Anda di halaman 1dari 4

Memaksimalkan penggunaan Lahan untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia
mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam. Pertanian di Indonesia
menghasilkan berbagai macam tumbuhan komoditi ekspor, antara lain padi, jagung, kedelai,
sayur-sayuran, cabai, ubi, dan singkong. Indonesia juga memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa
sawit, karet, dan coklat produksi Indonesiapun mulai bergerak menguasai pasar dunia.

Dalam konteks produksi pangan memang ada sesuatu yang unik. Meski menduduki posisi
ketiga sebagai Negara penghasil pangan di dunia, tetapi hampir setiap tahun Indonesia selalu
menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Produksi Indonesia
yang begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih
harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan lain seperti Thailand.

Meningkatnya hasil pertanian merupakan kunci ketahanan pangan. Meningkatkan hasil


produksi namun tetap melakukan impor besar tidak akan mencapai kondisi ketahanan malah
justru sebaliknya. Biaya impor yang besar itu seharusnya bisa menjadi biaya untuk
meningkatkan hasil pertanian agar lebih optimal.

Permasalahan umum dalam ketahanan pangan Indonesia adalah jumlah penduduk


Indonesia yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa (dengan
pertumbuhan penduduk yang positif) sehingga permintaan pangan masih akan meningkat.
Peningkatan permintaan yang didorong oleh peningkatan pendapatan, kesadaran akan kesehatan
dan pergeseran pola makan karena pengaruh globalisasi, serta ragam dari aktivitas masyarakat.

Secara spesifik permasalahan sehubungan dengan ketahanan pangan adalah penyediaan,


distribusi dan konsumsi pangan.

- Penyediaan Pangan
Penyediaan pangan melalui peningkatan produksi pangan dalam negeri mempunyai
masalah pokok yaitu semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi. Desakan
peningkatan penduduk beserta aktivitas ekonomi menyebabkan terjadinya konversi
lahan pertanian ke non-pertanian, menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat
kerusakan lingkungan, semakin terbatas dan tidak pastinya penyediaan air untuk
produksi akibat kerusakan hutan, rusaknya sekitar 30% prasarana pengairan dan
persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor industry dan pemukiman.
(Nainggolan, 2006)
- Distribusi Pangan
Distribusi pangan merupakan kegiatan menyalurkan bahan pangan dari petani
produksen ke konsumen akhir. Distribusi tidak hanya menyangkut distribusi pangan
di dalam negeri, namun juga menyangkut perdagangan internasional dalam suatu
sistem harga yang terintegrasi secara cepat. (Soetrisno, 2005)
Permasalahan dalam distribusi pangan diantaranya:
a. Prasarana distribusi darat dan antar pulau yang diperlukan belum memadai,
sehingga wilayah terpencil masih mengalami keterbatasan pasokan pangan pada
waktu-waktu tertentu.
b. Kelembagaan pemasaran belum mampu berperan, baik sebagai penyangga
kestabilan distribusi maupun harga pangan. Pada masa panen pasokan pangan
berlimpah ke pasar sehingga menekan harga produk pertanian dan mengurangi
keuntungan usaha tani namun sebaliknya saat masa paceklik.
c. Bervariasinya kemampuan produksi antar wilayah dan antar musim menuntut
kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan, agar pangan tersedia
sepanjang waktu di seluruh wilayah konsumen.
d. Keamanan jalur distribusi dan adanya pungutan sepanjang jalur distribusi
mengakibatkan biaya distribusi yang tinggi.
- Konsumsi Pangan
Permasalahan mengenai konsumsi penduduk Indonesia adalah belum terpenuhinya
kebutuhan pangan, karena belum tercukupinya konsumsi energi (meskipun konsumsi
protein telah mencukupi). Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mendiversifikasi
konsumsi pangan dengan sumber karbohidrat non-beras dan pangan sumber protein,
menganekaragamkan kualitas konsumsi pangan dengan menurunkan konsumsi beras
per-kapita, selain mengembangkan industri dan bisnis pangan yang lebih beragam.

Adapun kebijakan pangan pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang No. 7 Tahun


1996, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 mengenai ketahanan pangan,
yang secara garis besar mengatur ketersediaan pangan, cadangan pangan nasional,
penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah
daerah dan masyarakat serta pengembangan sumber daya manusia dan kerjasama internasional.

Badan Ketahanan Pangan menyusun kebijakan umum mengenai ketahanan pangan yang
arahnya adalah mewujudkan kemandirian pangan untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi
pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga daerah dan
nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumber daya dan budaya lokal,
teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi kerakyatan dan mengentaskan
kemiskinan.

Strategi pelaksanaan kebijakan umum menuju kepada sasaran dilakukan melalui jalur
ganda (twin-track strategy) (Badan Ketahanan Pangan):

- Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk menyediakan lapangan


kerja dan pendapatan.
- Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui
pemberian bantuan langsung agar tidak semakin terpuruk serta pemberdayaan agar
mereka semakin mampu mewujudukan ketahanan pangannya secara mandiri.
Kedua strategi ini dijalankan dengan melibatkan seluruh komponen bangsa yaitu
pemerintah,, masyarakat termasuk LSM, organisasi profesi, organisasi masa, organisasi sosial,
koperasi, dan pelaku usaha. Pemerintah menandaskan bahwa kebijakan ketahanan pangan di
fokuskan kepada pemberdayaan rumah tangga dan masyarakat agar mampu menolong dirinya
sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan dan mengatasi masalah-masalah pangan yang
dihadapi.

Pemberdayaan masyarakat tersebut diupayakan melalui peningkatan kapital dan


kapasistas rumah tangga agar mampu memproduksi, mengolah, dan memasarkan produk pangan
serta mampu memasuki pasar tenaga kerja dan memberikan kesempatan berusaha guna
meningkatkan pendapatan rumah tangga. Contoh kecil dari pemberdayaan masyarakat yang
mampu memproduksi produk pangan sendiri yaitu dengan mensosialisasikan bahwa masyarakat
dapat mulai mencoba menanam bahan pokok di pekarangan rumahnya masing-masing seperti
menanam cabai. Dengan cara seperti itu minimalnya rumah tangga dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri tanpa menambah permintaan pasar sehingga permintaan pasar tidak terus
meningkat dan Negara dapat memenuhi kebutuhan pasar tanpa harus mengimpor bahan pokok
tersebut.

Impor bahan pangan memang di satu sisi dapat menjadi salah satu alternative pemenuhan
ketahanan pangan yang efektif melihat kondisi Indonesia yang sering terjadinya rawan pangan.
Kemandirian pangan juga bukan berarti menolak adanya ekspor-impor pangan, karena
perdagangan internasional yang menguntungkan dapat digunakan juga untuk mensejahterakan
rakyat. Impor dapat dilakukan dengan batas yang sewajarnya. Karena jika impor pangan terus
dilakukan untuk jangka panjang maka akan terjadi deficit perdagangan dan inflasi bisa saja
melanda Indonesia.

Di Indonesia total luas pertanian saat ini sekitar seluas 70juta Ha, yang efektif untuk
produktif pertanian hanya 60%-nya. Luas lahan sawah akan cenderung terus menurun karena
alih fungsi lahan sawah menjadi non pertanian yang mencapai 50-70 Ha per tahun. Padahal
pencetakan sawah hanya seluas 20-40 ribu Ha per tahun.

Dalam pemecahan masalah tersebut, menurut penulis sebenarnya terletak dari bagaimana
kebijakan dalam masalah pangan ini dibuat. Baik dari sisi para pertaninya maupun sisi teknologi
dan komunikasi yang terjalin antara pemerintah pusat dan pemerintah daerahnya. Jika semua
aspek berjalan bersinergis, maka budidaya tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan pangan
masyarakat di dalam negeri akan lebih terasa menguntungkan dibandingkan harus impor untuk
pencapaian target ketahanan pangan ini. Selain itu juga konversi lahan produktif harus dikurangi
untuk menghindari penyempitan lahan sebagai akibat dari pembangunan atau penggunaan lahan
untuk sektor non pertanian.
Upaya meningkatkan penggunahan lahan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
memenuhi kebutuhan pangan bisa dilakukan dengan cara lain selain mengurangi konversi lahan
yaitu dengan cara :

- Optimalisasi lahan kering


Meskipun banyak kendala untuk memanfaatkan pengembangan pertanian di atas
lahan kering kita dapat menanggulanginya dengan beberapa cara seperti pengelolaan
kesuburan tanah (pengapuran, pemupukan dan penambahan bahan organic), tindakan
konservasi tanah dan air, pemilihan jenis tanaman pangan ( tanaman berumur pendek
tahan kekeringan merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan pada wilayah yang
beriklim kering) dan pemanfaatan agrokimia.
- Pemanfaatan perkarangan rumah
Lahan pekarangan memiliki potensi besar dalam mewujudkan ketahanan pangan
berbasis Rumah Tangga (keluarga). Masyarakat dapat mengoptimalkan lahan
pekarangan untuk ditanami berbagai jenis tanaman yang bisa memenuhi ketersediaan
pangan bagi keluarga.

Dengan uraian-uraian diatas, Indonesia boleh melakukan kegiatan impor untuk


memenuhi kebutuhan pangan namun tidak untuk jangka panjang dan masih tetap pada
proporsinya untuk membantu mensejahterakan negara dengan perdagangan internasionalnya.
Agar impor dapat dibatasi harus ada sinergitas untuk pemenuhan pangan dalam negeri dari
pemerintah, petani, pemilik lahan, masyarakat serta seluruh pihak yang memiliki peranan penting
dalam hal ketahanan pangan ini sangat diperlukan agar tidak perlu lagi impor dengan kapasitas
yang banyak dan program swasembada pangan dapat terealisasi.

Anda mungkin juga menyukai