Anda di halaman 1dari 4

PARTICIPATORY GOVERNANCE : ARAH BARU DESAIN KINERJA

KELEMBAGAAN HMI SEBAGAI REPRESENTASI RAKYAT dan DAERAH

*Oleh : Dicky Aris Setiawan


Dickydeceva04@gmail.com

Negara demokrasi merupakan tatanan negara yang memiliki sentralisasi kebijakan


terhadap suara atau aspirasi masyrakatnya. Partisipasi masyarakat atau publik menjadi hal
yang dominan dalam menentukan kebijakan arah perkembangan wilayah tersebut. Dalam
cakupan wilayah yang luas, secara kuantitas partisipasi masyarakat terhadap penentuan arah
perkembangan di banyak sektor juga memiliki kenaikan. Maka dari itu, partisipasi atas
gagasan serta kebijakan tersebut terwakilkan pada suatu kelompok atau majelis yang secara
konsep merepresentasikan gagasan serta banyak kebijakan pertumbuhan tiap wilayah kepada
pemerintah pusat di suatu Negara. Di Indonesia, kelompok tersebut dikenal dengan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Sejarah panjang bagi DPD RI yang lahir
sebagai majelis yang diharapkan mampu merepresentasikan atas aspirasi masyarakat
daerahnya. Hingga hari ini, DPD RI memiliki struktur organisasi kepemerintahan yang
gemuk dengan total anggota sebanyak 136 birokrat yang tersusun ke dalam 4 komite, 4
badan, dan 3 panitia.

Salah satu peran DPD RI yang dianggap “seksi” adalah sebagai “keterwakilan daerah
yang ikut serta dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah”. Hal tersebut lantas menjadi garis bawah bersama atas kinerja
DPD RI yang sepanjang ini telah memberikan berbagai pembangunan daerah di Indonesia.
Namun, jika kita mengkaji secara detail berhubungan dengan gaya birokrasi DPD RI, banyak
hal yang dapat dijadikan citra untuk membentuk kelembagaan di HMI secara efektif.

Berpijak pada fungsi utama DPD RI adalah sebagai representasi atas aspirasi rakyat,
maka poin penting yang harus diperhatikan adalah prosentase kebijakan yang diproduksi oleh
kelembagaan HMI (dalam hal ini adalah Cabang) apakah dominan bersumber dari “lidah
rakyat”. Kepengurusan yang inklusif dapat memberikan dampak nyata terhadap kehidupan
masyarakat yang dibawahinya. Kepengurusan inklusif juga berbanding lurus dengan angka
pertumbuhan jumlah kader serta berbagai bidang lainnya di suatu wilayah. Itu artinya, subjek
kualitatif mempengaruhi subjek kuantitatif. Maka dari itu, perlu adanya pembenahan yang riil
dalam tubuh HMI Cabang terkhusus pada gaya mereka memimpin sebuah wilayah sehingga
kebijakan yang diproduksi dapat dirasakan secara nyata dan berdampak baik bagi kehidupan
perkaderan.

Konsep Participatory Governance menjadi konsep ketatanegaraan yang hari ini


dianggap sebagai problem solver atas segala masalah terkait kepemerintahan. Michener
dalam bukunya yang berjudul The Participatory Approach: contradiction and Co-Option in
Burkina Faso mengatakan bahwa konsep partisipasi tidak lagi terbatas pada pemerintah
reformasi, partisipasi telah menjadi elemen penting dalam retorika tentang pembangunan,
pelestarian lingkungan hidup, dan segala aspek kehidupan lainnya. Faktanya, saat ini tidak
ada proyek pembangunan yang optimal tanpa meninggalkan konsep tersebut.

Konsep Participatory Governance lahir atas sistem manajemen tradisional top-down


yang memicu munculnya perilaku mencari keuntungan dan korupsi oleh birokrat. Selain itu,
sistem manajemen tradisional top-down juga melahirkan beberapa fenomena buruk seperti
perkaderan yang mendukung distribusi aset yang tidak merata serta kekuatan monopoli dalam
tubuh HMI yang diakui sebagai proses eksposur yang buruk hingga eksploitatif. Dalam
konsep Participatory Governance, metode partisipatif dipresentasikan sebagai tanggapan
yang baik untuk problematika diatas. Memang, terdapat beberapa syarat ketat yang harus
dilampaui agar terlaksananya konsep tersebut, namun terdapat bukti bahwa pendekatan
kepengurusan yang partisipatif dapat membantu mengurangi angka krisis kader dalam
komisariat dengan cara kontrol langsung kepada komunitas lokal atas beberapa layanan dan
sumber daya dan memungkinkan mereka untuk lebih mempengaruhi pengambilan keputusan.

Pengaruh positif atas konsep Participatory Governance juga dikonfirmasi oleh World
Bank melalui studi pengelolaan pengairan yang menemukan bahwa partisipasi dalam
manajemen air sangat penting untuk efektivitas proyek secara menyeluruh dan untuk individu
serta pemberdayaan masyarakat. Konsep Participatory Governance secara singkat berbicara
tentang terlibatnya suatu kelompok secara langsung dalam proses pengambilan keputusan,
pemantauan dan evaluasi. Keterlibatan kelompok tersebut secara langsung memungkinan
pengurus menjadi lebih baik dalam memahami kebutuhan lembaga terkecil (komisariat)
ataupun wilayah (cabang) ketimbang melakukan survei tradisional. Metode tersebut juga
dapat mengurangi ketergantungan terhadap para pihak eksternal atau luar lembaga mereka
untuk melakukan kendali kontrol terhadap kebijakan kepengurusan mengingat HMI adalah
organisasi yang bersifat independen.
Secara konsep, Participatory Governance dibagi atas beberapa fase dalam siklus yakni
pengambilan keputusan, manfaat, implementasi, dan evaluasi. Dimensi tentang objek
pelaksana dalam konsep tersebut dapat diambil dari aktor seperti anggota komisariat (non
pengurus), pengurus komisariat, pemateri atau fasilitator dalam forum-forum LK 1, serta
pengurus cabang. Proses mekanisme konsep Participatory Governance dapat dianalisa
dengan empat hal yakni dimana partisipasi dapat berlangsung, bentuk partisipasi, jangkauan
dan dampaknya terhadap lingkungan perkaderan di seluruh wilayah cabang. Secara ringkas,
klasifikasi partisipasi dapat digambarkan dalam tabel berikut.

Tipe Partisipasi 1. Participation in Decision-making


(Partisipasi dalam pengambilan
keputusan atau kebijakan)
2. Participation in Implementation
(Partisipasi dalam penerapan kebijakan)
3. Participation in Benefits (Partisipasi
dalam kemanfaatan)
4. Participation in Evaluation (Partisipasi
dalam evaluasi)
Aktor dari Partisipasi 1. Local Residents (Warga lokal : dalam hal
ini seperti kader atau anggota komisariat
non pengurus)
2. Local Leaders (Tokoh atau pemimpin
lokal : dalam hal ini seperti pengurus
komisariat dan ketua umum komisariat)
3. Governance Personnel (personel
pemerintah : dalam hal ini seperti
pengurus cabang)
4. Foreign Personnel (personel asing :
dalam hal ini seperti pemateri atau
fasilitator LK 1)
Bagaimana Partisipasi Dilaksanakan 1. Basis of Participation (Tempat
dilaksanakannya partisipasi)
2. Form of Participation (Bentuk
partisipasi)
3. Extent of Participation (Jangkauan
pelaksanaan partisipasi)
4. Effect of Participation (Dampak
dilaksanakannya partisipasi)

Terdapat banyak perbedaan dari jenis Participatory Governance, tidak seluruhnya


relevan dan efektif untuk dilaksanakan. Hal tersebut kemudian menjadikan pra-analis untuk
dilakukan sebelum melaksanakan konsep partisipasi mulai dari biaya serta kemanfaatannya.
Beberapa proyek besar pemerintah yang dilakukan dengan konsep Participatory Governance
memang terbukti menjadi ‘obat mujarab’ untuk mengatasi masalah sosial dan pembangunan
ekonomi. Namun, tidak sedikit pula yang mengabaikan hal-hal yang bersifat detail seperti
apakah konsep Participatory Governance benar-benar dilakukan oleh birokrat pemerintah
atau tidak, apakah pelaksana konsep tersebut melakukan observasi terhadap lokasi yang akan
digunakan sebagai objek partisipasi proyek pemerintah atau tidak, dan banyak hal.

Kesimpulannya, proses Participatory Governance tidak diragukan dapat menjadi peran


kunci untuk memperkuat tata kelola pemerintahan dalam beberapa jenis proyek desentralisasi
yang dilaksanakan oleh HMI Cabang Kediri. Namun, seperti yang ditunjukkan dengan jelas
bahwa proses Participatory Governance hanya akan efektif jika lembaga Cabang juga
dikelola dengan baik oleh para pengurusnya secara profesional. Proses Participatory
Governance tidak akan memberikan pengaruh yang baik dan memiliki kualitas tinggi jika
asas kemanfaatannya tidak dapat tercapai secara efektif melalui kepengurusan yang kuat,
kader yang solid, dan mekanisme akuntabilitas secara top-down. Mekanisme akuntabilitas
jarang dibahas di luar singgungan atas kontribusinya dalam kepemerintahan yang baik. Satu
alasan yang jelas adalah karena akuntabilitas merupakan konsep teknis yang tidak selalu
didefinisikan secara jelas dalam literatus. Akibatnya, akuntabilitas tidak mendapat perhatian
dan pengakuan bahwa perannya sangat penting dalam ketatanegaraan. Contoh yang paling
jelas dalam mekanisme akuntabilitas adalah kegiatan pemantauan pihak ketiga oleh media,
LSM atau organisasi lainnya yang dipilih secara independen. Selain itu, kegiatan semacam
audit dan evalusi proyek yang melibatkan kelompok masyarakat dapat menjadikan
mekanisme akuntabilitas yang sangat efektif.

Anda mungkin juga menyukai