Anda di halaman 1dari 16

Semiotika dan Hipersemiotika Halaman 247-272

1
Semiotika dan Hipersemiotika
Trans – Semiotika

Teori hipersemiotika merupakan kritik terdahap semiotika konvesional, khususnya


semiotika struktural, karena itu hipersemiotika berelasi kuat dengan pandangan-pandangan
poststrukturalisme. Hipersemiotika dapat dipandang sebagai metode pembacaan.

Bila strukturalisme menawarkan metode pembacaan yang statis, a-historis,


reproduktif, retrospektif, maka hipersemiotika menawarkan sebuah proses pembacaan yang
melampaui, dinamis, transformatif, produktif, revolusioner.

Pembacaan dikatakan melampaui (hyper, beyond) dalam pengertian melampaui


struktur, tanda, realitas, objek, alam, kodrat, konvensi, dan makna. Oleh karena itu,
hipersemiotika lebih nyaman bekerja di wilayah atau objek-objek kajian yang tidak biasa, tidak
mapan, bergerak, janggal, abnormal, anti-kemapanan.

Hipersemiotika sebagai teori maupun metode pembacaan semakin penting


keberadaannya dalam perubahan masyarakat dan kebudayaan ke arah masyarakat informasi
dan budaya virtual(cyberculture), di mana tanda-tanda bergerak ke arah tanda-tanda yang
bersifat artifisial atau virtual yang melampaui realitas itu sendiri(hypersign). Perkembangan
tanda-tanda melampuai itu seiring dengan perkembangan ke arah hipermedia, hiperteks, dan
hiper-realitas.

Di dalam masyarakat informasi terjadi perubahan mendasar tentang bagaimana tanda


dan teks digunakan. Perubahan ini disebabkan bahwa sirkuit komunikasi dan arus pertukaran
tanda dan wacana teks sekarang tidak lagi berpusar di dalam satu komunitas tertutup akan
tetapi beroperasi di dalam aneka jejaring sosial. Teks tidak lagi berdiri sendiri statis dan tetap
tetapi berada dalam jejaring bersifat dinamisa dan selalu bergerak tanpa henti di dalam
jejaring. Karena sifat tanda-tanda yang dinamis inilah kita tidak dapat bersandar pada makna
terstruktur yang mapan konvesional.

Hipersemiotika merupakan kritik untuk melampaui prinsip-prinsip baku dan


konvesional dalam semiotika. Bila tanda, struktur, sistem, realitas, dan makna adalah konsep-

1
konsep dasar dalam semiotika, yang mengandaikan kesatuan, ketetapan dan kestabilan,
hipersemiotika merupakan upaya untuk menggoyahkan yang berkesatuan, tetap, dan stabil.

Sejak dihidupkan kembali oleh Ferdinand de Saussure pada awal abad-20 hingga ke
era informasi dewasa ini semiotika tetap menjadi sebuah ilmu kunci dalam pemahaman
masyarakat dan kebudayaan. Popularitas semiotika sebagai metoda pembacaan di dalam
berbagai cabang keilmuan dapat dipahami karena ada kecenderungan akhir-akhir ini untuk
membaca berbagai fenomena sosial, politik, ekonomi dan budaya sebagai fenomena bahasa,
yaitu menggunakan cara kerja dan paradigma semiotika. Dengan perkataan lain, model
semiotika digunakan untuk memandang berbagai realitas kehidupan tersebut.

Semiotika mempunyai satu pandangan global bahwa bila di dalam setiap praktik sosial,
ekonomi, politik, hokum, budaya, keagamaan digunakan tanda-tanda dalam berbagai bentuk,
maka semua praktik itu adalah praktik pertandaan yang dapat dibaca melalui semiotika.

Menurut de Saussure, tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua
bidang— seperti halnya selembar kertas, metafora selembar kertas ini untuk menegaskan
bahwa antara materialitas tanda (pola suara) dan makna abstrak(konsep), antara benak dan
makna itu merupakan sebuah kesatuan(unity) yang tak dapat dipisahkan. Prinsip kesatuan
inilah yang di antaranya kemudian ditolak di dalam hipersemiotika.

Sebagai reaksi terhadap semiotika struktural, beberapa pemikir mengembangkan apa


yang bisa disebut sebagai semiotika post-struktural. Semiotika struktural memfokuskan kajian
pada prinsip struktur, bahwa segala sesuatu mesti dibangun oleh sebuah struktur yang tetap,
stabil, berulang, mengikat bahkan abadi. Semiotika post-struktural sebaliknya, melihat bahwa
struktur bisa berubah, sebagai efek praktik penggunaan bahasa dan dinamika sosiostruktural
yang ada. Semiotika post-strukturalis memandang tanda tidak statis melainkan dinamis,
transformatif.

Semiotika strukuturalis memandang tanda sebagai struktur yang mengikat. Misalnya,


ketika saya berbicara, saya harus mengikuti aturan main bahasa Indonesia secara ketat, patuh,
normatif. Sebaliknya, semiotika post-strukturalis menawarkan pandangan, bahwa kita tidak
harus patuh terhadap struktur, kita memiliki ruang kebebasan, tanpa aturan-aturan yang
mengikat.

2
Hipersemiotika adalah kajian ilmu yang berusaha memandang kajian tanda lebih luas
dari pendekatan yang ada di ilmu semiotika biasa. Semiotika dalam memandang kajian tanda
berpegang teguh pada prinsip kesatuan; kajian yang didasari oleh dua elemen pokok, pola
suara dan konsep abstrak. Prinsip itulah yang hipersemiotika tidak terikat dan menolak.

Pengkajian tanda semotika secara strukturialisme memandang tanda sebagai sesuatu


yang terikat, ada elemen signifier dan signified. Contohnya pada penggunaan simbol bunga
(signifier) yang digunakan untuk merepresentasikan cinta (signified). Pemahaman ini
menandakan adanya sifat arbitrer—sesuatu yang dikarang-karang atau dibuat-buat—dalam
semiotika strukturialisme. Bentuk bahasa arbitrer lahir dari konsensus dari masyarakat
berbahasa, yang berarti semiotika strukturialisme bersifat konsesus, kesepakatan atau
permufakatan bersama.

Kajian tanda pada post-strukturialisme sendiri bertentangan dengan sifat konsensus,


atau bersifat disensus. Secara post-strukturialisme, pengkajian tanda, oleh artis atau penafsir,
boleh tidak sepakat dengan aturan bahasa dan tanda demi menciptakan sesuatu yang kreatif.
Pemberontak seperti itu mungkin akan terpandang abnormal oleh pandangan masyarakat
konsensus.

Hipersemiotika tidak berarti menolak nilai statis dari semiotika, melainkan berusaha
membuatnya bergerak. Dari peristiwa itu, kajian tanda semiotika bisa dianggap sebagai bejana
tegangan konsensus dan disensus; hipersemiotika sebagai tegangan itu sendiri. Pendekatan
dinamis oleh hipersemotika tidak menghilangkan struktur kajian tanda, melainkan
memberikan pandangan baru.

Dalam kehidupan nyata, ada beberapa kajian tanda yang sangat struktural dan bila
tidak dinamis akan menciptakan kerugian. Tanda rambu lalu lintas misalnya. Prinsip dinamis
dari hipersemiotika tidak dapat didekatkan dengan kajian tanda terstruktur seperti itu.

3
Saussure mengkaji tanda dan bahasa dengan membaginya menjadi dua bagian, bahasa
sebagai sistem (langue) dan bahasa sebagai praktik (parole). Kajian ini dikenal juga dengan
nama model ontologist.

Langue memiliki sifat statis dan sebagai aturan main bahasa. Langue berprinsip
“bahasa, sebagai penghasil makna, hanya bisa bekerja bila ada aturan universal”, memiliki
kontrak sosial/ konsensus, dan bersifat otonom—tetap ada walaupun tanpa praktikan—dan
primer.

Parole di sisi lain dinilai bersifat sekunder. Hal itu dikarenakan perubahan atau
penyesuaian bahasa apa pun yang terjadi di parole tidak akan mengubah sistem bahasa pada
langue.

Pengkajian bahasa dan tanda oleh Saussure ini dikritik sebagai sistem yang tertutup.
Hal itu dikarenakan pengkajian yang sangat bergantung pada struktur perbedaan (difference)
dan keberbedaan (differenciation) sebagai fondasi utama. Dalam mengkaji, tidak ada
pembeda dengan keniscayaan, hanya pada pembeda tanda.

Contohnya pada kata ‘ayam’. Tidak ada keniscayaan antara “hewan berkaki dua,
berbulu panjang, dan bertelur” dan ‘ayam’, Kata ‘ayam’ bermakna hanya dalam relasi
pembedanya dengan kata lain yang menunjukkan objek lain pula. Makna tidak dibangun dari
elemen melekat substansial, melainkan dengan differenciation dari bendahara tanda.

4
Saussure berpendapat bahwa bahasa tanda adalah relasi dari pembedaan tanda,
bukan pada makna substansial. Bahasa tanda berpengaruh penuh pada aspek hadir (presence)
dan tidak hadir (absent)

Prinsip dari Saussure ini menjadi sentral utama pembedaan tanda dalam kehidupan
sehari-hari. Dari prinsip ini lahirlah makna pembeda maskulinitas dan femininitas. Penggunaan
pembeda pada ideologi partai politik atau pun citra perusahaan.

Dalam strukuralisme ada keterkaitan yang kuat antara prinsip perbedaan dan prinsip
identitas, di mana perbedaan di antara kata atau tanda memberikan identitas pada masing-
masing tanda atau kata tersebut. Sebuah kata atau tanda memiliki identitas yang dihasilkan
dari hubungan keberbedaan dari kata atau tanda yang lain. Oleh karena itu perbedaan di
antara kata dan tanda bersifat statis, tetap dan tidak berubah, dengan kata lain perbedaan
dan identitas merupakan sebuah hubungan yang tertutup. Tapi pandangan ini dibantah oleh
Thibault, yang menganggap sistem bahasa adalah sistem yang terbuka bagi pembentukan
relasi dan identitas yang baru.

Prinsip perbedaan tidak hanya berlaku pada bahasa namun juga pada struktur sosial,
kekerabatan, seksualitas, media dan objek-objek lainnya, yang di dalamnya makna dibangun
dari prinsip perbedaan di antara unsur dalam setiap sistem (sosial, kekerabatan, seni,
arsitektur, dsb).
Bahasa dibangun di atas sebuah medan, yang di dalamnya tanda dan kata saling
membedakan diri satu sama lain, agar masing masing memiliki identitas dan makna. Sebuah
tanda bermakna hanya dalam medan perbedaan dengan tanda yang lain.

Medan tanda (field of sign) adalah tempat di mana sebuah tanda tidak hanya
berbeda dari satu, dua, atau tiga tanda lainnya, namun sebuah tanda harus berbeda dengan
tanda yang berada di dalam medan terebut.

Salah satu mekanisme penting dalam membangun perbedaan dari makna ini adalah
mekanisme hadir atau tidak hadir, yang kemudian hari dikritik oleh Derrida sebagai metafisik
kehadiran.

5
Bahasa tidak pernah hadir sebagai keseluruhan dalam waktu yang sama, tidak ada
kalimat yang mengandung di dalamnya keseluruhan bahasa. Ketika kita menghadirkan
sebuah tanda entah itu mengucapkan, menulis, melukis, membuat atau membangun, maka
tergambar di pikiran kita hubungan perbedaan antara tanda yang hadir dengan tanda yang
tidak hadir, dengan berbagai hubungan yang digambarkan dalam skema berikut:

(sumber: Jean Grave, Structuralism, hand-out kuliah di Saint


Marins College of Art and Design, London, 1991)

Skema di atas menjelaskan berbagai kata yang muncul dalam kemungkinan hubungan di
pikiran kita.
1. Ditulis sama, arti berbeda
2. Posisi dan wacana sama, arti berbeda
3. Akar sama (morpheme), fungsi berbeda
4. Berlawanan (Opposite)
5. Bunyi akhir sama, arti berbeda

Contoh, ketika kita mendengar kata racun, maka ada beberapa orang yang
menghadirkan konsep penawar (opposite) dalam pikiran mereka, ada juga kematian, ada
juga meracuni, dan ada juga bunuh diri.

6
Dalam pandangan strukturalisme pada umumnya, sistem perbedaan dipandang
sebagai sistem perbedaan yang tertutup (closed difference), di mana struktur perbedaan di
antara para tanda dianggap struktur yang sudah selesai dan tidak dapat berubah. Di dalam
strukturalisme, struktur perbedaan tidak memberi ruang bagi penemuan hubungan
perbedaan baru di dalam dinamika pertandaan ini.

Tertutupnya perubahan ini dikarenakan Saussure memandang bahasa sebagai sistem


yang bersifat sinkronik, yaitu sistem yang dibangun oleh hubungan antar tanda di suatu
ruang yang sama, dengan mengabaikan waktu, durasi, perkembangan, relasi sebab akibat,
perubahan dan tujuan akhir (elemen diakronik). Struktualisme menekankan pada ontologi
perbedaan ruang dibanding perbedaan waktu.

Semiotika struktural memandang struktur bahasa sebagai sesuatu yang tidak


dipengaruhi waktu, tidak berubah, statis dan abadi. Bagaimanapun berbedanya, cara
berbicara, kombinasi kata, dan konteks bicara, struktur bahasa tidak akan pernah berubah.

Paul J. Thibault, sebagai salah satu pemikir, memiliki pemahaman lain tentang sistem
bahasa Saussure. Menurutnya sistem bahasa tersebut tidaklah tertutup sama sekali,
melainkan terbuka bagi perubahan dan kreativitas bahasa. Pandangan Thibault tentunya
cukup kontroversial, karena kebanyakan pemikir memahami semiotika struktural Saussure
sebagai semiotika yang tertutup.

Dinamika tanda hanya dapat dibangun dalam sistem perubahan terbuka, dimana relasi
perbedaan dapat mengalami perubahan, sebagai pengaruh dari dinamika bahasa di dalam
parole (penggunaan linguistik aktual individu atau bahasa yang dituturkan individu).

Sebagai contoh, Perbedaan karakter visual berbasis gender memiliki relasi perbedaan
antara konsep maskulin (keras, masif, atau kaku) dan feminim (lembut, ramping, dan lentur).
Adanya relasi perbedaan tersebut tidaklah membatasi, namun dapat memberi ruang untuk
karakter visual gender - gender lain. Sehingga, hal tersebut dapat memperluas derajat atau
kualitas di antara kategori maskulin dan feminim juga perluasan medan dan spektrum.

7
Beberapa pemikir yang sangat menyuarakan kritik terhadap strukturalisme bahasa
ialah Derria, Barthes, dan Kristeva yang tergabung dalam kelompok Tel Quel. Mereka
menawarkan pandangan bahasa yang lebih terbuka, dinamis dan kritis.

Semiotika dalam pandangan pemikir post-strukturalis tidak lagi menaruh perhatian


pada struktur dan sistem tanda, melainkan pada peristiwa bahasa, praktik bahasa, dinamika
tanda dalam praktik bahasa, dan pembentukan subjek dalam praktik bahasa serta peranannya
dalam perubahan bahasa. Hal ini juga menunjukkan bahwa semiotika post-strukturalis
menolak bentuk keterikatan dengan konvensi, aturan, atau kode - kode baru. Ia cenderung
membuka ruang bagi model bahasa dan pertanda yang kreatif, produktif, subversif,
transformatif, bahkan terkadang anarkis.

Harland menyebut tanda tanda dalam semiotika post-strukturalis sebagai tanda anti-
sosial, yang memiliki tiga ciri utama:

1. Tanda berpindah (Nomad)

Tanda tidak abadi, tidak tetap identitasnya, dan tidak tertutup. Tanda bersifat terbuka,
digabungkan, dikawin silangkan, dikombinasikan secara kontradiktif sehingga dapat
menghasilkan antagonisme, kontradiksi atau paradoks. Penanda tidak perlu lagi
mengacu pada konsep abstrak di baliknya. Pengertian konsep atau makna di balik
sebuah tanda tidak lagi dianggap penting.

2. Tanda berkembang biak (Multiplicity)

Penanda dapat menghasilkan penanda lain melalui proses dekonstruksi, subversi,


parodi, dan ironi. Bukan sebagai bentuk reproduksi (dari penanda, kode, dan makna)
tetapi tanda berkembang biak sebagai bentuk produksi yang menghasilkan tanda,
kode, dan makna - makna baru yang bersifat temporer, dinamis dan kreatif.

3. Bersifat membenda (Material)

Semiotika post-strukturalis lebih mengutamakan kehadiran sebagai bentuk permainan


pada tingkat ekspresi, penampakan, permukaan, dan citra luar daripada pencarian
makna, esensi atau nilai nilai transenden. Dalam pengertian ini, poststrukturalisme
dikatakan anti-makna, karena baginya semiotika bukan mencari makna, tetapi

8
memproduksi tanda - tanda secara imanen (berada dalam kesadaran atau dalam akal
budi pikiran.

Hipersemiotika menyerap sebagian pemikiran semiotika post-strukturalis, seperti


sifatnya yang dinamis, transformatif, dan berubah dari tanda. Tetapi, Hipersemiotika menolak
pandangan tentang anti-makna melainkan makna bergerak melampaui kode - kode yang ada
sehingga menghasilkan makna baru yang lebih dinamis, temporer, hibrida dan terus bergerak.

Proses penciptaan kode-kode baru yang dinamis, transformatif dan subversif disebut
overkoding ( overcoding ), dengan pembaharuan kode yang lebih dinamis ketimbang
sebelumnya maka mampu menghasilkan makna yang lebih kaya dan dinamis. Teori
hipersemiotika mengandung arti melewati/melampaui dari kata hiper, kata melampaui
diartikan sebagai melampaui struktur alamiah. Maka dari itu, kajian tanda makna dalam
hipersemiotika adalah kajian terhadap karakter dan objek yang melampaui pada tanda makna
itu sendiri seperti fenomana-fenomena yang melampaui alam, realitas, kodrat, struktur,
bentuk dan kode.

Tanda yang melampaui alam berkaitan dengan melampaui realitas, yakni tanda tidak
lagi merujuk pada alamiah diluar dirinya (pohon, batu, laut, hujan) melainkan merujuk pada
realitas artifisial atau realitas maya yang menawarkan kode-kode baru. Jika dilihat dari sudut
pandang yang berbeda , karena hipersemiotika bersifat melampaui makai a tidak dapat
digunakan untuk mengulik tanda-tanda natural, tradisional, konvensional atau struktural.
Konsep hipersemiotika tersebut adalah perluasan dari beberapa konsep post sttrukturalis dan
hiper-realitas yang telah dikembangkan oleh pemikir seperti Derida, Kristeva, Deleuze dan
Baudrillard dengan menaruh perhatian pada objek-objek tanda yang sudah tidak patuh
terhadap struktur alamiah dan tidak lagi menawarkan makna konvensional, dari situ dapat
dikembangkan sebuah definisi awal hipersemiotika.

Trans- Semiotika

Strukturalisme dan post strukturalisme memiliki dua orientasi kritik, di satu pihak yaitu
relasi antara teks dan penciptanya dan di pihak lain kritik terhadap relasi structural antara
teks, makna, dan kebenaran. Apabila strukturalisme melihat kebenaran ada dibalik atau
didalam sebuah teks sedangkan post strukturalisme menolak konsep kesatuan antara tanda

9
dan teks. Post strukturalisme merupakan pandangan yang melampaui teks (beyond text),
ketunggalan dan kebenaran sebuah teks menghasilkan ketergantungan antara satu teks
dengan teks yang lain.

Salah satu pandangan dalam teori post-strukturalisme mengenai lintas pertandaan


adalah intertekstualitas yang dikembangkan oleh Julia Kristeva. Intertekstualitas merupakan
pandangan yang menilai teks sebagai hubungan relasi antar teks baik berupa referensi,
kutipan, percampuran, persilangan atau hibriditas. Tidak ada sebuah karya yang merupakan
kesatuan dari unsuriunsur yang ada pada dirinya sendiri (self reference), melainkan
persilangan kuripan-kutipan teks dari sumber-sumber kebudayan yang sudah ada dan tak
terhingga.

Seperti contohnya buku, skripsi dll. Buku adalah kumpulan konsep, gagasan,
pandangan dan teori-teori dari berbagai sumber yang dikumpulkan yang diolah menjadi
sintesis oleh penulis untuk menghasilkan pikirannya sendiri. Bila kita terapkan prinsip ini
paada bidang-bidang yang lebih luas seperti lukisan, patung, fotografi, fashion, desain, dan
arsitektur bisa dikatakan bahwa dibidang ini bisa mengutip bentuk, fungsi, sudut pandang,
idiom, tipologi, gaya, material, Teknik, atau cara kerja.

Ada dua prinsip dalam intertekstualitas, yaitu:

1. Suatu sistem tanda dialihkan atau ditransposisikan ke sistem tanda lainnya dengan
menggunakan artikulasi, ekspresi dan ungkapan baru.
2. Tanda diterapkan dalam suatu ranah persilangan dan percampuran antar sistem
tanda.

Menurut intertekstualitas, seorang penulis dalam membuat suatu karya telah mengutip
pemikiran, teori dan konsep dari penulis lainnya yang juga merupakan hasil kutipan dari
penulis sebelumnya, dan seterusnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada karya yang
memiliki orisinalitas. Setiap karya hingga saat ini telah memuat berbagai pemikiran, konsep,
gagasan atau pandangan dari zaman, era, dan budaya dari masa lampau.

Pengalihan dan persilangan menyebabkan suatu tanda kode dan makna menjadi ganda
hingga jamak. Prinsip kode ganda dalam intertekstualitas, menjelaskan bahwa suatu tanda

10
dibangun oleh dua atau lebih kode, aturan grammar, vocabulary. Contohnya, terdapat sebuah
iklan mobil yang menggunakan lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci. Yang berarti iklan
tersebut telah mengutip lukisan Monalisa untuk tujuan dan kepentingan pribadi. Sehingga
terdapat dua aturan berbeda yang bekerja dalam iklan tersebut, yaitu aturan lukisan dan
aturan iklan.

Dalam intertekstualitas, terdapat semacam jejaring persilangan lintas tanda, percampuran


tanda dari berbagai sumber, yang disebut sebagai jejaring semiotik (semiotic web). Dimana
menekankan bahwa intertekstualitas mengacu pada kesatuan yang berada dalam
keberagaman dan disatukan lewat ikatan (bond) dengan tetap membiarkan keunikan ciri dari
karakter yang ada.

Berbeda dengan semiotika struktural yang berprinsip pada kesatuan utuh (unity), yang
memandang sebuah tanda sebagai kesatuan antara eleman penanda dan pertandanya.
Sedangkan intertekstualitas memberi ruang untuk persilangan dan menolak teks sebagai
sebuah kesatuan. Perbedaan lainnya adalah bila struktural menganggap kontradiksi sebagai
penyimpangan, maka intertekstualitas menerima kontradiksi sebagai realitas teks.

Intertekstualitas memiliki prinsip untuk saling mengaitkan antar teks dengan teks lainnya,
bahwa sebuah teks tidak pernah berdiri sendiri, namun tetap memiliki keterkaitan dengan teks
lainnya. Salah satu prinsip yang mengusung kesalingberkaitan dalam intertekstualitas ini
adalah prinsip hybrid. Dengan memberikan peluang untuk membangun persilangan,
intertekstualitas membuka ruang bahwa suatu makna pada tanda tidak selalu dihasilkan dari
kesatuan, tetapi juga dari kontradiksi, antagonisme atau paradoks.

Dalam rangka revolusi bahasa, Kristeva menggunakan konsep Intertekstualitas ini untuk
mengembangkan prinsip tanda dan teks yang lebih cair dan terbuka. Ia melihat bahwa dalam
semiotika struktural Saussure, terdapat keterbatasan dalam kreativitas tanda serta bersifat
statis dan mengikat.

Menurut Kristeva, hubungan antara pertandaan dan penciptaan makna dengan peran
subjeknya di dalam semiotika dibedakan menjadi dua model, yaitu signifikasi dan signifiansi.
Signifikasi (signification) merupakan model penciptaan makna yang dikendalikan secara
sosial yang berfungsi sebagai refleksi dari konvensi dan kode-kode sosial yang ada.

11
Signifiansi (signifiance) merupakan model penciptaan yang tidak terbatas seperti
pelepasan segala bentuk potensi dan imajinasi bahasa dalam diri manusia. Produk dari
signifiansi disebut sebagai bahasa puitis (poetic language).
Bahasa puitis adalah bahasa yang menolak segala pembatasan, aturan dan kode-kode
bahasa yang sudah mapan, dalam menemukan ungkapan yang selama ini ditabukan, dilarang
atau dianggap abnormal. Bahasa puitis juga tidak menghasilkan kesatuan, kepaduan dan
identitas makna, melainkan krisis dan pengguncangan segala sesuatu yang melembaga secara
sosial.
Bahasa puitis bersifat revolusioner, yang sering tumbuh di dalam kondisi sosial yang
mengalami kehampaan, penekanan, krisis atau pembusukan seperti krisis yang melanda
lembaga-lembaga keluarga, negara dan agama. Sehingga menumbuhkan kecemasan terhadap
keberadaan dan keberlanjutan nilai-nilai baik secara sosial maupun spiritual.
Bahasa revolusioner menolak segala bentuk penekanan, pembatasan dan represi baik
pada tingkat bahasa, kode dan makna. Dengan kata lain, bahasa ini juga menolak tanda dan
makna-makna yang konvensional dan melembaga, yang dapat mengakibatkan goncangan,
ketidakstabilan dan ketidakpastian makna. Contohnya seperti ekspresi-ekspresi kultural
kelompok sub-kultur, budaya anak muda (youth culture) dan feminisme.
Kristeva menolak kecendrungan terlalu bergantungnya bahasa pada struktur, konvensi,
kode-kode sosial yang dapat bermuara pada makna akhir yang bersifat transenden
(transendent signified). Dengan mengklaim bahwa struktur sebagai sesuatu yang tidak
berubah, statis dan ahistoris.
Sebagai penolakan terhadap kesatuan teks, intertektualitas mengendalikan
kebergantungan lintas teks baik pada tingkat penanda, petanda dan kode semiotika.
Terkhusus dalam relasi kode semiotika, intertekstualitas menolak kesatuan kode bahwa
sebuah teks diatur oleh kode tunggal, dengan landasan bahasa, ideologoi dan nilai yang
tunggal.
Intertekstualitas, sebaliknya merangkum perkodean ganda (double coding), yaitu
pandangan bahwa di dalam sebuah teks terdapat dua atau lebih kode bahasa, budaya, ideologi
dan sosial.

12
CODE A

CODE AZ
CODE Z

Dalam konteks pertandaan, kode mengatur relasi antara penanda dan petanda yang
memungkinkan dbangunnya makna tanda yang bersifat konvensional. Kemudian kode ganda
yakni mengandung arti bahwa ada dua atau lebih kode yang mengatur sebuah teks yang
memungkinkan untuk menghasilkan makna yang kontradiktif atau paradoks.

Kode ganda memiliki elemen yakni penanda hybrid, yaitu campuran penanda-
penanda yang satu sama lain memiliki bentuk, prinsip, struktur, gaya penampilan dan akar-
akar kultural yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.

Intelektualitas juga dapat dipandang sebagai perlintasan kultural, dimana sebuah


kebudayaan masa kini bertemu atau berinteraksi dan bersilangan dengan sumber-sumber
masa lalu. Atau yang bisa kita sebut dengan iistilah yang sama yakni akulturasi buda modern
dan tradisional.Pandangan intertekstualitas mengambil alih intersubjectivitas dan bahasa
puitis dibaca setidaktidaknya bersifat ganda. Dengan memandang intertekstualitas sebagai
perlintasan tanda, maka dapat digambarkan secara semiotis, berikut struktur perlintasan
tanda di dalam intertekstualitas :

13
Dari relasi interteks diatas bahwa sebuah penanda dalam sebuah teks dapat merujuk
dan berinteraksi – dimana dalam artian yakni mengutip penanda-penanda yang relatif tidak
terbatas jumlahnya yang disimbolkan dengan SrN, dari sumber sumber kebudayaan yang juga
relatif tidak terbatas. Sebuah penanda dapat merujuk pada penanda lain sebelumnya, dimana
penanda itu juga merujuk pada penanda sebelum tanpa akhir, seperti pada skema berikut :

Pada skema diatas dapat dilihat bahwa relasi-relasi lintas kultural diantara penanda
dan penanda-penanda lain atau petanda dan petanda-petanda lain, membangun sebuah
ruang dialogis, yaitu ruang abstrak yang membentuk dari persilangan diantara elemen-elemen
penanda sebuah teks. Didalam ruang dialog itulah kode ganda beroperasi di dalam sebuah
teks yang memberikan ruang kemungkinan tak terhingga bagi pembangunan tanda, kode dan
makna baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Semiotika struktural mengandalkan adanya relasi linear yang melihat relasi tanda (Sr-
Sd) sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan di dalam intertekstualitas. Bahsa puitis
mengandal berbagai elemen seperti

1. Spatialization, yakni peruangan dan korelasi elemen-elemen yang membengun sifat


ganda
2. Other, yakni relasi kode dengan kode-kode lain, relasi satu dengan relasi lain

14
3. Spatiality, yakni Keruangan dan Peruanagn yang merupakan prinsip esensial
intertekstualitas yang mengandung sumber baha, tanda dan ideologi kebudayaan yang
saking bertemu.

15

Anda mungkin juga menyukai