Buku ini hadir dengan tiga spirit, yakni dalam spirit intelektual cum
cendekiawan yang menjadi identitas IMM yang tentu tak lepas dari budaya
baca, tulis, diskusi, dan aksi. Kemudian spirit kaderisasi, yakni upaya
internalisasi, eksternalisasi, serta kristalisasi ideologi baik dalam pemahaman
penulis sendiri maupun bagi pembaca (kader IMM). Spirit ketiga yakni spirit
kemanusiaan, di mana sejatinya misi kenabian IMM adalah upaya untuk
mewujudkan tatanan sosial yang dikatakan sebagai khairuu ummah (Ali
Imran 110), dalam konteks negara dikatakan sebagai negeri yang badlatun
thayyibatun wa rabbun ghafuur.
Dalam tradisi literasi IMM, dokumentasi dan publikasi dalam bentuk buku
maupun lainnya merupakan suatu hal yang amat penting. Karena menulis itu
sendiri merupakan upaya membangun peradaban. Maka jika kita berbicara
tentang peradaban “akademisi Islam berakhlak mulia” atau “masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya” kita mesti menuliskannya. Dari dokumentasi
gagasan itulah kemudian akan menjadi bekal penting sebagai bahan meramu
peradaban ke depan. Sehingga sekecil apa pun ide dan gagasan kita, jika
itu genuine atau autentik datang dari keresahan kita mesti kita tuliskan, agar
kemudian bergulir menjadi wacana obrolan di kalangan kader dan suatu saat
bisa jadi terwujud.
Autentisitas IMM
Proses melacak autentisitas ini memang tidak lantas menemui kata final. Oleh
sebab itulah, penulis lebih menekankan autentisitas di sini sebagai sebuah
proses. Artinya, autentisitas itu sendiri dimaknai sebagai spirit untuk
menggali kemurnian gerakan IMM, mulai dari kaderisasinya, hingga gerakan
dakwah dan sosialnya.
Dari kelima poin tersebut kita bisa yakini bahwa gerakan IMM sejatinya tidak
lepas dari nilai (value) yang mengikat dirinya. Sehingga, kader-kader IMM
pun turut terikat di dalamnya. Dengan begitu, agenda-agenda IMM tidak
sebatas seremonial tanpa refleksi sebagaimana yang banyak kita temui hari
ini. Kegiatan seremonial bukannya tidak baik, tapi biasanya lebih bersifat
hura-hura, berorientasi jangka pendek atau penunaian program kerja, dan
hanya mengedepankan aspek simbolik semata. Sedangkan agenda IMM
sejatinya terletak pada substansinya yang tidak lagi bicara apa kegiatannya
dan siapa yang mengadakannya, tapi lebih kepada manfaatnya apa untuk
masyarakat dan bagaimana kelanjutannya.
Dinamisasi juga perlu sebagai perwujudan dari klaim atas organisasi modern
yang disandang IMM. Corak berpikir modern itu sudah semestinya
menjadikan kita berpikir lebih maju jauh ke depan. Sehingga, dinamisasi itu
tidak hanya dalam upaya membangun gerakan IMM, tetapi juga ikhtiar untuk
mengonstruksi budaya dinamis di dalam internal tubuh IMM sendiri. Mulai
dari budaya kepemimpinan, manajemen organisasi, tradisi intelektual, dan
sebagainya.
Reautentikasi Kader
Dalam ilmu sosial kritis kita kerap menemukan pertentangan antara kaum
proletar yang ditandai dengan kaum buruh dengan borjuis yang merupakan
para majikan atau pemilik modal. Pertentangan semacam itu kemudian
memunculkan adanya dua kaum yakni yang menindas dan ditindas. Dalam
konsep Islam kita mengenal istilah mustadhafin untuk untuk menyebut kaum
yang ditindas. Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa di dalam Islam kelas
masyarakat itu hanya ada dua, yakni kelas dzalim (penindas) dan kelas
mustadhafin (tertindas). (lihat: Muslim Tanpa Masjid). Berbeda dengan
pandangan Marxis yang lebih menekankan pertentangan kelas antara proletar
dengan borjuis, dalam pandangan Kunto tidak harus kaum buruh atau
pekerja, melainkan semua yang tertindas merupakan mustadhafin.
Pembelaan terhadap kaum yang lemah merupakan salah satu tugas kenabian.
Dalam sebuah riwayat sidebutkan, saat orang-orang Nasrani Najran pulang
dari acara diskusi dengan Rasulullah di Masjid Nabawi, salah seorang di
antara mereka bertanya, “Jika aku ingin bertemu lagi di mana aku
menemuimu?” Rasulullah pun kemudian menjawab, “Carilah aku di tengah-
tengah mereka yang hatinya luka (orang-orang yang lemah)”. Dengan begitu,
sebagai organisasi intelektual dengan visi kenabian (profetik) senantiasa
berada pada posisi membela mustadhafin (orang yang tertindas,
terdiskriminasi, termarginalisasi, dsb).
Dalam Alquran surah An-Nisa ayat 75 disebutkan, “Dan mengapa kamu tidak
mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki,
perempuan, maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Allah Tuhan kamu,
keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah
kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’.”
Konteks ayat ini adalah pembelaan terhadap orang yang tinggal di dalam
masyarakat yang penduduknya maupun pemimpin (umara)-nya dzalim.
“Keberpihakan terhadap kaum yang lemah adalah suatu keharusan (tanggung
jawab) bagi setiap Muslim. Baik itu sebagai mahasiswa, pemerintah, maupun
ormas. Tidak bisa dimungkiri, teologi Al-Maun telah menjadi napas dan
landasan pergerakan bagi IMM–Muhammadiyah. Sebagai gerakan mahasiswa
Islam, yang menjadikan kompetensi sosial (humanitas) sebagai dasar
pergerakannya, IMM harus bergumul dengan berbagai macam realitas dan
problematik kehidupan masyarakat di sekitarnya.” (hlm 71).
Sementara itu, kita hari ini terkadang masih menemui kagagapan dalam hal
dakwah sosial. Catatan penting yang menjadi refleksi untuk kita saat ini
penulis ungkapkan dalam sebuah paragraf berikut ini:
“Kiai Dahlan hidup pada abad ke-19 tapi berpola pikir abad 20, dia telah
melampaui zamannya jauh ke depan. Sementara kita, untuk sekadar
memahami apa yang dia pikirkan pada abad ke-19 rasanya sulit dan malas.
Lantas, bagaimana kita bisa menjangkau realitas satu abad ke depan? Apalagi,
harus melakukan gerakan-gerakan (action) filantropi seperti yang dia
lakukan.”
Dewasa ini memang kita (dalam konteks internal) selalu dihadapkan dengan
dua masalah itu, kesulitan memahami (kebebalan) dan kemalasan. Dua sifat
tercela ini semestinya kita bongkar, jangan sampai kita ‘mengalami
kemunduran di zaman yang tengah mengalami kemajuan’ –seperti yang
dikatakan Yudi Latif.” (hlm 75).
Peran Kebangsaan
Kerentanan riil politik atau politik praktis adalah ketika seorang kader
menjadi lupa diri dan melupakan jati diri sebagai kader yang mengemban
misi perjuangan moral di dalam politik. Jika sudah begitu, kader akan
terkontaminasi oleh budaya politik yang kotor karena terlewat transaksional.
Nalar politik transaksional inilah yang kemudian menumbuhsuburkan
pragmatisme dalam diri kader. Maka dari itu, secara etik, IMM memiliki
tanggung jawab moral yang besar untuk menyiapkan kader-kader yang siap
memimpin bangsa dengan berpegang teguh pada nilai-nilai perjuangan dan
khittah persyarikatan. Jika dibandingkan dengan organisasi HMI, peran IMM
di sektor politik ini memang ketinggalan. Maka penulis berpendapat bahwa
keberhasilan organisasi tidak bisa dinilai hanya dari berapa banyak sosok
yang jadi tokoh dalam Namun, bukan berarti kader IMM tak memiliki peran
di situ.
Saat ini, kita bisa melihat sumbangsih IMM dalam membangun bangsa, yaitu
dengan bagaimana peran-peran alumni IMM di dalam struktur pemerintahan
eksekutif, yudikatif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara. Misalnya saja
Prof Sudarnoto Abdul Hakim yang saat ini menjabat staf khusus presiden,
Prof Din Syamsuddin mantan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan
Kerja Sama Antaragama dan Peradaban yang kini digantikan Prof Syafiq
Mughni, Maneger Nasution menjabat Komisioner Komnas HAM 2012-2017
dan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2018-2023,
Pramono Ubaid Tantowi yang saat ini menjabat komisioner KPU pusat, Andi
Nurpati mantan komisioner KPU, Ahmad Najib Burhani peneliti LIPI, dan
masih banyak lagi, baik di level pusat, provinsi, maupun kota. Intinya sebaran
kader menjadi salah satu konsekuensi logis dan tuntutan moral bagi IMM
dalam menciptakan para pemimpin yang siap memimpin bangsa.
Karya Nyata untuk Bangsa merupakan tema yang diangkat dalam milad ke-55
tahun IMM. Tema ini muncul bukan tanpa sebab. Setidaknya, di dalam tema
ini ada penegasan dan harapan. Pertama, karya nyata untuk bangsa
merupakan penegasan bahwa sejatinya perjuangan IMM adalah untuk
bangsa, untuk kemaslahatan umat. Dalam bahasa enam penegasan
disebutkan, “perjuangan IMM senantiasa diabdikan untuk kepentingan
masyarakat/rakyat”.
Jika kita berbicara soal peran kepemimpinan dan kepeloporan, karya nyata
IMM untuk bangsa adalah kadernya. Karena tugas IMM sebagai organisasi
kaderisasi adalah menciptakan kader-kader berkualitas dan memiliki
kapasitas yang siap berkiprah di masyarakat maupun dalam memimpin dan
mengawal persoalan negara. Sementara sebagai organisasi gerakan, maka
sumbangsih atau karya IMM adalah agenda-agenda intelektual, sumbang
pemikiran, pemberdayaan masyarakat, dan turut menjadi agen yang
menyemai pemikiran-pemikiran ihwal kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan,
dan kebenaran di tengah masyarakat.
Kedua, yakni spirit harapan. Bahwa tema milad kali ini juga menjadi harapan
besar, ke depan IMM bisa memberikan karya yang lebih nyata dan konkret.
Baik dalam menyiapkan kader-kadernya untuk berkiprah di masyarakat,
maupun dalam menjalankan agenda gerakan. Sebagai contoh, kini di berbagai
komisariat dan cabang rerata sudah memiliki desa binaan maupun gerakan
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Baik dalam bentuk
pemberdayaan ekonomi, pendidikan, maupun advokasi. Tentu hal itu
lantaran misi IMM sebagai abdi masyarakat yang mengemban tugas
kenabian. Selain di lingkup masyarakat, bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan wacana, kader-kader yang memiliki pemikiran cerdas dan
kritis bisa memublikasikan tulisan-tulisan atau hasil risetnya dalam bentuk
buku, jurnal, maupun media daring.
Apalagi, kita tengah berada dalam masa peralihan ke era industri 4.0 yang
membutuhkan nalar kritis, kreatif, inovatif, serta mampu beradaptasi dan
terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.
Sehingga kompetensi kader ke depan mesti dikembangkan lebih jauh lagi.
Tentu harapan kita semua, ke depan tidak hanya pos-pos pemerintahan,
lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga-lembaga pendampingan
masyarakat, dan lembaga pendidikan yang diisi oleh kader IMM, melainkan
juga berperan dalam persaingan pengembangan start-up, entrepreneur,
robotic, programmer, dan sebagainya.