Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS MANFAAT PADA PEMBANGUNAN LUMBUNG PANGAN

NASIONAL SEBAGAI STRATEGI ANTISIPASI KRISIS PANGAN


INDONESIA

MAKALAH

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Praktikum Analisis Kelayakan Agribisnis Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Jember

Asisten Pembimbing :
Nadya Eka Pratiwi 191510601085
Vania Aulia Salsabila 201510601017

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Muhammad Muwaffiq Davala 211510601095
Aprilia Kharisma Sari 211510601096
Arsyad Rafly 211510601108
Iis Permatasari 229919990014

LABORATORIUM EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Krisis pangan merupakan keadaan dimana ketersediaan pangan
langka yang dialami oleh masyarakat luas atau di suatu wilayah
(Indoagropedia.Pertanian.Go.Id). Krisis pangan dapat terjadi karena berbagai
sebab diantaranya sulitnya distribusi pangan, perubahan iklim ekstrim,
bencana alam, konflik sosial, dan perang. Dampak dari krisis pangan
mengarah pada rendahnya tingkat kecukupan gizi karena kekurangan
makanan dengan kondisi baik, dampak lainnya tingkat kriminalitas
meningkat, kesejahteraan masyarakat turun, dan konflik sosial sering terjadi.
Pangan disediakan oleh sektor pertanian dimana produk keluarannya
menjadi bahan pokok untuk dimakan. Pertanian merupakan sektor yang harus
diperhatikan dengan serius untuk mencapai ketahanan pangan sesuai dengan
pernyataan Salasa (2021) suatu negara harus mencapai swasembada pangan
dahulu sedangkan impor pangan merupakan langkah pencegahan yang dipilih
ketika pemerintah merasa keseimbangan harga pangan dan jumlah
ketersediaan pangan di pasar dalam keadaan rentan. Memperkuat sektor
pertanian segingga mampu memproduksi kebutuhan dalam negeri merupakan
langkah yang tepat untuk menuju ketahanan pangan nasional.
Lumbung pangan adalah program dari pemerintah hasil dari respon
peringatan dari FAO terhadap krisis pangan yang akan terjadi yang diberi
nama food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang terpusat
dalan suatu area tertentu, mengatur sisi perkebunan, pertaniaa, hingga
peternakan (Lasminingrat & Efriza, 2020). Lokasi di Indonesia yang menjadi
proyek lumbung pangan pertama ada dua yaitu Kabupaten Kapuas dan
Kabupaten Pulau yang kedepannya daerah lain akan terbangun secara
bertahap. Lumbung pangan menjamin ketersediaan pangan dengan
menampung dikala pertanian sedang surplus kemudian disimpan sampai
keadaan memungkinkan untuk produk pertanian diedarkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian manfaat rill, manfaat semu, opportunity loss?
2. Apa manfaat rill, manfaat semu, opportunity loss dari pembangunan
lumbung padi sebagai strategi antisipasi krisis pangan Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengerahui pengertian manfaat langsung, manfaat tidak langsung,
manfaat rill, manfaat semu, opportunity loss
2. Mengetahui manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat rill,
manfaat semu, opportunity loss dari pembangunan lumbung padi sebagai
strategi antisipasi krisis pangan Indonesia
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Manfaat Rill


Manfaat rill merupakan manfaat atau biaya yang didapatkan oleh satu
pihak tanpa ada penghilangan manfaat atau biaya bagi pihak lain. Dapat
dikatakan bahwa manfaat rill ini bisa dirasakan dengan jelas dampaknya baik
secara jelas masupun samar. Adapun pada manfaat rill ini dibagi menjadi
beberapa bagian dengan manfaatnya sendiri-sendiri, yakni:
a. Manfaat langsung
merupakan tujuan utama atau alasan utama dibangunnya proyek
tersebut. Seperti pada pembangunan food estate ini memiliki tujuan
utama berupa pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Serta
pengembangan sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan
peternakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan adanya program
tsb.
b. Manfaat tidak langsung
merupakan hasil sampingan dari adanya atau dibangunnya proyek
tersebut. Manfaat tidak langsung ini berupa dengan adanya
pemenuhan kebutuhan pangan maka kebutuhan gizi masyarakat ini
akan tepenuhi. Serta tingkat kriminalitas akan menurun dan
kesejahteraan masyarakat meningkat
c. Manfaat berwujud
merupakan manfaat yang dapat dihitung pada nilai pasar. seperti
nilai pasar produksi pangan yang stabil disebabkan terpenuhinya
jumlah kebutuhan pangan karena adanya lumbung pangan dan
Peningkatan jumlah produksi pertanian.
d. Manfaat tidak berwujud
berupa manfaat yang tidak dapat dinilai pasar. contohnya lumbung
pangan dapat dijadikan sebagai tempat praktikum bagi pelajar untuk
mengetahui cara mengelola lumbung pangan. Menjaga kestabilan
kualitas dan kuantitas produk pangan tersebut
e. Manfaat Internal
Pembangunan food estate dalam hal ini dapat mengurangi
kelaparan di Indonesia dan juga dapat mengatasi bencana kekeringan
yang seringkali menjadi penyebab utama tidak meratanya
pembangunan lumbung pangan, dengan dibangunnya lumbung
pangan hal ini dapat menciptakan food estate yang akan
mengembangkan lahan aluvial. seluas 165.000 ha. untuk budidaya
padi dan 60.000 ha untuk budidaya singkong. Proses ini dilakukan
secara bertahap mulai dari penanaman padi seluas 32.000 ha,
peningkatan aksesibilitas ke kawasan, dan perbaikan saluran irigasi
pada Oktober 2020. Seluruh proses tahap awal ditargetkan selesai
pada 2021 sehingga proses tanam penuh dapat dilakukan. keluar pada
202138. Menteri Pertanian optimistis dengan produktivitas padi di
Indonesia. area food estate bisa mencapai 4-5 ton per ha
f. Manfaat Eksternal
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai swasembada
beras nasional pada tahun 2008, adalah dengan meningkatkan
produksi beras. Besarnya produksi beras diperoleh dari perkalian
antara produksi beras dengan faktor konversi atau tingkat rendemen
pengolahan beras menjadi beras yang ditetapkan pemerintah, yaitu
0,63. Sedangkan jumlah produksi padi ditentukan oleh luas panen dan
tingkat produktivitas padi (Nainggolan dan Suprapto, 1987).
Ketersediaan lahan sawah memiliki peran yang sangat penting
dalam dinamika produksi padi. Peningkatan luas panen padi dapat
dicapai melalui pembangunan jaringan irigasi yang memungkinkan
peningkatan intensitas tanam padi per tahun dan penambahan luas
sawah melalui pencetakan sawah baru. Namun, keterbatasan sumber
daya lahan dan anggaran pembangunan membuat kedua upaya
tersebut semakin sulit diwujudkan (Irawan, 2005).
Minimnya realisasi ekspor beras disebabkan oleh 3 masalah utama
yaitu kualitas, prosedur ekspor dan timing. Nampaknya Indonesia
mampu memenuhi syarat butir pecah dan derajat giling yaitu setelah
grading dan polishing random rice, namun sulit untuk memenuhi
kemurnian varietas. Beras yang dominan diekspor adalah varietas
gabah pendek, jenis Muncul. Namun, beras jenis ini dicampur dengan
beras berkualitas lainnya. Dan jika Indonesia bisa membangun food
estate, maka Indonesia juga bisa mengekspor bahan dasarnya seperti
beras.
2.2 Manfaat Semu
Tumpang tindih pembangunan lumbung pangan sangat terlihat
antar provinsi di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari salah satu provinsi
yaitu provinsi Papua yang pada dasarnya telah ditetapkan sebagai
lumbung pangan juga namun kondisi yang tampak berbeda dengan apa
yang diharapkan oleh pemerintah, seperti harga pangan yang sangat tinggi
dan juga akomodasi untuk distribusi sembako juga tidak terlihat
dikalangan masyarakat umum dan warga sekitar tidak merasakan food
estate tersebut, padahal Papua sedang dalam fase perubahan ini paradigma
yang disambut hangat oleh berbagai kalangan, dan dianggap sebagai
jawaban atas berbagai persoalan mendasar di kawasan perbatasan selama
ini. Paradigma baru ini telah menumbuhkan semangat baru bagi
masyarakat perbatasan, dengan harapan LPBE-WP dapat memperkuat
posisi kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang kegiatan ekonomi dan
perdagangan dengan negara tetangga, yang sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan keamanan kawasan. .
Dan mereka sering mengalami situasi dimana rasa lapar sering
terjadi. Menurut catatan organisasi lingkungan, Walhi, gagal panen warga
dipicu oleh peristiwa embun beku di dataran tinggi Lanny Jaya. Gagal
panen karena faktor cuaca berdampak fatal karena masyarakat sangat
bergantung pada hasil kebunnya. “Sumber makanan mereka di sana hanya
dari berkebun,” kata Direktur Eksekutif WALHI Papua, Maikel Primus
Peuki melalui telepon. "Dengan perubahan cuaca ini, mereka kehilangan
sumber makanan." Sebuah video yang diakui Walhi yang bersumber dari
salah satu jaringannya di lokasi bencana, menunjukkan sekelompok warga
berduka atas rusaknya kebun mereka.
2.3 Kesempatan yang Hilang
Dalam kajian tersebut dapat dikatakan bahwa masih banyak kesalahan
dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah dalam mengambil keputusan
untuk program food estate yang diharapkan dapat mengatasi kelaparan di
Indonesia, namun pemerintah kurang memahami hal-hal yang mendasar yaitu
hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah potensi pergeseran fokus mata
pencaharian masyarakat dari pertanian. ke non pertanian. Sulitnya hidup di
pedesaan membuat generasi muda lebih memilih bekerja di pabrik daripada
bertani atau mencari peluang lain di kota besar. Masalah ini menyebabkan
jumlah penduduk di perkotaan meningkat pesat, sekitar 50% pada tahun 2010
dan 54% pada tahun 2015. Setidaknya hampir 16 juta atau lebih dari 60%
kepala rumah tangga petani berusia antara 45 dan di atas 60 tahun. Populasi
petani pedesaan yang menua juga akan mempengaruhi kemampuan fisik,
kurangnya inovasi, dan visi strategis.
Menurut Scrimshaw (1968), malnutrisi terjadi karena adanya hubungan
yang kompleks dengan kelaparan yang dipengaruhi oleh variabel lain seperti
status kesehatan, pengeluaran energi, tingkat pendidikan, infrastruktur
masyarakat, dan asupan zat gizi mikro.
Daftar pustaka
krisis-pangan @ indoagropedia.pertanian.go.id. (n.d.).
http://indoagropedia.pertanian.go.id/books/krisis-pangan#:~:text=Kondisi
kelangkaan pangan yang dialami,atau bab untuk istilah ini.
Lasminingrat, L., & Efriza, E. (2020). Pembangunan Lumbung Pangan Nasional:
Strategi Antisipasi Krisis Pangan Indonesia. Jurnal Pertahanan & Bela
Negara, 10(3), 243. https://doi.org/10.33172/jpbh.v10i3.1053
Salasa, A. R. (2021). Paradigma dan Dimensi Strategi Ketahanan Pangan
Indonesia. Jejaring Administrasi Publik, 13(1), 35–48.
https://doi.org/10.20473/jap.v13i1.29357
Priyono, H. 2009b. “Ekspor Beras: Sebuah Anti Klimaks?”, Warta Intra Bulog,
Edisi 05/36/2009.
Sawit, M.H. 2005. Perum Bulog dalam Perjanjian Pertanian WTO: Apa, Mengapa
dan Bagaimana, Puslitbang Bulog: Jakarta
Sawit, M.H. 2007. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha
WTO, Badan Penerbit FE UI: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai