Anda di halaman 1dari 3

Nama : Friska Delisda Sitorus

Nim : Friska Delisda Sitorus

Dosen : Pdt. Dr. Riris Johana Siagian, M.Si

Laporan Bacaan Buku BAB I “ SAHALA ”

I. Pengantar

Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang majemuk yang terdiri atas berbagai
macam suku atau etnik yang tersebar di tanah air.Tiap etnik mempunyai kepercayaan dan
kebudayaan masing-masing yang dipergunakan dalam komunikasi dan berinteraksi baik
sesama etnis maupun antar etnik. Kepercayaan atau religi merupakan salah satu unsur-unsur
kebudayaan yang peranannya sangat penting sebagai sarana komunikasi untuk
menyampaikan maksud dan pokok pikiran manusia serta mengekspresikan dirinya di dalam
interaksi kemasyarakatan dan pergaulan hidupnya.Jadi, kebudayaan senantiasa perlu dibina,
dikembangkan, dilestarikan sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Sebelum
kekristenan hadir di tanah Batak, Dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi landasan
kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak dan sebelum suku Batak
menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi
tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-
Nya terwujud dalam Debata Natolu.Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga
konsep, yaitu tondi, sahala, dan begu.

II. ISI BUKU

Pada bab I buku ini menyajikan bagaimana kepercayaan orang-orang Batak Toba
sebelum kekristenan hadir di tanah Batak. Orang-orang Batak telah menganut suatu
kepercayan relegius, suatu paham keagamaan berkaitan dengan keyakinan tertinggi kepada
Mulajadi na Bolon, sebagai pencipta alam semesta dan manusia.

Tondi dan Sahala adalah dua hal yang berbeda, walaupun konsep sahala memiliki
kedekataan dengan konsep roh. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki oleh
seseorang. Tondi adalah jiwa atau orang itu sendiri dan juga merupakan kekuatan.
Perbedaannya dengan tondi adalah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumla
serta kualitasnya juga berbeda-beda.1

Sahala dari seorang Raja (petua agama) lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa
dan begitu pula sahala dari Hula-hula lebih kuat dari sahala seorang boru.2 Kemudian Sahala
sebagai pemimpin agama sebelum Kekritenan di tanah Batak. Di mana agama dalam
masyarakat tradisioanal berkaitan dengan dunia magis. Kepercayaan kepada Mulajani na
Bolon. Batak Toba mengenal dunia sakral sebagai tempat dewata berdiam. Memberi
makanan atau sesajen kepada tempat-tempat yang diyakini tempat para dewata bersemayam.
Meyakini para dewata yang menciptakan bumi, memelihara, dan mengatur bumi. Tempat
itulah yang kemudian diyakini juga sebagai tempat kehadiran sahala.3

Pemimpin agama sebelum kekristenan masuk ke tanak Batak dapat dikenal dari
pakaiannya yang menggunakan ulos, membawa tongkat yang menjadi penunjuk sahala
mereka. Sisingamangaraja adalah seorang pemimpin tanah Batak yang memiliki sahala yang
tinggi dan berkualitas.4

Perkembangan selanjutnya, semakin terasa adanya kebutuhan akan pemimpin yang


meliliki kekuatan mengorganisir. Masa transisi agama Batak dan agama Kristen cenderung
melihat agama Batak dari satu perspektif tertentu seperti kekristenan. Hal itu membuka celah
untuk sangat mudah menyebut agama Batak sebagai agama sipelebegu, sebagaimana hal itu
dilakukan oleh beberapa orang dari kalangan para missionaris.

Lalu bagaimana Sahala sebagai pemimpin Agama sesudah kekristenan di Tanah


Batak ?. Pemimpin agama sesudah kekristenan beehadapan dengan konteks yang sudah
berkembang, di mana logika berfikir lebih rasional. Ilmu pengetahuan semakin menarik
perhatian orang Batak untuk mengikuti perkembangan jaman. Kekristenan sendiri hadir di
tanah Batak sejak tahun 1861. Bukan hal yang mudah untuk memperkenalkan kekristenan di
tanha Batak kala itu. Tetapi para Missionaris melakukan pendekatan terlebih dahulu dengan
Raja-raja Batak untuk mengunjungi tanah Batak. Missionaris juga memiliki hubungan yang
cukup baik dengan pemerintahan kolonial, membantu menjaga keselamatan Nommensen

1
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum adat Batak Toba (Yogyakarta : Lkis Pelangi Aksara, 2004), 95-99.
2
Lothar Schreininer, Adat Dan Injil (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 4.
3
Tagor Nainggolan, dkk , Karakter Batak Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan (DKI Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015), 45-46.
4
Sitor Situmorang, Toba Na Sae :Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX, 347.
dalam penyebaran Injil. Nommensen bahkan berhasil membangun huta dame, yang tidak
terlepas juga dari bantuan pemerintahan kolonial.5

Keberadaan Raja Batak, tua-tua kampung, bertindak sebagai Iman dalam upaca
penyembahan kepada leluhur Batak dalam agama tradisional Batak. Mereka terlibat dan
ambil bagian pada setiap ucapa-upacara adat Batak dalam sistim Dalihan na Tolu mulai dari
kelahiran hingga kematian. Sementara pada acara gerejawi kehadiran mereka sangat
diharapkan, untuk mengambil kesepakatan-kesepakata yang dilaksanakan, dan
menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara jemaat gereja.

Walaupun kekristenan sudah memasuki di tanah Batak, tetapi belum sepenuhnya


dapat diterima orang Batak. Namun, ketertarikan orang Batak terhadap agama kristen mulai
ada.Keberhasilan Nommensen merangkul pemimpin-pemimpin adat menjadi strategi
pelayanannya untuk menyebarkan Injil di Tanah Batak. Pada tahap selanjutnya Sahala dan
subtansinya yang dikandungnya menjadi berubah. Masyarakat mengalami disorientasi
kultural. Di mana pemahaman sahala mengalami perubahan. Kehadiran missionaris disadari
turut mempengaruhi makna dari sahala itu.

III. Refleksi

Refleksi teologis yang dapat diambil mengenai sahala ialah kepercayaan bersama dan
keselamatan yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap Nenek Moyang sebagai sumber
pasu-pasu orang Batak Toba. Dalam kehidupan ini kecenderungan manusia untuk
mengarahkan ekseistensi untuk pemenuhan aspek materialistis. Batak Toba juga mengambil
ini, yakni Haporseaon (Iman kepercayaan), Hadameon (Kasih), Hamoraon (kekayaan),
Hasangapon (kehormatan), dan Hagabeon (keturunan/generasi). Di mana hal tersebut terletak
dimensi pemaknaan salib Kristus. Namun, kita harus kembali mengingat bahwa pencipta kita
adalah Allah. Tuhan itu Allah kita, Tidak ada Tuhan selain Dia (kel.20:3, Ul 5:7). Dialah
Allah yang telah menciptkan langit dan bumi serta seluruh isinya, dan yang telah
memeliharanya hingga kesudahan alam (Kej.1:2; Mzr.24:1-2). Teologi sahala dapat
digunakan untuk membangun pemahaman bersama tentang Tuhan, manusia, alam dan lain
sebagainya, dengan penekanan bahwa setiap orang harus menghidupi keyakinan
keagamaannya.

5
Paul B.Pedersen, Darah Batak dan jiwa Protestan ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), 56-57

Anda mungkin juga menyukai