Anda di halaman 1dari 40

ALLAH PENYELAMAT

INTISARI AJARAN KRISTIANI DAN PROMATIKANYA

PENGANTAR

Mata Kuliah Teologi Sistematik tentang Yesus Kristus, Allah Tritunggal dan
Roh Kudus di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero diberi judul Dogmatik
III. Traktat yang disiapkan ini merupakan rangkuman semua bahan yang diberikan
dalam kuliah Dogmatik III tersebut. Isi dari traktat ini dibagi dalam tiga bagian besar
yaitu Kristologi, Teologi tentang Allah Tritunggal, dan Pneumatologi. Bahan yang
disatukan dalam traktat ini merupakan pemikiran teologi sistematika yang umumnya
diterima dewasa ini, yang diambil dari pelbagai tulisan dan buku dari beberapa teolog
kontemporer. Traktat ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa STFK dalam
mempelajari, memahami dan mengimani apa yang merupakan pokok ajaran dan misteri
iman Gereja Katolik dari masa ke masa.
Sebagai sebuah diktat pegangan bagi mahasiswa tentu masih terdapat banyak
kekurangan, namun kekurangan itu dapat dilengkapi dengan studi pribadi oleh
mahasiswa sendiri. Kiranya diktat ini dapat menyemangati mahasiswa untuk terus
menerus mendalami misteri iman Kristiani demi penghayatan pribadi dan juga demi
karya pewartaan iman dan injil dimanapun mahasiswa itu hidup dan bekerja.

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Pengantar ………………………………………………………………….
Daftar Isi …………………………………………………………………..
Pendahuluan ……………………………………………………………..
Bagian I :

2
PENDAHULUAN

Judul Mata Kuliah Teologi Sistematik tentang Yesus Kristus, Allah Esa dan
Tritunggal, dan Roh Kudus yang diberikan di STFK Ledalero diberi nama Dogmatik
III.

1. Istilah dan Pengertian

Kata ‘dogma’ berasal dari kata Yunani dokem yang berarti membentuk satu
opini. Kata ini mempunyai dua derivasi dengan artinya masing-masing yakni doga (=
opini) dan doyma’ (= satu ajaran yang mempunyai dasar otoritatif tertentu).1

Dalam bahasa Yunani klasik, kata ini menunjuk kepada sesuatu yang
dimaklumkan oleh hukum, dan berarti ‘apa yang dipandang betul’. Dalam filsafat
‘dogma’ diartikan sebagai ajaran dari satu aliran filsafat. Dalam Kisah Rasul -rasul (16,4)
keputusan konsili Yerusalem yang bersifat disipliner disebut dogma. Dan di dalam
Gereja purba, ajaran dan perintah Yesus juga disebut dogma (untuk membedakan dan
mempertentangkannya dengan ras ajaran aneka filsafat manusia).2

Dalam pemakaian biblis, LXX menggunakan kata ini dengan mengertian ‘dekrit
dari pangeran’. Dalam Perjanjian Baru (PB) kata ini mempunyai pengertian ‘edit’ atau
‘dekrit’ (seperti misalnya dekrit dari kaisar Agustus atau dari Caesar).

Di dalam Gereja sampai dengan abad ke-4, kata ‘dogma’ dihubungkan dengan
‘ajaran fundamental tentang iman dan moralitas’. Pada abad ke- 5 kata ini diartikan
sebagai ‘kebenaran’ yang merupakan objek iman. Vatikan I (1869/1870) dogma
dimengerti sebagai ‘semua yang termuat dalam Sabda Ilahi dan tradisi dan diajukan oleh
Gereja, sebagai yang diwahyukan oleh Allah dan karenanya diimani dengan iman ilahi
dan katolik.3

Jadi, berdasarkan pengertian seperti dikemukakan di atas, ‘dogma’ adalah


kebenaran yang direvelasikan Allah dan disusun oleh Gereja (Magisterium) untuk
kepercayaan dan keyakinan iman semua orang kristen.4
Definisi ini mengandung dua unsur hakiki, yakni:
 KEBENARAN yang merupakan bagian dari revelasi. Dogma adalah satu statement
tentang apa yang harus dipercaya oleh orang-orang kristen, yang berasal dari Allah
yang memaklumkannya
 KUASA RESMI YANG MENGAJAR atau menyatakan bahwa kebenaran ini adalah
bagian dari revelasi.
Jadi: dogma adalah statemen tentang kebenaran yang direvelasikan, yang dikeluarkan
oleh Solemn Magisterium (Paus dan konsili Gereja), atau oleh ordinary Magisterium.

1
“dogma” dalam A New Dictionary of Christian Theology, edit. By Alan Richardson and John Bowden
(London: SCM Press Ltd., 1983)
2
A. Heuken SJ, ‘dogma’ dalam Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan CLC, 2004), p. 72
3
Ibid.
4
‘dogma’ dalam Dictionary of The Ecumenical Movement, edit. By Nicholas Lossky et. al. (Geneva:
WCC Pub., 1991). Bdk. New Dictionary of Christian Theology, op.cit., p. 162.

3
2. Isi dari Mata Kuliah Dogmatik III

Yang menjadi inti atau pokok ajaran dari mata kuliah ini adalah ALLAH
PENYELAMAT yang dijelaskan dalam Kristologi, Teologi tentang Allah Tritunggal
dan Pneumatologi. Pokok ini merupakan salah satu bagian dari Teologi Sistematika.

Kata ‘teologia’ merangkum ajaran (-logia) tentang Allah (Theo-) dari sudut
pandangan tertentu, yakni dari sudut misteri penyelamatan; karena dari sudut inilah
Allah telah memperkenalkan diri kepada kita melalui pengalaman umat Israel dan umat
kristen yang termaktub dalam Kitab Suci. Menurut pengalaman umat-Nya baik yang
lama maupun baru, Allah itu Penyelamat. Sejak semula Allah bermaksud membuka
jalan menuju keselamatan di surga, dan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, mereka
diangkat-Nya ‘untuk mengharapkan keselamatan’ (Kej 3: 15). Meskipun manusia itu
telah berdosa kepada Allah, Allah tetap berpegang pada rencanaNya untuk
membahagiakan manusia. Setiap kali manusia menyeleweng dan dihukum oleh
kejahatannya sendiri, Allah merasa kasihan kepada manusia itu, memberikan
perlindunganNya dan menjanjikan masa depan yang lebih bahagia. Melalui perjanjian
dengan seluruh umat manusia ( lewat Nuh, Kej 9:1-17), dengan Abraham (Kej 15: 1-
21), dengan Musa serta umat pilihanNya (Kel 24: 1-11), melalui janji-janji yang
diungkapkanNya dengan perantaraan para nabi, Allah menyiapkan kedatangan
AnakNya sebagai ‘perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah’ Yesus sendiri (1Kor
11:25; Luk 22:20) sebagai Juru Selamat, yaitu ‘Kristus Tuhan’ (Luk 2: 11). Dalam diri
Yesus itulah Allah menyelamatkan dunia secara definitif, sekali untuk selamanya,
dengan hidup, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Dan sebelum Yesus naik ke surga
atau secara definitif pada peristiwa Pentekosta, Allah menghembuskan atau mengutus
Roh Kudus ke atas Gereja, agar karya keselamatan itu diteruskan.
Oleh karena itu matakuliah ini menyajikan tentang Allah sebagai Penyelamat itu. Tentu
saja llah Penyelamat ini tidak dipisahkan dari karya keselamatan yang dikerjakanNya di
dunia. Merenungkan secara tersendiri pribadi Allah sebagai subyek, sebagai Dia yang
merencanakan dan melakukan karya penyelamatan, dan baru kemudian merenungkan
karya yang dilaksanakanNya, bukan berarti memisah-misahkan Allah dengan
karyaNya. Kesatuan misteri keselamatan itu tak dapat diganggugugat. 5

Teologi Sistematika adalah teologi yang menyajikan rangkuman teologi Kristiani,


khususnya teologi Kristen Katolik, yang dibahas dalam 10 pokok bahasan:

I. Prolegomena: Epistemologi Teologi


1. Teologi Wahyu dan Iman

II. Allah Penyelamat


2. Teologi Trinitas
3. Kristologi
4. Pneumatologi

III. Ekonomi Keselamatan


5. Teologi Penciptaan
6. Soteriologi
7. Eklesiologi
8. Sakramentologi
9. Mariologi
10. Eskatologi
5
A.Heuken SJ, op.cit.

4
Setiap disiplin ilmu di atas selalu melihat dulu apa yang dikatakan oleh Kitab Suci
dan para bapak Gereja tentang pokok iman dalam disiplin yang bersangkutan; menyusul
sesudahnya pembahasan tentang pandangan teologi modern tentang pokok itu. Di dalam
penyajian tentu dikemukakan juga problematika yang timbul berkaitan dengan
pandangan teologis itu.

3. Tujuan dari perkuliahan

Yang menjadi tujuan diajarkannya Mata Kuliah Dogmatik dengan topik-topik


sebagaimana disampaikan di atas, adalah:
pertama, menguatkan iman kepercayaan mahasiswa akan Allah sebagai Penyelamat;
kedua, mengembangkan daya kritis mereka terhadap setiap pandangan dan gerakan
teologis yang muncul dalam sejarah hidup;
ketiga, memperluas pengetahuan mahasiswa;
keempat membantu mahasiswa untuk mengembangkan teologi secara kontekstual;
kelima memampukan mahasiswa untuk mewartakan teologi yang benar berdasarkan
Kitab Suci, para patristik dan Ajaran Gereja.

4. Metode perkuliahan

Dalam kuliah ini dipakai metode belajar-mengajar aktif (berbasis kompetensi)


dimana mahasiswa diaktifkan dalam proses belajar mengajar itu. Untuk itu baik dosen
pun mahasiswa harus sungguh-sungguh menyiapkan bahan dan aktif dalam proses.

Bagian I

5
YESUS KRISTUS PENYELAMAT MANUSIA DAN DUNIA.

Pengantar

(a). Pengertian

Kata ‘kristologi’ berasal dari kata ‘Christos’ (Kristus) dan ‘Logos’ (ajaran, ilmu,
pengetahuan). Kristologi adalah ajaran tentang Yesus Kristus sebagai Penyelamat,
tentang pribdi dan karyaNya yang menjadi dasar iman kepercayaan kristiani.

(b). Minat terhadap Figur Yesus di masa kini

Warta tentang Yesus Kristus sejak awal dimaklumkan sebagai Khabar Gembira
(Mrk 1:1) dan hal ini berkaitan dengan Kerajaan Allah dimana Yesus Kristus adalah
pemenuhannya. “Roh Allah ada padaKu dan Ia telah mengutus Aku untuk mewartakan
khabar baik kepada orang yang bersengsara, pembebasan bagi para tawanan” (Luk
4:18). Yesus adalah Pembebas, Penebus, Tuhan. Pewartaan ini harus terus
dipertahankan.

Sudah lebih dari dua abad, pertanyaan tentang identitas Yesus menjadi pusat
perhatian dan minat dari studi-studi dan kultur modern. Serentak dengan dimulainya
studi-studi dan minat tersebut muncul perdebatan-perdebatan.

Perdebatan-perdebatan kritis sudah timbul sejak masa Reimarus, di lingkungan


bukan-katolik, dan lebih dengan tendensi “menghancurkan” (pars destruens) daripada
“membangun” (pars costruens). Kritik historis mendapat bentuknya tersendiri yang
berbeda dengan abad-abad sebelumnya. Pada mulanya problem dipusatkan pada
“natura” Yesus (quid sit  term skolastik), dan kemudian mengarah ke pertanyaan akan
eksistensi historis dan fondamen dari persona Yesus Kristus itu. Kalau dulu, Gereja
menghadapi problem bagaimana menginterprestasikan figur Yesus, kini yang menjadi
problem adalah bagaimana menjelaskan eksistensi Yesus Kristus dan relevansinya bagi
manusia masa kini. Karena itu penyelidikan tentang fondamen historis dari iman kristen
yakni Yesus historis, menjadi problem yang lebih urgen, yang perlu dicari
pemecahannya. Dan Kristologi haruslah berpusat pada Yesus yang adalah Kristus
menurut pengakuan iman kristen. Walter Kasper mengatakan bahwa Kristologi tak bisa
bertolak saja dari data-data antropologis atau sosiologis tetapi harus memegang teguh
sifat “peringatan“ yang konkrit dan unik teraktualisir; harus menceriterakan dan
memebri kesaksian akan satu sejarah konkrit. 6

Selain dari pada problem tersebut diatas terdapat juga problem lain yang
berhubungan erat dengan problem Yesus historis. Problem ini timbul sebagai
konsekwensi dari iman, dan disebut problem “arti universal dari persona Yesus Kristus”:
bila Yesus itu betul berhubungan dengan realitas Allah, bila dalam dia hadir peranan
“mediasi” yang menyelamatkan dan yang universal, maka yang dituntut bukan saja soal
ermeneutik tentang asal mulanya, tetapi secara kontemporer juga soal relevansi. Bukan
hanya historisitas Yesus yang menjadi asal iman tetapi Yesus itu sendiri harus menjadi
norma yang selalu hidup dan aktual untuk iman, dan dapat menjadi jawaban yang
memuaskan bagi kebutuhan-kebutuhan dan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi

6
W. Kaspers, Gesu’ il Cristo (Brescia: Paulis Press, 1977), p. 18

6
manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang antropologis menuntut akarnya dalam Kristus dan
problem tentang arti menjadi juga problem soteriologis dan kristologis. Demikianpun
hermeneutik tentang relevansi menjadi berkaitan erat dengan problem hermeneutik
tentang asal. Dan menjadi urgensi dari fondamen historis bukan lagi menjadi kecemasan
dokumentaristik, tetapi tuntutan atau desakan soal masuk akalnya ARTI dan fakta
historis, agar bisa diterima arti otentiknya.7

Illuminisme dengan tuntutan “kritisnya” telah mengarah ke eliminasi


(pelenyapan) dari ARTI dari sejarah Yesus yang khusus itu, karena adanya rasio
universal sebagai hakim. Keunikan dari figur historis Yesus, dan normativitas
pewartaanNya mengakibatkan kompromi. Bagaimana satu fakta yang khusus dari
Yesus, yang ada dalam ruang dan waktu itu, bisa menjadi universal, untuk semua dan
berlaku untuk selama-lamanya. Kalau fakta Yesus itu tidak menjadi universal, maka
akan menyangkal nilai soteriologis dari personaNya. Dan terhadap pandangan dari
illuminisme yang menggunakan rasio-kritik, E. Schillebeeckx katakan: bahwa
keselamatan universal sebagai akibat dari satu kekhususan historis mediatris itu adalah
a-historis dan a-kritik. Manusia tak dapat dipuaskan begitu gampang dengan presposisi
tertentu yang rasionalistik. Ada banyak yang menolak presuposisi-presuposisi dari
illuminisme itu. Karena itu hubungan dengan illuminisme telah putus.8

Namun problem yang ditimbulkan oleh illuminisme masih tinggal dan hidup
dalam bermacam-macam aliran pemikiran hingga kini. Akan tetapi di pihak lain,
illuminisme juga mengundang dan mendorong kita untuk berefleksi atas kristologi
yang kita punyai, untuk menjawabi soal-soal yang ada. Yang penting diperhatikan
dalam refleksi itu adalah bahwa kristologi harus menemukan dasarnya dalam sejarah
Yesus dari Nazaret. Sejarah di sini maksudnya sejarah yang berhubungan secara
dialektis dengan iman, satu sejarah yang terbuka kepada arti transenden, yang tak dapat
dipecahkan dengan akal budi dan ilmu. Dengan adanya illuminisme maka perlu
penyusunan kembali satu kristologi yang bersifat naratip, dalam arti yang berceritera
tentang fakta-fakta yang mengerikan dan menstabilisir bawaan historisnya untuk iman.
Sejarah Yesus dan iman perlu dikaitkan secara erat demi memahami wajah yang benar
dari Yesus Kristus. Kristologi kini harus menyatukan sejarah dan iman, dan bukan lagi
seperti dulu yang mempertentangkannya. Dan untuk itu perlu satu konsep baru tentang
sejarah yang dilihat sebagai tanda pembebasan dan bukannya tanda kebutuhan.

Orang kini mulai mengenalinya lewat sejarah Yesus. Marxisme ortodoks betul
menyangkal eksistensi historis dari Yesus. Sangat sering ditekankan Yesus manusia,
Yesus dari Nazaret dalam keadaan murninya, dan lalu menanggalkan atribut-atribut
mulia dan luhurNya, yang diimani Gereja, seperti: Yesus adalah Kristus, Putera Allah,
Persona yang unik yang dalamnya dipersatukan kodrat manusiawi dan Ilahi,
sebagaimana dikatakan oleh Katekismus Untuk Orang Muda9. Dalam pembicaraan-
pembicaraan sosial, dalam lingkungan-lingkungan tertentu bahkan dalam dunia
perfilman, kesenian dan musik di tahun-tahun terakhir ini, Yesus menjadi perhatian.
Terdapat minat terhadap figur Yesus. Kadang-kadang aspek-aspek dari Yesus begitu
ditekankan secara parsial dan fragmentaris, tetapi tetap menyatuhkan Yesus Kristus
sebagai yang betul manusia dan betul Putera Allah. Yang kurang dalam pendekatan
terhadap Yesus, mungkin hanya dalam metode akurat dalam hubungan dengan
penggunaan bacaan-bacaan sebagai sumber. Banyak kali yang terlihat hanyalah sejarah
konkrit Yesus, atau bagian-bagian tertentu Kitab Suci, tanpa menaruh perhatian pada
7
Ibid., pp.19-20; bdk.M.Bordoni, Gesu’ di Nazaret Signores e Cristo, saggio di cristologia sistematica I,
problem di metodo (Roma: Paulist Press, 1982), pp. 11-12
8
E. Schillebeeckx, Gesu’, la storia di un vivente (Brescia: Paulits Press, 1976), p. 631
9
Bdk. Non di solo pane. Catechismo dei giovani (Roma: Paulist Press, 1979), p.38

7
nilai religiusnya. Coba kita ingat akan satu film misalnya tentang godaan. Dalam
hubungan dengan banyaknya minat ini, kita tak cukup hanya bergembira karena adanya
minat, tetapi perlu menampakkan tampang yang benar dan otentik dari Yesus Kristus
itu. Lalu manakah gambaran yang benar tentang Tuhan Yesus kini?

Yesus dari Nazaret dilihat sebagai misteri yang tak terputuskan dan
terpecahkan. Dan kita perlu menerangkan kesenggangan yang ada dalam teologi,
spiritualitas, katekese, liturgi dan semua pengetahuan sakral lainnya dalam pengetrapan
secara berkelanjutan misteri ini. Dan dalam menerangkan misteri ini setiap ahli coba
memberikan gambaran tentang Yesus.

Franco Ardusso, mengemukakan 4 gambaran tentang Yesus yaitu gambaran


yang ibranis, gambaran sebagai illuminist awam, gambaran marxist, dan gambaran
anti-borjuis, yang semunya melihat Yesus sebagai contoh sempurna bagi manusia lain,
dan wartaNya adalah aturan moral, pedoman tingkah laku manusia. Ia adalah guru
moral yang mempraktekkan apa yang ia ajarkan. Tetapi apakah ini gambaran yang
benar?10

Angelo Amato, lebih skematis mengemukakan 3 pra-pengertian akan figur


Yesus:
- Pra - pengertian yang humanistik tentang Kristus (termasuk dalamnya interpretasi
yang ateis umumnya (Feurbach, Marx, Freud, Nietzsche).
- Pra – pengertian yang religius, dengan pandangan khusus seperti orang-orang
Yahudi masa Yesus.
- Dan pra – pengertian yang kristiani, menurut model ortodoks, protestan dan katolik.
Gambaran dari A. Amato ini menimbulkan anggapan bahwa hanya dalam teologi kristen
saja Yesus Kristus diterima sebagai keselamatan satu-satunya, dan definitif bagi
manusia dan kosmos. Memang benar tak ada gambaran yang dapat menjelaskan ARTI
figur Yesus secara tepat, dan itu tak mungkin tanpa kriteri normatip dari IMAN Gereja
yang ditunjukkan atas dasar mana bisa dibicarakan tentang Yesus dimana dihargai
sekaligus sejarah dan iman. 11

(c). Iman akan Yesus Kristus sebagai prasyarat sebuah kristologi.

Kristologi adalah refleksi sistematis atas Yesus Kristus, tokoh dan pokok iman
kristen. Ia bukan sekedar pengetahuan. Pengetahuan menjawab pertanyaan “apa” dan
berusaha untuk mengerti suatu objek. Ia bertanya tentang ‘sebab’ dari satu fenomen dan
artinya lalu menafsirnya serta mengklasifisir. Misalnya, meneliti hidup Yesus,
ajaranNya dll... untuk mengerti Yesus dalam konteks dunianya lalu menafsir karya dan
pengaruhnya untuk dunia. Namun kristologi sebenarnya adalah refleksi atas Yesus
Kristus berdasarkan iman dan dengan tujuan untuk mendalami dan mengembangkan
serta menguatkan iman. Sebagai buah dari refleksi iman ia berbeda dengan
pengetahuan. Kategori pengetahuan tidak cocok untuk kristologi karena Yesus Kristus
datang dan mengajar dengan penuh wibawa, yang meskipun telah tinggal bersama Dia
dan beriman kepadaNya, orang masih terus bertanya “siapakah orang ini?”. Pertanyaan
ini akan terus mendorong dan menggugah orang untuk merenung, menggali dan
mencari agar iman semakin sesuai dengan konteks kehidupan. Pertanyaan ini pula yang
harus digeluti orang kristen sepanjang masa. Yesus Kristus adalah satu-satunya yang di
dalam dan melaluyi Dia Kerajaan Allah diwartakan dan ditegakkan. Melalui Dia Allah
berbicara secara langsung dan penuh kepada manusia. Jawaban terhadap pertanyaan
10
F. ardusso, Gesu’ di Nazaret Figlio di Dio (Torino: Paulist Press, 1980), pp. 15-30
11
A. Amato, “La figura di Gesu’ Cristo nella cultura contemporanea’, dlm Annunciare Cristo ai giovani
(Roma: LAS, 1980), pp. 19-77

8
“siapakah orang ini?” melahirkan kristologi dan mendalami serta menguatkan iman
orang sebagaimana dialami oleh para rasul. Karena kristologi itu berpusat pada Yesus
Kristus maka refleksi-refleksi atasNya harus membawa orang untuk semakin dekat
dengan SabdaNya, perbuatanNya dan pribadi Yesus Kristus itu. Oleh karena itu, penting
sekali Kitab Suci menjadi sumber dan acuan dari setiap refleksi tentang Yesus Kristus.
Lepas dari Kitab Suci akan membawa orang kepada subjektivisme dan relativisme. Di
dalam kristologi yang benar, selain faktor iman, juga faktor rahmat penting. Aktus iman
membawa orang kepada keakraban dengan Yesus Kristus dan rahmat membuat orag
semakin dekat dengan keselamatan; sehingga kristologi yang benar itu selalu bersifat
soteriologis.

(d). Kebutuhan akan kristologi sistematis

Kristologi sekarang ini sudah berkembang ke sistem yang begitu kompleks dan
seringkali diungkapkan dengan kata-kata dan peryataan yag abstrak dan dengan sedikit
sekali refleksi biblis dan relevansinya untuk manusia zaman ini. Ada banyak pendekatan
yang dipakai dalam refleksi atas Yesus Kristus (pendekatan politis, antropologis,
teologis). Bila Yesus Kristus direfleksikan dengan menggunakan metode historis kritis
maka akan lahir pengetahuan tentang Yesus historis. Namun kristologi yang benar harus
bertolak dari iman dan pengakuan bahwa Yesus adalah Kristus (Kis 2:36) yang
untuknya tidak ada penelitian ilmiah kristis. Penelitian ilmiah akan membuahkan
banyakj perdebatan ilmiah dan problematik iman sebagaimana telah terjadi di abad-
abad lalu. Boleh ada problematik namun problematik tak boleh membuat orang
mengkhianati atau menyangkal Yesus Kristus.

Kita hidup dalam masyarakat yang plural dan terbuka terhadap bermacam-macam
ideologi. Dalam konteks ini, kebenaran dan artyi Yesus Kristus harus dicari dan
ditemukan oleh setiap orang kristen. Pluralisme harus bisa diterima namun menghadapi
pluralisme itu kita tak boleh memaksakan satu keharmonisan supervisial. Kristologi
harus dibiarkan terbuka agar Yesus Kristuis yag kaya dan agung tetap diakui sebagai
Tuhan dan Penyelamat.

(e). Yesus historis sebagai fundamen kristologi.

Untuk kita masa kini, perlu sekali menekankan kembali sentralitas dari
peristiwa Yesus, seperti yang dibicarakan dalam sejarah keselamatan dan dalam sejarah
hidup Yesus di Israel. Sejarah tersebut adalah kejadian unik, yang terpenuhi satu kali
untuk selama-lamanya dan untuk semua manusia. Peristiwa Yesus yang dikemukakan
sebagai kejadian historis, menguatkan sentralitas dari kategori sejarah dan yang tetap
dari yang sama itu. Kristologi dari kaum kristen – yahudi dan juga kaum gnostik,
menyangkal sejarah otentik dari peristiwa Yesus itu. Dan kita coba membuat
penyelidikan mengenai dimensi historisitas ini bertolak dari sumber-sumber yang ada.

 Memikirkan iman sebagai satu peristiwa historis bukan berarti membuat satu reduksi
historistik. Karena sejarah iman kristen itu, bukan sekedar rangkaian peristiwa-
peristiwa yang silih berganti, tetapi merupakan satu peristiwa yang punya arti yang
lebih fundamental. Ia bertolak dari kebebasan manusia, yang melihat ke masa lalu,
menentukan kekinian dan menuju kemasa datang. Manusia adalah esse yang terbuka
kepada hal-hal yang baru.12
Konsili Vatikan II, lewat konstitusi Dei Verbum, membuka satu cakrawala baru
tentang bagaimana memahami relevansi baru Allah dalam sejarah manusia; bahwa
sejarah Yesus itu bukan lagi yang tak ada hubungan dengan teologi, tapi sejarah itu
12
W. Kaspers, Fede e storia (Brescia: Paulist Press, 1970), p.54

9
diangkat menjadi tema penting untuk menjelaskan misteri kristiani; bahwa bukan
saja Allah merevelasikan diri dalam sejarah lewat tanda-tanda dan lewat sabdaNya,
tetapi merevelasikan diri secara konkrit dalam sejarah, dalam diri Yesus Kristus.
(DV 4).

E.Cattaneo mengatakan bahwa: dengan ini Revelasi bukan lagi tidak berbeda
dari sejarah tetapi dihidupkan dan dibawa ke depan oleh sejarah yang sama.
Kejadian-kejadian itu (Yesus Kristus, Pewartaan dan KaryaNya) menjadi revelator.
Karena itu revelasi yang pertama-tama adalah autokomunikasi Allah kepada
manusia, tersusun secara tak terpisahkan antara perkataan dan karya, yang mencapai
kulminasinya dalam diri Yesus Kristus, dalam hidup, pewartaan, wafat dan
kebangkitanNya. Karena itu konsili menggunakan termin-termin yang berhubungan
dengan revelasi dan keselamatan, seperti: Historiasalutis, praeparatio, plenitudo,
eschatologicus, oeconomia salutis, mysterium Christi, dan lain-lain.13

 Sejarah tentang “Peristiwa Yesus”.

Fase-fase yang telah menghantar kepada penemuan kembali arti dari peristiwa
Yesus sebagai fundamen kristologi oleh beberapa ahli dijelaskan sebagai berikut.
F. Lambiasi, dalam berbicara tentang sejarah peristiwa Yesus, membedakan 3 periode:
+ Periode: No untuk Kristus dan Ya untuk Yesus.
+ Periode: No untuk Yesus dan Ya untuk Kristus
+ Dan periode: Ya untuk Yesus yang adalah Kristus.14

Semuanya dimulai dengan penyelidikan historis kritis, sejak timbulnya kebudayaan


rasionalis dan illuminis. Penolakan setiap tradisi dan interpretasi dogmatis tentang
Kristus, menguatkan penekanan yang kuat akan sejarah otentik Yesus. No untuk Kristus
dan Ya untuk Yesus dengan menekankan tipik Yesus, essere kenabian eskatoligisNya,
ide-ide moralNya sambil menjauhkan ide keputeraan ilahiNya. Tekanan ini kemudian
berakhir dengan munculnya fase baru yang sangat menekankan iman dari komunitas
kristen atas Kristus, dan lalu melalaikan Yesus historis.

R. Fabris mengangkat gambaran tentang Yesus kaum illuminist menuju Yesus


dari teologi liberal, dari sejarah agama-agama sampai kepada perdebatan tentang Yesus
historis abad XX sekitar sekolah Bultmann dan post Bultmann.15

Seperti telah dikatakan di atas, kritik kristologis sudah mulai sejak Reimarus,
yang melawan ajaran tentang Yesus, sambil membeda-beda Yesus historis dengan
Kristus dalam dogma. Strauss dengan bukunya tentang ‘Hidup Yesus’ mengikuti pikiran
romantik dan Reimarus sambil mengisolir ‘inti historis’ dan maju kepada Yesus dari
Nazaret beserta interpretasi mitis sekitarNya, yang mana telah membuat Yesus sebagai
satu prototipe manusia ideal, fundamen dari sebuah agama kemanusiaan. Dan Teologi
Liberal (abab 19) coba menyempurnakan lagi tendensi ini dengan menguatkan inti
historis dari Yesus. Kata kuncinya adalah ‘dari Kristus biblis kepada Yesus historis’.
Namun penjelasan-penjelasan dari teologi ini menjadi terlalu rasionalis, dan terlalu
memisahkan antara ‘pengetahuan tentang roh’ dengan ‘pengetahuan tentang natura’,
sambil memikirkan bahwa Kristus itu bukanlah Dia yang pernah ada dalam sejarah
tetapi adalah hasil ciptaan atau dugaan dari teologi liberal yang di dukung oleh
rasionalisme atau subjektivisme dari filsafat modern.
13
E. Cattaneo, “La categoria storia nel Vat. II” dlm Concilio Venti anni dopo I (Roma: Paulist Press,
1985), p. 30
14
F. Lambiasi, Gesu’ di Nazaret, una verifica storica (Cassale Monteferrato, 1983), pp. 18-25
15
R. Fabris, Gesu’ di Nazaret. Storia e interpretazione (Asisi: 1979), p.5

10
Salah satu tokoh yang mewakili Teologi Liberal ini adalah A. Schweitzer.
Pada akhir dari karyanya mengenai sejarah penyelidikan hidup Yesus, ia katakan bahwa
menarik sekali untuk melihat dimana ajal dari ‘Leben Jesu Forschung’. Ada kerinduan
untuk menemukan Yesus dalam sejarah, dengan maksud membawa ide Yesus sebagai
guru dan keselamatan kita ke dalam zaman kita kini. Dan yang ditemukan adalah
gambaran Yesus yang selalu bergerak yang tidak tinggal tetap dimasa lalu tetapi
melampaui masa kita.16

Kritik: Teologi liberal ini memahami sejarah dengan cara yang terlalu
positivistis dan naturalistis. Ia membentuk kembali fakta-fakta tetapi menanggalkan arti
imannya. Teologi ini mengemukakan satu ajaran yang secara absolut tertutup hanya
pada maksud, dan tak memikirkan akibat serta menganggap iman sebagai faktor
subjektip tanpa hubungan dengan kenyataan historis objektip; Yesus dalam kerygma
ditinggalkan dan lari ke Yesus historis hasil bentukan rasio.17

Teologi Kerygmatik melihatnya secara lain. Teologi ini dimulai oleh M.


Kaehler dengan tesisnya: ‘kita tak dapat mengetahui apa-apa tentang Kristus
berdasarkan materi yang ada. Adalah lebih baik menemukan Yesus dalam kerygma,
yakni Yesus yang diwartakan oleh komunitas primitif’. Bagi Kaehler Kristus yang riil
dan historis adalah Kristus biblis yang dipercayai oleh kita semua. Dan imanlah yang
dapat berbicara kepada kita tentang Kristus ini.

Bultmann meradikalisir pemikiran Kaehler. Dalam pemikiran Bultmann


hadir dua prospek:
* Berasal dari Kahler: yang membuat realitas iman menjadi betul-betul historis lewat
dihubungkannya dimensi kerygma dengan sejarah bentuk (formgeschichte). Dan
lebih lagi ia katakan bahwa penyelidikan tentang injil-injil harus dihubungkan
dengan data-data kerygma. Dan tentang Yesus Historis kita tak tahu apa-apa.
Bultmann dengan ini mengikat diri dengan teologi kerygmatik.
* Revelasi menurut Bultmann, memiliki nilai ‘aktualitas’ dan “pewartaan” tak berbicara
tentang revalasi, tetapi sendiri menjadi Revelasi untuk saya kini. Karena itu yang
lebih menjadi perhatian kita ialah pewartaan tentang Kristus dan bukannya sejarah
Yesus. Pewartaan tentang Kristus itu tak punya arti dalam diri sendiri, tapi punya arti
bila ia punya nilai untuk saya kini. Karena kekinian adalah saat keselamatan dan
pertobatan.
Menurut teolog dari Marburg, peristiwa Kristus bukanlah fakta historis, tetapi
mempunyai satu arti / maksud yang hidup untuk kita kini. Dan karygmalah yang
memberikan arti kepada fakta Kristus itu, dengan membuatnya menjadi satu
peristiwa.18

Menurut Bultmann, ketakmungkinan mengetahui Yesus historis disebabkan


oleh dua hal:
(a). Ketakmungkinan fakta : bahwa dilihat dari segi bentuk di dalam injil terdapat
ceritera-ceritera yang saling bertentangan, yang kemudian diselaraskan oleh komunitas
beriman yang pertama. Karena itu kita tak dapat lagi menemukan hal-hal yang betul-
betul dibuat atau dikatakan oleh Yesus sendiri.
(b).Ketakmungkinan hak: mencari Yesus historis dapat mengarah kepada suatu figur
yang diobjektifkan, yakni Yesus pra kristen satu persona Yahudi, Yesus duniawi, dan
bukannya satu persona yang menyelamatkan, dalam situasi kita sekarang. Keselamatan
16
A. Schweitzer, Geschichte der Leben Jesu Forschung (Tubingen: 1951), p. 631
17
M. Bordoni, op.cit., p.39
18
Nicola Ciola, Introduzione alla cristologia (Brescia: 1986), p. 26

11
lalu tak dihubungkan dengan ‘injil Kristus’ (Evangelium Christi) tetapi dengan injil
tentang Kristus (evanglium de Christo). Menurut Bultmann sejarah iman itu bermuara
dalam sejarah yang direalisir kini, dalam pewartaan kerygma kristologis dan dalam
keputusan iman seseorang yang beriman.19

Kritik terhadap pemikiran ini:


- Kerygma, jalan satu-satunya untuk mengerti peristiwa Kristus, untuk Bultmann,
menjadi lebih merupakan pewartaan kabar yang menyelamatkan, dari pada
pewartaan tentang persona yang menyelamatkan. Ia berbicara tentang Yesus, tanpa
Yesus.
- Dan pikirannya tersebut Bultmann sebenarnya sedang membentuk satu doketisme
kerygmatik. Kristianismo menjadi pewartaan akan arti, yang menemukan tiang
penopangnya dalam diri subyek beriman itu.
- Bultmann kelihatan terpenjara oleh mentalitas ilumini dan kaum liberal yang telah
memisahkan antara sejarah (storia) dan historisitas, antara sejarah dan iman, antara
subyek dan obyek.20
- Disini bisa dilihat bahwa orang beriman dan komunitas dijelaskan secara mandiri,
dan dialog relevasi dilenyapkan lewat autointerpretasi. Dan akibat lebih jauh dari
pikiran ini ilalah munculnya pikiran-pikiran yang melihat kristologi sebagai
antropologia, seperti terlihat dalam H. Braun. 21

Bagaimana dengan teologi post-Bultmann (kembali ke Yesus historis). Sesudah


Bultmann muncul satu aspek baru, yang dimulai oleh Ernst Kaesemann dan murid-
murid Bultmann. Kaesemann menulis bahwa seluruh PB menguatkan bahwa sebelum
Paskah murid-murid tidak mengenal Yesus sebagai satu ‘esse’ ilahi. Mereka melihat
Yesus semata-mata manusia. Kristus yang diwartakan sesudah Paskah sebenarnya
adalah lanjutan dari apa yang disebut Yesus historis itu, yang tanpanya iman dan warta
itu tak punya arti.22

Dari ini bisa dilihat bahwa Kaesemann menekankan iman Paskah akan Kristus,
sebagaimana diwariskan Gereja para rasul; tetapi terdapat perbedaan situasi iman
sebelum dan sesudah Paskah. Perbedaan radikal dengan Bultmann terdapat dalam hal
melihat bahwa Yesus duniawi terkandung secara konstitutip dalam iman akan Kristus
Paskah, dan penyelidikan historis timbul dari iman kristologis yang sama.

Menurut Kaesemann, hidup pra-paskah Yesus memiliki satu “relevansi


teologis”nya tersendiri. Bila kita tak bisa mengerti Yesus duniawi bertolak dari paskah
maka kita juga tak bisa mengerti Paskah itu sendiri bila kita berabstraksi dari Yesus
duniawi.

Karena itu iman paskah menuntut dimensi essensial sejarah Yesus pra-paskah
sehingga terdapat kesatuan antara Yesus duniawi dan Kristus yang dimuliakan antara
warta Yesus dan warta Gereja. Maka ‘mengingat’ Yesus bukan berarti bukanlah satu
godaan kea rah historisisme, satu nostalgia ke masa lalu, tetapi satu kebutuhan untuk
menjamin otentisitas iman. Tanpa kembali ke masa lampau sebagai dasar maka
kristologi akan menjadi satu eklesiologi murni, atau satu pneumatologi yang sederhana
atau bahkan satu antropologi murni. Dan Yesus dalam sejarah lalu menjadi kesulitan

19
R. Latourelle, A Gesu’attraverso I vangeli.Storia ermeneutica (Asisi: 1979), p.p. 39-46
20
P. Grech, Gesu’ storico e ermeneutica esistenziale (Roma: 1973), pp.68-86
21
H. Braun, Gesammelte Studien zum Neuen Testament und seine Umwelt (Tuebingen, 1971),p. 272
22
Bdk. M. Bordoni, op.cit., p.45

12
untuk Kristus yang diwartakan sebagai mitos. Minat kepada Yesus itu melindungi orang
dari serangan subjektivisme.23

Kritik: disini bisa dilihat bahwa sejarah dipandang sebagai dimensi intrinsik
dari kerygma. Penyelidikan post Bultmann selalu bertolak dari kerygma dan tinggal
didalamnya. Dan karena itu kita memiliki satu ‘kesatuan yang dibedakan’ antara ceritera
tentang Yesus dan pewartaanNya sendiri antara Yesus duniawi dengan Yesus dalam
kerygma, yang tak terpisahkan. Yang termasuk murid-murid atau yang searah dengan
Bultmann antara lain: Ebeling, Fuchs, Bornkamm atau Jeremias, yang selalu
persoalannya berkisar pada Yesus historis. (dalam iklim ini muncul perbedaan antara
kristologi implisit dan kristologi eksplisit). Tokoh-tokoh post Bultmann tekankan bahwa
kristologi eksplisit didasarkan pada yang historis itu, yang historis menjadi dimensi
konstitutipnya. Ebeling katakan bahwa dalam problem Yesus historis ditemukan kunci
hermeneutik untuk membuat kristologi. Berbeda dengan Bultmann katakan bahwa
persona tak penting, Ebeling tekankan bahwa persona itu justru menjadi dasar dan
legitimasi dari kerygma. Karena menurut dia dalam kristologi orang tak bisa tekankan
Yesus tanpa berdasarkan Yesus historis. Kerygma kini membutuhkan Yesus sebagai
saksi otentik dari iman. 24

Bagaimana Teologi Katolik tentang Yesus historis menanggapi pikiran-pikiran


tersebut di atas? Pannenberg dan Moltmann melihat kebangkitan Yesus bukan hanya
sebagai bangkitnya Yesus duniawi tetapi juga revelasi proletis yang memenuhi masa
lalu dan mengantisipasi ke masa depan (eschaton).
Dan terhadap pikiran-pikiran di atas teologi katolik, bertolak dari Dei Verbum,
memberikan tanggapan sebagai berikut:
- Gereja katolik menerima yang baik dari metode ‘formgeschichte’ tetapi menolak
dugaan-dugaan subjektifnya.
- Mempertahankan historisitas injil-injil tetapi bukan dalam arti merekonstruksi satu
biografi Yesus melainkan dengan kriteri-kriteri tentang historisitas melihat injil
sebagai sejarah iman.
- Exegese dan teologi katolik membuat studi tentang hubungan timbal balik antara
kesatuan literaris yang berbeda-beda dengan situasi konkrit dari kehidupan
komunitas kristen primitif.
- Perlu dipegang teguh karya sempurna dan asli dari para penginjil
(redaktiongeschichte).
- Menolak desakan Formgeschichte dan redaktiongeschichte tentang peranan
pengarang dalam komunitas primitif: Komunitas tak membuat apa-apa, pada asal
imannya hanya ada figur historis Yesus dari nazaret.25

Bila teologi protestan telah tinggalkan alamat fideistik dan dibuka kepada
kemungkinan dan kepada nilai dari penyelidikan, maka teologi katolik telah mengatasi
alamat historistik dari apologetika klasik; tak lagi melihat injil-injil sebagai biografi
dalam arti modern, tapi pertama-tama sebagai kesaksian iman. Baik katolik maupun
protestan mempertahankan kontinuitas antara sejarah sebelum dan sesudah Paskah; dan
dalam pewartaan penginjil, kita temukan sejarah otentik Yesus.26

Bab 1. PROBLEMATIKA

23
R. Latourelle, op.cit., p. 57
24
Ibid., p. 79
25
Ibid., p.43-90
26
F. Lambiasi, op.cit., p.24

13
1.1. ADANYA BANYAK GELAR YESUS.

Baik Kitab Suci maupun buku-buku yang berbicara tentang Yesus Kristus
menggunakan begitu banyak sapaan untuk pribadi yang satu dan sama ini. Adanya
begitu banyak sapaan dapat membawa orang juga kepada kebingungan ataupun
kekurang percayaan.

1.1.1. Sebab adanya bermacam-macam gelar.

Di dalam Kitab suci terdapat suatu pengakuan iman yang mengatakan bahwa
Yesus Kristus itu tetap sama, baik dulu, hari ini dan selama-lamanya (bdk. Ibr 13:8).
Dari ungkapan ini bisa diduga konteks dari pada pengakuan iman pada waktu itu;
bahwa pada saat itu terdapat suatu krisis yang mempersoalkan siapa Yesus Kristus itu;
mungkin ada yang melihat Yesus itu lain……. sehingga keluar penegasan bahwa Ia itu
sama.

Dalam perjalanan iman kristen, terdapat bermacam-macam gelar yang diberikan


untuk Yesus. Tak terhitung banyaknya, jawaban dari pada Yesus sendiri bila kepada
mereka ditanyakan: siapa itu Yesus. Bukan saja dalam PB terdapat banyak nama, tetapi
dari abad ke abad timbul banyak nama dan gelar. Pada umumnya nama dan gelar Yesus
itu memusatkan perhatian pada salah satu segi dari kepribadian Yesus Kristus,
sedangkan keutamaan-keutamaan lainnya tidak disangkal tapi tidak dikemukakan.

Terdapatnya macam-macam gelar dan nama itu antara lain disebabkan oleh:
(a). Perkembangan pemikiran manusia. Perkembangan pemikiran mengakibatkan juga
perubahan pandangan-pandangan terhadap Yesus Kristus. Dan perubahan atau
perkembangan pemikiran ini telah ditunjukan dalam sejarah kristologi. Sejak awal,
sudah terdapat banyak gelar untuk Yesus: Nabi, Guru, Rabi, Imam, Mesias, Anak
manusia, Anak Domba Allah, Tuhan, Anak Allah dan lain-lain …….. Gelar-gelar tadi
dipakai pada tempat-tempat dan waktu yang berbeda-beda, karena adanya pendekatan
yang berbeda. Ada gelar-gelar yang dipakai secara amat konkrit dan manusiawi seperti:
Rabi, Anak manusia, Imam : tetapi ada juga gelar-gelar yang sangat abstrak seperti:
Firman Allah, Gambar Allah dll……. Dan ini sudah ada dalam PB. Dari ini dapat dilihat
bahwa Yesus Kristus dalam pemikiran Kristen dan lebih lagi yang bukan kristen tidak
sama kemarin, hari ini, dan sampai selama lamanya (pribadinya sama tetapi gelar
berbeda menurut tuntutan situasi dan kondisi). Dan justru di sinilah muncul
“kristologi” logos mengenai Kristus, pemikiran tentang Yesus Kristus sasaran iman
kepercayaan kristen; bagaimana orang kristen memikirkan kedudukan dan peranan
Yesus Kristus dalam tata penyelamatan itu.

(b). Kepribadian Yesus Kristus itu sendiri sangat luhur dan sempurna, sehingga tak
dapat diungkapkan hanya dengan satu nama saja. Dalam Dialah berdiam secara
jasmaniah seluruh kepenuhan keallahan (Kol. 2), di satu pihak satu kepribadian Yesus
itu sangat kaya, dipihak lain otak dan jiwa manusia sangat terbatas, sehingga tak
sanggup melukiskan Yesus dengan satu ungkapan yang tepat untuk semua situasi dan
keadaan. Maka digunakan banyak nama dan gelar.

( c ). Perhatian dan minat manusia berubah terus, sesuai dengan perkembangan umur,
lingkungan sosio-budaya, situasi politik dan zamannya. Sudah selama 2000 tahun,
orang kristen berusaha mengkonseptualkan dan membahasakan Yesus Kristus itu. Yesus
Kristus yang satu dan sama itu harus diwartakan seluruh dunia, sampai selamanya.

14
Setiap tempat, setiap lingkungan dan setiap zaman mempunyai daya tarik serta
perhatian/minatnya sendiri, yang berbeda dengan tempat dan lingkungan lain. Karena
itu Yesus Kristus juga dibahasakan dengan cara yang berbeda satu dari yang lain, agar
pewartaan itu kena dan Yesus Kristus bisa diterima orang dalam situasi dan kondisinya.

(d). Tidak semuanya sudah menjadi jelas sejak semula, tidak segala segi dan aspek dari
Yesus Kristus itu telah tersingkat. Karena itu dalam pewartaan dan dalam
membahasakan Yesus Kristus kepada umat, si pewarta menemukan segi-segi atau
aspek-aspek yang pada mulanya tidak lihat dan disadari oleh orang-orang yang lebih
dulu. Dan situasi dimana umat itu hidup, bisa mendorong si pewarta untuk melihat hal-
hal baru dalam Yesus Kristus. Dan karena itu soal yang digumuli adalah soal relevansi,
arti Yesus Kristus itu untuk manusia pada masa dan tempat tertentu. Yesus Kristus
hanya bermakna dan berfungsi bagi manusia bila ia menentukan eksistensi atau menjadi
pendorong, perangsang dan sebagainya. Melihat hal terakhir ini dapat dimengerti
pendapat teolog yang mengatakan bahwa kristologi tak dapat dipisahkan dari
soteriologi.

1.1.2. Gelar-gelar yang diberikan kepada Yesus.

Tentang Yesus Kristus itu telah dituliskan ribuan buku, selama 20 abad ini. Tiap
orang coba memberikan satu sumbangan berarti kepada manusia pada masa tertentu,
pada lingkungan tertentu. Tetapi atas dasar apa dan bertolak dari mana pengarang itu
menulis. Tak lain berdasarkan pengetahuan pengalaman mereka tentang Yesus Kristus
itu. Dan pengetahuan datang dari pengalaman hidup bersama Yesus murid-muridnya,
sebagaimana penulis-penulis KS-PB, atau dari KS PB yang diwariskan untuk umat
Kristen kemudian. Di luar lingkungan hampir tak ditemukan berita-berita tentang
Yesus Kristus.

Jelas bahwa tampilnya tokoh ini tak terlalu menghebohkan manusia-manusia


pada masaNya. Dan karena itu tak satupun karangan-karangan yang mau memberikan
laporan historisitas Yesus, orang Nazaret itu. Semua pengarang KS-PB mau
memberikan suatu kesaksian iman kepercayaan orang kristen awal, kepada Yesus
Kristus KS-PB tak memberitakan tentang apa yang diamati, melainkan apa yang
diimani orang kristen itu (40-100 AD). Dengan mengumpulkan karena itu menjadi KS
umat kristen mengakui kesaksian itu; dan karangan-karangan itu menjadi kesaksian
yang benar-benar tentang sasaran iman kepercayaan umat itu. Namun berdasarkan
kesaksian iman itu, orang toh masih bisa secara umum melihat: siapakah Yesus itu,
sebagaimana dapat diamati orang-orang pada masaNya. Hasil hipotese mereka adalah
kira-kira sebagai berikut.

Orang Yahudi yang bernama Yesus itu berasal dari sebuah desa, bernama
Nazaret (Kis 10:37), di daerah Palestina yang bernama Galilea (Mrk 1:9), suatu daerah
Yahudi tetapi dengan cukup banyak penduduk yang bukan berbangsa dan bukan
beragama Yahudi (Mrk 4:15). Di Nazaret itu rupanya menjadi tukang kayu, mengikuti
ayahNya (bdk. Mrk 6:3). Karena itu ia berasal dari lapisan rendah masyarakat, dan
tentu mengikuti pendidikan sebagimana lazimnya bagi anak-anak Yahudi. Oleh
pendidikan itu Yesus bisa membaca dan menulis (ini penting untuk memahami KS). Ia
tentu tahu cukup tentang isi Alkitab dan tradisi agama Yahudi, meskipun ia bukan ahli
Alkitab atau ahli tradisi (bdk. Yoh 7:15). Rupanya ia juga tahu sedikit bahasa Yunani,
sebab dimasa itu bahasa Yunani menjadi bahasa kedua, dan Galilea terdapat juga
banyak orang-orang Yunani.

15
Ketika berusia ± 30 tahun (LK 3:23), Ia mulai tampil ke depan umum,
meninggalkan kampung asalnya, famili dan mata pencaharianNya tadi (Mk 3:31-35.21;
Luk 4:23). Mungkin Ia juga terpengaruh oleh tokoh lain yang di sebut Yohanes Pemandi
yang tampil di Yudea (Yoh 4:1-3), yang berkotbah tentang dekatnya saat penghakiman,
dan pentingnya tobat dan pembasuhan di sungai Yordan sebagai tanda tobat (bdk. Mrk
1:4-5; Mateus 3:7-12) ; karena itu mirip dengan Yohanes. Yesus mulai tampil dimana-
mana terutama di Galilea, dan mewartakan tentang sudah dekatnya kerajaan Allah (Mrk
1:14-15). Gagasan tentang kerajaan Allah ini adalah gagasan tradisional pada bangsa
Yahudi (bdk. Yes 52:7; Mi 2:12-13; 4:6-8; Zef 3:14-15; Za 14:16-17 ; Yes 24:23 ; dan 4:
34), istilah mana berarti Allah akan membuat kuasanya menjadi nyata di bumi bagi
umatNya dan itu menjadi keselamatan umat, asal menerima dan mengakui kuasa Allah
itu. pernyataan kuasa Allah itu diharapkan untuk masa mendatang masa akhir zaman.
Baik Yohanes maupun Yesus (Mat 4:17) memberitakan bahwa kerajaan Allah dan juga
akhir zaman sudah dekat, dan orang mesti siap mengakui dan menerimanya. Kedua-
duanya yakin bahwa situasi religius di Israel sudah buruh sekali (Luk 11:2 ; 13:1-5;
Mrk 8:12 ; 7:6) malah dari segi manusia situasi tersebut tidak ada harapan lagi. Dari
segi sosial-politis yang tak terpisah dari segi religius, bangsa Yahudi sudah lama
menjadi jajahan Roma (sejak tahun 1962 BC), dimana Roma mau ambil untung besar
dan kadang dengan menggunakan penguasa-penguasa setempat seperti Herodes Agung
di Palestina.

Berdasarkan riwayat singkat tadi bisa tarik beberapa gelar yang pernah ada
sekitar Yesus sebagaimana terdapat di dalam PB:

(a). Untuk para pengikut Yesus (orang-orang Kristen): Yesus, Anak Domba, Putera
Manusia, Tuhan, Sabda Allah, Terang Dunia, Anak Daud, Mesias, Hamba Allah
Gembala Yang baik, Penyembuh Ilahi Penyelamat, Nabi, Raja, Pengganti terang
kebenaran dan kehidupan, Roti Hidup, Jalan kebenaran dan hidup, Pohon anggur,
Pengantara, Penghibur, Kebangkitan dan Hidup, dan Hakim, Imam Agung, Terkasih-
Tunggal- Terpilih, Yang Akan Datang, Alfa, Omega-Awal, Akhir, Kepala, Citra Allah,
Yang sulung, Kurios, Kristus dst.

(b). Musuh-musuh Yesus: Mereka menuduh Yesus dengan macam-macam dan ungkapan
fitnahan seperti: Ia kerasukan setan, sahabat orang berdosa, penipu, penghojat Allah,
dsb-nya.

(c). Orang-orang Yahudi/Israel yang mengagumi Yesus meski tidak masuk menjadi
Kristen, mengungkapkan kekaguman mereka dengan ungkapan-ungkapan seperti:
Semua perbuatannya baik yang membuat orang tuli mendengar dan orang-orang bisu
bertutur (Mk. 7,37). Mereka juga mengakui Yesus sebagai nabi, Elia, Yeremia, (Mt.
16.13 ; 21,11). Bahkan orang Israel kemudian (50 tahun terakhir ini), sebagaimana
nampak dalam tulisan Schalom Ben Chorim, melihat Yesus sebagai: saudara, bukan
saja saudara sebagai seorang manusia tetapi saudara sebagai seorang Yahudi; tangannya
yang berlaku bukan tangan Mesias, bukan juga tangan Allah melainkan tangan seorang
manusia. Tangan yang sama membimbing baik orang kristen maupuan orang Yahudi.

(d). Muhamad dan Islam. Umat Islam menghormati Yesus sebagai seorang Nabi besar
guru dan teladan. Mereka sebagaimana dalam Al-Qur’an melihat Yesus dan juga Maria
sebagai manusia yang suci. Ajaran mereka tentang Maria dapat menjadi dasar dialog
doktrinal yang bisa mempersatukan Kristen dan Islam. Tetapi mereka menolak Yesus
sebagai Penebus, Allah, juga menolak peristiwa Salib, penyelamatanNya dan
pengantaraNya, meski mereka memberi penghormatan besar pada Yesus.

16
(e). Orang-orang Hindu: bagi banyak orang Hindu Yesus adalah seorang Guru Besar.
Hal ini bisa dilihat dalam halnya:
- Ram Mohan Roy dipengaruhi pandangan teologi liberal dari Eropa, melihat Yesus
hanya sebagai Guru Moral (membawa ajaran moral, seperti dalam kotbahnya di
bukit). Yesus melihat sebagai tokoh sosial dan etis, yang bisa membebaskan
masyarakat India dari politeisme, dan ketegangan antara kasta-kasta, dengan
membawa moral yang tekankan persaudaraan.
- Chandra Sen dan kaum mistik Hindu yang lain, melihat Yesus sebagai guru dan
teladan dalam hal pengampunan diri (kenosis). Hal ini berdasarkan pengamatan
mereka atas ajaran St. Paulus dan Yohanes yang menekankan penghampaan diri Yesus
untuk membuka ruang bagi Allah. Mereka mengakui Yesus sebagai cermin dari Yang
Ilahi, suatu penjelmaan Allah. Raddhakrishnan (presiden India 1962-1967) yang juga
termasuk aliran mistik hindu ini, melihat Yesus sebagai model bagi kita dalam hal
penghampaan diri, pengorbanan diri, dalam cara hidupNya yang miskin, dalam
penderitaan di salib. Jadi mereka semua melihat Yesus sebagai tokoh mistik.
- Gandhi (mati 1948): sambil menggabungkan kedua ajaran di atas tadi, melihat Yesus
sebagai teladan dalam menentang kejahatan lewat menderita dan memanggul salib,
yang bukan saja sebagai protes pasif, tetapi suatu pembebasan diri dengan dunia yang
fana. Yesus menurut dia bukan tokoh yang unik, tapi salah satu dari sekian banyak
guru dan penjelmaan Allah.

1.1.3. Persoalan yang tertinggal.

Tugas murid-murid Yesus sesudah kenaikan Yesus Kristus ke surga ialah pergi
ke seluruh dunia, dan mewartakan Yesus Kristus yang mereka lihat, yang mereka alami,
dan mereka imani. Dan dalam melaksanakan tugas misi mereka itu, mereka mulai
membahasakan atau mengkonseptualkan Yesus Kristus yang mereka imani. Bisa jadi
konsep mereka itu bersifat manusiawi, tetapi perlahan-lahan mengarah kepada Allah,
atau yang ilahi. Mereka secara pribadi tentu memiliki gambaran yang seimbang tentang
Yesus Kristus. Tetapi itu bukan berarti tanpa problem. Bagaimana membahasakan Yesus
Kristus, dengan penekanan yang seimbang, dalam pewartaan mereka kepada orang-
orang yang tak pernah mengalami, suatu hidup bersama Yesus Kristus, dan orang-orang
yang mengikuti Yesus Kristus itu hidup terus, dan tetap berarti, bermakna dan relevan
untuk manusia. Tetapi untuk umat yang menerima pewartaan mereka itu, bagaimana
iman mereka akan Yesus Kristus?
- Paulus misalnya: Ia tidak pernah mengalami Yesus yang hidup di tanah Palestina. Ia
tak mengalami Yesus, sebagaimana rasul-rasul lainnya. Ia mengimani Yesus sebagai
“Anak Allah”, sebagaimana dialaminya dalam perjalanan ke Damaskus. Ia tak
melihat Yesus sebagai Orang Nazaret itu. Murid-murid memandang Yesus sebagai
Putera Allah, dan juga Putera Manusia. Tetapi Paulus? Dan Paulus bukan sendirian,
ada juga orang-orang lain yang mengalami seperti Paulus (1 Kor 15:6), yang melihat
Yesus Kristus sebagai Tuhan.
- Dari Kitab Suci, kita bisa melihat bagaimana reaksi murid-murid atau orang-orang
yang pernah mengikut Yesus Kristus dari dekat. Ternyata dalam pertemuan dengan
Yesus Kristus yang telah bangkit, mereka tidak segera mengenal Dia sebagaimana
sebelum Paskah. (Yoh 20:15; Luk 24:16). Kedua murid yang menuju Emaus, juga
tak segera kenal Yesus yang telah bangkit. Juga Yesus yang tiba-tiba masuk ke
ruangan dengan pintu-pintunya terkunci dan bertemu dengan murid-murid, tetapi
murid-murid tidak segera mengenalnya. Thomas tak percaya sebelum menyentuh
jarinya ke luka Yesus. Yesus juga bisa tiba-tiba lenyap dari hadapan mereka (Luk

17
24:31). Jadi dengan kenyataan ini, Yesus Kristus tentu juga menjadi problem bagi
mereka yang mengalaminya.
- Untuk murid-murid dan umat kristen pertama, yang mengalami Paskah, dengan
Paskah mereka menjadi yakin bahwa Allah membenarkan Yesus (1 Tim 3:16);
bahwa Yesus dulu bukan penjahat, penipu atau penghojat yang patut disalibkan.
Tetapi Ia mempunyai hubungan dengan Allah, sebab sebelum Dia tak seorang pun
dibangkitkan Allah sebagaimana Dia. Dengan pengalaman ini, murid-murid menjadi
yakin akan kebenaran pewartaan dan pemenuhan warta Yesus. Itulah mereka, lalu
sebagaimana dengan umat-umat kemudian?
- Pada mulanya orang-orang kristen awal terdiri dari orang-orang Yahudi, dan
rupanya terbanyak orang-orang Galilea (Kis 2:7; 13:31). Mereka ini berpikir dalam
kerangka agama Yahudi, sebagaimana termuat dalam Alkitab dan tradisi Yehuda.
Tetapi untuk membahasakan dan mewartakan iman mereka, mereka menggunakan
pengalaman mereka tentang Yesus Kristus baik sebelum pun sesudah Paskah
sebagai dasar. Jadi berarti, mereka menafsirkan fenomena Yesus Kristus dengan
menggunakan Alkitab, tradisi Yehuda dan pengalaman mereka sendiri dan Yesus
Kristus dan bukan cuma itu. Ada juga orang Yehuda yang hidup dalam lingkungan
kebudayaan Yunani, yang masuk menjadi murid Yesus juga (Kis 6:1-5). Berarti
unsur Yunani juga masuk dalam refleksi mereka. Dan orang-orang Yehuda yang
berbudaya Yunani inilah kemudian menjadi pewarta-pewarta iman kristen keluar
tanah Palestina (Siria, Mesir dan Afrika Utara; bdk. Kis 8:4-5; 9:10.19). Dan
pewartaan mereka itu bukan lagi terarah kepada orang-orang yang berbudaya
Yehuda, tetapi Yunani. Karena itu, di dalam refleksi iman, pengaruh Yunani menjadi
lebih kuat, bahkan menjadi unsur utama dalam pemikiran kristen.
- Ada perbedaan cukup besar antara cara berpikir Yehudi dan cara berpikir Yunani.
Kalau dalam pandangan Yahudi, yang penting bukan “adanya sesuatu”, bukan “apa
itu”, “siapa itu” tetapi apa yang dikerjakan orang itu, mana kedudukan dan
peranannya. Cara berpikir ini mempengaruhi juga pandangan mereka tentang Allah
dan tentang Yesus Kristus yang terpenting untuk mereka bukan: “Allah ada” atau
tidak, tetapi “apakah Allah hadir secara aktif” dan “bagaimana Allah itu bertindak
dan berkarya di dunia ini”. Mereka percaya juga bahwa hanya ada satu Allah, dan
Allah yang satu itu hadir dan berkarya, bertindak dalam sejarah mereka. Dan lebih
dari itu mereka melihat bahwa, Allah yang satu itu hadir, bertindak, dan aktif dalam
sejarah mereka, dalam diri Yesus Kristus. Mereka melihat Yesus Kristus itu Putera
Allah (sedangkan lihat diri sebagai Putera Manusia). Demikian pandangan umat
kristen Yahudi pertama itu. Sedangkan cara berpikir Yunani lebih bersifat statis.
Seluruh realitas dunia dilihat sebagai satu kosmos; dan kosmos itu memiliki tingkat-
tingkat: tingkat paling atas untuk yang ilahi, dan tingkat paling bawah untuk yang
manusiawi. Dan yang penting manusia harus tahu tentang kuasa-kuasa yang ada
dalam kosmos itu, agar bisa membela diri. Untuk mereka ini, yang penting: bukan
apa yang terjadi, tapi “apa atau siapa itu”, siapa itu Allah. Siapa itu Yesus Kristus?
Dengan ini, pengaruh Yunani juga masuk dalam refleksi iman umat kristen awal.
Tentu terjadi juga bentrokan-bentrokan. Semua ini nampak juga dalam tulisan-
tulisan KS-PB. Ini mengingatkan problem untuk generasi kemudian.

1.2. BEBERAPA GELAR UTAMA DENGAN LATARBELAKANGNYA

1.2.1. Dalam dunia YAHUDI.

Pribadi yang sama, Yesus Kristus, untuk masyarakat Yahudi, Kitab Suci
menggunakan tiga gelar utama.

(a). Anak Manusia

18
Gagasan mengenai Anak Allah sudah ada di dalam tradisi Yahudi dan
berpangkal pada Kitab Daniel (msl. Dan 7:13-14). Menurut tradisi tersebut anak
manusia dimengerti sebagai:
Wakil dan kuasa Allah, yang akan datang untuk menghakimi dan menyelamatkan orang
benar. Tradisi ini juga beranggapan bahwa orang-orang benar akan banyak menderita
kesusahan menjelang akhir zaman (bdk. Dan 11:33.35 ; 12:1); juga seorang nabi akan
mengalami nasib malang (bdk. Neh 9:26)
Dalam tradisi Yahudi yang lain, diluar tanah Palestina, terdapat juga gagasan mengenai
kematian orang-orang benar yang dapat membawa keselamatan bagi orang lain (4 Mak
6:28-29; 17:22)

Dengan bertolak dari pengalaman Paskah, (kebangkitan Yesus Kristus),


orang kristen Yahudi mengerti Yesus sebagai Anak Manusia. Yesus adalah Anak
Manusia yang dilantik oleh Allah. Perlu dicatat bahwa, Yesus sendiri rupanya tidak
menyamakan diri dengan Anak Manusia, tetapi didalam KS-PB, khususnya ke-4 Injil
dan Kis. Serta Wahyu, gelar tersebut dipasangkan pada mulut Yesus, sehingga seolah-
olah keluar dari mulut Yesus sendiri (lih. Mat 8:20; Mrk 8:31; Luk 6:22; Yoh 1:5; Kis
7:56; Why 1:13). Yang paling asli rupanya hanya teks-teks Mrk 8:3-8 dan Luk 12:8-9,
umat kristen Yahudi memandang tokoh yang disebut Anak Manusia itu sebagai tokoh
surgawi, wakil dan kuasa Allah yang ada untuk mengadili dan menyelamatkan orang-
orang benar, pada akhir zaman. Pandangan ini lalu diperkuat dengan pewartaan akan
dekatnya Kerajaan Allah. Kebangkitan Yesus Kristus menjadi petunjuk awal dari pada
akhir zaman, dan pemenuhan daripada Kerajaan Allah itu. Dalam hubungan dengan
pewartaan akan Kerajaan Allah ini, Yesus lalu dilihat sebagai nabi atau utusan Allah
yang terakhir, yang sudah mulai menyelesaikan semua rencana penyelamatan Allah.
Dan kebangkitan Yesus sekaligus menjadi bukti kebenaran pewartaanNya. Kebangkitan
Yesus dilihat sebagai awal kebangkitan umum (Mat 27:51-53; Kis 4:2; 26:23), dan juga
tanda mulainya awal dari pada akhir zaman. Karena itu sangat penting pewartaan akan
Kerajaan Allah agar manusia selamat.

Dengan kebangkitan, Yesus juga lalu dilihat sebagai orang benar (Luk 23:47;
Kis 3:14; 1 Ptr 3:68), utusan Allah yang terakhir (Luk 13:34; 11:4-52). Kematiannya di
salib dilihat sebagai pemenuhan perananNya. Dalam rencana Penyelamatan Allah (Kis
2:23; 3:18). Ia dibunuh oleh bangsaNya sendiri, dan kematianNya sebagai orang benar
itu membawa keselamatan untuk orang lain.

Dalam tradisi Yehudi PL. pencipta dan penyelamatan Allah juga dikaitkan
dengan hikma kebijaksanaan Allah. Hikmat kebijaksanaan Allah itu, menurut tradisi
Yahudi, telah mempersonifikasikan diri sebagai satu tokoh ilahi Ams 8; Sir 24; Bar 3),
dan Yesus Kristus adalah hikmat kebijaksanaan itu yang hadir secara konkret dalam
sejarah manusia, dan sebagai manusia akan menyelesaikan segala rencana
penyelamatan Allah (Mat 28:20).

(b). Mesias

Kata ‘mesias’ berasal dari kata ‘masyah’ yang berarti mengurapi; Mesias berarti
‘yang diurapi’ (oleh Allah). Menurut tradisi Yahudi yang cukup poluler, orang yang
diurapi itu dilihat sebagai wakil dan kuasa Allah.

Menurut tradisi Yahudi, Mesias adalah Anak Daud atau keturunan Daud (bdk.
12:23; Mrk 12:35). Ia adalah “Raja” dalam pengertian politik nasional; dan dari sudut
pandangan ini ia juga adalah penyelamat bangsa dan negara. Yesus Kristus, dengan

19
kematianNya yang tragis dilihat sebagai Mesias gadungan (karena ternyata ia bukan
Raja orang Yahudi, hanya disalibkan dengan tuduhan Raja orang Yahudi). Namun
dengan kebangkitan, pemikiran tadi berubah. Yesus Kristus bukan lagi Mesias
gadungan, tetapi Mesias sejati. Dengan kebangkita Yesus Kristus dilantik oleh Allah
menjadi Mesias, atau dalam bahasa Yunani “Kristus”, karena itu orang-orang yang
percaya kepadaNya boleh mengakuiNya sebagai Mesias dari Allah, wakil dan kuasa
Allah (Mrk 8:2; Luk 9:20; Kis 5:42).

Tetapi ide tentang Mesias yang mati di salib tak terdapat dalam tradisi Yehudi.
Namun ide ini bisa diterima, kalau orang berpikir bahwa Yesus mati karena mau
memenuhi kehendak Allah (Kis 4:28; 3:18), dan justru dengan kematiannya itu Ia
dibawa kepada kemulianNya sebagai Mesias (Luk 24:26). Dengan ini kematian Yesus
mempunyai arti positif kristologis.

(c). Anak Allah

Gelar “Anak Allah” sudah lazim digunakan dalam tradisi Yahudi. Setiap orang
yang memiliki hubungan khusus dengan Allah dapat digelari Anak Allah. Kitab
Kejadian 4:22 dan Yeremia 1, misalnya menyebutkan umat pilihan Allah yang
mempunyai hubungan khusus dengan Allah itu, Anak-anak Allah, anak sulung atau anak
terkasih. Dan Mazmur 8:28 menyebutkan seorang Raja yang dilihat sebagai wakil atau
kuasa Allah, Anak Allah. Bahkan Kitab Kebijaksanaan 2:13.8 menggelari semua orang-
orang benar itu Anak Allah. Dan dalam hubungan dengan gelar Anak Allah ini, Allah
lalu disebut Bapa (Ul 32:16).

Lalu bagaimana dengan Yesus Kristus? Yesus Kristus dilihat sebagai orang
benar dan dibenarkan Allah. Ia sebagai wakil, kuasa Allah memiliki hubungan khusus
dengan Allah. Karena itu Ia juga disebut Anak Allah. Apabila Yesus sendiri sering
menyapa Allah dengan “Abba”, ungkapan mana hanya dipakai oleh Yesus Kristus
sendiri. Yesus selama hidupNya ditanah Palestina sering bertindak dengan penuh
wibawa dan wewenang yang melebihi orang-orang yang disebut Anak Allah; bahkan
dalam tindakan-tindakan tertentu Ia seolah-olah memperagakan Allah sendiri: misalnya
membangunkan kembali orang mati, menyembuhkan orang sakit dan lain-lain. Dengan
melihat fakta seperti ini, gelar Anak Allah untuk Yesus mempunyai isi yang baru.

1.2.2. Di dalam dunia YUNANI.

Ketika kekristenan memasuki alam Yunani, ternyata ada beberapa gagasan, dari
dunia Yahudi, yang tak dapat dipahami oleh orang Yunani. Gagasan “Mesias” misalnya
menjadi kurang relevan untuk orang-orang yang hidup dalam alam pikiran Yunani.
Karena itu untuk memahami siapa itu Mesias, orang Yunani lalu menterjemahkan
”Mesias” dengan “khristos” yang dalam kebudayaan Yunani tak lagi dilihat dan dipakai
sebagai “gelar” kerajaan dan “jabatan” tetapi dipakai sebagai “nama” diri (Rm 5:6; 8:1;
1Kor 1:12). Karena itu Yesus mendapat nama majemuk: Yesus Kristus.

Demikian dengan gelar “Anak Manusia”. Gelar ini dalam konteks kebudayaan
Yunani menjadi kurang lagi berarti, karena dipakai hanya sejalan dengan gelar “Anak
Allah” mereka memahami bahwa di dalam Yesus Kristus itu hadir yang ilahi dan yang
manusiawi, karena itu Yesus disebut Anak Allah dan juga Anak Manusia. Sedangkan
didalam dunia Yahudi, gelar ini lebih berbobot. Karena kurang punya arti khusus,
orang-orang Yunani lalu dengan mudah meninggalkan gelar ini.

20
Yang sama terjadi dengan sebutan Kerajaan Allah. Di dalam dunia Yunani,
dengan latar belakang kosmologinya, istilah Kerjaaan Allah menjadi sangat abstrak dan
kurang jelas artinya. Karena itu mereka lalu menggantikannya dengan istilah “Kerajaan
Kristus” (Mat 20:21; Luk 22:30; Ef 5:5; Kol 1:13 dst….) yang betul riil dan konkret.
Untuk orang Yunani, sebutan Kerajaan Allah, berarti kerajaan ilahi, yang ada di dunia
paling atas yang tak dapat dijangkau oleh manusia. Dan ini tidak sesuai dengan
pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah yang sudah dekat, bahkan sudah mulai
terwujud di dalam pewartaan, perbuatan dan dalam wafat dan kebangkitanNya.

Selain dari pada itu, orang-orang diluar Palestina, yang tak lagi mengalami atau
yang tak mengalami secara langsung Yesus yang hidup di Palestina, lalu mengabaikan
peristiwa Yesus, Yesus historis, dan lebih mengarahkan diri kpada akhir hidup dan
kebangkitan Yesus Kristus. Yesus Kristus dengan RohNya yang terus berkarya lebih
penting untuk mereka. Satu hal saja yang menarik perhatian mereka dari peristiwa
Yesus adalah soal “mukjizat-mukjizat”. Hal ini disebabkan oleh kegemaran mereka
akan ceritera-ceritera ajaib, atau tentang tokoh-tokoh sakti dan ajaib. Yesus sebagai
pembuat keajaiban/mukjizat dilihat sebagai yang dekat dengan yang ilahi (Kis. 8,9-10).
Pada hal mukjizat-mukjizat Yesus bukan menjadi “tanda bukti” (Mt. 12,38-3).
Selain daripada itu, orang Yunani juga beranggapan bahwa dewa/i itu mempunyai
anak. Seorang Rajapun dapat merupakan anak hasil perkawinan dewa dengan seorang
permaisuri. Satu tokoh yang memiliki kesaktian dapat disebut Tuhan, atau
penampakan Allah. Dengan latar belakang seperti ini, Yesus Kristus lalu disebut Anak
Allah, karena dilahirkan sebagai hasil perkawinan Allah dengan seorang permaisuri
(Maria). Dan karena Ia memiliki kekuatan sakti, sebagaimana ditunjukkannya lewat
mukjizat-nukjizat yang dikerjakanNya, maka Ia juga dipanggil : Tuhan. 1).

Tentu saja gelar tadi menjadi kurang mendapat arti yang sewajarnya,
sebagaimana misalnya dalam tradisi Kristen Yahudi. Dan ada bahaya bahwa aspek
Yesus. Anak Allah lebih ditekankan, dan aspek kemanusiaan, hidup dan karyaNya,
wafatNya dusalib lalu menjadi kurang penting. Tetapi rupanya bahaya ini bisa
terelakkan kalau mereka memahami betul gambaran Tuhan, bahwa Yesus Kristus itu
bukan saja Anak Allah, atau seorang dewa yang tinggal saja di dunia atas, tetapi
menjadi manusia, orang Yahudi, dan kemudian sampai ke peristiwa salib itu.

Tetapi mereka tetap menyebut Tuhan Yesus sebagai “Allah”. Dan ini nampak
juga di dalam PB, misalnya dalam Yoh 1:1 Yoh 5:20; Yoh 20:28. Namun pengertian
Yunani akan “theos” sedikit kabur. Setiap orang yang amat dekat dengan yang ilahi bisa
disebut “”theos” dan lalu dimana letak perbedaan mereka itu dengan Yesus? Selain
daripada itu, sebutan tadi tidak berarti sama dengan Allah yang satu, karena itu
penggunaan kata Allah belum menyamakan Yesus Kristus dengan Allah Mahaesa. Yesus
Kristus dianggap ilahi, karena itu dipanggil dengan “Allah” namun kata tersebut tidak
mengungkapkan sejauh mana Yesus Kristus itu ilahi. Bagi manusia Yunani, Yesus
Kristus memang “Allah” mereka (Yoh 20:28). Pandangan Yunani ini tentang Yesus
Kristus memang sedikit berbau mitologis, meskipun dengan bahasa mitologis itu
mereka mau berbicara tentang tokoh Yesus yang hadir dalam sejarah, hidup dan yang
mati, dan yang kini hidup terus dan berkuasa (Rm 14). Dari uraian-uraian sebagaimana
telah kita lihat, kita bisa simpulkan bahwa betapa majemuknya dan juga tidak
seragamnya kristologi/soteriologi pada dua-tiga generasi kristen awal. Ada macam-
macam pendekatan yang tidak dapat diselaraskan satu sama lain. Umat kristen awal
masih juga mencari jalan. Namun dari sekian banyak gambaran bisa ditemukan dua arah
pemikiran tentang Yesus Kristus yang satu dan sama. Yang satu menyebut Yesus sebagai
Putera Manusia, Anak Maria (Mrk 6:3), yang lainnya menyebut Anak Allah. Kedua
garis pemikiran pertama, (Putera Manusia, atau Putera Maria), bertitik tolak dari

21
pengalaman akan Yesus, orang Nazaret, yang pernah hidup di Palestina, hingga
wafatNya di kayu salib dan bangkit. Dengan kebangkitanNya, akhir hidup Yesus bukan
lagi merupakan satu kegagalan definitip. Dengan kebangkitan itu, dan dengan
pengutusan Roh Kudus, berarti mulailah akhir zaman, zaman keselamatan definitip.
Dengan itu juga Yesus dimengerti betul sebagai penghubung antara Allah dan manusia.
Ia menjadi Mesias, tokoh penyelamat, wakil Allah dan kuasa Allah. Dengan
kebangkitan berarti pewartaanNya tentang Kerajaan Allah adalah juga benar, dan
dengan itu juga nyata bahwa kekuasaan Allah tak bisa dihalangi oleh dosa manusia.
Memang kematian itu adalah suatu pembunuhan, suatu kejahatan, namun kalau
dipikirkan bahwa itu adalah kehendak Allah, maka Ia memberikan arti dan makna baru:
bahwa kematian menurut kehendak Allah itu, merupakan jalan menuju peralihan
peranan dan kedudukan Yesus sebagai Mesias, Anak Allah, Tuhan yang tetap berkuasa,
dan bahwa dosa manusia tak kuasa melawan rencana penyelamatan Allah.

Arah pemikiran kedua: Anak Allah. Sejak awal Yesus adalah Anak Allah. Titik
tolak kehadiran Yesus di dunia adalah Allah sendiri, Yesus yang hidup dan berkarya di
Israel menjadi pemenuhan janji Allah, pemenuhan rencana Penyelamatan Allah, atas
manusia. Berarti Yesus sebagai Anak Allah, seabadi dengan Allah dalam kealahanNya.
Ia turut dalam penciptaan, dan memimpin umat manusia kedalam rencana
penyelamatan, dan Ia sendiri menjadi penyelamat, Allah yang hadir secara konkrit
dalam sejarah manusia. Dan kalau Ia disebut Anak Allah, berarti yang di garis bawahi
adalah keilahianNya (Rm 5; Yoh 1:1; Tit 2:13.) dengan menjadi manusia berarti Allah
sendiri turun ke dunia menjadi senasib dengan manusia yang malang dan berdosa, dan
dengan kebangkitan Yesus Kristus dari kematian, berarti Allah mengatasi kemalangan
dan dosa itu, dan manusia masuk dalam kehidupan Allah melalui Yesus Kristus, Allah
manusia selamat.

Pendekatan yang melihat Allah turun dari atas, menjadi senasib dengan
manusia dan lalu mengangkat manusia ke dalam kehidupan Allah, mempermudah orang
untuk memahami dan membahasakan keunggulan, kedudukan dan peranan tunggal
Yesus Kristus. Namun yang tetap menjadi kesulitan adalah bagaimana memberikan
penjelasan yang tepat dan seimbang bahwa Yesus Kristus, Anak Allah itu adalah betul
seorang manusia, dan sekaligus orang cenderung menjelaskan bahwa Yesus Kristus
adalah Allah yang menggunakan topeng manusia (sebagaimana orang Yunani
memikirkan tentang dewa/dewi yang bertopeng manusia).

Kedua model pendekatan tadi bisa ditekankan secara berat sebelah: misalnya
bahwa ke-Allahan Yesus lebih penting daripada kemanusiaanNya, atau sebaliknya.
Kedua cara pendekatan ini harus seimbang dan saling melengkapi, tetapi memang
sedikit sukar menyelaraskannya.

Bab 2. PERKEMBANGAN KRISTOLOGI DI DUNIA YUNANI

Sebelum menguraikan perkembangan gambaran tentang Yesus Kristus di


dunia Yunani pada abad II - III, terdahulunya dijelaskan sedikit bagaimana orang-orang
Kristen Yahudi (ahli-ahli, tokoh-tokoh Yunani) memikirkan tentang Yesus Kristus.

22
Seorang filsuf Kristen Yahudi bernama Yustinus (sekitar tahun 155)
mengatakan bahwa pada masa itu, mereka masih meneruskan pandangan awal. Yesus
tetap dimengerti sebagai seorang manusia yang suci dan kudus. Oleh Allah Ia diangkat
menjadi Mesias. Namun orang-orang Yahudi waktu itu belum melihat bagaimana
keadaan Yesus sebelum Ia tampil di muka bumi, karena tak mengikuti perkembangan di
dalam PB, yang menyamakan Yesus dengan firman Allah atau hikmat kebijaksanaan
Allah namun rupanya pandangan ini tidak menjadi umum untuk jemaat Kristen Yahudi.

Kerygmata Petrou (satu karangan yang termuat dalam “Pseudo-


Clementina”, pada abad II) mengakui Yesus Kristus sebagai Guru (Rabbi) dan seorang
nabi sejati. Ia adalah nabi, serentak juga Mesias sejati, tempat tinggal tetap Roh Kudus.
Ia melebihi nabi-nabi lain seperti Musa, karena pada mulanya Ia ada di pihak Allah dan
memiliki ciri Ilahi. Ia adalah Messias/Kristus Ilahi yang menjadi pemenuhan harapan
para nabi.

Pastor (pendapatnya dimuat dalam karangan “Hermas”, sekitar tahun 150 M,


yang digunakan oleh jemaat-jemaat kristen abad II-III, kurang lebih setingkat dengan
KS) menyebut Yesus itu Hamba Tuhan. Karena kesetiaanNya Ia diangkat menjadi Anak
Allah, sama dengan Roh Kudus. (Dalam perumpamaan V dari karangan itu, Roh Kudus
disebut Anak Allah, dan Yesus disebut Hamba Tuhan). Roh Kudus mendiami daging
(itulah Hamba Tuhan itu). Sebelum diangkat Yesus sudah didiami Roh Kudus dan
akhirnya menjadi Anak Allah. Kristologi seperti ini disebut “kristologi pneumatologis”.

Kaum Ebyonim ( yang menganut kristologi adoptionis) melihat Yesus


sebagai Anak angkat Allah. Kristologi seperti ini muncul dalam sebuah karangan yang
disebut “Injil kaum Ebyonim”. Kaum Ebyonim adalah sekelompok orang Kristen
Yahudi yang merupakan kaum miskin. St. Ireneus (pujangga gereja ± tahun 200 M)
melihat kaum ini sebagai bidaah heresi gnostik. Menurut kaum Ebyonim, Yesus adalah
seorang manusia, anak wajar Yosef dan Maria; tetapi secara luar biasa Ia dianugerahi
ke-Allah-an. Ketika dibaptis oleh Yohanes Pemandi, Kristus surgawi turun atasNya
(Kristus surgawi itu berupa Roh Kudus yang melayang diatas Yesus di sungai Yordan).
Kristus Surgawi ini kemudian meninggalkan Yesus pada saat kematian di salib.
Agaknya mereka mengerti bahwa ketika dibaptis Yesus dimasuki Roh Kristus (Kristus
Surgawi) dan pada saat itulah Ia menjadi Anak Allah; namun Roh itu tidak menetap,
karena pada saat wafat di salib, Roh itu meninggalkan Yesus. Menurut Kerintus (±
tahun 100) yang menyebarluaskan pandangan tersebut, menambahkan bahwa Kristus
surgawi turun atas Yesus, anak Maria dan Yosef, dan memberi kuasa gaib kepadaNya.
Dan sebelum mati di kayu salib Kristus itu meninggalkan Yesus, sehingga yang mati
dan bangkit itu hanyalah Yesus tanpa Kristus. Kristus menurutnya bersifat rohani
belaka. Kerintus rupanya terpengaruh oleh pandangan Yunani. Yang menjadi soal ialah
pandangannya tentang Yesus ditinggalkan Kristus ketika menderita dan mati di salib. Ini
mengimplikasikan bahwa Yesus tidak memiliki ciri ilahi atau keilahiannya ditempelkan
padanya untuk sementara waktu.

Sebuah pandangan lain memanfaatkan pandangan kristen tentang malaikat-


malaikat. Malaikat-malaikat, dalam alam pikiran Yehuda, adalah “utusan” Allah yang
berdekatan dengan Allah, dan hampir sama dengan Allah dalam mengurusi dunia,
bangsa- bangsa dan umat Allah, serta tiap-tiap orang. Di samping malaikat-malaikat
yang ada disekitar Allah, ada juga malaikat-malaikat atau roh-roh jahat, dengan
kepalanya “Iblis”. Roh-roh jahat ini hidup dan tinggal dalam dunia atas (ilahi) dan dunia
manusia, dan mengusai dunia manusia itu. Bahkan di dunia orang mati, malekat maut
adalah kepalanya. Pemikiran ini memang terdapat juga dalam PB (Luk 10:18 ; Why
12:8-9; 9:11 ; 2 Kor 6:15). Mengenai Yesus Kristus dikatakannya bahwa Yesus

23
melampaui manusia dan ada di pihak Allah dalam hubungan dengan Allah. Dalam
karangan Hermas, diceriterakan juga tentang Malekat Mulia, malaikat Kudus, yang
berperawakan besar dan itu tidak lain adalah Anak Allah. Malekat Anak Allah ini
melebihi semua malekat lain bahkan setingkat dengan Tuhan sendiri, dan ia disebut
Mikhael, kepala para malaekat. Yesus Kristus lalu dipikirkan sebagai malaekat yang
melampau segenap barisan malaekat (bdk. dengan Ibr 1:4). Dalam “Surat Para Rasul”
(±140/170 M) misalnya dikatakan oleh Yesus Kristus sendiri bahwa berupa Malaekat
Gabriel, ia tampak kepada Maria, dan sebagai firman Allah ia lalu masuk dalam rahim
Maria. (pikiran ini terdapat dalam Oracula Sibyllarum). Dan ketika tampil dimuka
bumi, anak Allah itu turun dari Bapa, melampui jagat raya (dunia para malaekat dan
roh jahat). Ia dapat menyesuaikan diri dengan gampang. Dengan Malaekat ia menjadi
malaekat, dengan manusia ia menjadi manusia. (Berati mereka melihat bahwa Kristus
bisa tampak dalam macam-macam bentuk). Sesudah salib, ia turun ketingkat paling
bawah jagat raya, yakni ke dunia orang-orang mati. Turun ke dunia orang mati, berarti
Yesus betul-betul mati, mengalami keadaan orang-orang mati (inilah maksud Kis 2:24-
31). Dan Yesus turun ke dunia orang mati untuk mewartakan kemenanganNya atas
Malaekat Maut, kepala dunia orang mati, dan membebaskan orang-orang yang ada di
sana. (diceritakan oleh “Odos (madah ) Salomo” bahwa ketika Yesus masuk dunia
orang, mati, orang-orang mati lalu lari dan berseru kepada Yesus Kasihanilah kami.

24
Anak Allah; keluarkan kami dari kegelapan, dan bukalah pintu gerbang bagi kami. Lalu
Yesus menggoreskan namaNya pada dahi mereka, dan dengan itu mereka dibebaskan.
Gambaran ini rupanya dipengaruhi oleh gambaran apokaliptis mitologis. Kemudian
Yesus itu naik kembali ketingkat paling atas melintasi segala tingkat jagat raya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kristologi


ssebagaimana yang berkembang dalam jemaat-jemaat Yahudi masa itu adalah kristologi
kerakyatan yang agak kurang sistematis dan kurang teologis bahkan agak simpang siur.
Pemikiran tsb. mengungkapkan diri dalam bentuk lambang-lambang dan gambaran-
gambaran (apokaliptis) yang konkrit dengan bahasa-bahasa figuratip dan mitologis. Di
pihak lain kita melihat adanya usaha dari jemaat-jemaat itu untuk merenungkan
fenomena Yesus dan menyelami relevansi dan maknanya bagi mereka. Pendekatan
mereka ini bertolak dari atas, dari Allah dengan peranan dan kedudukanNya yang tak
dapat diganggu gugat. Pendekatan ini mengakibatkan bahwa segi transenden, keilahian
Yesus ditonjolkan, sedang segi historis manusiawi Yesus kurang mendapat perhatian.
Tendensi ini malah meresap jusa kedalam injil- injil yang disusun oleh jemaat-jemaat
kristen Yahudi, yang suka menggarisbawahi segi ajaib Yesus yang ditampilkan sebagai
Guru ilahi. Pada abad II – III ini belum terdapat belum terdapat satu “orthodoxia”.
Semuanya masih berupa usaha coba-coba. Pemikiran umat kristen Yahudi masih simpang
siur, dan sering menimbulkan bentrokan. Selama abad ini ajaran kristen hampir saja
hilang dari lingkup umat Kristen, namun pemikiran, pengaruh pendekatan dan pandangan
mereka masih besar.

Demikian gambaran singkat tentang kristologi di dunia Yahudi pada abad-abad


pertama itu.

Menjelang abad 1 AD kepercayaan kristen sudah tersebar luas di dalam jemaat-


jemaat. Refleksi jemaat atas Yesus semakin dipengaruhi oleh cara berpikir Yunani. Pada
akhir abad ini sudah terdapat usaha membukukan tradisi awal yang berpangkal pada
Yesus sendiri dan jemaat awal, meskipun sampai awal abad 2 belum ada sebuah Kitab
Suci Kristen. Satu-satunya Kitab Suci (KS) adalah Perjanjian Lama (PL) yang ditaksir
dalam terang pengalaman umat Kristen akan Yesus Kristus yang bangkit dan akan Roh
Kudus. Memang sudah ada rumusan-rumusan singkat dari pokok-pokok/inti kepercayaan
Kristen yang beberapanya kemudian dimasukan ke dalam PB. Juga belum terdapat pusat
yang tetap seperti sekarang ini Roma. Mula-mula kelihatan Yerusalem menjadi pangkal
dan awal, namun kemudian berkembang pula pusat-pusat lain seperti Anthiokhia di Syria,
Efesus, Roma, Aleksandria, masing-masing dengan cirinya sendiri. Dan kedua gambaran
tentang Yesus Kristus ( Anak Allah dan Aanak Manusia) menjadi kurang jelas lagi. Pada
awalnya cara berpikir Yahudi begitu berpengaruh, namun dengan masuknya kebudayaan
Yunani, maka di dalam agama Kristen itu mulai berkembang dua arus. Ketegangan
antara kedua arus itu juga mulai muncul, termasuk bagaimana mereka memikirkan
tentang Yesus Kristus. Paulus adalah orang Yahudi tetapi Ia tampil lebih sebagai
pembawa suara jemaah-jemaah Yunani. Karena itu timbul ketegangan antara Paulus
dengan jemaat di Yerusalem (Petrus dll). (Bdk. Kis 15:1; Gal 2:4; 1 Kor 11:21; Rm
15:30-31).

25
Pada awal abad ke-2 Masehi sudah terdapat dua model pendekatan: Yesus
adalah Anak Allah, dan Yesus Anak Manusia. Kedua pendekatan ini tersirat juga dalam
Perjanjian Baru (PB). Kedua pendekatan tadi perlu selalu dipertahankan, meskipun di
dalam pembahasannya ditemukan kesulitan untuk mengungkapkannya secara jelas dan
tuntas.

2.1. ABAD II - III

Bagaimana dengan kristologi yang berkembang di dunia Yunani? Sebagaimana


telah dikatakan di atas bahwa sementara kekristenan Yahudi abad II makin mundur,
kepercayaan kristen semakin meluas kemana-mana dan berakar dalam dunia Yunani.
Menjelang akhir abad I, kepercaayaan kristen dalam pengungkapannya menjadi sangat
beranekaragam, dan keanekaan ini menjadi lebih kuat lagi pada abad II. Sudah ada usaha
untuk membukukan PB supaya dapat mengatasi keanekaragaman itu. Tradisi-tradisi yang
berkisar sekitar Yesus, yang beredar waktu itu dikumpulkan, dan mulai dibukukan dalam
apa yang disebut injil-injil sinoptik (Mrk, Luk, Mat). Maksudnya agar pandangan-
pandangan jemaat-jemaat tentang Yesus itu bisa diseragamkan. Namun dalam kenyataan
karangan-karangan tersebut tak berhasil menjamin persatuan dalam pengungkapan iman.
Karangan-karangan itu tidak seragam dalam pendekatannya terhadap Yesus. Selain dari
itu, lingkup peredaran karangan itu juga terbatas, tidak meliputi seluruh umat kristen di
dunia Yunani. Sementara itu umat Kristen Yunani, (selain dari karangan-karangan yang
terkumpul dalam PB, pada akhir abad I dan sepanjang abad II-III) masih
memproduksikan sejumlah besar karangan lainnya. Karangan – karangan itu dikaitkan
dengan tokoh-tokoh awal seperti rasul dan beraneka bentuknya seperti Injil, Kisah,
Surat, dan Wahyu. Yang tak berhasil dirangkum ke dalam KS PB disebut “apokrip“,
sedang yang dirangkum ke dalam PB disebut “pseudepigraph “.

Banyak karangan hanya diperuntukkan bagi lingkungan terbatas. Dan


keagamaan Kristen menjadi sangat sinkretis, tercampur dengan macam-macam aliran dan
mitos dan seterusnya. Orang-orang kristen sendiri juga mulai menjadi agak eksklusif,
tertutup dan lalu mengundurkan diri dari agama resmi yang dianut oleh umum. Karena itu
sering dibenci atau dicap “atheis”, penuh takyul dan seterusnya. Menjelang akhir abad II
muncul penentang yang datang dari kalangan cendikiawan (seperti Ponte dari Tirta,
Lucianus dari Samosata dan Celsus), yang menyerang agama kristen dengan tulisan-
tulisan mereka. Sinkretisme Yunani menjadi paling matang dan membahayakan bagi
identitas kepercayaan Kristen, dalam apa yang dikenal dengan “Gnosis”.

2.1. 1. Pandangan GNOSIS (dekotisme)

“Gnosis” Yunani adalah suatu suasana rohani, yang memperlihatkan diri dalam
rupa-rupa bentuk, ajaran, aliran dan kelompok. Ia adalah pandangan hidup, sikap, dan
buka agama. Menurut pandangan ini, dunia manusia secara dasariah buruk (merupakan
hasil sebuah kekeliruan). Dunia yang sesungguhnya adalah dunia ilahi. Sedangkan dunia-
dunia bertingkat-bertingkat lainnya berpangkal pada yang ilahi. Semakin rendah tingkat,
semakin buruklah dunia itu. dan tingkat paling bawah, yakni dunia materi yang dialami
manusia adalah tingkat yang paling buruk. Manusia sejati sebenarnya berciri ilahi,

26
seperti bunga api yang tercetus dari yang ilahi. Namun manusia sejati itu terkurung di
dalam dunia material ini dengan segala keburukan dan hawa nafsunya. Karena itu
penyelamatan manusia berarti pembebasan dari kurungan yang material itu, yang telah
membuat manusia tidak mengenal lagi asalnya, tidak tahu diri dan apa itu penyelamatan.
Manusia sendiri tak dapat keluar lagi dari penjara tersebut. Supaya selamat maka
dibutuhkan”Gnosis”/makrifat ( pengetahuan), ilmu mistik eksistensia. Tetapi yang ilahi,
Bapa ilahi, tak pernah lupa semua yang berasal dari dirinya, atau dari tingkat yang paling
atas. Maka Bapa Ilahi mengutus seorang penyelamat, manusia sejati, yang membawa
“gnosis” itu yang menyampaikan “Wahyu” yang dapat membuka mata dan pikiran
manusia yang buta dan gelap itu. Bila manusia yang menerima Wahyu itu maka ia
mengenal dirinya dan lalu meninggalkan penjara itu serta kembali kepada asalnya yakni
yang Ilahi, dan itulah keselamatan. Memang dalam menjelaskan tentang asal usul
manusia dan tentang dunia bertingkat-tingkat ini, mareka menggunakan mitologi-
mitologi kafir yang ada pada waktu itu, dan juga Filsafat Yunani yang berpangkal pada
Plato. Dan itu bisa dilihat dari penjelasan mereka: dari satu pihak “gnosis” membeberkan
tentang eksistensi manusia yang penuh kemalangan dan keburukan dan dengan ini
melayani pesimisme mendalam yang melanda dunia Yunani Romawi ketika itu. di pihak
lain “gnosis” menunjukkan jalan dan arah bagi manusia untuk keluar dari situasi itu lewat
“Pengetahuan”, dan ini sesuai dengan kegemaran orang Yunani akan Ilmu, hikmat dan
filsafat. Dan disini akhirnya yang lebih ditonjolkan adalah keselamatan orang perorang
(individualisme ekstrim) dan terlalu menekankan peranan “Pengetahuan” dalam hal
keselamatan, dari pada kelakuan dan tindakan. Ini berlawanan dengan prinsip kristen
yang menaruh perhatian kepada peristiwa Yesus, (keselamatan manusia bergantung pada
peristiwa Yesus itu). Dan lebih dari pada itu, dalam agama Kristen, keselamatan itu
diperuntukan bagi semua orang, dan bukan untuk orang-orang tertentu saja.

Meskipun gnosis bertolak belakang dengan kepercayaan Yahudi dan Kristen


namun ternyata ia dapat menarik perhatian baik orang Yahudi Kristen maupun Yunani.
Pengaruh gnosis Yunani meresap ke dalam PB: tahun 53 M misalnya Paulus harus
berhadapan dengan sekelompok orang yang gemar menekankan peranan “hikmat” dan
“Pengetahuan” (1 Kor. 1,18,17). Yang merasa diri bebas dari hukum-hukum dan aturan
karena menganggap diri sudah memiliki gnosis istimewa (1 Kor 8,1-2). Kematian
seseorang mati dilihat sebagai suatu kemalangan, karena itu mereka tak melihat lagi. Arti
penting yang terkandung di dalam kematian Yesus (1 Kor. 1,18-23). Surat Kol. Dan
Efesus (Kol. 2,8.18’ Ef. 4,14) bergumul dengan sinkretisme Yunani yang berbau gnostik.
Pengaruh gnostik demikian kuat kaum pelawan gnostik pun terpengaruh untuk
menggunakan istilah-istilah yang berbau gnostik.

Bagaimana pandangan kaum ini tentang Yesus Kristus? Kelompok ini melihat
Yesus Kristus sebagai tokoh surgawi ciptaan Allah Bapa. Yesus adalah tokoh mitologis
yang ditempatkan antara Allah yang Esa, mutlak dan transenden, dengan dunia manusia /
material. Yesus Kristus bukan sungguh-sungguh Allah, dan bukan pula sungguh-sungguh
manusia. Ia terutama dipikirkan sebagai “pernyataan” atau “pewahyu” yang datang dari
dunia atas, dan membawa pengetahuan sejati tentang manusia, dunia dan Allah yang
ilahi. Demikian ia menjadi Juru Slamat.

27
Ide Yesus sebagai benar-benar manusia tidak dapat diterima oleh gnosisme,
karena gnosisme berpikir bahwa yang ilahi tak dapat bercampur dengan yang material,
yang jahat dan kotor. Mereka mengerti ‘sabda menjadi manusia’ sebagai firman Allah
memakai topeng manusia dan berpura-pura mati di salib. Pendekatan seperti ini disebut
DOKETISME (= dianggap sebagai, nampak sebagai). Doketisme ini mempengaruhi juga
kaum Islam kemudian yang melihat bahwa yang mati dikayu salib itu bukan Yesus yang
sesungguhnya tetapi orang lain, mungkin Yudas, Simon dari Kirene atau Barabas.
Doketisme melihat Yesus sebagai yang berbeda dengan Kristus: badan Yesus di diami
oleh Kristus surgawi untuk sementara waktu. “Kisah Yohanes (Rasul)” ± tahun 150,
salah satu bentuk dari pada doketisme ini, melihat bahwa Yesus itu dapat berubah-ubah
bentuk: Sebagai anak kecil, orang dewasa; kalau diraba kadang-kadang keras tetapi
kadang-kadang juga tak dapat dirasakan.

Memang pada abad I perkembangan kristologis sudah bergeser dari tekanan


pada Yesus historis kepada Yesus sebagai Anak Allah dalam statusnya sebelum turun ke
dunia. Doketisme menjadi sangat berpengaruh pada kahir abad I dan awal abad II. Dan
terhadap pandangan gnosis/doketis ini, Surat I Yoh. melawan mereka yang menentang
pandangan tentang Anak Allah datang dalam bentuk daging (I Yoh. 4,2), dan yang
menyangkal Anak Allah datang dalam darah. I Yoh. kembali menekankan bahwa Anak
Allah adalah “pernyataan” Bapa, “Pewahyu” yang diperkenalkan Allah dan manusia
sehingga “mengenal Bapa dan Putera” adalah keselamatan 1 Yoh. Betul menekankan
kembali pentingnya historisitas Yesus Kristus dan realitas kematianNya. Yesus adalah
Anak Allah dan sama dengan Kristus: dapat didengar, dilihat dan diraba (1 Yoh 2:22 ;
1:1-3). Pandangan yang sama dengan 1 Yoh. ini dikemukan juga oleh Ignatius dan
Polycarpus yang menekankan kembali bahwa Yesus itu sungguh-sungguh Allah dan
sungguh manusia.

2.1.2. Markion dan Monarkhianisme modalistis.

Markion adalah seorang tokoh gnostis yang lebih rasional dan moderat. Ia
menjadi penyebar utama ide gnosis ini sekitar tahun 140 M ia tampil di Roma dan lalu
dikucilkan dari jemaah. Ia mendirikan gereja sendiri yang terorganisir baik dengan
uskup-uskup, imam-imam serta keuskupan dan parokinya sendiri. Ia ingin memulihkan
dan mempertahankan iman kepercayaan yang murni.

Markion mempertentangkan Allah PL dengan Allah PB. Allah PL dilihat


sebagai yang lebih rendah. Bukan jahat, atau buruk, tetapi pencipta segala sesuatu hakim
dan penghukum, ia mengeluarkan hukum (Taurat) dan menguasai dunia yang ada. Tetapi
Allah yang sejati adalah PB, Allah yang sebenarnya yang baik dan cinta kasih dan belas
kasihan. Allah PB inilah yang diperkenalkan Yesus Kristus. Yesus Kristus bisa disebut
Anak Allah, dalam arti ia adalah penampakan Allah Sejati, Allah Bapa. Pembebasan yang
diwartakan Yesus Kristus adalah Pembebasan dari Hukum Taurat, dari Allah PL beserta
kuasa dan dunia ciptaanNya. Yesus Kristus Anak Allah berbeda dengan Bapa hanya
dalam nama. Allah itu Esa, dan Yesus Kristus Anak Allah hanyalah salah satu ‘modus ’,
bentuk atau rupa dari Allah Yang Maha Esa itu. Anak Allah itu tak menjadi sungguh-
sungguh manusia (Arena ciptaan/karya Allah PL itu tak cocok untuk Anak Allah PB; dan

28
kuasa Allah pencipta serta Hukumnya sudah ditumbangkan oleh Anak Allah PB). Allah
PL adalah Allah Pencipta; dan sesudah penciptaan ia tak penting lagi. Yang penting
adalah Allah PB yang berkarya setelah penciptaan itu. Untuk membayar utang terhadap
Allah Pencipta, yang telah menciptakan semuanya, maka Anak Allah, Yesus Kristus pura-
pura mati di salib dan dengan itu Allah PL tertipu. Menggelari Yesus itu dengan Kristus
yang diramalkan oleh PL. dengan cara kematian pura-pura ini manusia berdosa direbut
dari kuasa Allah PL yang adalah Hakim dan Penghukum. Dengan demikian penebusan
berarti pembebasan dari dunia material, ciptaan Allah PL.

Dalam karyanya yang berjudul “Antithese”, Markion menolak KS PL, dan


seluruh hukum Taurat. Untuk gerejanya Markion lalu menciptakan Kitab Suci sendiri
dengan mengumpulkan keterangan-keterangan yang bereder dalam jemaah pada waktu
itu, terutama Surat Paulus (kecuali surat-surat pastoral dan Ibr.) dan injil Lk. Karena
karangan-karangan ini menurut Markion sudah dipalsukan maka ia membuat saduran dari
karangan-karangan ini.

2.1.3. Yustinus (kristologi dari atas namun bersifat subordinasionistis)

Dalam berbicara tentang siapa Yesus kristus Yustinus memanfaatkan gagasan


dari injil Yohanes: Yesus Kristus adalah Firman/Hikmat Kebijaksanaan/Logos Allah. Ia
juga dipengaruhi oleh gagasan filsafat Stoa dan Plato tentang “Logos”

Pandangannya tentang Yesus Kristus dapat dirumuskan sebagai berikut: Yesus


Kristus adalah “Logos” kekal yang terpancar dari Allah Yang Esa. Dalam arti ini Ia dapat
disebut Anak Allah. Logos ini dilihat sebagai “peserta” dalam logos itu (logos
spermatikos), yang berperan sebagai akal jagat raya. Tokoh-tokoh seperti para nabi,
Sokrates dilihat juga sebagai “peserta” logos itu, karena mereka mengikuti logos ilahi
itu, karena itu dalam arti ini mereka juga disebut Kristen. Logos ilahi yang sudah keluar,
itu disebut juga “Allah kedua”, kemudian lahir dari perawan Maria menjadi manusia, dan
menderita (bdk. 1 Apol. 63,10). Sebelumnya logos itu tanpak dalam rupa-rupa macam:
misalnya bapa bangsa, Musa, dan sebagainya tapi menjadi penuh dalam Yesus Kristus.

Tetapi Kristologisnya ini bersifat subordinasionistis, karena Yesus Kristus


sebagai firman Allah, boleh disebut Allah namun Allah kedua, dan sebagai pribadi tak
kenal. Yustinus dibaptis, dan seterusnya tetapi dalam hal ini ia hanya meneruskan tradisi
yang ia terima supaya tetap ada kesatuan dengan KS dan regula fidei, serta kenangan para
rasul (injil-injil Mat, Luk, Mrk ).

Ireneus dan Tertulianus juga menjadi pelawan/penentang dari pada gnosis,


terutama aliran dari Markion.

2.1.4. Monarkianisme

Pada akhir abad II dan awal abad III, mulai muncul suatu aliran yang berusaha
menjawabi persoalan: bagaimana menjelaskan siapa itu Yesus Kristus bertitik tolak dari
kepra-adaanNya (kristologi dari atas).

29
Menurut aliran ini, firman Allah atau Anak Allah yang ada sebelum mengambil
rupa Yesus Kristus itu bukanlah pribadi, tetapi kekuatan, daya ilahi. Daya ilahi itu
kemudian mendiami Yesus Kristus orang Nazaret
Teodotus dari Byzantium (tahun 190, yang menjadi pengedar tahun 200) berkata
Yesus adalah seorang manusia yang menerima Kristus/pneuma/Roh Ilahi. Theodotus
berpikir bahwa diantara Allah yang Esa/tunggal dan manusia terdapat “Kuasa tertinggi”
yang bernama Kristus. Kuasa tertinggi ini bersifat Rohani dan adalah “Anak Allah”.
Kuasa tertinggi ini kemudian turun atas Yesus, seorang manusia. Theodotus adalah wakil
dari aliran Monarkianisme–dinamis.

Sabellius (± tahun 220) (praxeas ± 200) dan Noetus (± tahun 220), yang
mewakili satu monarkialisme modalis, mengemukakan bahwa Allah adalah Esa dan
tunggal secara mutlak. Firman Allah/Anak Allah (dan juga Roh Kudus) hanyalah rupa
atau manifestasi dari Allah yang Esa itu. Perbedaanya hanya terletak dalam sebutan/
nama saja. Yang menjadi manusia dan menderita mati dan bangkit adalah Allah (Bapa)
sendiri (aliran monarkialisme seperti ini diistilahkan sebagai “patripassionisme” atau
Bapa menderita).

Sabelius katakan bahwa Allah yang satu dan tunggal itu memang kekal. Tetapi
dalam penciptaan dan PL, Ia menyatakan diri sebagai “Bapa”, yang berarti “asal usul
segala sesuatu”. Pencipta. Dalam inkarnasi, Allah yang Satu tadi menyatakan diri sebagai
Anak, yang menjadi manusia, Juru Selamat. Dan dalam pengudusan manusia Allah Yang
Esa itu menyatakan diri sebagai “Roh Kudus”. Jadi ada semacam “Trinitas”, tetapi
trinitas ekonomi saja, dalam sejarah penyelamatan. Jadi Yesus Kristus bukan satu pribadi,
karena Allah hanya Satu, tetapi menyatakan diri dalam tiga rupa (modalisme). Dan
Tertullianus tampil sebagai penentang ajaran ini.

2.2. ABAD IV-VI

Refleksi atas iman kepercayaan kristen, teristimewa Yesus Kristus, selama abad
III meneruskan apa yang telah ditempuh dalam abad II. Dan selama abad III refleksi itu
mulai menjadi lebih ilmiah. Para pemikir kristen mulai memandang ilmu/filsafat-dengan
lebih positif dan menggunakanya dalam refleksi iman kristen, hal mana berbeda dengan
abad II yang anti ilmu/filsafat. Apalagi dalam abad III umat kristen secara sosial-politis
menjadi unsur penting dalam masyarakat Yunani-Romawi. Tetapi selama abad III-IV
mulai berkembang dua “perguruan tinggi” teologi, (khususnya kristologi )
yakni di Aleksandria (di Mesir) dan di Atiokhia (di Syria).

Sampai dengan awal abad III, problematik sudah lebih jelas. Masalah pokok
adalah bagaimana mempertahankan bahwa Yesus benar-benar manusia (lawan gnosis dan
doketisme), dan benar-benar ilahi (lawan Adoptionisme) dan serentak mempertahankan
monoteisme (lawan Monarkianisme), dan lebih lanjut bagaimana dengan keselamatan
manusia. Meskipun sudah ada garis besar dalam kristologi namun refleksi tentang
fenomena Yesus Kristus masih juga simpang siur. Ada dua tokoh pada abad III, yang
buah pikirannya menjadi kuat pada abad-abad berikutnya.

30
2.2.1. Hippolytus ( ± 235) dan Novatianus (± 250 ).

Dalam bergulat melawan para bidaah, haeresis, dalam karyanya


Philosophoumena, Hippolytus, sambil mengikuti pemikiran pendahulunya Yustinus dan
Ireneus, katakan bahwa: Firman Allah sebagai “Pribadi “ itu tidak kekal. Pada suatu saat
Firman itu keluar dari Allah, dan menjadi manusia; ketika menjadi manusia ia baru
menjadi anak Allah, dan menjadi manusia; ketika menjadi manusia ia baru menjadi anak
Allah. Tidak hanya Allah dapat menjadi manusia, tetapi seorang manusia pun oleh Allah
dapat menjadi Allah.
Entah “logos” itu benar-benar ilahi atau makhluk, menjadi tak jelas berdasarkan
pemikiran tadi bahwa bisa dijadikan Allah.

Mirip dengan pandangan Hippolytus ini, ialah pemikiran Novatianus. Dalam


karyanya De Trinitate, ia katakan bahwa ‘logos’ yang mandiri itu tidak kekal.
Kristologinya ini bersifat subordi-nasionis.

2.2.2. Kristologi ”logos-sarx”.

Origenes menolak monarkhianisme terutama modalisme yang begitu kuat


dikemukakan oleh Paulus Samosata (Uskup Antiokhia ± thn 270), yang mana
menekankan bahwa firman Allah itu hanya rupa/bentuk dari Allah yang Maha Esa; dalam
Yesus Kristus Allah mendapat rupa manusia: Bapa hanyalah nama dari Allah Pencipta;
dan Roh kudus adalah nama Allah yang menguduskan.

Menurut Origenes: Firman Allah itu sehakekat dengan Allah (Bapa); sejak kekal
sudah ada. Sebagai pribadi Ia berbeda dengan Bapa. Ia berasal dari Allah,tapi tidak
setingkat dengan Bapa (Allah Yang Maha Esa). Ia disebut “Allah kedua”. Terpengaruh
oleh Kosmologi dan Antropologi Yunani (platonis), Origenes menerangkan tentang
inkarnasi dalam dua tahap. Inkarnasi I yakni Firman Allah yang sejak kekal sehakekat
dengan Bapa, bergabung dengan jiwa (nous, akal) Kristus; dan inkarnasi ke II, yakni
ketika Anak Allah itu bergabung dengan badan, yang adalah penjara/pembungkus bagi
jiwa.

Pendekatan Origenes ini kemudian diwartakan oleh seorang iman dari


Aleksandria, murid origenes yang disebut Malkhion, pada sinode para uskup di
Antiokhia tahun 268 (untuk menolak pandangan Paulus Samosata). Malkhion setelah
melihat bahwa banyak orang menolak banyak penjelasan origenes tentang jiwa pra-
existen (inkarnasi I), lalu mengemukakan sebagai berikut: Hubungan antara Anak
Allah/Firman Allah dengan manusia Yesus itu adalah seperti hubungan antara jiwa
(nous, akal) dengan badan. Hanya saja pada Yesus Kristus, jiwa (nous) itu berganti
dengan Firman Allah pra-existen. Hal ini memang cocok dengan Antropologi Yunani
(plato, stoa) yang melihat akal (nous, logos) manusia merupakan penyertaan dalam akal
(nous, logos) ilahi. Badan Yesus hanya menjadi sarana, alat untuk firman Allah. Dengan
ini berarti keutuhan kemanusiaan Yesus Kristus dikorbankan. Kristologi Malkhion ini

31
menjadi Kristologi yang banyak dianut oleh banyak pengikut origenes, termasuk
eusebius, uskup dari Kaisarea, Metodius dan Olimpus.

Eusebeus (± tahun 339) mengatakan bahwa: Firman Allah berada menjadi alat
Firman, pada waktu penyaliban Firman itu meninggalkan daging dan turun kedunia orang
mati. Seperti Eusebius, Methodius dan Olimpus pun mengatakan bahwa Yesus itu
seorang manusia yang penuh dengan Firman Allah yang terbungkus dalam
kemanusiaan. Daging merupakan sarana bagi Firman: dan Yesus Kristus terdiri dari
firman dan daging. Itulah kristologi “logos-sarx”.

Penjelasan ini rupanya, bertolak dari Yoh. 1,14 tentang Firman menjadi daging;
padahal Yoh. 1,14 bermaksud menekankan eksistensi historis yang sungguh-sungguh,
‘daging’ justru menekankan eksistensi manusiawi Yesus Kristus. Masalah ini yang
diperdebatkan dalam sinode di antiokhia (tahun 263) tak sampai dijernihkan secara
tuntas.

2.2.3. Arius (Arianisme).

Arius adalah seorang imam di Aleksandria, yang berasal dari Antiokhia. Ia


berguru pada Lucianus dari Antiokhia, pendiri Perguruan Tinggi Teologi (katekese).
Rupanya ia pernah berkenalan dengan Paulus dari Samosata.

Masalah yang diperdebatkan pada sinode di Antiokhia tahun 263 adalah soal
hubungan antara: Firman Allah dan manusia konkrit Yesus, orang Nazaret. Masalah ini
tidak terselesaikan pada waktu itu. Lalu perhatian para pemikir beralih ke soal lain,
yakni soal hubungan antara Firman Allah, Anak Allah pra- existen dengan Bapa, Allah
Yang Maha Esa. Dan soal ini muncul secara kuat dengan tampilnya Arius (± tahun 336),
yang menimbulkan bentrokan hebat pada abad IV, bentrokan kuat ini, juga disebabkan
oleh situasi politik waktu itu. Pada akhir abad III dan awal abad IV umat kristen
dianiaya oleh kaisar-kaisar Roma dioklesianus, Decius dan Valeriaus). Namun kemudian
muncul seorang kaisar, yang dilihatnya sebagai pemersatu negara. Kaisar konstantinus
mulai campur tangan juga dalam urusan gereja, dan para uskup menerima saja tindakan
kaisar ini.

Bagaimana pandangan Arius yang menimbulkan perdebatan itu? Berdasarkan


kutipan-kutipan/catatan dari para pelawan Arius, diketahui pemikirannya sebagai berikut:
Allah itu Esa, transenden dan tak tercapai oleh manusia. Ia adalah Asal segala sesuatu. Ia
menciptakan segala sesuatu secara bertahap (pengaruh kosmologi Yunani). Ciptaan I
dan utama adalah firman Allah yang secara metafor disebut “Anak Allah”. Firman itu
tak termasuk dalam dunia ilahi dan juga tak termasuk dalam dunia jasmanih. Firman itu
tidak sehakekat (homo-ousios) dengan Allah, tidak secara langsung mengenal Allah,
tidak sama dengan firman dan hikmat yang ada pada Allah sendiri. Firman Allah (yang
diciptakan itu) tidak kekal dan abadi, meskipun ia ada sebelum dunia dijadikan dan
dijadikan dari ketiadaan. Firman itu ada awalnya, dan tidak mirip dengan Allah. Ia
menjadi penengah antara Allah dan jagatraya. Tentang ikarnasi Arius menjelaskan
bahwa: Firman itu bergabung dengan manusia Yesus sekian sehingga menggantikan

32
jiwa (akal, nous, logos) manusiawi; dan menjadi penggerak kemanusiaan Yesus. (Jadi:
sama dengan kristologi logos-sarx). Jadi Yesus Kristus bukan Allah, karena ia tak punya
kodrat yang sama dengan Allah. Ia bukan juga manusia, karena, tidak memiliki
natura/kodrat yang penuh seperti manusia, yang terdiri dari jiwa dan badan. Ia bukanlah
pengantara dalam arti yang mempersatukan Allah dan manusia di dalam pribadiNya itu.

Arius betul mau menekankan ke-Esaan Allah. Karena itu Anak Allah lalu
dijelaskan sebagai ciptaan, agar jangan sampai kepada pemikiran bahwa ada 2-3 Allah.
Terhadap pandangannya ini, timbul bermacam-macam reaksi pro dan kontra.
Pendukung-pendukungnya antara lain: Eusebius, uskup dari Nikomedia di Asia depan (±
341) dan Eusebius uskup Kaisarea/Palestina (± tahun 320). Uskup Eusebius dari
Kaisarea mempertegas ajaran Arius dengan mengatakan: Allah adalah Esa, tunggal dan
tak ada yang lain yang setingkat. Yesus Kristus gambar/Firman memang pra-existen,
dan menjadi penengah dalam penciptaan jagat-raya. Sebagai gambar Allah ia boleh
disebut Allah, tetapi Allah yang ke II, ia bukan Allah sesungguhnya, yang sehakekat
(homo-ousios) dengan Allah (Bapa), ia tidak sekekal dengan Bapa. Ia hanya menjadi
peserta dalam kemuliaan Bapa, mirip dengan orang-orang suci lainnya.

Yang melawan pandangan Arius, antara lain Aleksander dari Aleksandria, uskup
(± tahun 326). Aleksander tekankan: bahwa Yesus Kristus adalah gambar, Anak Allah,
kekuatan dan Firman Allah yang pra-existen, merupakan satu pribadi (hypostasis dan
satu kodrat (physis), berbeda dengan Bapa, namun sehakekat dengan Bapa, Ia berasal
dari Bapa, lahir dari Bapa.
Selain dari pada itu, terbanyak uskup yang hadir dalam sinode dan Aleksandria (± tahun
318/320), dan diantiokhia (± 325) yang diketuai oleh uskup Hosius dari Cordoba
menentang Arius, sehingga timbullah dua blok. Melihat keadaan ini maka kaisar
Konstantinus mengundang para uskup semua untuk mengadakan suatu siode menyuruh
di kota Nikea (Asia depan). Itulah konsili ekumenes I, di mana Gereja secara tegas dan
sebagai satu kesatuan mengungkapkan iman mereka tentang Yesus Kristus. Dihadiri oleh
kurang lebih 300 uskup, dan kaiser sendiri sebagai penggerak, hadir karena persoalan itu
lebih gencar di bagian Timur, maka yang hadir terbanyak berasal dari bagian Timur.
Bagian barat diwakili oleh suatu delegasi yang di kirim oleh uskup Roma, Sylvester (±
335), delegasi itu terdiri dari: Hosius, uskup Cordoba, penasehat rohani Kaisar, dan dua
imam pembantu Vitus dan Vincentius. Dan Keputusan Konsili menjadi hukum negara:
Arius serta uskup-uskup pembangkang dipecat dan dibuang, sedangkan tulisan-
tulisannya dibakar. Dan dengan dorongan Kaisar para uskup dapat menghasilkan suatu
penegasan dogmatis dalam bentuk satu syahadat iman kristen khususnya tentang Yesus
Kristus (yang dikota Kaisarea dipakai dalam upacara baptisan). Pelawan Arius yang
paling kuat adalah Athanasius, uskup Aleksandria (± thn. 373) dan lain-lain.

2.2.4. Appolinarius (uskup Laodikea ± thn. 310-390).

Appolinarius adalah teman seperjuangan dari Athanasius, uskup Aleksandria.


Bersama Athanasius ia menjadi pelawan para pengikut Arius.

33
Ia membela bahwa Yesus Kristus itu adalah Anak Allah, sehakekat dengan
Bapa. Dan dalam penjelasan tentang bagaimana firman Allah itu menjadi manusia ia
kemukakan bahwa: Yesus Kristus terdiri dari dua unsur (mirip dengan manusia) yakni:
badan/daging (yang berjiwa) dan firman Allah yang menggantikan akal (nous)
manusiawi Yesus. Dasar penjelasan adalah bahwa: dua benda utuh dan lengkap tak
dapat benar-benar menjadi satu. Dan jika pada Yesus terdapat juga akal manusiawi
maka ia dapat berdosa, sebab akal itu melandaskan kebebasan. Dan karena itu
keselamatan manusia tak terjamin. Jadi Sabda menjadi manusia berarti sabda itu
menggantikan bagian yang lebih tinggi dari manusia (yaitu jiwa): atau Sabda kekal
bersatu dengan bagian lebih rendah dari manusia (daging/badan).

2.2.5. Nestorius dan Eutykhes

Nestorius sebenarnya adalah pembela konsili Nikea, bahkan ia juga menjadi


pengejar para penganut ajaran Arius. Ia adalah seorang Ahli Kitab Suci, dan berasal dari
sekolah Antiokhia, dan menjadi batrik Konstantionopel tahun 428.

Ketika timbul perdebatan tentang Maria sebagai “Bunda Allah“ (theo-tokos)


oleh Anastasius Neustokirius sebagai batrik lalu melawan gelar “Bunda Allah” yang
sangat dibela oleh mashab Aleksandria. Nestorius, dengan dasar bahwa Allah tak punya
asal dan tak punya ibu, lalu mengajarkan bahwa Maria bukanlah Bunda Allah tetapi
Bunda Kristus (christo-tokos). Gelas ini menurutnya paling tepat untuk Maria. Dan Ia
juga sesuai dengan pemikiran mazhab Antiokhia umumnya yang mengatakan bahwa
Maria adalah Bunda manusia Yesus (antropo-tokos). Maria bukan seperti dewi-dewi
Yunani yang dapat melahirkan seorang dewa, tetapi ia hanya Ibu Manusia Yesus.

Dan tentang Yesus Kristus Nestorius mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah
“Persona” manusiawi yang ke dalamnya persona Sabda Allah. Rahmat Allah
memungkinkan Sabda Allah bersatu dengan Manusia Yesus yang bagaikan satu
“kenisah”, sehingga menjadi betul satu “rupa” (prosopon) . Nestorius betul membela
kemanusiaan historis Yesus Kristus yang benar-benar menderita. Sabda Allah tak bisa
menderita. Yesus Kristus mempunyai dua kodrat (physis), bersama “rupa“ (prosopon) .
Nestorius betul membela kemanusiaan historis Yesus Kristus yang benar-benar
menderita. Sabda Allah tak bisa menderita. Yesus Kristus mempunyai dua kodrat
(physis), kodrat Allah dan kodrat manusiawi. Dalam dia kedua kodrat itu, bersama
“rupanya” bergabung dan lalu mendapat satu rupa (prosopon) saja yaitu rupa Kristus.
Persatuan itu merupakan satu kurnia, dan kebebasan, karena firman Allah dengan bebas
memberikan diri kepada manusia riil dengan menerima tawaran dari yang ilahi itu.
Dan lalu persatuan itu berarti Allah memakai realitas manusiawi dan manusia memakai
realitas ilahi. Keduanya tanpa tercampur, bergabung menjadi satu rupa yakni rupa
Yesus Kristus. Tokoh rupa inilah yang tampil dalam injil-injil.

Pikiran ini kemudian dilawan oleh Cyrilus, dengan menekankan bahwa Yesus
Kristis hanya satu subyek (Nestorius: dua subyek yang bergabung menjadi satu--menurut
pengertian Cyrilus); Cyrilus adalah batrik Aleksandria, sehingga pertentangan antara

34
keduanya adalah pertentangan antara dua batrik, dan dua mazhab, yang oleh karenanya
lahir konsili Ephesus (431) pada hari raya Pentekosta.

Dengan konsili Efesus, ternyata persoalan dan pertentangan belum


terselesaikan terutama dengan munculnya eutykhes, kepala satu biara rahib di
konstatinopolis (tahun 450). Bersama para rahib lain dari mesir, khsususnya yang
menganut mazhab Aleksandria, mereka melawan pemikiran cyrilus. Eutykhes begitu
menghargai dan menjunjung tinggi ke-Allahan Yesus Kristus. Karena itu Ia katakan:
Yesus Kristus itu sehakekat dengan Allah/Bapa, tetapi tidak sehakekat dengan “kita
manusia”. Ia adalah Allah, meskipun menjadi daging. Menyebut Yesus sehakekat dengan
kita, berarti Yesus itu seorang manusia di samping Allah. Pada mulanya memang ada dua
kodrat, tetapi sesudah penggabungan ada hanya satu kodrat, yakni kodrat Ilahi yang
menyerapi kodrat manusiawi (kodrat manusia diserapi kodrat ilahi). Ia begitu
menekankan keilahian Yesus Kristus sehingga kemanusiaanNya menjadi tak berarti apa-
apa.

Terhadap pemikirannya itu timbul penentang seperti Flavianus Batrik


Konstantinopolis dan Leo I, uskup Roma. Flavianus mengumpulkan konsili di
Konstantinopolis untuk meneliti pikiran Euthykhes. Euthykhes tidak mau hadir, dan
kaisar Theodosius II pendukung Euthykhes lalu membuat konsili tandingan di Efesus
(tahun 449) yang dikatehui Dioscorus batrik Aleksandria. Konsili ini menyatakan
mendukung pandangan Euthykhes dan menghukum pandangan Flavianus yang
mengatakan bahwa Yesus Kristus selama inkarnasi mempunyai dua kodrat. Sementara
konsili di Konstantinopolis mengutuk Euthykhes. Dan sejak inilah muncul peranan
penting Gereja Barat, mulai dengan Leo Agung I. Karena ada dua konsili yang saling
menghukum, maka diadakan konsili gabungan. Dan itu terjadi di Khalkedon (± 451).
Suasana dalam konsili itu demikian kacau, karena ulah dari batrik Dioscorus dan rahib-
rahib yang tidak diberi hak suara. Di dalam konsili ini, dicabut segala keputusan dan
tindakan sinode Efese, dan Dioscorus serta pendukungnya dipecat. Di dalam konsili ini,
shahadat Nikea dibacakan, surat Cyrillus juga dibaca lagi, demikian juga surat Leo
kepada Flavianus tentang Euthykhes. Lalu disusun satu SHAHADAT mengenai Iman
sejati kepada Yesus Kristus. Konsili Khalkedon mengutuk Nestorius dan Euthykhes tetapi
tidak mengutuk biang keladinya (Theodorus, uskup Mopsuesta), dan pendukung serta
pembela Nestorius (Theodoretus, uskup Kyros, dan Ibas uskup Edessa). Theoderetus dan
Ibas menyetujui konsili Khalkedon yang menilai mereka ini “orthodox”. Tetapi pertikaian
jalan terus, dan uskup Roma juga sering diombangambingkan oleh kaisar. Kaisar
Justianus lalu mengundang konsili Konstantinopolis II, tanpa persetujuan uskup Roma
Vigillius. Konsili yang dimaksudkan untuk mendamaikan para monophysit dengan
konsili Khalkedon tak berhasil, karena uskup dari gereja Latin tidak hadir.

Dan dengan demikian persoalan tentang Yesus Kristus berjalan terus. Dan
kurang lebih dengan diadakannya konsili Konstantinopolis III (tahun 681) dimana
dijelaskan tentang dua kehendak dan dua kerja/aksi dalam Yesus Kristus persoalan itu
dinyatakan selesai untuk sementara waktu.

35
BAB 3. PERKEMBANGAN KRISTOLOGI ABAD VII – XIX DALAM
DUNIA YANG BERUBAH.

Dengan selesainya konsili Konstantinopolis III, dianggap selesai pula rangkaian


konsili yang berbicara tentang bagaimana umat kristen memikirkan dan membahasakan
Yesus Kristus.

3.1. ABAD VII – XVII.

Antara abad VII-XII, keadaan sosio politis di dunia Yunani Romawi dan di Timur
tidak stabil lagi. Keadaan yang tidak stabil ini menimbulkan bahwa pemikiran teologis
juga seakan-akan terhenti. Di bagian Timur, mulai muncul ancaman dari kerajaan Persia
dan serangan kaum muslimin serta kaum mongol. Sedangkan di Barat, mulai terdapat
ancaman dari suku-suku yang datang dari Utara seperti suku Got, suku Hun dll……
….satu-satunya struktur yang masih bisa bertahan adalah struktur Gereja Latin, yang pada
waktu itu mulai terpisah jauh dari Gereja di kawasan Timur. Gereja Barat menjadi kubu
pertahanan kebudayaan Romawi Yunani, dan di Barat juga mulai muncul kebudayaan
baru, yakni Eropa Barat zaman pertengahan. Di Barat Kristologi yang dipercayakan
adalah kristologi dari abad-abad sebelumnya, dan penghayatan iman menjadi sangat
dangkal, karena pengaruh kedatangan suku-suku baru dari utara, dan lalu penghayatan itu
tercampur dengan unsur-unsur kafir. Namun demikian mereka juga menjadi penganut
kristologi Augustinus: kristologi logos-anthropos, yang merupakan kelanjutan dari
kristologi gereja latin (Tertulianus, Hilarius dan Ireneus), dan sehaluan dengan kristologi
seperti dirumuskan dalam konsili-konsili Nikea, Efese, Khalkedon, dan konsili
Konstantinopolis III. Sedangkan di Gereja Timur dianut kristologi seperti dirumuskan
oleh konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III.

Dengan masuknya suku-suku dan timbulnya feodalisme politik di dunia Barat


yang kemudian menjadi semacam “aliran pikiran” maka struktur dasar pemikiran juga
menjadi sedikit berubah. Dan waktu itu (antara abad VII-XI) mulai di buka macam-
macam sekolah, dan dimulai pendidikan ilmiah terutama oleh para rohaniwan. Dengan
itu terjadilah semacam “renaisance” yang mempersiapkan perkembangan lebih lanjut.

Perkembangan baru ini mempengaruhi juga gambaran tentang Yesus Kristus.


Muncul satu gambaran Yesus feodal, Yesus sebagai tuan feodal. Kalau dulu kristologinya
begitu menekankan keilahian Yesus Kristus, dan kemanusiaanNya yang konkrit agak
tersingkir, dan Yesus Kristus digambarkan sebagai seorang kaisar, kini Yesus dilihat
sebagai tuan feodal pada masyarakat feodal. Yesus ditampikan sebagai Heliand/Juru
Selamat, dan tugasnya sebagai Raja/tuan adalah “berperang” Ia menjadi pejuang dan
pemenang.

Baru pada abad XI timbul pendekatan baru bertolak dari soteriologi, pendekatan
mana memantapkan kristologi. Pendekatan itu dikembangkan oleh Anselmus, seorang
rahib dan guru di biara Leo Beo di Perancis, yang kemudian menjadi uskup Caterbury di
Inggris (± tahun 1109). Anselmus menekankan peranan aktif Yesus Kristus dalam
eksistensi keduanianNya. Ia betul menonjolkan kekuatan Allah-Anak dalam realitas

36
kemanusiaan Yesus, sengsara dan kematianNya, yang mana dalam kristologi Yunani segi
ini sedikit disingkirkan.

Dan pada masa-masa berikutnya, terutama pada zaman skolastik (abad XIII-
XV) kristologi pada dasarnya tidak berkembang. Masih dianut pemikiran dari konsili
Khalkedon, Konstantinopolis III serta arah yang ditunjukkan oleh Augustinus dan
Anselmus dari Canterburry terutama yang berpusat pada soteriologi. Kaum skolastik
tidak terlalu banyak membawa perkembangan dalam kristologi/soteriologi. Yang
dipersoalkan hanya tentang: bagaimana struktur intern Yesus Kristus: serentak Allah dan
manusia. Apakah pada Yesus itu terdapat existentia manusiawi bersama dengan
essentia/natura manusiawi ataukah exisstentia manusiawi diganti dengan existentia Ilahi.
Apa tujuan daripada inkarnasi, dan bagaimana pengetahuan Yesus selagi hidup di dunia,
dan seterusnya.

Tetapi pada abad XIII juga muncul satu teologi baru, satu teologi modern yang
menggunakan filsafat (metafisik) Aristoteles. Bonaventura (± tahun 1274) seorang
skolastik besar melanjutkan pemikiran Augustinus dan sedikit dipengaruhi oleh filsafat
modern tadi. Sedangkan Thomas Aquinas (± tahun 1274), dalam teologinya sangat
dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Dalam karyanya “Summa Theologiae” yang
kemudian menjadi “buku pedoman” dalam sekolah-sekolah teologi ia membuat satu
sintese yang cukup seimbang antara tradisi lama dengan filsafat Aristoteles. Ia melihat
filsafat sebagai sesuatu yang mandiri di samping iman. Dan Johannes Dun Scotus (±
tahun 1308), melanjutkan pemikiran tersebut, sehingga membuka pintu untuk teologi
selanjutnya.

Dan baru pada abad XV timbul satu pergolakan baru, dengan munculnya,
“humanisme” satu pemikiran baru yang dikaitkan dengan “renaisance” (antara tahun 1378
dan 1417). Dengan pengaruh aliran baru ini, perhatian manusia bukan lagi pada Allah dan
kosmos, tetapi beralih kepada manusia sendiri. Berhubungan dengan ilmu-ilmu
pengetahuan juga, terutama ilmu-ilmu positif dan sejarah mulai berkembang maju. Dan
timbul kemerosotan dalam kehidupan kristen. Kemerosotan itu menolak dengan
timbulnya apa yang dikenal dengan “reformasi”. Titik awal kemerosotan ini adalah tahun
1517, ketika Martin Luther tampil dan mengeritik kemerosotan dalam gereja katolik. Dan
para reformator (Luther tahun 1546; Kalvinus tahun 1564; Zwingli tahun 1531) bukan
mempersoalkan tentang Yesus Kristus (kristologi), tetapi lebih memikirkan masalah dosa,
rahmat, pembenaran manusia dan gereja. Teologi mereka terlebih bersifat antropologis-
teolo-gis.

Luther sangat mengeritik teologi spekulatif-skolastik yang menggunakan filsafat


dalam pembicaraan tentang Allah, dalam teologi-teologi. Ia tak setuju dalam pemakaian
filsafat di dalam teologi, untuk menyelidiki struktur intern Yesus Kristus misalnya.
Manurut Luther hanya Alkitablah yang dapat menjadi sumber teologi. Ia bersama kaum
reformator lain lebih memusatkan perhatian pada penebusan aktual, pada rahmat dan
pembenaran. Segi historis dari peristiwa Yesus kurang mendapat perhatian (kematian
Yesus sebagai dasar penebusan serta pembenaran orang-orang berdosa, lebih ditekankan.

37
Dari sudut kristologi dapat dilihat perkembangannya sebagai berikut: bahwa
sejak abad III umat kristen memikirkan Yesus Kristus dalam kerangka pemikiran
metafisik Yunani, terutama Plato, yang mana menyamakan Yesus Kristus dengan “logos”
ilahi, gambaran sempurna Allah/Bapa yang tampil di dunia untuk mengilahikan dunia
khususnya manusia, gambar Allah yang rusak. Dan dalam rangka metafisik Aristoteles
(mulai abad IV, dan terutama abad XIII), mulai memikirkan apa yang menyebabkan
Yesus Kristus menjadi serentak manusia dan Allah, mempersatukan yang “ilahi ” dan
yang “manusiawi” sekaligus dalam dirinya. Dalam kerangka pemikiran ini, yang ilahi
dijelakan dengan prinsip “kodrat” (natura), yang manusiawi yang menjelaskan dengan
prinsip “kodrat” (natura), sedangkan prinsip pemersatu ialah diri, pribadi (persona,
hypostasis) yakni persona ilahi (diri ke-III dalam Triniteologi skolastik (Thomisme)
bahkan hingga abad XX. Dan “Kristologi dari atas” sebagaimana dirumuskan dalam
konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III, tak terganggu.

Tetapi sejak abad XVI cara pikir metafisik Yunani ini mulai merosot karena makna
pesatnya perubahan radikal di bidang-bidang lain: pol-ek-sos dll. Ilmu-ilmu terutama
teologi bukan lagi menjadi monopoli para rohaniwan tetapi juga menjadi milik awam.
Ilmu-ilmu positif yang berdasarkan eksperiment-eksperiment makin berkembang
(Kopernikus, 1543; Galileo Galilei, 1624; Newton 1727). Dunia mengalami perubahan
hampir di segala bidang. Filsafat mulai lepaskan diri dari teologi, dan iman. Proses
sekularisasi semakin meluas. Kalau cara pikir klasik (Yunani, abad pertengahan) bersifat
kosmosentris dan teo-sentris, maka kini dengan timbulnya renaisance humanisme, (yang
mulai lebih menonjol abad XVIII + XIX) mulai berbalik dari Allah dan kosmos kepada
manusia. (antropo-sentris). Orang mulai sadar akan sejarah yang sebenarnya, dimana
manusia menjadi subyek dari pada sejarah itu. alam pikiran dunia baru ini terutama
berkembang di dunia barat, yang ditonjolkan lewat berbagai sistem berpikir, filsafat yang
bersaingan satu sama lain. Dan problem pokok pemikiran itu bukan apa yang diketahui
dan dipikirkan, tetapi bagaimana manusia dapat mengetahui serta memikirkan serta
menjumpai sesuatu dan dimana nilai pengetahuan manusia. Muncul filsafat empirisme
(terutama berkembang di Inggris, dirintis oleh Francis Bacon 1626, John Locke, 1704
dan D. Hume, 1767). Selain itu muncul aliran lain yang paling menonjol yakni:
rasionalisme (yang muncul pertama kali oleh R. Rousseau, 1778 Perancis, Chr. Wolf
1754- jerman, sambil dimatangkan oleh I. Kant, 1804. Dari situ berkembang juga
idealisme, dengan tokohnya G.W.F Hegel, 1831. Prinsip dasar rasionalisme ialah bahwa
daya mengenal, daya pikir manusia adalah otonom dan itu mendahului “adanya” segala
pikir manusia adalah otonom terhadap rasinalisme ini, muncul reaksi yang disebut
“eksistensialisme” dengan tokoh-tokohnya: M. Heideger, 1976; K. Jaspers, 1969; T. G.
Sartre, 1984; dan A. Camus, 1960, dll. Seluruh manusia mendapat perhatian;
keberadaan/eksistensinya. Yang jadi pertanyaan bukanlah itu manusia (metafisik), tetapi
bagaimana manusia dalam keberadannya yang nyata secara menyeluruh dapat berjumpa
dengan sesuatu. Titik tolak eksistensialisme bukan: “saya berpikir” (Descartes) atau “saya
sedang memikirkan sesuatu yang lain”. Eksistensialisme mendapat tanggapan dari kaum
“pragmatik”, dengan perintisnya K. Marx, 1883. Menurut aliran ini: keberadaan adalah
realitas yang sebenarnya; bukan soal pikiran dan teori serta pengetahuan tetapi soal
praxis, perbuatan. Praxis itu mendahului yang “ada”; maka kebenaran tak diketahui tetapi
dilakukan. Realitas yang dijumpai manusia bukan untuk diketahui tetapi untuk dikelolah

38
dan realitas yang sebenarnya ialah materi yang di manusiakan dan manusia yang
dimaterikan. Relasi timbal balik dan dinamika antara manusia itulah realitas. Pandangan
ini juga tidak kurang antroposentisnya daripada rasionalisme, idealisme, dan
eksistensialisme. Hanya saja disini manusia tak dilihat sebagai individu terlepas
melainkan dalam relasi timbal balik.

Dalam hubungan dengan kristologi: kalau di dalam cara pikir Yunani digunakan
terutama gagasan “kodrat/natura” dan “diri/persona”, maka di dalam pikiran modern
gagasan ini tidak dipakai. Kalau dalam pikiran skolastik “persona” dipahami (seperti
Boethius) sebagai “persona est naturae rationalis individua substantia” (kodrat akali yang
khusus-tak dapat dikomunikasikan dan mandiri-berdiri sendiri sendiri, otonom), maka di
dalam pikiran modern Barat, persona mendapat bermacam-macam arti, a.l. persona
adalah berada pada dirinya sendiri sehingga yang mengenal dan yang dikenal seluruhnya
satu dan sama. Obyek dan subyek menjadi satu. dan persona dimengerti selalu dalam
relasi dengan persona yang lain. Demikian pun kodrat mendapat arti yang berbeda-beda:
misalnya, kodrat berarti prinsip perbuatan dan dapat dibedakan dengan diri/persona.

Jadi dari hal-hal seperti dijelaskan diatas, dapat disimpulkan dari segi kristologi
bahwa: kristologi trandisional menggunakan metafisik untuk mewartakan Yesus Kristus;
namun pewartaan dan pengungkapan serta konsep-konsep tadi, tak dapat dipahami oleh
dunia baru. Tidak sedikit dari soteriologi tradisional (dosa, dosa asal penebusan,
penyilihan ganti orang lain) dilihat sebagai yang menyerang otonomi manusia, dan
berlawanan dengan ratio.

3.2. ABAD XVIII – XIX.

Selama abad XVIII dan XIX, rasionalisme dan empirisme, merajalela di dunia
Barat. Demikian pun ilmu sejarah berkembang. Dogma-dogma kristologis dan
soteriologis tidak masuk akal rasionalis. Karena itu di cari pegangan dalam sejarah. Kalau
kristologi menekankan Yesus Kristus sehakekat dengan Bapa, maka pendekatan historis
itu mengembangkan dan menekankan Yesus: sehakekat dengan manusia. Demikianlah,
“kristologi dari atas” diganti dengan “kristologi dari bawah” dengan menekankan
“manusia” Yesus pewartaan menjadi lebih sesuatu dengan alam pikiran yang berpusatkan
pada manusia, yang mendasarkan diri pada pengamatan dan akal manusia (rasionalisme,
empirisme, historisisme dan idealisme).

Usaha pertama yang dipengaruhi oleh pikiran modern tersebut tadi, dilontarkan oleh
H. S. Reimarus (± tahun 1766). Ia coba menerapkan patokan ilmu sejarah pada PB untuk
bisa menemukan Yesus yang sebenarnya, yang bersih dari segala dogma. Dan menurut
Reimarus, umat kristen awal telah memasukan banyak “mitos” kedalam Yesus, sehingga
mengubah Yesus yang sebenarnya, menjadi Anak Allah, Allah dan Juru Selamat. Sejarah
Yesus dipalsukan, dan karena itu tidak dapat dipahami lagi oleh pikiran modern. Yesus
yang sebenarnya menurut Reimarus adalah Yesus yang tampil di dunia Yahudi sebagai
Mesias politik yang memperjuangkan kebebasan politik bangsanya, tetapi Ia gagal.
Karena itu Ia tidak relevan lagi, dari segi ini. Tetapi dari segi lain, Yesus adalah Guru
yang mengajarkan suatu etika luhur dan mulia serta merohanikan agama Yahudi, dan Ia

39
sendiri melaksanakan konsisten ajaranNya itu, dan dengan itu Ia menjadi contoh dan
teladan untuk manusia lain sepanjang abad. Ia mau mengubah dan meluruskan manusia
lain sepanjang abad. Ia mau mengubah dan meluruskan manusia ke jalan yang benar. Dan
sebagai manusia luhur serta guru etika ini, Ia dapat diterima oleh rasionalist abad XIX,
karena memang cocok dengan cita-cita rasionalisme seperti disebarkan oleh Voltaire dan
Rousseau. Sebagai guru dan teladan Ia menjadi awal historis agama Kristen. Pikiran
Reimarus ini mendapat banyak kritikan dari orang-orang sesamanya, tetapi toh bertahan
selama lebih dari satu abad.

40

Anda mungkin juga menyukai