Anda di halaman 1dari 36

Diversifikasi pangan adalah sebuah program yang mendorong masyarakat untuk

memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsinya sehingga tidak terfokus pada satu jenis. Di
Indonesia, diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memvariasikan konsumsi masyarakat
Indonesia agar tidak terfokus pada nasi.[1] Indonesia memiliki beragam hasil pertanian yang
sebenarnya bisa difungsikan sebagai makanan pokok seperti sukun, ubi, talas, dan sebagainya
yang dapat menjadi faktor pendukung utama diversifikasi pangan.[2]Diversifikasi pangan pada
pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara untuk menuju swasembada beras dengan
minimalisasi konsumsi beras sehingga total konsumsi tidak melebihi produksi. Definisi
diversifikasi pangan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan.[3]
Diversifikasi pangan juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat
sehingga nutrisi yang diterim

Meski produksi beras dalam negeri dianggap cukup, impor tak bisa benar-benar bisa
dihapuskan. Beras yang diimpor adalah jenis premium atau khusus untuk kebutuhan hotel,
restoran, dan kafe.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, Kamis
(16/3/2017), beras impor yang masuk sepanjang periode Januari-Februari 2017 yakni
sebesar 14.473 ton dengan nilai US$ 11,94 juta. Impor tersebut naik dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya di mana impornya tercatat sebesar 2.000 ton dengan
nilai US$ 1,08 juta.

Beras impor tersebut paling banyak masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok sebesar 7.250
ton, Pelabuhan Tanjung Perak 5.723 ton, Pelabuhan Belawan 1.000 ton, dan Pelabuhan
Bitung 500 ton.

Negara Indonesia termasuk Negara yang kaya akan sumber daya alam yang berlimpah ruah.
Dengan kesuburan tanahnya, Indonesia menjadi Negara ke-3 sebagai produsen bahan pangan
di dunia setelah Negara China dan India dengan kontribusi 8,5 %.
Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor
pertanian sebagai mata pencaharian. Namun, petani Indonesia bukanlah mereka yang tingkat
kesejahteraannya tinggi tetapi, mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan
terpinggirkan serta sering dirugikan oleh maslah kebijakan pemberasan yang dilakukan oleh
pemerintah.
Beras merupakan komoditas pertanian yang memiliki peran penting di Indonesia, selain
sebagai sumber makanan pokok beras juga sebagai penentu bagi kondisi stabilitas sosial
politik. Namun, dengan pertumbuhan penduduk yang mencapai 237 juta jiwa membuat sebuah
Negara agraris seperti Indonesia masih belum mampu meyediakan kebutuhan pangan dalam
negeri sendiri dan pemerintah masih harus mengimpor dari Negara lain. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :
a. Faktor pertama menjelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara terbesar di dunia
sebagai pengkosumsi beras terbesar.
b. Faktor kedua menjelakan tentang perubahan iklim
c. Faktor ketiga menjelaskan tentang lahan pertanian di Indonesia yang semakin sempit.
d. Faktor ke empat menjelaskan tetang mahalnya biaya transportasi.
Untuk menciptakan ketahanan pangan dan mengurangi dampak dari ketergantungan impor
pangan Negara Indonesia yang di akibatkan oleh beberapa faktor seperti yang dijelaskan diatas,
maka di perlukan beberapa usaha sebagai berikut:
a. Memajukan teknologi sektor pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam
negeri, karena saat ini teknologi pertanian di Indonesia masih sangat tertinggal dari Negara-
negara lain.
b. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan benih varietas unggul yang tahan terhadap
perubahn iklim dan berumur sedang.
c. Memperlancar arus distribusi hasi pertanian sehingga dapat tersalurkan keseluruh penjuru
nusantara dengan harga yang terjangkau sampai ketangan rakyat.
d. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen.
e. Pemerintah memaksimalkan penyerapan beras dari petani local untuk ketahanan pangan
nasional, karena saat ini Bulog selalu impor saat stok produknya semakin menipis.
f. Memberikan dukungan kepada pelembagaan organisasi petani komoditas pangan yaitu
kelompok tani koperasi dan ormas tani.

Dari beberapa usaha yang di nyatakan di atas memeberikan kemungkinan besar jika usaha-
usaha tersebut dilakukan seoptimal mungkin maka akan bisa mengurangi angka impor pangan
Negara Indonesia karena jika dilihat dari asumsi yang menjadikan impor beras sebagai ujung
tombak bagi terwujudnya ketahanan pangan dan ketersediaan pangan merupakan logika yang
salah dalam pemenuhan kebutuhan, maksud untuk mengamankan keersediaan pangan
kebijakan impor beras, justru merupakan pengabaian terhadap produksi beras dalam negeri dan
nantinya akan berimplikasi pada kesejahteraan petani. Hal ini juga mempelihatkan bahwa
pemerintah lebih menyukai cara instan untuk memenuhi persediaan nasional dengan kebijakan
impor beras yang ternyata tanpa banyak memperlihatkan kesejahteraan rakyat dan potensi
pertanian. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan impor beras merupakan indikasi pengabaian
kemandirian pangan dan tingkat kesejahteraan.

1.1 Latar Belakang


Menurut data BPS tahun 2011, Indonesia memiliki penduduk sebesar 242,3 juta jiwa. Pada
tahun 2025 diperkirakan populasi penduduk Indonesia mencapai 273,1 juta. Laju
pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1%, maka pada tahun 2050 penduduk
Indonesia akan mencapai lebih dari 340 juta jiwa. Hal tersebut berpotensi menimbulkan krisis
pangan, sehinggaproduksi pangan perlu ditingkatkan agar memenuhi kebutuhan tersebut.
Tingginya permintaan (demand) terkadang tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi
(supply), sehingga untuk menutup defisit tersebut pemerintah diharuskan untuk melakukan
impor beras. Impor beras yang dilakukan dapat mengakibatkan inflasi pada perekonomian
dan pelemahan nilai kurs mata uang.
Defisit yang terjadi dapat ditutup dengan beberapa caradiantaranya intensifikasi,
ekstensifikasi, dan program diversifikasi pangan. Pemerintah cenderung memilih program
diversifikasi pangan karena langkah tersebut membutuhkan waktu yang lebih pendek jika
dibandingkan intensifikasi dan ekstensifikasi.Selain itu, program diversifikasi pangan
mendorong masyarakat lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam
tanaman yang dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi seperti jagung, ketela, dan
umbi-umbian lainnya.

Proses diversifikasi pangan masih sangat sulit diterapkan meskipun rogram tersebut memiliki
beberapa dampak positif. Salah satu kesulitan tersebut disebabkan oleh pola pikir
masyarakat.Berdasarkan hal tersebut penyusun perlu untuk membahas lebih lanjut mengenai
program diversifikasi pangan di Indonesia berdasarkan analisis jurnal.Sehingga permasalahan
yang terjadi dalam program diversifikasi pangan dapat diketahui dan diberikan alternatif
pemecahan masalah.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah bagaimana
keberlangsungan program diversifikasi pangan di Indonesia khususnya beras berdasarkan
analisis jurnal yang berjudul Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung
Swasembada Beras.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengetahui keberlangsungan program
diversifikasi pangan di Indonesia khususnya beras berdasarkan analisis jurnal yang berjudul
Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


Definisi Diversifikasi Pangan
Diversifikasi pangan adalah sebuah program yang mendorong masyarakat untuk
memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsinya sehingga tidak terfokus pada satu jenis
makanan pokok saja. Kasryno, et al (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya
yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan
pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat. Diversifikasi pangan ini tercakup
aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi.
Berdasarkan aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan spektrum komoditas panganbaik
dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya, pengusahaan komoditas maupun
pengembangan produksi komoditas pangan.Hal tersebut mengindikasikan bahwa
diversifikasi mencakup pengertian diversifikasi horisontal maupun vertikal.Sisikonsumsi,
diversifiksi pangan mencakup aspek perilaku yang didasari baik oleh pertimbangan ekonomis
seperti pendapatan dan harga komoditas, maupun non ekonomis seperti kebiasaan, selera dan
pengetahuan. Pertemuan antara sektor produksi dan konsumsi tidak terlepas dari peranan
pemasaran dan distribusi komoditas pangan tersebut.
Sementara, Soetrisno (1998) mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit (dalam
konteks konsumsi pangan) yaitu sebagai upayamenganekaragamkan jenis pangan yang
dikonsumsi, mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan
akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun
kualitasnya.

Menurut Suhardjo dan Martianto (1992) semakin beragam konsumsi pangan maka kualitas
pangan yang dikonsumsi semakin baik. Oleh karena itu dimensi diversifikasi pangan tidak
hanya terbatas pada pada diversifikasi konsumsi makanan pokok saja, tetapi juga makanan
pendamping.

Di Indonesia, diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memvariasikan konsumsi masyarakat


Indonesia agar tidak terfokus pada nasi. Indonesia memiliki beragam hasil pertanian yang
sebenarnya bisa difungsikan sebagai makanan pokok seperti sukun, ubi, talas, jagung,
kentang dan sebagainya yang dapat menjadi faktor pendukung utama diversifikasi pangan.
Diversifikasi pangan pada pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara untuk menuju
swasembada beras dengan minimalisasi konsumsi beras sehingga total konsumsi tidak
melebihi produksi. Pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian
yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan,
dan diversifikasi produksi pangan. Keppres No. 68 tentang Ketahanan Pangan pasal 9
disebutkan bahwa diversifikasi pangan diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan
pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal (Hanafie 2010).

Diversifikasi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh
penambahan konsumsi bahan pangan non-beras diiringi dengan ditambahnya makanan
pendamping. Diversifikasi konsumsi pangan juga dapat didefinisikan sebagai jumlah jenis
makanan yang dikonsumsi, sehingga semakin banyak jenis makanan yang dikonsumsi akan
semakin beranekaragam. Dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada
pangan pokok tetapi juga pangan jenis lainnya, karena konteks diversifikasi tersebut adalah
meningkatkan mutu gizi masyarakat secara kualitas dan kuantitas, sebagai usaha untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

2.2 Pentingnya Diversifikasi Pangan


Ketergantungan konsumsi pangan terhadap beras tidaklah menguntungkan bagi ketahanan
pangan, terutama yang terkait dengan aspek stabilitas kecukupan pangan.Dampak positif dari
kebijakan diversifikasi konsumsi pangan antara lain:

1. Memperkuat ketahanan pangan


Masalah ketahanan pangan menjadi isu penting oleh karena itu upaya menurunkan peranan
beras dan menggantikannya dengan jenis pangan lain menjadi penting dilakukan dalam
rangka menjaga ketahanan pangan dalam jangka panjang. Upaya tersebut dapat dilakukan
dengan mengembengkan dan mengintroduksi bahan pangan alternative pengganti beras yang
berharaga murah dan memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan beras.

2. Meningkatkan pendapatan petani dan agroindustry pangan


Petani akan memproduksi komoditas yang banyak dibutuhkan oleh konsumen dan yang
memiliki harga cukup tinggi. Mereka tidak akan lagi tergantung pada komoditas padi sebagi
sumber pendapatan usaha taninya, tetapi dapat mencoba tanaman lain yang memiliki nilai
ekonomis lebih tinggi.

3. Menghemat devisa Negara


Keberhasilan diversifikasi konsumsi tidak hanya memperkuat ketahanan pangan masyarakat
tetapi juga bermanfaat bagi penghematan devisa Negara yang berarti meringankan beban
keuangan Negara apalagi disaat terjadi krisis ekonomi ini.

Menurut Hutabarat dan Pasandaran (1987), Pasandaran dan Simatupang (1990) dan Amang
dan Sawit (2001), untuk mengembangkan diversifikasi pangan perlu dilakukan upaya
melalui:

1. Pengembangan dan pembangunan agroindustri bahan pangan non-beras, agar


konsumen dapat mengkonsumsi secara langsung. Agroindustri komoditas pangan non-
beras tersebut sebaiknya dibangun di daerah-daerah pedesaan, dengan harapan akan
dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat desa dan dapat meningkatkan
kualitas hidup dan mutu gizi masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat akan
berpengaruh terhadap makin beragamnya jenis pangan yang dikonsumsi, makin banyak
pangan yang mengandung nilai gizi tinggi dikonsumsi dan cenderung makin
berkurangnya proporsi pendapatan yang dipergunakan untuk pangan. Diversifikasi
pangan dapat berjalan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri,
khususnya yang berlokasi di pedesaan.
2. Kampanye intensif tentang diversifikasi pangan disertai dengan penyediaan dan
kemudahan untuk mendapatkan bahan pangan non-beras yang siap dikonsumsi
tersebut di pasaran, harganya terjangkau dan dapat bersaing dengan harga beras serta
adanya kesinambungan dalam penyediaannya.
3. Peningkatan produksi pangan non-beras perlu lebih ditingkatkan lagi, tetapi tidak
mengganggu kemantapan produksi beras.
Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola
konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan.

2.4 Kendala Diversifikasi Konsumsi Pangan


Walaupun upaya diversifikasi sudah dirintas sejak dasawarsa 60-an, namun sampai saat ini
masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan lokal seperti jagung dan
ubikayu telah ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie. Kualitas pangan juga masih
rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-
padian.

Ketergantungan akan beras yang masih tinggi dikalangan masyarakat dan meningkatnya
tingkat partisipasi dan konsumsi mie secara signifikan menjadikan upaya diversifikasi
konsumsi pangan seperti mengalami stagnansi dan salah arah. Banyak faktor yang
mempengaruhi hal tersebut dan diantara faktor tersebut saling berkaitan satu dengan yang
lain. Pada hakekatnya faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan
adalah sama dengan dengan faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu sosial,
budaya, ekonomi, pengetahuan, ketersediaan pangan dan lain-lainnya, namun setiap orang
mempunyai penekanan yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan oleh Hardjana (1994)
bahwa dalam hal konsumsi pangan, konsumen bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan
ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti kebutuhan,
kepentingan dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial.

Soehardjo (1995) menekankan bahwa walaupun selera dan pilihan konsumen didasari pada
nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya, agama dan pengetahuan, namun tampaknya unsur-unsur
prestise menjadi sangat menonjol. Banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya
diversifikasi konsumsi pangan. Ariani (2006) menunjukkan kendala tersebut antara lain:

1. Beras memang lebih enak dan mudah diolah


2. Adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan kalau belum makan nasi
3. Beras sebagai komoditas superior
4. Ketersediaan beras melimpah dan harganya murah
5. Pendapatan rumah tangga
6. Terbatasnya teknologi pengolahan dan promosi pangan non beras (pangan lokal)
7. Kebijakan pangan yang tumpang tindih
8. Adanya kebijakan impor gandum, jenis product development cukup banyak dan
promosi yang gencar.
BAB III. PEMBAHASAN

Diversifikasi Konsumsi Pangan pada Masyarakat Indonesia


Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan meningkatkan penyediaan
berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman konsumsi pangan
masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan meningkatkan usaha diversifikasi
secara horizontal melalui pemanfaatan sumber daya yang beraneka ragam dan diversifikasi
vertikal melalui pengembangan berbagai hasil olahan pertanian serta diversifikasi regional
melalui upaya penganekaragaman produk yang dihasilkan untuk dikonsumsi berdasarkan
potensi pangan lokal.

Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat nasional, regional
(daerah) maupun keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-
an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut. Saat itu
pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras sehingga
yang menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga
pernah populer istilahberas jagung.Ada dua arti dari istilah itu, yaitu campuran beras
dengan jagung, dan penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung.
Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu. Pada akhir
Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan
melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan
Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud dari
instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan
mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya
diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara
keseluruhan. Sehingga banyak bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak
yang menggunakan bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar,
dengan harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya usaha
tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan mengubah pola
pangan pokok masyarakat.

Pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai menggarap


diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG). Berbeda
dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena terjadi krisis pangan, DPG
dilakukan tatkala Indonesia sudah pernah mencapai swasembada beras, dan masyarakat
tergantung pada beras. Program DPG bertujuan untuk mendorong meningkatnya ketahanan
pangan di tingkat rumah tanggadan mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat
terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi
seimbang. Fokus program DPG lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan
pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan pada jangkauan sasaran wilayah
program yang terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah meningkatkan ketersediaan
keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga.
Pada tahun anggaran 1998/1999 dilakukan revitalisasi program DPG untuk memberikan
respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan diversifikasi pangan pokok. Upaya ini
dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari pendekatan sempit (pemanfaatan pekarangan
untuk menyediakan aneka ragam kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu
pemanfaatan pekarangan/kebun sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal alternatif.

Pembinaannya pun tidak terbatas pada aspek budi daya tetapi juga meliputi aspek pengolahan
dan penanganan pasca panen agar pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi selera
masyarakat (Program DPG Pusat, 1998). Departemen Kesehatan juga melaksanakan program
diversifikasi konsumsi pangan secara tidak langsung melalui program perbaikan gizi yang
tujuan utamanya untuk menurunkan angka prevalensi Kurang Energi Protein (KEP), Kurang
Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia

Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait dengan diversifikasi
konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan dan dilakukan
oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh
Departemen Kesehatan, program diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian
(1993-1998) dan lain-lain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet
Pembangunan VI juga dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan
slogan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pada tahun 1996 telah lahir Undang-
undang no. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang
Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh Presiden (Suyono, 2002). Kepres ini
kemudian diperbaharui melalui Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan,
dimana mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan termasuk
tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.

Dalam usaha perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan diversifikasi konsumsi
pangan pada khususnya juga dituangkan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui Program Peningkatan Ketahanan
Pangan. Program ini salah satunya bertujuan untuk menjamin peningkatan produksi dan
konsumsi yang lebih beragam (Krisnamurthi, 2003). Dari tahun ke tahun pola konsumsi
masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan.

Berikut ini dipaparkan pola konsumsi zat gizi pada masyarakat di Indonesia pada Konsumsi
Sumber Karbohidrat. Tingkat partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah cukup tinggi,
yaitu rata-rata hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua rumah tangga telah
mengkonsumsi beras (Tabel 2). Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah
tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga di pedesaan, walaupun umumnya tingkat
partisipasi di desa masih lebih rendah daripada di kota. Bila dilihat antar pulau, maka tingkat
partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau yang satu dengan pulau yang lain,
yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi beras yang masih rendah hanya terjadi di
pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80
persen.
Jumlah orang yang mengkonsumsi beras selama tahun 1990 sampai 1996 dapat dikatakan
relatif tidak berubah, karena perubahannya masih sangat kecil, dibawah satu persen.
Kecenderungan tersebut terjadi di semua pulau, baik di kota maupun di desa. Perbedaanya
adalah kalau di kota, tingkat partisipasi konsumsi beras pada kurun waktu tersebut
menunjukkan sedikit penurunan, sebaliknya di desa masih menunjukkan peningkatan. Laju
tingkat partisipasi konsumsi beras secara agregat di kota tahun 1990-1996 adalah -0,1 persen
per tiga tahun, sedangkan untuk desa lajunya 1,1 persen per tiga tahun.
Berdasarkan keragaman produk yang ada, seharusnya tingkat partisipasi konsumsi pada
rumah tangga perkotaan menurun secara signifikan, dikarenakan di wilayah ini banyak
terdapat produk-produk alternatif yang dapat berperan sebagai subsitusi beras, baik dalam
bentuk mentah maupun olahan, tersedia dalam berbagai kemasan yang praktis, mudah
diperoleh dan dihidangkan. Kenyataanya beras masih mendominasi dalam pola konsumsi
pangan masyarakat, sehingga perubahannya sangat kecil. Berdasarkan data perkembangan
tingkat partisipasi konsumsi beras tersebut dapat diartikan bahwa program diversifikasi
konsumsi pangan yang salah satu tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dapat
dibilang masih jalan di tempat.

Tingkat konsumsi beras sekitar 100 kg/kapita/tahun walaupun cenderung menurun dari tahun
ke tahun dengan laju penurunan sebesar 4,2 persen pada periode 1999-2004 (Tabel 3).
Demikian pula untuk konsumsi umbi-umbian juga cenderung menurun. Peningkatan laju
konsumsi ubi jalar sebetulnya lebih disebabkan peningkatan konsumsi pada tahun 2004, yaitu
dari 2,7 kg menjadi 3,3 kg/kapita/tahun. Selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring
dengan semakin maraknya jenis pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta dapat
diperoleh dengan mudah. Belum lagi adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang jelas
berpengaruh pula pada gaya makan. Mungkin orang akan gengsi mengkonsumsi jagung dan
ubi kayu karena komoditas tersebut sudah mempunyai trade mark sebagai barang inferior,
yang hanya cocok untuk kalangan bawah.
Masyarakat mengalihkan fungsi jagung dan ubi kayu, tidak lagi sebagai makanan pokok
tetapi sebagai makanan selingan atau snack, sehingga jumlah yang dikonsumsi juga sangat
terbatas. Keragaan data tersebut menunjukkan bahwa pangan lokal seperti jagung dan ubi
kayu telah ditinggalkan oleh masyarakat, dan pangan global seperti mie menunjukkan
kebalikannya. Harapan diversifikasi konsumsi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan
lokal, maka tampaknya salah jalan, arah diversifikasi konsumsi pangan telah melenceng.
Sebaliknya dengan maraknya jenis mie dengan berbagai harga, rasa dan jenis telah mampu
mempengaruhi konsumen untuk mencoba dan menyenanginya. Konsumsi mi ini terus
meningkat dari tahun ke tahun, bahkan rata-rata konsumsi mi instant mencapai 28 bungkus
per tahun
Perkembangan menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah cenderung berubahnya
pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di
pedesaan, yang mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk
mie kering, mie basah, mie instan.Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum adalah
komoditas impor dan belum diproduksi di Indonesia, sehingga arah perubahan pola konsumsi
itu dapat menimbulkan ketergantungan pangan pada impor.

Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara total
tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat sehingga masyarakat akan
mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Pangan yang dikonsumsi
akan beragam, bergizi dan berimbang. Di Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur
diversifikasi konsumsi pangan termasuk pangan pokok yang dikenal dengan Pola Pangan
Harapan (PPH). PPH yang diharapkan mencapai angka 100, namun PPH penduduk Indonesia
sampai pada tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan melalui PP No. 22 tahun
2009, pada tahun 2015 PPH mencapai 95, yang berarti setiap tahun harus meningkat sekitar
2,5. Dalam konsep PPH, setiap orang untuk setiap hari dianjurkan mengkonsumsi pangan
seperti berikut:
1. Padi-padian 275 gr
2. Umbi-umbian 100 gr
3. Pangan hewani150 gr
4. Minyak+Lemak 20 gr
5. Buah/biji berminyak 10 gr
6. Kacang-kacangan 35 gr
7. Gula : 30,0 gr
8. Sayur + buah : 250 gr
Data tersebut mengindikasikan bahwa dalam setahun kebutuhan dari kelompok padi-padian
yang terdiri beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk sebesar 99
kg/kapita.

Memperhatikan data pada Tabel 3 dengan menjumlah konsumsi beras, jagung dan terigu
untuk tahun 2008 mencapai 119 kg/kapita, yang berarti lebih besar dari seharusnya. Belum
lagi bila dilihat proporsi dari ketiga jenis pangan tersebut yang sangat bisa pada beras.
Upaya diversifikasi konsumsi pangan dari padi-padian dapat dilakukan dengan mengurangi
konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan dari komoditas jagung. Untuk terigu,
karena bahan baku gandum harus diimpor maka sebaiknya konsumsi terigu dan turunannya
dikurangi. Sementara konsumsi dari umbi-umbian seharusnya sebesar 36 kg/kapita/tahun
yang berasal dari ubikayu, ubijalar, sagu dan umbi-umbi lainnya. Namun kenyataannya 71
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN: 978-979-8940-29-3 baru 16,2
kg/kapita/tahun yang berarti masih kurang dari setengahnya.

Kebijakan terakhir, pemerintah menetapkan kebijakan percepatan diversifikasi konsumsi


pangan berbasisi sumberdaya lokal dengan dua strategi yaitu internalisasi penganekeragaman
konsumi pangan dan pengembangan bisnis dan industri pangan lokal. Proses internalisasi
dilakukan melalui dua cara yaitu advokasi, kampanye dan sosialisasi tentang konsumsi
pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman pada berbagai tingkatan kepada aparat dan
masyarakat serta pendidikan konsumsi pangan melalui pendidikan formal dan non formal.
Sementara, pengembangan bisnis dan industri pangan lokal dilakukan melalui fasilitasi
kepada UMKM untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri
pangan olahan dan pangan siap saji yang aman berbasis sumberdaya lokal dan advokasi,
sosialisasi dan penerapan standar mutu dan keamanan pangan bagi pelaku usaha pangan
terutama usaha skala rumahtangga dan UMKM.

Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu kembali ke masalah
desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cenderung
menurun namun kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60 persen sedangkan umbi-
umbian baru menyumbang energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek
yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi
makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan
pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior
menjadi pangan normal bahkan superior.

Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan diversifikasi


konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh ketersediaan bahannya
yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi permintaan konsumen, salah satu
faktor yang sangat penting dalam mensukseskan program diversifikasi pangan adalah
melaksanakan product development. Produk ini merupakan upaya menciptakan suatu produk
baru yang memiliki sifat, antara lain sangat praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau
digunakan tidak ada sisanya dan mudah diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya
kehidupan setiap anggota rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan
maka bentuk makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.

Hubungan Antara Diversifikasi Konsumsi dan Ketahanan Pangan Masyarakat


(mayoritas bergantung pada beras)
Diversifikasi pangan pada masyarakat Indonesia masih rendah. Karena mayoritas masyarakat
masih menggantungkan beras sebagai sumber pangan utamanya. Hal tersebut dapat kita lihat
dari pola konsumsi beras yang mendominasi pola konsumsi pangan utama sebagian besar
masyarakat Indonesia. Padahal, dalam konsep ketahanan pangan, diversifikasi pangan
merupakan salah satu syarat untuk mencapai ketahanan pangan yang tangguh. Melalui
penataan pola konsumsi yang tidak tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan
masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri. Sehingga ketergantungan pada satu
jenis komoditas pangan dapat dihindari. Apabila terjadi gagal panen maupun masalah
distribusi pada jenis pangan tertentu, tidak akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Karena masyarakat memiliki berbagai pilihan konsumsi.

Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu pilar ketahanan pangan masyarakat.
Langkah ini hanya membutuhkan waktu yang lebih pendek jika dibandingkan dengan
program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Diversifikasi juga mendorong
masyarakat (petani) lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam
tanaman yang dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi, seperti jagung, ketela, dan
umbi-umbian lainnya.

Pola konsumsi masyarakat yang didominasi oleh beras telah menyebabkan rendahnya daya
terima terhadap pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti jagung, singkong maupun sagu.
Padahal, ditinjau dari potensi sumberdaya lokal wilayah, sumberdaya alam kita memiliki
potensi ketersediaan pangan yang beranekaragam, baik pangan untuk sumber karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kita bisa mencermati hal ini, dimana setiap wilayah di
Indonesia mempunyai sumber pangan lokal tersendiri seperti Madura dan Nusa Tenggara
dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu, Sumatera dengan ubi, Jawa dan Bali serta
Sulawesi Selatan dengan berasnya.

Upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk menggantikan atau
setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu utama, dan membangkitkan
ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan
pangan nasional. Selain konsumsi yang beragam juga pola produksinya akan ikut beragam.
Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kemelut salah satu bahan pangan pokok (beras) kita
tidak akan kerepotan, misal repot impor beras yang dapat menimbulkan eksploitasi ekonomi-
politik oleh negara-negara eksportir.

Diversifikasi pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena tidak ada satu pun
makanan di dunia ini yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh, selain ASI.
Pola konsumsi yang beraneka ragam, maka kebutuhan zat gizi masyarakat dapat terpenuhi
dari berbagai jenis makanan yang dikonsumsi. Terutama kebutuhan zat gizi mikro. Dengan
pola konsumsi yang beraneka ragam, kebutuhan akan vitamin dan mineral dapat terpenuhi.

Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu kembali ke masalah
desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cenderung
menurun namun kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60 persen sedangkan umbi-
umbian baru menyumbang energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek
yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi
makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan
pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior
menjadi pangan normal bahkan superior. Seringkali pemerintah hanya menganjurkan
masyarakat untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh
tanpa didukung oleh ketersediaan bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam
memenuhi permintaan konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan
program diversifikasi pangan adalah melaksanakan product development. Produk ini
merupakan upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara lain sangat
praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan mudah
diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan setiap anggota rumah tangga
dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan maka bentuk makanan yang siap olah
dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.

Pola Konsumsi Pangan Pokok


Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian, jagung,
sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu,
seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung
dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya
kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu
sampai industri hilir mengakibatkan pergese-ran pangan pokok dari pangan lokal seperti
jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu:

1. Jagung (Zea mays L.)


Jagung merupakan tanaman golongan rumputan kedua yang paling luas dibudidayakan di
Indonesia setelah padi.Komoditas ini memiliki potensi untuk menyangga kebutuhan pangan
non beras karena kandungan terbesar biji jagung adalah karbohidrat, dan potensial digunakan
sebagai bahan baku industri.

Menurut Grubben dan Soetjipto (1996) jagung dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai
industri pangan, minuman, kimia dan farmasi serta industri lainnya. Dari 100 kg jagung dapat
diperoleh 3.5-4 kg minyak jagung, 27-30 kg bungkil, pakan, gluten, serat dan sebagainya,
serta 64-67 kg pati, dan sisanya 15-25 kg hilang atau terbuang. Jagung berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan baku diversifikasi pangan karena mengandung Karbohidrat
yang setara dengan serealia lainnya dan fisikokimia dari pati jagung memiliki karakteristik
fungsional sebagai dietary fiber, beta karotin dan besi

2. Ubi Kayu/Singkong/Ketela Pohon (Manihot esculenta crantz)


Di Indonesia, ketela pohon menjadi pangan pokok setelah beras dan jagung. Di beberapa
tempat, tanaman ubi kayu ini dianggap sebagai cadangan pangan dan lumbung hidup. Umbi
singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein.
Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam
amino metionin. Umbi akar singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan
mentah. Rasanya sedikit manis, ada pula yang pahit tergantung pada kandungan racun
glukosida yang dapat membentuk asam sianida. Umbi yang rasanya manis menghasilkan
paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar yang masih segar, dan 50 kali lebih
banyak pada umbi yang rasanya pahit. Pada jenis singkong yang manis, proses pemasakan
sangat diperlukan untuk menurunkan kadar racunnya. Dari umbi ini dapat pula dibuat tepung
tapioka. Ubi Jalar/Ketela Rambat (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea
batatas L.) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang
membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika, umbi ubi jalar
menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia, selaindimanfaatkan
umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat pula ubi jalar yang dijadikan
tanaman hias karena keindahan daunnya. Ubi jalar terutama yang berdaging umbi oranye atau
kuning memiliki potensi unggulan pada kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi.
Beta karoten atau provitamin A dalam ubi jalar diketahui memiliki banyak manfaat bagi
tubuh, karena selain mampu memenuhi kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai
antioksidan untuk melawan radikal bebas dalam tubuh.

BAB IV. PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan meningkatkan penyediaan
berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat
dengan kegiatan berupa pemanfaatan sumber daya yang beraneka ragam, pengembangan
berbagai hasil olahan dan penganekaragaman produk dihasilkan untuk dikonsumsi
berdasarkan potensi pangan lokal.

Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya
diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara
keseluruhan. Sehingga banyak bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak
yang menggunakan bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar,
dengan harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya usaha
tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan mengubah pola
pangan pokok masyarakat.

Dari data yang ada tingkat partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah cukup tinggi yaitu
rata-rata hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua rumah tangga baik di
perkotaan maupun pedesaan telah mengkonsumsi beras. Berdasarkan data perkembangan
tingkat partisipasi konsumsi beras tersebut dapat diartikan bahwa program diversifikasi
konsumsi pangan yang salah satu tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dapat
dibilang masih jalan di tempat.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis ajukan untuk permasalahan pada makalah ini berupa:

1. Pemerintah hendaknya membuat program dalam produksi tanaman padi dan makanan
pokok seperti sagu, gandum dan lain-lain sehingga produksi diantara semua bahan
makanan pokok seimbang.
2. Meningkatkan angka komoditi gandum dengan menurunkan harga beli gandum
sehingga masyarakat mampu untuk membeli dan mengkonsumsi gandum.
3. Memperluas lahan untuk tanaman makanan pokok selain beras sehingga produksinya
semakin tinggi.
4. Menurunkan angka impor beras yang saat ini masih tinggi.

Upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan keragaman pangan yang bersumber


dari dalam negeri belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Padahal, Indonesia
mempunyai potensi menghasilkan bahan pangan yang berasal dari umbi-umbian dan
kacang-kacangan yang sangat besar. Program diversifikasi pangan yang dilaksanakan
tidak sesuai dengan tujuan semula, yaitu memanfaatkan sumber pangan domestik yang
sangat kaya dan beragam. Diversifikasi yang berhasil luar biasa justru diversifikasi ke
produk berbasis terigu yang notabene berbahan baku gandum yang tidak dapat
diproduksi dengan optimal di Indonesia.

Sejak tahun 1990-an, terjadi pergeseran bahan pangan pokok. Beras mulai disaingi oleh
gandum yang permintaannya terus meningkat. Semakin banyak rakyat Indonesia yang
mengkonsumsi roti dan mie. Pergeseran ke gandum seharusnya mengakibatkan
konsumsi beras menurun dan konsumsi gandum meningkat. Tetapi dalam kenyataan,
konsumsi beras tetap tinggi yaitu 130 kg/kapita/tahun dan konsumsi tepung gandum
atau produk berbahan baku tepung terigu juga meningkat. Tidak ada yang salah dalam
peningkatan konsumsi gandum sebagai bahan pangan berupa tepung, namun
kecenderungan ini harus diikuti dengan perubahan dalam prioritas insentif dan kebijakan
serta fasilitasi pemerintah dalam upaya diversifikasi produksi sumber bahan pangan
yang dapat diolah menjadi tepung (Azahari, 2008).

Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam Undang-undang


Pangan Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan atau minuman (UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan). Ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro,
yaitu tersedianya pangan yang cukup dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya
kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif
(Nainggolan, 2008).
Ketahanan pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa
untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang
layak dan aman, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada
keragaman sumberdaya lokal. Dari pengertian tersebut, idealnya kemampuan dalam
menyediakan pangan bersumber dari dalam negeri sendiri. Sedangkan impor pangan
dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan
kebutuhan pangan dalam negeri, serta diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan
kepentingan para produsen pangan di dalam negeri yang mayoritas petani berskala
kecil, juga kepentingan konsumen khususnya kelompok miskin (Pasal 3 ayat (4), PP.
No. 68/2002). Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, dapat ditempuh melalui
beberapa cara. Penganekaragaman (diversifikasi) pangan merupakan salah satu pilar
utama dalam upaya mengatasi msalah pangan dan gizi yang pada akhirnya dapat
mewujudkan ketahanan pangan nasional

Nataadmadja dalam Kasryno dalam Supadi (2004), menganggap diversifikasi sebagai


perluasan cakrawala dan pendalaman dimensi pembangunan pertanian. Diversifikasi
dapat menyangkut teknologi, sumberdaya, wilayah, komoditas, energi, kelembagaan,
agroindustri dan kesempatan kerja. Tiga macam diversifikasi usaha yang harus
diterapkan secara simultan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat adalah
diversifikasi produksi, diversifikasi pengolahan hasil dan diversifikasi pemasaran.
Pendekatan ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengatasi semkin ketatnya
kompetisi perdagangan di pasar dunia, sekaligus melepaskan diri dari ketergantungan
yang berlebihan pada satu komoditas (Suryana, 1987).

Sebenarnya, upaya diversifikasi pangan telah lama dicanangkan sejak tahun 1970 jauh
sebelum swasembada beras diraih. Pada saat Pelita IV, pemerintah telah memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap diversifikasi pertanian dan produk dengan
menempatkan diversifikasi di tangga atas diikuti oleh intensifikasi, ekstensifikasi dan
rehabilitasi (Manwan, 1994). Bahkan menurut Rahardjo (1993), upaya
penganekaragaman atau diversifikasi pangan sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-
an, di mana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut.
Kemudian di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijakan
diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1974 Tentang
Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres Nomor
20 tahun 1979. Maksud dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan
jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat, baik secara kualitas maupun
kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengapa diversifikasi pangan di Indonesia menjadi penting?
2. Mengapa secara umum diversifikasi pangan itu penting?
3. Bagaimanakah hubungan antara kemandirian dan ketahanan pangan?
4. Bagaimanakah hubungan antara diversifikasi dan ketahanan pangan?
5. Bagaimanakah Isu, Kebijakan dan Strategi Ketahanan Pangan Menuju Indonesia
Tahan Pangan dan Gizi 2015?
6. Seperti apakah contoh bahan makanan hasil diversifikasi pangan?
1.3 Tujuan
Makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut, yaitu untuk :
1. Melihat dengan adanya diversifikasi pangan dapat mencapai pola pangan harapan
yang sesuai dengan kondisi ekonomi dan ketersediaan pangan.
2. Melihat cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengubah kebudayaan masyarakat
dalam pelaksanaan diversifikasi pangan.
3. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pencapaian program diversifikasi
pangan.
4. Mengetahui upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencapai diversifikasi
pangan.
1.4 Manfaat
Dari hasil pembahasan makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai :
1. Bahan informasi bagi pemerintah dan lembaga lainnya yang berkaitan dengan pola
ketahanan pangan dalam pelaksanaan pola diversifikasi pangan.
2. Bahan informasi bagi masyarakat untuk dapat menerapkan kegiatan diversifikasi
pangan.
3. Bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan optimalisasi
ketahanan pangan terdiversifikasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketahanan Pangan


Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :

1. Dalam undang undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan


pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan
pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi : (1)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian
ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman,
ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral
serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi
pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di
seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan
bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
2. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992) mendefenisikan ketahanan
pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan
pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.
3. World Food Summit 1996 memeperluas defenisi diatas dengan persyaratan
penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.
4. World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: akses oleh semua orang pada segala
waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
5. Oxfam 2001: Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika: setiap orang dalam segala
waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang
baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini
yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan
melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
6. FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems, 2005
): Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara
fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi
untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food
preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
7. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996) mendefenisikan
ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota
rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari
waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.
Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk
menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu
yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan
berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur
ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap
impor (Litbang Deptan, 2005).

Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan (sufficiency),


akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty , 2004). Dengan
adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang menjadi suatu sistem, yang
merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas
pangan (food availability dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food
accessibility) dan pemanfaatan pangan.
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang terdiri
dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan
mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan.
Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang
harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat
musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga
harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.

Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar proses peredaran


pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan. Hal ini ditujukan
untuk meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus
pangan tingkat wilayah, belum menjamin kecukupan pangan bagi
individu/masyarakatnya.

Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai


pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi
individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa
memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi
pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif
(Thaha, dkk, 2000).

Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak mungkin
terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana, 2003).

2.2 Rawan Pangan


Rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh
pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan berakvitas dengan baik. Rawan
pangan dapat dibedakan 2 jenis yaitu : (a) rawan pangan kronis, yaitu ketidak cukupan
pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh
pangan yang dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri.
Kondisi ini berakar pada kemiskinan dan (b) rawan pangan transien/ transistori, yaitu
penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah tangga secara kontemporer.
Hal ini disebabkan adanya bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan
keadaan lain yang bersifat mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga
pangan, produksi, atau pendapatan (Baliwati, 2004).
Menurut Food An Agriculture Organization Of The United Nations (FAO) dan Undang
Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, maka kondisi rawan pangan dapat
diartikan bahwa individu atau rumah tangga masyarakat yang tidak memiliki akses
ekonomi (penghasilannya tidak memadai atau harga pangan tidak terjangkau), tidak
memiliki akses secara fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup kehidupan yang
normal, sehat dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.
Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan gangguan kesehatan,
termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan dalam keadaan yang paling fatal dan
menyebabkan kematian. Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila
gejala gejala kekurangan pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara dini
diidentifikasi dan kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan cepat sesuai dengan
kondisi yang ada (Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumut, 2005).

2.3 Konsumsi Pangan


Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air
baik yang diolah maupan yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan
minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau
pembuatan makanan dan minuman (Depkes, 2004).
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok orang pada waktu
tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang penting dalam menghitung
jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah, 1994).

Secara umum, factor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor


ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan
berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin, selain
pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga
pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya
beli yang berarti pendapatan riil berkurang. Keadaan ini menyebabkan konsumsi
pangan berkurang sedangkan faktor sosio-budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya
berarti fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan
lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan
suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan
makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang
dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan, pengolahan,
serta persiapan dan penyajiannya (Baliwati, 2004).

Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah tersebut
merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai faktor dalam ekologi
masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan budaya. Jumlah dari variasi
makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok
umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe
tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan.
Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk
tingkat ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan
distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat
pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus
pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989).

Menurut Jelliffe & Jelliffe (1989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel ekologi II
dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian hingga konsumsi
pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya
dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini sangat diperlukan untuk
menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya.

Fungsi makanan sebagai sumber energi banyak diperoleh dari bahan bahan makanan
yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan
sumber. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang memungkin manusia dapt
beraktifitas sehari hari. Sebanyak 60-70% kebetuhan energi tubuh manusia diperoleh
dari karbohidrat, sisanya berasal dari protein dan lemak. Sumber utama karbohidrat
diperoleh dari beras (hasil olahannya), jagung, ubi, dll (Rimbawan dan Siagian,2004).
Hardinsyah, dkk (1989) sumber energi lainnya adalah protein , dimana fungsi protein
dalam tubuh berguna sebagi sumber pembangun atau pertumbuhan, pemeliharaan
jaringan yang rusak, pengatur serta untuk mempertahan kan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit tertentu. Sumber utama protein berasal dari nabati (berasal dari
tumbuhan) dan hewani (daging, susu dan hasil olahannya).

2.4 Ketersediaan Pangan


Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun 1997
tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan
bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman
dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana 2001).
Menurut Soetrisno (1995) diacu dalam Marwati (2001) bahwa dua komponen penting
dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Tingkat
ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi,
kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan
tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan.

Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976. Rantai pangan
WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga dikonsumsi yang nantinya
akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Diantara rantai pangan tersebut
terdapat variabel ketersediaan pangan. Menurut DKP (2006) ketersediaan pangan dapat
dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1) produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan
cadangan pangan. Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai
peluang besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga dipasar
internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak mencukupi dan 4)
adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor pangan harus dilakukan
selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi nasional. Oleh karena itu,
untuk mengatasi ketergantungan impor, maka harus meningkatkan produksi pangan
nasional sehingga dapat mencapai swasembada pangan artinya mampu mencukupi
kebutuhan pangan secara mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh
dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi (Husodo & Muchtadi 2004 diacu dalam
Amadona 2003).

2.5 Daya Dukung Pangan Wilayah


Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi
dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa mengurangi
kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama pada masa yang
akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia. Namun manusia memiliki
kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan menciptakan teknologi untuk
memproduksi pangan dan energi (Richard 2002 diacu dalam Absari 2007).
Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal penggunaan
sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya tersebut masih bisa
digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang tanpa mempengaruhi
keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa awal perkembangan konsep
mengenai human carrying capacity, menurut Erlich (1971) dan Holdren (1974) diacu
dalam Kurnia (2005) menyebutkan bahwa akibat yang ditimbulkan dari adanya manusia
pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan
teknologi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah
besarnya sumberdaya yang mampu diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah
sedikit penduduk dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar
pada tingkat yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan
jumlah sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang
produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah populasi
penduduk yang dapat didukung secara berkelanjutan oleh sebuah wilayah, tetapi
menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air bersih) yang
dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mendukung populasi wilayah
tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu yang tidak terbatas.
1. Daya Dukung Lahan: Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan
garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan
penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan
kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena
naiknya kebutuhan akan pangan akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan
(Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola, et al. 2007). Selanjutnya, Siwi (2002) diacu
dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk,
daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa
lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada
tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari,et al. 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007).
Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat menggunakan
ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun kombinasi dari
beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus dibedakan antara yang
dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.Energi matahari, air bersih, lahan
yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan bangunan dan beberapa
jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obat-obatan) termasuk sumberdaya
yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga dapat digunakan untuk
memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan
yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan
standar per orang. Apabila menggunakan metode yang lebih rumit maka akan
mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan semakin
meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola konsumsi penduduk, dan
ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar minyak (Richard 2002 diacu
dalam Absari 2007).
2. Daya Dukung Gizi: Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah
maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya
pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut
untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi
budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun
dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan
kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada
akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun
faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity,
akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan
sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, et
al. 1993 diacu dalam Absari 2007). Untuk itu diperlukan suatu sistem pertanian
berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu wilayah agar produksi pangan
bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat terwujud secara
berkesinambungan.

2.6 Diversifikasi
Diversifikasi adalah usaha untuk meningkatkan jumlah dan mutu hasil produksi
dengan cara menambah jenis produksi serta dengan cara penganekaragaman faktor
produksi.
Penganekaragaman pangan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui peningkatan mutu gizi makanan dengan pola konsumsi
yang lebih beragam atau usaha untuk lebih menganekaragamkan jenis konsumsi dan
meningkatkan mutu gizi makanan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Pengertian penganekaragaman pangan ini dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama, penganekaragaman horizontal, yaitu upaya untuk menganekaragamkan
konsumsi dengan memperbanyak macam komoditas pangan dan upaya meningkatkan
produksi dari masing-masing komoditas tersebut.

Sebagai contoh, pengaturan komposisi makanan sehari-hari kita di samping beras, juga
umbi-umbian, sagu, kacang-kacangan, ikan, sayur, buah dan lain-lainnya. Kedua,
penganekaragaman vertikal, yaitu upaya untuk mengolah komoditas pangan, terutama
non beras, sehingga mempunyai nilai tambah dari segi ekonomi, nutrisi maupun sosial.
Misalnya mengolah jagung menjadi corn flake, ubi kayu diolah menjadi berbagai
macam makanan, baik makanan pokok, maupun jajanan, seperti misalnya kripik
(cassava chips).

Mutu gizi makanan penduduk ditentukan oleh jumlah dan macam zat-zat gizi yang
dimakan. Makin beragam sumber zat-zat gizi (dari beragam bahan pangan) yang
dikonsumsi seseorang makin besar kemungkinan terpenuhi kebutuhan gizinya. Dengan
demikian, dapat kita mengerti betapa pentingnya program penganekaragaman pangan
ini. Untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan:

1. Faktor kecukupan, yaitu tersedianya bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan.


Penyediaan pangan ini sedapat mungkin diupayakan dari dalam negeri. Impor
dilakukan hanya apabila diperlukan, artinya apabila produksi dalam negeri tidak
dapat mencukupi. Oleh karena itu harus digali sumber pangan yang kita miliki dan
ditingkatkan produksinya, termasuk mengembangkan jenis pangan tradisional
seperti: sagu, jagung, ubi kayu, sukun dan lain-lain.
2. Faktor daya beli, yaitu tersedianya pendapatan yang memadai dan kestabilan harga
agar masyarakat mampu untuk membeli bahan makanan.
3. Faktor distribusi, yaitu tersedianya pangan yang cukup di seluruh wilayah dalam
waktu tertentu dan jumlah yang memadai.
4. Faktor gizi, yaitu tersedianya produksi pangan yang memenuhi kebutuhan gizi, baik
secara kualitas maupun kuantitas.
5. Faktor kesadaran/pengetahuan gizi, yaitu kesadaran atau pengetahuan penduduk
mengenai gizi sehingga mereka mengkonsumsi pangan sesuai dengan harapan (gizi
seimbang).
Adakalanya di satu daerah cukup tersedia bahan makanan yang bergizi tinggi, tetapi
karena masyarakatnya kurang pengetahuan tentang gizi, mereka hanya mengkonsumsi
jenis makanan tertentu saja yang mungkin kurang bergizi. Oleh karena itu perlu
ditumbuhkan pengertian dan keadaran tentang gizi seimbang. Nilai gizi makanan yang
kita konsumsi sehari-hari ditentukan oleh keseimbangan antara konsumsi karbohidrat
(padi-padian), protein (terutama hewani, seperti: daging, telur dan susu serta ikan),
lemak dan vitamin yang banyak terdapat pada sayur dan buah-buahan serta mineral
(air).

2.7 Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (UU
No 7 tahun 1996 tentang Pangan).
Definisi pangan menurut UU No. 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan,
bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Pangan sangat berkaitan dengan keberlangsungan hidup manusia. Kurangnya


ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat dalam suatu negara akan
mengakibatkan menurunya kesejahteraan hidup, penyakit, kelaparan, bahkan bencana.
Selain itu, peringatan akan perubahan kondisi iklim global telah mengganggu
pertumbuhan harga pangan sehingga terjadi potensi kenaikan harga pada beberapa
komoditas. Bahkan beberapa lembaga internasional telah memberikan peringatan dini
tentang adanya fluktuasi harga pangan, sehingga, ketahanan pangan (food security),
kemandirian panganm (food self-help) , dan kedaulatan pangan (food souverenity)
nasional penting untuk digalakan.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun
minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan atau pembuatan makanan atau minumam (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa dan
tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara alamiah tidak selalu
bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan dapat mengandung
senyawa yang merugikan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa
yang dapat merugikan kesehatan dan tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan
pangan dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama
pengolahan maupun penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara
alamiah. Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP)
atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu lainnya ke dalam
proses pengolahan pangan (Hardiansyah dan Sumali, 2001). Berdasarkan cara
perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 (Saparinto dan Hidayati, 2006) :
1. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar
dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung.
2. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi,
pisang goreng dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan
olahan siap saji dan tidak siap saji.
Pangan olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan siap
disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.
Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah mengalami
proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutkan untuk
dapat dimakan atau minuman.
3. Pangan Olahan Tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok
tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh:
ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang
yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.
2.8 Kemandirian Pangan
Ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan memiliki definisinya sendiri.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kemandirian Pangan adalah
kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup
sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Sedangkan,
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan
hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal. (UU No. 18 Tahun 2012).
Ketahanan pangan bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan pangan.
mengembangkan diversifikasi pangan, mengembangkan kelembagaan pangan, dan
mengembangkan usaha pegelolaan pangan. Untuk itu, terdapat beberapa indikator
terwujudnya ketahanan pangan yang kokoh, diantaranya:

Ketersediaan pangan bagi masyarakat (food availability): Dalam upaya membangun


ketersediaan pangan bagi masyarakat dipandang perlu menggalakkan diversifikasi
(penganekaragaman) pangan, melalui upaya penyediaan pangan yang beragam untuk
memenuhi permintaan. Juga mendorong berkembangnya industri pangan berskala kecil,
menengah dan besar di pedesaan maupun perkotaan. Diversifikasi pangan juga
berorientasi sumberdaya lokal artinya memenuhi kebutuhan pangan beragam
diutamakan dari produksi lokal sekaligus dapat memberikan kontribusi pertumbuhan
ekonomi yang positif di daerahnya.
Keterjangkauan pangan oleh seluruh masyarakat (food accessibility): Sebagai
kebutuhan dasar manusia maka pemenuhan pangan merupakan hak asasi setiap rakyat
Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan
beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selain itu, perlu
ditumbuhkembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman baik
sumberdaya bahan pangan, kelembagaan maupun budaya lokal.
Kelayakan untuk diterima konsumen (consumer acceptability): Dalam kegiatan atau
proses produksi pangan untuk dapat diedarkan atau diperdagangkan harus memenuhi
ketentuan tentang sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran, dan
kemasan pangan. Hal lain yang patut diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi
pangan. Pangan tertentu yang diperdagangkan dapat diwajibkan untuk terlebih dahulu
diperiksa di laboratorium sebelum diedarkan. Dalam upaya meningkatkan kandungan
gizi pangan olahan tertentu.
Kemanan untuk dikonsumsi (food safety): Faktor yang tak kalah pentingnya adalah
keamanan pangan. Yang dimaksud keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusia.
Kesejahteraan masyarakat, keluarga dan perorangan (Peoples welfare): Ketahanan
pangan yang dikembangkan dengan bertumpu pada keragaman sumberdaya bahan
pangan merupakan faktor penting. Disamping itu didukung oleh kelembagaan dan
budaya lokal/domestik; distribusi dan ketersediaan pangan mencapai seluruh wilayah;
serta peningkatan pendapatan masyarakat agar mampu mangakses pangan secara
berkelanjutan dengan memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar
lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang
kondusif dan peluang usaha seluas luasnya.
Konsep Ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan menjadi
kesatuan konsep dimana pangan dapat tersedia, terjangkau oleh daya bell, mampu dan
aman dikonsumsi (Eriadi 2012). Serta dapat diproduksi secara menguntungkan oleh
para pelaku ekonomi/petani dengan manajemen yang efisien yang terdistribusi secara
baik ke seluruh wilayah di Negara Kepulauan yang memiliki lahan, sumberdaya alam
dan penduduk yang sangat besar dan beragam.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pentingnya Diversifikasi Pangan Di Indonesia


Tingginya konsumsi beras di Indonesia menyebabkan diterapkannya kebijakan impor
yang menyiksa petani dan mengancam kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu
diperlukan diversifikasi pangan untuk mengatasi tingginya konsumsi beras. Konsumsi
beras Indonesia menduduki peringkat satu dunia. Setiap tahunnya, konsumsi beras per
kapita oleh masyarakat Indonesia mencapai 139 kilogram per kapita. Jumlah ini sangat
jauh bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Jepang dan Malaysia yang
hanya 60 kg dan 80 kg per kapita per tahun. Dalam kasus yang lebih ekstrem, pada
tahun 2008 provinsi Sulawesi Tenggara memiliki tingkat konsumsi sebesar 195,5
kilogram per kapita.

Tingginya konsumsi beras mengakibatkan permintaan beras di dalam negeri tinggi dan
terkadang tidak seimbang dengan ketersediaan. Setidaknya terdapat dua alasan yakni
tingginya impor yang merugikan petani dan aspek kesehatan. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), pada 2008 Indonesia memproduksi padi sebesar 60,33 juta ton
gabah kering giling (GKG). Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2007 sebesar 3,17 juta ton atau 5,54 persen.

Walaupun produksi beras Indonesia tinggi, hal ini juga diimbangi dengan tingginya
konsumsi yang akhirnya mengarahkan kebijakan pemerintah untuk melakukan impor
beras. Kebijakan impor dipilih pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam
negeri dan menekan harga agar tetap terjangkau konsumen. Hal ini jelas merugikan
petani. Data yang dikumpulkan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
selama tahun 1996 2003, Indonesia mengimpor beras rata rata 2,8 juta ton per tahun.
Pada 2007 impor beras Indonesia mencapai 1,5 juta ton dan baru pada tahun 2008
Indonesia bebas dari impor beras dengan klaim pemerintah sebagai tahun swasembada
beras.

Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan jalan keluar yang saat ini
dianggap paling baik untuk memecahkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan
pangan. Melalui penataan pola makan yang tidak hanya bergantung pada satu sumber
pangan memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, sehingga
dapat membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan secara nasional (Sadjad,2007).

Konsep penganekaragaman pangan yang dianggap benar adalah upaya untuk


meningkatkan mutu gizi makanan keluarga sehari-hari dengan cara menggunakan
bahan-bahan makanan yang beragam dan terdapat di daerah yang bersangkutan,
sehingga ketergantungan kepada salah satu bahan pangan terutama beras dapat
dihindari (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,1991).

Masalah gizi di negara yang sedang berkembang dipengaruhi oleh daerah dan musim.
Pola konsumsi makanan sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal
ini dapat dipengaruhi oleh agama, adat istiadat, tingkat urbanisasi dan faktor-faktor
lainnya. Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh baik terhadap produksi pangan nabati
maupun hewani serta bagaimana pola konsumsi mereka. Masalah gizi pada penduduk
yang tinggal di pedesaan akan berbeda dengan pola konsumsi masyarakat yang tinggal
di area perkotaan (Suhardjo,1996).

Di beberapa daerah pola konsumsi makanan masyarakat secara turuntemurun sudah


menggunakan pangan pokok sagu, ubi-ubian dan ada juga masyarakat yang
mengkombinasikan makanan antara jagung dengan beras. Melihat kenyataan seperti ini
pelaksanaan diversifikasi pangan dapat dengan mudah untuk diterapkan, tetapi budaya
konsumsi beras telah merasuki sebagian besar daerah-daerah terutama masyarakat
yang tinggal di daerah perkotaan.

Beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat lebih memilih beras sebagai pangan
pokok karena: (1) pembagian beras bagi para pegawai negri, (2) beras tersedia dalam
pasaran dan mudah untuk didapatkan dan (3) adanya peningkatan daya beli
masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pada jangka waktu yang lama kebiasaan
mengkonsumsi beras semakin merambat ke daerah-daerah lainnya bahkan ke
pedesaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,1991).

Diversifikasi pangan dapat dikembangkan baik melalui pendidikan tertulis dalam


berbagai bentuk tulisan di media massa maupun pendekatan tatap muka, harus
diupayakan untuk dapat mengubah kebiasaan memakan nasi (beras). Diversifikasi
pangan non-beras harus dapat menjauhkan masyarakat dari naluri anggapan bahwa
jika memakan nasi ditambah lauk maka dikatakan makan. Sumber bahan pangan
sebenarnya tidak hanya bersumber dari beras, tetapi terdapat diberbagai jenis pangan
lainnya, misalnya setelah memakan ice cream juga dapat dikatakan sudah memakan
satu jenis pangan yang memiliki kalori dan gizi yang cukup tinggi, karena pada
umumnya ice cream berasal dari ubi jalar yang diolah (Sadjad,2007).
Jika panagn hendak didiversifikasi, itu berarti bukan sekedar membuat beragam
makanan di atas meja makan, tetapi harus menjadi kemauan politik seluruh bangsa
yang diprogramkan secara nasional apa yang akan di produksi dan bagaimana cara
pengolahannya (Sadjad,2007).

Widyakarya pangan dan gizi tahun 1998 menyebutkan pengertian tentang diversifikasi
pangan sebagai berikut :

1. Diversifikasi pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini dimaksudkan
agar laju peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan, setidaknya seimbang
dengan kemampuan peningkatan produksi beras.
2. Diversifikasi pangan dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan penduduk
sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang.
Menurut Hafsah dalam Widowati dan Damardjati dalam Supadi (2004), pangan perlu
beragam karena beberapa alasan, yaitu:

1. Mengkonsumsi pangan yang beragam adalah alternatif terbaik untuk


pengembangan sumberdaya manusia berkualitas.
2. Meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian dan kehutanan.
3. Memproduksi pangan yang beragam mengurangi ketergantungan kepada impor
pangan.
4. Mewujudkan ketahanan pangan yang merupakan kewajiban bersama pemerintah
dan masyarakat.
Upaya penganekaragaman atau diversifikasi konsumsi pangan walaupun sudah dirintis
sejak dasawarsa 60-an, namun hingga saat ini masih belum berjalan sesuai dengan
yang diharapkan. Pola pangan lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras dan
pola mie. Penelitian Rahman (2001) menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi
pangan pokok yang cenderung mengarah ke pola tunggal beras dari semula pola beras-
umbi-umbian, dan atau beras-jagung-umbi. Dari sisi kualitas, rata-rata kualitas konsumsi
pangan penduduk Indonesia juga masih rendah, kurang beragam, masih didominasi
pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian. Konsumsi pangan pokok
masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata
hampir mencapai 100% kecuali untuk Maluku dan Papua (yang dikenal sebagai wilayah
ekologi sagu), berkisar 80%.

Permasalahan utama diversifikasi pangan adalah ketidakseimbangan antara pola


konsumsi pangan dengan penyediaan produksi/ketersediaan pangan di masyarakat.
Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat
dihasilkan setiap saat dibutuhkan. Sementara konsumsi dilakukan oleh semua
penduduk setiap saat (Rachman dan Mewa, 2008). Menurut Amang dan Sawit (2001);
Teken dan Kuntjoro (1978); Amang dalam Supadi (2004), kendala pengembangan
diversifikasi pangan sebagai berikut :

1. Pangan nonberas (jagung, sorghum, dan umbi-umbian) adalah pangan inferior,


berkurang tingkat konsumsinya seiring dengan peningkatan pendapatan
masyarakat. Banyak orang memandang bahwa beras sebagai bahan pangan
mempunyai status yang lebih tinggi daripada jagung, sorghum dan umbi-umbian.
Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa apabila beralih kepada bahan pangan
jagung, sorghum dan umbi-umbian sebagai pengganti sebagian beras yang dimakan,
akan merupakan suatu kemunduran.
2. Kebanyakan komoditas pangan nonberas tidak siap untuk dikonsumsi secara
langsung.
3. Untuk mendorong kembali ke menu makanan tradisional harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Dahulu, pada umumnya penduduk di Indonesia Timur
mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian yang relatif rendah kandungan karbohidrat
dan proteinnya, bersama dengan ikan atau hewani yang tersedia di alam bebas.
Tetapi sekarang, ikan dan hewani telah menjadi barang ekonomi yang harus dibeli.
4. Upaya diversifikasi pangan hingga kini belum memberikan hasil yang memuaskan.
Produksi tanaman pangan masih sangat didominasi oleh beras. Hal ini disebabkan
oleh besarnya perhatian pemerintah pada upaya untuk mempertahankan stabilitas
produksi beras, meskipun kurang berhasil.
5. Upaya diversifikasi konsumsi pangan melalui kebijakan harga dan subsidi
nampaknya mengalami kesulitan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya kemungkinan
konsumen untuk melakukan substitusi pangan dari beras ke non beras (jagung atau
ubi kayu), karena elastisitas silang beras ke nonberas (selain terigu) relatif kecil.
Subsidi memerlukan biaya besar, sedangkan penerima subsidi mungkin golongan
berpendapatan menengah ke atas.
Selain itu, masih banyak masalah yang dihadapi dalam distribusi pangan untuk
menjamin upaya penganekaragaman konsumsi pangan, antara lain menyangkut sarana
transportasi (jalan, angkutan), pergudangan, sarana penyimpanan dan teknologi
pengolahan untuk memudahkan distribusi pangan antarwilayah. Pengembangan
penganekaragaman konsumsi pangan penduduk juga tidak terlepas dari tingkat
pengetahuan tentang pangan dan gizi. Hal ini terkait dengan masalah bahwa baik
kekurangan maupun kelebihan pangan dan gizi akan menimbulkan masalah kesehatan
(Rachman dan Mewa, 2008).

Mengingat masih banyaknya permasalahan, pemerintah terus berupaya untuk


melaksanakan penganekaragaman atau diversifikasi konsumsi pangan dalam
pencapaian ketahanan pangan. Masih banyak jenis pangan lokal di setiap wilayah yang
mampu mensubstitusi atau berkomplemen dengan beras sebagai bahan pangan pokok.
Dalam Undang-undang Pangan juga ditekankan pentingnya diversifikasi pangan. Pada
Konferensi/Sidang Dewan Ketahanan Pangan tahun 2006 yang dihadiri oleh seluruh
gubernur dan walikota/bupati, diversifikasi pangan juga diangkat sebagai isu utama dan
menjadikannya sebagai kesepakatan untuk dilakukannya kecepatan program tersebut di
daerah masing-masing.

Pada perkembangan terakhir, Departemen Pertanian mengupayakan percepatan


diversifikasi pangan yang diharapkan tercapai pada tahun 2015 melalui dua tahap, yaitu
Tahap I tahun 2007-2010 dan Tahap II tahun 2011-2015. Untuk kurun waktu tahun
2007-2010 kegiatan difokuskan kepada penciptaan pasar domestik untuk pangan
olahan sumber karbohidrat nonberas, sayuran dan buah, serta pangan sumber protein
nabati dan hewani melalui suatu kegiatan konstruksi sosial proses internalisasi
diversifikasi konsumsi pangan yang dilaksanakan melalui peningkatan pengetahuan,
sikap dan perilaku terhadap pentingnya diversifikasi konsumsi pangan yang disertai
dengan pengembangan sisi suplai aneka ragam pangan melalui pengembangan bisnis
pangan. Kurun waktu 2010-2015 difokuskan pada penguatan kampanye nasional
diversifikasi konsumsi dan pendidikan gizi seimbang di sekolah dan masyarakat sejak
usia dini (Badan Ketahanan Pangan, 2006).

Pelaksanaan diversifikasi pangan harus dilakukan secara serentak, dapat dimulai di


pedesaan dengan memperhatikan perilaku rumah tangga termasuk rumah tangga
petani sebagai produsen sekaligus konsumen pangan. Selain itu juga dengan
memberdayakan kelembagaan lokal sebagai modal sosial dalam upaya percepatan
diversifikasi pangan di pedesaan. Keragaman sumberdaya alam, keanekaragamaan
hayati serta berbagai jenis makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh wilayah masih
dapat dikembangkan untuk memenuhi diversifikasi konsumsi pangan masyarakat.
Tingkat pendidikan dan perkembangan teknologi informasi serta strategi komunikasi
publik dapat memberikan peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran
masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Prograam-program
pengentasan kemiskinan juga diharapkan mampu meningkatkan kemamupuan ekonomi
masyarakat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kuantitas maupun kualitas
konsumsi pangan (Rachman dan Mewa, 2008).

Menurut Pasandaran dan Simatupang dalam Supadi (2004), diversifikasi pangan dapat
berjalan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri, khususnya yang
berlokasi di pedesaan. Ini berarti pembangunan agroindustri tersebut berbasis usaha
pertanian domestik, sehingga memiliki keterkaitan kuat dengan upaya memajukan
perekonomian pedesaan. Peran agroindustri di pedesaan sangat penting, selain
menyerap hasil pertanian dan meningkatkan nilai tambah komoditas juga menciptakan
kesempatan kerja baru di pedesaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan tentunya
dapat meningkatkan mutu gizi masyarakat.

Apabila diversifkasi pangan dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan persoalan-
persoalan pangan dapat diatasi. Pembangunan ketahanan pangan yang berbasis
sumberdaya dan kearifan lokal harus terus digali dan ditingkatkan, mengingat penduduk
terus bertambah dan aktivitas ekonomi pangan terus berkembang secara dinamis.
Ketahanan pangan yang mantap akan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi pembangunan. Tanpa ketahanan pangan yang mantap, tidak mungkin tersedia
sumberdaya manusia berkualitas tinggi yang sangat diperlukan sebagai motor
penggerak pembangunan. Ketahanan pangan yang mantap merupakan syarat bagi
stabilitas politik, sedangkan stabilitas politik merupakan syarat mutlak bagi pelaksanaan
pembangunan.

3.2 Pentingnya Diversifikasi pangan


Penganekaragaman pangan bukan saja dimaksudkan untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap beras, tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi
makanan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Mutu gizi makanan penduduk ditentukan oleh jumlah dan macam zat-zat gizi yang
dikonsumsi. Makan beragam sumber zat-zat gizi akan semakin memperbesar
kemungkinan akan terpenuhinya kebutuhan gizinya.
Begitu pentingnya diversifikasi pangan ini dilakukan karena memang tidak selamanya
kita bisa menggantungkan kebutuhan pangan kita terhadap beras semata. Jika kita
menilik kembali upaya penerapan diversifikasi pangan di Indonesia, ternyata disana-sini
masih banyak kendala yang sedang dihadapi. Berbagai kendala itu selalu saja muncul
dan dijadikan alasan sulitnya penerapan diversifikasi pangan di negara kita, mulai
tataran teknis, sumber daya alam, pemerintah selaku penanggung jawab, sampai
kepada masyarakat sebagai objek, khususnya masyarakat tani.

Adapun beberapa sebab mengapa diversifikasi ini harus dilakukan antara lain:
1. Jumlah penduduk Indonesia semakin lama semakin besar dengan potensi lahan
yang semakin bekurang merupakan potensi yang cukup besar, namun dengan
bertambahnya penduduk di Indonesia dengan cepat merupakan suatu
permasalahan.Walaupun tahun ini kita tidak melakukan impor beras, namun dengan
semakin sempitnya lahan pertanian karena konversi lahan maupun karena semakin
tingginya penurunan kualitas lahan, pasti semakin lama produksi akan semakin
menurun. Jika peningkatan pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan
peningkatan penyediaan bahan pangan, yang terjadi pasti kelaparan. Ketika ini
terjadi, mau tidak mau pemerintah harus mengeluarkan kebijakan impor beras
kembali. Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah
menjadi 2 kali lipat dan jumlahnya sekarang, menjadi 400 juta jiwa. Dengan
meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula peningkatan
konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang
akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari
2 kali jumlah kebutuhan saat ini. Di awal abad ke-20, selama 30 tahun penduduk
Indonesia bertambah 20 juta jiwa, dan diawal abad ke-21, selama 30 tahun
penduduk Indonesia bertambah hampir 200 juta jiwa. Penduduk Indonesia menjadi
5 kali lipat dalam waktu 100 tahun. Inilah alasan mengapa kemudian diversifikasi
pangan harus segera dilakukan (Husodo, 2003).
2. Produksi beras yang tidak selamanya akan bertahan. Sebelumnya sudah disebutkan
bahwa salah satu kendala dalam produksi beras adalah lahan yang semakin sempit.
Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan
sekitar 1,5% /tahun, sehingga mendorong permintaan pangan yang terus
meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luasnya
mencapai 7,7 juta ha, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan
Indonesia terutama beras, jagung, dan kedelai, sehingga perlu ditambah dengan
impor yang pada dekade terakhir jumlahnya meningkat. Produksi dan kebutuhan
beras pada tahun 2010 diperkirakan 32,65 juta ton dan 36,77 juta ton beras,
sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Demikian pula untuk tahun 2015
dan 2020 diprediksi terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun
2015 dan meningkat menjadi 7,49 juta ton beras pada tahun 2020. Untuk
menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen sekitar 13.500-15.000 ha
lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000 ha jika diasumsikan IP 150
persen. Konversi lahan sawah terutama di Jawa tidak terkendali, sehingga
mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional. Dalam periode 1981-1999
konversi lahan sawah nasional mencapai 1.628 ribu ha dimana sekitar 61,6% terjadi
di Jawa. Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya
beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi. Bahkan jika
dilihat pada 3 tahun terakhir atau periode 1999-2002 menunjukkan peningkatan
konversi lahan sawah rata-rata sekitar 187.720 ha/tahun. Potensi ketersediaan
lahan untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia adalah seluas 8,28 juta ha, terdiri
atas potensi sawah rawa 2,98 juta ha dan sawah non rawa 5,30 juta ha. Potensi
pengembangan sawah terluas terdapat di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, masing-
masing dengan luas 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Di Sulawesi hanya
mencakup sekitar 0,42 juta ha, Maluku dan Maluku Utara 0,24 juta ha, Nusa
Tenggara dan Bali 0,05 juta ha, dan Jawa hanya 0,014 juta ha. Strategi perluasan
sawah dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan potensial sawah di daerah irigasi,
optimalisasi lahan-lahan sawah terlantar terutama di daerah rawa pasang surut dan
lebak, dan perluasan sawah secara kawasan di daerah yang potensinya cukup luas
seperti di Papua dan Kalimantan.
Diversifikasi pangan saat ini adalah kunci keberhasilan kita dalam
mempertahankan ketahanan pangan. Hipocrates, seorang filosof Yunani menyatakan
bahwa makanan mempunyai manfaat penting untuk pemeliharaan kesehatan dan
penyembuhan penyakit. Dalam pernyataannya tersirat bahwa ada zat-zat tertentu dalam
makanan yang apabila dikonsumsi akan membantu membangun kesehatan seseorang.
Sebaliknya, apabila zat tersebut tidak diperoleh dari makanan yang dikonsumsi, maka
dapat menimbulkan penyakit. Kemudian hasil analisis kandungan gizi pada berbagai
jenis pangan menunjukan tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat gizi
yang lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi yang di butuhkan oleh manusia,
kecuali ASI. Itupun hanya untuk bayi yang berusia 4-6 bulan lebih dari usia itu
memerlukan makanan tambahanm (Forum Kerja Penganekaragaman pangan, 2003).
Oleh karena itu penting sekali upaya diversifikasikan pangan di dunia terutama di
negara Indonesia yang memiliki masalah yamg sangat kompeks di bidang pangan ini.
Bila orang sadar bahwa makanan beragam itu penting untuk kesehatan, maka
semestinya setiap orang akan makan makanan beragam setiap harinya. Kenyataan
tidaklah demikian. Meskipun mengerti banyak orang yang tidak dapat melakukannya.
Keterbatasan daya beli umumnya merupakan alasan utama mengapa orang tidak bisa
makan makanan secara beragam. Karena tidak semua orang memiliki kemampuan
yang sama dalam mengakses pangan secara beragam, maka diperlukan upaya-upaya
yang mendorong dan memfasilitasi agar setiap orang memperoleh pangan dalam
jumlah dan keragaman yang cukup (Forum Kerja Penganekaragaman Pangan, 2003).

Selama ini yang terjadi pada sistem ketahanan pangan kita adalah masih rendahnya
tingkat diversifikasi pangan, dimana mayoritas masyarakat kita masih menggantungkan
beras sebagai sumber pangan utamanya. Padahal, dalam konsep ketahanan pangan,
diversifikasi pangan merupakan salah satu syarat untuk mencapai ketahanan pangan
yang tangguh. Dan saat ini, mendiversifikasi pangan merupakan langkah yang tepat dan
urgen mengingat produksi maupun distribusi beras seringkali tersendat.

Diversifikasi pangan dipilih sebagai langkah utama selain waktu yang diperlukan lebih
pendek jika dibandingkan dengan program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi
juga hal ini juga untuk mendorong masyarakat (petani) lebih kreatif dalam
memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang dapat menjadi bahan
makanan pokok selain padi, seperti jagung, ketela, dan umbi-umbian lainnya.

Selain itu, melalui penataan pola konsumsi yang tidak tergantung pada satu sumber
pangan, memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri,
menaikkan pamor pangan lokal untuk menggantikan atau setidak-tidaknya
berdampingan dengan beras menjadi menu utama, dan membangkitkan ketahanan
pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan
nasional. Selain konsumsi yang beragam juga pola produksinya akan ikut beragam.
Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kemelut salah satu bahan pangan pokok
(beras) kita tidak akan kerepotan, misal repot impor beras yang dapat menimbulkan
eksploitasi ekonomi-politik oleh negara-negara eksportir.

Diversifikasi ada dua macam, yaitu: (a) diversifikasi horizontal : penganekaragaman


konsumsi pangan dengan memperbanyak macam komoditi pangan dan meningkatkan
produksi dari macam-macam komoditi tersebut dan (b) diversifikasi vertikal :
penganekaragaman pengolahan komoditas pangan, terutama non beras sehingga
mempunyai nilai tambah dari segi ekonomi, nutrisi maupun sosial. Diversifikasi pangan
menjadi salah satu faktor penting dalam mengatasi permasalahan gizi mengingat
ketidakseimbangan gizi akibat konsumsi pangan yang kurang terdiversifikasi berakibat
pada timbulnya masalah gizi baik gizi kurang maupun gizi lebih. Diversifikasi pangan
menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diversifikasi
konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras
tetapi juga upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang
berkualitas dan berdaya saing tinggi. Diversifikasi pangan saat ini adalah kunci
keberhasilan dalam mempertahankan ketahanan pangan.

Pola konsumsi masyarakat yang didominasi oleh beras telah menyebabkan rendahnya
daya terima terhadap pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti jagung, singkong
maupun sagu. Padahal, ditinjau dari potensi sumberdaya lokal wilayah, sumberdaya
alam kita memiliki potensi ketersediaan pangan yang beranekaragam, baik pangan
untuk sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kita bisa mencermati hal
ini, dimana setiap wilayah di Indonesia mempunyai sumber pangan lokal tersendiri
seperti Madura dan Nusa Tenggara dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu,
Sumatera dengan ubi, Jawa dan Bali serta Sulawesi Selatan dengan berasnya.

Dengan upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk
menggantikan atau setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu utama,
dan membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional. Selain konsumsi yang beragam juga pola
produksinya akan ikut beragam. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kemelut salah
satu bahan pangan pokok (beras) kita tidak akan kerepotan, misal repot impor beras
yang dapat menimbulkan eksploitasi ekonomi-politik oleh negara-negara eksportir.

Diversifikasi pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Karena tidak ada satu
pun makanan di dunia ini yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh,
selain ASI. Dengan pola konsumsi yang beraneka ragam, maka kebutuhan zat gizi
masyarakat dapat terpenuhi dari berbagai jenis makanan yang dikonsumsi. Terutama
kebutuhan zat gizi mikro. Dengan pola konsumsi yang beraneka ragam, kebutuhan akan
vitamin dan mineral dapat terpenuhi.

Diversifikasi pangan pada dasarnya mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran,


dan distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti penganekaragaman komoditas
pangan dalam pemanfaatan sumberdaya, pengusahaan maupun pengembangan
produk (diversifikasi horizontal dan vertikal). Diversifikasi pangan dari aspek konsumsi
mencakup perilaku yang didasari pertimbangan ekonomis (pendapatan dan harga
komoditas) dan non ekonomis (selera, kebiasaan, dan pengetahuan). Diversifikasi
pangan dan pola konsumsi ini secara dinamis mengalami perubahan. Jadi, diversifikasi
pangan selain merupakan upaya mengurangi ketergantungan pada beras, juga
penganekaragaman dari beras ke sumber kalori dan protein lainnya yang lebih
berkualitas (Darmawati, 1998).

Salah satu usaha untuk mendukung program peningkatan produksi pangan adalah
melalui diversifikasi usahatani yang merupakan salah satu program pokok
pembangunan pertanian. Program pengembangan diversifikasi usahatani di lahan
sawah dikaitkan dengan upaya peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja
dan penanggulangan kemiskinan, merupakan salah satu pilihan strategi yang tepat.
Strategi diversifikasi usahatani pada dasarnya adalah optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal).
3.3 Ketahanan Pangan dan Kemandirian
Globalisasi, merupakan tantangan yang harus dihadapi. Kaitannya dengan
ketahanan pangan adalah bagaimana mensinergikan aneka ragam hayati lokal sebagai
sumber pangan dengan tuntutan kebutuhan pasar global. Desentralisasi dan otonomi
daerah membuka peluang manajemen pembangunan, termasuk program ketahanan
pangan, untuk dapat tumbuh atas prakarsa dan inovasi daerahnya masing-masing
dengan berbagai kearifannya. Pada era otonomi daerah ini, aneka ragam budaya dan
hayati lokal merupakan peluang untuk melakukan akselerasi dalam mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
Tuntutan kebutuhan pasar global akan pangan bukan hanya dari seberapa cukup dan
tersedia pangan, akan tetapi sejauhmana kualitas kesehatan pangan yang aman dan
bergizi. Kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar global kembali ke alam merupakan
peluang untuk melakukan kemandirian pembangunan perdesaan sekaligus sebagai
momentum untuk melakukan pemberdayaan petani kita yang semula sangat tergantung
pada asupan produk kimiawi dan monokultur (beras) menuju pertanian inovatif yang
multikultur. Konsep kemandirian dalam ketahanan pangan bukanlah kemandirian dalam
keterisolasian. Dengan demikian, masalah kemandirian tidak didasarkan pada
paradigma ketergantungan yang banyak dibicarakan terutama di negara-negara
berkembang di Amerika latin tahun 1950 dan 1960-an.

Kemandirian dalam konteks kini (global) menuntut adanya kondisi saling


ketergantungan (interdependency) antara lokal-global, traditional-modern, desa-kota,
rakyat-pemerintah, pertumbuhan-pemerataan, serta antar lembaga sesuai fungsinya.
Kemandirian dengan demikian adalah paham pro-aktif dan bukan reaktif atau defensif.
Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan
nasional hanya dapat terwujud bila kondisi saling ketergantungan tersebut dibangun
atas dasar kekuatan modal sosial yang tinggi. Kemandirian ketahanan pangan dalam
era globalisasi hanya dapat diwujudkan tatkala paradigma pembangunan yang
dikembangkan baik di pusat maupun di daerah mampu memadukan antara tuntutan
global dengan pemberdayaan masyarakat. Di sinilah fungsi dan peran demokratisasi
ekonomi-politik dan social pada semua tingkatan pemerintahan dan lembaga
masyarakat menjadi sangat penting apakah arus globalisasi ini merupakan peluang
untuk menjadi suatu kekuatan atau ancaman. Sesungguhnya para pendiri negara kita
telah mencanangkannya 60 tahun yang lalu, yaitu tertuang dalam pasal 27 ayat (2) dan
33 ayat (4) UUD 1945.

3.4 Diversifikasi Pangan Hubungannya Dengan Ketahanan Pangan


Ketahanan pangan adalah hal yang paling strategis bagi suatu Negara, karena
pangan adalah hal terpenting bagi kehidupan manusia. Bahkan hak pangan sendiri telah
diundang-undangkan sebagai hak azasi manusia dalam Declaration of Human Right.
Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia juga ditegaskan oleh pemerintah melalui
undang-undang pangan yang menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi
pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan
pangan yang cukup, baik dari jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Beberapa hasil kajian yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan persediaan
pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin perwujudan ketahanan
pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Beberapa kajian
menunjukkan bahwa jumlah proporsi rumah tangga yang deficit energy di setiap provinsi
masih tinggi.
Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahun 60-
an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan pangan pokok selain
beras. Instruksi dari pemerintah adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan
dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Tujuan Diversifikasi Pangan Nasional: Dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi


konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi
beras, karena diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman
pangan pokok. Selanjutnyaprogram diversifikasi konsumsi pangan dilakukan secara
parsial baik dalam konsep, target, wilayah dan sasaran, tidak dalam kerangka
diversifikasi secara utuh.
Indonesia memiliki beberapa komoditas pangan, yang dapat dikembangkan sebagai
komoditas pangan nasional. Diversifikasi produksi pangan ini bisa dilakukan melalui
pengembangan karbohidrat khas Nusantara seperti sukun, talas, garut, sagu, jagung
dan lain-lain. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk tercapainya usaha Diversifikasi
pangan antara lain:

1. Pengembangan produk (Product Development) melalui peran industry pengolahan


untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara.
2. Peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein seperti ikan dan
ternak.
3. Peningkatan budidaya berbagai tanaman pangan yang meliputi pembenihan,
pembibitan, produksi tanaman, pemberantasan hama, pengemasan hasil panen dan
pendistribusian (hortikultura).
Diversifikasi konsumsi pangan bukan hanya upaya untuk mengubah selera dan
kebiasaan makan. Pada dasarnya memperluas pilihan masyarakat dalam kegiatan
konsumsi sesuai dengan cita rasa yang diinginkan dan menghindari kebosanan untuk
mendapatkan pangan dan gizi agar daapat hidup sehat dan aktif. Hal ini memang
sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, pengetahuan, ketersediaan, dukungan
kebijakan dan factor social budaya.

Secara implicit, upaya diversifikasi konsumsi pangan dapat diidentikkan dengan upaya
perbaikan gizi untuk mendapatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang
mampu berdaya saing. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan,
sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi dan beimbang.

Apabila upaya-upaya tersebut di atas berhasil dilakukan maka produksi tanaman


pangan sumber karbohidrat lain serta protein dan zat gizi mikro akan semakin
meningkat, konsumsi beras per kapita yang diharapkan pemerintah menurun, dan
positifnya kualitas konsumsi pangan masyarakat akan semakin beragam, bergizi dan
berimbang.

3.5 Isu, Kebijakan dan Strategi Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Tahan Pangan
dan Gizi 2015
1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan cenderung melandai
dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen sedangkan pertambahan penduduk
sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum berkembangnya kapasitas produksi pangan daerah
dengan teknlogi sesifik lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani
umumnya skala kecil (kurang dari 0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK
menyebabkan aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber permodalan, teknologi, sarana
produksi dan pasar (d) banyak dijumpai kasus terhambatnya distribusi sarana produks
khususnya pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan teknologi akibat kurang insentif
ekonomi dan masalah sosial petani.
Kelestarian sumberdaya lahan dan air Saat ini tingkat alih fungs lahan pertanian ke non
pertanian (perumahan, perkantoran dll) di Indonesia diperkirakan 106.000 ha/5 th.
Kondisi sumber air di Indonesia cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air yakni
daerah aliran sungai (DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan
yang tidak terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus
bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3 per tahun. Sejak 10 tahun
terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman tanah longsor pada musim hujan
bergantian dengan kekeringan hebat pada musim kemarau. Bila laju degradasi terus
berjalan maka tahun 2015 diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m
per tahun.
Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga sering terjadi
pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, serta
sering timbulnya bencana yang tidak terduga (banjir, longsor, kekeringan, gempa)
memerlukan sistem pencadangan pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya : (1)
sistem cadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam
minimal 3 (tiga) bulan, (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur,
tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung pangan masyarakat
dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4) sistem cadangan pangan melalui
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya.
Arah kebijakan Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian: (1) Menjamin
ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman untuk
mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah kesehatan dan gizi seimbang. (2)
Mengembangkan dan memperkuat kemampuan dalam pemupukan dan pengelolaan
cadangan pangan pemerintah dan masyarakat hingga di tingkat desa dan atau
komunitas. (3) Meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan
lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.
Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang
berbasis pada pangan local: (1) Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi
seimbang. (2) Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: peningkatan
kualitas dan pengembangan infrastruktur distribusi, peningkatan dan pengembangan
sarana dan prasarana pasca panen, pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi
antar dan keluar daerah dan membuka daerah yang terisolir, pengembangan sistem
informasi pasar, penguatan lembaga pemasaran daerah, pengurangan hambatan
distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, pencegahan kasus penimbunan
komoditas pangan oleh spekulan, pemberian bantuan pangan pada kelompok
masyarakat miskin dan yang terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan
tepat produk. (3) Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : pemberlakuan Harga
Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis, perlindungan harga domestik
dari pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota impor, dan/ pajak ekspor,
kuota ekspor pada komoditas pangan strategis, pengembangan Buffer stock
Management (pembelian oleh pemerintah pada waktu panen dan operasi pasar pada
waktu paceklik) pada komoditas pangan strategis, pencegahan impor dan/ ekspor illegal
komoditas pangan, peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan
kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis, peningkatan
peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha ekonomi pedesaan,
pengembangan sistem tunda jual, pengembangan sistem informasi dan monitoring
produksi, konsumsi, harga dan stok minimal bulanan. (4) Peningkatan efisiensi dan
efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan
miskin (misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok
khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang.
2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang
rendah dalam mengakses pangan ada pada golongan masyarakat miskin, yang
diperkirakan sekitar 14.7 persen atau sekitar 34.9 juta pada tahun 2008. Dari jumlah
penduduk miskin tersebut, sekitar 68 persen tinggal di pedesaan damana umumnya
adala petani.
Kelancaran distribusi dan akses pangan. Masalah yang dijumpai adalah : (1)
infrastruktur distribusi, (2) sarana dan prasarana pasca panen, (3) pemasaran dan
distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah, (4) sistem informasi pasar, (5)
keterbatasan Lembaga pemasaran daerah, (6) hambatan distribusi karena pungutan
resmi dan tidak resmi, (7) kasus penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8)
adanya penurunan akses pangan pangan karena terkena bencana.
Penjaminan Stabilitas Harga Pangan. Isu ini stabilitas harga pangan penting karena : (1)
masa panen yang tidak merata sepanjang bulan, sehigga harga tinggi pada masa panen
dan rendah pada waktu musim panen, (b) harga pangan dunia semakin tidak
menentu,dan indonesa sangat rentang terhadap pengaruh pasar dunia. Disamping itu
dengan adanya stabilitas harga pangan akan menguatkan posisi tawar petani dan
menjamin akses pangan masyarakat.
Arah kebijakan Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan: (1)
Meningkatkan daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin. (2)
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan melalui
pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan hambatan distribusi
pangan antar daerah. (3) Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan
pemasaran pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong peningkatan
nilai tambah. (4) Meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan
ekonomi perdesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada
kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan.
Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang
berbasis pada pangan local: (1) Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi
seimbang. (2) Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: peningkatan
kualitas dan pengembangan infrastruktur distribusi, peningkatan dan pengembangan
sarana dan prasarana pasca panen, pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi
antar dan keluar daerah dan membuka daerah yang terisolir, pengembangan sistem
informasi pasar, penguatan lembaga pemasaran daerah, pengurangan hambatan
distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, pencegahan kasus penimbunan
komoditas pangan oleh spekulan, pemberian bantuan pangan pada kelompok
masyarakat miskin dan yang terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan
tepat produk. (3) Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : pemberlakuan Harga
Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis, perlindungan harga domestik
dari pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota impor, dan/ pajak ekspor,
kuota ekspor pada komoditas pangan strategis, pengembangan Buffer stock
Management (pembelian oleh pemerintah pada waktu panen dan operasi pasar pada
waktu paceklik) pada komoditas pangan strategis, pencegahan impor dan/ ekspor illegal
komoditas pangan, peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan
kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis, peningkatan
peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha ekonomi pedesaan,
pengembangan sistem tunda jual, pengembangan sistem informasi dan monitoring
produksi, konsumsi, harga dan stok minimal bulanan. (4) Peningkatan efisiensi dan
efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan
miskin (misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok
khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang.
3.6 Beberapa Contoh Makanan Hasil Diversifikasi Pangan
Jagung Instan Nixtamalisasi
Cara pembuatannya yaitu jagung pipil direbus dengan air mendidih dengan
perbandingan 1:3 selama 105 menit dengan tambahan kapur 3% berat jagung. jagung
dicuci dengan air panas 60 drajat Celcius sebanyak 3 kali lipat berat jagung awal,
ditiriskan, dipipihkan, dikeringkan, digiling, diayak lolos 60 mesh. Penyajiannya untuk
membuat bubur, didihkan air sebanyak 3 kali atau lebih berat tepung jagung. Tepung
jagung dimasukan pelan-pelan sambil diaduk kuat hingga matang dalam 5 menit.
Penyedapnya dapat ditambahkan menurut keperluan (Pusat Studi Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor, 2004).

Beras Jagung Instan


Berdasarkan data pada tahun 2002 dilaporkan bahwa produksi beras nasional adalah
30 juta ton, sementara kebutuhannya adalah 33 juta ton. Oleh karena itu komiditi
sumber karbohidrat non beras perlu dikembangkan sebagai makanan pokok (Pusat
Studi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor , 2004). Salah satu produk yang dapat
dikembangkan adalah beras jagung instan. Beras jagung instan adalah beras jagung
yang siap dimasak menjadi nasi jagung instan. Produk yang memiliki rasa sama dengan
nasi jagung yang diolah secara tradisional ini siap dimasak dalam waktu 5 menit dan
telah dikembangkan oleh peneliti PSPG IPB. Nasi jagung yang dihasilkan dapat
dikonsumsi bersama dengan lauk pauk dan sayur, dibuat nasi jagung goreng, nasi
jagung uduk dan risotto nasi jagung (Pusat Studi Pangan dan Gizi Institut Pertanian
Bogor 2004).

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Tingginya konsumsi beras di Indonesia menyebabkan diterapkannya kebijakan impor
yang menyiksa petani dan mengancam kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan
diversifikasi pangan untuk mengatasi tingginya konsumsi beras.
Penganekaragaman pangan bukan saja dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan
masyarakat terhadap beras, tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi makanan rakyat
dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Dengan upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk
menggantikan atau setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu utama,
dan membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional.
Kemandirian ketahanan pangan dalam era globalisasi hanya dapat diwujudkan tatkala
paradigma pembangunan yang dikembangkan baik di pusat maupun di daerah mampu
memadukan antara tuntutan global dengan pemberdayaan masyarakat.
Saran
Perlu dilakukan perubahan pola konsumsi pangan pada masyarakat melalui upaya
diversifikasi konsumsi
Perlu dilakukan upaya promosi dan penyadaran melalui program Komunikasi, Informasi
dan Edukasi tentang diversifikasi konsumsi pangan pada masyarakat.
Perlu dilakukan kajian mendalam terhadap upaya diversifikasi konsumsi pada
masyarakat sehingga dapat dirumuskan langkah yang efektif dan efisien dalam
membentuk pola konsumsi masyarakat yang beraneka ragam.

Anda mungkin juga menyukai