KATA PENGANTAR
Pelatihan Kader Dasar atau yang lebih populer dengan sebutan PKD
merupakan proses kaderisasi formal kedua di PMII pasca Masa Penerimaan
Anggota Baru (MAPABA). Oleh karena fase ini adalah tahap lanjutan, maka
persoalan doktrinasi nilai-nilai dan misi PMII, penanaman loyalitas dan militansi
gerakan, sudah tuntas sehingga fokus garapannya adalah mewujudkan kader-kader
PMII yang lebih dari sekedar militan, mempunyai komitmen moral, dan dasar-dasar
kemampuan praksis untuk melakukan amar maruf nahi munkar.
Sepanjang sejarah dunia, di bangsa manapun, keyakinan serta agama
apapun, selalu ada orang-orang unggul yang membimbing atau memimpin
masyarakatnya ke arah yang lebih beradab, lebih manusiawi, dan lebih maju secara
budaya, sosial dan ekonomi. Ada dari mereka yang tercatat dalam halaman-halaman
buku sejarah, yang lain hanya terdapat dalam cerita lisan, dan ada pula yang
bahkan tidak diingat-diketahui oleh siapapun. Merekalah yang dinamakan Pelopor.
Mahasiswa diharapkan menjadi pelopor berikutnya karena mahasiswa
sebagai segmen pemuda yang tercerahkan dan memiliki kemampuan intelektual
sekaligus sebagai orang yang memeiliki kemampuan logis dalam berifkir sehingga
dapat membedakan dan berimajinasi secara Progresif. Gerakan mahasiswa bil
khusus PMII selalu menginginkan dan mengupayakan proses perubahan sosial
melalui reformasi. Langkah reformasi yang dilakukan melalui gerakan moral
mahasiswa akan menjadi ciri khas salah satu elemen masyarakat yang bisa
dianggap paling lama dalam melahap proses pendidikan. Sementara proses kritis
berbasis massa yang kadang dilakukan dengan aksi demonstrasi, merupakan cara
terakhir bagi mahasiswa sebagai Agent of Social Control. Sebagaimana adagium
beberapa sahabat: Ketika hati tak lagi dimengerti, ketika ucapan tak lagi
didengarkan, maka cara terakhir adalah aksi!.
Oleh sebab itu, perlu suatu proses tansformasi informasi, penanaman
intelektual dan militansi, transmisi kaderisasi demi mempersiapkan aktor perubahan
yang siap petik. Dan harapan terbesar bahwa dengan adanya Pelatihan Kader
Dasar ini, PMII akan melahirkan kader-kader berjiwa militan, responsif dan solutif
yang berlandaskan faham Ahlussunnah Wal Jamaah.
Dan modul ini merupakan materi PKD yang dirangkum dari berbagai sumber,
semoga bermanfaat bagi sahabat-sahabati. Tetap Tangan terkepal dan maju ke
muka. Akhir kata, sekali bendera dikibarkan, pantang dan haram diturunkan!
Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamieth Thorieq
WassalamuAlaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Malang, Maret 2014
Penyusun
BAB I
PARADIGMA PMII
masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara
sosiologis, politis dan antropologis, akan PMII memilih paradigma kritis transformatif
sebagai pijakan gerakan organisasi.
Hassan Hanafi
Penerapan paradigma kritis oleh Hassan Hanafi ini terlihat jelas dalam
konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui
Islam yang mengalami ketinggalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan
analisis sosial. Menurutnya, pemikiran tradisional Islam, dalam rangka menganalisis
masyarakat selama ini mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia
menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. Pada titik ini dia
memberikan kritik tajam terhadap metode tradisional teks yang telah mengalami
ideologisasi.
Pandangan Hanafi tentang theology ini berbeda dengan theology Islam yang
secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan
mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai ahl al-rayu wa
al-nadaar yang muncul untuk menghadapi ahl-albidah yang mengancam
kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis.
Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakan, tetapi dialektika katakata. Gagasan ideologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hassan Hanafi
sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika
kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.
2.
Mohammad Arkoun
Krena kritiknya yang terlalu kritis ini, Arkoun sering membeikan jawaban
diluar kelaziman umat Islam (uncommon answer) ketika menjawab proble-proble
kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti ini telihat jelas dalam
penerapan tori pengetahuan (theory of knowledge).
Kedua pola pikir dari inteltual Islam di atas merupakan sedikit contoh yang
bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah
pemikiran keagamaan. Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih
banyak pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama,
misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thiha Hussein, dan
sebagainya.
Jelas ini terlihat ada pebedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis
antara pemikiran barat dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus
diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan
teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma
kritis ini bisa diterakan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan
akan bejalan dinamis, bejalannya proses pembentukan kultur demokratis dan
penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud
manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengetian,
kerangka paradigmamatik dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun
oleh PMII.
Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan
transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran
metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan
sikap kritis dalam memandang realitas.Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi
berbagai tendensi ideologi, memeberikam perspektif kritis dalam wacana agama dan
sosial, namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat
terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif keitis, paradigma
kritis tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis
hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing,
menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat.
Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis sosial, tetapi
kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat
memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam
masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII
adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma
kritis transformatif.
Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangankekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari
bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan demikian paradigma kritis transformatif
dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh
masyarakat PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis
sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara
pandang dalam melakukan analisa.
Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi,
kultur maupun kepergayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis,
karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu
maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya
secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi
tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
Ketiga, sebagai mana kita ketahui selama pemerintahan orde baru berjalan sebuah
sistem politik yang represif dan otoriter denganpola yang hegemonik. Akibatnya
ruang publik masyarakat hilang karena direnggutoleh kekuatan negara. Dampak
lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehungga
proses demokratisai terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk
mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan
negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.
Kelima, selain belenggu sosial politik yang dilakukan oleh negara dan
sistemkapitalisme global yang terjadi akibat perkembangan situasi, faktor yang
secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama
dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang
distortif mengenai ajaran dan fungsu agama. Terjadi dogmatisasi agama yamg
berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang
pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak
jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan penegakan nilai
kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman
keagamaan melalui paradigma kritis.
BAB II
KRITIK IDEOLOGI
II.1 Pengantar Kritik Ideologi
Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti
gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti ilmu. Kata
idea berasal dari bahasa Yunani ideos yang berarti bentuk, karena itu secara
terminologis ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang
pengertin-pengertian dasar. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang
ide-ide, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan, dan cita-cita.
Untuk lebih mendekatkan kita pada pengertian yang relevan dengan tema
makalah ini, penulis perlu mengemukakan tiga pandangan terkait kajian tentang
ideologi ini. Pertama, de Tracy menjelaskan ideologi sebagai ilmu tentang
gagasan. Menurut de Tracy ideologi mencakup nilai, norma, falsafah, dan
kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau wawasan tentang
dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut sebagai pendekatan
yang netral tentang ideologi.
Kedua, ideologi dipersempit maknanya oleh Karl Marx dan Sigmund Freud
sebagai sistem gagasan yang dapat digunakan untuk merasionalisasikan,
memberikan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan,
kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.
Ketiga, ideologi tidak jarang dipandang negatif oleh ilmuwan misalnya Arief
Budiman mengungkapkan bahwa ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan
kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih
sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta
empirik. Bila anda berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ideologis berarti
anda dianggap bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada.
Dengan kata lain ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan pelopor
pandangan ini adalah Marx.
Pengertian serupa dapat dilihat dalam World Book Encyclopedia, yang
mendefiniskan: Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat
kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan)
tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan
kenyataan yang ada. Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi
tertentu mengalami kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi
lain.
Ketiga pandangan diatas, samasama memiliki signifikansi bagi masingmasing kepentigan. Pengertian pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan
pengetahuan dan penelitian, kedua (Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman)
penting untuk melakukan kritik terhadap ideologi dominan (the dominant ideology).
Dan tentu bagi insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi positif ideologi,
yakni perannya sebagai artikulasi kepentingan gerakan/organisasi. Memang
ideologi diciptakan untuk memberi arah bagi terpenuhinya kepentingan sebuah
kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah gerakan sering di fungsikan untuk
mengatur dan mengarahkan aktivitas gerakan. Walaupun memang ideologi
mengandung kemungkinan besar memanipulasi kebenaran, tetapi tetap memiliki
signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan partai politik.
pragmatisme), tetapi juga pemikiran alternatif di bidang ilmu dan filsafat sosial
sehingga bersifat paradigmatis. Dalam milenium ketiga ini paradigma globalisasi
paling tidak memuat delapan kriteria palsu (Sindhunata, 2003). Kriteria palsu
tersebut adalah de-teritorialisasi, trans-nasionalisme, multi-lokal dan trans-lokal,
imajinasi dalam kultur global, dilema kedaulatan, dilema demokrasi, bahaya
otoriterisme, universalisme palsu. Kepalsuan kriteria dalam globalisasi itu nampak
ketika mencermati cita-cita kesemestaan sejati yakni kesempurnaan manusia dalam
persaudaraan global. Sementara itu elan-vital dalam globalisasi adalah persaingan
sengit kebendaan, konsumerisme, polarisasi alienatif, kelompok eksklusif. Giddens
(1999) menengarai bahwa globalisasi memiliki modus perombakan kehidupan
manusia bertalian dengan risiko, tradisi, keluarga, dan demokrasi. Sementara itu
konsep globalisasi, secara embriotik, antara mitos dan realitas, tercermin dalam
Communist Manifesto The need of a constantly expanding market for its products
chases the bourgeoisic over the whole surface of the globe. It must nestle
everywhere, settle everywhere, establish connections everywhere (Marx and
Engels, 1998, p.54).
II.3 Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII
Sebagai kader PMII tentu saja kita menghendaki PMII selalu menunjukkan
bentuk dinamisnya dan peran historisnnya tidak usang oleh perubahan jaman. Hal
ini tentu saja membutuhkan keseriusan dalam membina keorganisasian dan bahkan
melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprah PMII selama ini. Dalam
tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu
menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya.
Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu
menghantarkan PMII beserta kader-kadernya melek sosial dan berperadaban
dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan
perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting
dalam mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam
menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
a.
b.
Sistem organisasi
c.
Sistem pengkaderan
d.
Strategi organisasi
e.
Logistik organisasi.
Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas
sekelilingnya, yang meliputi:
a.
b.
c.
d.
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi
berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap
dimaknai sebagai a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes,
characteristics of a group or community (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik
pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII mestinya mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja
besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi
diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh
dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan
mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan
seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan
penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMII berfungsi menjadi
pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan
tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana
PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi
anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga
bentuk peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotakkotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik
sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik
Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis
yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi
kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan
pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang
memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika
PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi
politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini
bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan
hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional
berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian jati diri
organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri
tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus
berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan
yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai traumatrauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki
keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan
kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi
(ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik
dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1).
Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satusatunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta
dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu
kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di
berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat
intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa 90-an, berbagai rumusan ideologi dan
paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan
ideologi sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun
oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia di
dalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai
penguasa tertinggi berasal dari tradisi pemahaman ke-Islaman dan bersumber dari
nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilainilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional
dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan
realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang paradigma sebagai serangkaian
konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam
rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi
dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas
dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang
mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi
pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil
lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma
gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6
Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.
Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan
Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai
hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya.
Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah
diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan
kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi
perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional? Jangan-jangan ini hanya menjadi
semacam kegenitan intelektual para aktifis PMII yang kemudian menjadikan
rumusan teologis PMII sebagai media uji coba dalam mencari konsepsi teologis
Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997-an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrismetransendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstelasi ini
menempatkan manusia sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi
Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada
dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah
yang memiliki tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan
kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai
tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun, sebagai
totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan
manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi
dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya
penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan
jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah
hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini
digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara
pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini.
Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya,
padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum
mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak
serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner?
Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh
masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan
teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan
waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended).
Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang
akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus
menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan
akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak
dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali
rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII
sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis
dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh
tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan
ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma
PMII sendiri.
Ideologi sosialisme bertahan karena paradigma bahwa semua orang akan memberi
menurut kecakapannya dan akan menerima menurut
kebutuhannya. Tetapi
paradigam tersebut menghadapi kesulitan yakni memerlukan kewenangan yang
akan mengatur kebutuhan dan kecakapan. Sementara itu masyarakat merupakan
kumpulan individu-individu, sehingga kebahagiaan seseorang pada gilirannya akan
memajukan kebahagaan orang-orang lain. Maka parameter kemajuan masyarakat
adalah kemajuan para individu yang membentuknya. Pada galibnya ideologi
sosialisme mencari identifikasi diri pada kemajuan menghadapi konservatif dan
penderitaan yang mengalami ketimpangan. Sementara itu pencarian identifikasi diri
tersebut menghadapi kekurangan asas-asas kebebasan dan subjektivitas, dan
sering gagal sebagai suatu sistem ekonomik dan meragukan dalam hal moral
(Murchland, 1992).
Dilema pada ideologi kapitalisme dan ideologi sosialisme tersebut mengusik wacana
ideologi alternatif. Sementara itu wacana alternatif ideologi dirasa akan
memfungsikan aspek-aspek kehidupan sebagai suatu ideologi, sehingga justru akan
menimbulkan permasalahan substantif. Hal itu misalnya akan nampak dalam
ideologi ilmu yang bebas nilai, ideologi agama yang inklusif-fundamentalistik.
Sedangkan ketika paradigma agama diantisipasi sebagai modus pencarian ideologi
alternatif ( agama pascaideologi) akan menimbulkan polemik di dalam dirinya sendiri
dan polemik agama sebagai sistem sosial yang komprehensif (Maksum, ed. 1994).
BAB III
MANAJEMEN KONFLIK
Konflik berasal dari bahasa latin Configere : saling memukul atau berbenturan. Dua
batang kayu yang saling dibenturkan terus menerus seringkali bisa menimbulkan
api. Api yang dihasilkan tidak selalu bersifat distruktif. Dan seringkali hal ini justru
diupayakan oleh para juru damai sebagai mana konflik-konflik yang tercipta lewat
perjuangan aktif tanpa kekerasan seperti yang dilakukan oleh Gandhi yang akhirnya
membebaskan India dari cengkraman kolonial inggris.
Dalam perkembangan pasca perang dunia ke-II, definisi konflik tidak lagi membatasi
pada konflik berskala besar saja, misalnya: antar negara, antar wilayah, tetapi juga
adanya konflik diwilayah intra personal atau konflik dalam diri sendiri hingga konflik
bersenjata. Yang dimaksud dengan konflik dalam perkembangan terkini adalah
keadaan sebagai akibat adanya pertentangan kepentingan oleh pihak yang berbeda.
Apa yang membedahkan antara konflik Destruktif dan yang Konstruktif yang
membedakan adalah cara pihak-pihak yang ada dalamkonflik menangani konflik
tersebut untuk memanfaatkan kearah perubahan yang sungguh konstruktif.
Cara membuat konflik menjadi sesuatu yang konstruktif ini disebut dengan
melakukan transformasi konflik.
sketsa konflik
Manusia akan selalu berorientasi dengan orang lain yang memiliki perbedaan
pendapat, kepentingan dan kebutuhan. Konflik juga tidak dapat dihindari, segigih
apapun upaya kita untuk menghindari konflik dinamikanya akan tetap berlanjut. Jika
kita membiarkannya terjadi, meninggalkanya, seringkali malah semakin besar dan
semakin sulit untuk ditangani.
Beberapa uraian berikut akan membantu dalam memahami konflik yang ada yang
memiliki potensi bahaya atau peluang
Emosi-emosi yang kuat, salah persepsi, stereotip, kurang atau salah komunikasi
Perbedaan Nilai
Masalah kepentingan
Yakni masalh kebutuhan dan cara untuk memenuhinya atau taa cara maupun
mental psikologis (sikap, emosi)
Perbedaan Data
Kuantitas dsan kualitas informasi, kemampuan analitis, pemahaman, pola piker, dll.
Masalah Struktural
Pada skala yang lebih kecil setip orang mengalami konflik yang di sebabkan oleh :
1.
Konsep Diri
Kebanyakan, orang yang berasumsi terlalu buruk tentang diri mereka sendiri dan
berasumsi bahwa orang lain menggap dirinya lebih rendah. Maka mereka tersebut
akan berasumsi bahwa orang meremehkan dirinya dirinya dari sederetan daftar apa
yang di katakana orang tentang dirinya.
2.
Pihak lain yang dimaksud bias jadi adalah orang lain atau kelompok lain yang
mencoba mempengaruhi cara kita berfikir dan bahkan dalam pilihan kita pada
masalah social atau yang lain.
3.
Kekuasaan (Power)
Banyak orang merasa mereka butuh untuk menyertakan kekuasan terhadap orang
lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal tersebut bias berupa
penyertaan ganjaran hukuman atau hdiah sebagaimana orang tua yang menyuruh
anaknya untuk melakukan sesuatu.
4.
Budaya
Setiap budaya memiliki karakteristik dan nilai yang berbeda-beda satu sama lain.
Ketidak pahaman atau kurangnya toleransi budaya seringkali memicu konflik.
Semisal, penggunaan tangan kanan untuk mengambil barang atau makanan
dianggap sopan. Dalam budaya lain belum tentu.
5.
Endapan Konflik
Hampir dalam setiap interaksi selalu terdapat konflik, namun seringkali kita
mengabaikan konflik-konflik kecil yang mungkin kita anggap biasa. Namun bias jadi
kumpulan dari berbagai konflik kecil itu kemudian mengendap menjadi stu dan
berubah menjadi sebuah konflik yang lebih besar
1.
2.
Sejauh kita tidak berlawanan dengan pihak lain, saya tidak bias menyatakan apa
yang sebenarnya saya inginkan. Seringkali kita bingung bagaiman cara kita
menghormati orang lain dengan cara yang baik, biasanya kita kita tidak menyatakan
keinginan karena hal ini akan membangkitkan ketegangan dan tidak nyaman.
Akibatnya kita hanya memendam dalam diri, kemudian memuncak dan tak
terbendung, kita dapat merusak diri sendiri ataupun orang lain.
3.
4.
Hubungan dan hasil yang tidak terpenuhi keduanya. Kita tidak menghadapi
konflik itu sendiri, kita seperti meletakkan kepala kita di pasir artinya lari dari
ketakutan atau percaya konflik tidak dapat di cari penyelesaiannyadengan usaha
yang kita lakukan. Padahal dengan menghindar ini, seperti telah kita bahas
sebelumnya, konflik tidak akan pernah berhenti dan akan selalu ada.
5.
Mencapai hasil itu penting, tetapi hubungn dengan orang lain itu juga penting.
Prinsipnya ; bahwa akhir penyelesaian harus konsisten dengan hasilnya. Bahwa
kemenangan atau hasil akhir dari penyelesaian konflik adalah saya menang dan
orang lain juga menang (kemenangan semuanya). Kerjasama bukan berarti kita
menapung pendapat orang lain, bukan juga menyerah kepada apa yang kita piker
penting. Diperlukan juga negosiasi, bukan berarti dengan mengobankan apa yang
kita anggap penting.
1.
Banyak orang percaya adalah buruk terlihat marah pada orang lain, konflik sering
menyebabkan orang sering merasa marah mereka mungkin mengingkari bahwa ada
masalah atau mengingkari bahwa mereka mempunyai rasa marah pada orang lain.
Meskipun demikian, menghindari masalah tidak akan memecahkan masalah. Situasi
yang sama kemungkinan akan terjadi lagi dan ketika selalu menghindari maka orang
tidak akan pernah tahu pemahaman kita akan suatu masalah.
2.
Cara agresi menangani konflik adalah menyerang orang lain dan bukan
mendenganrkan pendapat orang lain. Agresif berarti menyerang dan sering kali
menimbulkan kerugian bagi orangn lain, gaya ini membuat konflik lebih sulit untuk
dipecahkan. Mudah memancing kemarahan dan frustasi dan kekerasan tak jarang
terjadi sebelum konflik di temukan.
3.
Pendekatan yang asrtif memastikan bahwa kedua belah pihak didengar dan pihak
yang berkoflik dilibatkan untuk membecarakan berbagai cara untuk memecahkan
persoalan. Perlu diingat bahwa ; pihak yang berkonflik mungkin butuh untuk
merubah tingkah laku untuk memecahkan konflik.
(+)
Kompetisi
Saya menang-kamu kalah
Kompetisi
Saya menang-kamu menang
(+)
Kompromi (negosiasi
(-)
(+)
Kompetisi
Saya kalah-kamu kalah
Kompetisi
Saya kalah-kamu menang
(-)
Cara Damai
Cara Kekerasan
Bertahap berusaha tidak ada korban diantara kedua belah pihak
Bertahap korbannya, dan korban idak bias dihindari
Menjunjung tinggi penghormatan kepada hak-hak asasi manusia, keadilan yang
setara bagi semua pihak tanpa prasangka dan diskriminasi
Menghambat pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya maka sangat cenderung
untuk melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Tindakan yang
diambil dilihat dari sisi kepentingan pribadi
Negoisasi
Mediasi
Arbitrasi
Tidak mengupayakan penyelesaian dari dua pihak. Juga menyertakan bentukbentuk kekerasan fisik atau non fisik untuk mencapai tujuan
Mempertimbangkan adanya penyelesaian yang berefek jangka panjang yang
memungkainkan kedua pihak dapat kembali hidup berdampingan atau saling
percaya
BAB IV
ANALISA SOSIAL
Analisa sosial dimaksudkan untuk membaca keadaan sekitar. Laksana cahaya, dari
pancarannya itu tentu dapat menyingkap hal-hal dalam gelap dan tersembunyi.
Sehingga analisa sosial dapat didefinisikan sebagai usaha memperoleh gambaran
yang lebih lengkap tentang sebuah situasi dengan menggali hubungan-hubungan
historis dan strukturalnya. Tujuan analisa sosial adalah memberi perhatian pada halhal yang menyebabkan suatu perubahan (masalah) sosial di masyarakat.
1.
Tidak dirancang untuk menyediakan sebuah jawaban langsung atas
pertanyaan apa yang kita perbuat jawaban atas pertanyaan itu merupakan tugas
strategi dan perencanaan.
2.
3.
Bukan perangkat yang bebas nilai, bukan sudut pandang yang netral, bukan
sudut pandang yang semata-mata ilmiah dan obyektif terhadap realitas.
1.
2.
3.
Keterkaitan dalam berbagai sistem (sistem politik, ekonomi & budaya) dalam
kehidupan sehari-hari orang banyak.
4.
Potensi-potensi masyarakat.
5.
1.
Konversi, yaitu menyingkap dan memperjelas nilai-nilai yang mendorong kita
melakukan tugas itu; berarti kita harus bersentuhan dengan berbagai perspektif,
praduga-praduga, pendirian-pendirian yang mempengaruhi soal jawab yang kita
lakukan dan penilaian-penilaian yang kita buat.
a.
b.
Bagaimana rakyat?
c.
2.
Diskripsi, yaitu membuat diskripsi umum dari situasi yang sedang kita coba
untuk kita pahami. Mengumpulkan berbagai fakta dan tren melalui brain storming
dan ceritera ceritera yang berdekatan dengan pengalaman rakyat;
a.
b.
Apa yang kamu ketahui tentang situasi yang ada sekarang ini?
c.
d.
e.
Kuisioner
3.
Analisis, adalah kita dapat melaksanakan tugas tersebut dengan empat
pertanyaan mengenai;
1.
Sejarah. kita memandang situasi dengan mata kesadaran historis dan
menegenali pengaruh masa lalu yang melatar belakangi kesadaran sekarang
a.
b.
c.
Apakah yang akan terjadi sepuluh tahun lagi bila kesadaran seperti ini?
2.
Struktural, berbagai struktur (pemerintah, hukum, pendidikan, perdagangan,
tenaga kerja, budaya , agama, keluarga, dll) membentuk situasi yang bermacammacam cara lembaga, proses atau pola yang menentukan faktor- faktor dalam
akibat realitas sosial. Beberapa struktur cukup jelas, sedangkan yang lainnya
tersembunyi.
a.
c.
e.
f.
Bagaimanakah peraturan dan hukum yang berlaku? Dan bagaimana si
pelaksana hukum itu sendiri?
3.
Nilai-nilai, disebut dengan cita-cita yang menggerakkan masyarakat, ideologiideologi dan norma-norma moral yang menentukan aspirasi-aspirasi dan harapanharapan yang ada dalam masyarakat.
a.
Siapakah pembawa nilai-nilai dalam masyarakat; pribadi-pribadi, model-model
peranan, lembaga-lembaga.
c.
4.
Proyeksi
a.
Bagaimana keadaan sepuluh tahun yang akan datang jika bila situasi terus
seperti ini?
b.
Manakah sumber-sumber kreativitas dan harapaan yang ada sekarang bagi
masa depan?
c.
KONSERVATIF
LIBERAL
RADIKAL
ISTILAH (LATIN)
Conservo; menyim-pan, mempertahankan, menjaga hingga tidak berkutik
liber; bebas merdeka, tidak dipaksa
radix; akar
SIKAP
Cenderung untuk mempertahankan yang sudah ada
Cenderung untuk membiarkan tumbuh-nya kebebasan bagi yang mampu
Cenderung untuk mencari akar, atau sebab yang ada di dalam suatu masalah
PANDANGAN TENTANG MANUSIA
Manusia itu statis, mereka hidup dalam tatanan tertentu (kelas, kasta) dan menjalani
saja. Baik manusia maupun susunan tidak mungkin berubah.
Manusia dapat berubah. Tatanan hubungan antara manusia tidak berubah
Tatanan hubungan antar manusia harus diubah oleh manusia
SIKAP TERHADAP PERUBAHAN
Perubahan itu tidak mungkin
Perubahan hanya terjadi pada pribadi
Perubahan terjadi pada tata hubungan
PANDANGAN PADA KEKUASAAN
Alat untuk menjaga agar tetap menjadi apa adanya.
Milik lembaga-lembaga yang berkuasa
Alat untuk memberi kebebasan bagi yang mampu me-ngembangkan diri &
membantu bagi yang tidak mampu secara pribadi.
Milik pribadi
Daya dorong perubahan hubungan antar manusia.
Milik rakyat
TITIK BERAT KESADARAN
Kesadaran akan kedu-dukannya, akan lem-baga-lembaga yang sah dan resmi
seperti pemerintah sebagai tempat yang memberi arti kepada dirinya
Kesadaran tentang nilai pribadinya sendiri sebagai sebuah kemungkinan untuk
berkembang secara bebas
Kesadaran akan kebersamaan, terlebih dengan sesamanya yang mengalami nasib
sama
UNGKAPAN
NILAI YANG BISA DIJADIKAN IDEOLOGI
Stabilitas, keharmonisan, keselarasan dan ketentraman
Pembangunan dan perkembangan
Dinamika, solidaritas dan pemerataan.
PANDANGAN TENTANG AGAMA
Alat untuk mempertahankan struktur masyarakat yang sudah ada. Agama menjadi
ideologi.
Dasar dan motivasi pribadi untuk berkembang secara pribadi dan dasar untuk
berbuat amal
Kesempatan untuk menyadari harga diri manusia sebagai pelaku sejarah. Agama
memiliki fungsi profetik.
PANDANGAN TENTANG KEMISKINAN
Kemiskinan harus ada sebagai nasib yang tak terelakkan. Paling-paling manusia
dapat berusaha untuk mencoba agar tidak menjadi miskin
Kemiskinan memang ada tetapi dapat dirubah. Kemiskinan adalah akibat dari
kegagalan tiap individu (maalas, pasif, bodoh)
Kemiskinan tidak boleh ada, itu bukan nasib. Ke-miskinan seke-lompok orang
adalah akibat langsung dari ke-kayaan sekelom-pok lain yang kaya.
SIKAP TERHADAP KAUM MISKIN
Perlu diberi nasehat rohani agar dapat menerimanya dengan tabah. Mereka boleh
mengharap pahala di akhirat.
Secara pribadi perlu dibantu oleh orang yang kaya agar menolong dirinya (biasanya
dengan pendidikan). Kalau tidak dapat perlu dibantu secara karikatif (dipenuhi
kebutuhan dasarnya)
Orang miskin adalah mereka yang karena orang-orang kaya sehingga mengalami
pemiskinan. Orang miskin harus bersama membebaskan diri dari belenggu itu.
BAB V
Teologi Pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi
studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan
manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai
macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial
agi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan idiologi dari perbuatan
mansuai sendiri (Wahono, 2000 : I ). Perkembangan Teologi Pembebasan di Eropa
lebih pada pemikiran, sedangka di Amerika Latin dan Asia pada pemikiran ke
gerakan untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di
Amerika Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni
kekuasaan negara totaliter.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah
pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang
sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah
pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang
muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial
keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta
kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan (Lowy, 1999 : 27).
keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit
agama di luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan
dan meruntuhkan rezim yang kuat.
Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak kembali sampai pada Nabi
sendiri dan pengalamannya. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang
dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya
tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavankaravan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul,
menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat
dikubur hidup-hidup (Q.S. 81 : 8-9). Ada banyak budak, para janda dan anak
yatim diabakan. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia
diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia
dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang
membebaskan ditolak. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping
membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari
kerajaan Romawi dan Sasania yang menindas (Engineer, 1990 : 28-30). Dari praksis
inilah tradisi pembebasan Islam muncul.
Muhammad (570 632 Masehi), yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji,
adalah nabi terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini. Dia
membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin
dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk
membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan
dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran,
kesetaraan dan persaudaraan manusia (Haque, 2000 : 216).
Nabi Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat
produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang
secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan
kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti
Konsepsi teologis tentang tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsipprinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia di muka bumi ini;
kebenaran, kasih sayang, ketulusan, kebaikan, kesetaraan, dan persaudaran
manusia (Ibid : 39). Muhammad pembawa risalah dalam riwayat hisorisnya
mempersembahkan hidupnya untuk menyatakan kebenaran dan membangun
sebuah tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur tadi.
Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat
manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang
yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli
agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan
ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar,
egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan (Ibid : 45).
Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah
pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan,
diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masingmasing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan,
keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Quran disebutkan bahwa tujuan perjuangan
mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :
Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu.
Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak
memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak
pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka
dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah
melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab
yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak
penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang,
dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan
azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi
kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu
dapat ditanyai. Mereka berkata; Ah, memang kami dulu berbuat sewenangwenang! Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka
seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi. (Q.S. al-Anbiya : 7
15)
Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam
pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selamalamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia
ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri.
Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri.
s( Q.S. Ali Imran : 116 117)
Tetapi bukankah sejarah Islam mencatat betapa banyaknya kisah tokoh Muslim yang
begitu peduli dengan hal-hal yang berbau keadilan, kemiskinan, dan kerakyatan ?
Dari awal, Rasulullah sudah mencanangkan kemerdekaan hamba dari yang selain
Allah, termasuk anjuran menghapuskan perbudakan. Bahkan beliau, dalam doanya,
menyamakan kekufuran dan kefakiran. Khalifah Abu Bakar memerangi orang yang
tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar pernah membekukan hukum potong
tangan ketika musim paceklik. Khalifah Ali berkata, seandainya kemiskinan itu
adalah seorang makhluk, niscaya sudah kubunuh.
Seorang Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan
bahwa memang dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, Penguasa yang
zalim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa
banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustadafin), seperti
kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang
membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang dzalim,
dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan
kedzaliman dan membela orang kecil. (Syariati, 1998 : 45). Dalam sejarah kita,
Syarikat Islam terkenal amat dekat dengan rakyat. Isu kerakyatan dan buruh amat
kental terasa, misalnya pemogokan dan pemberontakan petani. Bahkan cikal bakal
Partai Komunis Indonesia mendompleng menbangun kader dari gerakan ini.
Berbagai tarekat juga turut andil dalam pengursiran penjajah.
tentang pengetasan kemiskinan dan zakat sebagai solusinya (Qardlawi, 1998). Atau
Sayyid Quthb dengan Keadilan Sosial dalam Islam. Selebihnya, sebagian besar
hanyalah fiqh ibadah ritual dari wudlu ke haji. Memang fiqh tentang hal-hal itu
penting, tetapi Islam tidak hanya berisi hal-hal syariat dan fiqh mahdhah semata.
Ashgar mengingatkan tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi
Pembebasan, yaitu Persaudaran Universal, kesetaraan, keadilan sosial. Tidak
tanggung-tanggung Asghar mengambil contoh dari Uswah terbaik, Rasulullah ((Q.S.
al-Ahzab : 21), (Q.S. al-Qolam : 4), dalam menerapkan Teologi Pembebasan itu dan
membebaskan manusia dari penindasan dan penyembahan kepada selain Allah.
(Engineer, 1999 : 28)
BAB VI
MANAJEMEN FORUM DAN TEKNIK PERSIDANGAN
Dalam suatu forum, dikenal istilah manajemen forum. Manajemen forum adalah
suatu bentuk pengaturan situasi atau keadaan peserta maupun bahan diskusi di
dalam forum rapat atau musyawarah. Suatu tujuan terkadang dapat tercapai
bahkan seringkali terealisasi melalui manajemen forum ini.
Langkah-langkahnya dapat berupa main gertak, main pukul meja atau lempar kursi,
hal itu kalau cara yang kasar. Ada pula cara yang lembut seperti dengan
memberikan pernyataan yang bertele-tele, atau memainkan waktu diskusi. Dapat
pula dengan saling memberikan justifikasi pada pendapat rekan yang yang memiliki
pandangan maupun visi yang sama dalam forum tersebut. Dan seringkali terjadi
adalah adu debat hanya untuk sebuah manajemen forum.
Lantas, apa gunanya manajemen forum? Banyak, dan penting untuk dicoba. Untuk
memberikan penekanan suatu titik permasalahan atau hal yang ingin disampaikan.
Misalnya tentang Kriteria seorang Ketua. Di situ disampaikan secara berulang-ulang
walau materi penyampaiannya terkadang dibuat melebar atau potong permasalahan
yang kemudian kembali difokuskan lagi. Yang intinya kriteria versinya dapat
diakomodir dalam suatu forum diskusi atau permusyawaratan.
Semua hal memiliki 2 buah sisi, positif dan negatif dan lagi-lagi semua ilmu yang ada
di dunia ini pada penggunaanya akan dikembalikan lagi pada niat pelakunya,
apakah ilmu itu akan digunakan untuk mencapai kemaslahatan bersama yang lebih
besar atau hanya sekedar mengacau bahkan mengarah pada menggolkan
kepentingan individu dan golongan tertentu dengan cara men-setting forum yang
ada dengan sedemikian baik. Yang terpenting adalah bagaimana kemudian bahasabahasa yang digunakan masih berada pada lingkaran etis dan tetap memakai pola
pikir terdidik dan bijaksana.
Persidangan resmi dilaksanakan atas dasar konstitusi dan atau kebutuhan forum.
Didalam persidangan resmi tersebut tentu pula ada tata tertib dan juga aturan main
yang harus dipatuhi, agar sidang yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan
tertib, teratur serta menghasilkan keputusan yang bersih, terpadu, dan sesuai
dengan kehendak bersama.
Secara etimologi sidang menunjukkan pada subjek yang terlibat dalam suatu
pertemuan yang resmi seperti sidang pimpinan/anggota, sidang hakim, sidang jumat
dan sebagainya. Tujuan yang hendak dicapai dalam persidangan adalah usaha
komunikasi guna mencapai kesepakatan tertentu yang bermuara pada proses
Sidang atau musyawarah atau rapat adalah suatu pertemuan untuk memutuskan
suatu perkara atau masalah. Persidangan diartikan sebagai suatu forum yang
dilaksanakan secara formal oleh suatu lembaga, organisasi atau unit-unit lain
dengan suatu persoalan atau menyangkut pertanggung jawaban pengurus
organisasi pada masa akhir kepengurusannya. Persidangan adalah termasuk jenis
diskusi karena didalamnya terdapat interaksi antara peserta sidang untuk
merumuskan suatu tujuan tertentu. Istilah persidangan memiliki nilai yang lebih
sekedar diskusi karena didalam persidangan menghasilkan sesuatu yang akan
memiliki kekuatan hukum. Hal itu dikarenakan bahwa persidangan biasanya
dilakukan oleh lembaga-lembaga formal atau nonformal yang menempatkan
persidangan sebagai forum tertinggi. Jadi persidangan sifatnya lebih formal dan isi
pembicaraannya lebih bersifat politik legal serta menghasilkan keputusan-keputusan
politik yang mengikat banyak orang serta kepentingan.
Persidangan biasanya sangat alot, karena isi pembicaraan begitu komplek serta
berhubungan dengan tujuan ideal yang akan dicapai. Selain itu dikarenakan
banyaknya kepentingan yang muncul sehingga tidak heran apabila suatu
persidangan sangat alot dan kecenderungan panas yang mengundang kontak fisik.
Gesekan-gesekan dalam situasi persidangan adalah suatu hal yang biasa karena
didalamnya terjadi proses dialog atau debat untuk merasionalkan suatu hal sehingga
sering pula persidangan disebut perang dinging atau perang kata.
Akan kejelasan dan fokus masalah atau kasus dalam pokok persoalan yang akan
dibahas.
Dilaksanakan dalam suasana yang terencana dari segi waktu, tempat, maupun
kesempatan.
Dilandasi oleh sikap saling menghargai dan menghormati yang ditunjang dengan
itikad baik untuk bersama-sama memikirkan kepentingan organisasi.
Terlepas dari kepentingan pribadi dan ambisi pribadi yang berlebihan.
Kelengkapan persidangan terdiri dari: pimpinan sidang, notulen, ruang sidang, palu
sidang, draft atau konsideran, alat dan bahan yang dapat menunjang jalannya
persidangan seperti, pengeras suara, meja, kursi, alat tulis, kertas suara, kotak
suara, dan sebagainya.
Pimpinan sidang tunggal terdiri dari: ketua, wakil ketua dan sekretaris yang pada
pelaksanaannya dapat diganti setiap session oleh anggota persidangan.
A.
Pimpinan Sidang
B.
Peserta Sidang:
1.
C.
Hak dari Pers dan Peninjau hanyalah sebagai pengawas forum persidangan.
D.
Ruang siding
Ruang
sidang berfungsi sebagai forum pembahasan draf dan efektifitas
persidangan.
E.
Palu Sidang
F.
a.
b.
c.
Lembar rekomendasi
G.
a.
Agenda acara
b.
c.
d.
e.
f.
Dalam praktek persidangan ada beberapa istilah yang sering digunakan baik oleh
peserta maupun oleh pimpinan sidang sebagai aturan tertib sidang diantaranya:
Dalam persidangan, hal yang penting yang tidak bisa dipisahkan dari suatu proses
pengambilan keputusan yaitu palu sidang. Pentingnya palu sidang ini dari segi peran
dan fungsinya oleh karena itu sering disebut nyawa dari persidangan. Aturan
ketukan palu sidang untuk mengatur jalannya persidangan harus diperhatikan oleh
seseorang pimpinan sidang agar tidak membawa masalah berikutnya. Pimpinan
sidang dituntut waswas dalam menentukan ketukan palu sidang tersebut yang
sebenarnya merupakan senjata bagi pimpinan sidang apabila digunakan secara
benar. Adapun aturan penggunaan adalah sebagai berikut.
a.
b.
Dua ketukan: Mencabut hasil keputusan, pending, membuka & menutup
sidang
c.
d.
Lobying
Proses pembicaraan informal peserta sidang diluar acara persidangan apabila suatu
keputusan atau kesepakatan tidak dapat dicapai dalam persidangan. Terlebih dahulu
persidangan diskor/dihentikan oleh pimpinan sidang dengan waktu yang ditentukan.
Skorsing
Usul
Usul yaitu keinginan dari peserta sidang atau pimpinan sidang pada saat
persidangan berlangsung.
Interupsi
Interupsi adalah memotong pembicaraan peserta atau pimpinan sidang oleh peserta
sidang. Dilihat dari kekuatannya, interupsi dari peserta sidang tidak dapat ditolak
oleh pimpinan sidang dan harus diberikan waktu interupsi.Sedangkan usul boleh
ditolak atau tidak dapat diberikan kesempatan sama sekali oleh pimpinan sidang
untuk dikemukakan. Adapun macam-macam interupsi adalah:
a.
Point of Order
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang
meminta bicara tentang persoalan yang sedang dibicarakan.
b.
Order
c.
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan
sidang untuk memberi tawaran atas apa yang menjadi topik pembicaraan
d.
Information
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang
untuk memberikan informasi kepada peserta sidang.
e.
Correction
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang
untuk menjelaskan atau meluruskan permasalahan yang sedang di bahas.
f.
Solution
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang
untuk menawarkan solusi
1.
Memperhatikan Ketepatan Waktu, hal ini dimungkinkan untuk memperhatikan
efektifitas serta efisiensi sidang (keputusan, suprastruktur serta infrastruktur
persidangan).
2.
Memperhatikan Quorum, Persidangan ideal harus dihadiri dan atau disetujui
oleh 2/3 anggota Quorum.
3.
Memperhatikan Demokratisasi, artinya persidangan harus saling menghargai
dan menghormati konstitusi forum.
4.
Memperhatikan Visi Persidangan, Persidangan haruslah mempunyai niatan
yang baik untuk menyelesaikan permasalahan (Timokrasi).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sidang Umum/ Tahunan : Sidang yang membahas LPJ dan atau AD/ART
sebagai rekomendasi tahun berikutnya
7.
1.
Quorum
g.
Sidang dianggap sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari peserta
sidang
h.
Apabila point 1 tidak terpenuhi, maka sidang akan ditunda sesuai dengan
kesepakatan forum
i.
Apabila point 2 tidak terpenuhi, biasanya sidang akan tetap dilanjutkan dengan
semestinya
2.
Pengambilan Keputusan:
a.
b.
Apabila point 1 tidak terpenuhi, maka diadakan Lobbying antara pihak yang
berbeda pendapat
c.
d.
Pengambilan keputusan melalui Voting dilakukan dengan bebas, jujur dan adil
serta bertanggung jawab
BAB VII
Hal yang paling dasar dalam PMII adalah pembekalan dirinya dengan kapasitas
intelektual yang memadai. Karena tanpa dasar konsepsional yang jelas, gerakan
PMII juga tidak akan menemukan kejelasan pada wilayah strategi dan taktik
gerakannya. Apalagi, asumsi dasar pergerakan adalah berawal dari konteks yang
bernama pendidikan. Muh. Hanif Dakhiri dan Zaini Rahman (2000), mengutip Ben
Agger (1992), mengatakan bahwa titik berangkat paling strategis bagi PMII adalah
mentransformasikan kehidupan intelektual sebagai investasi soial, politik dan
kebudayaan.
Sejalan dengan semangat liberasi dan independensi di atas itulah, PMII juga harus
berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif untuk
mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi
signifikan untuk diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan
keilmuan. Karena perlawanan terhadap hegemoni negara, ideologi, pasar dan
agama harus dihadapi dengan membuka sekian pintu kesadaran yang sengaja
dikunci demi kepentingan kekuasaan.
Pada perbincangan tadi, kita sebenarnya sedang bergulat dengan dasar dan
semangat pergerakan untuk perlawanan. Dasar pergerakan ini akan menjadi lebih
tajam, sebagai sebuah kerangka jawaban bagi persoalan kemasyarakatan apabila
kita jeli dalam melihat persoalan yang mengemuka, baik pada level pembacaan
situasi global (sit-glob), situasi nasional (sit-nas) maupun situsasi lokal (sit-lok).
Maka perbincangan kita akan kita dekatkan dengan pembacaan atas struktur
penindasan dan situasi kemasyarakatan yang ada di dalamnya, yang akhirnya
nanti bisa kita jadikan landasan untuk membuat situasi perlawanan.
Arus utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak akan bisa dilepaskan
dari sebuah era yang dikenal dengan era globalisasi. Karena di era inilah,
sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Ilmuwan
yang mengkaitakan globalisasi dengan situasi penindasan adalah Deepak Nyyar
(1998) yang mengatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua, Pertama, fase
imperialisme Inggris yang terjadi pada range 1870 1913 yang memakai payung
ideologi kapitalisme klasik dengan doktrin yang terkenal dari Adam Smith leizzis
faire (pasar yang sebebas-bebasnya, tanpa campur tangan negara). Kemudian fase
kedua, adalah dekade 70-80an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika
Serikat yang mendorongkan semangat yang hampir sama dengan fase sebelumnya
di bawah ideologi neo-liberalisme. Mengamini pendapat di atas, James Petras
(2001) mengatakan bahwa di dalam globalisasi yang menjadi slogan Barat,
sesungguhnya terdapat semangat dan kepentingan imperialisme dengan agenda
penguasaan dalam arti yang sangat luas, baik dalam arti material (SDA) maupun
mental (SDM) atas dunia ketiga.
Dengan berpijak pada tiga doktrin, yakni Librealisasi (kebebasan dalam arti
ekonomik), deregulasi (tidak ada peraturan negara yang mengatur arus lintas
barang/jasa dan tidak ada subsidi bagi rakyat) dan privatisasi (BUMN harus dijual
pada swasta/pemodal), neoliberaslisme berjalan melewati setiap negara yang sudah
tidak berdaya karena lilitan hutang Luar Negri (HLN) . Dengan tekanan HLN, inilah
para negara donor-kapitalis (Uni Eropa, USA dan Jepang) membuat peraturanperaturan yang dipaksakan bagi negara dunia ketiga untuk meliberalisasi kehidupan
ekonominya. Lembaga seperti International Monetary Fund (IMF), Paris Club, CGI
dan WTO menjadi sangat efektif dalam melakukan kerja-kerja imperialisme dengan
baju globalisasi. Setelah penghambat (peraturan Bea dan Cukai dll) bagi
Dalam konteks semakin cepatnya laju dan arus globalisasi, kita malah secara politik
masih sibuk dengan pertarungan kepentingan kelompok-kelompk elit yang sebagin
besar tidak memihak rakyat. Pertarungan elit, baik di level eksekutif, Legislatif
maupun partai yang kadang di antaranya melibatkan kekuatan militer, akhirnya
berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang terpecah belah.
Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan,
sebagai imbas dari amburadulnya budaya politik di level negara. Di sisi budaya kita
sedang digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari akar sejarah dan
budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin Barat dan bisa meniru mereka
pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya. Kita tidak sadar sedang didorong untuk
menjadi orang konsumeris untuk menjadi pelanggan dari pasar yang dibuka oleh
orang barat. Watak ini dalam sejarah bangsa kita sering diosebut dengan watak
inlander. (Gus Iim ; 2001).
Dari sekian pembacaan atas situasi penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas,
kita mencoba membuat sebuah pola umum untuk memudahkan membuat sebuah
strategi perlawanan dan situasi-situasi apa saja yang harus dibuat. Untuk ini, perlu
melihat tulisan Eman Hermawan (2001) yang membagi masyarakat dalam 3 lokus,
yaitu : Civil Society (masyarakat sipil: Ormas, LSM, Gerakan mahasiswa, kelompokkelompok masyarakat lain), Political Society (Masyarakat Politik: negara, partai
politik) dan Economical Society (masyarakat ekonomi: Pengusaha Pribumi, Investor,
Spekulan, MNC/TNC). Dalam kerangka 3 lokus masyarakat inilah strategi dan taktik
gerakan PMII akan dijelaskan dengan tetap memakai kerangka liberasi dan
independensi, dengan mendorongkan Free Market of Ideas (FMI) dan menggunakan
paradigma yang kritis dan transformatif.
LOKUS MASYARAKAT
STRATEGI GERAKAN
Civil Society
Konteks Kesadaran
Kritis transformatif
Pluralisme dan berwawasan kebangsaan
Sadar akan bahaya budaya konsumerisme
Kearifan lokalitas dan tradisi
Mengikis budaya patriarkhi yang menyebabkan ketimpangan gender
Konteks Gerakan
Membuat kantong-kantong kritis dengan diskusi kerakyatan
Masyarakat Politik
Negara
Penguatan posisi negara terhadap tekanan pasar dan negara kapitalis dengan
regulasi
penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN
Kemampuan negara untuk mengolah ruang publik menjadi lebih terbuka dan
transparan
Penguatan sektor ekonomi untuk tenaga kerja
Legislatif yang peka dan aspiratif
Par-pol
Menolak elitisme par-pol
Membuat ruang bargaining politik dengan parpol
Menolak partai yang berselingkuh dengan modal
Menolak penggunaan aset negara untuk kepentinga partai tertentu
Masyarakat Ekonomi
Pengusaha dan pemodal pribumi yang berpihak pada rakyat
Menciptakan pasar yang berkeadilan dengan tetap ada peraturan bersama
(governance)/ doktrin ekonomi ke- Indonesiaan
Membiarkan serikat buruh berdiri sebagai kontrol dan dialektika
Strategi yang masih merupakan pola umum dalam konteks perlawanan, harus
diterjemahkan dan dikerucutkan dalam kerja-kerja taktis. Antono Gramsci (1956)
membagi 3 wilayah taktik gerakan atau perang (war), yakni : war of position (perang
posisi), war of opinion (perang opini) dan war of movement (perang gerakan). ketiga
wilayah pergerakan ini menjadi landasan awal untuk membingkai stratak gerakan
PMII saat ini.
Secara jelas derivasi taktik dari masing-masing ruang dijelaskan dalam bagan
sebagai berikut:
WAR OF POSITION
WAR OF OPINION
WAR OF MOVEMENT
Nilai Dasar Pergerakan
Aswaja
Basis media
Basis intelektual kader
Basis massa (diseminasi gagasan di level masyarakat)
A. Kaderisasi
Formal
Non-formal: (Kantong-kantong kader : diskusi, jalanan, organisasi, kesenian dll)
Informal
B. Pengorganisiran
Level kampus (antropologi kampus)
Level organ gerakan
Level basis massa rakyat
C. Desakan ke otoritas
Kebijakan publik
Kuasa sosial-ekonomi
Kuasa agama
1.
2.
a.
Kordinator Umum (kordum) sebagai penanggungjawb aksi dan pembaca
statemen atau pernyataan sikap
b.
c.
Tim materi yang membuat pernyataan sikap, selebaran dan press release
d. Negosiator untuk melobi aparat, atau segala hal yang ditemui di lapangan
e.
f.
Keamanan / security:
g.
h. Tim Evakuasi yang akan menentukan titik evakuasi kalau ada seranga, dan siap
dengan kerja evakuasi atau pengamanan
i.
Tim advokasi untuk mengantisipasi persoalan sampai tingkat persidangan,
dengan menghubungi LBH-LBH terdekat
j.
Happening Art
k.
l.
m. Spanduk
n.
Poster
o.
Bendera organ
p.
q.
r.
s.
Ketiga proses diatas dilakukan secara bersamaan. Sambil kita mengagitasi dan
membuat struktur perlawanan.
1.
Prinsip pengorganisiran:
a.
Agitasi/Propaganda/Kampanye.
Keberhasilan sebuah aksi yang besar dan direncanakan akan sangat tergantung
(apalagi bagi organisasi yang masih kecil) dari keberhasilan kerja-kerja
agitasi/propaganda/kampanye yang didasarkan pada tuntutan umum massa yang
tidak mau dipenuhi oleh pemerintah (lain halnya dengan aksi massa besar yang
spontan akibat ledakan, yang tidak mungkin diperkirakan). Keberhasilan dari kerjakerja ini terlihat dari:
Kesiapan (dukungan) massa secara luas untuk terlibat dalam rencana aksi
(termasuk menarik aliansi/sekutu/kelompok).
- Reaksi pemerintah.
- Bila aksinya terbuka) maka tanggal aksi (serta tempat aksi) juga menjadi populer
di massa.
2.
Pengorganisiran
Secara umum organisiraksi ini harus terwujud secara massal. Dari mulai
mengkonsolidasikan basis kita yang sudah terorganisir hingga perluasaanya. Ini
harus menjadi tugas pekerjaan/pengorganisiran bukan saja bagi kader melainkan
setiap massa yang terlibat aktif dalam rencana aksi. Sejak awal pengorganisiran
harus terbangun jaringan agen/koordinator pengorganisiran (yang akan diperbaiki
dalam setiap perkembangan pengorganisiran). Secara ekstrem dapat dikatakan
setiap hari harus ada tambahan jumlah massa yang bisa diajak aktif untuk acara ini
(menjadi organiser). Setiap hari harus ada tambahan kontak baru yang mau
mengkonsolidasikan tempatnya (tempat tinggal/kerja) untuk diajak ikut rencana aksi
ini. Setiap hari harus ada kontak perluasaan daerah basis yang bisa diajak dan
aktif membangun kekuatan dibasis daerahnya.
a.
Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak), semua laporan perkota
dan basis diatas)dilaporkan kembali.
b.
Laporan kekuatan massa pelopor untuk memimpin/mendorong massa dalam
kota/basis terlibat dalam aksi.
c.
d.
Kesimpulan dari respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang
diorganisir dan massa umum kaum buruh maupun non buruh.
e.
f.
Evaluasi pengorganisiran
g.
h.
3.
Menjelang hari H akan ada pertemuan besar (seluruh koordinator hingga koordinator
terkecil untuk cek kesiapan massa).
4.
Pada saat ini sangat mungkin untuk mempergunakan strategi atas untuk mendukung
dan memaksimalkan kerja-kerja dibawah. Yang dimaksud strategi atas disini bukan
saja persoalan kampanye (seperti dalam bentuk seminar terbuka) melainkan
melakukan seruan aksi nasional terbuka jauh-jauh hari. Kita tidak akan melakukan
ini jika tidak terlihat kesiapan hasil kerja sahabat-sahabat di pengorganisiran.
Setelah dilihat kesiapan untuk melakukan mobilisasi umum nasional/wilayah, maka
pimpinan pusat/wilayah akan mengeluarkan seruan terbuka tentang aksi itu. Ini
dilakukan juga paling cepat satu bulan sebelum aksi dilakukan. Setelah ini harus
dilakukan dukungan dari daerah-daerah baik berupa konferensi pers maupun aksi
agar terlihat kebesaran dari rencana aksi nasional. Dukungan juga harus datang dari
organisasi lain : Mahasiswa, LBH, LSM hingga partai-partai dan tokoh-tokoh. Adanya
tanggapan dari pemerintah biasanya akan justru mendorong kampanye kita
(memperluas atmosfer agitasi propaganda kita). Kerja-kerja pengorganisiran di
bawah dapat lebih terdorong lagi. Walaupun kemungkinan represif dan kontra aksi
Catatan tentang front : Bila front berhasil terbentuk maka kegiatan yang dilakukan
dapat dilakukan atas nama front termasuk siapa yang menyerukan aksi (nasional)
dan dukungan daerah. Tetapi yang harus diingat kita tetap harus menjalankan
program kita dan independen terhadap taktik kita bila front tidak menyetujui ini
menjadi keputusan mengikat.
Seluruh kerja diatas harus dapat dikontrol secara penuh oleh partai. Kontrol
disini bukan saja dimaksudkan untuk menerima laporan kerja sahabat-sahabat
melainkan juga memberikan arahan secara regular dan konsisten dan membantu
pekerjaan ini secara sistematis. Semua kerja-kerja di pengorganisiran (pabrik, kota,
wilayah) harus dilaporkan secara rutin hingga kepusat. Hingga jauh-jauh hari
sebelum hari H sudah bisa dilihat kesiapan dan kemungkinan keberhasilan aksi
tersebut.
Catatan: Bila satu basis telah terkonsolidasi maka pertemuan pertemuan massa di
basis dapat dihentikan dan digantikan hanya dengan tugas penyebaran bacaan dan
mencari kontak di tempat lain. Tetapi pertemuan seluruh koordinator dalam satu
basis tetap dilakukan.
Laporan (ditulis) :
Jumlah kumpulan (sesuai dengan struktur mobilisasi), berapa massa yang hadir
dalam kumpulan (dari absensi). Dari kumpulan yang ada berapa % kemampuan
untuk memobilisasi massa di basis tersebut.
Jumlah selebaran/poster yang didistribusikan dan corat-coret yang dilakukan.
B.
Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak): semua laporan basis terkecil
dilaporkan kembali.
Evaluasi pengorganisiran.
C.
Pertemuan wilayah (pertemuan koordinator kota yang bisa diperluas
melibatkan koordintor basis).
Geo politik wilayah : jumlah massa, pengalaman revolusioner massa wilyah, peta
geo-politik wilayah, lokasi kekuatan kota-kota yang di organisir, lokasi-lokasi kota
strategis (sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, penguasa,
aparat, rute-rute jalan, transportasi, dll.
1.
Agitasi-Propaganda tertulis
a.
Agitasi dan propaganda terbuka/umum/massal. Untuk aksi wilayah maka
agitasi lewat poster biasanya sangat efektif untuk mensosialisasikan tuntutantuntutan kita, untuk membangkitkan atmosfer perlawanan disana. Apalagi ketika
basis kita di wilayah tersebut masih lemah. Penempelan poster harus ditempelkan di
tempat-tempat strategis yaitu tempat berkumpul massa.
b.
Agitasi lewat selebaran. Tanpa selebaran tidak mungkin ribuan, puluhan ribu
massa dapat kita organisir. Karena tidak mungkin kita mengumpulkan ribuan massa
dan membicarakan hal ini, disamping tidak aman juga tidak ada tempat. Selebaran
ini sifatnya bukan saja sebagai alat untuk agitasi dan propaganda melainkan lewat
selebaran ini struktur agen-agen mobilisasi dibentuk/dibangun. Lewat selebaran ini
massa dapat digerakan secara terorganisir, patuh dan disiplin terhadap seluruh
keputusan taktik-taktik yang kita buat. Massa akhirnya bisa dipimpin lewat
selebaran. Biasanya setelah selebaran kedua maka massa akan mengerti bahwa ia
akan dipimpin oleh selebaran. Jadi pada dasarnya agen selebaran adalah juga agen
mobilisasi sama dengan struktur mobilisasi kita. Selebaran juga berfungsi untuk
keamanan rencana aksi. Lewat selebaran maka pertemuan-pertemuan massa dapat
diperkecil. Hanya agen-agen misalnya.
Catatan: Selebaran tidak hanya dipergunakan pada pra aksi melainkan juga pada
pasca aksi hari pertama atau untuk menggerakan aksi kembali, memperluas aksi dll.
Di tempat-tempat di distribusikannya selebaran atau poster penting untuk dikirimkan
sahabat ke lokasi ini. Tujuannya untuk mengagitasi dan selanjutnya mendapatkan
kontak untuk diorganisir.
2.
Agitasi-Propaganda Oral
a.
Ini suatu tindakan yang penting adalah untuk meyakinkan massa dan mengaktifkan
mereka dalam rencana kita. Karena biasanya ada persoalan-persoalan ataupun
pertanyaan dari massa akan suatu hal yang tidak ia dimengerti. Artinya agitasi dan
propaganda kita lewat selebaran harus juga dibarengi dengan agitasi-propaganda
lewat pertemuan. Lewat pertemuan kita bisa menjelaskan tuntutan kita lebih panjang
dan bisa diterima massa.
b.
Agitasi propaganda ini berfungsi untuk mengajak kontak untuk diyakinkan dan
dapat ikut serta dalam pertemuan yang kita lakukan. Biasanya ini dipergunakan
pada tahap awal pengorganisiran atau ketika ada perluasan ke basis lain dan
sifatnya masih kontak.
Struktur agen yang kita bentuk disesuaikan dengan struktur basis massa
yang menjadi sasaran aksi . Karena ini aksi yang sifatnya mobilisasi umum maka
struktur yang dibentuk juga bukan hanya struktur agen di basis lokal melainkan
struktur agen berapa basis/kota/wilayah. Misalnya dalam satu wilayah maka harus
ada struktur antar kota satu dengan struktur kota lainnya. Sementara di kota tersebut
juga ada struktur antar basis.
Waktu aksi yang tepat adalah pada saat massa berkumpul dijalan. Misalnya
jam 6.30-7.00 WIB pada saat masuk kerja. Jam berapa pelopor harus sudah
berkumpul dll. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsolidasikan massa di
titik-titik kumpul, kapan harus titik-titik tersebut ketemu dan kapan harus segera
bergerak keluar.
Semua pekerjaan harus bersifat massal, artinya pekerjaan pengorganisiran, agitasipropaganda, penempelan poster, pembagian selebaran harus bersifat massal,
termasuk dana. Semua orang harus menjadi organisator, agitator-propagandis. Bila
proses ini tidak menjadi massal bisa dipastikan sebelum aksi, bahwa kita telah
gagal.
Harus ada dua tempat : tertutup dan terbuka.
Setelah kesadaran kritis terbangun maka perangkat yang akan dipersiapkan sebagai
instrumen aksi untuk mengawal sebuah tuntutan yang akan diimplementasikan
dalam sebuah aksi massa dan perangkat yang harus terdiri dari
Seorang leader yang bertanggung jawab akan jalannya aksi, korlap juga harus
faham problematika dan tuntutan yang diangkat, memahami karakteristik massa aksi
dan membuat kebijakan dalam situasi jalanya aksi
ASTER
Asisten korlap yang ditunjuk sebagai steakholder dalam aksi dan bertanggung jawab
atas kebijakan korlap untuk menyampaikan dan mengkondisikan serta pelaksaannya
terhadap massa aksi.
NEGOSIATOR
Wakil dari massa aksi untuk bernegosiasi terhadap pihak lain yang menjadi lawan
atau penghambat aksi juga sebagai delegasi massa aksi untuk melakukan sebuah
kesepakatan atau understanding kepada obyek yang dituntut
ORATOR
Melakukan sebuah propaganda kepada massa aksi ataupun masnyarakat luas agar
mereka mengerti dan faham akan problematika dan tuntutan yang disampaikan
pada pihak yang terkait aksi tersebut, dan juga agar massa yang lain bersimapti dan
mengikuti aksi
Perangkat ini sebagai brigade terdepan dalam aksi dan diperlukan apabila aksi
disetting Chaos tugasnya untuk menahan dan membalas lawan aksi
Bagian yang diperlukan apabila banyak sekali massa aksi dan melibatkan berbagai
erlemen didalamnya.
PENUTUP
Sebagai kekuatan yang misterius dalam mengontrol social tentunya akan lebih
maksimal apabila para pelopor aksi intens dalam pendampingan atau advokasi pra
dan pasca aksi protes, karna intensitas interaksi antara pendamping (CO)
memberikan kontribusi yang besar terhadap radikalisasi masa aksi yang didampingi,
dan aksi yang progesif
akan menjadi sebuah power society, maka seorang
advocator atau CO jangan sekali-kali meninggalkan rakyat (komunitas) yang
didampinginya sampai sebuah target yang ideal itu tercapai. Wallahu Alam..