Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketahanan sayuran merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional, sektor

pertanian salah satu sektor yang selama ini masih dipertahankan/selain diandalkan

oleh negara Indonesia karena sektor pertanian mampu membantu dalam mengatasi

krisis yang terjadi di Indonesia. Terlihat bahwa sektor pertanian merupakan salah

satu sektor yang mempunyai potensi yang besar dalam berperan sebagai pemicu

pemulihan ekonomi nasional melalui salah satunya adalah ketahanan sayuran

nasional. Dengan demikian diharapkan kebijakan untuk sektor pertanian lebih

diutamakan, namun setiap tahun untuk luas lahan pertanian selalu mengalami alih

fungsi lahan.

Pembangunan pertanian dilakukan dengan berbagai cara yakni pengembangan

teknologi pertanian seperti intensifikasi, diversifikasi dan ekstensifikasi sejalan

dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Kecenderungan petani dewasa ini

dalam berusaha tani yang secara ekonomis menguntungkan bagi petani, sehingga

petani terkadang enggan untuk berusaha tani jika tidak menguntungkan. Kondisi

seperti ini sangat wajar mengingat bahwa kebutuhan petani dan keluarganya pada

masa sekarang lebih besar dibandingkan masa sebelumnya. Sedangkan pendorong

aktivitas manusia adalah adanya kebutuhan dari manusia itu sendiri antara lain :

kebutuhan biologis, kebutuhan cultural dan kebutuhan untuk pemuas lainnya

(Leftwcih, 1978).
Kebutuhan akan sayuran di Indonesia saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa

pertumbuhan permintaan sayuran (khususnya sayuran) yang lebih cepat dari

pertumbuhan penyediaannya. Permintaan cepat tersebut merupakan resultan dari

peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli

masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi sayuran

nasional pertumbuhannya lambat bahkan stagmen disebabkan oleh adanya

kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air serta pelandaian

pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Hal tersebut

diperparah dengan terjadinya ketidakpastian iklim global yang berdampak pada

ketersediaan air yang tidak menentu sepanjang tahun sehingga mengganggu

produksi dan produktivitas lahan pertanian (Suyana, 2005).

Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas

produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatkan

persediaan sayuran nasional yang berasal dari impor. Ketergantungan terhadap

sayuran impor ini terkait dengan upaya mewujudkan stabilitas penyediaan sayuran

nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik, impor beras cenderung meningkat

dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2009 impor beras sebanyak 250 ribu ton,

meningkat menjadi 688 ribu ton pada tahun 2010 dan kembali meningkat menjadi

2,70 juta ton pada tahun 2011 meskipun produksi padi terus meningkat dari tahun

2001 sampai 2010.

Luas panen padi di Provinsi Sulawesi Tenggara pada 2019 diperkirakan sebesar

132,34 ribu hektar atau mengalami penurunan sebanyak 4,33 ribu hektar atau 3,17

persen dibandingkan tahun 2018. Produksi padi di Provinsi Sulawesi Tenggara


pada 2019 diperkirakan sebesar 519,71 ribu ton GKG atau mengalami penurunan

sebanyak 19,17 ribu ton atau 3,56 persen dibandingkan tahun 2019. Jika produksi

padi pada tahun 2019 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan

penduduk, produksi beras di Provinsi Sulawesi Tenggara pada 2019 sebesar

296,92 ribu ton atau mengalami penurunan sebanyak 10,95 ribu ton atau 3,56

persen dibandingkan tahun 2018.

Penanganan alih fungsi lahan cenderung lambat dikarenakan penilaian yang salah

terhadap keberadaan lahan sawah. Sektor sayuran dinilai mampu meningkatkan

perekonomian wilayah dibandingkan sektor tanaman pangan. Pemerintah telah

mengantisipasi alih fungsi lahan dengan mengeluarkan UU Nomor 41 tahun 2009

tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memuat

ancaman sanksi yang cukup berat. Pada Pasal 72 UU tersebut dinyatakan bahwa

orang yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan diancam dengan pidana

penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal 1 milyar rupiah. Apabila pelaku

alih fungsi lahan tidak mengembalikan kondisi lahan ke keadaan semula dapat

dipidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal 3 milyar rupiah.

Hukuman pidana dan denda ditambah 1/3 dari yang diancamkan apabila pelaku

alih fungsi lahan adalah pejabat pemerintah.

Faktor-faktor yang menentukan alih fungsi lahan dikelompokkan menjadi tiga,

yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham

dkk, 2005), lebih lanjut Isa (2006), menyatakan faktor yang mendorong alih

fungsi lahan pertanian adalah pertumbuhan penduduk, kebutuhan lahan untuk

kegiatan non pertanian, nilai land rent yang lebih tinggi pada aktivitas pertanian
non sayuran, sosial budaya, degradasi lingkungan, otonomi daerah yang

mengutamakan pembangunan pada sektor yang lebih menguntungkan untuk

peningkatan pendapatan daerah dan lemahnya sistem perundang-undangan dan

penegakan hukum dari peraturan yang ada.

Pada masa sekarang ini petani dalam mengusahakan lahan pertaniannya terutama

lahan sawah untuk sayuran saja yang hanya untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, sedangkan untuk peningkatan taraf hidup dan pendapatan mereka masih

mengandalkan usaha tani yang secara ekonomis dan menghitungkan seperti

halnya menanam tanaman sayuran. Sehingga banyak petani di Desa Karandu

Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe banyak yang mengalih fungsikan

usaha lahan sawahnya dari tanaman padi ke tanaman sayuran yang memiliki

tingkat ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan usaha tanaman

sayuran/padi sawah yang hasilnya atau pemanenannya hanya dalam waktu

musiman.

Perubahan fungsi usaha lahan sawah di Desa Karandu Kecamatan Wawotobi

Kabupaten Konawe, dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya (1) Tingkat

umur petani, (2) Pendidikan Petani, (3) Pengalaman usaha petani tentang

berusaha tani, (3) Luas lahan, (4) Tingkat pendapatan usaha tani padi/sayuran

dan, (5) Besarnya kebutuhan petani dalam sehari hari.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah perubahan alih fungsi usaha lahan sawah padi ke tanaman

hortikultura di Desa Karandu Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe antara

lain: tingginya harga input sarana pertanian sayuran (bibit, pupuk, pestisida),

terbatasnya sumber irigasi pada saat musim tanam, dan pendapatan yang diperoleh

dari hasil usaha tani komoditi tanaman padi yang setiap musim cenderung kurang

menguntungkan.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas maka dapat di duga

suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan fungsi usaha lahan

sawah padi ke tanaman sayuran di Desa Karandu Kecamatan Wawotobi

Kabupaten Konawe.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor internal pendorong,

eksternal pendorong, internal penghambat dan eksternal penghambat alih fungsi

usaha lahan sawah padi ke tanaman sayuran di Desa Karandu Kecamatan

Wawotobi Kabupaten Konawe.

1.3 Kegunaan Penelitian

1. Sebagai masukan dan pertimbangan bagi petani yang mengelola usaha tani

sawah yang akan beralih fungsi usaha lahan sawahnya ke tanaman sayuran.

2. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya sehingga dapat

menyempurnakan hasil penelitian yang telah dilakukan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teori

1. Pertanian dan Lahan Pertanian

Mubyarto (1972), menerangkan bahwa pertanian dalam arti sempit atau pertanian

rakyat yaitu usaha pertanian keluarga dimana diproduksi bahan makanan utama

seperti beras, palawija (jagung, kacang-kacangan dan ubi-ubian) dan tanaman-

tanaman sayuran yaitu sayur- sayuran dan buah-buahan. Pertanian rakyat

diusahakan di tanah- tanah sawah, ladang dan pekarangan. Sedangkan Pertanian

dalam arti luas mencakup:

1. Pertanian rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit

2. Perkebunan(termasuk di dalamnya perkebunan rakyat dan perkebunan besar)

3. Kehutanan

4. Peternakan

5. Perikanan (dalam perikanan dikenal pembagian lebih lanjut yaitu perikanan

darat dan perikanan laut.

Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak- petak dan dibatasi oleh

pematang (galengan), saluran untuk menahan /menyalurkan air, yang biasanya

ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperoleh atau status lahan

tersebut. Lahan tersebut termasuk lahan yang terdaftar di pajak bumi bangunan,
iuran pembangunan daerah, lahan bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang

ditanami padi dan lahan bekas tanaman tahunan yang telah dijadikan sawah baik

yang ditanami padi maupun palawija. (Badan Pusat Statistik).

Menurut Irawan, Bambang (2005), Manfaat lahan pertanian dapat dibagi atas 2

kategori yaitu:

1. Use value atau nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebagai personal use

values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usaha tani

yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian.

2. Kedua, non- use values yang dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau

manfaat bawaan. Yang termasuk kategori manfaat ini adalah berbagai manfaat

yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan

eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan. Salah satu contohnya adalah

terpeliharanya keragaman biologis atau keberadaan spesies tertentu, yang pada

saat ini belum diketahui manfaatnya, tetapi di masa yang akan datang mungkin

akan sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007), Lahan pertanian yang paling rentan

terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh:

1. Kepadatan penduduk di Kelurahanan yang mempunyai agroekosistem

dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem

lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi;
2. Daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah

perkotaan

3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah

pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering

4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan

sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar,

dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa)

ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

2. Alih fungsi Lahan Sawah

Menurut Bambang Irawan dan Supena Friyatno (2001), Pada tingkatan mikro,

proses alih fungsi lahan pertanian (alih fungsi lahan) dapat dilakukan oleh petani

sendiri atau dilakukan oleh pihak lain. Alih fungsi lahan yang dilakukan oleh

pihak lain memiliki dampak yang lebih besar terhadap penurunan kapasitas

produksi pangan karena proses alih fungsi lahan tersebut biasanya mencakup

hamparan lahan yang cukup luas, terutama ditujukan untuk pembangunan

kawasan perumahan. Proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain

tersebut biasanya berlangsung melalui dua tahapan, yaitu:

1. Pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain

2. Pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non pertanian.

Dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap masalah pengadaan pangan pada

dasarnya terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut secara umum
tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan

pertanian dimiliki oleh petani. Dengan demikian pengendalian pemanfaatan lahan

untuk kepentingan pengadaan pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua

pendekatan yaitu:

1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain.

2. Mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap

keseimbangan pengadaan pangan.

Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka

dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara

progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu

lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin

kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong

meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga

harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya

dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Menurut

Sumaryanto,dkk (2002), pelaku alih fungsi lahan dapat dibedakan menjadi dua.

Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan.

Lazimnya, motif tindakan ada 3:

1. Untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal,

2. Dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha


3. Kombinasi dari (a) dan (b) misalnya untuk membangun rumah tinggal yang

sekaligus dijadikan tempat usaha.

Pola alih fungsi seperti ini terjadi di sembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar.

Dampak alih fungsi terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru terlihat untuk

jangka waktu lama. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan.

Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non

sawah atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini

terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi dan umumnya berkorelasi

positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi terhadap

eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.

Ditinjau menurut prosesnya, alih fungsi lahan sawah dapat pula terjadi:

1. secara gradual

2. seketika (instant). Alih fungsi secara gradual lazimnya disebabkan fungsi

sawah tidak optimal.

Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi

di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Alih

fungsi secara instant pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni

berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri.

Menurut Rustiadi, Ernan (2010) Dari satu sisi, proses alih fungsi lahan pada

dasarnya dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya
pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat

yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari:

1. Pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya

permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan

jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita, serta

2. Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor

primer khususnya dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam

ke aktifitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa).

3. Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai alih fungsi lahan adalah

perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula

(seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif

(masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan

dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh

faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi

kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya

tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Utomo dkk, 1992). Alih fungsi

lahan berarti alih fungsi atau mutasinya lahan secara umum menyangkut

trnsformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu pengunaan ke

pengunaan lainnya (Kustiawan, 1997).

Menurut Agus (2004) alih fungsi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja

oleh manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami. Kita ketahui bahwa
percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya alih fungsi

lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah sistem produksi pada lahan sawah

tersebut berjalan dengan baik. Alih fungsi lahan merupakan konsekuensi logis

dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan

lainnya. Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi,

namun pada kenyataannya alih fungsi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas

lahan pertanian yang masih produktif. Menurut Irawan (2005) alih fungsi lahan

pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan

lahan pertanian dengan non pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan

lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : a)

keterbatasan sumberdaya lahan, b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan

ekonomi.

Menurut Sihaloho (2004) membagi alih fungsi lahan kedalam tujuh pola atau

tipologi, antara lain:

1. Alih fungsi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu

lahan yang kurang/tidak produktif dan keterKelurahankan ekonomi pelaku alih

fungsi.

2. Alih fungsi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif,

sehingga alih fungsi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.

3. Alih fungsi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population

growth driven land conversion); lebih lanjut disebut alih fungsi adaptasi
demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan teralih

fungsi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

4. Alih fungsi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land

conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterKelurahankan ekonomi dan

perubahan kesejahteraan.

5. Alih fungsi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah

hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.

6. Alih fungsi adaptasi agraris; disebabkan karena keterKelurahankan ekonomi

dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil

pertanian.

7. Alih fungsi multi bentuk atau tanpa bentuk ; alih fungsi dipengaruhi oleh

berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran,

sekolah,koperasi,perdagangan,termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam

alih fungsi demografi.

Menurut Irawan (2005) mengemukakan bahwa alih fungsi tanah lebih besar

terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi

oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti

kompleks perumahan,pertokoan,perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah

dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering.

Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan

produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan

daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih
mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk

dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah

perbukitan dan pegunungan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alih fungsi lahan adalah

berubahnya pengunaan lahan dari pengunaan semula, misalnya dari lahan

pertanian dialih fungsikan menjadi permukiman, dari hutan dialih fungsikan

menjadi lahan pertanian, sayuran atau yang lainnya.

4. Pengertian Lahan Sawah

Tanah Sawah atauLahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk

budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama

atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.Yang membedakan lahan ini dari lahan

rawa adalah masa penggenangan airnya, pada lahan sawah penggenangan tidak

terjadi terus- menerus tetapi mengalami masa pengeringan (Musa dkk, 2006).

Tanah sawah merupakan suatu keadaan di mana tanah tanah yang digunakan

sebagai areal pertanaman selalu dalam kondisi tergenang. Penggenangan yang

dilakukan pada tanah sawah ini akan mengakibatkan terjadinya beberapa

perubahan sifat kimia (Musa dkk, 2006).

Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan, yang untuk pengelolaannya

memerlukan genangan air. Oleh karena itu sawah selalu mempunyai permukaan

datar atau yang didatarkan, dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air

genangan (Sofyan dkk, 2007).


Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan

manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang

bersifat sosial. Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan

manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat

langsung berhubungan dengan perihal penyediaan sayuran, penyediaan

kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah,

sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana pelestarian

kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana

pariwisata.Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu

wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai

sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati

(Rahmanto dkk, 2002).

Menurut Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling

rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :

Kepadatan penduduk di Desa yang mempunyai agroekosistem dominan sawah

pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering,

sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi.

1. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah

perkotaan.

2. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah

persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering
3. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan

sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana

pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem

pertaniannya dominan areal persawahan.

Menurut Hanafiah (2005), fungsi pertama tanah sebagai media tumbuh adalah

sebagai tempat akar mencari ruang untuk berpenetrasi (menelusup), baik secara

lateral atau horizontal maupun secara vertikal. Kemudahan tanah untuk

dipenetrasi ini tergantung pada ruang pori yang terbentuk diantara partikel tanah.

Sifat- sifat fisik tanah berhubungan erat dengan kelayakan pada banyak

penggunaan (yang diharapkan dari tanah). Kekokohan dan kekuatan pendukung,

drainase dan kapasitas penyimpanan air, plastisitas, kemudahan ditembus akar,

aerasi, dan penyimpanan hara tanaman semuanya secara arat berkaitan dengan

kondisi fisik tanah. Oleh karena itu, erat kaitannya bahwa jika seseorang

berhadapan dengan tanah dia harus mengetahui sampai berapa jauh dan dengan

cara apa sifat- sifat tanah itu dapat diubah (Foth, 1994).

Sifat fisik tanah merupakan faktor yang bertanggung jawab terhadap

pengangkutan udara, panas, air dan bahan terlarut dalam tanah. Sifat fisik tanah

sangat bervariasi pada tanah tropis.Beberapa sifat fisik tanah dapat berubah

dengan pengolahan seperti temperatur tanah, permeabilitas, kepekaan terhadap

aliran permukaan (run-off) dan erosi, kemampuan mengikat air dan menyuplai air

untuk tanaman (Hanafiah, 2005).

5. Pengertian Sayuran
Sayuran adalah pelafalan Indonesia istilah Inggris horticulture. Istilah ini dirakit

dari kata latin hortus yang berarti kebun atau halaman). Maka sayuran diberi arti

pembudidayaan suatu kebun. Ada yang member arti seni membudidayakan

tanaman kebun atau cara budidaya yang dilakukan dalam suatu kebun. Secara

lebih khusus sayuran disebut seni menanam tanaman buah, sayuran, dan tanaman

hias atau ilmu pertanian yang berkaitan dengan pembudidayaan kebun, termasuk

penanaman sayuran, buah, bunga, dan semak serta pohon hias.

Peranan sayuran :

a). Memperbaiki gizi masyarakat,

b). Memperbesar devisa negara,

c). Memperluas kesempatan kerja,

d). Meningkatkan pendapatan petani, dan

e). Pemenuhan kebutuhan keindahan dan kelestarian lingkungan.

Sifat khas dari hasil sayuran, yaitu :

a). Tidak dapat disimpan lama,

b). Perlu tempat lapang (voluminous),

c). Mudah rusak (perishable) dalam pengangkutan,

d). Melimpah/meruah pada suatu musim dan langka pada musim yang lain,

e). Fluktuasi harganya tajam (Notodimedjo, 1997).


Menurut Siswono Yudohusodo (1999) bahwa rendahnya daya saing sektor

pertanian kita disebabkan oleh : sempitnya penguasaan lahan, tidak efisiennya

usahatani, dan iklim usaha yang kurang kondusif serta ketergantungan pada alam

masih tinggi. Untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian ini tidak ada jalan

lain, selain kerja keras masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia pertanian, membuka areal pertanian baru yang dibagikan

kepada petani-petani gurem/buruh tani, memperluas pengusahaan lahan oleh

setiap keluarga tani dan menggunakan teknologi maju untuk meningkatkan

produktivitas dan produksi pertanian.

Permasalahan yang menonjol dalam upaya pengembangan sayuran ialah

produktivitas yang masih tergolong rendah, hal ini merupakan refleksi dari

rangkaian berbagai faktor yang ada, antara lain : pola usahatani yang kecil, mutu

bibit yang rendah yang ditunjang oleh keragaman jenis/varietas, serta rendahnya

penerapan teknologi budidaya.

Untuk mencapai tujuan perlu penerapan sistem budidaya sayuran yang lebih baik

serta penggunaan teknologi yang tepat dan berwawasan lingkungan, pertanian

organik merupakan salah satu alternatif budidaya pertanian yang berwawasan

lingkungan dan berkelanjutan yang bebas dari segala bentuk bahan inorganik

seperti pupuk buatan, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Teknologi yang saat ini

diterapkan merupakan teknologi yang berorientasi pada pencapaian target

produksi dengan menggunakan masukan produksi yang semakin meningkat,

seperti bibit unggul, pupuk buatan, pestisida dan zat pengatur tumbuh.
2.2 Kajian Penelitian Terdahulu

Masalah kebutuhan sayuran merupakan persoalan lama, akan tetapi membutuhkan

perhatian yang serius dan terus menerus. Pembangunan pertanian bertujuan untuk

memantapkan swasembada sayuran (beras), meningkatkan pendapatan petani dan

meningkatkan taraf hidup petani. Pilihan komoditas yang dibudidayakan oleh

petani dilakukan secara rasional dengan pertimbangan kemudian dalam

pengelolaan dan keuntungan yang tinggi. Kondisi ini berpotensi menghilangkan

lahan pertanian tanaman sayuran, khususnya padi sehingga dapat mengancam

ketahanan sayuran.

Hasil penelitian Dedi Sugandi (2013) bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi

alih fungsi lahan adalah luas kepemilikan lahan sawah, tingkat pengetahuan petani

tentang peraturan alih fungsi lahan, dan kendala ketersediaan air irigasi. Present

volue net return sebagai nilai land rent menunjukkan nilai yang lebih dari

usahatani kelapa sawit dibandingkan lahan sawah. Rekomendasi alternative

strategi kebijakan untuk antisipasi terjadinya lahan sawah menjadi kebun kelapa

sawit adalah menetapkan lahan abadi pertanian tanaman sayuran di wilayah-

wilayah sentra produksi padi, perbaikan pengelolaan dan jaringan irigasi, serta

mendorong partisipasi kelembagaan petani dalam pengelolaannya, meningkatkan

penyuluhan tentang larangan alih fungsi lahan dan meningkatkan produktivitas

padi melalui inovasi teknologi spesifik lokasi.

Hasil penelitian Novita Dinaryanti (2014) bahwa terdapat empat hal yang

mempengaruhi keputusan petani mengalih fungsi lahan pertanian menjadi lahan


non pertanian. Yaitu : 1) faktor Ekonomi, 2) faktor Sosial, 3) faktor Kondisi

Lahan dan 4) peraturan pemerintah. Hasil dari lapangan membuktikan bahwa

proses alih fungsi lahan yang terjadi di masing – masing Kelurahan yaitu memiliki

masalah yang berbeda, di Kelurahan Pengkol faktor yang mendorong petani

mengalih fungsi lahan pertanian adalah faktor peraturan pemerintah dan kondisi

lahan,yaitu pengenaan pajak tanah sawah menjadi tanah industri. Sedangkan yang

terjadi di Kelurahan Gupit faktor yang mendorong petani untuk mengalih fungsi

lahan adalah faktor sosial dan kondisi lahan. Dampak sosial dari terjadinya alih

fungsi lahan dapat dilihat dari kondisi hubungan/ interaksi antar warga, dan

kondisi gaya hidup masyarakat sekitar. Tidak maksimalnya output yang di

hasilkan tanaman padi yaitu dikarenakan kondisi lahan di Kelurahan Gupit

sterdapat banyak hama yang menyerang tanaman padi.

2.3 Kerangka Pemikiran

Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro merupakan daerah

yang berbasis pertanian yaitu daerah persawahan, yang sangat produktif untuk

usahatani tanaman sayuran (padi, palawija dan sayuran). Perubahan penggunaan

lahan secara besar-besaran menyebabkan ketersediaan lahan bagi penggunaan

sektor pertanian dan sebagai lapangan usaha bagi petani akan semakin sempit.

Pada penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan akan

dikelompokkan menjadi faktor pendorong dan faktor penghambat alih fungsi

lahan. Faktor pendorong merupakan faktor-faktor yang mempercepat laju alih

fungsi baik faktor pendorong dari internal maupun eksternal. Sedangkan faktor

penghambat adalah faktor-faktor yang memperlambat laju alih fungsi lahan.


Faktor-faktor yang diduga sebagai pendorong alih fungsi lahan akan dibagi

menjadi faktor internal pendorong alih fungsi lahan dan faktor eksternal

pendorong alih fungsi lahan.

Faktor internal pendorong alih fungsi adalah lokasi lahan, produktivitas lahan,

saluran irigasi, mutu tanah, luas lahan yang dimiliki, biaya produksi, risiko usaha

tani, perubahan perilaku menganggap petani pekerjaan masyarakat miskin,

kemampuan penanganan pasca panen dan himpitan ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan. Faktor eksternal pendorong alih fungsi adalah pengaruh dari warga

lain yang lebih dahulu mengalih fungsi lahan, kebutuhan yang semakin tinggi,

pengaruh dari pihak swasta, nilai jual lahan, kebutuhan tempat tinggal,

pembangunan sarana dan prasarana di sekitar Karangrejo, peluang kerja sektor

non-pertanian, fluktuasi harga sektor pertanian, pajak bumi dan bangunan, subsidi

pemerintah, tenaga kerja, dan adanya kesempatan membeli lahan lain.

Faktor penghambat juga dibagi menjadi dua yaitu faktor internal penghambat alih

fungsi lahan dan faktor eksternal penghambat alih fungsi lahan. Faktor internal

penghambat alih fungsi lahan adalah lahan warisan, kepercayaan masyarakat,

ketersediaan sumberdaya air yang mencukupi, kondisi lahan yang masih subur

dan kesempatan kerja di sektor lain. Sedangkan faktor eksternal penghambat alih

fungsi lahan adalah adanya regulasi dari pemerintah, adanya subsidi pemerintah,

kepastian harga hasil pertanian dan kompensasi dari pemerintah. Pengaruh yang

ditimbulkan dari alih fungsi lahan tentu adalah berkurangnya lahan-lahan

pertanian sehingga akan berbanding lurus dengan produktivitas petani dan akan

berpengaruh terhadap pendapatan petani.


Dalam penelitian ini variabel-variabel tersebut akan dikelompokkan sehingga dari

variabel-variabel tersebut terbentuk faktor pendorong dan faktor penghambat alih

fungsi lahan. Faktor pendorong merupakan faktor-faktor yang mempercepat laju

alih fungsi baik faktor pendorong dari internal maupun eksternal. Sedangkan

faktor penghambat adalah faktor-faktor yang memperlambat laju alih fungsilahan.

Faktor-faktor tersebut tersebut diperkirakan akan mempengaruhi jumlah alih

fungsi lahan pertanian.

Setelah melihat keterhubungan antar faktor pendorong alih fungsi lahan dan faktor

penghambat alih fungsi lahan maka selanjutnya dilihat pula pengaruh alih fungsi

lahan pertanian tersebut terhadap tingkat kesejahteraan petani. Dalam penelitian

ini kesejahteraan petani diukur melalui indikator pendapatan pada sektor pertanian

dan pendapatan di luar pertanian dimana apabila indikator ini mengalami

peningkatan dapat dikatakan kesejahteraan petani mengalami peningkatan.

Kerangka konsep penelitian ini dapat diilustrasikan pada Gambar 1.


Faktor Internal Pendorong
Alih Fungsi (X1)

Faktor Eksternal Pendorong


Alih Fungsi (X2)
Alih Fungsi Lahan
(Y)
Faktor Internal Penghambat
Alih Fungsi (X3)

Faktor Eksternal Pendorong


Alih Fungsi (X4) Regresi

Gambar 1. Kerangka konsep faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi usaha

lahan sawah padi menjadi usaha tanaman sayuran

2.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah diduga terdapat faktor internal pendorong,

eksternal pendorong, internal penghambat dan eksternal penghambat alih fungsi

usaha lahan sawah padi ketanaman sayuran di Desa Karandu Kecamatan

WawotobiKabupaten Konawe.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi daerah penelitian dipilih secara sengaja (Purposive) yaitu di Desa Karandu

Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe. Pemilihan lokasi berdasarkan

pertimbangan bahwa tersebut banyak petani yang mengalih fungsikan usaha lahan

sawah padi ke tanaman sayuran. Waktu penelitian berlangsung pada Januari 2022.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh petani yang mengusahakan pertanian dilahan sawah dari

tanaman padi ketanaman sayur mayur atau sayuran yang diambil menjadi sampel

atau objek dari penelitian ini. Kemudian, Mubyarto (1982) mengemukakan bahwa

populasi adalah kumpulan objek mengenai suatu persoalan secara keseluruhan

data dari mana contoh diambil jika seandainya semua tersedia. Dalam penelitian

ini yang menjadi sampel adalah petani lahan sawah yang telah merubah usaha

lahan sawah dari tanaman sayuran/padi ke tanaman sayuran. Berdasarkan

informasi yang diperoleh terdapat sejumlah 25 orang petani yang merubah fungsi

usaha lahan sawah dari tanaman sayuran/padi ketanaman sayuran dari 25 orang

petani. Dalam penelitian ini karena jumlah anggota populasi penelitian kurang

dari 100 orang, maka pengambilan sampel berdasarkan teori oleh Arikunto (2006)

yaitu jika sampel diatas 100 orang maka diambil 10% dari jumlah populasi yang

ada, sedangkan jika jumlah populasi kurang dari 100 orang maka sampel dapat
diambil dari jumlah yang ada. Seluruh populasi yang ada sebanyak 25 orang

responden maka diambil seluruhnya sebagai sampel dengan metode sensus.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Data yang

dikumpulkan :

a. Data primer

Yaitu data yang di peroleh dari wawancara langsung dengan mengajukan

beberapa pertanyaan yang telah dibuat dan disusun dalam bentuk

kuisioner.

b. Data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari dinas/instansi atau lembaga kelompok tani

yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis faktor digunakan untuk mengidentifikasi dimensi suatu struktur dan

kemudian menentukan sampai sebarapa jauh setiap variabel dapat dijelaskan oleh

setiap dimensi (Ghozali, 2006:267). Dalam penelitian ini, analisis faktor

dilakukan menggunakan komputer dengan paket program SPSS 19.0. Tahapan

dalam menggunakan analisis faktor adalah sebagai berikut.

1) Merumuskan masalah

Merumuskan masalah perlu dilakukan perumusan secara jelas dari analisis faktor

tersebut dan variabel-variabel yang akan disertakan harus diterapkan berdasarkan


penelitian, teori dan pendapat peneliti. Variabel-variabel dan data yang diperoleh

dianalisis dengan menggunakan model analisis faktor sebagai berikut.

Xi = Ai1F1+ Ai2F2+….+….+ AimFm + ViUi…………….(1)

Keterangan :

Xi = variabel ke i yang terstandarisasi

Aij = koefisien regresi berganda yang distandarisasi dari variabel (i) pada

common faktor j

F = Faktor umum

Vi = koefisien standar regresi dari variabel i pada faktor khusus

Ui = unique faktor untuk variabel (i)

M = jumlah dari faktor - faktor umum

Yi= b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 ………… (2)

Dimana:

Y (Xi) = Peluang pemilik lahan mengelola lahan sawah (1 = lahan dialih

fungsikan menjadi lahan sayuran; 0 = lahan tidak dialaih fungsikan

Bo = Konstanta regresi

b1-b7 = Parameter dugaan (koofisien)

X1 = Faktor internal pendorong


X2 = Faktor eksternal pendorong

X3 = Faktor internal penghambat

X4 = Faktor eksternal penghambat

2) Membuat matrik korelasi

Langkah awal dalam analisis faktor adalah membuat matrik korelasi antar

variabel. Dengan adanya matrik korelasi dapat diidentifikasikan variabel-variabel

yang tidak memiliki hubungan dengan variabel-variabel yang lain, sehingga dapat

dikeluarkan dari model. Matrik korelasi harus matrik non singular atau dikatakan

determinannya tidak nol dan matrik korelasinya juga bukan matrik identitas

(Anderson, 1984). Pada tahap ini diketahui variabel-variabel yang menimbulkan

multikolinearitas yaitu dua variabel dengan koefisien korelasi tinggi dan variabel

tersebut dijadikan satu atau dipilih salah satu untuk dianalisis lebih lanjut

(bariett’s test of spehericity). Selanjutnya digunakan uji Kaiser Mayer Olkin

(KMO) untuk mengetahui kecukupan sampelnya. Analisis faktor dikatakan layak

apabila besaran KMO minimal 0,5.

3) Menentukan jumlah faktor

Variabel disusun kembali berdasarkan pada pola korelasi hasil langkah di atas

untuk menentukan jumlah faktor yang diperlukan untuk mewakili data. Untuk

menentukan jumlah faktor yang dapat diterima secara empirik dapat dilakukan

berdasarkan eigenvalue setiap faktor yang muncul. Semakin besar eigenvalue

setiap faktor semakin representatif faktor tersebut untuk mewakili sekelompok


variabel. Faktor yang dipilih adalah faktor yang mempunyai eigenvalue lebih

besar atau sama dengan 1. Demikian juga didasarkan pada percentage of variance

suatu faktor dapat menjadi pertimbangan konsumen apabila memilih nilai lebih

besar dari 5 persen dan apabila didasarkan pada cumulative of variance

ketentuannya adalah nilai minimum sebesar 60 persen, maka faktor tersebut dapat

digunakan dalam model.

4) Rotasi faktor

Hasil penyederhanaan faktor dalam matrik memperlihatkan hubungan antara

faktor variabel individual, tetapi dalam faktor-faktor tersebut terdapat banyak

variabel yang berkorelasi sehingga sulit untuk diinterpretasikan. Ada tiga

pendekatan yang dapat dipakai untuk melakukan rotasi, yaitu quartimax, varimax,

dan equimax. Dari tiga pendekatan tersebut akan dipilih salah satu metode rotasi

yang paling mudah diinterpretasikan.

5) Interpretasi faktor

Interpretasi faktor dapat dilakukan dengan mengelompokkan variabel–variabel

yang mempunyai faktor loading tinggi di dalam faktor tersebut. Untuk interpretasi

hasil penelitian ini, besarnya loading faktor yang dipakai adalah minimum sama

dengan nilai rata-rata faktor loading ditambah dengan standar deviasi yang ada

pada masing-masing faktor. Variabel yang mempunyai faktor loading kurang dari

nilai minimum tersebut di atas, dikeluarkan dari model.

6) Menentukan ketepatan model


Tahap terakhir dari analisis faktor adalah mengetahui mampu tidaknya model

yang menjelaskan dengan baik. Fenomena data yang ada perlu diuji dengan teknik

Principal Componen Analysis (PCA), yaitu dengan melihat jumlah residual antara

korelasi yang diamati dengan korelasi yang diproduksi. Apabila nilai presentase

residual semakin tinggi, berarti semakin jelek kemampuan model dalam

menjelaskan fenomena yang ada.

3.5 Definisi Operasional

Definisi oprasianal merupakan petunjuk mengenai variable-variabel yang akan

diteliti, cara untuk memperoleh dan menganalisa data yang berhubungan deangan

penelitian.

1. Kesejahteraan petani adalah kondisi kelompok tani Jadi yang digunakan untuk

menyatakan kualitas hidup. Indikator kesejahteraan dalam penelitian ini diukur

dari dua sumber adalah sebagai berikut.

a. Pendapatan sektor pertanian, merupakan penghasilan yang didapat

kelompok tani Jadi dari lahan pertaniannya yang dinyatakan dalam rupiah.

b. Pendapatan dari luar sektor pertanian, merupakan penghasilan yang

didapat petani Karangrejo Jadi dari luar sektor pertanian yang dinyatakan

dalam rupiah.

