Anda di halaman 1dari 3

Bryan s Turner – islam, public religion and the secularization

Bryan S Turner (selanjutnya akan disingkat BST) memulai pembahasannya


dengan pendapat bahwa teori modern tentang sekularisasi tidaklah akurat. Pada
realitasnya, terutama di amerika dan eropa utara, teori yang mengatakan bahwa seiring
dengan terjadinya modernisasi, urbanisasi dan rasionalisasi, posisi agama akan
berkurang itu tidaklah terbukti. Bagaimana dan mengapa?

Ia mencoba menganalisis hal tersebut dalam artikel ini. Ia membagi analisanya


kepada beberapa bagian . pertama, ia menganalisa perubahan interkoneksi antara ruang
public dan politik serta melihat transformasi perilaku keberagamaan personal di ruang
public. Dlam menganalisa hal tersebut ia mengacu pada terjadinya evolusi syariah,
terutama yang terjadi dalam masyarakat multicultural.

Dengan mengacu pada teori Buerdue tentang tiga komponen dalam sekularisasi,
yaitu dikotomi ruang dalam system sosial (seperti agama, negara dan pasar),
sekularisasi sebagai kemunduran kepercayaan dan pengamalan agama, marjinalisasi
agama dalam ruang privat. BST menganggap pentingnya membedakan antara
sekularisasi politik (dikotomi agama dan ruang-ruang lain dalam masyarakat), dan
sekularisasi sosial (sekularisasi dlam kehidupan sehari-hari seperti komodifikasi).

Sekularisasi politik dapat dipahami dengan meliaht pada sejarah pemisahan


antara gereja dan negara atau dalam hal yang lebih kompleks, pada spesialisasi sub sub
system masyarakat. Sementara sekularisasi sosial dapat kita lihat pada ibadah dan
kepercayaan dalan kehiddupan sehari-hari atau da lam istilah Bourdieu disebut
habitus.

Sekularisasi politik dapat diartikan dengan pandangan liberal terhadap toleransi


dimana setiap orang bebas menganut kepercayaan tertentu selama tidak memberikan
dampak negative terhadap kehidupan sosial. Namun, karena dalam kehidupan
masyrakat agama biasanya menjadi ciri budaya tertentu, terkadang akan terasa sulit
untuk membedakan ruang personal dan ruang public.

Ketika agama memasuki ruang public, terutama dalam masyarakat yang


multicultural dan multi-faith , negara sering ikut campur dengan “kikuk” dalam
mengatur agama untuk mengkampanyekan toleransi. Ketika dalam masyarakat terdapat
kepercayaan yang beragam, dimana hal tersebut dianggap dapat mengganggu
keharmonisan kehidupan sosial, negara mengintervensinya secara implisit atau
eksplisit dengan meregulasi aktifitas keagamaan, seperti pelarangan memakai hijab
dalam ruang public di singapura misalnya. Regulasi semacam itu bukanlah bertujuan
untuk menekan agama tertentu melainkan untuk mengontrol hubungan antar agama.

Sedangkan sekularisasi sosial kembali pada definesi mayoritas sosiolog terkait


vitalitas agama, seperti keanggotaan gereja, keyakinan kepada Tuhan, pengalaman
relijius, dan ketaatan beribadah seperti sholat dan haji. Terkait dengan hal ini,
sebenarnya hanya sedikit ditemukan bukti kemunduran agama diluar eropa utara.
Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat komersialisasi dan demokratisasi
terhadap agama yang sesuai dengan masyarakatnya.

Berlandaskan pada dikotomi antara sekularisasi politik dan sekulari sosial ini,
ia melanjutkan pembahwasannya kepada beberapa bagian, yaitu pembahsan tentang
kerangka politik dalam deprivatisasi agama, praktek keagamaan, ketaatan perempuan
dan “ritual intimasi” dalam masyarakat modern dan otoritas agama dalam globalisasi.

Setelah membahasa poin-poin tersebut ia menyimpulkan bahwa agama malah


mengalami deprivatisasi dalam kehidupan masyarakat tidak seperti pada konsep
sekularisasi yang biasa didefinisikan sebagai kemunduran agama dan menghilangnya
symbol agama daam kehidupan masyarakat. Disamping sekularisasi agama dan politik
sudah tak begitu terlihat dalam wilayah public, agama dalam ruang sosial sangatlah
dipengaruhi oleh sifat individualism dan kemersialme yang datang datang dari proses
globalisasi. Gaya hidup keberagamaan dalam masyarakat sebagai consumer
merupakan sebuah bentuk spiritualitas individualistic. Kedaulatan individual dalam
pasar masyarakat dan dalam teori-teori ekonomi menjadi bentuk dari keberagamaan
yang individualistic, yang mana dengan hal tersebut mereka secara independen
membangun kepercayaan mereka masing-masing yang berakibat pada adanya
percampuran, adanya keberagamaan yang post institusional dan post orthodox.

Keberadaan internet menjadi hal yang sangat mempengruhi pembentukan


karakter dan pengamalan agama terutama pada masyarakat muslim minoritas di barat
yang dalam hal ini terlihat bahwa batasan antara keduniaan dan yang sakral mulai
mengalami keburaman. Merujuk pada Casanova, ia mengatakan bahwa pasarlah yang
menetukan agama sebagai gaya hidup bukan sebaliknya. Perkembangan sekularisasi
semacam itu terjadi secara global sehingga menyebabkan terjadinya paradox dalam
sosiologi. Masuknya agama dalam ruang public berkaitan dengan adanya gerakan
radikal agama, namun di waktu sama agama menjadi subjek yang tak terpisahkan dari
perubahan—perubahan yang membawa sekularisasi melalui komodifikasi. Agama
mempunyai spesialisasi dalam menyediakan pelayanan kesejahteraan, penyembuhan,
ketenangan dan makna yang harus berkompetensi dengan agensi yang sekuler. Dalam
persaingan ini, kelompok agama biasanya juga memakai metode dan nilai-nilai yang
dianut oleh konsumerisme sekuler.

Reviewed by Ahmad Faiq Nur (IsNus)

Anda mungkin juga menyukai