Anda di halaman 1dari 7

Fase Perjuangan HMI (Fase I – III)

 NURUL AZMI – HMI KOMISARIAT FASEI   MARET 18, 2022


Perjalanan sejarah dapat memberikan gambaran terkait sebab musabab hadirnya sesuatu pada
masa lalu. Sejarah meninggalkan bukti-bukti tentang eksistensi manusia sebagai individu
maupun sebagai kelompok. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai kelompok
mahasiswa memiliki fase perjuangan yang tercatat dalam sejarahnya, baik pada internal
ataupun eksternal organisasi.

Perjalanan sejarah perjuangan HMI selama setengah abad lebih melewati lebih kurang 11
fase. Tiap-tiap fase perjuangan HMI itu menggambarkan apa yang terjadi pada HMI dulu
sehingga mampu bertahan sampai hari ini. Berikut sejarah singkat fase-fase perjuangan HMI:

Fase I: Konsolidasi Awal Pada Tahun 1946


Pada bulan November 1946, proses terbentuknya HMI dalam konteks spiritual mulai terlihat.
Meski kelihatannya masih dalam bentuk konsolidasi biasa saja, tapi pembentukan HMI
menjadi suatu keharusan. Alasan yang paling mendesak pembentukan HMI saat itu adalah
karena harus cepat dan tepat menjawab persoalan ke-Islam-an. Pemikiran Islam saat itu
mengalami kejumudan khususnya pada kalangan mahasiswa, masyarakat awam, bahkan
ummat, sehingga perlu adanya pembaharuan pemikiran Islam dalam konteks kebangsaan
Indonesia.

Fase II: Berdirinya HMI Pada 5 Februari 1947


Proses pengokohan eksistensi HMI pada awalnya tidak berjalan mulus, karena terdapat
reaksi-reaksi dari pihak luar HMI. Akan tetapi, reaksi-reaksi itu hanya berlangsung lebih
kurang 9 bulan. Selain menjawab reaksi dari luar, HMI melakukan popularisasi lewat
kegiatan-kegiatan yang lebih populis dan akademis, seperti ceramah ilmiah, rekreasi malam
kesenian, dan lainnya.

Dalam konteks keorganisasian, HMI mulai mendirikan beberapa cabang baru pada beberapa
daerah, seperti Klaten, Solo, dan Yogyakarta. Pengurus HMI yang terbentuk pada 5 Februari
1947 secara otomatis menjadi Pengurus Besar (PB) HMI yang pertama sekaligus rangkap
menjadi Pengurus HMI Cabang Yogyakarta I.

Saat itu beredar kesan bahwa keanggotaan HMI hanya untuk mahasiswa Sekolah Tinggi
Islam (STI), sehingga pada 22 Agustus 1947 PB HMI meresuffle kepengurusannya demi
menghilangkan kesan yang beredar itu. Ketua Lafran Pane digantikan oleh H.M. Mintaredja
dari Fakultas Hukum BPT GM, sedankan Lafran Pane menjadi Wakil Ketua dan merangkap
sebagai Ketua HMI Cabang Yogyakarta.

Sejak saat itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong menjadi
anggota HMI, dan kemudian pada 30 November 1947 terlaksana Kongres I HMI di
Yogyakarta.

Fase III: Angkat Senjata, Mempertahankan Kemerdekaan, Melawan Penghianatan dan


Pemberontakan PKI Pada 1947 hingga 1949
Sesuai dengan tujuannya dalam mempertahankan persatuan dan kemerdekaan Indonesia,
maka HMI merasa berkewajiban turut serta pada masa-masa perang kemerdekaan. HMI
terjun ke medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah hingga memegang
senjata seperti bedil dan bambu runcing.

Pada peristiwa pemberontakan Madiun 18 September 1948, Ketua PMI/Wakil Ketua PB HMI
Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono, Wakil
Komandan Ahmad Tirtosudiro, turut membantu pemerintah melawan pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI). HMI menggerakkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat
aparat pemerintah dalam melakukan perlawanan. Sejak peristiwa itulah dendam PKI terhadap
HMI tertanam dan berlanjut sampai puncaknya pada tahun 1964-1965, sehingga muncul
gerakan pengganyangan terhadap HMI menjelang meletusnya Gestapu/PKI 1965.

Pada fase ini HMI mendapat gelar dari Panglima Besar Jendral Sudirman karena perjuangan
yang HMI lakukan. Bagi Sang Jendral, HMI itu adalah Harapan Masyarakat
Indonesia bahkan sebagai Harapan Masyarakat Islam Indonesia. Jendral Sudirman
mengungkap kalimat itu pada saat ulang tahun pertama HMI di Bangsal Kepatihan 6 Februari
1948. Sebagai Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman
memberikan sambutannya saat itu atas nama pemerintah Republik Indonesia.

Pada fase ini juga berlangsung Kongres Muslim Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20
sampai dengan 25 Desember 1949. Kongres itu dihadiri oleh 185 organisasi, alim ulama dan
intelegensia seluruh Indonesia. Kongres itu menghasilkan berbagai keputusan, diantara tujuh
dari keputusannya dibidang organisasi. Salah satu isi keputusan kongres itu adalah bahwa:
Hanya satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam yang bercabang
pada tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi.

Fase Perjuangan HMI (Fase IV – VI)


Fase perjuangan HMI selanjutnya menghadapi persoalan yang lebih berat, karena harus turut
melawan serangan fisik dari penjajah dan pemberontakan PKI. Berikut perjuangan HMI dari
fase IV hingga VI.

Fase IV: Pembinaan Serta Pengembangan Organisasi Pada 1950 hingga 1963
HMI sebagai organisasi yang menaungi kader ummat dan bangsa terus berupaya melakukan
perlawanan terhadap penjajah. Pada masa-masa Agresi Militer Belanda, HMI fokus pada
perlawanan, sehingga persoalan keorganisasian kurang terurus. Hal yang demikian itu
berlangsung secara sadar, karena perjuangan melawan penjajah harus menjadi yang utama.
Dwi tugas HMI untuk agama dan bangsa membuatnya meninggalkan sejenak urusan
keorganisasian. Perlawanan demi perlawanan yang terjadi menghasilkan pengakuan atas
kedaulatan rakyat pada 27 Desember 1949, dan melihat hal itu bermunculanlah mahasiswa
yang berminat melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta.

Sejak tahun 1950 muncul usaha-usaha untuk mengkonsolidasikan organisasi yang merupakan
salah satu masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI berpindah dari
Yogyakarta ke Jakarta. Kurang lebih 13 tahun HMI melakukan berbagaimacam usaha untuk
persoalan organisasi, antara lain:

1. Berusaha membentuk cabang-cabang baru;


2. Menerbitkan majalah sejak 1 Agustus 1954 (Sebelumnya terbit
Criterium, Cerdas dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media);
3. Sudah tujuh kali Kongres HMI,
4. Pengesahan atribut HMI seperti lambang, bendera, muts, hymne HMI;
5. Merumuskan tafsir asas HMI,
6. Pengesahan kepribadian HMI,
7. Pembentukan Badan Koordinasi (BADKO) HMI;
8. Menentukan metode pelatihan (Training) HMI;
9. Pembentukan lembaga-lembaga HMI di bidang eksternal;
10. Pendayagunakan PPMI;
11. Menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) I tahun 1955;
12. Penegasan Independensi HMI;
13. Mendesak pemerintah supaya mengeluarkan UU PT;
14. Tuntutan agar pendidikan agama sejak dari Sekolah Rakyat (SR) sampai
Perguruan Tinggi;
15. Mengeluarkan konsep “peranan agama dalam pembangunan; dan
16. Usaha-usaha lainnya.

Keberhasilan HMI dalam melaksanakan konsolidasi organisasi rupanya mendatangkan


masalah baru
Setelah selesai mengurus agresi penjajah dan persoalan organisasi, tak serta merta
menghilangkan permasalah di HMI. Persoalan eksternal muncul kembali, terdapat golongan
yang iri dan tidak senang kepada HMI yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemerintah tidak juga membubarkan PKI padahal telah melakukan pemberontakan di Madiun
tahun 1948. Hal demikian membuat PKI mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali.
Pada 21 Februari tahun 1957, Presiden Soekarno mengumumkan konsepsinya supaya kabinet
berkaki empat dengan unsur PNI, Masyumi, NU dan PKI (sebagai 4 besar pemenang pemilu
1955).

Berikutnya di Moscow tanggal 19 November 1957 tercetuslah Manifesto Moscow, yaitu satu
program untuk mengkomuniskan Indonesia. Akibat itu semua, PKI tampil sebagai partai
pemerintah. Pada sisi yang lain, pemerintah membubarkan Masyumi karena bertentangan
dengan kebijakan politik Presiden Soekarno, dengan Manipol Usdeknya. Melalui Keputusan
Presiden nomor 200 tanggal 17 Agustus tahun 1960 Masyumi terpaksa bubar.

Untuk menghadapi perkembangan politik yang terjadi, Kongres V HMI di Medan tanggal 24-
31 Desember 1957 mengeluarkan dua sikap yaitu:

1. Haram hukumnya menganut ajaran dan paham komunis karena


bertentangan dengan ajaran Islam;
2. Menuntut agar kekuasaan menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Fase V: Tantangan I, Menguatnya Usaha Pembubaran HMI Pada 1964-1965


Dendam PKI terhadap HMI yang tertanam karena keikutsertaan HMI dalam menumpas
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, menempatkan HMI sebagai organisasi yang harus
bubar. PKI mengganggap HMI sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI. Maka dari
itu dilakukanlah berbagai usaha untuk membubarkan HMI.

Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) sebagai underbow PKI menghasilkan


kesepakatan untuk “membubarkan HMI” pada Kongres II di Salatiga pada Juni 1961. Untuk
melekuidisi HMI. PKI, CGMI dan organisasi lainnya yang seideologi mulai melakukan
gerakan pembubaran HMI. Usaha PKI dan teman-temannya mendapat sokongan dari seluruh
simpatisan dari tiga. Partai besar yang mendukung selain PKI yaitu Partai Indonesia
(PARTINDO) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan juga seluruh underbow ketiga partai
tersebut.

Fase Perjuangan Semakin Berat, Karena kelompok pendukung pembubaran HMI


menjadi 42 partai
Untuk membubarkan HMI sekitar bulan Maret 1965, terbentuk Panitia Aksi Pembubaran
HMI di Jakarta yang terdiri dari CGMI, GMNI, GRMINDO, GMD, MMI, Pemuda
Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda Indonesia, PPI, dan APPI.

Menjawab tantangan tersebut, Generasi Muda Islam (GEMUIS) yang terbentuk tahun1964
membentuk Panitia Solidaritas Pembebelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur pemuda,
pelajar, mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Bagi umat Islam, HMI merupakan taruhan
terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumnya Masyumi dibubarkan. Kalau HMI
sampai bubar karena PKI, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena sapu
pembubaran.

Namun gerakan pembubaran HMI ini gagal justru pada puncak usaha-usaha pembubarannya.
Dalam acara penutupan Kongres CGMI tanggal 29 September 1965 di Istora Senayan. Meski
PKI terus melakukan provokasi kepada Presiden Soekarno, seperti kata DN. Aidit:

“Kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota CGMI yang laki-laki lebih
pakai kain sarung saja….. kalau semua front (garis depan) sudah minta, Presiden akan
membubarkan HMI”.

Faktanya HMI tidak dibubarkan, bahkan dengan tegas Presiden Soekarno mengungkapkan
dalam pidatonya:

“Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada


kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang
menyeleweng itu menjadi kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan
membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga
akan kububarkan”.

Karena gagal usaha untuk membubarkan HMI, maka PKI sudah siap bermain kekerasan. PKI
takut didahului umat Islam untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah, maka
meletuslah Pemberontakan G 30 S/PKI 1965.

Fase VI: Bangkitnya HMI (Pejuang Orde Baru) Sebagai Pelopor Kebangkitan
Angkatan ’66 (1966-1968)
Pada fase perjuangan ini, HMI mengalami dan melewati tantangannya, yaitu; tanggal 1
Oktober adalah tugu pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru. Apa yang disinyalir PKI,
seandainya pemerintah gagal membubarkan PKI, maka HMI akan tampil kedua kalinya
menumpas pemberontakan PKI dan itu benar-benar terjadi.

Wakil Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad, pada tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif
mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebagaimana yang dilakukan oleh
Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM) untuk
menghadapi pemberontakan PKI di Madiun.
KAMI mencetuskan Tritura (tiga tuntutan rakyat) 10 Januari 1966 yang berisi: “Bubarkan
PKI, Resuflle Kabinet dan Turunkan Harga”. Dan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada
masa itu adalah terbitnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966, dibubarkan dan
dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966, Kabinet Ampera terbentuk, HMI diajak hearing
pembentukan kabinet, dan alumni HMI masuk dalam kabinet.

Fase Perjuangan HMI (Fase VII – IX)


Setelah membaca masa-masa perjuangan HMI pada fase IV-VI, selanjutnya kita bahas
perjuangan HMI pada fase VII-IX. Pada fase-fase ini, HMI berpartisipasi dalam
pembangunan Indonesia dalam bentuk langsung maupun dalam bentuk sumbangsih
pemikiran. Perjuangan HMI pada fase-fase ini berlangsung dari awal masa Orde Baru
(Suharto) hingga masa reformasi bahkan setelahnya.

Fase VII: HMI Berpartisipasi Dalam Pembangunan Pada 1969-1970


Masa Orde Baru saat itu terasa mantap, dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945
sudah terlaksana secara murni dan konsekuen. Sejak tanggal 1 April 1969 pemerintah mulai
menyusun rencana pembangunan lima tahun (Repelita) dan sebelumnya sudah menyelesaikan
pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul pembangunan 25 tahun kedua.

Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur bukanlah pekerjaan mudah,
banyak pembangunan dan persoalan kemanusiaan yang belum selesai. Partisipasi segenap
warga negara sangat dibutuhkan saat itu.

HMI dengan lima aspek pemikirannya telah memberikan sumbangan secara partisipatif
dalam pembangunan, seperti:

1. Pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan


terlaksanakannya pembangunan;
2. Pemberian konsep-konsep pada bidang-bidang yang membutuhkan
pemikiran;
3. Partisipasi dalam bentuk langsung berupa pembangunan.

Fase VIII: Gejolak dan Pembaharuan Pemikiran Pada 1970-1998


Semasa Orde Lama sekitar tahun 1959-1965, kebebasan mengeluarkan pendapat sangat
terkekang, baik yang bersifat akademis terlebih-lebih yang politis. Meski demikian,
kebebasan dapat tercipta melalui pemanfaatan kondisi terbatas, baik yang berkaitan dengan
agama, akademik, dan politik.

Kejumudan dan suasana tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama dalam
pembaharuan pemikiran Islam. Sebagai suatu keharusan, pemikiran Islam harus mampu
menjawab berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. Pembaharuan
pemikiran Islam itu muncul pada kalangan HMI dan mencapai puncaknya pada tahun 1970.

Nurcholis Madjid (Cak Nur) menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam Dan Masalah Integrasi Umat. Cak Nur menyampaikan
pemikirannya karena menyadari kondisi ke-Islam-an saat itu tidak bisa berada dalam kondisi
pembiaran, karena akan mengakibatkan persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama
ini.
Munculnya pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam mengakibatkan munculnya pergolakan
pemikiran dalam tubuh HMI. Perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasipun tak dapat
terelakkan. Perbedaan pemikiran itu akhirnya mencuat dalam berbagai bentuk, seperti
persoalan negara Islam, Islam Kaffah, sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari Islam
menjadi Pancasila.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang mengharuskan semua partai
dan organisasi harus berasaskan Pancasila. Pada Kongres ke-16 HMI di Padang tahun 1986,
HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam menjadi Pancasila. Akibat penyesuaian
asas itu, beberapa orang anggota HMI membentuk MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).
Pecahlah HMI menjadi dua gerbong, yaitu HMI DIPO (mengikuti nama Jl.
Diponegoro/Sekretariat HMI) dan HMI MPO.

Fase IX: Masa Reformasi Pada 1998-2000


Secara historis, HMI sudah mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan
beberapa pandangan yang berbeda serta kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap
pemerintahan Orde Baru pada tahun 1995. Sesuai dengan kebijakan PB HMI, bahwa HMI
tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontasi terhadap
Pemerintah. HMI melakukan dan menyampaikan kritik secara langsung yang bersifat
konstruktif.

Banyak koreksi dan kritik yang HMI sampaikan kepada pemerintah pada fase ini
Seperti M. Yahya Zaini selaku Ketua Umum PB  HMI Periode 1992-1995 yang memberikan
kata sambutan pada pembukaan Kongres HMI ke-20 HMI di Istana Negara Jakarta pada 21
Januari 1995. Yahya Zaini mengoreksi terkait kinerja pemerintah, antara lain bahwa
pembangunan ekonomi tidak sebanding dengan pembangunan politik. Bahkan dalam
pembangunan politik pada institusi-institusi politik atau badan-badan demokrasi belum
maksimal memainkan fungsi dan perannya. Akibatnya aspirasi masyarakat masih sering
tersumbat (terhalang atau tidak sampai).

Kondisi tersebut diatas yang menuntut HMI, pemerintah dan masyarakat untuk terus
mengusahakan proses demokrasi dengan bingkai Pancasila dan diikuti dengan pemberdayaan
masyarakat. Dalam suasana demikian, proses saling kontrol akan terbangun. Selain itu HMI
melihat masih banyak distorsi dalam proses pembangunan. Gejala penyalahgunaan
kekuasaan, kesewenang-wenangan, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) adalah
cerminan tidak berfungsinya sistem nilai yang menjadi kontrol dan landasan etika dan
bekerjanya suatu sistem.

Pada kesempatan yang lain, Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI 1995-1997 memberi kritik
sekaligus sebagai jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan
kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram, politik justru
mulia, apabila yang menjalankannya berdasarkan etika dan bertujuan untuk menegakkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Karena itu, HMI akan mendukung kekuasaan pemerintah
yang sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, HMI
akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup dan menyeleweng.

Konsistensi HMI dalam amar ma’ruf dan nahi munkar


HMI membuktikan konsistensinya saat terlibat aktif dalam merintis dan menegakkan Orde
Baru. Demikian juga pada saat sekarang ini dan masa-masa yang mendatang. Kritik-kritik
yang ada tidak boleh mengurangi rasa percaya diri HMI untuk tetap melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar.

Selanjutnya, kritik datatng dari Ketua Umum PB HMI 1997-1998 Anas Urbaningrum pada
waktu peringatan Ulang Tahun HMI ke-51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Februari
1998, dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat. Pidato
itu disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Suara dan
tuntutan reformasi telah dikumandangkan pula dalam berbagai aspek, yang disamapaikan
Anas Urbaningrum pada peringatan ulang tahun ke-52 di Auditorium Sapta Pesona
Departemen Parawisata Seni dan Budaya Jakarta 5 Februari 1999, dengan judul Dari HMI
Untuk Kebersamaan Bangsa Menuju Indonesia Baru.

Pada kesempatan lain, Ketua Umum PB HMI M. Fahruddin juga menyampaikan soal
reformasi pada peringatan Ulang tahun HMI ke-53 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5
Februari 2000 dengan judul “Merajut Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi,
Membangun Peradaban Baru Indonesia”.

Anda mungkin juga menyukai