Anda di halaman 1dari 9

TUGAS AKHIR TPB BAHASA INDONESIA

ESSAY AGROKOMPLEKS

Nama : Reni

NPM : 240210180025

Fakultas/Prodi : FTIP / Teknologi Pangan

Kelompok : 73

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia


Urgensi Pelaksanaan Urban Farming dalam Menghadapi Gejolak Ketahanan Pangan
di Indonesia
Dewasa ini Indonesia masih dihadapkan oleh berbagai permasalahan yang belum
dituntaskan. Bahkan terbilang cukup banyak permasalahan baru yang muncul ke permukaan dan
menambah sekelumit persoalan yang belum ada ujungnya. Terlebih permasalahan yang dihadapi
saling berkaitan satu sama lain. Sehingga membutuhkan daya sinergitas yang tinggi dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Salah satu hal yang dianggap menjadi akar dari
beberapa permasalahan yang ada di Indonesia yaitu tidak terkontrolnya laju pertumbuhan
penduduk. Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistika (BPS) laju pertumbuhan
penduduk Indonesia mencapai angka 1,36% (BPS, 2017). Jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2010 mencapai 237.641.326 jiwa, lalu pada tahun 2017 diperkirakan jumlahnya mencapai
264,16 juta jiwa, hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 7 tahun penduduk Indonesia
sudah bertambah sekitar 27 juta jiwa. Tak hanya itu, bahkan hasil survei Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) 2015 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada 2045 diprediksi mencapai
318,96 juta jiwa (Subdirektorat Statistik Demografi, 2018). Tentu saja jika hal ini dibiarkan
maka tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia akan menghadapi setumpuk masalah yang semakin
menjadi-jadi tiap tahunnya. Salah satu permasalahan yang akan dihadapi yaitu ketahanan
pangan. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi Indonesia dengan berjuta-juta penduduknya dan
ketahanan pangannya yang masih menjadi persoalan. Tentu saja dengan ketahanan pangan yang
belum terwujud, Indonesia sangat riskan mengalami gejolak di berbagai bidang. Hal ini
disebabkan pemenuhan kebutuhan pangan sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan
bidang-bidang yang lain. Di mana pangan merupakan salah satu kebutuhan yang krusial bagi
suatu peradaban karena termasuk dalam kebutuhan dasar manusia. Sehingga untuk mewujudkan
sinergitas di antara bidang-bidang tersebut, merealisasikan ketahanan pangan dapat dijadikan
langkah strategis untuk memulai berbagai hal. Ketahanan pangan sendiri dapat diartikan sebagai
situasi di mana semua rumah tangga memiliki akses, baik secara fisik maupun ekonomi untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya dan rumah tangga tidak berisiko untuk
mengalami kehilangan kedua akses tersebut (FAO,1997). Sedangkan pasal 1 ayat 17 Undang-
Undang Pangan (UU No.7/1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah,
mutu, aman, merata, dan terjangkau. Hal ini menunjukkan konsep ketahanan pangan mencakup
ketersediaan pangan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan utama (Rita Hanafie,
2010:93). Sedangkan menurut Iwan Setiawan (2017:63), cakupan dari ketahanan pangan yaitu :
1. Pemenuhan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dari hasil produksi sendiri
2. Terjaminnya aksesibilitas fisik dan ekonomi atas pangan
3. Karakteristik pangan yang dikonsumsi diarahkan untuk memiliki mutu gizi yang baik
untuk kesehatan dan aman

Berbicara mengenai kondisi ketahanan pangan di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa
semakin lama kondisinya semakin memburuk. Hal ini diprediksi akan terus memburuk dengan
terus bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia tanpa dibarengi dengan peningkatan
pemenuhan kebutuhan pangan. Bahkan, menurut FAO (Food and Agriculture Organization)
Indonesia berada di level serius dalam indeks kelaparan global. Lalu disebutkan dalam indeks
ketahanan pangan, Indonesia berada di urutan 64 jauh di bawah Malaysia (33), China (38),
Thailand (45), Vietnam (55) dan Filipina (63). Padahal Indonesia terkenal akan kekayaan
biodiversitasnya. Data yang dimiliki oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
menyatakan bahwa potensi sumber pangan yang dimiliki Indonesia cukup banyak, yaitu 77 jenis
sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran,
dan 110 jenis rempah. Tentu saja potensi sumber pangan tersebut tergolong sangat beragam dan
jika dapat dikelola dengan baik dapat mendukung peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan.
Namun ironisnya Indonesia hingga saat ini masih berkutat dengan masalah ketahanan pangan,
hal ini menunjukkan bahwa ada yang janggal pada pengelolaan dan pengembangan sumber daya
yang dimiliki oleh Indonesia. Sehingga Indonesia sendiri kesulitan untuk mewudujkan ketahanan
pangan yang selama ini diidam-idamkan.
Mungkin tak henti-hentinya berbagai pihak meminta kejelasan mengapa ketahanan
pangan sangat sulit untuk direalisasikan. Ketahanan pangan Indonesia sendiri yang kondisinya
semakin memburuk disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yaitu berkurangnya jumlah
lahan pertanian yang ada di Indonesia, sehingga hal ini menyebabkan produktivitas pertanian
juga mengalami penurunan. Berkurangnya luas lahan pertanian disebabkan oleh beralih
fungsinya lahan tersebut untuk kegiatan di luar pertanian. Menurut data yang dikutip dari BPS
(Badan Pusat Statistika) dalam kurun waktu 19 tahun (1993-2012) pengurangan luas lahan
pertanian secara nasional sekitar 20.000 ha per tahun atau sebesar 0,24% per tahun. Laju
penyusutan lahan pertanian mencapai angka 1,935 juta ha selama 15 tahun atau 129.000 per
tahun. Setiap hari lebih dari 353 ha lahan pertanian berubah menjadi lahan non pertanian (14,7
ha per jam, 0,25 ha per menit). Menurut Ahmad Said (2010:1) banyak lahan pertanian yang
beralih fungsi untuk kegiatan industri, hal ini dikarenakan perindustrian semakin pesat
perkembangannya.Sehingga kegiatan pertanian lambat laun dianggap kurang menguntungkan
jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan di bidang lainnya, salah satunya yaitu kegiatan
industri. Jika alih fungsi lahan pertanian ini tidak terkendali dapat mengancam kapasitas
penyediaan pangan, bahkan dalam jangka panjang dapat menciptakan bencana sosial (Iswan
Kaputra, 2013). Hal yang menjadi pusat perhatian yaitu lahan pertanian semakin hari semakin
berkurang, namun kebutuhan akan bahan pangan semakin meningkat tiap harinya. Menurut
Sumardjo (2016) penting untuk dikembangkan model pemberdayaan masyarakat agar mampu
memenuhi kebutuhan pangan secara berkelanjutan berdasarkan optimalisasi sumber daya
pekarangan dengan sistem pertanian terpadu yang sesuai dengan sumber daya lokal dan
kebutuhan pangan berkualitas di era masyarakat ekonomi asean. Tentu saja permasalahan ini
harus segera ditangani sebab ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-
sektor lainnya (Delima Hasri Azahri, 2008). Sehingga untuk mewujudkan kejayaan di sektor-
sektor lain, Indonesia harus terlebih dahulu mewujudkan ketahanan pangan agar nantinya
permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan ini tidak menganggu jalannya pembangunan di
sektor-sektor lain. Tentu saja upaya membangun ketahanan pangan sangat diperlukan,
melibatkan kesadaran banyak pihak bukan hanya sebatas memenuhi kepentingan politis maupun
kesadaran mempertahankan lingkungan hijau tetapi lebih dalam upaya pemenuhan kebutuhan
pangan di tengah perekonomian yang dirasakan makin sulit.
Indonesia memerlukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Salah satu metode yang banyak menjadi perbincangan yaitu dengan mengaplikasikan Food
Orieted Development (FOD). Food Orieted Development merupakan konsep yang mencoba
mempertimbangkan aspek ketahanan pangan dalam pembangunan kota. Hal ini dikarenakan
menurut Bank Dunia 52% dari total populasi penduduk Indonesia tinggal di area perkotaan.