2. Alih fungsi lahan (Y) adalah pengalih fungsian lahan yang dilakukan oleh

kelompok tani. Jadi untuk kegiatan non-pertanian baik sebagian maupun

keseluruhan yang dinyatakan dalam satuan skoring.


3. Faktor internal pendorong alih fungsi lahan (X1) merupakan faktor-faktor yang

berasal dari kondisi petani itu sendiri yang mempercepat kelompok tani. Jadi

untuk melakukan alih fungsi lahan. Indikator dari faktor internal pendorong alih

fungsi lahan adalah sebagai berikut.

4. Produktivitas lahan merupakan pendapatan yang didapat oleh kelompok tani.

Jadi dari lahan yang diusahakan yang diukur dari penilaian responden dari hasil

yang didapat sudah sesuai dengan pengorbanan dengan sistem skoring.

5. Saluran irigasi merupakan saluran pengairan di Karandu, jadi untuk memenuhi

kebutuhan air di seluruh lahan Karandu. Jadi yang diukur dari penilaian

responden dari irigasi di Karangrejo Jadi masih mampu untuk memenuhi

kebutuhan air dengan sistem skoring.

6. Mutu tanah merupakan kualitas atau tingkat kesuburan dari lahan pertanian

Karangrejo Jadi yang diukur dengan penilaian responden dari kualitas tanah masih

tetap berkualitas baik dengan sistem skoring.

7. Biaya produksi merupakan jumlah biaya yang harus dikeluarkan kelompok tani

Jadi dalam berusaha tani untuk membeli input yang diperlukan dalam proses

produksi yang diukur dengan sistem skor.

8. Risiko usaha tani merupakan suatu keadaan yang harus dihadapi kelompok tani

Jadi dalam melakukan suatu usaha tani yang diukur dengan sistem skoring.
9. Penanganan pasca panen merupakan suatu keadaan yang harus dihadapi

kelompok tani Jadi setelah panen raya, diukur dari penilaian responden tentang

penanganan pasca panen sudah baik dengan sistem skoring.

10. Himpitan ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh kelompok

tani Jadi baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan tambahan, diukur dari

penilaian responden tentang kebutuhan semakin hari semakin bertambah besar

dengan sistem skoring.

11. Faktor eksternal pendorong alih fungsi lahan (X2) merupakan faktor-faktor

yang berasal dari luar dimana petani tidak mampu untuk mengendalikannya yang

mempercepat kelompok tani Jadi untuk melakukan alih fungsi lahan. Indikator

dari faktor eksternal pendorong alih fungsi lahan adalah sebagai berikut.

12. Nilai jual lahan merupakan harga yang ditawarkan terhadap lahan kelompok

tani Jadi yang diukur dari penilaian responden tentang besaran harga yang

ditawarkan dengan sistem skoring.

13. Pembangunan sarana dan prasarana merupakan pembangunan sarana umum

seperti jalan raya, pasar dan perkantoran yang dekat dengan Karangrejo Jadi yang

diukur dari penilaian responden tentang alih fungsi dilakukan untuk kepentingan

masyarakat dengan sistem skoring.

14. Fluktuasi harga pertanian merupakan hasil yang diterima kelompok tani jadi

dari periode ke periode selanjutnya yang tidak stabil yang diukur dari tingginya

selisih harga yang diterima petani dari periode ke periode selanjutnya dengan

sistem skoring.
15. Subsidi pemerintah merupakan keringanan yang diterima oleh kelompok tani

Jadi dari pemerintah baik untuk bibit, pupuk dan lain-lain yang diukur dari

penilaian responden tentang pemberian subsidi dengan sistem skoring.

16. Tenaga kerja merupakan semua orang yang bersedia dan siap melakukan

pekerjaan di sektor pertanian yang diukur dari penilaian responden dari

tersedianya tenaga kerja untuk pertanian sudah memadai dengan sistem skoring.

17. Faktor internal penghambat alih fungsi lahan (X3) merupakan faktor-faktor

yang berasal dari dalam petani yang dapat menarik niat kelompok tani Jadi untuk

melakukan alih fungsi lahan.

18. Ketersediaan air merupakan kebutuhan petani akan sumberdaya air untuk

usaha tani yang diukur dari penilaian responden mengenai ketersediaan air masih

cukup untuk mengairi lahan pertanian dengan sistem skoring.

19. Kondisi lahan masih subur merupakan kualitas lahan yang digarap kelompok

tani Jadi yang diukur dari penilaian responden mengenai kondisi lahan masih

mampu untuk memproduksi sesuai dengan keinginan dengan sistem skoring.

20. Faktor eksternal penghambat alih fungsi lahan (X4) merupakan faktor-faktor

yang berasal dari luar petani yang dapat menarik niat kelompok tani Jadi untuk

melakukan alih fungsi lahan.

21. Regulasi pemerintah merupakan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah terhadap petani yang diukur dari penilaian responden tentang

peraturan pemerintah harus diikuti dengan sistem skoring.


22. Subsidi pemerintah merupakan keringanan-keringanan yang diberikan oleh

pemerintah untuk pengadaan bibit, pupuk dan lain-lain yang diukur dari penilaian

responden pemberian subsidi akan mampu untuk menarik niat petani untuk

mengalih fungsi lahan dengan sistem skoring.

23. Kepastian harga merupakan kepastian jumlah rupiah yang diterima kelompok

tani Jadi dalam setiap masa panen yang diukur dari adanya kepastian harga dari

pemerintah mampu menarik niat petani untuk mengalih fungsi lahan dengan

sistem skoring.

24. Kompensasi merupakan insentif yang diberika pemerintah kepada kelompok

tani Jadi baik berupa penetapan pajak yang sesuai dengan hasil yang diterima

yang diukur dari penilaian responden mengenai pemberian kompensasi akan

mampu manarik niat petani mengalih fungsi lahan dengan sistem skoring.

Seluruh indikator dalam penelitian ini diukur berdasarkan persepsi responden

terhadap indikator-indikator pendorong dan penghambat alih fungsi lahan

pertanian baik yang bersifat internal maupun eksternal.

3.6 Metode Analisis Data dan Pengujian Analisis

Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji instrumen

pengumpulan data. Dalam penelitian ini uji instrumen data dilakukan dengan:

Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu kuesioner. Suatu

kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk


mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Valid tidaknya

suatu instrumen kuesioner dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi antara skor

item dengan skor totalnya pada taraf signifikan 5%.

Dalam penelitian ini uji validitas dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar

skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel. Uji signifikansi

dilakukan dengan membandingkan nilai antara r hitung dengan r table untuk

degree of freedom (df) = n – k dalam hal ini n adalah jumlah sampel dan k adalah

jumlah kostruk. Jika r hitung > r Tabel, maka butir atau item pertanyaan tersebut

dikatakan valid (Ghozali, 2001).

Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan

indikator dari variabel konstruk yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur

dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Ghozali, 2005). Dikatakan reliabel atau

handal jika jawaban seseorang tehadap pertanyaan konsisten. Menurut Nunnally

(dalam Ghozali, 2005) untuk mengetahui apakah alat ukur reliabel atau tidak, diuji

dengan menggunakan metode alpha cronbach (α). Sebuah instrumen dianggap

telah memiliki tingkat keandalan yang dapat diterima, jika nilai alpha cronbach

(α) yang terukur adalah lebih besar atau sama dengan 0,60.

Model Regresi Linier Berganda

Model analisis yang dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan penelitian

ini adalah regresi linier berganda. Analisis ini digunakan untuk mengetahui

ketergantungan suatu variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas.
Analisis ini juga dapat menduga besar dan arah arah hubungan tersebut serta

mengukur derajat keeratan hubungan antar satu variabel terikat dengan satu atau

lebih variabel bebas. Dalam analisis, peneliti akan dibantu dengan program

komputer yaitu SPSS 19.0. Adapun bentuk umum dari persamaan regresi linear

berganda (Sugiyono, 2009) dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut.

1) Uji regresi simultan (uji F)

Untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa faktor pendorong dan

penghambat memiliki pengaruh yang signifikan secara bersama-sama (simultan)

terhadap alih fungsi lahan pertanian, maka digunakan Uji F. Dalam pengujian ini

Fhitung akan dibandingkan dengan FTabel pada derajat signifikan (α) 5 % atau

dengan melihat probabilitasnya lebih kecil dari α berarti bahwa faktor pendorong

dan penghambat memiliki pengaruh yang nyata secara bersama-sama terhadap

alih fungsi lahan pertanian di Kelompok Tani Subur I, Kelurahan Karangrejo

Kecamatan Metro Utara. Adapun rumus F hitung menurut Nata Wirawan (2002)

adalah sebagai berikut:

Fo =𝑅2/(𝑘−1)/(1− 𝑅2)/(n−k) …………………………………… (4)

Keterangan:

N = Jumlah data

k = Jumlah variabel

prosedur pengujian hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut:


(1) Merumuskan hipotesis

Ho = β1 = β2 = β3 = 0, tidak ada pengaruh yang signifikan secara simultan

dari Faktor pendorong dan Faktor penghambat terhadap alih fungsi lahan

pertanian.

Hi = β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0, paling sedikit salah satu dari Faktor pendorong dan Faktor

penghambat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian.

Menentukan taraf nyata (α) = 5% dan df = (k-1) ; (n-k) untuk mengetahui nilai

FTabel.

(2) Menentukan besarnya Fhitung, yang diperoleh dari hasil regresi

(3) Membandingan nilai Fhitung dengan nilai FTabel

Jika Fhitung > FTabel maka Ho ditolak dan Hi diterima

Jika Fhitung ≤ FTabel maka Ho diterima dan Hi ditolak

(4) Membuat kesimpulan yaitu jika Fhitung lebih kecil atau sama dengan FTabel

maka Ho diterima sedangkan jika Fhitung lebih besar dari FTabel maka Ho

ditolak dan H1 diterima.

2) Uji Regresi Parsial (uji t)

Untuk menguji hipotesis yang menyatakan faktor pendorong dan penghambat

memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap alih fungsi lahan sawah
padi di kelompok tani Subur I, maka digunakan uji t. Adapun rumus thitung

menurut Nata Wirawan (2002) adalah sebagai berikut.

t1= b1 - β1/Sb1 …………………………………………….. (5)

i = 1,2,3……….k

keterangan:

bi = Koefisien regresi parsial yang ke-i dari regresi sampel

ßi = Koefisien parsial yang ke-i dari regresi populasi

Sbi = Kesalahan standar (standar arror) koefisien regresi sampel.

Adapun langkah-langkah untuk uji t yaitu sebagai berikut:

(1) Merumuskan hipotesis.

Ho : ßi = 0, berarti tidak ada pengaruh yang signifikan secara parsial dari

variabel faktor pendorong dan penghambat terhadap alih fungsi lahan sawah.

Hi : ßi ≠ 0, berarti ada pengaruh yang signifikan secara parsial dari variabel

faktor pendorong dan penghambat terhadap alih fungsi lahan sawah.

Menentukan taraf nyata (α/2) = 2,5 % dan df = (n-k) untuk menentukan nilai

tTabel.

(2) Menentukan besarnya thitung, yang diperoleh dari hasil regresi.

(3) Kriteria pengujian.


Apabila tTabel< thitung< -tTabel, maka Ho ditolak

Apabila tTabel ≥ thitung -tTabel ≥, maka Ho diterima

Kesimpulan.

Jika thitung lebih kecil atau sama dengan tTabel maka Ho diterima sedangkan jika
thitung lebih besar dari tTabel maka Ho ditolak dan Hi diterima.

3) Analisis Standardized Coefficients Beta

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel

bebas terhadap variabel terikatnya. Variabel bebas yang memiliki nilai koefisien

beta terbesar memiliki pengaruh yang lebih dominan dibandingkan variabel bebas

lainnya.

Anda mungkin juga menyukai