Anda di halaman 1dari 9

Penulis IMM Autentik

“Gerakan intelektual tidaklah lengkap tanpa adanya perbuatan


(action). Action adalah syarat utama, dalam meraih suatu perubahan,
meskipun tentunya ditopang oleh gagasan-gagasan progresif dan
mencerahkan. Sebagai intelektual, IMM tidak hanya berhenti di
mendialogkan gagasan saja. Melainkan, mengupayakan perwujudannya.
Dalam merespons realitas, kader IMM memiliki bekal fondasi teologis (Al-
Quran dan sunah) serta fondasi teoritis (logis, reflektif, metodis, kritis), yang
sejalan dengan kebutuhan zaman.” (IMM Autentik hlm 24).

Sekilas tentang IMM Autentik

IMM Autentik merupakan buku penulis yang diterbitkan pada 2017. IMM


Autentik ini merupakan buku pertama penulis yang berisi tulisan-tulisan
berkaitan dengan gerakan IMM. Sebelumnya, penulis pernah turut menulis
dalam buku Gagasan Kaum Muda Muhammadiyah yang berisi berbagai isu
dalam pandangan kritis kader IMM se-Indonesia, mulai dari ekonomi, sosial,
pendidikan, hingga persoalan politik. Penulis pernah juga menerbitkan
beberapa buku genre sastra, seperti kumpulan puisi Untuk Mak Eha, Hujan
Ibu Kota (bersama dua penulis lain), Menunaikan Ibadah Puisi, dan menulis
kumpulan cerpen Sekripsi bersama tiga rekan penulis.

Buku IMM Autentik: Melacak Autentisitas dan Substansi Gerakan Ikatan


Mahasiswa Muhammadiyah berisi kumpulan esai, makalah, dan catatan kritis
penulis terhadap perjalanan dan pengalaman ber-IMM. Tulisan-tulisan dalam
buku ini mulai ditulis sejak masih penulis masih di komisariat, tahun 2012
silam hingga 2017 ketika penulis selesai mengurus cabang. Tulisan-tulisan
dalam IMM Autentik ini menjadi bagian penting dalam perjalanan penulis
dalam hal merefleksikan gerakan mahasiswa yang kita sepakati sebagai anak
kandung Muhammadiyah ini.

Buku ini hadir dengan tiga spirit, yakni dalam spirit intelektual cum
cendekiawan yang menjadi identitas IMM yang tentu tak lepas dari budaya
baca, tulis, diskusi, dan aksi. Kemudian spirit kaderisasi, yakni upaya
internalisasi, eksternalisasi, serta kristalisasi ideologi baik dalam pemahaman
penulis sendiri maupun bagi pembaca (kader IMM). Spirit ketiga yakni spirit
kemanusiaan, di mana sejatinya misi kenabian IMM adalah upaya untuk
mewujudkan tatanan sosial yang dikatakan sebagai khairuu ummah (Ali
Imran 110), dalam konteks negara dikatakan sebagai negeri yang badlatun
thayyibatun wa rabbun ghafuur.

Dalam tradisi literasi IMM, dokumentasi dan publikasi dalam bentuk buku
maupun lainnya merupakan suatu hal yang amat penting. Karena menulis itu
sendiri merupakan upaya membangun peradaban. Maka jika kita berbicara
tentang peradaban “akademisi Islam berakhlak mulia” atau “masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya” kita mesti menuliskannya. Dari dokumentasi
gagasan itulah kemudian akan menjadi bekal penting sebagai bahan meramu
peradaban ke depan. Sehingga sekecil apa pun ide dan gagasan kita, jika
itu genuine atau autentik datang dari keresahan kita mesti kita tuliskan, agar
kemudian bergulir menjadi wacana obrolan di kalangan kader dan suatu saat
bisa jadi terwujud.

IMM Autentik seperti penulis sebutkan dalam pengantar, bukanlah sebuah


klaim yang bersifat final. IMM Autentik justru merupakan sebuah proses
untuk “melacak” autentisitas IMM itu sendiri, substansi gerakan IMM, dan
memaknai perjalanan sejarah IMM sebagai pijakan untuk menghadapi
realitas hari ini. Di sini, penulis berpendapat bahwa untuk meraih autentisitas
itu kita mesti mengambil spirit gerakan Muhammadiyah, yakni pemurnian
(purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi). (pengantar penulis IMM Autentik
cetakan I: 2017).

Dokumen-dokumen perjalanan sejarah dan ideologi IMM hingga saat ini


mungkin bisa kita temukan dalam buku karangan Farid Fathoni (Kelahiran
yang Dipersoalkan), Noor Chozin Agam (Melacak Jejak Sejarah IMM hingga
muktamar kelima), Ajib Purnawan (Bersaksi di Tengah Badai: Catatan Kritis
IMM Melawan Komunisme), Abdul Halim Sani (Manifesto Intelektual
Profetik: transformasi ilmu sosial profetik dalam gerakan IMM), Makhrus
Ahmadi dan Aminuddin (Genealogi Kaum Merah), dan Amirullah (IMM
untuk Kemanusiaan). Semua buku tersebutlah yang mengilhami
hadirnya IMM Autentik ke tangan pembaca sekalian. Selain itu, tentu
kehadiran IMM Autentik merupakan upaya penulis dalam rangka merawat
ideologi dan mengembangkan wacana gerakan IMM itu sendiri.

Autentisitas IMM

Yang menjadi pertanyaan di kalangan para kader ketika membaca buku IMM


Autentik adalah apa yang kemudian menjadi ciri dari autentisitas IMM seprti
dimaksudkan penulis? Mengapa mesti IMM autentik? Kata autentik sendiri
berarti murni, asli, tulen, sedangkan autentisitas berarti kemurnian, keaslian,
dan kesejatian. IMM autentik artinya IMM tulen, IMM sejati, IMM murni.
Apakah dengan begitu ada IMM karbidan, IMM KW, IMM oplosan, dan IMM-
IMM lainnya yang bersifat tidak murni. Dengan begitu, seperti apa
autentisitas yang dimaksud penulis dalam buku tersebut?

Berbicara soal autentisitas itu sendiri penulis mencoba mengambil dan


menerapkan spirit tajdid Muhammadiyah, yakni pemurnian (purifikasi) dan
pembaruan (dinamisasi). Dua poin ini jika diterapkan ke dalam gerakan IMM
maka akan menghasilkan dialektika dan wacana dinamis di dalam tubuh IMM
itu sendiri. Dan tentunya dengan spirit tajdid inilah kita bisa menemukan
autentisitas atau kesejatian gerakan IMM. Jika dalam tajdid Muhammadiyah
objek kajiannya adalah ajaran Islam, di dalam tajdid IMM yang menjadi objek
kajiannya adalah IMM dan gerakan IMM itu sendiri.

Pemurnian. Dalam hal pemurnian, Muhammadiyah dikenal dengan jargon


“kembali pada Alquran dan as-sunah” dengan maksud mengembalikan atau
memurnikan kembali ajaran Islam pada dalil-dalil makbullah, sehingga
praktik ibadah maupun muamalah bisa lebih mendekati apa yang dilakukan
Rasulullah dan menghindari adanya bid’ah. Hal itu tentu didasari dengan
adanya pencampuradukan ajaran Islam dengan budaya yang cenderung
sinrkretik dan menyimpang dari dasar ajaran Islam.

Sedangkan pemurnian dalam gerakan IMM adalah upaya untuk menggali


kembali dasar-dasar teologis, teoritis, dan filosofis yang tentunya bisa kita
temukan dalam dalil religius, literatur persyarikatan, dan keputusan
organisasi. Hal ini bertolak dari adanya semacam budaya pragmatisme politis
(oportunistik, narsistik, keinginan untuk sekadar eksis dengan menonjolkan
simbol, hingga kehilangan identitasnya sebagai gerakan intelektual), di dalam
gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, termasuk di dalamnya adalah IMM.

Proses melacak autentisitas ini memang tidak lantas menemui kata final. Oleh
sebab itulah, penulis lebih menekankan autentisitas di sini sebagai sebuah
proses. Artinya, autentisitas itu sendiri dimaknai sebagai spirit untuk
menggali kemurnian gerakan IMM, mulai dari kaderisasinya, hingga gerakan
dakwah dan sosialnya.

Namun, jika perlu dibuat poin-poin untuk menggambarkan bagaimana


sebenarnya autentisitas IMM itu, penulis di sini mencoba memberikan
beberapa poin, yang mungkin lebih mengarah pada autentisitas kader dalam
ber-IMM. Poin-poin itu di antaranya: (1) memiliki paham keagamaan yang
sejalan dengan Muhammadiyah; (2) menjadikan kepribadian Muhammadiyah
sebagai landasan merumuskan gerakan/agenda IMM; (3) menggali spirit dari
perjalanan sejarah kelahiran dan perkembangan IMM, termasuk dari para
tokoh-tokoh dan founding fathers-nya; (4) menjadikan AD/ART, pedoman
administrasi, keputusan tanwir/muktamar (tanfiz), dan deklarasi-deklarasi
IMM sebagai acuan dalam menentukan sikap dan kebijakan; (5) senantiasa
berorientasi ibadah lillahi taala dan menyiapkan generasi mapan untuk
menghadapi zaman (kaderisasi).[1]

Dari kelima poin tersebut kita bisa yakini bahwa gerakan IMM sejatinya tidak
lepas dari nilai (value) yang mengikat dirinya. Sehingga, kader-kader IMM
pun turut terikat di dalamnya. Dengan begitu, agenda-agenda IMM tidak
sebatas seremonial tanpa refleksi sebagaimana yang banyak kita temui hari
ini. Kegiatan seremonial bukannya tidak baik, tapi biasanya lebih bersifat
hura-hura, berorientasi jangka pendek atau penunaian program kerja, dan
hanya mengedepankan aspek simbolik semata. Sedangkan agenda IMM
sejatinya terletak pada substansinya yang tidak lagi bicara apa kegiatannya
dan siapa yang mengadakannya, tapi lebih kepada manfaatnya apa untuk
masyarakat dan bagaimana kelanjutannya.

Pembaruan/dinamisasi. Sementara dinamisasi yang dimaksudkan penulis


lebih kepada adaptasi gerakan IMM terhadap perkembangan zaman dan
peradaban. Perkembangan zaman ditandai dengan adanya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Di situlah peran IMM untuk selalu giat
menimba dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melakukan riset-
riset ilmiah. Kesadaran pengembangan keilmuan dan riset ini menjadi suatu
hal yang penting karena dalam membangun gerakan, basis riset merupakan
landasan pijaknya. Dengan melakukan kajian teori, keilmuan, dan riset, IMM
kemudian bisa menghasilkan gerakan secara reflektif dan substantif bisa
mengena pada persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.

Dinamisasi juga perlu sebagai perwujudan dari klaim atas organisasi modern
yang disandang IMM. Corak berpikir modern itu sudah semestinya
menjadikan kita berpikir lebih maju jauh ke depan. Sehingga, dinamisasi itu
tidak hanya dalam upaya membangun gerakan IMM, tetapi juga ikhtiar untuk
mengonstruksi budaya dinamis di dalam internal tubuh IMM sendiri. Mulai
dari budaya kepemimpinan, manajemen organisasi, tradisi intelektual, dan
sebagainya.

Reautentikasi Kader

Berbicara soal reautentikasi kader sebenarnya berbicara juga soal nilai-nilai


atau ideologi yang terinternalisasi dalam diri kader. Hal itu melibatkan peran
IMM sebagai organisasi perkaderan. Reautentikasi sendiri berarti kembali
melakukan autentikasi, yaitu dengan mengonfirmasi atau melakukan
pengecekan terhadap betul atau tidak, atau asli atau palsu. Ketika hendak
melakukan verifikasi tersebut kita mesti memiliki seperangkat instrumen
yang terkandung di dalam IMM.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, reautentikasi berarti mencoba


membuktikan kembali apakah kader IMM hari ini sudah sesuai dengan tujuan
dan seperangkat nilai yang ada di dalam ideologi IMM atau justru sebaliknya.
Tentu reautentikasi kader tidak hanya berhenti para peran IMM sebagai
organisasi kaderisasi, tetapi juga mesti kembali kepada kader untuk
mempergunakan cerminnya, apakah kita sudah memenuhi kriteria profil
kader secara sempurna atau belum.
Tentu bagian ini menjadi refleksi kritis kita sebagai kader yang telah memilih
berjuang di IMM untuk senantiasa memajukan dan membenahi organisasi
tercinta ini. Selanjutnya, penulis mencoba memaparkan tiga hal yang penting
untuk dimiliki kader saat ini, di antaranya adalah spirit kemanusiaan, spirit
kebangsaan, dan spirit untuk berkarya. Dengan ketiga poin ini kemudian kita
bisa berupaya menggali kembali auntentisitas ber-IMM.

Al-Maun dan Kemanusiaan Universal

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang


menghardik anak yatim. Dan enggan memberi makan orang miskin.
Merekalah orang-orang yang sholat, yakni orang-orang yang lalai dalam
sholatnya. Yang berbuat riya atau pamer. Dan enggan menolong atau
membantu sesama.” QS Al-Maun 1-7.

Dalam ilmu sosial kritis kita kerap menemukan pertentangan antara kaum
proletar yang ditandai dengan kaum buruh dengan borjuis yang merupakan
para majikan atau pemilik modal. Pertentangan semacam itu kemudian
memunculkan adanya dua kaum yakni yang menindas dan ditindas. Dalam
konsep Islam kita mengenal istilah mustadhafin untuk untuk menyebut kaum
yang ditindas. Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa di dalam Islam kelas
masyarakat itu hanya ada dua, yakni kelas dzalim (penindas) dan kelas
mustadhafin (tertindas). (lihat: Muslim Tanpa Masjid). Berbeda dengan
pandangan Marxis yang lebih menekankan pertentangan kelas antara proletar
dengan borjuis, dalam pandangan Kunto tidak harus kaum buruh atau
pekerja, melainkan semua yang tertindas merupakan mustadhafin.

Pembelaan terhadap kaum yang lemah merupakan salah satu tugas kenabian.
Dalam sebuah riwayat sidebutkan, saat orang-orang Nasrani Najran pulang
dari acara diskusi dengan Rasulullah di Masjid Nabawi, salah seorang di
antara mereka bertanya, “Jika aku ingin bertemu lagi di mana aku
menemuimu?” Rasulullah pun kemudian menjawab, “Carilah aku di tengah-
tengah mereka yang hatinya luka (orang-orang yang lemah)”. Dengan begitu,
sebagai organisasi intelektual dengan visi kenabian (profetik) senantiasa
berada pada posisi membela mustadhafin (orang yang tertindas,
terdiskriminasi, termarginalisasi, dsb).

Dalam Alquran surah An-Nisa ayat 75 disebutkan, “Dan mengapa kamu tidak
mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki,
perempuan, maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Allah Tuhan kamu,
keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah
kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’.”
Konteks ayat ini adalah pembelaan terhadap orang yang tinggal di dalam
masyarakat yang penduduknya maupun pemimpin (umara)-nya dzalim.
“Keberpihakan terhadap kaum yang lemah adalah suatu keharusan (tanggung
jawab) bagi setiap Muslim. Baik itu sebagai mahasiswa, pemerintah, maupun
ormas. Tidak bisa dimungkiri, teologi Al-Maun telah menjadi napas dan
landasan pergerakan bagi IMM–Muhammadiyah. Sebagai gerakan mahasiswa
Islam, yang menjadikan kompetensi sosial (humanitas) sebagai dasar
pergerakannya, IMM harus bergumul dengan berbagai macam realitas dan
problematik kehidupan masyarakat di sekitarnya.” (hlm 71).

Sementara itu, kita hari ini terkadang masih menemui kagagapan dalam hal
dakwah sosial. Catatan penting yang menjadi refleksi untuk kita saat ini
penulis ungkapkan dalam sebuah paragraf berikut ini:

“Kiai Dahlan hidup pada abad ke-19 tapi berpola pikir abad 20, dia telah
melampaui zamannya jauh ke depan. Sementara kita, untuk sekadar
memahami apa yang dia pikirkan pada abad ke-19 rasanya sulit dan malas.
Lantas, bagaimana kita bisa menjangkau realitas satu abad ke depan? Apalagi,
harus melakukan gerakan-gerakan (action) filantropi seperti yang dia
lakukan.”

Dewasa ini memang kita (dalam konteks internal) selalu dihadapkan dengan
dua masalah itu, kesulitan memahami (kebebalan) dan kemalasan. Dua sifat
tercela ini semestinya kita bongkar, jangan sampai kita ‘mengalami
kemunduran di zaman yang tengah mengalami kemajuan’ –seperti yang
dikatakan Yudi Latif.” (hlm 75).

Perjuangan kemanusiaan (dakwah sosial) IMM sejatinya memang dilandasi


oleh spirit keagamaan. Pelaksanaan agenda kemanusiaan IMM sendiri
merupakan ejawantah dari nilai-nilai agama, bahkan ibadah itu sendiri. Spirit
al-Maun kemudian tidak hanya ditafsirkan ke dalam kegiatan-kegiatan
seremonial belaka. Spirit kemanusiaan yang kemudian diemban oleh IMM
lebih luas lagi, yakni perjuangan terhadap kemanusiaan universal. Hal ini juga
merupakan upaya objektivikasi ajaran dan nilai-nilai Islam sebagai basis
moral.

“Kuntowijoyo mengenalkan istilah objektivikasi Islam (Kuntowijoyo, 1998),


yang dia katakan sebagai pengamalan nilai-nilai Islam yang bersifat universal
untuk mengatur suatu kehidupan. Menurut dia, nilai-nilai Islam harus
direfleksikan terhadap fakta objektif, sehingga kemudian nilai-nilai Islam bisa
diterima oleh semua kalangan. Tentu hal ini berkaitan dengan hubungan
antarsesama manusia (sosial).” (hlm 87).

Selain upaya terhadap objektivikasi terhadap nilai-nilai dan ajaran Islam,


kemanusiaan universal juga merupakan konsekuensi logis dari trikompetensi
dasar yang dimiliki kader IMM. Terlebih dalam tujuan IMM disebutkan
secara tegas untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang
memiliki “akhlak mulia”.

“Tri kompetensi dasar yang terdiri dari humanitas, intelektualitas, dan


religiositas, merupakan wujud cerminan kader IMM terhadap nilai-nilai
ikatan, yang kemudian diletakkan (dicita-citakan) dalam frasa ‘akhlak mulia’
dalam tujuan IMM. Hal ini pula menjadi cerminan terhadap nilai-nilai Islam
yang bersifat rahmatan lil ‘alamin. Dengan kesalehan-kesalehan individu yang
dimiliki kader IMM, tentunya spirit akademisi Islam yang berakhlak mulia
dapat terwujud.” (hlm 88).

Akhlak mulia yang mengandung makna perbuatan mulia sebagaimana


tuntunan ajaran Islam dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, kemudian menjadi
kunci bagi setiap kader IMM berupaya mewujudkan cita-cita besar IMM dan
persyarikatan. Dengan begitu, kita memaknai bahwa kesalehan religius (aspek
keagamaan) mesti konkomitan (seiring) dengan kesalehan sosial (aspek
kemanusiaan). Dalam teori ISP Kuntowijoyo disebutkan bahwa ilmu sosial
profetik menginginkan kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan
sekaligus. Sehingga yang dimaksud berislam atau beragama secara kaffah itu,
tidak hanya dalam ritual simbolik, tapi juga dalam berpikir, berucap, dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Peran Kebangsaan

Berbicara soal peran kebangsaan, sebenarnya hal tersbeut merupakan


pekerjaan rumah bagi IMM untuk kembali memaknai dan menggali apa peran
kebangsaan yang sesungguhnya bagi IMM. Dari berbagai literatur yang
penulis baca, misi kebangsaan bagi IMM—sebagaimana Muhammadiyah—itu
ada dua, yakni membangun masyarakat dengan pembinaan, permberdayaan,
dan penguatan sektor-sektor fundamental atau kita sebut saja politik
filantropi kemasyarakatan. Serta membangun melalui jalur politik praktis
(kekuasaan). Kita mesti meyakini keduanya sama-sama penting dalam rangka
menjalankan dakwah bil siyasah. Namun, dalam konteks gerakan yang
mengacu kepada khittah perjuangan Muhammadiyah, maka IMM tidak
terlibat dalam pergulatan kontestasi politik praktis. Melainkan lebih kepada
gerakan filantropi, pemberdayaan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

“Dalam Khittah Denpasar (2002) yang berisi khittah Muhammadiyah dalam


Berbangsa dan Bernegara disebutkan bahwa “Peran dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan
perjuangan”. Pertama, melalui politik yang berorientasi
kekuasaan/kenegaraan (real politics). Kedua, melalui kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat.”
(hlm 16).
“IMM sebagai organisasi dakwah, memiliki peran dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam dakwahnya, IMM berpegang teguh kepada nilai-nilai
moral. Baik itu dalam dakwah keagamaan maupun kemasyarakatan, termasuk
dalam urusan politik. IMM tidak perlu berafiliasi dengan parpol atau terlibat
dalam politik praktis (lihat: Deklarasi Setengah Abad IMM–hasil Muktamar
Solo) untuk menjalankan misi dakwahnya. Karena, parpol ataupun politik
praktis (real politic) lebih berorientasi jangka pendek dan cenderung
memandang politik sebagai ajang perebutan kekuasaan. Sementara IMM–
sebagaimana Muhammadiyah, memandang politik sebagai ilmu, sebagai jalan
untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Yang tentunya memiliki orientasi
jangka panjang dan luas.” (hlm 17).

Kerentanan riil politik atau politik praktis adalah ketika seorang kader
menjadi lupa diri dan melupakan jati diri sebagai kader yang mengemban
misi perjuangan moral di dalam politik. Jika sudah begitu, kader akan
terkontaminasi oleh budaya politik yang kotor karena terlewat transaksional.
Nalar politik transaksional inilah yang kemudian menumbuhsuburkan
pragmatisme dalam diri kader. Maka dari itu, secara etik, IMM memiliki
tanggung jawab moral yang besar untuk menyiapkan kader-kader yang siap
memimpin bangsa dengan berpegang teguh pada nilai-nilai perjuangan dan
khittah persyarikatan. Jika dibandingkan dengan organisasi HMI, peran IMM
di sektor politik ini memang ketinggalan. Maka penulis berpendapat bahwa
keberhasilan organisasi tidak bisa dinilai hanya dari berapa banyak sosok
yang jadi tokoh dalam  Namun, bukan berarti kader IMM tak memiliki peran
di situ.

Saat ini, kita bisa melihat sumbangsih IMM dalam membangun bangsa, yaitu
dengan bagaimana peran-peran alumni IMM di dalam struktur pemerintahan
eksekutif, yudikatif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara. Misalnya saja
Prof Sudarnoto Abdul Hakim yang saat ini menjabat staf khusus presiden,
Prof Din Syamsuddin mantan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan
Kerja Sama Antaragama dan Peradaban yang kini digantikan Prof Syafiq
Mughni, Maneger Nasution menjabat Komisioner Komnas HAM 2012-2017
dan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2018-2023,
Pramono Ubaid Tantowi yang saat ini menjabat komisioner KPU pusat, Andi
Nurpati mantan komisioner KPU, Ahmad Najib Burhani peneliti LIPI, dan
masih banyak lagi, baik di level pusat, provinsi, maupun kota. Intinya sebaran
kader menjadi salah satu konsekuensi logis dan tuntutan moral bagi IMM
dalam menciptakan para pemimpin yang siap memimpin bangsa.

IMM untuk Bangsa

Karya Nyata untuk Bangsa merupakan tema yang diangkat dalam milad ke-55
tahun IMM. Tema ini muncul bukan tanpa sebab. Setidaknya, di dalam tema
ini ada penegasan dan harapan. Pertama, karya nyata untuk bangsa
merupakan penegasan bahwa sejatinya perjuangan IMM adalah untuk
bangsa, untuk kemaslahatan umat. Dalam bahasa enam penegasan
disebutkan, “perjuangan IMM senantiasa diabdikan untuk kepentingan
masyarakat/rakyat”.

Jika kita berbicara soal peran kepemimpinan dan kepeloporan, karya nyata
IMM untuk bangsa adalah kadernya. Karena tugas IMM sebagai organisasi
kaderisasi adalah menciptakan kader-kader berkualitas dan memiliki
kapasitas yang siap berkiprah di masyarakat maupun dalam memimpin dan
mengawal persoalan negara. Sementara sebagai organisasi gerakan, maka
sumbangsih atau karya IMM adalah agenda-agenda intelektual, sumbang
pemikiran, pemberdayaan masyarakat, dan turut menjadi agen yang
menyemai pemikiran-pemikiran ihwal kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan,
dan kebenaran di tengah masyarakat.

Kedua, yakni spirit harapan. Bahwa tema milad kali ini juga menjadi harapan
besar, ke depan IMM bisa memberikan karya yang lebih nyata dan konkret.
Baik dalam menyiapkan kader-kadernya untuk berkiprah di masyarakat,
maupun dalam menjalankan agenda gerakan. Sebagai contoh, kini di berbagai
komisariat dan cabang rerata sudah memiliki desa binaan maupun gerakan
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Baik dalam bentuk
pemberdayaan ekonomi, pendidikan, maupun advokasi. Tentu hal itu
lantaran misi IMM sebagai abdi masyarakat yang mengemban tugas
kenabian. Selain di lingkup masyarakat, bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan wacana, kader-kader yang memiliki pemikiran cerdas dan
kritis bisa memublikasikan tulisan-tulisan atau hasil risetnya dalam bentuk
buku, jurnal, maupun media daring.

Apalagi, kita tengah berada dalam masa peralihan ke era industri 4.0 yang
membutuhkan nalar kritis, kreatif, inovatif, serta mampu beradaptasi dan
terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.
Sehingga kompetensi kader ke depan mesti dikembangkan lebih jauh lagi.
Tentu harapan kita semua, ke depan tidak hanya pos-pos pemerintahan,
lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga-lembaga pendampingan
masyarakat, dan lembaga pendidikan yang diisi oleh kader IMM, melainkan
juga berperan dalam persaingan pengembangan start-up, entrepreneur,
robotic, programmer, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai