Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH HMI DAN KHITTAH PERJUANGAN SEJARAH

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa muslim yang


didirikan di Yogyakarta pada Rabu Pon, 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan 5 Februari
1947. Awal berdirinya HMI di Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta (sekarang
Universitas Islam Indonesia) di prakarsai oleh beberapa mahasiswa, yang paling
terkemuka adalah Lafran Pane. Dalam sejarah lahirnya HMI. Lafran Pane bersama
Kartono Zakaria, Dahlan Husain, Suwali, M. Jusdi Ghazali, Mansjur, M. Anwar Hasan
Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tajeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Maisaroh, Hilal
dan Siti Zainab, menyelenggarakan sebuah pertemuan untuk membicarakan bagaimana
seharusnya menghadapi tantangan zaman dan menyusun pedoman sebagai penyalur cita-
cita para cendikiawan muslim muda.

Pertemuan itu dilakukan pada jam perkuliahan setelah mendapat persetujuan


Profesor Husain Yahya, dosen Tafsir di STI sekaligus dosen Sastra Arab IAIN Sunan
Kalijaga. Selanjutnya, Lafran Pane secara resmi memberikan pernyataan berdirinya HMI
dengan menjadikan hari pertemuan itu sebagai hari lahirnya HMI.

1. Latar Belakang Berdirinya HMI


Maksud dan latar belakang berdirinya HMI secara eksplisit dikatakan oleh Lafran
Pane pada Konfersi Besar PII di Bojonegoro tanggal 4-6 November 1947, “… Sebagai
alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran agama Islam agar
mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat, maupun negarawan terdapat
keseimbangan tugas dunia akhirat, akal dan kalbu, iman dan ilmu pengetahuan, yang
sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang
sangat membahayakan karena sistem pendidikan Barat. Islam harus dikembangkan dan
disebarluaskan dikalangan masyarakat mahasiswa di luar STI, apalagi PMY secara tegas
menyatakan berdasarkan non-agama…”Selanjutnya, pada kesempatan Kongres Muslimin
Indonesia di Yogyakarta pada 12 November 1949, Lafran Pane mengatakan, “Banyak
orang-orang terutama kaum terpelajar biar pun penganut agama Islam, malu mengakui
terus terang bahwa ia beragama islam, lalu ada pula yang mengatakan agama ini tidak
sesuai lagi dengan zaman. Pendeknya, mereka menganggap rendah agama ini.”
Pernyataan tersebut menjadi indikator bahwa keberadaan dan perjalanan HMI sejak
awal sudah berkaitan dan bersinggungan dengan problem umat Islam, problem nasional
Indonesia dan problem pemuda atau mahasiswa. HMI dapat dikatakan sebagai bagian
dari Islam dan juga bagian dari Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari tujuan awal
berdirinya HMI. Pertama, mempertegak dan mengembangkan agam Islam. Kedua,
mempertinggi derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia. Terbukti sejak awal
berdirinya HMI terlibat aktif dalam pengembangan keislaman, melalui aktivitas
ceramah dan pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan. Serta keterlibatan HMI dalam
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
2. Orde Lama dan Pembubaran HMI
Pada masa demokrasi terpimpin terjadi ketegangan antara HMI dengan PKI.
PKI mendesak pemerintah agar HMI dibubarkan karena dianggap sebagai organisasi
yang kontra revolusi dan bersikap reaksioner terhadap pemerintah. Atas desakan PKI
tersebut, Soekarno sudah hendak membubarkan HMI, tetapi dibatalkan. K.H
Zaifuddin Zuhri, selaku Menteri Agama saat itu adalah salah satu tokoh yang
berperan menyelamatkan HMI. K.H Zaifuddin Zuhri memberi masukan kepada
Soekarno agar tidak membubarkan HMI dan ‘mengancam’ kalau Soekarno tetap
hendak membubarkan HMI ia akan berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Agama
RI. Pada tahap selanjutnya, HMI turut serta menggagas terbentuknya Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menentang dan mengakhiri masa pemerintah
orde lama.
3. Orde Baru dan Perpecahan HMI
Pada masa Orde baru HMI sempat menjadi suka rela turut mendukung
pembentukan organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada 1973. KNPI
sebagai organisasi perpanjangan tangan pemerintah dikalangan generasi muda. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu gerakan mahasiswa termasuk HMI mulai dikecewakan
oleh berbagai kebijakan pemerintah. Mulai dari peristiwa Malapetaka 15 Januari
(Malaria) 1974; Diberlakukannya Normalisasi Kebijakan Kampus dan Badan Koordinasi
Kampus (NKK/BKK) 1978; Dihapuskannya Dewan Mahasiswa (DEMA) 1978;
Diberlakukannya SKS dan dikeluarkannya TAP MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang antara lain berisi tentang keharusan bagi
seluruh kekuatan sosial politik untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas
organisasi. Ketetapan ini yang menjadi embrio terjadinya keretakan hubungan
pemerintah Orde baru dengan umat islam secara umum dan HMI secara khusus.
Sejak awal munculnya wacana asas tunggal Pancasila, HMI terlihat kokoh
mempertahankan asas Islam sebagai organisasi. Terlihat jelas saat kongres ke-15 di Medan
1983 menegaskan bahwa asas HMI tetaplah Islam. Di samping itu, keputusan kongres juga
merekomendasikan perlunya penafsiran kembali mengenai asas, tujuan dan sifat
independensi, yaitu Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. Dasar pertimbangan
rekomendasi tersebut karena tafsir yang ada (NDP), yang dipakai sebagai tafsir asas HMI
sejak tahun 1969, dianggap kurang memadai perkembangan zaman.
Pasca kongres Medan, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI terpilih, Harry
Azhar Azis, gencar berseru kepada cabang-cabang agar tidak menerima asas tunggal
Pancasila, bahkan saat HMI Cabang Jambi dan Badan Koordinasi (Badko) Jawa Timur
menyatakan menerima asas tunggal Pancasila, Harry dengan alasan indisipliner
mengambil sikap tegas dengan membekukan keduannya.
Namun, pada perkembangan selanjutnya dalam sidang pleno III PB HMI dan
sidang Majelis Pekerja Kongres II di Ciloto, Jawa Barat, tanggal 1-7 April 1985,
menegaskan penetapan Pancasila sebagai asas HMI yang akan diusulkan pada kongres
ke-16 sebagai satu-satunya asas HMI menggantikan asas Islam. Penetapan itu disusul
dengan siaran pers PB HMI beserta tujuh ketua Badko di kediaman (alm.) Prof. Lafran
Pane di Yogyakarta. Menurut Harry, “Siaran pers itu sengaja dilakukan di kota kelahiran
HMI sebagai simbol bahwa HMI yang sekarang masih HMI yang dulu, yang dilahirkan
di Yogyakarta.”
Di sisi lain, kebijakan PB HMI itu mendapat respon dari berbagai cabang
utama HMI, di antaranya protes dilakukan oleh Cabang Yogyakarta, Jakarta,
Bandung, Ujung Pandang, Bogor, Semarang, Pekalongan, Serang, Surakarta dan
Tanjung Karang-Lampung. Beberapa cabang inilah yang menindaklanjuti
keputusan PB HMI tersebut – pada 13-15 Juli 1985 mengadakan pertemuan di
Kauman, Yogyakarta. Setelah itu, menyelenggarakan forum bersama secara
nasional pada milad HMI ke-37 tanggal 14-16 Februari 1986 di Jakarta. Pada forum
inilah cabang-cabang tersebut membentuk Majelis Penyelamat Organisasi (MPO)
melalui surat keputusan bersama (SKB) cabang-cabang yang hadir dalam forum
tersebut.
4. Perkembangan HMI MPO
MPO pada awalnya hanyalah sebagai wadah aspirasi untuk merespon kebijakan
PB HMI, tidak dimaksudkan untuk membentuk struktural formal atau terjadinya dualisme
di HMI. Namun, pada realitanya aspirasi MPO mendapat tanggapan yang tidak etis dari
PB HMI, bahkan ditanggapi secara ‘tidak wajar’. Pada perkembangan selanjutnya MPO
semakin yakin bahwa sikap dan pilihannya layak diperjuangakan, yaitu mempertahankan
Islam sebagai asas HMI.
Terdapat tiga alasan yang melatar belakangi berdirinya MPO. Pertama, adanya
sikap tertutup dari PB HMI, dimana perbedaan pendapat dalam organisasi lebih banyak
diselesaikan dengan pendekatakan kekuasaan, yaitu berupa ancaman-ancaman, skorsing
dan pembekuan terhadap beberapa cabang secara sepihak. Kedua, beberapa kali pimpinan
cabang mendesak PB HMI untuk berdialog bila perlu turun ke cabang-cabang menjelaskan
terkait masalah internal organisasi, tetapi tidak pernah digubris. Ketiga, PB HMI banyak
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap mekanisme organisasi dan bertindak
sewenang-wenang.
MPO sebagai wadah aspirasi, kemudian lahir sebagai ‘produk’ konflik internal
HMI sebagai akibat ‘kekurangdewasaan’ HMI dalam merespon desakan eksternal.
Ketidakdewasaan yang dimaksud adalah aparat HMI dalam menyikapi perbedaan
pendapat tidak bisa mengakomodasi dengan cara-cara atau pendekatan persuasif dan
kekeluargaan. Jadi, wajar jika pada tahap selanjutnya mengkristal menjadi (lahir) HMI
tandingan dengan tetap mempertahankan Islam sebagai asas organisasi, yang dikenal
dengan sebutan HMI MPO. Penyebutan itu dijadikan istilah/identifikasi oleh insan
pers/media massa untuk membedakan antara HMI yang tetap atau mempertahankan asas
Islam (1947), yaitu HMI MPO dan HMI Dipo yang telah mengubah asasnya dengan asas
Pancasila (1986).
Selanjutnya, efek perpecahan HMI melahirkan pola organisasi yang berbeda.
HMI Dipo melakukan penyempurnaan dengan mengganti NDP menjadi Nilai Idenititas
Kader (NIK) dilengkapi penjelasan mendalam: bahwa Pancasila tidak bertentangan
dengan Islam. Di sisi lain, HMI MPO yang mempertahankan asas Islamnya menjadikan
gagasan-gagasan kebangkitan Islam mendapat tempat yang subur. Oleh sebab itu,
lahirlah dokumen organisasi berupa Khittah Perjuangan HMI, yang dijadikan tafsir asas
atau paradigma gerakan HMI MPO menggantikan NDP.
Akibat lainnya, perpecahan berkembang menjadi perpisahan kelembagaan ke
arah politik-ideologis, yang masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang
dirumuskan. HMI Dipo melakukan penyesuaian terhadap pola-pola yang
dikembangakan penguasa, Sementara HMI MPO merumuskan konsep-konsep, pola-
pola dan sistem penjelas organisasi yang berbeda. HMI MPO tampil sebagai organisasi
perjuangan keagamaan, sedangkan HMI Dipo tampil sebagai organisasi politik yang
lebih pragmatis atau dapat dikatakan kompromistis.
5. Khittah Perjuangan sebagai Tafsir Asas HMI MPO
Sejak berdirinya HMI dan menjadikan Islam sebagai asas organisasinya. Pada masa
awal itu, HMI belum memiliki visi keagamaan (Islam), yang jelas sebagai landasan gerak
dan masa depan yang hendak dituju. Asas Islam yang digunakan HMI pada waktu itu lebih
tepat jika disebut sebatas atribut tanpa pemahaman dan penjelasan mendalam bagaimana
asas Islam dijadikan sebagai landasan gerak, cara pandang, etika, model intelektual dan
ideologi.
Menurut Suharsono, hal tersebut wajar, sebab kelahiran HMI berbeda dengan fonomena
lahirnya Gerakan Islam pada umumnya. HMI lahir dan tumbuh tidak berasal dari
kandungan seorang atau kelompok ulama dengan dukungan masyarakat agamis,
melainkan HMI lahir dan dibentuk oleh sekelompok pemuda-mahasiswa yang bisa
dikatakan masih relatif awam terhadap masalah-masalah keagamaan.
Pada perkembangan selanjutnya, barulah HMI merumuskan penjelasan sebagai
tafsir asas yang dijadikan pegangan dan pedoman bagi para anggotanya. Terkait
bagaimana HMI memahami Islam dan menurunkannya dalam sistem organisasi yang
disebut dengan tafsir asas. Dalam sejarahnya, HMI tercatat pernah memakai sejumlah
tafsir asas, yaitu Tafsir Asas HMI (1957), Kepribadian HMI atau Citra Diri (1963), Garis-
garis Pokok Perjuangan (1967), NDP (1969).
Di antara tafsir asas tersebut, NDP (1969), yang dianggap paling sempurna dan
mewakili tafsir HMI terhadap Islam. Namun, pada kongres ke-15 di Medan 1983 atas
saran beberapa cabang, kongres merekomendasikan kepada pengurus PB HMI terpilih
untuk menyelenggarakan forum yang mengkaji ulang NDP. Rekomendasi tersebut
direalisasikan oleh PB HMI dengan mengadakan simposium pengembangan tafsir asas di
Mataram. Akan tetapi, forum deadlock dan bubar sebelum waktunya tanpa menghasilkan
tafsir baru atau perubahan terhadap NDP.
Pasca kongres Medan (1983), HMI Cabang Yogyakarta membentuk tim perumus
konsep tafsir alternatif. Selanjutnya, tim ini menghasilkan tafsir berupa draf yang diberi
nama Khittah Perjuangan. Draf tersebut dibawa untuk dipresentasikan pada smposium
yang dilaksanakan PB HMI di Mataram. Pada akhirnya, terjadi perpecahan HMI pada
1986, kemudian Khittah Perjuangan digunakan oleh HMI MPO sebagai pengganti tafsir
asas menggantikan NDP dan HMI Dipo tetap menjadikan NDP sebagai tafsir asasnya.
Khittah Perjuangan merupakan dokumen yang menggambarkan konsepsi
ideologis sebagai upaya kader memberi penjelasan tentang cara pandang HMI mengenai;
Semesta eksistensi yang wajib diakui; Kebenaran yang wajib diperjuangakan; Jalan hidup
yang wajib dijunjung tinggi; Cita-cita yang perlu diraih; dan Nilai-nilai yang mengikat
atau menjiwai kehidupan secara individual, maupun sosial. Khittah Perjuangan juga
merupakan paradigma gerakan atau manhaj yang merupakan penjelasan utuh tentang
pilihan ideologis, yaitu prinsip-prinsip penting dan nilai-nilai yang dianut oleh HMI
sebagai tafsir utuh atara asas, tujuan, usaha dan independensi HMI.
Karakteristik Khittah Perjuangan pada masa-masa awal kelahirannya,
mengandung muatan pemikiran yang relatif fundamental dan reaksioner. Oleh karena itu,
awal pembentukan Khittah Perjuangan masih diperdebatan dan masih banyak yang
menilai bahwa Khittah Perjuangan tidak lebih baik daripada NDP (dari segi muatan
pemikiran, maupun redaksionalnya). Akhirnya, pada 1992 Khittah Perjuangan
dilokakaryakan untuk disempurnakan (dirombak). Hasil lokakarya Khittah Perjuangan
yang diselenggarakan di Yogyakarta, kemudian disahkan pada kongres ke-19 HMI di
semarang, tanggal 20-25 Desember 1992.
Dibandingkan sebelumnya, muatan Khittah Perjuangan 1992 lebih konprehensif
dan tidak mencerminkan karakter yang fundamentalis dan reaksioner. Sejak itulah HMI
MPO memasuki babak baru dengan mengidentifikasi dirinya sebagai gerakan intelektual,
seperti yang ditunjukan M. Rusli Karim dalam hasil penelitiannya kurun tahun 1985-1994.
“agak mengherankan bahwa HMI MPO akhir-akhir ini tidak lagi memiliki militansi
memperjuangkan politik Islam, bahkan cenderung berpindah ke gerakan intelektual,
mereka kembali membangun aktivitas dengan gerakan intelektual. Dalam sebuah diskusi
yang diadakan Cabang Yogyakarta pada 1993, M. Rusli Karim menyatakan bahwa alur
pemikiran yang berkembang di HMI pada waktu itu adalah “liberal yang berakar dari
pemikiran Islam klasik dan dipadukan metodologi ilmiah yang rasional.”
Awalnya, secara bertahap Khittah Perjuangan diturunkan dalam bentuk
pedoman-pedoman aktivitas organisasi, seperti pedoman perkaderan dan pedoman
pengader. Pada 14-16 November 1987, PB HMI menyelenggarakan Lokakarya
Perkaderan yang dimaksudkan untuk Menyusun pedoman perkaderan yang mengacu pada
Khittah Perjuangan. Lokakarya tersebut tidak berhasil Menyusun pedoman perkaderan
secara maksimal. Hanya, melahirkan rekomendasi kepada semua cabang untuk melakukan
penyempuranaan draf lokakarya di masing-masing cabang. Selanjutnya, diselenggarakan
Lokakarya Perkaderan pada 18-22 April 1992 di Jakarta. Lokakarya tersebut berhasil
menyusun Pedoman Perkaderan dan Pedoman Pengader HMI yang lebih komprehensif
dan detail. Pedoman hasi Lokakarya Perkaderan itu, kemudian ditetapkan pada kongres
ke-19 di Semarang 1992 dan dikokohkan kembali pada kongres selanjutnya (ke-20) di
Purwokerto 1995.
Sejak saat itu Khittah Perjuangan berikut pedoman-pedoman yang diturunkan
ke dalam pedoman teknis digunakan di seluruh Cabang HMI MPO, menggantikan NDP
dan pedoman-pedoman sebelumnya. Pedoman Perkaderan kembali disempurnakan pada
16-19 September 1998 di Yogyakarta. Akhirnya, ditetapkan Khittah Perjuangan serta
pedoman-pedoman yang dihasikan menjadi pembeda atau jarak antara HMI MPO dan
HMI Dipo secara organisatoris.
Pada hakikatnya, HMI MPO dan HMI Dipo sampai saat ini tetap bergerak sesuai tafsir
asasnya masing-masing. HMI MPO sendiri pada saat tulisan ini dibuat sudah melakukan
kongres ke-32 di Kendari, Sulawesi Tengah, 2020.

Daftar Pustaka

Konstitusi HMI – Khittah Perjuangan.

Rusdiyanto, MPO ‘Anak Haram’ Orba Pewaris Sah HMI, (Perjuangan HMI Cabang
Yogyakarta 1985-1998).

Victor Tanja, HMI: Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim


Pembaharu di Indonesia.

Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (1947-1975).

Suharsono, HMI Pemikiran dan Masa Depan.

Hasanuddin M. Shaleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila.

K.H Zaifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren.

Sudirman Tebba, “Prospek Organisasi Mahasiswa Islam di Indonesia: Kasus HMI”.

Tempo, “Dari Ciloto dengan Asas Tunggal” edisi 29 Maret 1986.

Rusli Karim, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai