3_herm@
• Kesamaan konteks dan empati sebagai akses ke kehidupan batiniah orang lain.
• Namun Dilthey tidak setuju akan teori empati psikologistis atau introspeksi, upaya ia
melampaui psikologisme shleiermacher.
• Menurutnya, kita tidak bisa memahami orang lain dengan merenungkan pengalaman
kita sendiri atau membayangkan bahwa kita adalah orang itu. Dalam rumusan Palmer,
“kita dapat memasuki dunia manusia yang batiniah ini tidak lewat introspeksi,
melainkan lewat interpretasi, pemahaman atas ekspresi kehidupan”.
Dalam arti ini Dilthey berjuang keras untuk mengatasi
psikologisme yang mewarnai hermeneutika Schleiermacher.
Cara Kerja ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dalam memasuki dunia sosial historis Mengakses
Penghayatan Orang Lain
• Friedrich August Wolf sudah • Ia memikirkan perbedaan itu
membuat distingsi antara bukan sebagai persoalan
Verstehen (memahami) dan metafisis, yaitu persoalan obyek
Erklären (memusatkan diri). atau realitas yang diteliti oleh ilmu
Distingsi ini oleh Dilthey yang bersangkutan, melainkan
kemudian dipakai untuk persoalan epistemologis, yaitu
membedakan cara kerja persoalan subyek atau cara
Naturwissenschaften dan mengetahui realitas yang diteliti
Geisteswissenschaften. oleh ilmu tersebut.
• Metode Erklären memusatkan diri pada “sisi luar” obyek
penelitian, yaitu proses-proses obyektif dalam alam.
• Benda jatuh, kadar kolesterol, ledakan natrium dalam air
adalah proses-proses yang bisa diamati secara lahiriah, dan
hasil pengamatan atas hal-hal itu dapat disepakati secara
sama oleh pengamat-pengamat yang berbeda-beda.
• Karena itu sikap pengamat adalah mengambil distansi penuh atas obyeknya, yakni tanpa
mengikutsertakan perasaan, penilaian ataupun keinginannya dalam mengetahui obyek itu.
• Sikap pengambilan jarak penuh itu—disebut juga “mengobyektivikasi”—
memungkinkan seorang pengamat membuat pengukuran, percobaan dan penerapan
matematika sehingga dihasilkan pengetahuan yang obyektif, yaitu dapat diterima
oleh pengamat yang berbeda-beda.
• Erklären paada akhirnya adalah “analisis-kausal”, yaitu analisis atas proses-proses yang
berhubungan sebab-akibat untuk menemukan hukum-hukum alam.
• Terjemahan Inggrisnya adalah explanation, atau dalam bahasa kita menjelaskan, tidak
secara langsung mengacu pada pengertian itu.
• Berbeda dari itu metode Verstehen memusatkan diri pada “sisi dalam” obyek
penelitiannya, yaitu dunia mental atau penghayatan, maka sesuai untuk manusia,
masyarakat dan kebudayaan.
• Tentu manusia memiliki “sisi luar” juga karena ia juga suatu organisme dalam alam yang
memiliki sel, metabolisme, dan naluri, maka manusia juga bisa didekati dengan Erklären,
seperti dalam fisiologi dan ilmu kedokteran. Akan tetapi “sisi dalam” manusia, yaitu
penghayatan atau dunia mentalnya, hanya bisa didekati dengan Verstehen.
• Cukup jelas bahwa hermeneutika dijalankan di sini bukan sebagai cara baca atas teks
tertulis, seperti buku atau surat, melainkan sebagai upaya untuk mengetahui dunia sosial
historis yang dialami oleh manusia
Kata penting untuk memahami sisi dalam obyek penelitian itu, seperti juga
dalam memahami teks, adalah “makna” (Sinn). Artinya, perilaku, tindakan,
norma, institusi dan bahkan artefak dalam dunia sosial-historis dapat
dilihat sebagai jalinan makna-makna sebagaimana terdapat di dalam teks.
Karena itu, setuju dengan Hegel, Dilthey menjelaskan dunia sosial-historis yang
menjadi obyek penelitian ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan sebagai objektiver Geist
(roh obyektif).
Istilah Hegel ini dapat dijelaskan sebagai hasil-hasil proses pencurahan isi
pikiran, perasaan atau dunia mental para individu dalam bentuk produk-produk
kultural, seperti gaya hidup, adat istiadat, hukum, negara, agama, seni, ilmu dan
filsafat. Produk-produk kultural itu bukanlah realitas-realitas obyektif seperti
alam, melainkan realitas-realitas yang diobyektifkan atau—dalam istilah
Dilthey—“dunia yang dikonstruksi pikiran yang timbul dari penghayatan”.
Kita lihat di sini pola hubungan antara pengarang dan karyanya
terdapat juga di dalam dunia sosial-historis, maka saya
mengatakan perbedaannya tidak sebesar kesamaannya.
• Hanya kita perlu mengingat apa yang telah disinggung di atas bahwa
Dilthey tidak setuju dengan teori empati psikologis Schleiermacher.
• Obyek penelitian ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan tidak diketahui lewat
introspeksi, melainkan lewat interpretasi. Untuk meninggalkan
Schleiermacher, dia memusatkan modelnya pada “hubungan timbal
balik dari penghayatan (Erleben), ungkapan (Ausdruck) dan
pemahaman (Verstehen)”.
Di dalam realitas sosial yang menjadi obyek penelitian ilmu-ilmu
sosial-kemanusiaan para pelaku juga menghasilkan teks-teks
yang siap untuk dibaca.
Setuju dengan Schleiermacher, Dilthey menjelaskan hubungan
antara penghayatan para pelaku sosial dan ungkapan-
ungkapan mereka dalam pola yang serupa dengan hubungan
antara dunia mental pengarang dan teks yang ditulisnya
Dalam bahasa Jerman sekarang ada dua kata untuk “pengalaman”,
yaitu Erfahrung dan Erlebnis. Kata yang pertama itu mengacu
pada pengalaman pada umumnya,
seperti misalnya: pengalaman kita saat berlibur di Bali. Di sana kita bertemu
banyak turis, melihat tari Kecak atau berselancar.
Namun kata kedua mengacu pada hal yang lebih spesifik, yaitu
pada pengalaman yang dimiliki seseorang dan dirasakan sebagai
sesuatu yang bermakna, maka bahasa Inggris mengalihkan kata itu
dalam frasa “lived experience”. Kata itu sebaiknya diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan “penghayatan”.
Terdiri dari apakah penghayatan itu?
Pertama-tama yang harus diingat adalah bahwa suatu
penghayatan tidak tercerai-berai, melainkan membentuk
sebuah keutuhan.
Contoh yang diberikan Dilthey adalah penghayatan waktu.
Waktu tidak kita alami secara terpenggal-penggal,
melainkan sebagai aliran yang membentuk sebuah
kesatuan, sehingga kita memiliki istilah “perjalanan hidup”.
Penghayatan doa, misalnya, akan kehilangan cirinya sebagai
penghayatan setelah direfleksikan dan diceritakan.
Penghayatan bukanlah atas doa, melainkan di dalam doa—lalu kita
sebut “khusyuk”—maka ekspresi, observasi atau narasi tentangnya
sudah menarik pendoa keluar dari doanya.