memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsinya sehingga tidak terfokus pada satu jenis. Di
Indonesia, diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memvariasikan konsumsi masyarakat
Indonesia agar tidak terfokus pada nasi.[1] Indonesia memiliki beragam hasil pertanian yang
sebenarnya bisa difungsikan sebagai makanan pokok seperti sukun, ubi, talas, dan sebagainya
yang dapat menjadi faktor pendukung utama diversifikasi pangan.[2]Diversifikasi pangan pada
pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara untuk menuju swasembada beras dengan
minimalisasi konsumsi beras sehingga total konsumsi tidak melebihi produksi. Definisi
diversifikasi pangan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan.[3]
Diversifikasi pangan juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat
sehingga nutrisi yang diterim
Meski produksi beras dalam negeri dianggap cukup, impor tak bisa benar-benar bisa
dihapuskan. Beras yang diimpor adalah jenis premium atau khusus untuk kebutuhan hotel,
restoran, dan kafe.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, Kamis
(16/3/2017), beras impor yang masuk sepanjang periode Januari-Februari 2017 yakni
sebesar 14.473 ton dengan nilai US$ 11,94 juta. Impor tersebut naik dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya di mana impornya tercatat sebesar 2.000 ton dengan
nilai US$ 1,08 juta.
Beras impor tersebut paling banyak masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok sebesar 7.250
ton, Pelabuhan Tanjung Perak 5.723 ton, Pelabuhan Belawan 1.000 ton, dan Pelabuhan
Bitung 500 ton.
Negara Indonesia termasuk Negara yang kaya akan sumber daya alam yang berlimpah ruah.
Dengan kesuburan tanahnya, Indonesia menjadi Negara ke-3 sebagai produsen bahan pangan
di dunia setelah Negara China dan India dengan kontribusi 8,5 %.
Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor
pertanian sebagai mata pencaharian. Namun, petani Indonesia bukanlah mereka yang tingkat
kesejahteraannya tinggi tetapi, mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan
terpinggirkan serta sering dirugikan oleh maslah kebijakan pemberasan yang dilakukan oleh
pemerintah.
Beras merupakan komoditas pertanian yang memiliki peran penting di Indonesia, selain
sebagai sumber makanan pokok beras juga sebagai penentu bagi kondisi stabilitas sosial
politik. Namun, dengan pertumbuhan penduduk yang mencapai 237 juta jiwa membuat sebuah
Negara agraris seperti Indonesia masih belum mampu meyediakan kebutuhan pangan dalam
negeri sendiri dan pemerintah masih harus mengimpor dari Negara lain. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :
a. Faktor pertama menjelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara terbesar di dunia
sebagai pengkosumsi beras terbesar.
b. Faktor kedua menjelakan tentang perubahan iklim
c. Faktor ketiga menjelaskan tentang lahan pertanian di Indonesia yang semakin sempit.
d. Faktor ke empat menjelaskan tetang mahalnya biaya transportasi.
Untuk menciptakan ketahanan pangan dan mengurangi dampak dari ketergantungan impor
pangan Negara Indonesia yang di akibatkan oleh beberapa faktor seperti yang dijelaskan diatas,
maka di perlukan beberapa usaha sebagai berikut:
a. Memajukan teknologi sektor pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam
negeri, karena saat ini teknologi pertanian di Indonesia masih sangat tertinggal dari Negara-
negara lain.
b. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan benih varietas unggul yang tahan terhadap
perubahn iklim dan berumur sedang.
c. Memperlancar arus distribusi hasi pertanian sehingga dapat tersalurkan keseluruh penjuru
nusantara dengan harga yang terjangkau sampai ketangan rakyat.
d. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen.
e. Pemerintah memaksimalkan penyerapan beras dari petani local untuk ketahanan pangan
nasional, karena saat ini Bulog selalu impor saat stok produknya semakin menipis.
f. Memberikan dukungan kepada pelembagaan organisasi petani komoditas pangan yaitu
kelompok tani koperasi dan ormas tani.
Dari beberapa usaha yang di nyatakan di atas memeberikan kemungkinan besar jika usaha-
usaha tersebut dilakukan seoptimal mungkin maka akan bisa mengurangi angka impor pangan
Negara Indonesia karena jika dilihat dari asumsi yang menjadikan impor beras sebagai ujung
tombak bagi terwujudnya ketahanan pangan dan ketersediaan pangan merupakan logika yang
salah dalam pemenuhan kebutuhan, maksud untuk mengamankan keersediaan pangan
kebijakan impor beras, justru merupakan pengabaian terhadap produksi beras dalam negeri dan
nantinya akan berimplikasi pada kesejahteraan petani. Hal ini juga mempelihatkan bahwa
pemerintah lebih menyukai cara instan untuk memenuhi persediaan nasional dengan kebijakan
impor beras yang ternyata tanpa banyak memperlihatkan kesejahteraan rakyat dan potensi
pertanian. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan impor beras merupakan indikasi pengabaian
kemandirian pangan dan tingkat kesejahteraan.
Proses diversifikasi pangan masih sangat sulit diterapkan meskipun rogram tersebut memiliki
beberapa dampak positif. Salah satu kesulitan tersebut disebabkan oleh pola pikir
masyarakat.Berdasarkan hal tersebut penyusun perlu untuk membahas lebih lanjut mengenai
program diversifikasi pangan di Indonesia berdasarkan analisis jurnal.Sehingga permasalahan
yang terjadi dalam program diversifikasi pangan dapat diketahui dan diberikan alternatif
pemecahan masalah.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengetahui keberlangsungan program
diversifikasi pangan di Indonesia khususnya beras berdasarkan analisis jurnal yang berjudul
Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras.
Menurut Suhardjo dan Martianto (1992) semakin beragam konsumsi pangan maka kualitas
pangan yang dikonsumsi semakin baik. Oleh karena itu dimensi diversifikasi pangan tidak
hanya terbatas pada pada diversifikasi konsumsi makanan pokok saja, tetapi juga makanan
pendamping.
Diversifikasi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh
penambahan konsumsi bahan pangan non-beras diiringi dengan ditambahnya makanan
pendamping. Diversifikasi konsumsi pangan juga dapat didefinisikan sebagai jumlah jenis
makanan yang dikonsumsi, sehingga semakin banyak jenis makanan yang dikonsumsi akan
semakin beranekaragam. Dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada
pangan pokok tetapi juga pangan jenis lainnya, karena konteks diversifikasi tersebut adalah
meningkatkan mutu gizi masyarakat secara kualitas dan kuantitas, sebagai usaha untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Menurut Hutabarat dan Pasandaran (1987), Pasandaran dan Simatupang (1990) dan Amang
dan Sawit (2001), untuk mengembangkan diversifikasi pangan perlu dilakukan upaya
melalui:
Ketergantungan akan beras yang masih tinggi dikalangan masyarakat dan meningkatnya
tingkat partisipasi dan konsumsi mie secara signifikan menjadikan upaya diversifikasi
konsumsi pangan seperti mengalami stagnansi dan salah arah. Banyak faktor yang
mempengaruhi hal tersebut dan diantara faktor tersebut saling berkaitan satu dengan yang
lain. Pada hakekatnya faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan
adalah sama dengan dengan faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu sosial,
budaya, ekonomi, pengetahuan, ketersediaan pangan dan lain-lainnya, namun setiap orang
mempunyai penekanan yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan oleh Hardjana (1994)
bahwa dalam hal konsumsi pangan, konsumen bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan
ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti kebutuhan,
kepentingan dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial.
Soehardjo (1995) menekankan bahwa walaupun selera dan pilihan konsumen didasari pada
nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya, agama dan pengetahuan, namun tampaknya unsur-unsur
prestise menjadi sangat menonjol. Banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya
diversifikasi konsumsi pangan. Ariani (2006) menunjukkan kendala tersebut antara lain:
Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat nasional, regional
(daerah) maupun keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-
an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut. Saat itu
pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras sehingga
yang menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga
pernah populer istilahberas jagung.Ada dua arti dari istilah itu, yaitu campuran beras
dengan jagung, dan penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung.
Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu. Pada akhir
Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan
melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan
Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud dari
instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan
mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya
diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara
keseluruhan. Sehingga banyak bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak
yang menggunakan bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar,
dengan harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya usaha
tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan mengubah pola
pangan pokok masyarakat.
Pembinaannya pun tidak terbatas pada aspek budi daya tetapi juga meliputi aspek pengolahan
dan penanganan pasca panen agar pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi selera
masyarakat (Program DPG Pusat, 1998). Departemen Kesehatan juga melaksanakan program
diversifikasi konsumsi pangan secara tidak langsung melalui program perbaikan gizi yang
tujuan utamanya untuk menurunkan angka prevalensi Kurang Energi Protein (KEP), Kurang
Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia
Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait dengan diversifikasi
konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan dan dilakukan
oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh
Departemen Kesehatan, program diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian
(1993-1998) dan lain-lain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet
Pembangunan VI juga dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan
slogan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pada tahun 1996 telah lahir Undang-
undang no. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang
Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh Presiden (Suyono, 2002). Kepres ini
kemudian diperbaharui melalui Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan,
dimana mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan termasuk
tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.
Dalam usaha perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan diversifikasi konsumsi
pangan pada khususnya juga dituangkan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui Program Peningkatan Ketahanan
Pangan. Program ini salah satunya bertujuan untuk menjamin peningkatan produksi dan
konsumsi yang lebih beragam (Krisnamurthi, 2003). Dari tahun ke tahun pola konsumsi
masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan.
Berikut ini dipaparkan pola konsumsi zat gizi pada masyarakat di Indonesia pada Konsumsi
Sumber Karbohidrat. Tingkat partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah cukup tinggi,
yaitu rata-rata hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua rumah tangga telah
mengkonsumsi beras (Tabel 2). Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah
tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga di pedesaan, walaupun umumnya tingkat
partisipasi di desa masih lebih rendah daripada di kota. Bila dilihat antar pulau, maka tingkat
partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau yang satu dengan pulau yang lain,
yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi beras yang masih rendah hanya terjadi di
pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80
persen.
Jumlah orang yang mengkonsumsi beras selama tahun 1990 sampai 1996 dapat dikatakan
relatif tidak berubah, karena perubahannya masih sangat kecil, dibawah satu persen.
Kecenderungan tersebut terjadi di semua pulau, baik di kota maupun di desa. Perbedaanya
adalah kalau di kota, tingkat partisipasi konsumsi beras pada kurun waktu tersebut
menunjukkan sedikit penurunan, sebaliknya di desa masih menunjukkan peningkatan. Laju
tingkat partisipasi konsumsi beras secara agregat di kota tahun 1990-1996 adalah -0,1 persen
per tiga tahun, sedangkan untuk desa lajunya 1,1 persen per tiga tahun.
Berdasarkan keragaman produk yang ada, seharusnya tingkat partisipasi konsumsi pada
rumah tangga perkotaan menurun secara signifikan, dikarenakan di wilayah ini banyak
terdapat produk-produk alternatif yang dapat berperan sebagai subsitusi beras, baik dalam
bentuk mentah maupun olahan, tersedia dalam berbagai kemasan yang praktis, mudah
diperoleh dan dihidangkan. Kenyataanya beras masih mendominasi dalam pola konsumsi
pangan masyarakat, sehingga perubahannya sangat kecil. Berdasarkan data perkembangan
tingkat partisipasi konsumsi beras tersebut dapat diartikan bahwa program diversifikasi
konsumsi pangan yang salah satu tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dapat
dibilang masih jalan di tempat.
Tingkat konsumsi beras sekitar 100 kg/kapita/tahun walaupun cenderung menurun dari tahun
ke tahun dengan laju penurunan sebesar 4,2 persen pada periode 1999-2004 (Tabel 3).
Demikian pula untuk konsumsi umbi-umbian juga cenderung menurun. Peningkatan laju
konsumsi ubi jalar sebetulnya lebih disebabkan peningkatan konsumsi pada tahun 2004, yaitu
dari 2,7 kg menjadi 3,3 kg/kapita/tahun. Selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring
dengan semakin maraknya jenis pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta dapat
diperoleh dengan mudah. Belum lagi adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang jelas
berpengaruh pula pada gaya makan. Mungkin orang akan gengsi mengkonsumsi jagung dan
ubi kayu karena komoditas tersebut sudah mempunyai trade mark sebagai barang inferior,
yang hanya cocok untuk kalangan bawah.
