Anda di halaman 1dari 6

AGAMA ITU BUKAN CANDU

DATA BUKU
o Judul buku : Agama Itu Bukan Candu: Tesis-Tesis Feirbach, Marx dan Tan Malaka
o Pengarang : Eko Prasetyo Darmawan
o Penerbit : Resist Book
o Kota penerbitan : Yogyakarta
o Tahun terbit : 2005
o Tebal buku : xi + 216 halaman
RINGKASAN
I. PENGANTAR
Buku ini ditulis sebagai kritik atas gaya hidup beragama yang egois. Penulis melihat bahwa
dewasa ini, gaya hidup seperti ini semakin marak: Mengejar surga bagi dirinya sendiri
sehingga mengabaikan lingkungannya. Orang-orang yang seperti ini hanya sibuk beribadat,
tapi tidak mengamalkannya. Golongan seperti inilah yang menjadi tujuan buku ini.
II. BAB I : MENGGUGAT AGAMA YANG BORJUIS DAN EGOSENTRIS
Keberagamaan yang borjuis adalah keberagamaan yang egois dan pasif. Yang termasuk
dalam golongan ini adalah orang yang taat beribadat demi meraih surga, namun acuh tak acuh
terhadap apa yang terjadi di dunia. Orang yang beragama seperti ini justru sering diberi label
orang baik-baik. Model keberagamaan orang baik-baik ini hanya beragama saat sedang
beribadat saja. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah pesaing dan musuh.
Tuhan disembah sekaligus didesak-desak untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya; atau
dengan kata lain, egonya. Doa mereka adalah doa agar kesenangan atau kepemilikannya
bertambah, bukan atas dasar kasih sayang terhadap alam semesta.
III. BAB II : KRITIK LUDWIG FEURBACH ATAS TEOSENTRISME AGAMA
A. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme
Dalam buku The Essence of Christianity, Feuerbach mengkritik kelompok orang yang terlalu
teosentris dalam memahami agama sehingga melupakan sisi antropologisnya. Pola
pemahaman seperti ini menjadikan Tuhan sebagai Tuhan yang harus dipatuhi, harus ditaati.
Padahal, agama bukanlah semata-mata tentang Tuhan, tapi tentang perkembangan diri
manusia. Misi agama menurut Feuerbach adalah tentang bagaimana manusia turut mengisi
atau membentuk eksistensinya secara konkret di alam raya ini.
Sebelumnya, perlu diingat bahwa dari semua ciptaan, hanya manusia yang beragama. Dengan
demikian, apakah yang membedakan manusia dengan makhluk lain? Perbedaan mendasar
manusia dengan makhluk lain, khususnya hewan, terletak pada kesadarannya. Dengan
kesadarannya, manusia mampu merenungkan dan berdialog dengan dirinya sendiri. Atau
dalam bahasa Feuerbach: Kesadaran membuat manusia berdialog dengan cara
berseksistensinya sendiri.
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama tumbuh saat kesadaran manusia
tumbuh. Benih agama tumbuh saat manusia sanggup mentransendensi cara bereksistensinya
sendiri.
1. Hakekat manusia.
Hakekat manusia menurut Feuerbach adalah pikiran, perasaan, dan kehendak. Sadar atau
tidak, ketiga hal inilah yang mengendalikan tingkah laku manusia. Dalam kehidupan seharihari, manusia berelasi dengan subyek dan obyek di luar dirinya dalam 3 kemungkinan modus:
Pikiran (akal budi), perasaan (hati), dan kehendak (nafsu). Manusia bukanlah pencipta ketiga

hal tersebut. Ketiga hal ini sudah ada begitu saja dalam diri manusia sejak lahir. Dan ketiga
hal ini pula yang membuat manusia menjadi manusia. Tanpa salah satu dari ketiganya,
manusia tidak akan menjadi manusiawi. Oleh karena itu, eksistensi manusia dilihat dari
perkembangan pikiran, perasaan, dan kehendaknya. Mengada yang sejati adalah
menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya dengan sebaik-baiknya.
2. Asketisme Feuerbach.
Agama merupakansebuah proses manusia untuk mengembangkan pikiran, perasaan, dan
kehendaknya menuju kesemestaan, ke arah ketakterbarasan. Dalam The Essence of
Christianity, Feuerbach berkata bahwa Tuhan adalah esensi manusia yang ditempatkan di
luar diri manusia, dengan kata lain yang disembah sebagai Ada yang terpisah, sebagai Ada
yang terpisah dari diri manusia. Apa arti dari kalimat ini?
Manusia dengan kekuatannya sendiri hanya dapat menghasilkan pengetahuan yang sebatas
daya tangkap manusia. Padahal, Tuhan itu di luar jangkauan manusia. Jadi, bagaimana
manusia mengetahui tentang Tuhan? Melalui pewahyuan. Pewahyuan adalah proses di mana
Tuhan menyatakan dirinya selaras dengan kemampuan manusia, dengan kata lain selaras
dengan hakekat manusia. Dan sebagai Yang Maha sempurna, maka pernyataan diri Tuhan
adalah pernyataan tentang kesempurnaan.
Dengan kata lain, pewahyuan adalah dialog antara Tuhan yang mewahyukan diri dalam
kesempurnaan hakekat manusia dengan hakekat manusia individual yang terperangkap dalam
tubuh yang meruang dan mewaktu. Dan karena agama selalu diwarnai dengan pewahyuan,
maka seperti yang tertulis di atas: Agama merupakan proses manusia untuk mengembangkan
pikiran, perasaan, dan kehendaknya menuju kesemestaan, ke arah ketakterbarasan.
B. Agama yang Berpijak pada Kehidupan Sosial
Seperti yang tertulis di atas, Feuerbach menyatakan bahwa hakekat (esensi) manusia adalah
pikiran, perasaan, dan kehendak. Ketiga hal ini bukanlah sesuatu yang terisolir dari dunia
obyektif, dunia pengalaman bersama. Justru sebaliknya, agar dapat mengejawantahkan ketiga
hal tersebut, manusia membutuhkan keberadaan yang lain selain dirinya. Dan upaya
pengejawantahan ini dalam kehidupan sehari-hari kita sebut dengan bekerja. Dengan
demikian, beragama yang ideal adalah beragama dengan bekerja; beragama dimana orang
lain ikut merasakan keberagamaan kita.
C. Kesalahpahaman tentang pemikiran Feuerbach
1. Tentang materialisme.
Dalam buku The Essence of Christianity, dapat kita lihat materialisme seperti apa yang dianut
Feuerbach. Materialisme menurut Feuerbach adalah materialisme yang menganggap bahwa
kebenaran tidak ditemukan dalam hal yang abstrak, namun dalam kehidupan yang konkret.
Dalam buku ini, Feuerbach mengkritik teologisme yang meletakkan Tuhan sebagai sesuatu
yang abstrak, yang jauh tak terpahami.
Feuerbach menolak teologisme seperti itu dan oleh karena itu, ia menganut materialisme.
Kebenaran manusia bukanlah Kebenaran yang abstrak, yang berada di awang-awang.
Kebenaran manusia adalah kebenaran yang bersifat meterial, yang dapat dirasakan manusia
bersama manusia lain.
2. Tentang Tuhan.
Seperti yang telah disampaikan, konsep Tuhan yang ditentang Feuerbach adalah konsep
Tuhan yang abstrak. Apa yang membuat Tuhan terasa abstrak adalah karena manusia terlalu
terpaku pada keterbatasan. Agama adalah kesadaran manusia akan hakekatnya sendiri, bukan
dalam artian terbatas, tapi dalam hakekatnya yang takterbatas. Dengan demikian, Tuhan
adalah medium bagi manusia untuk kembali menyatu dengan kesejatiannya.
3. Tentang subyektivisme.
Subyek adalah pusat dari segala sesuatu sedangkan obyek adalah cermin dari subyek. Seperti
kita ketahui, setiap orang (subyek) memiliki bakat dan panggilan hidup yang berbeda-beda.

Dengan demikian, nilai setiap obyek pun berbeda-beda bagi tiap subyek. Dan obyek yang
digauli pun berbeda-beda, tergantung bakat dan panggilan hidupnya. Dari obyek inilah kita
dapat menganali subyek. Atau dengan kata lain, obyek mencerminkan subyek yang
mengaulinya.
IV. BAB III : KRITIK KARL MARX ATAS FEURBACH
A. Apa yang Diwarisi Marx dari Feuerbach?
1. Materialisme Feuerbach : Dunia material sebagai lokus tindakan manusia.
Bekerja adalah upaya manusia untuk merealisasikan dirinya. Dengan bekerja, eksistensi
manusia dinyatakan ke dalam dunia material, dunia yang konkret. Seperti yang tertulis dalam
buku ini: Dari Hegel, Marx mewarisi esensi anropologis dari pekerjaan. Sedangkan dari
Feuerbach, Marx mewarisi bahwa esensi antropologis itu tidak berkembang secara abstrak,
tapi secara konkret. Pernyataan inilah yang yang disebut sebagai materialisme Feuerbach.
2. Relasi Manusia dengan Kehidupan Sosial dan Material.
Bagi Marx, manusia adalah makhluk konkret yang mengada bersama dengan manusia lain
dan dengan alam. Baik dunia sosial (relasi dengan manusia lain) maupun dunia material
(relasi dengan alam), merupakan medan kerja manusia, tempat manusia menyatakan diri dan
mengembangkan diri. Semakin luas kehidupan sosial dan kehidupan material yang digauli
seorang manusia, semakin kaya perkembangan dirinya. Atau dalam bahasa sehari-hari,
semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang, semakin berkembanglah ia.
B. Apa yang Dikritik Marx dari Feuerbach?
1. Kesadaran akan esensi dianggap bisa ditemukan secara lepas dari konteks sosio-historis.
Kesadaran manusia akan esensinya yang sejati sebagai manusia (rasa keberagamaan)
bukanlah sesuatu yang sudah ada begitu saja dalam diri manusia. Kesadaran tersebut
merupakan sebuah proses aktif dari manusia itu sendiri dalam pergaulan manusia dengan
dunia sosial dan material. Dengan demikian, keberagamaan menurut Marx merupakan produk
sosial dari kondisi sosio-historis tertentu.
2. Tidak semua konteks sosio-historis memungkinkan manusia untuk mengembangkan
esensinya.
Kondisi sosio-historis yang tidak memungkinkan manusia mengembangkan esensinya,
keberagamaannya adalah sebagai berikut: yaitu dalam konteks sosio-historis di mana peta
makna kehidupan yang ada bertolak-belakang dengan peta makna kehidupan beragama.
3. Dalam bekerja di level sosio-historis-lah langkah awal mengembangkan esensi
kemanusiaan dimulai.
Rasa keberagamaan bagi Marx merupakan sesuatu yang bersifat aktif dan revolusioner. Perlu
diperhatikan bahwa revolusioner di sini berbeda dengan yang biasa kita pahami.
Revolusioner bagi Marx lebih bersifat kreatif daripada destruktif. Kalaupun ada gerak
destruktif, itu bertujuan untuk menciptakan kesempatan bagi benih-benih peradaban baru
yang lebih kualitatif.
Oleh karena itu, rasa keberagamaan pun selalu merupakan tindakan penciptaan. Rasa
keberagamaan yang sejati selalu memandang dan menghayati sejarah dan dunia ini sebagai
sesuatu yang historis, sesuatu yang merupakan hasil kerja manusia secara kolektif. Dan
karena merupakan hasil kerja manusia, dunia ini tidaklah absolut/final.
V. BAB IV : MISI MANUSIA MENURUT KARL MARX
A. Kritik terhadap Kapitalisme
1. Apakah kapitalisme?
Das Kapital merupakan studi anatomis sekaligus fisiologis dari organisme kapitalisme. Dari
studi ini, sel utama dari tubuh kapitalisme adalah nilai tukar komoditi. Tanpanya, gerak
kehidupan kapitalisme akan berhenti. Dengan demikian, barang harus ada harganya, harus

ada nilai tukarnya. Nilai tukar (harga) lalu menjadi kategori universal dari relasi antar produk.
Hal ini berdampak terhadap hilangnya kulitas atau nilai esensial dari setiap barang.
2. Mengapa mengkritik kapitalisme?
a) Efek kapitalisme terhadap alam kesadaran manusia.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa kapitalisme memanusiakan benda. Benda menjadi
sesuatu yang utama dalam kehidupan. Pikiran perasaan, dan kehendak manusia ditujukan
kepada kepemilikian terhadap benda-benda. Di sinilah konsumtivisme bermula. Benda-benda
diperlakukan layaknya makhluk yang berjiwa. Hasil pekerjaan manusia dinilai melebihi
manusia itu sendiri.
b) Efek kapitalisme terhadap kehidupan sosial.
Selain konsumtivisme, kapitalisme juga menimbulkan komodifikasi pekerjaan. Dalam
komodifikasi pekerjaan, manusia kehilangan esensinya dan semata-mata merupakan bagian
dari sebuah proses produksi. Hakekat kerja direndahkan. Kerja yang awalnya merupakan
proses peng-eksistensi-an diri manusia, dalam kapitalisme hanya dianggap sebagai alat untuk
sebuah proses produksi.
B. Tentang Komunisme
1. Apakah komunisme itu?
Komunisme merupakan suatu fase sosio-historis setelah runtuhnya kapitalisme. Secara
sederhana, prisnsip dasar komunisme adalah sama rata sama rasa. Namun demikian, perlu
diperhatikan bahwa maknanya sedikit berbeda dari apa yang biasa dipahami.
Dalam fase komunis, komunitas-lah yang menjadi motor penggerak, bukan individu-individu.
Mengapa? Karena dalam masyarakat komunis, semua orang memiliki tujuan yang sama.
Oleh karena itu, mereka saling bergotong-royong demi tercapainya tujuan itu.
Dalam komunitas, pikiran, perasaan, dan kehendak manusia akan berkembang dari yang
awalnya terbatasi individu, menuju ke arah ketakterbatasan. Dalam situasi ini, masyarakat
akan hidup dalam semangat kebersamaan, persaudaraan, egalitarianisme. Dan karena tumbuh
dalam semangat egalitarianisme, maka tidak ada pembagian kelas dalam masyarakat
komunis. Hal ini bukan berarti bahwa tidak ada lagi orang kaya dan miskin, tetapi bahwa
kaya atau miskin tidak lagi dipermasalahkan. Inilah yang dimaksud dengan sama rata sama
rasa.
2. Mengapa komunisme?
Dalam masyarakat kapital terdapat pembedaan yang tajam antara kaya dengan miskin.
Mengapa? Karena kekayaan merupakan prasyarat untuk menikmati barang atau jasa demi
memenuhi kebutuhan hidup. Di sinilah awal dari pembagian kelas-kelas sosial.
Sedangkan dalam masyarakat komunis, pembagian kelas tidak berlaku. Orang miskin
(proletar) dapat menikmati barang dan jasa yang sama dengan orang kaya (borjuis). Dengan
demikian, kaum proletar pun dapat mengembangkan dirinya, memperluas cakrawalanya.
Kaum proletar pun mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh menjadi manusia yang
berkembang pikiran, perasaan, dan kehendaknya.
VI. BAB V : MADILOG DAN KRITIK ATAS LOGIKA MISTIKA
A. Memahami Madilog
Tujuan utama dari Madilog adalah Indonesia Merdeka. Bukan hanya kemerdekaan formal,
tapi kemerdekaan yang seutuhnya: Indonesia for Indonesians. Kemerdekaan ini menurut Tan
Malaka hanya dapat dicapai melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Dengan IPTEK yang maju, industri pun pasti maju. Kemajuan di bidang industri sangat
dibutuhkan dalam usaha mencapai kemakmuran.
Kemakmuran yang dicapai sendiri, tanpa belas kasihan dari pihak luar, adalah inti dari sebuah
kemerdekaan. Untuk mencapai kondisi seperti itu, hal mendasar yang harus diubah adalah
pola pikir masyarakat. Madilog adalah karya yang bertujuan untuk mendidik masyarakat

Indonesia agar membiasakan dan melatih diri dengan cara berpikir baru, yang lebih cocok
dengan tanggung jawab di masa depan.
B. Tentang Logika Mistika
Pola pikir apakah yang harus diubah? Polo pikir yang dalam bahasa Tan Malaka disebut
dengan Logika Mistika. Logika mistika adalah pola pikir yang percayabahwa hal-hal gaib itu
berada di atas dunia materi. Logika yang seperti ini meyakini bahwa kekuatan rohanilah yang
menentukan bagaimana kondisi alam materi. Dan karena bersifat rohani, maka pola pikir
seperti ini mendidik masyarakat untuk bersifat pasif, malas berpikir. Masyarakat yang pasif
inilah yang menghambat perkembangan IPTEK. Kepercayaannya pada hal-hal gaib inilah
yang menghilangkan peran IPTEK dalam kehidupan sosio-historis masyarakat tersebut.
C. Mengurai Materialisme-Dialektika-Logika
1. Materialisme
Materialisme menurut Tan Malaka ialah bahwa sesuatu yang konkret haruslah dijelaskan
dengan yang konkret pula. Dengan kata lain, yang konkret dihasilkan oleh yang konkret,
sekaligus juga menghasilkan yang konkret pula. Maka, materialisme Tan Malaka mengajar
kita untuk melihat bahwa setiap gejala sosial yang konkret merupakan hasil dari rentetan
perbuatan-perbuatan konkret manusia.
2. Dialektika
Dialektika adalah cara memahami sesuatu dalam kerangka keseluruhan perkembangannya.
Gerak perkembangan selalu melibatkan waktu, maka dialektika juga merupakan perkara
memahami sesuatu dalam kerangka waktu yang luas, meliputi rangkaian masa lalu, masa
kini, dan masa depan. Rangkaian waktu tersebut saling berhubungan satu-sama lain, bukan
merupakan hal yang terpisah. Masa lalu menjadi dasar bagi masa kini, dan masa kini menjadi
dasar bagi masa depan.
3. Logika
Lagika adalah cara berpikir lurus. Cara berpikir lurus ini sangat penting dalam konteks
materialisme Tan Malaka. Tanpa logika, kita tidak dapat membedakan yang konkret dengan
yang tidak.
a) Induksi
Induksi adalah upaya peng-generalisasi-an suatu fenomena dari fakta-fakta terpencar. Dengan
kata lain, induksi merupakan cara perumusan suatu hal dari data-data yang berlainan. Hasil
dari induksi biasa disebut hukum.
b) Deduksi
Kebalikan dari induksi, deduksi merupakan upaya penerapan hukum yang berlaku ke dalam
kasus khusus. Dari pengetahuan pola umum, kita dapat menentukan suatu kasus individual.
c) Verifikasi
Dalam bahasa Tan Malaka, verifikasi adalah suatu pemastian baru. Jika pada suatu penerapan
hukum (deduksi) menghasilkan bukti yang baru, hukum tersebut harus dirumuskan ulang
(induksi). Inilah yang dimaksud dengan verifikasi. Pemastian ini dapat mengubah
rumusannya, mengubah kalimatnya, tapi tidak mengubah semangatnya.
D. Memahami Kritik Agama Tan Malaka
Agama diperuntukkan bagi manusia, maka dalam pengajarannya pun tentu disesuaikan
dengan pola pikir masyarakat pada zamannya. Di sinilah kegaiban agama muncul. Semakin
tua sebuah peradaban, semakin sederhana pola pikirnya. Untuk itu, dalam pengajarannya,
agama membutuhkan hal-hal yang gaib. Tujuannya tak lain adalah agar masyarakat pada
masa itu menjadi percaya. Zaman terus berganti dan perlu diingat, perkembangan zaman turut
membawa perkembangan dalam pola pikir. Oleh karena itu, dapat kita lihat bahwa semakin
tua sebuah agama, semakin banyak unsur gaib di dalamnya.
Agama memang dekat dengan hal-hal gaib. Namun, bukan itu yang utama. Inilah yang
dikritik Tan Malaka: Penjungkirbalikan makna kegaiban dalam agama. Hal-hal gaib yang

awalnya hanyalah cara, menjadi sesuatu yang utama. Surga dan neraka yang awalnya
diciptakan agar manusia mau menciptakan peradaban baru yang lebih mulia dan bermutu,
malah menjadi alasan untuk lepas tangan dari panggung sejarah peradaban manusia. Orangorang mulai sibuk mengejar surganya sendiri tanpa memperhatikan kondisi sosio-historis di
sekelilingnya.
VII. BAB VII : PENUTUP: MENGURAI KESALAHPAHAMAN
Mengurai Kesalahpahaman
Karl Marx pernah menulis: Agama adalah candu dari masyarakat. Dari sinilah semua
kesalahpahaman berawal. Lalu, apakah maksud dari pernyataan ini?
Candu, seperti kita ketahui, merupakan pintu menuju surga bayangan. Ketika kita mencandu,
kita dibawa ke surga yang tidak konkret. Agama pun demikian. Menurut Marx, agama
merupakan ajaran mengenai hal-hal yang ideal, namun belum dalam wujud yang konkret.
Agama adalah impian dan harapan akan kehidupan surgawi, Namun, kehidupan surgawi itu
bukan kehidupan surgawi yang ada di sini, di dunia ini, melainkan di dunia sana. Sebagai
impian dan harapan akan kehidupan surgawi, agama memang bernilai. Tapi kalau kita terlalu
lama berada di alam impian, kita akan lupa dengan dunia konkret. Jika kita terus menerus
mencandu, kita akan lupa dengan dunia sekitar.
Oleh karena itu, Marx mengajak manusia untuk mentransformasi agama menjadi apa yang
kita sebut sebagai religiositas. Agama membutuhkan otoritas eksternal, sedangkan religiositas
menggali kearifan dalam dirinya sendiri. Agama membayangkan alam surgawi di dunia sana,
sementara religiositas membangun alam surgawi bagi kehidupan bersama di dunia ini.
Singkatnya, religiositas adalah konkretisasi dari apa yang kita sebut dengan agama.

Anda mungkin juga menyukai