Anda di halaman 1dari 18

Materi NDP HMI

*Oleh : Dicky Aris Setiawan


(Disampaikan Pada Basic Training Virtual HMI Komisariat Rausyan Fikr)

1. Sejarah NDP HMI


1.1 Pengertian NDP HMI
Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI yang kemudian lebih dikenal
dengan NDP HMI adalah dokumen resmi organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang telah diresmikan pada kongres ke X di
Palembang, memegang peranan penting sebagai pedoman dan penjelasan
tentang peran HMI sebagai organisasi perjuangan.NDP merupakan
perumusan tentang ajaran-ajaran pokok agama Islam, yaitu nilai-nilai
dasarnya sebagaimana tercantum dalam Al Qur‘an dan As Sunnah. Islam
sebagai ideologi HMI, telah menjadi sumber motivasi, pembenaran dan
ukuran gerak, bagi langkah perjuangan organisasi ini dalam menunaikan
misi ke-ummatan dan kebangsaannya.
1.2 Sejarah Perumusan NDP HMI
Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI) pada awalnya
dirumuskan dari kesimpulan perjalanan Nurcholis Madjid berkunjung ke
Amerika yang kemudian dilanjutkan ke Timur Tengah. Sebenarnya
perjalanan ke Timur Tengah lah yang memberikan inspirasi beliau dalam
pemikiran dan pemahamannya terhadap Islam sehingga muncullah NDP
ini. Sebetulnya kesimpulan perjalanan itu akan diberikan nama Nilai-nilai
Dasar Islam tetapi itu terlalu besar dan moralis, seakan-akan kita
mngklaim bahwa inilah Nilai-nilai Dasar Islam. Sehingga nama yang pas
itu adalah Nilai-nilai Dasar Perjuangan, kata perjuangan ini sebagai
simbol semangat dan peran seorang mahasiswa/pemuda yang harus tetap
berjuang dalam kebenaran. NDP dipresentasikan dalam bentuk draft pada
Kongres ke IX di Malang tahun 1969 dan diberikan kekuasaan pada
perumusnya yakni, Nurcholis Madjid, Endang Syaifudin Anshori, dan
Syakib Machmud.
Narasi singkat lahirnya NDP HMI adalah sebagai berikut:
1) Berawal dari Kertas Kerja PB HMI (1966 - 1969), disusun oleh CAK
NUR – Nurcholish Madjid, Ketum PB HMI saat itu.
1
2) Awalnya, Cak Nur mendapat Beasiswa ―Council for Leader &
Specialist‖ (1968) ke USA.
3) Di Washington, Cak Nur melakukan dialog2 & mengamati dunia
mahasiswa.
4) Lalu berpetualang ke Timur tengah.
5) Cak Nur melihat dua kondisi mahasiswa yg berbeda (Amerika &
Timur Tengah).
6) Hal tsb memberi inspirasi terhadap ide & sikap.
7) Maka lahirlah Draft NDP.
8) Draft tsb di presentasikan pd Kongres IX Malang, Th.1969.
9) Setelah itu dibentuk ―Komisi Khusus NDP‖ dg tiga (3) orang
pengkaji: Cak Nur, Endang Saifuddin Anshari, Sakib Mahmud.
10) Draft NDP hasil kajian tersebut dipresentasikan pada ―Seminar
Kader‖, Pekalongan Th.1970.
11) NDP kemudian disahkan pd Kongres X Palembang Th.1972, sbg
Dokumen & Acuan Gerak Organisasi.
12) Lalu NDP disosialisasikan secara luas oleh PB HMI.

1.3 NDP sebagai kerangka pemikiran Ke-Islaman dan Ke- Indonesiaan HMI
Pada mulanya perjalanan Nurcholis Madjid ke timur Tengah
adalah atas dasar perkembangan Islam di Indonesia. Dan dari sana Ia
mendapatkan jawaban bahwa Islam di Indonesia memang berbeda dan
paling sedikit ter-arab-kan. Bisa kita lihat di berbagai Negara Muslim
terbesar mereka menggunakan budaya arab, salah satu contohnya
menggunakan bahasa arab, lain dari Indonesia Negara Muslin terbesar
tetapi menggunakan bahasa dan tulisan latin. Selain itu Negara di Eropa
seperti Romawi, Yunani, dan Spanyol yang menggunakan tulisan latin.
Ini yang menjadi Semangat keislaman yang menyertai suasana kelahiran
HMI, mengharuskan HMI menjadikan islam sebagai roh dan karakternya.
Semangat kesejarahan ini memberikan pengertian bahwa dalam
keadaan bagaimanapun HMI tidak dapat melepaskan keterikatannya pada
ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam. Islam telah menjadi kodrat dan fitrah

2
HMI sejak awal kelahirannya. Bagi HMI, islam diyakini sebagai
kebenaran yang baik dan haq, tidak ada lagi kebenaran selain islam.
1.4 Hubungan antara NDP dan Mission HMI
Islam merupakan identitas HMI yang menjadi pegangan dan
sandaran kader dalam berucap, bertindak, dan bersikap dalam perjuangan
HMI. Islam sebagai ideologi HMI berisi tentang misi-misi perjuangan
HMI baik dari sisi organisasi dan personal kader HMI. Misi-misi tersebut
menjadi kewajiban kader untuk di perjuangkan dan di realisasikan, karena
HMI merupakan organisasi masa depan yang mencetak sumber daya
manusia sesuai dengan ajaran Islam. Misi dan perjuangan HMI tidak lain
yakni melepaskan belenggu kaum-kaum mustadh‘afin (orang-orang
lemah).
Mission HMI adalah sebuah modalitas dan dasar yang harus
dicapai oleh organisasi HMI dalam memperjuangkan asas, tujuan, usaha,
sifat, peran, fungsi dan kedudukanya sedangkan NDP HMI sebagai jalan
untuk menuju itu semuanya. Dalam proses pencapaian misi HMI, NDP
menjadi pegangan dan arah organisasi dalam mewujudkan cita-cita HMI.
Untuk itu, hubungan NDP dengan Mission HMI sangatlah berkaitan,
Mission adalah cita yang akan dicapai sedangkan NDP adalah jalan
menuju cita HMI.

2. NDP HMI
2.1. Dasar-dasar Kepercayaan
Kepercayaan adalah sebuah kebutuhan yang mendasar bagi
manusia. Di samping kepercayaan merupakan fitrah manusia untuk
tunduk dan patuh kepada sesuatu yang mutlak dan absolute (hanifan
musliman), kepercayaan juga merupakan sandaran nilai.1
Rudolf Otto, seorang yang berkebangsaan Jerman yang ahli
dalam bidang sejarah agama-agama yang menulis buku The Id of the
Holy (1971), meyakini bahwa setiap manusia memiliki apa yang
disebutnya dengan nominus yang juga menjadi dasar dalam setiap

1
Azhari Ahmad Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 42

3
agama. Yang dimaksud dengan ―nominus‖ adalah perasaan dan
keyakinan seseorang terhadap adanya yang Maha Kuasa yang lebih
besar dan tinggi yang tidak bisa dijangkau dan dikuasai oleh manusia.
Kekuatan nominus ini kemudian diyakini oleh umat manusia dengan
berbagai cara yang berbeda-beda kadang-kadang ia diinspirasikan
dengan suatu kebiasaan yang menyeramkan dan menakutkan, dan
kadang-kadang pula dengan sesuatukekuatan yang misterius.2
Dalam realitanya masyarakat yang beraneka ragam tumbuh
dengan perbedaan menimbulkan banyaknya bentuk-bentuk
kepercayaan yang tercipta. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu
berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua
kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya
yang benar.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu :
Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan
dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala
bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah"
memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan
peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari
belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan
dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk
pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu
berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala
yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.3
Orang bijak menagatakan:
Barang siapa yang menyambah Allah bukan subtansinya, itu
sama dengan kafir.
Barang siapa yang menyembah Allah dan subtansinya, itu
adalah syirik.
Barang siapa yang menyembah Allah, melainkan subtansinya
itu tauhid yang sejati.
2
Azhari Ahmad Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 42
3
Ibid. hlm. 20

4
Surat An-Naml Ayat 9

‫يز ٱ ْل َح ِكي ُم‬ َّ ‫س َٰ ٰٓى ِإنَّ ٰٓۥهُ أَنَا‬


ُ ‫ٱَّللُ ٱ ْلعَ ِز‬ َ ‫َٰيَ ُمو‬
“Wahai Musa, sesungguhnya Akulah Allah Yang Maha Kuasa, lagi
Maha Bijaksana.”
Surat Al-Ikhlas;

(4). ‫( َولَ ْم يَك ُْن لَهُ كُفُ ًوا أَحَد‬3). ‫( لَ ْم يَ ِل ْد َولَ ْم يُولَ ْد‬2). ‫ص َم ُد‬
َّ ‫( الَّه ُ ال‬1). ‫قُ ْل ه َُو الَّهُ أَحَد‬
1). Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4). Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia

2.2. Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan


Manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang
tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat
manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau
kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan
sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki
manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci
dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).4 Dalam
kenyataan historis, perjuangan memperoleh dan memperjuangkan
harkat dan martabat kemanusiaan merupakan ciri dominan deretan
pengaalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial. Sebab dalam
kenayataan, manusia lebih banyak mengalami kehilangan fitrah dan
kebahagiaan daripada sebalikny. Dan dari sudut pengihatan inilah kita
juga dapat menafsirkan kedatangan rasul-rasul dan nabi-nabi, yaitu
untuk memimpin umat manusia melawan kejatuhannya sendiri dan
mengemansipasi harkat dan martabatnya dari kejatuhan itu.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:


"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”(QS.

5
Al-Baqarah: 30)

Kejatuhan manusia itu terlambangkan dalam terusirnya Adam


dan Hawa dari surga (hubuth, jatuh, turun) karena melanggar laragan
Tuhan. Adam dan Hawa terangkat (teremansipasi) hanya setelah
menerima pengajaran Tuhan dan bertaubat, yaitu pengajaran tentang
beriman dan beramal saleh.5
Seperti menurut Dr. M. Ratib an-Nabulsi (2010 : 75)
mengatakan bahwa Di dalam ruang pikiran dan ke dalam nurani,
Allah menciptakan sesuatu yang dengannya Anda bisa mengetahui
akhlak terpuji dan akhlak tercela. Sesuatu inilah yang menjadikan
manusia menganggap buruk perbuatan buruk lalu menghindarinya,
dan menganggap baik perbuatan baik sehingga mersa nyaman
dengannya. Pada gilirannya, ia memuji pelaku kebaikan dan mencela
pelaku keburukan.6

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Surat Az-Zariyat: 56)‖
Pada dasarnya manusia memiliki kekhususan dalam
penciptannya, Allah meletakkan diri-Nya dalam nurani manusia
sehingga tidak apapun yang bisa masuk dalam ruang itu, sehingga
dalam diri manusia mempunyai nurani yang bersih dan benar. Seperti
dalam Firman Allah Surat Ar-rum ayat 30 :

5
Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 94
6
M. Ratib an-Nabulsi, ―7 Pilar Kehidupan‖, 2010, hlm. 75

6
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu lurus kepada gama Allah,
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”

Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam


fitrahnya dan menjadi manusia sejati (insan kamil). Hidup fitrah ialah
bekerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau
suci.7 Hal tersebut terjadi karena manusia diberi akal dan hawa nafsu
sebagai penguji mana yang paling baik perbuatanya.
2.3. Kemerdekaan Manusia (ikhtiar) dan Keharusan Universal (Taqdir)
Apakah manusia memiliki kebebasan yang disebut
kemerdekaan dalam mewujudkan keinginan dan perbuatannya atau
tidak, sebagai upaya menjemput takdirnya.
Dr. M. Ratib an-Nabulsi mengatakan bahwa hal terpenting di
dalam agama adalah akidah. Bila akidah benar maka benar pula amal
perbuatannya, dan bila amal perbuatan benar maka akan sampai pada
cita-citanya. Tidak ada satupun akidah yang rusak kecuali ia
melumpuhkan gerak manusia secara total dan menjadikannya duduk
berpangku tangan, pasrah terhadap masa depan kelam yang
menantinya.8 Aqidah adalah modal dan pondasi dasar manusia untuk
berjuang dan berkeyakinan agar kehidupan manusia lebih terarah.
Berbicara mengenai takdir, Drs. Azhari Akmal Tarigan
menjelaskan makna kata takdir (taqdir) yang berasal dari kata qaddara
yang berarti mengukur, member, kadar atau ukuran. Jika dikatakan
bahwa Allah telah menakdirkan seseuatu, harus dipahami dalam
makna Allah telah menetapkan ukuran, kadar, batas tertentu terhadap
sesuatu itu.9

7
Hasil-hasil Kongres HMI XXIX, op cit, hlm. 146
8
M. Ratib an-nabulsi, op cit, hlm. 185
9
Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 114
Kehidupan manusia mengenal dua aspek, yaitu yang temporer
7
berupa kehidupan sekarang di dunia, dan yang abadi (eternal) berupa
kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam hal ini manusia
mempunyai kebebasan memilih termasuk beban yang telah
diamanahkan. Hal ini berkaitan erat dengan manusia yang dilahirkan
sebagai individu yang mempunyai hak asasi kemerdekaannya. Tetapi
manusia hidup sebagai makhluk social dalam suatu bentuk hubungan
tertantu baik dengan alam maupun manusia sekitarnya. Dari segi ini
manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu
kesatuan.

Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak seorang pun dapat
membela orang lain sedikit pun. Sedangkan syafaat dan tebusan apa
pun darinya tidak diterima dan mereka tidak akan ditolong. (QS. Al-
Baqarah: 48)
Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan
sebagai individu dalam konteks hidup ditengah alam raya dan
masyarakatnya tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja
merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu
kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum
yang pasti dan tetap menguasai alam hokum yang tidak tunduk dan
tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu
mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian
umum" dan ―takdir”. 10
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka

10
Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 148
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu
kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.(QS. Surat Ar-Ra’d: 11)

(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
8
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,
(QS. Al-Hadid: 23)
2.4. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Prikemanusiaan
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu
manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab
penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka
dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun
tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun
manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena
menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-
Nya.11
Dalam kajian keagamaan yang bersifat historis-kritis
kebenaran mutlak itu "Tuhan", sebagaimana yang telah uraian Bab I,
Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (27:9).
Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pencaaian yang maha
benar adalah pada hakikatnya Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-


ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang
dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu
kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho"

11
Ibid, hlm. 38

9
daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya
kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada
Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup
dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung
didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak.
Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan
rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21).12
Iman (bahasa Yunani: πίστιν— pisti) adalah rasa percaya
kepada Tuhan. Iman sering dimaknai "percaya" (kata sifat) dan tidak
jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda). Menurut
Alkitab "Iman‖ adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan
dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (Ibrani 11:1).
Dalam maknanya yang lengkap kata ―iman berasal dari akar kata
yang sama dengan perkataan ―aman (Arab: ' ,yakni kesejahteraan
dan kesentosaan) dan ―amanat (Arab: , :¹ yakni keadaan bisa
dipercaya atau diandalkan [Inggris: trust-worthiness], lawan dari
khianat). Karena itu ―imanl yang membawa rasa ―aman dan
membuat orang mempunyai ―amanat itu tentu lebih daripada hanya
―percaya.
Maka menengahi antara iman dan amal-perbuatan yang
konkret itu ialah ibadat-ibadat. Dalam ibadat, seorang hamba Tuhan
atau „abd-u „l-Lâh merasakan kehampiran spiritual kepada Khâliq-
nya. Kecenderung bahwa rasa keagamaan harus selalu berdimensi
esoteris, dengan penegasan bahwa setiap tingkah laku eksoteris
[lahiriah] absah hanya jika menghantar seseorang kepada pengalaman
esoteris [batiniah] ini, pedekatan secara keruhanian ini dapat disebut
sebagai inti rasa keagamaan atau relijiusitas.
Tetapi, di samping makna intrinsiknya, ibadat juga mengan-
dung makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai usaha
pendidikan pribadi dan kelompok (jamâ„ah) ke arah komitmen atau
pengikatan batin kepada tingkah laku bermoral. Asumsinya, melalui

12
Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 148

1
0
ibadat, seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan
kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan
sosialnya untuk mewujudkan kehidupan bersama yang sebaikbaiknya
di dunia ini. Akar kesadaran itu ialah keinsafan yang mendalam akan
pertanggung-jawaban semua pekerjaan kelak di hadapan Tuhan dalam
pengadilan Ilahi yang tak terelakkan, yang di situ seseorang tampil
mutlak hanya sebagai pribadi. Karena sifatnya yang amat pribadi
(dalam hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya), ibadat dapat
menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam
dan efektif. Dalam Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan
bahwa salah satu efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam
solidaritas sosial. Bahkan ditegaskan, ibadat bukan saja sia-sia dan
tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan terkutuk oleh
Tuhan, sekiranya tak melahirkan solidaritas sosial. 13
BerkeTuhananan yang Maha Esa dan Berperikemanusiaan
adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada
tempatnya yang wajar. Tidak melebihkan sehingga menghambakan
dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik
(ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada
sesama manusia
2.5. Individu dan Mayarakat
Manusia sebagai pribadi itu dikatakan unik, karena hampir
bisa dipastikan tidak ada manusia sebagai individu yang sama antara
satu dengan yang lainya. Manusia tidak diciptakan sama dalam hal
kecenderungan dan kecakapan. Sekiranya manusia diciptakan sesperti
itu.14
―Individu‖ berasal dari kata latin, ―individium‖ artinya ―yang
tak terbagi‖. Jadi, merupakan suatu sebutan yang dapat digunakan
untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas.
Dalam ilmu sosial, individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan
jiwanya yang majamuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup
13
Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 61-62
14
Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 93

11
manusia. Lebih lanjut disebutkan: ―untuk dapat mengerti tata
kehidupan masyarakat (kelompok) perlu dibahas tata kehidupan
individu yang menjadi pembentuk masyarakat itu‖ (Ahmadi,
2004:26). Maka dapat dikatakan tata kehidupan masyarakat
dipengaruhi oleh tata kehidupan individu.15
Masyarakat menurut Ansyar (1989:49) merupakan suatu
kumpulan para individu yang menyatakan diri mereka menjadi satu
kelompok. Dari pendapat tersebut dapat ditafsirkan bahwa masyarakat
adalah sekumpulan individu yang sudah terintegrasi dan terorganisasi.
Jadi, dalam masyarakat bukan hanya sekelompok orang, melainkan
juga terintegrasi dan terorganisasi dan juga mempunyai pola hidup
tertentu.16
Selanjutnya penting untuk diperhatikan antara individu dan
masyarakat dalam persepektif Al-Qur‘an. Bagi Fazlur Rahman,
apakah individuyanglebih penting sedangkan masyarakat sebagai
instrumen atau sebaliknya adalah sebuah masalah akademis, karena
tampaknya individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Tidak ada
individu yang hidup tanpa masyarakat. Malah menurut Rahman,
konsep-konsep ajaran agama yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia seperti taqwa, adil, amanah, hanya memiliki arti dalam
konteks sosial. Bahkan konsep agama yang menyatakan ―berbuat
aniaya terhadap diri sendiri (zulm al-nafs) yang akhirnya
menghancurkan individu-individu juga pada gilirannya akan
menghancurkan masyarakat.17
Tinjauan dan penelitian modern terhadap masa klasik ilsam
diberikan oleh Robert N. Bellah:18
“... Tidak diragukan lagi bahwa di bawah pimpinan
Muhammad, masyarakat Arabia telah membuat lompatan ke depan

15
http://mettaadnyana.blogspot.co.id/2014/07/sosiologi-individu-dan-masyarakat.html jam 05.15
tgl 11/11/16
16
http://mettaadnyana.blogspot.co.id/2014/07/sosiologi-individu-dan-masyarakat.html jam 05.15
tgl 11/11/16
17
Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 95

18
Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 113

12
luar biasa dalam kompleksitas sosial dan kapasitas politik. Ketika
struktur yang telah mulai terbentuk di bawah pimpinan Nabi
kemudian dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk
menyediakan dasar penyusunan emperium dunia, hasilnya ialah
sesuatu yang untuk masa dan tempatnya luar biasa modern. Ia
modern dalam hal tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi
yang tinggi, yang diharapkan dari semua lapisan anggota
masyarakat. Ia modern dalam hal keterbukaan posisi
kepemimpinannya terhadap kemampuan yang dinilai menurut
ukuran-ukuran universal, dan dilambangkan dalam usaha untuk
melemba-gakan kepemimpinan puncak yang tidak bersifat warisan.
Meskipun pada saat-saat permulaan beberapa kendala tertentu
muncul untuk menghalangi komunitas (Muslim) dari sepenuhnya
mewujudkan prinsip-prinsip tersebut, tapi akhirnya komunitas itu
berhasil juga mewujudkan, suatu model bangunan komunitas
nasional modern, yang lebih baik daripada yang bisa dibayangkan.
Usaha orang-orang Muslim modern untuk melukiskan komunitas
(Islam) pertama itu se-bagai contoh sesungguhnya bagi nasionalisme
partisipan yang egaliter itu.”
Tak hanya itu. Menempatkan teologi atau kalam ditengah
kehidupan modern, juga tak mudah. Pada abad pertengan al-Ghazali
mengeluh tentang manfaat ilmu kalam dalam islam, sedang di era
modern ini, Fazlur Rahman juga menyatakan hal yang sama. Kaum
pendukung positivisme di Barat menuduh teologi sebagai wacana
yang meaningless. Manusia beraga dituntut mereformulasikan konsep
teologi agar dapat menjawab tantangan riil kemanusiaan dalam
kehidupan kontemporer.19
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak
mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan
sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh
manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat

19
Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 48

13
buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil
ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal
perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah)
dalam hidup kemudian - sesudah sejarah (9:74, 16:30). Semakin
seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung
jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam
membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).20

Bentuk dari hidup bermasyarakat adalah bisa menempatkan


posisi dirinya sebagai bagian yang menyatu di dalamnya. Individu
yang memberikan manfaat untuk kehidupan social karena manusia
memiliki sifat interdependensi dengan yang lain. Islam memberikan
pandangan dalam kehidupan bermasyarakat seyogyanya kita harus
senantiasa berseru kebaikan (Amar Ma’ruf) dan memerangi perbuatan
buruk (Nahi Munkar). Dalam kalimat itu terdapat seruan perjuangan,
pembelaan, dan mencegah keburukan. Inilah sederhananya makna
dari Indvidu dan Masyarakat.
2.6. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan
manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan
dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka
sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan
bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan
yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau
anarchi.21
Sedangkan bagi rakyat, agama sebagaimana yang sering
dikhutbahkan adalah sarana yang dapat melumpuhkan akal,
memacetkan pikiran, meruntuhkan kehendak, menyebabkan
timbulnya pesimisme. Akibatnya agama rakyat menjadi agama yang
hanya menguntungkan tiga golongan—kaum Fir‘aun (penguasa

20
Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 151

21
Hasil-hasil Kongres XXIX, Op cit, hlm. 151

14
politik), kaum Croesus (penguasa ekonomi), dan Bal‘am-e-Ba‘ura
(kaum cerdik-pandai religius-gadungan) sementara satu golongan
dikorbankan yaitu Rakyat.22 Akhirnya saya merujuk pada semangat
yang mewariskan kepada umat manusia suatu literatur yang
berlimpah dengan keindahan insani, dengan cita-cita keadilan,
kesamaan derajat dan kesatuan manusia, dengan literatur yang
mencerminkan perasaan batiniah terdalam umat manusia.23
Keterkaitan iman dengan rinsip keadilan nampak jelas dalam
berbagai pernyataan Kitab Suci, bahwa Tuhan adaah Maha Adil, dan
bagi manusia perbuatan adil adalah tindakan persaksian untuk
Tuhan.24
Pengertian adil (‗adl) dalam Kitab Suci juga terkait erat de-
ngan sikap seimbang dan menengahi (fair dealing), dalam semangat
moderasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath
(pertengahan).214 Muhammad Asad menerangkan pengertian wasath
itu sebagai sikap berkeseimbangan antara dua ekstremitas serta
realistis dalam memahami tabiat dan kemungkin-an manusia, de-ngan
menolak kemewahan maupun asketisme berlebihan. Sikap seimbang
itu memancar langsung dari semangat tawhîd atau kein-safan
mendalam akan hadirnya Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup.25
Dalam buku The Rise and Fall of Economi Justice,
MacPherson seperti yang dikutip oleh Mubyarto, menjelasakan yang
dimaksud dengan keadilan ekonomi adalah, ―aturan main tentang
hubungan ekonomiyang didasrkan pada prisp-prinsp etika, prinsip-
prinsip mana padagilirannya bersumber pada hukum-hukum alam,
hukum Tuhan atau pada sifat-sifat manusia.‖26
Kualitas terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa
kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak
terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang

22
Dr. Ali Syari‘ati, ―Pembangunan Masa Depan Islam‖, MIZAN 1986, hlm. 76
23
Dr. Ali Syari‘ati, ―Pembangunan Masa Depan Islam‖, MIZAN 1986, hlm. 75
24
Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 114
25
Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 114
26
Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 149

15
cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat.
Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang
memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama
menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya
sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.27
Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada
hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (10:55).
Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus
diberikan bagian yang wajar dari padanya.28

dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat


sedikitlah kamu bersyukur. (QS. Al-A’raF: 10).

Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di


bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapikebanyakan
mereka tidak mengetahui(nya). (QS. Yunus: 55)
2.7. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah
disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemanusiaan yang suci
adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh29

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;


maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.(QS. At-Tin: 6)
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan
menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif
namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti
dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak.30

27
Ibid, hlm. 152
28
Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 155
29
Ibid, hlm. 61
30
Ibid, hlm. 155

15
Dari uraian itu dapat dipahami bahwa era globalisasi ilmu dan
budaya saat ini, terdapat kesulitan-kesulitan instrinsik pada ketiga
jenis pendekatan agama, jika pendekatan ini berdiri sendiri, terpisah
antara satu dengan yang lainnya. Kerja sama antara ketiga pendekatan
tersebut—teologi, filsafat, dan studi agama—merupakan riset masa
depan yang potensial memberikan sumbangan berharga untuk
mengatasi tantangan kemanusiaan universal (humanpredicament)31
Dunia modern merindukan siraman spiritual yang hanya bisa
diraih melalui rumusan-rumusan teologi yang dicerahkan oleh
pemahaman filsafat. Moralitas yang tidak tidak dicerahkan oleh
filsafat belum menangkap universitas pesan-pesan agama.32
Dengan menyeleksi masukan-masukan yang diperoleh dari
pendekatan filsafat dan studi agama empiris, umat beragama dapat
membedakan mana aspek agama yang universal, yang kategoris, yang
intelektual, dan lokal, hipotesis, fisis. Keduanya tak dapat
dipertentangkan karena keduanya ibarat dua sisi mata uang. Pinjam
istilah Imanuel Kant: ―pemikiran-pemikiran keagamaan yang
subtansial-intelektual-transendental-universal tanpa wadah yang
matrial-empirikal-partikular adalah lamunan kosong.33
Disamping mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan sebagai sebuah usaha untuk memahami ayat-ayat Allah
swt. Dalam kerangka memelihara dan meningkatkan keimanan kita
kepada-Nya, tuntutan untuk mencari ilmu pengetahuan adalah
konsekuensi logis dari peranan kekhalifahan manusia.34 Manusia
diberi anugerah suci oleh Allah Swt yaitu rasa ingin tahu dan akal
sebagai instrumenya. Hal tersebut hanya dimiliki oleh manusia tidak
dimiliki oleh yang lainya.
2.8. Kesimpulan dan Penutup

31
Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 53
32
Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 55
33
Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 55
34
Azhari Ahmad Tarigan, op cit, hlm. 165-166

16
Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada
Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-
Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan
abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk
kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi
arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan
kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan
perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan
ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik
individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh
kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang
hanif. Dengan ibadah manusia dididik untuk memilki
kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah
berbuat ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran
semata.
Amal manusia menjadi usaha yang penuh dalam mewujudkan
Amal Ma‘ruf Nahi Munkar. Sebagai individu yang merdeka harus
berlaku adil dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam praktiknya
tujuan hidup manusia adalah untuk membebaskan kaum-kaum lemah
(mudtadh’afin). Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi
sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan beramal.

17

Anda mungkin juga menyukai