Masyarakat mengalihkan fungsi jagung dan ubi kayu, tidak lagi sebagai makanan pokok
tetapi sebagai makanan selingan atau snack, sehingga jumlah yang dikonsumsi juga sangat
terbatas. Keragaan data tersebut menunjukkan bahwa pangan lokal seperti jagung dan ubi
kayu telah ditinggalkan oleh masyarakat, dan pangan global seperti mie menunjukkan
kebalikannya. Harapan diversifikasi konsumsi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan
lokal, maka tampaknya salah jalan, arah diversifikasi konsumsi pangan telah melenceng.
Sebaliknya dengan maraknya jenis mie dengan berbagai harga, rasa dan jenis telah mampu
mempengaruhi konsumen untuk mencoba dan menyenanginya. Konsumsi mi ini terus
meningkat dari tahun ke tahun, bahkan rata-rata konsumsi mi instant mencapai 28 bungkus
per tahun
Perkembangan menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah cenderung berubahnya
pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di
pedesaan, yang mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk
mie kering, mie basah, mie instan.Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum adalah
komoditas impor dan belum diproduksi di Indonesia, sehingga arah perubahan pola konsumsi
itu dapat menimbulkan ketergantungan pangan pada impor.
Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara total
tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat sehingga masyarakat akan
mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Pangan yang dikonsumsi
akan beragam, bergizi dan berimbang. Di Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur
diversifikasi konsumsi pangan termasuk pangan pokok yang dikenal dengan Pola Pangan
Harapan (PPH). PPH yang diharapkan mencapai angka 100, namun PPH penduduk Indonesia
sampai pada tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan melalui PP No. 22 tahun
2009, pada tahun 2015 PPH mencapai 95, yang berarti setiap tahun harus meningkat sekitar
2,5. Dalam konsep PPH, setiap orang untuk setiap hari dianjurkan mengkonsumsi pangan
seperti berikut:
1. Padi-padian 275 gr
2. Umbi-umbian 100 gr
3. Pangan hewani150 gr
4. Minyak+Lemak 20 gr
5. Buah/biji berminyak 10 gr
6. Kacang-kacangan 35 gr
7. Gula : 30,0 gr
8. Sayur + buah : 250 gr
Data tersebut mengindikasikan bahwa dalam setahun kebutuhan dari kelompok padi-padian
yang terdiri beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk sebesar 99
kg/kapita.
Memperhatikan data pada Tabel 3 dengan menjumlah konsumsi beras, jagung dan terigu
untuk tahun 2008 mencapai 119 kg/kapita, yang berarti lebih besar dari seharusnya. Belum
lagi bila dilihat proporsi dari ketiga jenis pangan tersebut yang sangat bisa pada beras.
Upaya diversifikasi konsumsi pangan dari padi-padian dapat dilakukan dengan mengurangi
konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan dari komoditas jagung. Untuk terigu,
karena bahan baku gandum harus diimpor maka sebaiknya konsumsi terigu dan turunannya
dikurangi. Sementara konsumsi dari umbi-umbian seharusnya sebesar 36 kg/kapita/tahun
yang berasal dari ubikayu, ubijalar, sagu dan umbi-umbi lainnya. Namun kenyataannya 71
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN: 978-979-8940-29-3 baru 16,2
kg/kapita/tahun yang berarti masih kurang dari setengahnya.
Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu kembali ke masalah
desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cenderung
menurun namun kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60 persen sedangkan umbi-
umbian baru menyumbang energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek
yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi
makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan
pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior
menjadi pangan normal bahkan superior.
Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu pilar ketahanan pangan masyarakat.
Langkah ini hanya membutuhkan waktu yang lebih pendek jika dibandingkan dengan
program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Diversifikasi juga mendorong
masyarakat (petani) lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam
tanaman yang dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi, seperti jagung, ketela, dan
umbi-umbian lainnya.
Pola konsumsi masyarakat yang didominasi oleh beras telah menyebabkan rendahnya daya
terima terhadap pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti jagung, singkong maupun sagu.
Padahal, ditinjau dari potensi sumberdaya lokal wilayah, sumberdaya alam kita memiliki
potensi ketersediaan pangan yang beranekaragam, baik pangan untuk sumber karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kita bisa mencermati hal ini, dimana setiap wilayah di
Indonesia mempunyai sumber pangan lokal tersendiri seperti Madura dan Nusa Tenggara
dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu, Sumatera dengan ubi, Jawa dan Bali serta
Sulawesi Selatan dengan berasnya.
Upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk menggantikan atau
setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu utama, dan membangkitkan
ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan
pangan nasional. Selain konsumsi yang beragam juga pola produksinya akan ikut beragam.
Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kemelut salah satu bahan pangan pokok (beras) kita
tidak akan kerepotan, misal repot impor beras yang dapat menimbulkan eksploitasi ekonomi-
politik oleh negara-negara eksportir.
Diversifikasi pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena tidak ada satu pun
makanan di dunia ini yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh, selain ASI.
Pola konsumsi yang beraneka ragam, maka kebutuhan zat gizi masyarakat dapat terpenuhi
dari berbagai jenis makanan yang dikonsumsi. Terutama kebutuhan zat gizi mikro. Dengan
pola konsumsi yang beraneka ragam, kebutuhan akan vitamin dan mineral dapat terpenuhi.
Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu kembali ke masalah
desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cenderung
menurun namun kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60 persen sedangkan umbi-
umbian baru menyumbang energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek
yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi
makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan
pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior
menjadi pangan normal bahkan superior. Seringkali pemerintah hanya menganjurkan
masyarakat untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh
tanpa didukung oleh ketersediaan bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam
memenuhi permintaan konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan
program diversifikasi pangan adalah melaksanakan product development. Produk ini
merupakan upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara lain sangat
praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan mudah
diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan setiap anggota rumah tangga
dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan maka bentuk makanan yang siap olah
dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.
Menurut Grubben dan Soetjipto (1996) jagung dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai
industri pangan, minuman, kimia dan farmasi serta industri lainnya. Dari 100 kg jagung dapat
diperoleh 3.5-4 kg minyak jagung, 27-30 kg bungkil, pakan, gluten, serat dan sebagainya,
serta 64-67 kg pati, dan sisanya 15-25 kg hilang atau terbuang. Jagung berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan baku diversifikasi pangan karena mengandung Karbohidrat
yang setara dengan serealia lainnya dan fisikokimia dari pati jagung memiliki karakteristik
fungsional sebagai dietary fiber, beta karotin dan besi
Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya
diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara
keseluruhan. Sehingga banyak bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak
yang menggunakan bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar,
dengan harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya usaha
tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan mengubah pola
pangan pokok masyarakat.
Dari data yang ada tingkat partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah cukup tinggi yaitu
rata-rata hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua rumah tangga baik di
perkotaan maupun pedesaan telah mengkonsumsi beras. Berdasarkan data perkembangan
tingkat partisipasi konsumsi beras tersebut dapat diartikan bahwa program diversifikasi
konsumsi pangan yang salah satu tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dapat
dibilang masih jalan di tempat.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis ajukan untuk permasalahan pada makalah ini berupa:
1. Pemerintah hendaknya membuat program dalam produksi tanaman padi dan makanan
pokok seperti sagu, gandum dan lain-lain sehingga produksi diantara semua bahan
makanan pokok seimbang.
2. Meningkatkan angka komoditi gandum dengan menurunkan harga beli gandum
sehingga masyarakat mampu untuk membeli dan mengkonsumsi gandum.
3. Memperluas lahan untuk tanaman makanan pokok selain beras sehingga produksinya
semakin tinggi.
4. Menurunkan angka impor beras yang saat ini masih tinggi.
Sejak tahun 1990-an, terjadi pergeseran bahan pangan pokok. Beras mulai disaingi oleh
gandum yang permintaannya terus meningkat. Semakin banyak rakyat Indonesia yang
mengkonsumsi roti dan mie. Pergeseran ke gandum seharusnya mengakibatkan
konsumsi beras menurun dan konsumsi gandum meningkat. Tetapi dalam kenyataan,
konsumsi beras tetap tinggi yaitu 130 kg/kapita/tahun dan konsumsi tepung gandum
atau produk berbahan baku tepung terigu juga meningkat. Tidak ada yang salah dalam
peningkatan konsumsi gandum sebagai bahan pangan berupa tepung, namun
kecenderungan ini harus diikuti dengan perubahan dalam prioritas insentif dan kebijakan
serta fasilitasi pemerintah dalam upaya diversifikasi produksi sumber bahan pangan
yang dapat diolah menjadi tepung (Azahari, 2008).
Sebenarnya, upaya diversifikasi pangan telah lama dicanangkan sejak tahun 1970 jauh
sebelum swasembada beras diraih. Pada saat Pelita IV, pemerintah telah memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap diversifikasi pertanian dan produk dengan
menempatkan diversifikasi di tangga atas diikuti oleh intensifikasi, ekstensifikasi dan
rehabilitasi (Manwan, 1994). Bahkan menurut Rahardjo (1993), upaya
penganekaragaman atau diversifikasi pangan sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-
an, di mana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut.
Kemudian di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijakan
diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1974 Tentang
Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres Nomor
20 tahun 1979. Maksud dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan
jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat, baik secara kualitas maupun
kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak mungkin
terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana, 2003).
Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah tersebut
merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai faktor dalam ekologi
masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan budaya. Jumlah dari variasi
makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok
umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe
tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan.
Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk
tingkat ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan
distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat
pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus
pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989).
Menurut Jelliffe & Jelliffe (1989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel ekologi II
dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian hingga konsumsi
pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya
dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini sangat diperlukan untuk
menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya.
Fungsi makanan sebagai sumber energi banyak diperoleh dari bahan bahan makanan
yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan
sumber. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang memungkin manusia dapt
beraktifitas sehari hari. Sebanyak 60-70% kebetuhan energi tubuh manusia diperoleh
dari karbohidrat, sisanya berasal dari protein dan lemak. Sumber utama karbohidrat
diperoleh dari beras (hasil olahannya), jagung, ubi, dll (Rimbawan dan Siagian,2004).
Hardinsyah, dkk (1989) sumber energi lainnya adalah protein , dimana fungsi protein
dalam tubuh berguna sebagi sumber pembangun atau pertumbuhan, pemeliharaan
jaringan yang rusak, pengatur serta untuk mempertahan kan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit tertentu. Sumber utama protein berasal dari nabati (berasal dari
tumbuhan) dan hewani (daging, susu dan hasil olahannya).
Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976. Rantai pangan
WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga dikonsumsi yang nantinya
akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Diantara rantai pangan tersebut
terdapat variabel ketersediaan pangan. Menurut DKP (2006) ketersediaan pangan dapat
dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1) produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan
cadangan pangan. Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai
peluang besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga dipasar
internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak mencukupi dan 4)
adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor pangan harus dilakukan
selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi nasional. Oleh karena itu,
untuk mengatasi ketergantungan impor, maka harus meningkatkan produksi pangan
nasional sehingga dapat mencapai swasembada pangan artinya mampu mencukupi
kebutuhan pangan secara mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh
dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi (Husodo & Muchtadi 2004 diacu dalam
Amadona 2003).
2.6 Diversifikasi
Diversifikasi adalah usaha untuk meningkatkan jumlah dan mutu hasil produksi
dengan cara menambah jenis produksi serta dengan cara penganekaragaman faktor
produksi.
Penganekaragaman pangan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui peningkatan mutu gizi makanan dengan pola konsumsi
yang lebih beragam atau usaha untuk lebih menganekaragamkan jenis konsumsi dan
meningkatkan mutu gizi makanan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Pengertian penganekaragaman pangan ini dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama, penganekaragaman horizontal, yaitu upaya untuk menganekaragamkan
konsumsi dengan memperbanyak macam komoditas pangan dan upaya meningkatkan
produksi dari masing-masing komoditas tersebut.
Sebagai contoh, pengaturan komposisi makanan sehari-hari kita di samping beras, juga
umbi-umbian, sagu, kacang-kacangan, ikan, sayur, buah dan lain-lainnya. Kedua,
penganekaragaman vertikal, yaitu upaya untuk mengolah komoditas pangan, terutama
non beras, sehingga mempunyai nilai tambah dari segi ekonomi, nutrisi maupun sosial.
Misalnya mengolah jagung menjadi corn flake, ubi kayu diolah menjadi berbagai
macam makanan, baik makanan pokok, maupun jajanan, seperti misalnya kripik
(cassava chips).
Mutu gizi makanan penduduk ditentukan oleh jumlah dan macam zat-zat gizi yang
dimakan. Makin beragam sumber zat-zat gizi (dari beragam bahan pangan) yang
dikonsumsi seseorang makin besar kemungkinan terpenuhi kebutuhan gizinya. Dengan
demikian, dapat kita mengerti betapa pentingnya program penganekaragaman pangan
ini. Untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan:
2.7 Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (UU
No 7 tahun 1996 tentang Pangan).
Definisi pangan menurut UU No. 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan,
bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa dan
tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara alamiah tidak selalu
bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan dapat mengandung
senyawa yang merugikan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa
yang dapat merugikan kesehatan dan tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan
pangan dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama
pengolahan maupun penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara
alamiah. Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP)
atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu lainnya ke dalam
proses pengolahan pangan (Hardiansyah dan Sumali, 2001). Berdasarkan cara
perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 (Saparinto dan Hidayati, 2006) :
1. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar
dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung.
2. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi,
pisang goreng dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan
olahan siap saji dan tidak siap saji.
Pangan olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan siap
disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.
Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah mengalami
proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutkan untuk
dapat dimakan atau minuman.
3. Pangan Olahan Tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok
tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh:
ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang
yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.
2.8 Kemandirian Pangan
Ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan memiliki definisinya sendiri.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kemandirian Pangan adalah
kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup
sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Sedangkan,
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan
hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal. (UU No. 18 Tahun 2012).
Ketahanan pangan bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan pangan.
mengembangkan diversifikasi pangan, mengembangkan kelembagaan pangan, dan
mengembangkan usaha pegelolaan pangan. Untuk itu, terdapat beberapa indikator
terwujudnya ketahanan pangan yang kokoh, diantaranya:
BAB III
PEMBAHASAN
Tingginya konsumsi beras mengakibatkan permintaan beras di dalam negeri tinggi dan
terkadang tidak seimbang dengan ketersediaan. Setidaknya terdapat dua alasan yakni
tingginya impor yang merugikan petani dan aspek kesehatan. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), pada 2008 Indonesia memproduksi padi sebesar 60,33 juta ton
gabah kering giling (GKG). Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2007 sebesar 3,17 juta ton atau 5,54 persen.
Walaupun produksi beras Indonesia tinggi, hal ini juga diimbangi dengan tingginya
konsumsi yang akhirnya mengarahkan kebijakan pemerintah untuk melakukan impor
beras. Kebijakan impor dipilih pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam
negeri dan menekan harga agar tetap terjangkau konsumen. Hal ini jelas merugikan
petani. Data yang dikumpulkan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
selama tahun 1996 2003, Indonesia mengimpor beras rata rata 2,8 juta ton per tahun.
Pada 2007 impor beras Indonesia mencapai 1,5 juta ton dan baru pada tahun 2008
Indonesia bebas dari impor beras dengan klaim pemerintah sebagai tahun swasembada
beras.
Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan jalan keluar yang saat ini
dianggap paling baik untuk memecahkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan
pangan. Melalui penataan pola makan yang tidak hanya bergantung pada satu sumber
pangan memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, sehingga
dapat membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan secara nasional (Sadjad,2007).
Masalah gizi di negara yang sedang berkembang dipengaruhi oleh daerah dan musim.
Pola konsumsi makanan sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal
ini dapat dipengaruhi oleh agama, adat istiadat, tingkat urbanisasi dan faktor-faktor
lainnya. Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh baik terhadap produksi pangan nabati
maupun hewani serta bagaimana pola konsumsi mereka. Masalah gizi pada penduduk
yang tinggal di pedesaan akan berbeda dengan pola konsumsi masyarakat yang tinggal
di area perkotaan (Suhardjo,1996).
Beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat lebih memilih beras sebagai pangan
pokok karena: (1) pembagian beras bagi para pegawai negri, (2) beras tersedia dalam
pasaran dan mudah untuk didapatkan dan (3) adanya peningkatan daya beli
masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pada jangka waktu yang lama kebiasaan
mengkonsumsi beras semakin merambat ke daerah-daerah lainnya bahkan ke
pedesaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,1991).
Widyakarya pangan dan gizi tahun 1998 menyebutkan pengertian tentang diversifikasi
pangan sebagai berikut :
1. Diversifikasi pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini dimaksudkan
agar laju peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan, setidaknya seimbang
dengan kemampuan peningkatan produksi beras.
2. Diversifikasi pangan dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan penduduk
sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang.
Menurut Hafsah dalam Widowati dan Damardjati dalam Supadi (2004), pangan perlu
beragam karena beberapa alasan, yaitu:
Menurut Pasandaran dan Simatupang dalam Supadi (2004), diversifikasi pangan dapat
berjalan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri, khususnya yang
berlokasi di pedesaan. Ini berarti pembangunan agroindustri tersebut berbasis usaha
pertanian domestik, sehingga memiliki keterkaitan kuat dengan upaya memajukan
perekonomian pedesaan. Peran agroindustri di pedesaan sangat penting, selain
menyerap hasil pertanian dan meningkatkan nilai tambah komoditas juga menciptakan
kesempatan kerja baru di pedesaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan tentunya
dapat meningkatkan mutu gizi masyarakat.
Apabila diversifkasi pangan dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan persoalan-
persoalan pangan dapat diatasi. Pembangunan ketahanan pangan yang berbasis
sumberdaya dan kearifan lokal harus terus digali dan ditingkatkan, mengingat penduduk
terus bertambah dan aktivitas ekonomi pangan terus berkembang secara dinamis.
Ketahanan pangan yang mantap akan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi pembangunan. Tanpa ketahanan pangan yang mantap, tidak mungkin tersedia
sumberdaya manusia berkualitas tinggi yang sangat diperlukan sebagai motor
penggerak pembangunan. Ketahanan pangan yang mantap merupakan syarat bagi
stabilitas politik, sedangkan stabilitas politik merupakan syarat mutlak bagi pelaksanaan
pembangunan.
Adapun beberapa sebab mengapa diversifikasi ini harus dilakukan antara lain:
1. Jumlah penduduk Indonesia semakin lama semakin besar dengan potensi lahan
yang semakin bekurang merupakan potensi yang cukup besar, namun dengan
bertambahnya penduduk di Indonesia dengan cepat merupakan suatu
permasalahan.Walaupun tahun ini kita tidak melakukan impor beras, namun dengan
semakin sempitnya lahan pertanian karena konversi lahan maupun karena semakin
tingginya penurunan kualitas lahan, pasti semakin lama produksi akan semakin
menurun. Jika peningkatan pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan
peningkatan penyediaan bahan pangan, yang terjadi pasti kelaparan. Ketika ini
terjadi, mau tidak mau pemerintah harus mengeluarkan kebijakan impor beras
kembali. Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah
menjadi 2 kali lipat dan jumlahnya sekarang, menjadi 400 juta jiwa. Dengan
meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula peningkatan
konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang
akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari
2 kali jumlah kebutuhan saat ini. Di awal abad ke-20, selama 30 tahun penduduk
Indonesia bertambah 20 juta jiwa, dan diawal abad ke-21, selama 30 tahun
penduduk Indonesia bertambah hampir 200 juta jiwa. Penduduk Indonesia menjadi
5 kali lipat dalam waktu 100 tahun. Inilah alasan mengapa kemudian diversifikasi
pangan harus segera dilakukan (Husodo, 2003).
2. Produksi beras yang tidak selamanya akan bertahan. Sebelumnya sudah disebutkan
bahwa salah satu kendala dalam produksi beras adalah lahan yang semakin sempit.
Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan
sekitar 1,5% /tahun, sehingga mendorong permintaan pangan yang terus
meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luasnya
mencapai 7,7 juta ha, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan
Indonesia terutama beras, jagung, dan kedelai, sehingga perlu ditambah dengan
impor yang pada dekade terakhir jumlahnya meningkat. Produksi dan kebutuhan
beras pada tahun 2010 diperkirakan 32,65 juta ton dan 36,77 juta ton beras,
sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Demikian pula untuk tahun 2015
dan 2020 diprediksi terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun
2015 dan meningkat menjadi 7,49 juta ton beras pada tahun 2020. Untuk
menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen sekitar 13.500-15.000 ha
lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000 ha jika diasumsikan IP 150
persen. Konversi lahan sawah terutama di Jawa tidak terkendali, sehingga
mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional. Dalam periode 1981-1999
konversi lahan sawah nasional mencapai 1.628 ribu ha dimana sekitar 61,6% terjadi
di Jawa. Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya
beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi. Bahkan jika
dilihat pada 3 tahun terakhir atau periode 1999-2002 menunjukkan peningkatan
konversi lahan sawah rata-rata sekitar 187.720 ha/tahun. Potensi ketersediaan
lahan untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia adalah seluas 8,28 juta ha, terdiri
atas potensi sawah rawa 2,98 juta ha dan sawah non rawa 5,30 juta ha. Potensi
pengembangan sawah terluas terdapat di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, masing-
masing dengan luas 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Di Sulawesi hanya
mencakup sekitar 0,42 juta ha, Maluku dan Maluku Utara 0,24 juta ha, Nusa
Tenggara dan Bali 0,05 juta ha, dan Jawa hanya 0,014 juta ha. Strategi perluasan
sawah dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan potensial sawah di daerah irigasi,
optimalisasi lahan-lahan sawah terlantar terutama di daerah rawa pasang surut dan
lebak, dan perluasan sawah secara kawasan di daerah yang potensinya cukup luas
seperti di Papua dan Kalimantan.
Diversifikasi pangan saat ini adalah kunci keberhasilan kita dalam
mempertahankan ketahanan pangan. Hipocrates, seorang filosof Yunani menyatakan
bahwa makanan mempunyai manfaat penting untuk pemeliharaan kesehatan dan
penyembuhan penyakit. Dalam pernyataannya tersirat bahwa ada zat-zat tertentu dalam
makanan yang apabila dikonsumsi akan membantu membangun kesehatan seseorang.
Sebaliknya, apabila zat tersebut tidak diperoleh dari makanan yang dikonsumsi, maka
dapat menimbulkan penyakit. Kemudian hasil analisis kandungan gizi pada berbagai
jenis pangan menunjukan tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat gizi
yang lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi yang di butuhkan oleh manusia,
kecuali ASI. Itupun hanya untuk bayi yang berusia 4-6 bulan lebih dari usia itu
memerlukan makanan tambahanm (Forum Kerja Penganekaragaman pangan, 2003).
Oleh karena itu penting sekali upaya diversifikasikan pangan di dunia terutama di
negara Indonesia yang memiliki masalah yamg sangat kompeks di bidang pangan ini.
Bila orang sadar bahwa makanan beragam itu penting untuk kesehatan, maka
semestinya setiap orang akan makan makanan beragam setiap harinya. Kenyataan
tidaklah demikian. Meskipun mengerti banyak orang yang tidak dapat melakukannya.
Keterbatasan daya beli umumnya merupakan alasan utama mengapa orang tidak bisa
makan makanan secara beragam. Karena tidak semua orang memiliki kemampuan
yang sama dalam mengakses pangan secara beragam, maka diperlukan upaya-upaya
yang mendorong dan memfasilitasi agar setiap orang memperoleh pangan dalam
jumlah dan keragaman yang cukup (Forum Kerja Penganekaragaman Pangan, 2003).
Selama ini yang terjadi pada sistem ketahanan pangan kita adalah masih rendahnya
tingkat diversifikasi pangan, dimana mayoritas masyarakat kita masih menggantungkan
beras sebagai sumber pangan utamanya. Padahal, dalam konsep ketahanan pangan,
diversifikasi pangan merupakan salah satu syarat untuk mencapai ketahanan pangan
yang tangguh. Dan saat ini, mendiversifikasi pangan merupakan langkah yang tepat dan
urgen mengingat produksi maupun distribusi beras seringkali tersendat.
Diversifikasi pangan dipilih sebagai langkah utama selain waktu yang diperlukan lebih
pendek jika dibandingkan dengan program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi
juga hal ini juga untuk mendorong masyarakat (petani) lebih kreatif dalam
memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang dapat menjadi bahan
makanan pokok selain padi, seperti jagung, ketela, dan umbi-umbian lainnya.
Selain itu, melalui penataan pola konsumsi yang tidak tergantung pada satu sumber
pangan, memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri,
menaikkan pamor pangan lokal untuk menggantikan atau setidak-tidaknya
berdampingan dengan beras menjadi menu utama, dan membangkitkan ketahanan
pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan
nasional. Selain konsumsi yang beragam juga pola produksinya akan ikut beragam.
Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kemelut salah satu bahan pangan pokok
(beras) kita tidak akan kerepotan, misal repot impor beras yang dapat menimbulkan
eksploitasi ekonomi-politik oleh negara-negara eksportir.
Pola konsumsi masyarakat yang didominasi oleh beras telah menyebabkan rendahnya
daya terima terhadap pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti jagung, singkong
maupun sagu. Padahal, ditinjau dari potensi sumberdaya lokal wilayah, sumberdaya
alam kita memiliki potensi ketersediaan pangan yang beranekaragam, baik pangan
untuk sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kita bisa mencermati hal
ini, dimana setiap wilayah di Indonesia mempunyai sumber pangan lokal tersendiri
seperti Madura dan Nusa Tenggara dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu,
Sumatera dengan ubi, Jawa dan Bali serta Sulawesi Selatan dengan berasnya.
Dengan upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk
menggantikan atau setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu utama,
dan membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional. Selain konsumsi yang beragam juga pola
produksinya akan ikut beragam. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kemelut salah
satu bahan pangan pokok (beras) kita tidak akan kerepotan, misal repot impor beras
yang dapat menimbulkan eksploitasi ekonomi-politik oleh negara-negara eksportir.
Diversifikasi pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Karena tidak ada satu
pun makanan di dunia ini yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh,
selain ASI. Dengan pola konsumsi yang beraneka ragam, maka kebutuhan zat gizi
masyarakat dapat terpenuhi dari berbagai jenis makanan yang dikonsumsi. Terutama
kebutuhan zat gizi mikro. Dengan pola konsumsi yang beraneka ragam, kebutuhan akan
vitamin dan mineral dapat terpenuhi.
Salah satu usaha untuk mendukung program peningkatan produksi pangan adalah
melalui diversifikasi usahatani yang merupakan salah satu program pokok
pembangunan pertanian. Program pengembangan diversifikasi usahatani di lahan
sawah dikaitkan dengan upaya peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja
dan penanggulangan kemiskinan, merupakan salah satu pilihan strategi yang tepat.
Strategi diversifikasi usahatani pada dasarnya adalah optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal).
3.3 Ketahanan Pangan dan Kemandirian
Globalisasi, merupakan tantangan yang harus dihadapi. Kaitannya dengan
ketahanan pangan adalah bagaimana mensinergikan aneka ragam hayati lokal sebagai
sumber pangan dengan tuntutan kebutuhan pasar global. Desentralisasi dan otonomi
daerah membuka peluang manajemen pembangunan, termasuk program ketahanan
pangan, untuk dapat tumbuh atas prakarsa dan inovasi daerahnya masing-masing
dengan berbagai kearifannya. Pada era otonomi daerah ini, aneka ragam budaya dan
hayati lokal merupakan peluang untuk melakukan akselerasi dalam mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
Tuntutan kebutuhan pasar global akan pangan bukan hanya dari seberapa cukup dan
tersedia pangan, akan tetapi sejauhmana kualitas kesehatan pangan yang aman dan
bergizi. Kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar global kembali ke alam merupakan
peluang untuk melakukan kemandirian pembangunan perdesaan sekaligus sebagai
momentum untuk melakukan pemberdayaan petani kita yang semula sangat tergantung
pada asupan produk kimiawi dan monokultur (beras) menuju pertanian inovatif yang
multikultur. Konsep kemandirian dalam ketahanan pangan bukanlah kemandirian dalam
keterisolasian. Dengan demikian, masalah kemandirian tidak didasarkan pada
paradigma ketergantungan yang banyak dibicarakan terutama di negara-negara
berkembang di Amerika latin tahun 1950 dan 1960-an.
Beberapa hasil kajian yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan persediaan
pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin perwujudan ketahanan
pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Beberapa kajian
menunjukkan bahwa jumlah proporsi rumah tangga yang deficit energy di setiap provinsi
masih tinggi.
Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahun 60-
an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan pangan pokok selain
beras. Instruksi dari pemerintah adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan
dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Secara implicit, upaya diversifikasi konsumsi pangan dapat diidentikkan dengan upaya
perbaikan gizi untuk mendapatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang
mampu berdaya saing. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan,
sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi dan beimbang.
3.5 Isu, Kebijakan dan Strategi Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Tahan Pangan
dan Gizi 2015
1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan cenderung melandai
dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen sedangkan pertambahan penduduk
sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum berkembangnya kapasitas produksi pangan daerah
dengan teknlogi sesifik lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani
umumnya skala kecil (kurang dari 0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK
menyebabkan aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber permodalan, teknologi, sarana
produksi dan pasar (d) banyak dijumpai kasus terhambatnya distribusi sarana produks
khususnya pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan teknologi akibat kurang insentif
ekonomi dan masalah sosial petani.
Kelestarian sumberdaya lahan dan air Saat ini tingkat alih fungs lahan pertanian ke non
pertanian (perumahan, perkantoran dll) di Indonesia diperkirakan 106.000 ha/5 th.
Kondisi sumber air di Indonesia cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air yakni
daerah aliran sungai (DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan
yang tidak terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus
bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3 per tahun. Sejak 10 tahun
terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman tanah longsor pada musim hujan
bergantian dengan kekeringan hebat pada musim kemarau. Bila laju degradasi terus
berjalan maka tahun 2015 diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m
per tahun.
Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga sering terjadi
pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, serta
sering timbulnya bencana yang tidak terduga (banjir, longsor, kekeringan, gempa)
memerlukan sistem pencadangan pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya : (1)
sistem cadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam
minimal 3 (tiga) bulan, (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur,
tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung pangan masyarakat
dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4) sistem cadangan pangan melalui
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya.
Arah kebijakan Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian: (1) Menjamin
ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman untuk
mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah kesehatan dan gizi seimbang. (2)
Mengembangkan dan memperkuat kemampuan dalam pemupukan dan pengelolaan
cadangan pangan pemerintah dan masyarakat hingga di tingkat desa dan atau
komunitas. (3) Meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan
lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.
Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang
berbasis pada pangan local: (1) Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi
seimbang. (2) Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: peningkatan
kualitas dan pengembangan infrastruktur distribusi, peningkatan dan pengembangan
sarana dan prasarana pasca panen, pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi
antar dan keluar daerah dan membuka daerah yang terisolir, pengembangan sistem
informasi pasar, penguatan lembaga pemasaran daerah, pengurangan hambatan
distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, pencegahan kasus penimbunan
komoditas pangan oleh spekulan, pemberian bantuan pangan pada kelompok
masyarakat miskin dan yang terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan
tepat produk. (3) Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : pemberlakuan Harga
Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis, perlindungan harga domestik
dari pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota impor, dan/ pajak ekspor,
kuota ekspor pada komoditas pangan strategis, pengembangan Buffer stock
Management (pembelian oleh pemerintah pada waktu panen dan operasi pasar pada
waktu paceklik) pada komoditas pangan strategis, pencegahan impor dan/ ekspor illegal
komoditas pangan, peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan
kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis, peningkatan
peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha ekonomi pedesaan,
pengembangan sistem tunda jual, pengembangan sistem informasi dan monitoring
produksi, konsumsi, harga dan stok minimal bulanan. (4) Peningkatan efisiensi dan
efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan
miskin (misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok
khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang.
2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang
rendah dalam mengakses pangan ada pada golongan masyarakat miskin, yang
diperkirakan sekitar 14.7 persen atau sekitar 34.9 juta pada tahun 2008. Dari jumlah
penduduk miskin tersebut, sekitar 68 persen tinggal di pedesaan damana umumnya
adala petani.
Kelancaran distribusi dan akses pangan. Masalah yang dijumpai adalah : (1)
infrastruktur distribusi, (2) sarana dan prasarana pasca panen, (3) pemasaran dan
distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah, (4) sistem informasi pasar, (5)
keterbatasan Lembaga pemasaran daerah, (6) hambatan distribusi karena pungutan
resmi dan tidak resmi, (7) kasus penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8)
adanya penurunan akses pangan pangan karena terkena bencana.
Penjaminan Stabilitas Harga Pangan. Isu ini stabilitas harga pangan penting karena : (1)
masa panen yang tidak merata sepanjang bulan, sehigga harga tinggi pada masa panen
dan rendah pada waktu musim panen, (b) harga pangan dunia semakin tidak
menentu,dan indonesa sangat rentang terhadap pengaruh pasar dunia. Disamping itu
dengan adanya stabilitas harga pangan akan menguatkan posisi tawar petani dan
menjamin akses pangan masyarakat.
Arah kebijakan Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan: (1)
Meningkatkan daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin. (2)
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan melalui
pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan hambatan distribusi
pangan antar daerah. (3) Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan
pemasaran pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong peningkatan
nilai tambah. (4) Meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan
ekonomi perdesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada
kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan.
Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang
berbasis pada pangan local: (1) Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi
seimbang. (2) Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: peningkatan
kualitas dan pengembangan infrastruktur distribusi, peningkatan dan pengembangan
sarana dan prasarana pasca panen, pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi
antar dan keluar daerah dan membuka daerah yang terisolir, pengembangan sistem
informasi pasar, penguatan lembaga pemasaran daerah, pengurangan hambatan
distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, pencegahan kasus penimbunan
komoditas pangan oleh spekulan, pemberian bantuan pangan pada kelompok
masyarakat miskin dan yang terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan
tepat produk. (3) Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : pemberlakuan Harga
Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis, perlindungan harga domestik
dari pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota impor, dan/ pajak ekspor,
kuota ekspor pada komoditas pangan strategis, pengembangan Buffer stock
Management (pembelian oleh pemerintah pada waktu panen dan operasi pasar pada
waktu paceklik) pada komoditas pangan strategis, pencegahan impor dan/ ekspor illegal
komoditas pangan, peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan
kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis, peningkatan
peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha ekonomi pedesaan,
pengembangan sistem tunda jual, pengembangan sistem informasi dan monitoring
produksi, konsumsi, harga dan stok minimal bulanan. (4) Peningkatan efisiensi dan
efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan
miskin (misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok
khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang.
3.6 Beberapa Contoh Makanan Hasil Diversifikasi Pangan
Jagung Instan Nixtamalisasi
Cara pembuatannya yaitu jagung pipil direbus dengan air mendidih dengan
perbandingan 1:3 selama 105 menit dengan tambahan kapur 3% berat jagung. jagung
dicuci dengan air panas 60 drajat Celcius sebanyak 3 kali lipat berat jagung awal,
ditiriskan, dipipihkan, dikeringkan, digiling, diayak lolos 60 mesh. Penyajiannya untuk
membuat bubur, didihkan air sebanyak 3 kali atau lebih berat tepung jagung. Tepung
jagung dimasukan pelan-pelan sambil diaduk kuat hingga matang dalam 5 menit.
Penyedapnya dapat ditambahkan menurut keperluan (Pusat Studi Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor, 2004).
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Tingginya konsumsi beras di Indonesia menyebabkan diterapkannya kebijakan impor
yang menyiksa petani dan mengancam kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan
diversifikasi pangan untuk mengatasi tingginya konsumsi beras.
Penganekaragaman pangan bukan saja dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan
masyarakat terhadap beras, tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi makanan rakyat
dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Dengan upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk
menggantikan atau setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu utama,
dan membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional.
Kemandirian ketahanan pangan dalam era globalisasi hanya dapat diwujudkan tatkala
paradigma pembangunan yang dikembangkan baik di pusat maupun di daerah mampu
memadukan antara tuntutan global dengan pemberdayaan masyarakat.
Saran
Perlu dilakukan perubahan pola konsumsi pangan pada masyarakat melalui upaya
diversifikasi konsumsi
Perlu dilakukan upaya promosi dan penyadaran melalui program Komunikasi, Informasi
dan Edukasi tentang diversifikasi konsumsi pangan pada masyarakat.
Perlu dilakukan kajian mendalam terhadap upaya diversifikasi konsumsi pada
masyarakat sehingga dapat dirumuskan langkah yang efektif dan efisien dalam
membentuk pola konsumsi masyarakat yang beraneka ragam.