ternak, karena masyarakat Desa
Sindangjaya penghasil bawang merah, pertanian dan hewan ternak.9
Masyarakat Desa Sindangjaya yang lain juga ada yang menjadi
pedagang, mereka membuka warung-warung kecil, kios, dan warung
perlengkapan pertanian di rumahnya seperti obat-obatan pertanian, benih
dan pupuk pertanian.
Masyarakat Desa Sindangjaya memang terkenal dengan pertaniannya
yakni penghasil bawang merah, akan tetapi ada juga sebagian masyarakat
yang lain yang merantau keluar kota seperti Jakarta, Semarang, dan ada juga
yang merantau keluar Jawa seperti ke Kalimantan. Mereka mencari
penghasilan dengan berdagang dan ada juga yang menjadi tukang bangunan
Kehidupan masyarakat Desa Sindangjaya sangat ditentukan dari hasil
pertaniannya, hidup makmur dan tidaknya ditentukan dari hasil panennya.
Mereka mendapatkan pendapatan dari hasil pertaniannya, dan pertanian
8

Wawancara dengan Bapak Khoerudin (petani bawang merah) di rumahnya tanggal 21


Februari 2012 jam 19.30.
9
ibid

76

sangat ditentukan dari musim hujan yang datang, karena wilayah Desa
Sindangjaya sistem irigasinya belum ada sehingga sistem pertanian mereka
mengikuti musim hujan yang ada.10
3. Kondisi Pendidikan
Di Desa Sindangjaya terdapat lembaga pendidikan seperti Pondok
Pesantren Miftahul Huda yang berada disebelah barat Desa Sindangjaya,
Madrasah Ibtidaiyah Al Miftah 01, Madrasah Ibtidaiyah Al Miftah 02 dan
Sekolah Dasar Negeri yang terletak di sebelah selatan Desa Sindagjaya.
Pada awalnya tiga lembaga pendidikan inilah yang ada di Desa Sindangjaya,
sehingga apabila sudah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah atau pun Sekolah
Dasar mereka melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Miftahul
Huda, karena tidak ada jenjang pendidikan lanjutan di Desa Sindangjaya,
akan tetapi ada juga yang tidak melanjutkan ke Pondok Pesantren, mereka
memilih membantu orang tuanya untuk pergi kesawah dan kekebun atau
merantau keluar kota untuk mencari pekerjaan.11
Pada tahun 2002 berdirilah Madrasah Tsanawiyah Al Miftah yang
kegiatan belajar mengajarnya di tempatkan di Madrasah Ibtidaiyah Al
Miftah 02 karena pada saat itu Madrasah Tsanawiyah belum punya gedung,
tetapi setelah mempunyai gedung yang terletak disebelah selatan Desa
Sindangjaya, Madrasah Tsanawiyah ini kegiatan belajar mengajarnya
dipindah ke gedung baru. Keberadaan Madrasah Tsanawiyah ini sangat
membantu masyarakat Desa Sindangjaya, karena dengan adanya Madarasah
10

Wawancara dengan Bapak Khorudin (petani bawang merah) di rumahnya tanggal 21


Februari 2012 jam 19.30 wib
11
Arsip Kependudukan Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011

77

Tsanawiayah

ini

masyarakat

Desa

Sindangjaya

bisa

melanjutkan

pendidkannya tanpa harus dengan biaya yang mahal.12


Masyarakat Desa Sindangjaya mayoritas ekonominya menengah
kebawah, sehingga untuk melanjutkan tingkat pertama saja mereka pikirpikir, karena takut nanti ditengah jalan tidak mampu dalam hal biaya.
Adanya Madrasah Tsanawiyah ini sangat mendukung dan membantu
masyarakat Desa Sindangjaya sehingga bisa melanjutkan dan mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam hal pendidikan di Desa Sindangjaya tahun terahir ini semakin
maju, terbukti dengan berdirinya Radlatul Athfal Al Miftah dan SMK
Maarif NU 01 Ketanggungan. Berdirinya Lembaga Pendidikan ini sebagai
kepedulian masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan.
Adanya Radlatul Athfal dan SMK Maarif ini sangat membantu masyarakat
Desa Sindangjaya dan menambah kelengkapan dan kemajuan dibidang
pendidikan di Desa Sindangjaya.13
Masyarakat Desa Sindangjaya mulai sadar pentingnya pendidikan,
banyak masyarakat mulai menyekolahkan anak-anaknya keperguruan tinggi,
baik perguruan tinggi yang berada di daerah Brebes seperti Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah (STIT), dan ada juga yang melanjutkan pendidikan perguran
tinggi keluar kota Brebes seperti Universitas Kuningan (UNIKU), IAIN

12
13

Arsip Kependdudukan Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011
Ibid

78

Syekh Nurjati Cirebon, Purwokerto, Tegal, Semarang, Yogyakarta, Jakarta,


dan kota-kota lainnya.14
Pandangan masyarakat bahwa perguruan tinggi sangat membutuhkan
biaya banyak sehingga mereka tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya
untuk melanjutkan keperguruan tinggi, akan tetapi tahun demi tahun jumlah
masyarakat yang menyekolahkan anaknya kejenjang perguruan tinggi
semakin meningkat. Masyarakat mulai sadar akan pentingnya pendidikan
tetapi masih sedikit jumlahnya masyarakat yang berani menyekolahkan
keperguruan tinggi karena takut dengan biaya yang tinggi. Masyarakat
tertentu yang mempunyai kemampuan biaya dan keinginan yang kuat yang
berani melanjutkan anaknya keperguruan tinggi. Kebanyakan masyarakat
Sindangjaya yang sudah lulus dari Madrasah Tsananwiyah dan SMK
(Sederajat) mereka melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren atau
mencari pekerjaan.15
Di Desa Sindagjaya selain ada pendidikan formal seperti Radlatul
Athfal Al Miftah (RA Al Miftah), Madrasah Ibtidaiyah Al Miftah 01 dan
02, Madrasah Tsanawiyah Al Miftah, dan SMK Maarif NU 01
Ketanggungan, ada juga pendidikan non formal yakni Pondok Pesantren
Miftahul Huda, Madrasah Diniyah Miftahul Huda, Madrasah Diniyah
Bustanun Najah yang terletak di Dukuh Pasir Panjang, Madrasah Diniyah

14
15

Arsip kependudukan Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011
Ibid

79

Al Karomah yang berada di Dukuh Parenca, dan kelompok belajar Al


Quran setiap habis maghrib di mushola-mushola.16
4. Kondisi Ekonomi Msyarakat
Tingkat ekonomi masyarakat Desa Sindangjaya beragam tergantung
pada pada jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat tersebut,
akan tetapi mayoritas ekonomi masyarakat Desa Sindangjaya adalah
menengah ke bawah.
Bagi masyarakat yang mata pencahariannya pertanian, mereka
menggantungkan hidupnya pada hasil panen pertaniaannya. Tanah di
wilayah Desa Sindangjaya sangat subur sehingga berbagai macam tanaman
pun dapat tumbuh di daerah ini. Bila datang musim hujan mereka bercocok
tanam padi bagi tanah yang dataran rendah dan bercocok tanam bawang
merah bagi yang dataran tinggi dan pegunungan. Perairan untuk tanaman
mereka mengandalakan dari air hujan, karena di daerah ini sistem
irigaisinya belum begitu berjalan dengan lancar bahkan malah tidak jalan.
Para petani mencukupi kebutuhan sehari-harinya cukup dari hasil
pertanian yang mereka tanam, karena biasanya selain menanam bawang
merah dan padi dibagian pinggirnya ditanami sayur-sayuran seperti terong,
kacang panjang, ketimun, cabai, dan sayur-sayuran lain yang

bisa

digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari.17


Tanaman bawang merupakan perkebunan yang diandalakan oleh
masyarakat Desa Sindangjaya, karena hasil dari perkebunan bawang merah
16

Arsip kependudukan Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011
Wawancara dengan Bapak Khoerudin (petani bawang merah) di rumahnya taggal 21
Februari 2011 jam 19.30 wib.
17

80

ini apabila harga dan hasil panennya baik akan mendapatkan hasil yang
baik. Banyak masyarakat yang membeli motor, televeisi, dan perabotan
rumah tangga lainnya setelah panen bawang merah tersebut. Ada juga
masyarakat yang mengandalkan hasil panen bawang merah tersbut untuk
resepsi pernikahan atau untuk menikah.
Apabila musim bawang merah telah berahir disusul dengan menanam
jagung, cabai, kacang tanah dan lain-lain. Masyarakat Desa Sindangjaya
yang mata pencahariannya dari pertanian tidak ada henti-hentinya lowongan
pekerjaan mengurusi pertanian tersebut, karena mereka bercocok tanam
tidak ada hentinya dan tidak memandang musim kemarau ataupun musim
hujan.
Pertanian mereka sangat berpengaruh pada musim hujan yang datang,
selain area persawahan dan perkebunan yang jauh dari irigasi juga ditambah
irigasi yang kurang berjalan dengan lancar. Masyarakat Desa Sindangjaya
yang mata pencahariannya bercocok tanam secara otomatis mendapatkan
penghasilannya dari hasil panen pertaniannya. Semakin baik hasil panen
pertaniannya maka semakin besar pula penghasilan dan pendapatan yang
diraih, akan tetapi apabila hasil panen yang sedikit dan harga pertanian yang
rendah maka penghasilan yang diterima pun sedikit bahkan rugi, karena
tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan.18
Masyarakat Desa Sindangjaya yang lain ada juga yang menjadi bakul
atau juragan. Bakul atau juragan ini yang membeli hasil pertanian yang
18

Wawancara dengan bapak Khoerudin (petani bawang merah) di rumahnya tanggal 21


Februari 2011 jam 19.30 wib.

81

dihasilkan masyarakat Desa Sindangjaya dan juga petrenkan seperti sapi dan
kambing, mereka membeli bawang merah, jagung, padi, dan hasil pertanian
lainnya untuk dijual kembali keluar Desa bahkan keluar kota. Tarap
kehidupan juragan/ bakul ini lebih tinggi dari pada petani, karena terkadang
mereka bisa meraih untung yang tinggi dari hasil penjualan barang pertanian
yang mereka beli. Pengahsilan yang didapatkan tergantung pada musim
panen yang ada, bila datang musim panen maka pendapatan para juragan
atau bakul pun didapat.19
Ada juga masyarakat yang mata pencahariannya sebagai pedagang,
mereka menyediakan kebutuhan sehari-hari, jajanan, perlengkapan rumah
tangga (perabotan rumah), dan perlengkapan pertanian seperti benih, pupuk
dan lain-lain. Para pedagang ini adakalanya berkeliling untuk mencari
konsumen ada juga yang berdagang dengan membuka warung dirumahnya.
Para pedagang bisa mendapatkan hasil yang banyak jika ada kegiatankegiatan seperti pengajian, turnamen voli, dan lain-lain, karena konsumen
pada saat ada acara tersebut lebih banyak. Pendapatan dan penghasilan yang
didapatkan oleh pedagang tidak seperti petani dan juragan/ bakul yang
menunggu hasil panen pertaniannya untuk mendapatkan penghasilan, akan
tetapi pedagang bisa mendapatkan penghasilan tiap hari karena tiap hari
pasti ada yang membeli atau menjadi konsumen.20
Kebutuhan hidup memang sangat banyak dan perlu dipenuhi sehingga
ada sebagian masyarakat yang mata pencahariannya merantau keluar kota,
19

Wawancara dengan bapak Khoerudin (petani bawang merah) di rumahnya tanggal 21


Februari 2011 jam 19.30 wib.
20
Ibid

82

seperti Jakarta, Semarang, Kalimatan, bahkan ada yang menjadi TKI seperti
ke Malaysia, Saudi Arabia, dan lain-lain. Mereka mencari pendapatan demi
terpenuhinya kebutuhan hidup dan tarap hidup yang layak.21
Masyarakat Desa Sindangjaya beranggapan bahwa menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) adalah peningkatan status sosial sekaligus ekonomi
tersendiri. Kemapanan hidup dianggap terjamin jika menjadi PNS, karena
itulah setiap ada momen rekruitmen PNS di pemerintah Kabupaten begitu
diminati. Peningkatan taraf hidup dianggap dapat dicapai melalui jabatan
PNS dalam berbagai sektor, baik PNS bagian pendidikan, Pengadilan
Agama, sektor pertanian, perikanan dan lainnya. Dari tahun ke tahun
semakin banyak lulusan sarjana yang menjadi PNS.22
Menjadi PNS merupakan idaman semua masyarakat, karena dengan
menjadi PNS mempunyai pendapatan yang tetap dan tidak ada ruginya
seperti halnya petani, pedagang, dan juragan, sehingga mereka tidak pusing
memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan di masa yang akan datang.

5. Kondisi Kehidupan Masyarakat


Kehidupan sosial masyarakat Desa Sindangjaya masih menjunjung
tinggi nilai-nilai toleransi, gotong royong dan tidak diwarnai oleh
kesenjangan. Meskipun beragam lahan ekonomi yang membuat status

21
22

Arsip kependudkan Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011
Ibid

83

sosial mereka berbeda tetapi tidak mengurangi tingkat kedekatan satu sama
lainnya.23
Pada

masyarakat

Sindangjaya

kaum

Kiyai

adalah

panutan

masyarakat. Mereka memiliki kebiasaan untuk mengirim anak-anak mereka


ke Pondok Pesantren yang sangat banyak tersebar di Kabupaten Brebes.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengirim anak-anak mereka pada
pesantren di dalam Desa sendiri dengan pertimbangan jarak yang dekat
dengan rumah dan pertimbangan ekonomi jika mondok di tempat yang
jauh dari Desa akan menuntut biaya yang lebih banyak.24
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Sidangjaya banyak
memiliki tradisi dan tata cara yang menjadi kebiasaan yang berlaku dari
zaman dulu hingga saat ini.

Misalnya dalam kelahiran, kematian,

pernikahan, membangun rumah hingga ritual-ritual lainnya yang sifatnya


menjadi tradisi yang terus berlangsung dan dilestarikan.25
Kebiasaan

yang

berhubungan

dengan

kelahiran

misalnya,

masyarakat Desa Sindangjaya akan mengunjungi keluarga yang mempunyai


anggota keluarga baru (bayi) dengan membawa beras dan makanan ringan
pada saat hari ketujuh setelah kelahiran bayi tersebut. Pada hari ketujuh
setelah kelahiran bayi ini dinamakan dengan di ngaranan (memberi
nama).26

23

Wawancara dengan bapak Tjarlam A,ma (kades Sindangjaya) tanggal 19 Februari 2012
di rumahnya.
24
Ibid
25
Ibid
26
Ibid

84

Tradisi yang ada di masyarakat Desa Sindangjaya yakni apabila bayi


tersebut seorang laki-laki maka bayi tersebut akan digendong di bawa keluar
sambil membawa golok dan di pukul-pukulkan ke pohon yang ada di depan
rumah. Isyarat ini menunjukan bahwa seorang laki-laki nantinya harus bisa
menjadi kepala keluarga dan bisa mencari rejeki untuk menghidupi keluarga
dan bisa mencari kayu bakar untuk memasak. Sedangkan apabila bayi
tersebut perempuan maka bayi tersebut akan digendong sambil membawa
perlengkapan rumah seperti alat memasak dan belanja. Ini mengisyaratkan
bahwa nantinya seorang perempuan harus bisa masak dan menajdi ibu
rumah tangga yang baik.27
Biasanya kerabat dekat dan tetangga akan diundang untuk membaca
doa bersama dalam suatu ritual tersendiri. Setelah doa bersama selesai akan
disuguhi makanan kecil dan pada saat pulang akan diberi berkat (bungkusan
makanan ringan dan nasi lengkap dengan lauknya).
Dalam hal kematian ada tradisi ngalayat, yaitu melayat mulai dari
hari pertama kematian hingga hari keempat puluhnya. Tradisi tahlilan
berlaku mulai malam pertama kematian hingga malam ke tujuh. Maka ada
istilah katiluna (malam ketiga), katujuhna (malam ke tujuh), dan nantinya
pada hari keempat puluh (matang puluh), pada hari kelima puluh (neket)
pada hari keseratus (natus) hingga setahun (mendak) dan hari keseribu

27

Wawancara dengan bapak Tjarlam A,ma (kades Sindangjaya) tanggal 19 Februari 2012
di rumahnya

85

(nyewu) akan didakan pula tahlilan

untuk mengingat dan mendoakan

almarhum secara bersama-sama.28


Pada malam pertama kematian sampai pada hari ketujuh (katujuhna)
diadakan tahlilan secara rutin dan masyarakat akan datang secara sukarela
tanpa di undang, sedangkan pada malam empat puluh (matang puluh), pada
hari kelima puluh (neket), pada hari keseratus (natus), hingga setahun
(mendak), dan hari keseribu (nyewu) juga di adakan tahlilan dengan
mengundang kerabat dekat dan tetangga untuk mendoakan almarhum.
Dapat dipastikan jika si mati adalah tokoh masyarakat atau seseorang
yang dipandang baik dalam kehidupan sehari-hari maka dalam tiap acara
tahlilan-nya akan datang sejumlah banyak orang hingga ratusan orang.
Tradisi tahlilan ini berlaku di semua tempat di segala lapisan sosial
masyarakat Desa Sindangjaya dari kalangan Kiyai, Pejabat Desa hingga
masyarakat biasa.
Tradisi membangun rumah juga memiliki adat tersendiri. Biasanya
orang yang membangun rumah akan mengundang sebagian kerabat dan
tetangganya (ngajak) untuk membantu membangun rumah dan ibu-ibunya
akan datang dengan membawa sebentuk sumbangan beras dan makanan
ringan. Ngajak ini akan dihitung sebagai hutang yang akan dibayar jika si
penyumbang juga melaksanakan yang serupa di lain hari.29
Selain kaya akan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat Desa
Sindangjaya juga banyak ritual keagamaan yang biasa dilaksanakan seperti
28

Wawancara dengan bapak Tjarlam (kades Sindangjaya) tanggal 19 Februari 2012 di


rumahnya.
29
Ibid

86

pembacaan raatiban setiap hari setelah shalat subuh di Mesjid Baitu


Rahman, manaqiban setiap malam Senin dan Sabtu di Mesjid Baitur
Rahman, marhabanan kelompok ibu-ibu setiap malam Rabu, Jumat dan
Minggu.30
Begitu juga dengan organisasi kepemudaan di Desa Sindagjaya
banyak sekali gruf-gruf yang mengembangkan bakat minat dibidang
olahraga bola voli seperti Persada (Persatuan Sadadayeh), Antenk (Anak
Tengah), Hipar (Himpunan Anak Parenca), Ansuda (Anak Suka Damai),
Gelanter (Gelandangan Terampil), Damorio dan Adi Jaya. Desa
Sindangjaya memang terkenal sebagai juara dalam bidang olahraga bola
voli, sehingga terkadang satu sama lain antara gruf bola voli sering terjadi
bentrok pada saat turnamen voli, akan tetapi setelah dari pihak Desa
membuat team bola voli gabungan (yakni Pervosin) bentrok pemuda antar
gruf bola voli tidak terjadi lagi, karena memang tujuan awal membuat team
bola voli gabungan ini untuk menyatukan antar pemuda di Desa
Sindangjaya. 31

B. Tradisi Seserahan di Desa Sindangjaya


Masyarakat Sindangjaya memang kaya akan tradisi dan ritual-ritual.
Tradisi yang ada di Desa Sindangjaya tidak hanya pada saat kelahiran,
kematian, dan kehidupan sehari-hari saja, akan tetapi tradisi yang menuju pada
terjadinya suatu pernikahan juga ada seperti ngomongan (melamar).
30

Ibid
Wawancara dengan bapak Misbahudin (ketua Karangtaruna) Desa Sindangjaya tanggal 8
April 2012 di rumahnya
31

87

Ngomongan (melamar) ini biasanya dilakukan oleh perwakilan dari pihak lakilaki. Pihak laki-laki (perwakilan) mendatangi rumah pihak perempuan dengan
maksud memberitahukan kepada keluarga perempuan bahwa pihak laki-laki
bermaksud meminang pihak perempuan. Pada saat ngomongan ini biasanya
pihak laki-laki memberikan barang sebagai pengikat. Barang yang biasa
diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yakni berupa sarung,
baju (pakaian) atau ada juga yang memakai cincin.32
Setelah ngomongan selesai sehari kemudian dari pihak perempuan ada
tradisi nyorog (memberikan makanan ringan, nasi lengkap dengan lauk
pauknya) kepada pihak laki-laki. Tradisi nyorog ini sebagai ucapan terimaksih
dan diterimanya lamaran dari pihak laki-laki. Nyorog juga bertujuan untuk
memperkenalkan si perempuan kepada pihak keluarga laki-laki. Nyorog ini
biasanya dilakukan tidak hanya karena setelah ngomongan saja, tetapi pada
hari-hari besar seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha juga dilakukan nyorog.
Hal ini bertujuan untuk menunujukan kepada masyarakat bahwa hubungan
antara si laki-laki dan perempuan baik-baik saja.33
Menjelang pernikahan di Desa Sindangjaya ada tradisi seserahan yaitu
penyerahan perabotan rumah tangga dari pihak calon suami kepada calon isteri.
Tradisi seserahan ini sudah ada dari zaman dahulu, tidak ketahui sejak kapan
adanya tradisi seserahan, akan tetapi tradisi seserahan ini sekarang sudah
menjadi adat dan dilakukan oleh sebagian masyarakat bahkan seluruhnya di
Desa Sindangjaya. Tradisi seserahan ini tidak ada paksaan untuk diadakan,
32

Wawancara dengan bapak Tjarlam (kades Sindangjaya) tanggal 19 Februari 2012 di


rumahnya.
33
Ibid

88

tergantung dari pihak calon suami dan kesepakatan pihak calon isteri untuk
mengadakan seserahan atau tidak.34
Seserahan ini biasanya dilakukan sehari sebelum akad nikah yakni
malam sebelum akad nikah. Harta seserahan biasnya dibawa oleh kerabat
keluarga memepelai laki-laki dan di serahkan kepada pihak perempuan.
Apabila jarak rumah mempelai laki-laki dan wanita dekat maka penyerahan
harta seserahan dengan jalan kaki, akan tetapi apabila jarak rumah tersebut
jauh biasanya menggunakan mobil pick up untuk membawa harta seserahan
tersebut.
Pada saat penyerahan harta seserahan ada suatu akad serah terima dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dari pihak laki-laki memberikan
sambutan dan menyerahkan harta seserahan kepada pihak perempuan.
Sedangkan dari pihak perempuan juga sambutan untuk menerima harta
seserahan yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, akan tetapi
sebelum harta seserahan tersebut diterima biasanya pihak perempuan
menanyakan kepada pihak laki-laki apakah harta seserahan ini harta palid di
cai (hanyut di kali) atau harta gagawan (harta bawaan). Hal ini dilakukan
pihak perempuan karena kedua akad tersebut mempunyai akibat hukum yang
berbeda. Kalau harta seserahan tersebut memakai akad harta palid di cai
(hanyut di kali) jika suatu saat nanti kedua mempelai bercerai maka harta
seserahan tersebut dibagi dua, akan tetapi kalu akad harta seserahan tersebut
adalah harta gagawan (harta bawaan) maka jika kedua mempelai bercerai
34

Wawancara dengan Bapak Rasmud (Modin) Desa Sindangjaya pada hari Sabtu 18
Februari 2012 jam 6. 30 di rumahnya.

89

maka harta seserahan tersebut dikembalikan seluruhnya kepada pihak lakilaki.35


Biasanya pihak laki-laki menjawab bahwa harta seserahan yang dibawa
adalah harta palid di cai (hanyut di kali), jadi akad seserahan yang digunakan
bahwa harta seserahan yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan
adalah harta palid di cai (hanyut di kali). Apabila suatu saat nanti terjadi
perceraian harta seserahan tersebut di bagi dua. Bila sudah jelas maksud dari
harta seserahan tersebut harta palid di cai (hanyut dikali), maka pihak isteri
menerima harta seserahan tersebut.36
Barang-barang seserahan biasanya hasil kesepakatan bersama antara
pihak calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita. Barang-barang
seserahan yang biasa digunakan seperti ranjang, lemari, kursi (sudut), piring,
gelas, sendok, wajan, buyung, panci, termos, eskan, ember, teko, gayung,
hewan ternak (ayam), kayu bakar, dan emas. Pada intinya barang seserahan
adalah perlengkapan isi rumah dan perabotan rumah tangga dari yang terkecil
sampai yang terbesar. Ketentuan barang seserahan ini tidak ada paksaan atau
permintaan dari pihak calon isteri akan tetapi barang seserahan ini disesuaikan
dengan kemampuan biaya calon memepelai pria dan disepakati oleh calon
memepelai wanita.37
Dalam kitab fiqh atau pun kitab kuning tidak ada bab yang menjelaskan
tentang seserahan. Seserahan adalah murni adat yang sudah dilakukan sejak
35

Ibid
Wawancara dengan Bapak K. Abd. Rouf (mantan lurah Desa Sindangjaya) pada hari
Jumat 17 Februari 2012 jam 18.30 di rumahnya Rt 10 Rw 02 Desa Sindangjaya.
37
Wawancara dengan Bapak Khoerudin (warga) Desa Sindangjaya pada hari Minggu 19
Februari 2012 jam 18.30 di rumahnnya.
36

90

dahulu dan menjadi tradisi sampai sekarang. Isteri akan mendapatkan harta dari
nafkah dan mahar, karena nafkah dan mahar tersebut sudah kewajiban suami
yang harus diberikan kepada isteri. Sedangkan apabila telah berumah tangga
status mereka dalam mencari rejeki adalah rejeng kaya (sirkah).38
Pemberian seserahan dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan adalah suatu keseriusan mempelai laki-laki untuk berumah tangga
dan membangun rumah tangga dengan mempelai perempuan. Seserahan ini
mencerminkan bahwa suami bertanggung jawab untuk memebri nafkah kepada
isterinya, sehingga orang tua si isteri tidak ketakutan akan kelaparan kalau
berumah tangga nanti. Seserahan ini juga sebagai rasa kasih sayang dari calon
suami dan keluarga memepelai suami kepada memepelai isteri, dan sebagai
bekal awal untuk membangun rumah tangga kedua memepelai nanti. Tujuan
adanya seserahan agar ketika sudah berumah tangga sudah ada modal awal dan
kebutuhan-kebutuhan primer sudah terpenuhi sehingga kedua mepelai tidak
kesusahan dalam menjalani hidup berumah tangga.39
Selain tradisi seserahan di Desa Sindangjaya setelah pernikahan juga ada
tardisi nyembah yaitu memberikan makanan, buah-buahan, nasi dan lauk
pauknya, dan pakaian dari pihak mempelai wanita kepada keluarga dan kerabat
pihak mempelai pria. Sebagai balasannya pihak keluarga dan kerabat mempelai
pria yang di sembah (yang mendapatkan makanan, buah-buahan, nasi dan lauk
pauknya, dan pakaian) ini memebrikan uang kepada mempelai wanita.

38

Wawancara dengan Ust. Musa Asyari pada hari Senin 20 Februari jam 19.00 di
rumahnya (Pondok Pesantren Miftahul Huda) Sindangjaya.
39
Wawwancara dengan Bapak Tjarlam (Kepala Desa Sindangjaya) pada hari Selasa 21
Februari 2012 jam 9.00 di kantor kepala Desa Sindangjaya.

91

Pemberian uang ini dimaksudkan sebagai modal awal untuk menjalani hidup
berumah tangga. Sedangkan tujuan adanya nyembah ini untuk mengenalkan
keluarga pihak laki-laki kepada pihak memepelai wanita, karena dengan
adanya pernikahan tersebut bukan hanya menyatukan dua jiwa tetapi
menyatukan dua keluarga, sehingga satu sama lain harus saling mengenal dan
mengetahui.40

C. Penarikan Kembali Harta Seserahan Pasca Perceraian di Desa


Sindangjaya
Pernikahan memang tidak selalu berujung dengan kebahagiaan dan
abadi, akan tetapi terkadang pernikahan berujung dengan percekcokan yang
pada ahirnya perceraian.
Bila perceraian terjadi hubungan suami isteri tidak menajdi selesai begitu
saja, akan tetapi tradisi di Desa Sindangjaya ada hal-hal yang harus
diselesaikan oleh mantan suami isteri yaitu pembagian harta seserahan. Harta
seserahan yang telah diberikan mempelai laki-laki pada saat pernikahan
kepada mempelai wanita akan ditarik kembali dan dibagi dua apabila keduanya
resmi bercerai. Harta seserahan ini dibagi dua ketika resmi bercerai apabila
pada saat penyerahan harta seserahan memakai akad harta palid di cai (hanyut
di kali), tetapi apabila pada saaat penyerahan harta seserahan memakai akad
harta gagawan (harta bawaan) maka ketika tejadi perceraian harta seserahan

40

Wawancara dengan Ust. Ridwan (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Miftahul Huda)
pada hari Kamis 16 Februari 2012 jam 19.30 di rumahnya.

92

tersebut dikembalikan atau ditarik kembali seluruhnya oleh pihak mantan


suami.41
Seserahan berbeda dengan mahar, mahar adalah pemberian wajib dari
calon suami kepada isteri yang berbentuk barang tertentu. Sedangkan
seserahan adalah pemberian tidak wajib dan barang yang diberikan
semampunya calon suami dan se ikhlasnya. Begitu juga pada saat terjadi
perceraian, kalau mahar bisa di bagi dua atau ditarik kembali oleh mantan
suami apabila suami isteri tersebut belum pernah bersetubuh (dukhul),
sedangkan seserahan tidak melihat suami isteri tersebut sudah bersetubuh
(dukhul) atau belum. Harta seserahan tetap ditarik kembali oleh pihak mantan
saumi dan di bagi dua walaupun sudah terjadi bersetubuh (dukhul) atau pun
belum bersetubuh (dukhul). Harta seserahan ini akan menjadi hak milik
mantan isteri seluruhnya apabila hasil dari pernikahan suami isteri tersebut
sudah dikaruniani anak, maka harta seserahan tersebut digunakan untuk
keperluan anak dan mantan isterinya. 42
Pada saat penarikan kembali harta seserahan dan pembagian harta
seserahan dilakukan dengan cara musayawarah dan kekeluargaan. Pihak dari
mantan suami (perwakilan keluarga) mendatangi rumah mantan isteri untuk
membicarakan status harta seserahan dan pembagian harta seserahan. Setelah
tercipta kesepakatan harta seserahan tersebut dibagi dua, harta yang bersifat

41

Wawancara dengan K. Abd. Rouf (matan lurah Desa Sindangjaya) pada hari Jumat 17
Februari 2012 di rumahnya Rt 10 Rw 02 Sindangjaya jam 18.30.
42
Ibid.

93

keperluan wanita untuk mantan isteri dan harta yang bersifat keperluan suami
dikembalikan kepada suami.43
Ketentuan pembagian harta seserahan pasca perceraian ini sama dengan
yang di ungkapkan oleh bapak Rasmud (modin Desa Sindangjaya). Harta
seserahan tersebut dibagi dua apabila suami isteri tersebut belum dikaruniai
anak, walaupun keduanya telah bersetubuh (dukhul). Harta seserahan yang
bersifat untuk keperluan isteri diberikan kepada mantan isteri seperti piring,
gelas, sendok, wajan, buyung, panci, ranjang, pakian perempuan, dan lain-lain.
Sedangkan yang bersifat untuk kebutuhan laki-laki diberikan kepada mantan
suami seperti lemari, kursi (sudut), termos, teko, eskan, pakaian laki-laki, dan
lain-lain.44
Tradisi seserahan dan ketentuan penarikan kembali harta seserahan
pasca perceraian ini adalah murni adat yang sudah berlaku dari dahulu, adat
seserahan ini tidak bisa di samakan atau di pandang dari segi hukum agama
atau pun hukum Negara.45
Pada prinsipnya pembagian harta seserahan pasca perceraian ini atas
dasar keadilan. Harta seserahan yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan sebagai bekal awal untuk kedua belah pihak menjalani hidup rumah
tangganya. Harta seserahan ini digunakan untuk keperluan bersama suami
isteri dalam menjalani hidup rumah tangga.46

43

Ibid.
Wawancara dengan Bapak Rasmud (Modin Desa Sindangjaya) pada hari Sabtu 18
Februari 2012 jam 6.30 wib d irumahnya.
45
Ibid.
46
Wawancara dengan Ust. Musa Asyari (Tenaga Pengajar di Pondok Pesantren Miftahul
Huda) pada hari Minggu, 19 Februari 2012 di rumahnya jam 19.30 wib.
44

94

Tujuan adanya pernikahan adalah untuk membangun keluarga yang


sakinah, mawadah, warohmah, dan tidak merugikan satu sama lain, maka
sangat wajar apabila pernikahan tersebut putus di tengah jalan, harta seserahan
yang telah diberikan pada saat pernikahan di tarik kembali dan dibagi dua. Hal
tersebut karena menghindari adanya yang dirugikan dan berprinsip pada
keadilan. Bila harta seserahan tersebut tetap menjadi mantan isteri seluruhnya
maka pihak mantan suami merasa dirugikan, karena harta seserahan diberikan
kepada pihak wanita untuk kebutuhan bersama dan digunakan bersama suami
isteri dalam menjalani hidup rumah tangganya, agar kehidupannya sejahtera
dan bahagia.

BAB IV
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN KEMBALI
HARTA SESERAHAN PASCA PERCERAIAN DI DESA SINDANGJAYA

A. Analisis Proses dan Tradisi Penarikan Kembali Harta Seserahan Pasca


Perceraian Di Desa Sindangjaya
Pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon ghalidhan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.1
Perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat
sah da rukun nikah. Salah satu syarat sah pernikahan adalah dengan adanya
pemberian mahar atau maskawin kepada calon memepelai isteri. Menurut
kesepakatan para ulama, mahar adalah pemberian wajib bagi calon isteri yang
merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan.2
Mahar secara etimologi artinya maskawin, secara terminologi, mahar
adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
isteri kepada calon suaminya.3

1
2

Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hlm. 7.


Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995,

hlm. 105.
3

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, Bandung: CV Pustaka Setia,


1999, hlm. 105.

95

96

Mahar terbagi menjadi dua yaitu mahar musamma dan mahar misil.
Mahar musamma adalah mahar yang disebut dengan jelas jumlah dan
jenisnya dalam suatu akad nikah, sedangkan mahar misil adalah mahar yang
tidak disebutkan jumlah dan jenisnya dalam suatu akad nikah.4
Barang yang dijadikan mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot
rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya
yang mempunyai harga. Di syaratkan bahwa mahar harus diketahui secara
jelas dan detail, misalnya sekarung gandum, dan lain-lain.5
Para wali tidak boleh menetapkan syarat uang atau harta (kepada pihak
laki-laki) untuk diri mereka, sebab mereka tidak mempunyai hak dalam hal
ini. Mahar ialah hak perempuan (calon isteri) semata, kecuali ayah. Ayah
boleh meminta syarat kepada calon menantu sesuatu yang tidak merugikan
putrinya dan mengganggu pernikahannya. Jika ayah tidak meminta persyartan
seperti itu, maka itu lebih baik dan utama.6 Pemberian mahar secara
berlebihan justru dilarang, hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
kesulitan bagi pemuda untuk melangsungkan perkawinan.7
Para ahli fiqh sepakat bahwa pemberian mahar itu wajjib diberikan
suami kepada isterinya apabila telah terjadi campur (dukhul) dan suami tidak
boleh menguranginya sedikit pun. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 21:

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, op.cit, hlm. 116-120


Abd. Aziz moh. Azzam dan Abd. Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Amzah, 2009, hlm. 184.
6
Ibid, hlm 116-120.
7
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta, LKiS, 2001, hlm. 109.
5

97

6 yzr&u <t/ 4n<) 6t/ 4|r& s%u t{'s? y#x.u


$Z=x $)sVi
Artinya:Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
(Qs. An-Nisa: 20).8

Kalau melihat zahir ayat, maka yang diwajibkan membayar maskawin


penuh adalah orang-orang yang telah bercampur dengan isterinya dan haram
hukumnya mencabut kembali mahar yang telah diberikan kepada isterinya.
Masyarakat Sindangjaya selain memberikan mahar dari calon suami
kepada calon isteri pada saat akad nikah juga ada tradisi seserahan menjelang
pernikahan. Seserahan yaitu penyerahan perabot rumah tangga dari pihak
calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Seserahan ini
dilaksanakan sehari sebelum akad pernikahan dilaksanakan.9
Tradisi seserahan sudah ada dari zaman dahulu, tidak diketahui sejak
kapan tradisi seserahan ini ada. Tradisi seserahan ini sudah menjadi adat dan
dilestarikan oleh masyarakat Desa Sindangjaya. Seserahan ini berbeda
dengan mahar yang disebutkan secara jelas pada saat akad nikah, mahar bisa
ditarik kembali apabila belum terjadi setubuh (dukhul) sedangkan seserahan
bisa di tarik kembali walapun sudah terjadi setubuh (dukhul) tapi belum

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: Dipenogoro, 2003, hlm. 64


Wawancara dengan bapak Tjarlam (kades Sindangjaya) tanggal 21 Februari 2012 jam
09.00 wib di kantor kepala Desa.
9

98

dikaruniani anak. Seserahan ini adalah adat atau tradisi yang di anggap baik
dan dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sindangjaya.10
Seserahan adalah sebagai tanda kasih sayang calon suami kepada calon
isteri dan keluarganya, seserahan juga sebagai tanggung jawab dan kseriusan
mempelai laki-laki untuk berumah tangga dan mampu untuk menjadi
pemimpin bagi keluarga.
Pada saat seserahan biasanya ada dua akad seserahan yakni akad
seserahan harta palid di cai (harta hanyut dikali) dan akad seserahan harta
gawanan (harta bawaan). Kedua akad ini mempunyai akibat hukum yang
bebeda ketika terjadi perceraian.11
Seserahan dengan memakai akad harta palid di cai (harta hanyut di
kali) ini artinya jika suatu saat nanti terjadi perceraian maka harta seserahan
tersebut di bagi dua, sebagian untuk mantan isteri dan sebagian lagi untuk
mantan suami. Sedangkan seserahan dengan memakai akad harta gawanan
(harta bawanan) artinya jika suatu saat nanti terjadi perceraian maka harta
seserahan tersebut seluruhnya ditarik kembali oleh mantan suami.
Barang seserahan yang biasa di bawa di antaranya ranjang, lemari,
kursi, piring, gelas, sendok, wajan, buyung, panci, termos, eskan, ember,
teko, gayung, hewan ternak (ayam), kayu bakar, kebutuhan calon mempelai
wanita, dan emas. Barang seserahan yang biasa di bawa adalah perabot

10

Ibid
Wawancara dengan bapak K. Abd. Rouf (mantan lurah Desa Sindangjaya) tanggal 17
Februari 2012 jam 18.30 di rumahnya.
11

99

rumah tangga dan peralatan dapur serta hasil kesepakatan bersama kedua
mempelai dan disesuaikan dengan kemampuan calon mempelai laki-laki.12
Seserahan ini adalah sebagai modal awal kedua mempelai untuk
menjalani kehidupan berumah tangga dan sebagai modal untuk hidup
bersama sebagai keluarga.
Pernikahan memang tidak selalu berujung dengan kebahagiaan dan
abadi, akan tetapi tekadang pernikahan berujung dengan percekcokan,
pertengkaran, dan berakhir dengan perceraian.
Di Desa Sindangjaya bila terjadi perceraian maka harta seserahan yang
diberikan pada saat menjelang pernikahan akan dibagi dua. Harta seserahan
ini dibagi dua ketika terjadi perceraian karena di Desa Sindangjaya akad yang
dipakai pada saat penyerahan harta seserahan memakai akad seserahan harta
palid di cai (harta hanyut di kali) yakni ketika terjadi perceraian maka harta
seserahan tersebut di bagi dua, sebagian untuk mantan suami dan sebagian
lagi untuk mantan isteri.13
Harta seserahan ini akan ditarik kembali setelah kedua mempelai
(mantan suami dan mantan isteri) resmi bercerai dan sah menurut agama.
Proses penarikan dan pembagian harta seserahan ini dilksanakan dengan cara
musyawarah dan kekeluargaan, dari pihak keluarga mantan suami mendatangi
rumah kelurga mantan isteri dan membicarakan pembagian harta seserahan.
Harta seserahan dibagi dua, sebagian untuk mantan suami yakni berupa

12

Wawancara dengan bapak Khoerudin (petani bawang merah) tanggal 19 februari 2012
jam 18.30 di rumahnya.
13
Ibid

100

barang kebutuhan suami dan sebagian untuk isteri yaitu barag kebutuhan
untuk isteri.14
Harta seserahan ini akan di bagi dua setelah perceraian apabila harta
seserahan yang dibawa pada saat menjelang pernikahan masih ada dan utuh,
dari hasil pernikahannya belum dikaruniani anak, jarak antara pernikahan
dengan perceraian masih dekat atau mantan suami dan mantan isteri hidup
rukun hanya sebentar (gagal menjadi keluarga yang sakinah, mawadah
warohmah yang abadi), dan sudah bersetubuh (dukhul) atau belum tetapi
belum dikaruniani anak. Sedangkan apabila hasil pernikahan mantan suami
dan mantan isteri tersebut sudah dikaruniani anak, maka harta seserahan
sepenuhnya menjadi hak mantan isteri dan anaknya. Harta seserahan ini
digunakan untuk membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan anak.
Harta seserahan yang bersifat untuk kebutuhan laki-laki dikembalikan
untuk mantan suami dan barang seserahan yang bersifat untuk kebutuhan
perempuan diberikan kepada mantan isteri. Mantan suami biasanya
mendapatkan kursi, lemari lengkap dengan isinya, termos, piring, sendok,
gelas, dan lain-lain. Sedangkan mantan isteri biasnya mendapatkan ranjang,
wajan, panci, emas, dan lain-lain.15
Tradisi seserahan dan ketentuan penarikan kembali harta seserahan
pasca perceraian ini adalah adat dan tradisi yang berlaku sejak dahulu,
pembagian harta seserahan ini atas dasar keadilan dan tidak merugikan satu
sama lain antara mantan suami dan mantan isteri setelah mereka bercerai.
14
15

Ibid
Ibid

101

Tradisi ini dikenal oleh masyarakat sindangjaya dan sebagian besar


masyarakat desa sindangjaya melaksanakannya. Tradisi ini seakan-akan wajib
untuk dilaksanakannya, akan tetapi tradisi ini hanyalah adat dan boleh tidak
dilaksanakan kalau memang tidak mampu.16

B. Analisis Pandangan Hukum Islam terhadap Penarikan Kembali Harta


Seserahan Pasca Perceraian Di Desa Sindangjaya
Tradisi seserahan pada saat menjelang pernikahan dan penarikan
kembali harta seserahan pasca perceraian yang terajadi di Desa Sindangjaya
adalah adat yang sudah melekat dan dilaksankan oleh masyarakat. Tradisi ini
dikenal oleh semua masyarakat dan sudah dilaksanakan dari dahulu.
Tradisi seserahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca
perceraian menurut pandangan hukum Islam adalah urf yakni secara bahasa
sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.17 Sedangkan secara
istilah urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah
menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan
meninggalkan.18 Firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Araf: 199.

=pg:$# t r&u 9$$/ &u uy9$# {


Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
maruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
(Qs. Al-Araf: 199).19
16

Ibid
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 153.
18
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib),
Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 387.
19
Departemen Agama, op.cit, hlm. 140.
17

102

Kata Al-urfi dalam ayat tersebut, di mana umat manusia disuruh


mengerjakannnya karena dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah
menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah di anggap baik
sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.20
Para ulama yang mengamalkan urf itu dalam memahami dan mengistimbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk diterimanya
urf tersebut yaitu:
1. Adat atau urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
2. Adat atau urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang
berada dalam lingkungan adat itu, atau dikalanga sebaian besar warganya.
3. Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada
(berlaku) pada saat itu, bukan urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti
urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum.
4. Adat tidak bertentangan dan melalikan dalil syara yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti.21
5. Urf itu harus termasuk urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah.22
Tradisi seserahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca
perceraian merupakan tradisi yang sesuai dengan syarat-syarat diterimanya
urf, sehingga tradisi seserahan ini boleh dikerjakan oleh masyarakat.
20

Satria Efendi, M. Zein, op.cit, hlm. 156.


Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 400-402.
22
Satria Efendi, M. Zein, op.cit, halm. 156.
21

103

Tradisi seserahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca


perceraian yang ada di Desa Sindangjaya menurut Islam yaitu:
A. Urf Shahih yaitu sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak
bertentangan dalil syara, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan,
dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib.23 Tradisi seserahan dan
penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian ini sudah dikenal dan
sebagian besar masyarakat Desa Sindangjaya melaksanakan tradisi ini,
dan juga tradisi ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara ataupun
tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang wajib.
B. Urf Fili yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan.24 Tradisi
seserahan yang ada di Desa Sindagjaya ini merupakan tradisi yang
berbentuk perbuatan yakni penyerahan perabot rumah tangga pada saat
menjelang pernikahan (seserahan) dan penarikan kembali harta seserahan
pasca perceraian.
C. Urf Khusus yaitu kebiasan yang dilakukan sekelompok orang ditempat
tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku di semua tempat dan
disembarang waktu. Tradisi seserahan yang ada di Desa Sindangjaya
merupakan tradisi khusus karena model tradisi seserahan dan penarikan
kembali harta seserahan pasca perceraian yang ada hanya di Desa
Sindangjaya.

23
24

Abdul Wahab Khallaf, op.cit, halm. 123.


Amir Syarifudin, op.cit, hlm. 391.

104

Tradisi seserahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca


perceraian ini tidak bisa disamakan dengan mahar karena banyak perbedaan
diantara keduanya yaitu:
1. Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorang isteri kepada calon suaminya,25 sedangkan tradisi seserahan
adalah pemberian sebagai rasa kasih sayang kepada calon isteri sesuai
dengan kemampuan calon suami dan tidak wajib hukumnya.
2. Pemberian mahar calon suami kepada calon isteri sudah jelas perintahnya
dalam al-Quran, sedangkan pemberian seserahan tidak ada perintahnya
yang secara jelas mewajibkan.
3. Mahar adalah barang tertentu permintaan calon isteri dan hasil dari
persetujuan isteri, sedangkan harta seserahan tergantung kemampuan dan
kesanggupan calon suami.
4. Mahar digunakan sepenuhnya untuk isteri dan suami boleh menggunakan
mahar atas dasar ijin dari isteri, sedangkan harta seserahan untuk
digunakan

bersama

dan

kebutuhan

bersama

serta

suami

boleh

menggunakan harta seserahan tanpa harus ijin dari isteri.


5. Bentuk mahar biasanya adalah barang untuk keperluan isteri, sedangkan
harta seserahan berbentuk perabot rumah tangga dan peralatan dapur.
6. Mahar tidak bisa ditarik kembali atau dicabut kembali apabila sudah
terjadi setubuh (dukhul), sedangkan harta seserahan bisa ditarik kembali

25

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, op.cit, hlm. 105.

105

atau dibagi dua walaupun sudah terjadi setubuh (dukhul) teatapi belum
dikaruniani anak hasil dari pernikahannya.
7. Mahar menjadi hak isteri sepenuhnya apabila sudah terjadi setubuh
(dukhul) anatar suami isteri, sedangkan seserahan menjdi hak isteri
sepenuhnya apabila hasil dari pernikahannya sudah dikaruniani keturunan
(anak).
Menurut pandangan hukum Islam tradisi seserahan dan penarikan
kembali harta seserahan yang ada di Desa Sindangjaya bisa disamakan
dengan pemberian bersyarat. Pada hakikatnya pemberian dilakukan dengan
tidak mengharapkan balasan dari manusia, baik pemberian itu berbentuk
hibah, hadiah, maupun shadaqah, tetapi pemberian boleh juga dilakukan
dengan persyaratan, seperti seseorang berkata aku berikan ini kepadamu
dengan syarat kamu supaya menyerahkan pulpen kamu kepadaku.
Dalam pemberian bersyarat, apabila syarat tidak dipenuhi boleh
pemberian diminta kembali. Dalam salah satu hadis dikatakan bahwa
seseorang laki-laki memberikan sesuatu kepada Rasulullah saw dengan
mengemukakan beberapa syarat terlebih dahulu, yakni agar Rasul
memberikan sesuatu yang disukainya. Jelasnya, hadis tersebut diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hiban dari Ibnu Abbas r.a. berkata:

  
      

 "  $%&

)* 
 

Artinya: Seorang laki-laki memberikan kepada Rasulullah saw. seekor
unta betina, kemudian pemberian itu dibalas oleh Rasulullah
saw. dan bersabda telah relakah engkau?, laki-laki itu
menjawab: belum, Rasulullah saw. lalu menambahkan

106

balasannya dan bersabda; telah relakah engkau? laki-laki


menjawab: belum, kemudian ditambah kembali balasannya
itu, lalu beliau bersabda; telah relakah engkau? laki-laki itu
menjawab; ya, sudah.26
Hadis yang menyatakan bahwa pemberian tidak boleh diminta kembali
bila pemberian itu tidak bersyarat atau tidak menghendaki balasan.27
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah tidak mengikat. Oleh
sebab itu, pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya. Alasan yang
mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah saw:

() 7 8"/9 8:9
 ;% - 5 ) .   &+ ) - ./ 01&
Artinya: Orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap
hartanya, selama hibah itu tidak diiringi ganti rugi. (HR. Ibnu
Majah, Ad-Daruquthni, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim).28
Berdasarkan penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa tradisi
seserahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang ada
di Desa Sindangjaya disamakan dengan pemberian bersyarat karena harta
seserahan tersebut ditarik kembali oleh pihak mantan suami setelah terjadi
perceraian dan tidak dikaruniani anak hasil dari perkawinan dari mantan
suami dan mantan isteri tersebut.
Harta seserahan yang diberikan calon suami kepada calon isteri pada
saat menjelang pernikahan adalah harta untuk digunakan bersama dengan
syarat terciptanya keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah dan abadi
serta mendapatkan keturunan dari hasil pernikahan tersebut.

26

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh Juz V, Beirut: Dar al-Fikr, 1989,
hlm 644-646.
27
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 214.
28
Wahbah Al-Zuhaili, op.cit, hlm. 644.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan memperhatikan uraian bab pertama sampai bab lima, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Masyarakat Desa Sindangjaya kaya akan tradisi, seperti tradisi seserahan
pada saat menejelang pernikahan. Seserahan adalah penyerahan perabot
rumah tangga dari calon suami kepada calon isteri. Seserahan ini sebagai
tanda bukti keseriusan dan kemampuan calon suami untuk hidup bersama
dalam sebuah keluarga bersama calon isteri. Seserahan ini juga sebagai
tanda kasih sayang calon suami kepada calon isteri dan keluarganya.
Barang seserahan yang biasa digunakan adalah perlengkapan isi rumah,
perlengkapan dapur, dan perabot rumah tangga seperti kursi, lemari,
ranjang, kasur, bantal, gelas, piring, sendok, termos, perlengkapan isteri,
emas, dan lain-lain. Pada saat penyerahan seserahan biasanya masyarakat
Desa Sindangjaya memakai akad harta palid di cai (harta hanyut di kali)
yang artinya jika suatu saat nanti terjadi perceraian harta seserahan
tersebut di tarik kembali oleh mantan suami dan dibagi dua, sebagian buat
mantan isteri dan sebagian buat mantan suami. Sebagian besar masyarakat
Desa Sindangjaya menganut tradisi ini, sehingga apabila terjadi
perceraian harta seserahan di tarik kembali dan dibagi dua. Proses

107

108

pembagian harta seserahan ini dengan cara kekeluargaan dan


musyawarah, pihak perwakilan keluarga mantan suami mendatangi rumah
keluarga mantan isteri dan memabagi harta seserahan yang ada.
Seserahan ini bisa ditarik kembali dan dibagi dua bila terjadi perceraian
dan pernikahan mereka (mantan suami dan mantan isteri) tidak atau
belum dikaruniani keturunan atau anak. Barang seserahan berupa
kebutuhan isteri diberikan kepada matan isteri dan barang seserahan
berupa keperluan laki-laki diberikan kepada mantan suami. Tradisi
seserahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian ini
sudah dikenal oleh semua masyarakat Desa Sindangjaya dan dilaksanakan
dari dahulu. Tradisi ini adalah adat yang di anggap baik oleh masyarakat
dan dilestarikan oleh masyarakat, akan tetapi tradisi ini boleh ditinggalkan
kalau memang tidak mampu dan memberatkan pihak mempelai pria.
2. Ditinjau dari hukum Islam tradisi seserahan dan penarikan kembali harta
seserahan pasca perceraian yang ada di Desa Sindangjaya adalah murni
adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat, adat atau kebiasaan
dalam Islam disebut urf. Tradisi seserahan dan penarikan kembali harta
seserahan yang ada di Desa Sindangjaya termasuk urf shahih karena
tradisi tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara dan normanorma yang ada. Selain itu juga tradisi seserahan dan penarikan kembali
harta seserahan pasca perceraian termasuk urf amali dan urf khas karena
tradisi tersebut berbentuk perbuatan masyarakat dan hanya ada di Desa
Sindangjaya. Sedangkan menurut pandangan hukum Islam tradisi

109

seserahan dan penarikan kembali harta seserahan pasca perceraian yang


ada di Desa Sindangjaya bisa disamakan dengan pemberian bersyarat.
Tradisi seserahan ini tidak bisa disamakan dengan mahar karena banyak
sekali perbedaan di antara keduanya.

B. Saran-saran
Berdasarkan permasalahan yang penulis bahas dalam skripsi ini,
penulis hendak menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Hendaknya seserahan ini tidak memberatkan seorang pria untuk menikahi
seorang perempuan dan seserahan disesuaikan dengan kemampuan si
laki-laki sehingga walaupun seserahan ini sudah menjadi adat kalau tidak
mampu jangan dipaksakan untuk melaksanakan adat seserahan ini.
2. Pada saat akad seserahan seharusnya diperjelas lagi maksud dan
tujuannya seserahan sehingga nantinya menghasilkan akibat hukum yang
jelas dan tidak menimbulkan kesalah pahaman.

110

C. Penutup
Syukur Alhamdulillah, senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah
swt. atas segala Rahmat dan HidayahNya yang dilimpahkan kepada penulis,
sehingga dengan kemampuan terbatas penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini.
Penulis sadar, bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karenanya diharapkan adanya kritik dan saran inovatif demi
kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis memohon kepada Allah swt, semoga karya ilmiah
ini bermanfaat kepada pembaca, khususnya kepada penulis. Amiiiiin.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia,


1999.
Ahmad Al-Musayyar M. Sayyid, Fiqh Cinta Kasih: Rahasia Kebahagian Rumah
Tangga (Penerjemah Ahmad Taqyudin ), Kairo Mesir: Erlangga, 2008.
Anonime, Ensiklopedi Islam, Vol.1 Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Arsip Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Berebes Tahun
2012.
Arsip jumlah warga Desa Sindangjaya pada tanggal 26 Januari 2011.
Arsip Kependudukan Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun
2011.
Ayyub Hasan, Fiqh Keluarga, cet 1, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Azam Abd. Aziz Moh. dan Abd. Wahab Sayyed Hawass, Fiqh Munakahat,
Jakarta: Amzah, 2009.
Data Monografi Desa Sindangjaya Kec. Ketanggungan Kab. Brebes Tahun 2011
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: Dipenogoro, 2003.
Efendi Satria, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.
Effendi H. A. M., Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang: Duta Grafika, 1990.
Faridl Miftah, 150 Masalah Nikah Dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
Ghazaly Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006.
Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT Citra Adtya Bakti,
1995.
Hariwijaya M, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, Yogyakarta:
Hanggar Kreator, 2008.
Harun Nasrudin, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ibnu Hijaj Imam Husein Muslim, Shoheh Muslim Juz 3, Libanon: Daarul Kutub
Al-Ilmiyah, tt.
Jarjuniy Ali Ibn Muhammad, Kitab Al-Tarifat, Bairut: Maktabah Lubnan, 1990.
Jawad Mughniyah, Muammad Fiqih Lima Madzha (penrj. Afif Muhammad, dkk),
Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004.
Kahlaniy Muhammad Bin Ismail, Subul Al-Salam Juz 3, Bandung: Dahlan, t.t.
Kamal Pasha Musthafa, Fiqh Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990.
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007.
Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat
1992.
Marzuki, Metodologi Riset, Yogjakarta: PT. Prasatia Widya Pratama, 2002.
Muhammad Husein, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama Dan
Gender, Yogjakarta: LKiS, 2001.

Muhtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan


Bintang, 1974.
Pujileksono Sugeng, Petualangan Antropologi Sebuh Pengantar Ilmu
Antropologi, Malang: UMM Press 2006.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, juz 6, kairo: Maktabah Al- Adab,tt.
Saragih Djaren, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang Tentang
Perkawinan Serta Peraturan Pelaksaannya, Bandung: Tarsito 1992.
Singgaribun Marsi dan Sofyan Efendy, Metode Penelitian, Jakarta: Pustaka LP3S,
1989.
Soekanto Soejono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Rajawali Pers, 2010.
Soekanto Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Struktur pemerintahan Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten
Berebes Tahun 2012.
Subekti R. dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, 2008.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 214.
Suprayogo Imam, Tabroni, Metode Penelitian Sosial Agama, Bandung: Posda
Karya, 2011.
Syafii Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Syam Nur, Madzhab-Madzhab Antropologi Yogyakarta: Lkis, 2007.
Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Isalm Di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.
Syarifudin Amir, Ushul Fiqh, jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Wahab Khallaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, (Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib), Semarang: Dina Utama, 1994.
Wahaf Khalaf Abdul, Ilmu Ushul al-Fiqh, Cet. 12; tt: Al-anshr Wal tauzik,
1978/1398.
Wawancara dengan Abdullah Iman pada tanggal 16 Februari 2012 di rumahnya
RT 10 RW 02 Sindangjaya Ketanggungan Brebes.
Wawancara dengan Bapak K. Abd. Rouf (mantan lurah Desa Sindangjaya) pada
hari Jumat 17 Februari 2012 di rumahnya Rt 10 Rw 02 Desa Sindangjaya.
Wawancara dengan Bapak Khoerudin (petani bawang merah) di rumahnya
tanggal 21 Februari 2012.
Wawancara dengan bapak Misbahudin (ketua Karangtaruna) Desa Sindangjaya
tanggal 8 April 2012 di rumahnya.
Wawancara dengan Bapak Rasmud (Modin) Desa Sindangjaya pada hari Sabtu 18
Februari 2012 di rumahnya.
Wawancara dengan Bapak Tjarlam A,ma (Kapala Desa Sindangjaya) pada tanggal
17 Februari 2012 di Kantor Kepala desa Sindangjaya.
Wawancara dengan Ust. Musa Asyari pada hari Senin 20 Februari di rumahnya
(Pondok Pesantren Miftahul Huda) Sindangjaya.
Wawancara dengan Ust. Ridwan (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Miftahul
Huda) pada hari Kamis 16 Februari 2012 jam di rumahnya.

Wignjodipoero Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Haji


Masagung, 1989.
www.http://tipspernikahan.blogspot.com/2011/07/budaya-seserahan-padapernikahan.html. Di akses pada taggal 22 Februari 2012.
www.http://tipspernikahan.blogspot.com/2011/07/budaya-seserahan-padapernikahan.html. Di akses tanggal 25 Februari 2012.
Zuhaili Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh Juz V, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama
TTL
Jenis Kelamin
Agama
Alamat Asal
Alamat Sekarang

: Sulaeman Jazuli
: Brebes, 25 September 1989
: Laki-laki
: Islam
: Jl. Gunung Kumbang No. 04 RT. 10 RW II Sindangjaya
Ketanggungan Brebes.
: Jl. Karonseh Selatan X RT 07 RW VI Ngaliyan Semarang

Pendidikan Formal
1. MI Al-Miftah 01 Sindangjaya, lulus tahun 2002
2. MTs Al-Miftah Sindangjaya, lulus tahun 2005
3. MA Zainurrahman Cikeusal Kidul, lulus tahun 2008
4. Hukum Perdata Islam Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
angkatan 2008
Pengalaman Organisasi
1. Pengurus HMJ AS Bidang Kesejahteraan Mahasiswa (Anggota) 2009
2. Pengurus HMJ AS Bidang Kesejahteraan Mahasiswa (Transkrip Nilai) 2010
3. Pengurus BINORA (Koordinator Bola Voli) 2010
4. Pengurus BEM Fak. Syariah Bidang Pengembangan UKM 2010
5. Pengurus JQH BIdang Tafsir 2010
6. Pengurus PMII Rayon Syariah Bidang Bakat Minat 2010
7. Ketua Umum UKM BINORA Fak. Syariah 2011/2012
8. Pengurus HMJ AS (Koordinator Kesejahteraan Mahasiswa) 2011
9. Pengurus BEM Devisi Luar Negri 2011
10. Pengurus JQH Devisi Humas 2011
11. Pengurus DEMA IAIN Walisongo Semarang Devisi Mentri Hukum dan
Undang-undang (MENKUMDANG) 2012
No HP
e-Mail

: 087836554959/ 085643323318
: Bivoc_fasya@yahoo.com

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk digunakan
sebagaimana mestinya.

Semarang, 15 Juni 2012


Penulis

Sulaeman Jazuli
NIM. 082111037

BIODATA MAHASISWA

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama

: Sulaeman Jazuli

Nim

: 082111037

Jurusan/ Fakultas

: AS/ Syariah IAIN Walisongo Semarang

TTL

: Brebes, 25 Setember 1989

Alamat Asal

: Jl. Gunung Kumbang No. 04 RT. 10 RW II Sindangjaya


Ketanggungan Brebes.

Alamat Sekarang

: Jl. Karonseh Selatan X RT 07 RW VI Ngaliyan Semarang

HP/e-Mail

: 087836554959/ 085643323318/ Bivoc_fasya@yahoo.com

Nama Orang Tua


Bapak

: MIftahudin

Pekerjaan

: Wiraswasta

Ibu

: Rohati

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

Jl. Gunung Kumbang No. 04 RT. 10 RW II Sindangjaya


Ketanggungan Brebes.

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Semarang, 15 Juni 2012


Penulis

Sulaeman Jazuli
NIM : 082111037

Anda mungkin juga menyukai