Anda di halaman 1dari 10

http://buyatthelegend.blogspot.co.id/2012/04/kerangka-berfikir-ilmiah-epistemologi.

html
Kerangka Berfikir Ilmiah / Epistemologi[1]
Kukuh Budiman
Definisi.
Pertama yang harus didefinisikan adalah kata definisi itu sendiri. Mengapa demikian?
Tanpa kita sadari secara penuh, sebenarnya Definisi adalah unsur pengetahuan yang kita
butuhkan. Baik dalam kehidupan Ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari kita sering
berurusan dengan Definisi[2].
Lalu apa defenisi dari Defenisi? Secara sedrhana defenisi adalah Batasan / Membatasi
sesuatu sehingga kita dapat memiliki pengertian terhadap sesuatu atau memberikan
pengertian/penjelasan tentang sesuatu hal dan disertai dengan batasan-batasan sehingga hal
tersebut menjadi jelas. Karena teori ini mengharuskan adanya Batas dalam sebuah objek yang
hendak didefinisikan, secara langsung juga membutuhkan sesuatu yang menjadi karakteristiknya.
[3] Apa karakteristik itu? Secara singkat dapat kita sebut sebagai Genera (Jenis) dan Difffferentia
(Sifat pembeda). Dapat disimpulkan bahwa inti dari definisi yang pertama ini adalah
menjelaskan sesuatu yang terbatas. Konsekwesinya, jika sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat
didefinisikan.
Jika kita mencoba mendefinisikan judul diatas (kerangka berpikir ilmiah) maka kurang
lebih seperti berikut:
Kerangka adalah sesuatu yang menyusun atau menopang yang lain, sehingga sesuatu
yang lain dapat berdiri, dan Berpikir merupakan gerak akal dari satu titik ke titik yang lain. Atau
bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang satu ke pengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama
kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa kita sekarang tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan
yang kedua adalah tahu (kemudian kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar
kemudian ada juga yang mendefinisikan berpikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu.
Tapi yang penting (inti pembahasannya) adalah adanya gerak akal.
Ilmiah adalah sesuatu hal/penyataan yang bersifat keilmuan yang sesuai dengan hukumhukum ilmu pengetahuan. Atau sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan, dengan
menggunakan metode Ilmiah (Prosedur atau langkah-langkah sistematis yang perlu diambil guna
memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas uji coba hipotesis serta teori secara terkendali).
Satu hal yang menjadi garis bawah adalah kebenaran ilmiah tidak mutlak, melainkan bersifat
sementara, relatif, metodologis, pragmatis, dan fungsionalis, dan pasti Epistemologis[4].
Dengan demikian dalam kacamata dunia Ilmiah berdasarkan metode ilmiah, ilmu pengetahuan
sebagai hasil fikir manusia akan terus bertambah tanpa mengenal batas akhir. Permasalahan
Berfikir Ilmiah sudah tentu tidak terlepas dari kajian filsafat ilmu, karena ia merupakan bagian
dari pengetahuan ilmiah. Sebelum memasuki pembahasan mendalam penting kiranya saya
jelaskan secara singkat apa itu filsafat? (Mengingat kajian kita nantinya akan banyak
bersinggungan dengan keilmuan ini).
Filsafat atau Falsafah (Arab) Pilosopia (Latin) bada dasarnya berasal dari bahasa Yunani
Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti arif, bijaksana / pandai. Secara bahasa
semula Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan, kepandaian[5]. Namun, cakupan

pengertian Sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu Sophia tidak hanya berarti
kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat dll.
Pembahasan.
Seorang filosof pada dasarnya bukan sosok yang menakutkan / kafir / tidak familier,
karena tujuan awal dari filsafat sendiri adalah Love of Wisdom sehingga orang yang berfikir
filsafat hakekatnya adalah pencari kebijaksanaan & mencintainya. Istilah ini konon pertama di
perkenalkan oleh pytagoras.[6]
Jika diatas kita sudah membahas makna Filsafat secara bahasa, sekarang bagaimana
pemaknaan filsafat itu menurut para filosof besar? Plato; Filsafat adalah pengetahuan yang
berminat mencapai pengetahuan kebenaran asli. Aristoteles; Filsafat adalah ilmu
(Pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalam ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Al-Farbi; Filsafat adalah ilmu pengetahuan ttg
alam wujud, bagaimana hakekat yang sebenarnya. Hasbullah Bakry; Ilmu filsafat adalah ilmu
yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam.[7]
Disini penulis akan menitik beratkan pada tradisinya, bukan sekedar pengertiannya. Dari
sekian filosof yang kita kenal baik didunia barat maupun timur, ada satu tradisi yang hampirhampir menjadi benang merah ketika menyelesaikan sesuatu sdengan jalan filosofis, yaitu tradisi
berfikir. Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara radikal, menyeluruh dan
sistematis. Maksudnya, dengan berpikir radikal (bhs Yunani radix=akar) atau sampai ke akarakarnya bukan cuman dlohirnya, sehingga melihat sesuatu secara menyeluruh dan tersusun
sehingga diharapkan kita dapat lebih arif dalam melihat persoalan. Ketika dilekatkan dengan kata
ilmu maka berarti secara radikal, menyeluruh, komperhensif, diskriptif dan sistematis[8]
terhadap ilmu.
Menurut Jujun S. Suriasumantri filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Lebih
lanjut Jujun mengatakan bahwa semua sistem kefilsafatan selalu berkisar pada masalah Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi karena, ketiga sub sistem tersebut selalu berkaitan satu sama lain.
Ontologi ilmu terkait dengan Epistemologi ilmu, dan Epistemologi ilmu terkait dengan Aksiologi
ilmu.
Atau secara sederhana dapat kita katakan bahwa: Epistemologi adalah ilmu yang
membahas tentang sumber pengetahuan berikut kevalidan sebuah sumber. Kedua Ontologi,
membahas tentang hakikat sesuatu dalam hal eksistensi dan esensi. Atau dengan kata lain
keberadaan dan keapaan sesuatu. Ketiga aksiologi, membahas tentang kegunaan sesuatu. Dalam
materi ini saya akan lebih banyak membahas aspek Epistemologi, yang lainnya hanya untuk
memperjelas saja.
Menurut William S. Sahakian; Epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat,
jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.

Secara Bahasa / Lughowi, Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang
berarti pengetahuan. Istilah yang sama dalam bahasa yunani adalah Genosis, sehingga dalam
sejarahnya istilah Epistemologi ini pernah juga disebut Genoseologi.[9] Pengetahuan dalam
hal ini ada beberapa persoalan pokok yang secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan
tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) versus hakikat (noumena/essence): Apakah
sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara
diketahuinya? Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?. Kedua,
tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi: Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?
Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah?. (Ringkasnya; Bagaimana kita
mengetahui atau memperoleh pengetahuan dan bagaimana menguji kebenaran pengetahuan tsb /
Evaluatif dan Kritis)[10].
Lantas apa itu pengetahuan? Ada yang mengatakan pengetahuan adalah informasi atau
ide, yang telah diterima sebagai fakta yang benar, bisa jadi itu diperoleh dengan pengindraan atau
kegiatan empirik secara langsung maupun melalui proses penalaran rasional terhadap ide-ide
yang telah ada dalam alam pikir manusia.[11] Dikemudian hari orang yang lebih menekankan
kegiatan empirik untuk memperoleh pengetahuan dikatagorikan dalam penganut faham
Empirisme sedangkan yang mengandalkan pada rasionalitas disebut sebagai penganut faham
Rasionalisme sebagaimana sejarah Filsafat Barat mencatat; Ada dua aliran pokok dalam
epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang
menekankan pentingnya peran akal, idea, category, form, sebagai sumber ilmu
pengetahuan, dan mengesampingkan peran indera. Kedua, adalah realism atau empiricism
(Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan peran indera sebagai sumber
sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir
pada zaman Yunani antara tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi.
Selanjutnya dalam sejarah filsafat Islam tercatat aliran epistemologi yang menekankan
pentingnya integrasi metode rasionalism dan empiricsm yang melahirkan metode eksperimen.
Dalam metode ini pertentangan antara penalaran rasio dan empiri seperti yang dianut Barat
dihilangkan. Metode ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam,
yaitu ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai titik kulminasi antara abad IX dan XII
Masehi. Kemudian diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) serta
dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561-1626). Fakta ini
diperkuat oleh H.G. Wells yang menyatakan bahwa jika orang Yunani adalah bapak metode
ilmiah, maka orang Muslim adalah bapak angkatnya. Dalam perjalanan sejarah maka lewat
orang Muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya, dan diakui
telah memberi sumbangan besar bagi lahirnya renaissans dalam peradaban Barat (Insya Allah
akan dibahas nanti, jika memungkinkan, jika tidak ya tetap bisa dipelajari & bisa dibaca).
Setelah mengetahui pokok dasar dari epistemologi adalah Bagaimana kita mendapat
pengetahuan perlu kiranya kita mengetahui sumber-sumber pengetahuan. Secara umum ada
beberapa mazhab pemikiran yang berusaha menawarkan sumber-sumber pengetahuan sebagai
mana berikut:

1. Skriptualisme
Skriptualisme adalah sebuah sistem berpikir yang dalam menilai kebenaran digunakan
teks kitab. Asumsi dasar yang terbangun adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh karenanya
dalam penilain kebenaran harus sesuai dengan teks kitab. Mempertanyakan teks kitab sama saja
dengan mempertanyakan kemutlakan. Biasanya kaum skriptual adalah orang yang beragama
secara sederhana. Maksudnya, peran akal dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan
hampir tidak ada. Akal dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya kembali lagi ke teks
kitab. Namun dalam wilayah epistemologi, skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara
lain:
Tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tersebut. Kalau yang
mutlak adalah teks kitab, maka pertanyaannya Bagaimana caranya diantara banyak kitab
menilai bahwa kitab inilah yang benar. Kalau kita langsung percaya, maka kitab lain juga harus
kita langsung percaya. Nah, kalau kontradisi, kitab yang mana benar? Artinnya, kelemahan
pertamanya adalah butuh sesuatu dalam membuktikan kebenaran sebuah kitab.
Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: terjebak pada
subjektifitas. Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantung pada umatnya. Kebenaran Al
Quran, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam. Umat Nasrani, Budha dan
sebagainya meyakini kitab mereka masing-masing. Sementara kita tidak dapat memaksakan
kitab kita pada umat lain sebagaimana kita pun pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain
Kelemahan ketiga adalah teks adalah tanda atau simbol yang membutuhkan penafsiran.
Kitab tidak bisa berinteraksi langsung, tetapi melewati proses penafsiran. Sementara dalam
penafsiran sangat tergantung kualitas intelektual dan spiritual seseorang. Makanya kemudian,
adalah wajar jika sebuah teks dapat dimaknai berbeda. Sebagai contoh, surah 80:1
Alif laam miin
Teks tidak dapat membuktikan pencipta

2. Idealisme Platonian
Pemikiran Plato dapat digambarkan kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir dan
masih berada di alam ide, semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki
pengetahuan. Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahaun itu hilang. Untuk itu yang harus
manusia lakukan kemudian adalah bagaimana mengingat kembali. Pengetahuan yang kita miliki
hari ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam perspektif teori ini) tidak lebih dari
pengingatan kembali. Teori ini juga sering disebut sebagai teori pengingatan kembal. Namun
sebagai alat penilaian, teori ini memiliki beberapa kekurangan.
Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah di alam ide
Turunan dari yang pertama, kalaupun (jadi diasumsikan teori ini benar) ternyata sebelum lahir
kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan kita saat ini
selaran dengan pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat
dijadikan bukti.

Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum
dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau dikatakan
material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita bukan saja
memiliki ide, tapi bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita justru semakin kotor.
3. Empirisme
Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh karena
itu, kebenaran dalam doktrin ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia.
Bangunan sains kita pada hari ini sangat kental nuansa empirisnya. Tetapi empirisme memiliki
kekurangan sebagai berikut:
Indera terbatas mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda. Begitupun
telinga dan indera lainnya. Olehnya indera hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat terbatas
atau material pula. Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cinta misalnya, tidak dapat
dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan
benda pada dua zat dengan kerapatan molekul berbesa. Ketika kita masukkan pensil ke dalam
gelas berisi air kita akan melihatnya bengkok karena kerapatan molekul air, gelas dan udara
sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa ternyata pensil tetap lurus.
4. Kaum Perasa (Intuisi)
Kaum perasa selalu menjadikan perasaannya sebagai tolok ukur kebenaran. Ciri khas
mereka adalah Yakin saja. Mereka menganggap dirinya sebagai orang yang paling mampu
mendengar suara hatinya, dan menjadikan suara hatinya sebagai ukuran kebenaran. Banyak
orang beragama seperti ini padahal sistem berpikir macam ini memiliki kekurangan dalam
pembuktian kebenaran sebagai berikut:
Tidak jelas yang didengar itu adalah suatu hati atau justru sekedar gejolak emosional, atau
bahkan (dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan sampai hanya gejolak
emosi lantas dianggap suara hati, atau bisikan setan. Nah persoalannya bagaimana
membedakannya?
Kalau pun didengar adalah suara hati, maka akan subjektif. Karena hati orang berbeda. Jika
subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas, bukan kemutlakan.
Tidak punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati. Kalau akal menjustifikasi
penggunaan hati berarti tidak konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati sebagai alasan mengapa
harus mengikuti suara hati, maka kembali ke point sebelumnya.
Selanjutnya dalam kacamata Epistemologi ada beberapa istilah yang penting untuk
diketahui seperti Skeptisme; Dalam bahasa yunaninya adalah Skeptomai maknanya saya berfikir
dengan seksama atau saya lihat dengan teliti, kemudian diturunkan arti yang dihubungkan
dengan kata tersebut yaitu Saya Meragukan. Adalah Naif jika ada orang yang tidak pernah
meragukan sesuatu apapun, dengan meragukan maka proses verifikasi akan terjadi. Kemudian
Subjektivisme; Mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti ada

dalam diri kita sendiri & kegiatan sadar kita. Dengan kata lain pengetahuan yang bukan AKU
adalah pengetahuan yang tidak langsung. Sehingga muncul apa yang disebut dengan The
Problem of Bridge (Soal Jembatan Pengetahuan), yaitu Bagaimana orang dapat keluar dari
pikirannya sendiri dan mengetahui dunia objektiv diluar kita? Bagaimana kita bisa tau bahwa
gagasan itu memang sesuai dengan Objeknya sendiri (Bukan cuman ilusi kita) Relativisme;
Mengingkari adanya dan diketahuinya kebenaran yang Objektiv dan Universal oleh manusia
(Kebenaran yang ada dimanusia adalah kebenaran yang bersifat relatif)[12]
Mana yang Rasional..? Menurut Kang Jalal, sesutu kadang dianggap tidak rasional
karena tiga hal. Pertama tidak empiris. Sesuatu yang tidak dicerna indra manusia biasanya
dianggap tidak rasional. Hal ini umumnya menghinggapi orang yang sangat empiris. Kedua
menyimpang dari rata-rata. Sewaktu perang Khaibar, kaum muslim menundukkan benteng
terakhir kaum Yahudi. Para sahabat sejumlah 50 laki-laki yang kuat tidak mampu mengangkat
pintu benteng itu, tapi Sayyidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini dianggap tidak
rasional, padahal hal ini rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga tidak tahu.
Ketidaktahuan adalah kelemahan yang orang berusaha tutupi dengan penisbahan stigma
irasional.
Rasionalisme tidak menutup diri dari teks, pengalaman atau persepsi inderawi, juga
perasaan. Akan tetapi kaum rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua yang ditangkap
oleh bagian diri kita. Namun bagi sekelompok orang, akal tidak dapat digunakan untuk menilai
kebenaran. Alasannya, akal terbatas. Artinya penggunaan akal sangat dekat dengan mengakalakali sesuatu.
Memang benar bahwa akal terbatas dibanding PenciptaNya (selanjutnya dibahas dalam
materi NDP / Dasar-Dasar Kepercayaan), akan tetapi akal sebagai potensi untuk tahu, dimana
batasnya? Hukum akal menyatakan bahwa sebab selalu mendahului, lebih kuat dari akibat. Jadi
kesadaran akal sebagai ciptaan atau akibat pasti memiliki keterbatasan dihadapkan dengan
penciptaNya. Cuma persoalannya adalah sejauh mana kita gunakan akal kita untuk mengetahui.
Dalam kacamata seorang filsuf bahwa manusia adalah binatang berakal. Secara Biologis
manusia memiliki syarat-syarat kebinatangan seperti respirasi, eksresi, regenerasi dan
sebagainya. Bedanya Cuma satu, akal. Artinya manusia yang tidak menggunakan akalnya bisa
lebih buruk daripada binatang.
Kadang orang merancukan antara akal dan otak. Katanya, otaklah yang berpikir. Untuk
menjawab hal ini sederhana. Seandainya otak yang berpikir, maka tentu saja kerbau adalah
makhluk yang cerdas karena volume otaknya lebih besar dari manusia. Ternyata kedokteran
modern menemukan bahwa dalam otak terdapat sel yang disebut neuron. Neuron inilah yang
mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh dimana tubuh disisi kanan diatur melalui tulang
belakang menuju ke otak kiri begitupun sebaliknya. Artinya otak tidak ada hubungannya dengan
akal. Otak tidak lebih dari sebuah organ seperti jantung, paru-paru dan sebagainya.
Dalam diri kita ada beberapa fakultas pengetahuan, diantaranya:

Indera, yang mencakup warna, bentuk, bunyi, bau,dam sebagainya. Perbedaan dengan
empirisme, empirisme menjadikan indera sebagai tolok ukur sedang rasionalisme menjadikan
indera sebagai sumber pengetahuan namun bukan utama.
Khayal. Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide manusia
dan monyet yang kesemuanya memiliki realitas eksternal, namun jika digabungkan menjadi kera
sakti yang hanya memiliki realitas internal (dalam ide) tapi tidak direalitas eksternal.
Wahmi. Berkaitan dengan perasaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu secara
wahmiyah seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih dikontrol, bukan
sebagai patokan utama.
Akal. Fakultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.

Kita telah sampai pada pentingnya akal dalam menilai sesuatu. Namun, persoalannya
lagi bahwa ternyata akal pun masih bisa salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab hal
ini, kita kembali ke pendefinisian awal. Berpikir adalah gerak akal. Hal ini berarti menandakan
adanya proses. Analogi sederhana motor adalah akalnya, mengendarai motor adalah
menggerakkan motor dari satu titik ke titik lain, atau berpikir. Dalam proses itu harus menaati
aturan yang ada. Jika kita tidak menaati aturan seperti lampu lalu lintas dan rambu-rambu maka
akan terjadi kecelakaan. Berpikir dengan tidak menaati rambu-rambu atau aturan berpikir akan
menyebabkan kecelakaan berpikir.
Jadi terjadi kesalahan berpikir bukan akalnya yang salah, tapi penggunaannya yang
tidak tepat. Untuk itu kita harus mengetahui bagaimana aturan berpikir yang mutlak adanya,
yang itupun harus dinilai kebenarannya.
Seorang pemikir telah membantu kita menyusun prinsip atau aturan berpikir tersebut
yang sering disebut logika aristotelian atau logika formal sebagai berikut:
1. Prinsip identitas. Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya sendiri.
Secara matematis dirumuskan: X=X
2. Prinsip non kontradiksi. Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang berkontradiksi.
Sesuatu berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui rumus matematika: X X
3. Prinsip kausalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang kebetulan. Setiap
sebab melahirkan akibat.
4. Prinsip keselarasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan sebabnya.
Kira-kira begini:
Kambing jika kita beri emas dan rumput ia tidak akan mengambil emas karena rumput =
rumput dan emas = emas artinya justru prinsip ini berlaku universal.
Ketika kita menangkap sesuatu kama akal kita akan mengatakan bahwa tidak mungkin
dia ada dengan sendirinya, pasti ada penyebabnya. Dan akibat pasti selaras dengan sebabnya.
Tidak mungkin benih jagung menyebabkan tumbuhnya pohon kurma. Semua yang ada di alam
ini adalah bukti kemutlakan prinsip yang niscaya lagi rasional ini.
Untuk menjelaskan hal itu Aristoteles juga mengembangkan metode ke dalam beberapa
macam (Yang sebenarnya tidak jauh beda): 1. Induksi yaitu penalaran dari yang khusus kepada

yang umum, 2. Deduksi yaitu penalaran dari yang umum kepada yang khusus 3. Observasi yaitu
penggunaan bukti empiris, 4. Klasifikasi yaitu penggunaan definisi. Beberapa metode yang
bermunculan sesuai dengan bidang keilmuannya diantaranya phytagoras mengembangkan
metode perhitungan matematika, democritus dengan mengajukan konsep mekanisme. Dan
metode ilmiah akhirnya menjadi sebuah tahapan yang bervariasi sesuai dengan disiplin
ilmumyang dihadapi & untuk jelasnya silahkan baca buku logika atau kajian.
Pengantar Prinsip dan Bentuk Epistemologi Islam
Sesungguhnya cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari
epistemologi Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem epistemologinya. Metode
eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis dengan bukti-bukti
empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah membuktikan dengan
ditemukannya Aljabar, Manthiq, Ilmu Falak dan lain-lain di dunia Islam jauh sebelum Eropa
mengenal metode eksperimen dan hanya terkungkung pada corak berpikir monolinear antara
rasionalisme atau empirisme serta mengesampingkan peran ajaran agama (sekularisme).
Di samping itu, salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam serta
membedakannya dari epistemologi Barat yang sekular adalah masuknya nilai-nilai ajaran
normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-prinsip dalam epistemologi Islam. Wahyu (AlQuran dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan,
serta menentukan skop kajian ke arah mana sains Islam itu harus ditujukan. Konsepsi ini
mempunyai akibat-akibat penting terhadap metodologi sains dalam Islam. Sehingga tidak heran
bila kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi sebagi cara, sumber dan petunjuk
pengetahuan Islam.
Permasalahannya, mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada wahyu
apabila dengan metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-empiris?
Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memilki keterbatasan kemampuan untuk mengetahui
hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang telah dibangun manusia
terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit dipecahkan. Dalam konteks ini
manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah
bersumber dari yang Maha Benar, yaitu Tuhan. Tuhan telah mewahyukan kebenarannya lewat
Al-Quran. Namun begitu, Kuntowijoyo mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang
bersumber dari wahyu ini bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai
ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita mengenal adanya
konsep tauhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan keesaan Allah, Allah tunggal secara
mutlak, tertinggi secara metafisis dan aksiologis, dan bahwa Allah adalah pusat dari segala
sesuatu, berawal dan berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang Pencipta, dengan perintah-Nya segala
sesuatu dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya yang lebih jauh adalah bahwa tujuan
kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya.
Dalam Al-Quran, fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah; bahwa
semua yang terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu Pencipta yang menciptakan, Pengatur

dengan suatu sistem tunggal dan Penggerak dengan keteraturan tunggal. Konsep tauhid (iman)
inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam berusaha menjabarkan kesatuan alam
semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia
serta dijadikan dasar sentral dari landasan epistemologi Islam.
Ok, Kaitannya dengan ini, Dr. Mahdi Gulsyani menulis
Suatu keyakinan kokoh pada prinsip tauhid membuat sang peneliti melontarkan
pandangan menyeluruh kepada alam, bukannya hanya melihat alam secara sepotong-sepotong.
Hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dunia fisik. Tanpa suatu
keyakinan kokoh pada kehadiran tatanan dan koordinasi pada alam, penelitian ilmiah tidak akan
memiliki makna universal; dan paling banyak nilainya hanya bersifat sementara. Beberapa
ilmuwan percaya pada keberadaan tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau
memperhatikan prinsip tauhid; namun, menurut kami, tanpa mempercayai at-tauhid, tidak akan
ada keterangan memuaskan tentang tatanan kosmis (Gulsyani, 1984)
Sampai di sini ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tauhidlah yang menjadi
prinsip pokok dalam epistemologi Islam.
Dengan begitu semakin jelas bagi kita, bahwa epistemologi Islam berupaya untuk
menunjukkan arah kepastian kebenaran, di mana epistemologi ini berangkat dan berawal dari
kepercayaan, serta selanjutnya memantapkan kepercayaan itu melalui perenungan-perenungan,
penalaran, pemikiran, dan pengamatan yang disandarkan pada wahyu Tuhan (Al-Quran dan AlHadits), dan diyakini bahwa kebenaran wahyu tersebut merupakan kebenaran tertinggi,
mengandung ayat (bukti), isyarat, hudan (pedoman hidup) dan rahmah (rahmat).
Sebenarnya konsep tauhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep panteologisme
yang dianut agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan teosentris. Namun, paradigma
teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris agama lain dengan alasan bahwa sistem
tauhid memiliki arus balik kepada manusia. Paradigma teosentris Islam (iman) selalu dikaitkan
dengan amal manusia. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pusat dari
perintah zakat misalnya adalah iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya
kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat humanistik.
Artinya, manusia harus memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi tujuannya adalah untuk
kepentingan manusia sendiri (amal). Dalam formulasi lain, Islam mengenalkan konsep dualisme
manusia; sebagai hamba (abdun) yang menyembah Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil
Tuhan (khalifah) di muka bumi yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan
lingkungannya (beramal).
Lantas, apabila prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk
kongkrit dari epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, pada awalnya diakui jika epistemologi
Islam dipengaruhi oleh epistemologi yang berkembang di Yunani. Aliran pokok yang diikuti oleh
ilmuwan muslim adalah aliran rasionalism yang dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan
aliran realism yang dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara
keduanya saling memposisikan aliran dirinyalah yang paling benar, maka ilmuwan muslimpun

mencari alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara keduanya sehingga


lahirlah metode eksperimen.
Metode ini telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-12
Masehi, diantaranya adalah Hasan Ibn Haitsam biasa disebut Alhazen di Eropa yang
melahirkan karya tentang teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar biasa disebut
Geber di Eropa yang lahir pada pertengahan abad ke-8, melahirkan karya tentang kimia secara
konfrehensif, dan masih banyak ilmuwan lainnya.
Selain metode eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu bentuk
epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang menyatakan
bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat dijelaskan melalui proses logisempiris, yakni tanpa pengamatan (observasi), tanpa deduksi (logis), bahkan tanpa spekulasi
(rasional), ilmuwan muslimpun meyakini intuisi sebagai sumber kebenaran paling tinggi. Dan
sumber kebenaran ini hanya berada di bawah otoritas wahyu Tuhan (al-Quran), termasuk tradisi
kenabian (Al-Hadits).
Selain dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan istilah lain
yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy). Terminologi tersebut
dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif yang berbentuk wahyu (Al-Quran
dan Al-Hadits) yang diterima oleh Nabi, dengan pengetahuan intuitif yang berbentuk ilham yang
diterima oleh manusia. Pembedaan tersebut adalah implikasi dari keyakinan Islam bahwa
kemampuan pengetahuan antara Nabi dan manusia biasa berbeda.
Pada perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain seperti nadzr,
tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra, qiyas, tamsil, tawil, dzati,
hissi, khayali, aqli, syibhi dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya dalam diskursus dunia
pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting yang mendasari teori pengetahuannya.
Yaitu, (1) pengetahuan rasional, (2) pengetahuan inderawi, dan (3) pengetahuan kasfy lewat
ilham atau intuisi.

Anda mungkin juga menyukai