modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni oleh mayoritas umat
islam. Dengan adanya arus moderenisasi tersebut, mengakibatkan munculya berbagai macam
perubahan dalam tataan sosial umat islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya dan
sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-seakan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai
agama.
Perkembangan kehidupan manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan waktu, dan ilmu fiqh adalah
ilmu yang selalu berkembang karena tuntutan kehidupan zaman. Fiqh adalah ilmu yang sangat penting
bagi kehidupan umat islam.
Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi dunia, terjadi pulalah apa
yang disebut dengan proses modernisasi. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam bentuk
perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Perubahan struktural berarti perubahan yang hanya meliputi struktur sosial belaka, yakni jalinan dan
hubungan satu sama lain dari keseluruhan unsur sosial. Unsure-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-
kaidah, lembaga-lembaga, kelompok-kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan perubahan secara
kultural lebih bersifat ideologis atau immaterial yakni perubahan nilai-nilai, pemikiran dan sebagainya.
Dalam era modernisasi dewasa ini, salah satu aspek pemikiran yang turut mengalami tuntutan
perubahan adalah di bidang hukum islam.
Mengingat hukum islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang terpenting, maka perlu
ditegaskan di sini aspek mana yang mengalami perubahan dalam kaitannya dengan hokum islam
tersebut. Karena agama dalam pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi tentang
pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan penerapannya di dalam dan di
tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual
tetapi secara kontekstual. Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapai pemahaman dan
penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena perubanhan sosial
merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara terus menerus, maka perubahan
penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian
ialam akan tetap relevan dan actual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial secara umum ada dua
macam. Ada yang terletak di dalam masyarakat (factor intern) seperti bertambah dan berkurangnya
jumlah penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, terjadinya pertentangna atau konflik dalam
masyarakatdan timbulnya pemberontakan atau revolusi di dalam masyaakat itu sendiri. Dan ada pula
yang bersumber dan sebagai pengaruh dari masyarakat lain (factor ekstern) seperti terjadinya
peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan dalam system pemikiran
islam termasuk pembaharuan dalam hokum islam. Dengan demikian hokum islam akan tetap mampu
mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan zaman (modenitas). Tanpa adanya upaya pembaharuan
pemikiran dimaksud tentu akan menimbulkan kesulitan dalam kemasyarakatan hkum sebagai salah
satu pilar masyarakat, sedangkan kehidupan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami
perkembangan, maka upaya pembaharuan pemahaman hokum islam pun harus dapat mengikuti
perubahan itu.
1. Aspek hukum keluarga, seperti ; akad nikah melalui telepon, penggunaan alat kontra sepsi, dan
lain-lain.
2. Aspek ekonomi, seperti ; system bunga dalam bank, zakat profesi, asuransi, dan lain-lain.
3. Aspek pidana , seperti ; huku pidana islam dalam sistem hukum nasional
4. Aspek kewanitaan seperti, ; busana muslimah (jilbab), wanita karir, kepemimpinan wanita, dan
lain-lain.
5. Aspek medis, seperti ; pencangkokan organ tubuh atau bagian organ tubuh, pembedahan mayat,
euthanasia, ramalan genetika, cloning, penyebrangan jenis kelamin dari pria ke wanita atau
sebaliknya, bayi tabung, percobaan-percobaan dengan tubuh manusia dan lain-lain.
6. Aspek teknologi, seperti ; menyembelih hewan secara mekanis, seruan adzan atau ikrar
basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, dan lain-lain.
7. Aspek politik (kenegaraan), seperti ; yakni perdebatan tentang perdebatan sekitar istilah
“Negara islam”, proses pemilihan pemimpin, loyalitas kepada penguasa (kekuasaan), dan lain
sebagainya.
8. Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti ; tayammum dengan selain tanah
(debu), ibadah kurban dengan uang, menahan haid karena demi ibadah haji, dan lain
sebagainya.
Adapun mengenai kajian yang berkenaan dengan Al-Qur’an dan hadits yang erat hubungnnya dengan
fiqh kontemporer, antara lain adalah masalahmetodologi pemahaman hokum islam (ushul fiqh),
persoalan histories dan sosiologis ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi, kajian
tentang maqaashidut-tasyri’ (tujuan hokum), keterbukaan kembali pintu ijtihad, soal kemaslahatan
umum, adapt istiadat mayarakat yang berlaku, tentang teori nasakh dan teori ellat hokum, tentang ijma’
dan lain-lain.
Kajian hokum fiqh kontemporer tidak terlepas dari aspek material dan formalnya hokum islam, serta
mana yang permanent dalam hokum islam (tasyri’iyyah) dan mana yang bersifat relatif (berubah)
atau ghairu-tasyri.
C. Peranan Ushul Fiqh Dalam Menyelaraskan Problema Kehidupan Masyarakat yang Bersifat Dinamis
Ushul fiqh memegang peranan penting dan posisi strategis dalam melahirkan ajaran
islam rahmatan lil ‘alamin. Ushul fiqh menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika, dan makna
hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian, rumusan fiqh seharusnya
bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap
perubahan ini sebagai konsekuensi logis dari tugas fiqh, yang harus selalu berusaha menyelaraskan
problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan
utamanya yaitu Al-Qur’an dan Hadts.
Adanya dinamika zaman yang terus berkembang dan melahirkan bentuk perubahan, baik perbahan yang
bersiafat structural maupun maupun cultural kemasyarakatan. Sebagai contoh, di era modern ini
berkembang konsep perjanjian asuransi. Konsep perjanjian asuransi (akad at-ta’min) merupakan jenis
kad baru yang belum pernah ada pada masa permulaan perkembangan fiqh islam. Oleh karena itu
masalah ini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama masa kini. Sebelum ke pembahasan lebih lanjut
kita perlu mengetahui apa itu asuransi.
1. Definisi Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris insurance yang dalam bahsa Indonesia telah menjadi bahsa
popular dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “penanggungan”.[5]
Sedangkan asuransi menurut istilah, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pendapat:
a. Menurut Robert L. Merh Yang dikutip oleh M.Syakir Sula : asuransi adalah suatu alat untuk
mengurangi risiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang berisiko, agar kerugian
individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian
dibagi dan didistribusikan secara proporsional di antara semua unit dalam gabungan tersebut.[6]
b. Dalam kitab Undang-Undang Hukmu Dagang Pasal 246 yang berbunyi : asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan pergantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.[7]
c. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua
pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lan berkewajiban
memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang
menimpa dirinya atau barang miliknya yang diasuransikan sesuai dengan perjanjian yang
dibuatnya.[8]
Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih, di mana pihak penanggung menerima premi asuransi dari tertanggung, dengan imbalan
kewajiban untuk menanggung kerugian atau kerusakan yang diderita oleh tertanggung.
Di atas telah dikemukakan bahwa asuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak atau
lebih, di mana pihak pertama berkewajiban menyerahkan iuran yang disebut premi, sedangkan pihak
kedua berkewajiban memberikan jaminan da tanggung apabila di kemudian hari mengalami kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi ada tiga hal yang masalah
pokok,yaitu :
a. Premi
Premi adalah bayaran asuransi atau harga sebagai jaminan penanggung asuransi untuk bertanggung
jawab. Dalam asuransi, premi mungkin juga mempunyai nilai tanggungan untuk tambahan kepada
anggota lain dalam masyarakat yang mengalami kerugian, sehingga dengan demi kian peserta (anggota)
juga menjadi penanggung.
b. Risiko
Risiko yang tadinya menjadi beban bagi seseorang dapat dialihkan kepada pihak lain yang bersedia
mengambil alih dengan pesaratan tertentu.
Risiko ada yang bisa diasuransikan dan adapula yang tidak bisa. Agar risiko dapat
diasuransikan mak perlu dipenuhi kriteria- kriteria sebagai berikut:
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan praktik hokum asuransi.
Secara garis besar, controversial terhadap masalah ini dapat dipisah menjadi dua kelompok, yaitu :
pertama ulama yang mengharamkan asuransi dan kedua ulama yang membolehkan asuransi.
Pendapat Ulama yang mengharamkan asuransi : menurut jumhur ulama di antaranya Syaikh
Muhammad Bakhit, Wahbah Zuhaili, K.H Ali Yafie, Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi,
Muhammad Muslehudin dan Syaikh Abu Zahrah mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi
termasuk dalam akad gharar, yaitu suatu akad yang yang tidak jelas ada tidaknya sesuatu yang
diakadkan.
Perjanjian asuransi modern ditentang oleh ulama atau cendekiawan islam dengan alasan-alasan sebagai
berikut:
Sedangkan menurut sebagian ulama yang membolehkan asuransi. Syaikh Abdurrahman Isa, Guru besar
Universitas Al-Azhar, menyatakan bahwa asuransi merupakan bentuk muamalah gaya baru yang belum
dijumpai pada masa imam-imam madzhab dan para sahabat Nabi. Muamalah ini menghasilkan
kemaslahatan ekonomi yang banyak. Para ulama menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras
dengan hukum syara’ patut diamalkan. Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka
hukumnya mubah menurut syara’ bahkan dianjurkan.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh ulama-ulama lain, diantaranya seperti Muhammad Yusuf Musa,
Syaikh Wahhab Khallaf, dan Muhammad Al-Bahi, antara lain mengatakan bahwa asuransi dibolehkan
karena:
Fatwa Majlis Ulama Indonesia yang ditandatangani oleeh ketua umum K.H Sahal
Mahfuddh dan sekretaris umum H.M. Din Syamsudin, pada prinsipnya menolak asuransi konvensional,
tetapi menyadari realita dalam masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, MUI
dalam fatwanya memutuskan tentang pedoman umum Asuransi syariah, antara lain tidak boleh
mengandung gharar,penipuan, maisir (perjudian), riba (bunga),zhulm (penganiayaan), riswah (suap),
barang haram, dan maksiat.
Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa masalah khilafiah atau diperselisihkan para ulama. Namun
perbedaan tersebut terjadi ketika di Negara-negara muslim belum dibentuk asuransi syariah yang
berdasarkan syariah. Apabila di Negara-negara muslim sudah dibentuk asuransi ayariah, maka semua
umat islam yang akan melakukan transaksi asuransi wajib bermuamalah dengan asuransi syariah, dan
tidak ada alasan lagi untuk menghindarinya.
3. Asuransi Syariah
Di dalam referensi hukum islam, asuransi disebut dengan istilahthadamun, takaful, dan at-ta’min.
katathadamun, takaful, dan at-ta’min atau asuransi diartikan dengan “saling menanggung atau tanggung
jawab sosial”.
Islam memandang “pertanggungan” sebagai suatu fenomena sosial yang dibentuk atas dasar saling
tolong menolong dan rasa kemanusiaan.
Landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah.
Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan
pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti yang
ada pada saat ini. Walaupun begitu Al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan
nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong menolong, kerjasama, atau
semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian di masa mendatang.
Di antara ayat Al-Qur’an yang mempunyai muatan nilai-nila yang ada dalam praktik asuransi yaitu
seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT surat Al-Maidah ayat 2 :
) זּ: وتعاونواعلى البروالتقوىوالتعاونواعلى ا الثم والعدوان واتقوهللاا ان هللاا شديدالعقاب (المائداة
“ Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksanya”. (Al-Maidah: 2)
Ayat ini memuat perintah (amr) tolong menolong antar sesame manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai
ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya
agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru pada
perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang
mengalami musibah.
Demikian pula yang terdapat dalam surat Al-Baqoroh ayat 185 tentang nilai-nilai yang ada pada praktik
asuransi. Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Al-Baqoroh:
185)
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan bahwa keudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya dan
sebaliknya, kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Dalam praktik bisnis asuransi,
ayat tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya lembag asuransi seseorang dapat memudahkan
untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupannya di masa mendatang dan dapat melindungi
kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.
Melihat uraian di atas, dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqh kontemporer di masa akan datang
lebih komplek lagi disbanding yang kita hadapi sekarang. Hal tersebut disebabkan arus perkembangan
zaman yang berdampak kepada semakin terungkapnya berbagai persoalan ummat manusia, baik
hubungan antar sesame maupun dengan kehidupan alam sekitarnya..
Kompleksitas persoalan tersebut tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-
nilai agama. di sinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqh
kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai ketuhanan, kemanusiaan,
dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek lahiriah kehidupan manusia di dunia ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan