Anda di halaman 1dari 3

BERMUHASABAH MENYONGSONG BERKAH

Tanpa terasa perhitungan bulan Masehi sudah menapak di penghujung tahun, tanda pergantian
tahun akan segera bergulir. Sungguh bagi orang beriman pergantian itu bukanlah sekedar
pergantian waktu, melainkan juga sebuah peringatan, bahwa jatah usianya juga kian berkurang.
Persis perkataan sebagian ulama salaf, semisal Hasan Al Bashri yang mengatakan,
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang,
maka akan hilang pula sebagian dirimu.”
Atau ungkapan hampir senada dari Ja’far bin Sulaiman yang berkata bahwa dia mendengar
Robi’ah menasehati Sufyan Ats Tsauri,
“Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dirimu juga
akan hilang. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, lalu hilanglah seluruh dirimu
(baca: mati) sedangkan engkau mengetahuinya. Oleh karena itu, beramallah.”
Ringkasnya hampir semua dari mereka menasehati kepada kita, bagaimana hendaknya kita
selalu mewaspadai dan menjaga waktu-waktu yang kita miliki, mengisinya dengan amal
kebaikan, sebab yang sudah pergi tak akan pernah datang kembali.
Maka menjadi “wajib” bagi kita semua untuk senantiasa bermuhasabah, berinstropeksi,
mawas diri terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini, agar tidak menjadi insan yang
merugi, sebagaimana peringatan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman nya yang mulia
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati
kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al-‘Ashr/103:1-3].

HAKIKAT MUHASABAH

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiapb diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Q.S.Al-Hasyr
(59):18]
Ibnu Qayyim mengatakan: “Ayat ini menunjukan kewajiban melakukan Muhasabah.”
Sedangkan IbnU Katsir menyatakan,”Intropeksi lah kalian, sebelum kalian diperhitungkan.
Persiapkan diri kalian dengan baik dengan berbagai macam amal soleh sebagai bekal hari esok.”
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam
penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi,
atau introspeksi diri. Dari firman Allah di atas tersirat suatu perintah untuk senantiasa
melakukan muhasabah supaya hari esok akan lebih baik.
Dengan melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak
berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia
mesti objektif melakukan penilaiannya dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah sebagai
dasar penilaiannya bukan berdasarkan keinginan diri sendiri.
Maka melakukan muhasabah atau introspeksi diri merupakan hal yang sangat penting untuk
menilai apakah amal perbuatannya sudah sesuai dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi,
jiwa manusia tidak akan menjadi baik.
Imam Turmudzi meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga Maimun bin Mihran
mengenai pentingnya muhasabah.
Umar r.a. mengemukakan: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).
Hal lain yang tak kalah penting mengapa setiap diri kita perlu bermuhasabah adalah karena
setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT. sendiri-sendiri untuk
mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya.
Allah berfirman: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95]
MERAIH KEBERKAHAN
Salah satu tujuan kita bermuhasabah adalah meraih keberkahan dalam hidup. Bagaimana
dengan hasil intropeksi kita akan nampak, mana amal-amal yang sudah sesuai dengan alquran
dan sunnah, mana pula amal-amal yang harus kita perbaiki atau bahkan ditinggalkan. Dengan
begitu akan lahir kebaikan yang semakin bertambah. Inilah yang disebut dengan berkah.
Dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi disebutkan, berkah memiliki dua arti: (1) tumbuh,
berkembang, atau bertambah; dan (2) kebaikan yang berkesinambungan. Menurut Imam Nawawi, asal
makna berkah ialah “kebaikan yang banyak dan abadi”.
Setiap orang tentu menginginkan hidupnya tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Bagaimana
agar hari ini lebih baik dari kemarin , demikian juga berharap esok lebih baik daripada hari ini. Jika untuk
sebuah investasi atau pekerjaan yang sifatnya duniawi saja manusia rela bersusah payah mengevaluasi
langkah kerjanya, melakukan berbagai analisa dan alat ukur supaya tujuan yang ingin diraih tercapai,
apatah lagi urusan akhirat, demikian pula hendaknya.
Muhasabah adalah alat untuk mengukur sejauh mana langkah kita selama ini, semakin mendekatkan ke
arah tujuan yang sebenarnya atau justru semakin menjauhkan. Contohnya saja, Jika penghasilan kita,
atau bisnis kita semakin maju dan lancar namun kita malah semakin ogah-ogahan dan malas untuk
beramal shalih, shalat kita pun sering ketinggalan, maka pantas bagi kita untuk mengevaluasi diri, sudah
benarkah cara kita selama ini dalam mencari rezeki ? Jangan-jangan tercampur hal-hal yang haram,
minimal syubuhat.
Padahal Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk
beramal shaleh. Buktinya adalah firman Allah Ta’ala, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan
yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51).
Sa’id bin Jubair dan Adh Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thoyyib
adalah makanan yang halal. Sementara Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di
atas, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam
untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah ini
adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Oleh karena itu, para Nabi
benar-benar memperhatikan bagaimana memperoleh yang halal.
Wallahu a’lam

EAF

Berbagai Sumber

Anda mungkin juga menyukai