“Swasembada Pangan untuk Ketahanan Pangan Nasional”
“Bertambahnya jumlah penduduk harus diiringi dengan kenaikan jumlah kebutuhan
akan pangan”. Itulah bunyi dari Hukum Malthus, Sang Bapak Kependudukan. Hubungan antara pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan tersebut bersifat positif. Dimana jika jumlah penduduk meningkat, maka kebutuhan akan pangan pun ikut meningkat. Karena, pada dasarnya pangan merupakan kebutuan yang mendasar bagi setiap individu manusia. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, “Bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hask asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional”. Permasalahan ketahanan pangan nasional akan menjadi hal yang menarik bagi negara – negara yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dalam pemenuhan kebutuhan pangan para penduduknya. Kecepatan pertambahan jumlah penduduk di suatu negara harus di antisipasi dengan adanya kesiapan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pangan, agar masalah dalam pemenuhan pangan tersebut tidak menjadi kendala yang dapat menimbulkan “domino effect” terhadap sektor lainnya dalam pembangunan nasional. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Di sisi lain, Indonesia dikenal juga sebagai negara yang menduduki peringkat ke empat terpadat didunia dengan jumlah penduduk 237.556.363 jiwa (BPS : 2010). Pada kenyataannya sekarang, kondisi ideal pemenuhan pangan terhadap pertambahan jumlah penduduk di Indonesia belum tercapai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tahun 2010 lalu dengan judul “Studi Tentang Kemandirian Pangan Sumber Karbohidrat Dan Protein Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan”, di ketahui bahwa angka ketersediaan pangan telah melebihi kebutuhan pangan yang diperlukan. Walaupun penyediaan pangan pada tingkat nasional telah melampaui kebutuhan pangan, tidak berarti bahwa kecukupan pangan pada tingkat rumah tangga telah terpenuhi. Di beberapa daerah di Indonesia masih dapat dijumpai masalah gizi seperti; kurang energi protein, kekurangan vitamin A, defisiensi Fe, serta kurang zat gizi lainnya. Masalah ini dapat juga menyangkut pertambahan penduduk yang meningkat, semakin terbatasnya sumberdaya alam, masih terbatasnya sarana dan prasarana usaha di bidang pangan, semakin banyaknya produk impor yang melindas produksi dalam negeri, masih minimnya pengembangan terhadap lahan serta besarnya proporsi penduduk miskin. Hal ini tentu saja menjadi PR kita bersama sebagai warga negara Indonesia yang peduli terhadap masa depan negara ini. Pembenahan sistem yang bisa dilakukan untuk mencapai pembangunan nasional dan ketahanan pangan sebaiknya dimulai dari sektor pertanian terlebih dahulu. Jika sektor pertanian sudah kuat, maka hampir dapat dipastikan sektor – sektor lain dalam pembangunan nasional akan menguat pula. Yang menjadi perhatian di sini adalah sejauh mana perkembangan teknologi pertanian serta produktivitas lahan pertanian di Indonesia dalam mendukung persediaan bahan pangan itu sendiri?. Di satu sisi, import bahan pangan dapat menjadi salah satu alternatif pemenuhan ketahanan pangan yang efektive melihat sering terjadinya rawan pangan di Indonesia, namun dilihat dari kacamata ekonomi makro hal tersebut dirasa kurang efisien. Selain itu, dampak dari import itu sendiri perlu diperhatikan. Jika terjadi defisit perdangangan terus – menerus akibat import pangan dalam jangka panjang, inflasi bisa saja melanda Indonesia. Hal lain yang bisa ditawarkan adalah pelaksanaan kembali program swasembada pangan seperti yang terjadi pada mas orde baru tahun 1984. Namun, realitanya bagi petani hal tersebut terasa sulit. Selain teknologi yang kurang memadai, masalah fluktuasi harga pasar yang tidak stabil serta ketidakpastian persediaan pangan riil menjadi kendala yang menyebabkan dilema di kalangan petani, apakah lebih baik impor atau tetap mengusahakan budidaya di negara sendiri tapi Rawan Pangan?. Data konkrit mengenai persediaan dan kebutuhan pangan sangat diperlukan, karena jika memang tidak mencukupi, tidak perlu dikatakan surplus hanya untuk menenangkan publik karena hal itu justru bisa memicu rawan pangan jika kondisi di lapangan persediaan pangan menipis. Seperti berita yang dimuat dalam Kompas pada hari Rabu, 20 Juli 2011, pukul. 18:35 WIB,serangan hama wereng serta musibah banjir menyebabkan banyak petani yang gagal panen serta ketidakpastian megenai persediaan panga riil yang akhirnya menyebabkan rawan pangan. Kondisi yang terjadi di atas memang seringkali terjadi. Namun, jika terjadi terus – menerus tanpa ada pengendalian, mungkin jalan alternatif lain adalah mengimport dari luar negeri. Dan jika import yang dipilih, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah baru dari segi ekonomi makro negara Indonesia. Dijelaskan Menteri, dari total luas lahan pertanian saat ini seluas 70 juta Ha, yang efektif untuk produksi pertanian hanya 45 juta Ha. Luas lahan sawah cenderung menurun sebagai akibat alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian yang mencapai 50 hingga 70 ribu Ha per tahun. Padahal pencetakan sawah hanya seluas 20 hingga 40 ribu Ha per tahun Dalam pemecahan masalah dualisme tersebut, menurut hemat penulis sebenarnya terletak dari bagaimana kebijakan dalam masalah pangan ini dibuat. Baik dari sisi teknologinya ataupun komunikasi yang terjalin antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah begitupun dengan para petaninya. Jika semua aspek tersebut berjalan secara sinergis, maka budidaya tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan pangan penduduk di dalam negeri akan lebih terasa menguntungkan dibandingkan harus import untuk pencapaian target ketahanan pangan ini. Selain itu juga konversi lahan produktif harus di kurangi untuk menghin dari penyempitan lahan sebagai akibat dari pembangunan atau penggunaan lahan untuk sektor non pertanian dan yang terpenting adalah kesiapan dari negara ini untuk melakukan swasembada pangan. Jadi, sinergisitas antara Pemerintah, Petani, Pemilik lahan serta mereka yang memiliki peranan penting dalam hal ketahanan pangan ini sangat diperlukan agar tidak perlu lagi dilakukan import bahan pangan dari luar negeri dan program swasembada pangan dapat terealisasi.