Bahkan kota-kota di Indonesia tumbuh rata-rata 4,1% per tahun (Ridwan Aji Pitoko,2016). Bank
Dunia memprediksi pada 2025 ada sekitar 68% penduduk Indonesia yang tinggal di kota.
Terlebih selama ini pembangunan kota yang terjadi pada umumnya belum mempertimbangan
aspek ketahanan pangan bagi kota itu sendiri. Sehingga gerakan Food Oriented Developmet
(FOD) dapat menjadi solusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan di perkotaan dan mampu
menekan kondisi ketahanan pangan yang buruk saat ini. Pertimbangan mengenai ketahanan
pangan ini diharapkan dapat mendukung pembangunan sektoral perkotaan yang berujung pada
hasil pembangunan yang berkelanjutan. Maka dari itu dengan memanfaatkan potensi sumber
daya yang tersedia telah berkembang konsep pertanian yang dikenal dengan “urban farming”.
Menurut Mark Sungkar (2015:11) urban farming atau pertanian kota berarti suatu aktivitas
pertanian seperti bertani, beternak, perikanan, dan kegiatan pertanian lainnya yang berlokasi di
dalam dan pinggiran kota. Kegiatan pertanian kota atau urban farming termasuk dalam bagian
dari Food Oriented Development (FOD) karena kegiatan pertanian kota merupakan kegiatan
pertanian yang dilakukan di lahan yang terbatas atau dapat dikatakan sempit dengan tujuan untuk
mengatasi persoalan pangan yang ada di wilayah tersebut. Pengaplikasian kegiatan pertanian
kota dapat mendorong wilayah tersebut semakin mandiri dalam penyediaan pangannya, sehingga
akan tercipta wilayah yang tahan pangan. Pendapat mengenai penerapan urban farming juga
disampaikan oleh Annisa (2015:9) bahwa urban farming digalakan sebagai salah satu upaya
untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan karena lebih
intensif, membutuhkan lahan yang terbatas, pemanfaatan sumber daya lebih maksimal, sehingga
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Oleh karena itu kita dapat mengoptimalkan
pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga dengan membudidayakan
berbagai jenis tanaman sesuai kebutuhan pangan keluarga seperti aneka umbi, sayuran, buah,
serta budidaya ternak dan ikan sebagai tambahan untuk  ketersediaan sumber karbohidrat,
vitamin, mineral, dan protein untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dengan demikian akan
terbentuk kawasan yang kaya akan sumber pangan yang diproduksi sendiri dalam kawasan
tersebut dari optimalisasi pekarangan, dengan hal yang seperti ini akan terbentuk ketahanan
pangan secara berkala.
Dalam pertanian perkotaan atau urban farming terdapat beberapa aspek yang menunjang
keberhasilan dan keoptimalannya. Diantaranya yaitu, pemilihan media tanam, jenis tanaman,
manajemen lokasi, pemberian nutrisi, pemeliharaan, dan lain-lain. Media yang sering digunakan
adalah lahan bekas,lahan-lahan sisa seperti atap gedung, dapat juga menggunakan polybag, pot,
bambu, dan botol bekas. Pada dasarnya urban farming melatih kreativitas individu dalam
mengoptimalkan hasil panen dari lahan yang terbatas dan meminimalisir biaya. Selain itu, proses
pertanian perkotaan biasanya menggunakan sistem pertanian organik dan sampah pertanian
diolah dengan konsep 3R (reuse, reduce, and recycle). Kegiatan pertanian perkotaan yang seperti
itu merujuk pada keberlanjutan pertanian perkotaan dan kualitas produk pertanian. Urban
farming sendiri terdiri atas beberapa jenis yang biasa diterapkan pada lahan yang terbatas,
diantaranya yaitu vertikultur, hidroponik, aquaponik, dan aeroponik. Vertikultur sendiri
merupakan sistem budidaya pertanian yang dilakukan secara vertikal atau bertingkat baik indoor
(di dalam ruangan) maupun outdoor (di luar ruangan), cara penanamannya dapat menggunakan
rak betingkat, menggantung, atau disusun dengan beberapa jenis wadah tanam (Cahyo Saparinto,
2016:6) . Secara umum vertikultur dapat direalisasikan pada lahan sempit. Sebenarnya, teknik ini
sama dengan penanaman konvensional pada umumnya yaitu memakai tanah sebagai media
tanamnya. Peletakan secara vertikal yang membedakan teknik vertikultur dengan teknik
pertanian konvensional lainnya. Wadah media tanam yang dapat digunakan seperti botol yang
sudah tidak terpakai (botol bekas), pipa paralon, pot, polybag atau wadah yang lainnya. Tidak
semua jenis tanaman dapat diaplikasikan dengan vertikultur, maka sebelum melakukan
vertikultur kita harus memperhatikan jenis dan karakteristik tanaman , salah satu jenis tanaman
yang cocok divertikultur yaitu selada, daun bawang, dan sawi. Selanjutnya yaitu hidroponik yang
menurut Siti Istiqomah (2010:1) adalah aktivitas pertanian yang dijalankan menggunakan air
sebagai medium untuk menggantikan tanah. Jadi, hidroponik dapat diartikan sebagai suatu
pengerjaan atau pengelolaan air sebagai media tumbuh tanaman tanpa menggunakan media tanah
sebagai media tanam dan mengambil unsur hara mineral yang dibutuhkan dari larutan nutrisi
yang dilarutkan dalam air. Media tanam yang digunakan biasanya botol plastik bekas atau pipa
paralon. Tentunya hidroponik dapat diletakkan pada area mana saja karena mudah untuk
dipindahkan dan tidak memerlukan area yang luas. Hidroponik adalah salah satu metode yang
populer di Indonesia, sayangnya perkembangannya tersendat-sendat karena cukup rumit dalam
pembuatannya, bahkan butuh perlakuan dan pengaturan khusus agar produk yang dihasilkan
mampu tumbuh dengan optimal dan berjumlah banyak. Namun di samping itu hidroponik juga
memiliki kelebihan dalam produk yang dihasilkan. Menurut Pinus Lingga (2001:36) hidroponik
sendiri akan menghasilkan produk yang berkualitas dan sehat untuk dikonsumsi. Selain itu
hidroponik juga memiliki nilai estetika yang lebih dibanding dengan sistem tanam yang lain.
Lalu aeroponik adalah salah satu media tanam tanpa menggunakan tanah, tetapi hanya unsur air
atau larutan air yang disemburkan dalam bentuk kabut hingga mengenai akar tanaman (Sukis
Wariyo, 2008:100).
Pemilihan urban farming sendiri sebagai solusi permasalahan ketahanan pangan didasari
oleh beberapa aspek. Urban farming dapat mengurangi jumlah lahan di perkotaan yang tidak
produktif, sehingga lahan tersebut dapat diubah menjadi lahan produktif penghasil bahan pangan.
Walaupun jumlah lahan tidak produktif terbatas, namun melalui urban farming pemanfaatan
tetap dapat dilaksanakan karena urban farming sendiri menganut konsep memanfaatkan lahan-
lahan yang terbatas dan menghasilkan bahan pangan secara optimal. Hal ini belum tentu dapat
dilakukan oleh sistem pertanian konvensional, di mana sistem tersebut membutuhkan lahan yang
cukup luas dengan kondisi tanah tertentu. Sehingga jika sistem pertanian konvensional masih
terus dipaksakan, maka akan ada banyak lahan yang tidak produktif. Melalui urban farming
masyarakat juga mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga bahkan dapat menghasilkan
bahan pangan organik yang tentu saja memiliki nilai gizi yang lebih dikarenakan tidak
digunakannya pestisida dan zat-zat yang dapat mengurangi nilai gizi suatu bahan pangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Organic Center tahun 2008 membuktikan bahwa nutrisi dalam
tanaman organik melebihi nutrisi yang ada dalam tanaman konvensional. Bayangkan jika setiap
rumah melakukan urban farming, hasilnya mereka dapat mengonsumsi sayuran segar hasil dari 
tanaman sendiri (Karno Heriswanto, 2015). Berbeda dengan membeli sayuran di pasar, kita tidak
mengetahui secara pasti kualitas atau kandungan yang terdapat ada sayuran. Selain itu urban
farming membuat masyarakat berkesempatan untuk mengontrol secara mandiri bahan pangan
yang seperti apa yang dikehendaki, sehingga mendapatkan kepuasan tersendiri. Selanjutnya yaitu
dapat dikembangkannya swasembada antara penduduk dalam kota yang menanam bahan pangan
untuk kebutuhan rumah tangga sendiri dan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa produk-
produk yang dihasilkan dari urban farming dapat juga dijual di pasaran. Dengan dijual ke pasar,
pasokan bahan pangan pasar akan bertambah sehingga kota dapat mencukupi kebutuhan
masyarakatnya akan pangan. Dengan kata lain ketahanan pangan di daerah perkotaan akan
terbantu dengan adanya urban farming atau pertanian perkotaan. Di mana hasil dari urban
farming dan pertanian konvensional dapat saling melengkapi, sehingga ketahanan pangan dapat
terwujud.
Bedasarkan beberapa pemaparan di atas, urban farming dianggap sebagai salah satu
solusi kreatif untuk mencegah kondisi ketahanan pangan yang semakin memburuk, bahkan dapat
berkontribusi melakukan pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat Indonesia. Namun,
terdapat sudut pandang berbeda dari Dr. Petrus Natalivan, S.T., M.T., dosen Sekolah Arsitektur,
Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB yang melakukan penelitian dan riset
mengenai keefektifan kegiatan urban farming untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan
pangan yang berjudul “Pengembangan Konsep Food Oriented Development Sebagai Alternatif
Solusi Ketahanan Pangan”. Dr. Petrus Natalivan, S.T., M.T., berpendapat bahwa kecilnya indeks
ketahanan pangan dapat dilihat dari indikasi berkurangnya lahan pertanian. Penduduk perkotaan
yang cenderung meningkat setiap tahunnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk atau
urbanisasi yang sulit dikendalikan. Penduduk perkotaan tentu saja memerlukan lahan sebagai
wadah aktivitasnya yang heterogen. Namun keheterogenan tersebut adalah yang bukan aktivitas
pertanian sehingga menyebabkan berubahnya guna lahan. Perubahan guna lahan tersebut rata-
rata mengubah lahan pertanian menjadi lahan industri, komersial, maupun permukiman. Lalu
Petrus Natalivan juga mengembangkan konsep Food Oriented Development (FOD) yang
merupakan konsep pembangunan perkotaan yang mampu menjadikan kota sebagai penyedia
pangan bagi warganya secara berkelanjutan. Konsep tersebut mempertimbangkan aspek
ketahanan pangan selain juga mempertimbangkan sosial ekonomi dalam pembangunan fisik
perkotaan. Salah satu perwujudan dari FOD adalah bertani di perkotaan atau biasa disebut urban
farming dan dilihat Petrus Natalivan sebagai hal yang mampu menciptakan ketahanan pangan.
Urban farming telah terbukti berhasil di negara-negara maju yang bahkan lahan pertaniannya
lebih sedikit dari Indonesia. Contohnya adalah Kanada dan Inggris yang telah menyisipkan
mengenai urban farming di dalam peraturan dan perencanaan ruang kotanya. Keberhasilan
tersebut bermula dari krisis ekonomi yang menyebabkan kesulitan pangan. Sehingga pada masa
itu timbul inovasi untuk mengembangkan pertanian di kawasan perkotaan. Pada risetnya kali ini,
Petrus ingin mencari tahu apakah di Indonesia, khususnya kota Bandung urban farming mampu
mewujudkan ketahanan pangan tersebut. Hasil dari riset dan penelitian Petrus Natalivan yaitu
urban farming belum bisa diterapkan di Indonesia, Petrus Natalivan meneliti dengan mengamati
prosesnya. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Keterbatasan pertama
yang dihadapi adalah lahan. Beberapa kasus di Bandung tersedia lahan milik privat diserahkan
untuk melakukan urban farming, namun memang kendalanya lahan tersebut bisa saja diminta
kembali sewaktu-waktu. Sehingga hal tersebut tidak menjamin ketahanan pangan yang
berkelanjutan. Kedua, masyarakat masih belum sadar dengan isu ketahanan pangan sehingga
memulai pun masih dianggap sulit. Terlebih urban farming yang dilakukan di Bandung masih
berupa komunitas sosial, belum massive. Jadi masih belum bisa untuk keberlanjutan ketahanan
pangan. Padahal teknologi dan desainnya bisa saja diaplikasikan, seperti penanaman vertikal
maupun hidroponik. Ada permasalahan sosial juga yang bisa ditimbulkan jika hanya beberapa
penduduk yang melakukan urban farming. Akan ada keluhan pencurian tanaman atau hasil
pertanian dan perkebunan. Jika saja semua sadar dan urban farming dilakukan secara
menyeluruh tentu tidak akan lagi muncul kasus kelangkaan ataupun harga tinggi. Sehingga
Petrus Natalivan menyimpulkan bahwa urban farming belum mampu mewujudkan ketahanan
pangan di Indonesia. Indonesia harus bekerja lebih keras lagi untuk dapat mempersiapkan
berbagai hal yang berkaitan dengan urban farming. Sehingga kita menjadi lebih siap
menjalankan metode urban farming untuk mencapai ketahanan pangan. Menurut Petrus
Nataliban kunci untuk menerapkan metode urban farming dengan efektif dan efisien adalah
menggerakkan sosial agar urban farming bisa berjalan secara massal, kawasan perkotaan tidak
melupakan sektor pertanian. Sistem dapat disiapkan, dikembangkan mulai di tingat RT dan RW
serta mengembangkan kemampuan agrikultur warganya. Selain itu pemerintah juga perlu
melakukan sosialisasi dan akses informasi agar bisa berjalan sinergi.
Berdasarkan berbagai sudut pandang dan perspektif dari beberapa pihak, dapat
disimpulkan bahwa permasalahan ketahanan pangan merupakan pilar bagi eksistensi dan
kedaulatan suatu negara. Untuk itu, seluruh komponen bangsa baik itu pemerintah dan
masyarakat harus bersama-sama membangun ketahanan pangan nasional. Salah satu cara yang
paling memungkinkan untuk dilakukan yaitu urban farming. Tidak dapat dipungkiri bahwa
urban farming memang seperti angin segar di tengah-tengah menyusutnya lahan pertanian akibat
meluasnya wilayah perkotaan. Namun, harus diakui bahwa Indonesia masih harus
mempersiapkan diri untuk dapat mengembangkan urban farming secara serius. Hal ini sangat
diperlukan jika Indonesia memang menginginkan urban farming sebagai salah satu solusi untuk
permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan. Pemerintah tentu saja harus ambil bagian dalam
memulai urban farming agar langkah-langkah yang dilakukan lebih terstruktur dan efektif.
Pemerintah dapat berperan dalam pembuatan kebijakan dan program kerja mengenai penerapan
urban farming, sehingga pelaksanaannya tetap dalam pengawasan pemerintah dan hasil yang
didapatkan pun maksimal karena pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan berbagai pihak
yang membuat pelaksanaan urban farming menjadi lebih mudah. Selain itu pemerintah juga
dapat melakukan sosialisasi dan terus memberikan arahan akan pentingnya melaksanakan urban
farming. Lalu, pemerintah juga harus lebih memperhatikan dan memberikan wadah yang lebih
strategis pada komunitas-komunitas yang mengkampanyekan urban farming, seperti Indonesia
Berkebun, Bandung Berkebun, Surabaya Berkebun, Surabaya Sehat, dan komunitas-komunitas
lainnya. Selain memberikan perhatian dan wadah bagi komunitas-komunitas tersebut,
pemerintah juga dapat melakukan kerja sama untuk membangun iklim “urban farming” pada
masyarakat, karena komunitas-komunitas tersebut biasanya lebih gencar melakukan kegaitan-
kegiatan untuk mengkampanyekan urban farming. Sehingga tugas pemerintah akan terbantu
dengan adanya komunitas-komunitas tersebut. Selain itu, masyarakat pun harus sigap
menanggapi berbagai permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan siap untuk turut
menyukseskan program-program pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini
ditujukan agar hasil yang diperoleh melalui urban farming maksimal dan tentu saja dapat
mewujudkan ketahanan pangan bagi Indonesia karena urban farming belum begitu berkembang
di Indonesia. Padahal Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Putu Eka Pasmidi
Ariati (2017) saat ini ada sekitar 10,3 juta hektar lahan pekarangan yang belum dimanfaatkan, di
mana lebih dari 24% ada di perkotaan. Sehingga sangat berpeluang sekali untuk merealisasikan
urban farming dengan lahan yang ada. Indonesia perlu segera mengaplikasikan urban
farming  secara serius dan masive sebagai langkah nyata dalam penghijauan di kota dan
mengatasi permasalahan ketahanan pangan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Annisa. 2015.Urban Farming Bertani Kreatif Sayur, Hias, dan Buah. Jakarta : Agriflo.
Ariati, Putu Eka Pasmidi. 2017. Produksi Beberapa Tanaman Sayuran Dengan Sistem
Vertikultur di Lahan Pekarangan. (Online :
http://ojs.unmas.ac.id/index.php/agrimeta/article/view/804 diakses pada tanggal 13
Desember 2018 )
Azahari, Delima Hasri. 2008. Membangun Kemandirian Pangan dalam Rangka Rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional. (Online :
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/akp/article/download/4310/3645 diakses
pada tanggal 13 Desember 2018)
Badan Pusat Statistika. 2017. Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Provinsi. (Online :
https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/20/1268/laju-pertumbuhan-penduduk-menurut-
provinsi.html diakses pada tanggal 15 Desember 2018)
Hanafie, Rita. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Heriswanto, Karno. 2015. Manfaat Urban Farming. (Online :
http://jakarta.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita/4-info-aktual/547-manfaat-urban-
farming diakses pada tanggal 13 Desember 2018)
Istiqomah, Siti. 2010. Menanam Hidroponik. Jakarta : Azka Press.

Kaputra, Iswan. 2013. Alih Fungsi Lahan, Pembangunan Pertanian, dan Ketahanan Pangan.
(Online:https://www.researchgate.net/publication/270396753_Alih_Fungsi_Lahan_Pembang
unan_Pertanian_Kketahanan_Pangan_Iswan_Kaputra_Jurnal_Strukturasi_Antropologi_Sosi
al_Universitas_Negeri_Medan diakses pada tanggal 12 Desember 2018)

Lingga, Pinus. 2001. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Jakarta : Penebar Swadaya.
Pitoko, Ridwan Aji. 2016. 52 Persen Penduduk Tinggal di Kota, Urbanisasi Mendesak
Dikendalikan.
(Online:https://properti.kompas.com/read/2016/11/07/190000621/52.persen.penduduk.tingg
al.di.kota.urbanisasi.mendesak.dikendalikan diakses pada tanggal 13 Desember 2018)
Said,Ahmad. 2010. Budidaya Mentimun dan Tanaman Musim Secara Hidroponik. Jakarta : Azka
Press.
Saparinto, Cahyo. 2016. Vertikultur Tanaman Sayur. Jakarta : Penebar Swadaya.
Setiawan, Iwan. 2017. Evolusi Menuju Kedaulatan Pangan. Jakarta : Penebar Swadaya.
Subdirektorat Statistik Demografi. 2018. Proyeksi Penduduk Indonesia. Jakarta : Badan Pusat
Statistika.
Sumardjo. 2016. Pemberdayaan Pangan Berbasis Urban Farming Sebagai Alternatif Solusi
Konflik Agraria dan Penanggulangan Kemiskinan. (Online : http://lppm.ipb.ac.id/wp-
content/uploads/2017/06/B509.pdf diakses pada tanggal 12 Desember 2018)
Sungkar, Mark. 2015. Akuaponik Ala Mark Sungkar. Jakarta : AgroMedia Pustaka.
Wariyono, Sukis. 2008. Mari Belajar Ilmu Alam Sekitar. Jakarta : Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai