Anda di halaman 1dari 4

4. Apa tantangan yang dihadapi indonesia dalam mewujudkan ketahan pangan?

A. TANTANGAN KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN

1. Sisi Penyediaan Pasokan


Sangat sulit untuk memprediksi ketahanan pangan berkelanjutan dalam jangka waktu tertentu,
seperti sepuluh tahun ke depan. Hal ini dapat dibagi menjadi dua kategori: tantangan dari sisi
penawaran atau penyediaan pasokan pangan dan tantangan dari sisi permintaan atau
kebutuhan dan pemanfaatan pasokan pangan. Dari sisi penyediaan pasokan, paling tidak ada
lima hal yang harus diperhatikan.
a. Pertama, hambatan terhadap akses ke sumber daya alam. Karena sasaran pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan peningkatan penduduk yang signifikan, kemampuan untuk
memanfaatkan lahan termasuk air dan perairan akan semakin meningkat. Angka konversi
lahan pertanian saat ini, yang sering disampaikan kepada publik oleh para pejabat atau
akademisi, berkisar antara 60.000 ha hingga 100.000 ha per tahun. Penggunaan pupuk
kimia dan pestisida yang terus menerus dan limbah industri yang merembes ke lahan
pertanian menyebabkan kualitas lahan dan air menjadi lebih buruk. Selain itu, sarana
pertanian yang sudah ada juga telah mengalami kerusakan sebagian. Sebagai contoh,
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (2013) menyatakan
bahwa 2,6 juta ha, atau sekitar 36 persen dari 7,2 juta ha jaringan irigasi, telah rusak.
Karena produksi pangan Indonesia masih berbasis lahan, kondisi ini saja sudah akan
menurunkan kapasitas produksi pangan nasional.
b. Kedua, efek global warming. Di Indonesia, kejadian iklim ekstrem menjadi lebih nyata
dalam tiga tahun terakhir. Fenomena ini semakin sering terjadi di masyarakat. Perubahan
iklim dapat menyebabkan penurunan produktivitas tanaman pangan. Beberapa gejalanya
termasuk kenaikan suhu udara, banjir dan kekeringan yang semakin sering, pola dan
tingkat curah hujan yang berbeda dari sebelumnya, dan peningkatan tingkat serangan
hama dan penyakit. Oleh karena itu, perubahan harus dilakukan dalam proses pertanian
pangan. Perubahan ini mencakup perubahan pada waktu dan pola tanam, penggunaan
varietas yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, dan pengelolaan air yang efektif.
c. Ketiga, usaha tani skala kecil mendominasi sektor pertanian Indonesia. Jumlah rumah
tangga petani sebanyak 26,14 juta memiliki penguasaan lahan rata-rata 0,98 ha, dengan
sekitar 56% atau 14,6 juta rumah tangga mengusahakan lahan di bawah 0,5 ha, dan lahan
rata-rata petani padi sawah kurang dari 0,2 ha (Direktorat Pangan dan Pertanian,
Bappenas, 2013). Petani kecil ini dihadapkan pada masalah klasik yang belum diatasi
dengan baik, seperti permodalan, informasi, akses pasar yang terbatas, dan teknologi
(Suswono, 2013). Indonesia tidak dapat mencapai ketahanan pangan berkelanjutan jika
tidak ada rekayasa sosial yang menangani masalah ini.
d. Keempat, ada ketidakseimbangan dalam produksi makanan di berbagai daerah. Lebih dari
50% produksi pangan nasional berasal dari Jawa, hampir untuk semua komoditas.
Ketidakseimbangan ini akan membuat upaya pemerataan pangan dan biaya distribusi
menjadi lebih sulit. Akibatnya, akan sulit untuk menyediakan makanan secara spasial
merata di seluruh Indonesia. Mengatasi ketidakseimbangan produksi antarwilayah akan
menjadi tantangan jika infrastruktur dan sistem logistik pangan antarwilayah tidak
dibangun.
e. Kelima, tingkat kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi.
Kehilangan pangan, yang dikenal sebagai kehilangan makanan, disebabkan oleh kesalahan
dalam penanganan makanan dari saat panen hingga pengolahan, dan berlanjut setelah
pemasaran, diperkirakan masih sekitar 10% hingga 20%, bergantung pada komoditas,
musim, dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, diperkirakan ada lebih dari 30%
pemborosan makanan, atau sampah makanan, yang terjadi mulai dari pasar konsumen
akhir hingga dibawa dan disimpan di rumah sebelum disajikan di meja makan tetapi tidak
dimakan. Menurut FAO, sepertiga dari bahan pangan yang dapat dikonsumsi dibuang atau
diboroskan secara gratis (FAO, 2011b). Selain itu, ada masalah besar dengan pemborosan
makanan di Indonesia. Ini termasuk banyaknya makanan yang terbuang di restoran selama
resepsi pernikahan, acara rapat dan pertemuan, makanan yang terbuang sebelum
dimasak, dan makanan yang sudah disajikan di meja makan di rumah tetapi tidak
dikonsumsi sepenuhnya.

Sudah lama diketahui bahwa hasil pangan hilang selama proses penanganan dan distribusi.
Namun, belum ada inisiatif pemerintah yang berhasil mengatasi masalah ini secara
menyeluruh. Untuk mengatasi pemborosan pangan, orang harus memahami dan menyadari
nilai ekonomi yang dibuang secara gratis oleh pelaku pada sistem distribusi dan pemasaran,
keluarga, dan pemerintah.

2. Sisi Pemenuhan Kebutuhan


Empat masalah yang dihadapi dari sisi kebutuhan dan pemanfaatan pangan adalah sebagai
berikut: peningkatan pendapatan per kapita, peningkatan populasi dan dinamika karakteristik
demografis, perubahan selera yang disebabkan oleh peningkatan akses ke informasi atau
promosi pangan di seluruh dunia, dan persaingan dalam pemanfaatan bahan pangan. Berikut
ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang masalah dari sisi kebutuhan dan pemanfaatan
pangan.
a. Pertama, pertumbuhan penduduk yang tinggi, bersama dengan dinamika karakteristik
demografisnya, seperti peningkatan urbanisasi dan peningkatan populasi. Jumlah
kebutuhan pangan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang
signifikan. Karena jumlah penduduk yang besar, akan ada peningkatan permintaan pangan
tahunan yang signifikan. Salah satu dinamika kependudukan adalah urbanisasi. Ini karena
sektor pertanian tidak dapat menampung angkatan kerja baru atau memenuhi harapan
terkait upah yang diterima atau kondisi kerja yang tidak nyaman. Selain urbanisasi,
pergeseran beberapa wilayah yang sebelumnya berciri desa menjadi wilayah dengan ciri
kota kecil atau kota sedang akan terus terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan
otonomi daerah. Kedua faktor ini akan mempercepat pertumbuhan populasi kota atau
daerah berciri kota. Hal ini akan menyebabkan proporsi pola permintaan pangan yang
disukai penduduk kota meningkat. Jumlah pekerja wanita juga meningkat. Jumlah wanita
yang bekerja diperkirakan akan meningkat dalam sembilan tahun ke depan. Hal ini akan
meningkatkan permintaan untuk makanan jadi yang dimakan di dalam atau di luar.
b. Kedua, dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi cukup cepat, rata-rata lebih
dari 5% per tahun, akan dipertahankan dalam sepuluh tahun mendatang karena
pemerintah harus mengejar ketertinggalan ekonomi dari negara-negara maju. Walaupun
pertumbuhan ekonomi yang tinggi berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita
atau daya beli masyarakat, dampaknya tidak merata untuk semua orang. Situasi ini akan
meningkatkan permintaan pangan karena kualitas, keragaman, mutu, dan keamanannya.
Salah satu cara untuk menangani masalah ini dan sekaligus memanfaatkan peluang bisnis
pangan olahan adalah dengan menguasai dan menerapkan teknologi pangan untuk
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan permintaan pangan, sehingga mampu
menyediakan makanan yang sesuai dengan preferensi dan permintaan pasar.
c. Ketiga, perkembangan pesat teknologi informasi media yang digunakan oleh media untuk
promosi dan periklanan, termasuk penggunaan teknologi seperti internet, telah
menyebabkan pergeseran selera konsumsi pangan saat ini. Pola konsumsi pangan saat ini
mulai meninggalkan makanan lokal dan tradisional, dan dipengaruhi oleh sumber daya
pangan di sekitarnya, daya beli masyarakat, pengetahuan tentang pangan dan gizi, dan
selera konsumen. Imanto (2012) juga melihat bagaimana iklan televisi sering menampilkan
produk yang mencerminkan gaya hidup dan budaya konsumerisme. Pola konsumsi
makanan masyarakat secara bertahap akan berubah dengan semakin tersebarnya jaringan
televisi di seluruh negeri dengan iklan makanan yang persuasif untuk menarik minat dan
selera pemirsa, menawarkan makanan dengan citra yang menarik dan internasional.
Konsumsi makanan cepat saji, makan di luar rumah, dan restoran dengan makanan
internasional akan semakin populer. Sebaliknya, pelanggan akan secara bertahap
meninggalkan makanan tradisional atau lokal yang dilabelkan atau dihubungkan
dengannya. Dalam sepuluh tahun ke depan, tren ini akan semakin berkembang. Dengan
memanfaatkan teknologi pangan dan informasi, serta kampanye gerakan cinta pangan
lokal Nusantara, diharapkan dapat mengimbangi tantangan perubahan selera pangan yang
disebabkan oleh iklan makanan.
d. Keempat, komoditas pangan untuk konsumsi manusia (makanan), pakan ternak (pakan),
bahan baku energi bio (biofuel), dan bahan baku industri nonpangan akan terus bersaing
dan semakin ketat dalam sepuluh tahun ke depan. Peningkatan permintaan untuk produk
ternak, peningkatan biaya energi berbahan baku fosil, dan peningkatan permintaan untuk
produk industri yang menggunakan bahan pangan dalam proses produksi. Melalui
peningkatan produksi komoditas pangan yang tinggi dan pelibatan industri pangan,
masalah ini harus dapat diantisipasi dengan cermat.
DAFTAR PUSTAKA

Suryana, Ahmad, Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan 2025: Tantangan Dan
Penanganannya, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2014

Maharani Casa Dina, Mencapai Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan, Program Studi Sarjana
Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur. Global & Policy Vol.4, No.2, Juli-
Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai