Anda di halaman 1dari 4

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/307890319

Politik Pangan yang Memiskinkan

Article · May 2014

CITATIONS READS

0 301

1 author:

Salahudin Salahudin
University of Muhammadiyah Malang
155 PUBLICATIONS   281 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI WISATA GUNA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) View project

All content following this page was uploaded by Salahudin Salahudin on 17 March 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Politik Pangan yang Memiskinkan

Oleh Salahudin, M.Si.


(Penulis Buku Negara Versus Masyarakat Sipil, Terbit 2014)

Semua anak bangsa terheran-heran dengan minimnya ketersediaan pangan di


negara yang kaya akan sumber daya alam. Ketergantungan kebutuhan pangan Indonesia
terhadap negara-negara lain dinilai sangat tinggi. Dari tahun ke tahun Indonesia
membutuhkan bahan pangan impor yang sangat tinggi. Tingginya kebutuhan bahan pangan
impor menunjukkan negara ini tidak memiliki kemandirian untuk menyediakan bahan pangan
dalam negeri. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara agraris, memiliki tanah pertanian
yang luas dan subur, dan memiliki kondisi iklim yang kondusif untuk pertumbuhan bidang
pertanian.
Banyak ilmuwan pertanian menjelaskan persoalan di atas diakibatkan oleh
terbatasnya luas lahan pertanian sehingga masyarakat tani tidak memiliki tempat untuk
memproduksi bahan pangan, dan pengolahan pertanian masih tradisional sehingga modal
pengeluaran untuk mengelola bahan pangan lebih besar dibandingkan penghasilan yang
didapatkan oleh petani. Kondisi ini mengakibatkan para tani beralih profesi pada bidang lain,
bahkan tidak sedikit di antara mereka mencari penghidupan di daerah perkotaan, dan pada
gilirannya ketersediaan bahan pangan dalam negeri sangat terbatas.
Dialektika pemikiran dalam memahami keterbatasan bahan pangan dalam negeri
seperti tersebut perlu dikaji secara dalam. Penulis tidak mengatakan dialektika tersebut adalah
salah, hanya saja perlu dikaji secara komprehensif sehingga menemukan persoalan-persoalan
mendasar yang mengakibatkan adanya keterbatasan pangan dalam negeri. Pada dasarnya
Indonesia tidak mengalami keterbatasan lahan pertanian, justru lahan pertanian di Indonesia
tersedia sangat luas. Namun belum diberdayakan dengan baik. Lahan pertanian di daerah
Indonesia Timur, misalnya, masih banyak yang belum diberdayakan dengan baik seperti di
daerah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan di Papua. Bahkan beberapa daerah
di pulau Jawa masih tersedia lahan yang luas dan belum diberdayakan dengan baik.

Kinerja Buruk Sektor Pertanian


Pada intinya Indonesia terhampar lahan yang sangat luas yang belum
diberdayakan secara baik. Karena itu, keterbatasan lahan dianggap sebagai faktor
keterbatasan bahan pangan tidak dapat dijadikan sebagai alasan utama. Hemat saya persoalan
utama yang membuat Indonesia mengalami keterbatasan bahan pangan sehingga mengimpor
bahan pangan luar negeri, adalah minimnya keseriusan pemerintah untuk memberdayakan
sektor pertanian sebagai sektor unggulan untuk memproduksi bahan pangan dalam negeri.
Pemerintah belum terlihat serius untuk memberdayakan sektor pertanian. Bahkan pemerintah
menjadikan sektor pertanian sebagai obyek politik yang dapat menguntungkan pihak-pihak
tertentu seperti para pejabat negara dan pengusaha.
Memasuki era reformasi pemerintah semakin nampak ketidakseriusannya, justru
menjadikan sektor pertanian sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan
golongan. Pemerintah dinilai lebih senang menerapkan kebijakan impor bahan pangan
daripada memberdayakan sektor pertanian untuk memproduksi bahan pangan dalam negeri.
Berdasarkan data Bappenas tahun 2014, menunjukkan tingginya ketergantungan Indonesia
terhadap bahan pangan impor. Sepanjang periode 2010-2013, rata-rata impor besar pada
periode ini meningkat 482,6 persen, cabai 141 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8
persen, jagung 89 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen. Pertanyaanya,
kenapa pemerintah senang dengan kebijakan impor daripada menerapkan kebijakan yang
betul-betul dapat memproduksi bahan pangan dalam negeri?
Pertanyaan tersebut di atas dapat dijawab sesuai apa yang penulis katakan
sebelumnya, “tingginya bahan pangan impor menunjukkan minimnya keseriusan pemerintah
untuk memberdayakan sektor pertanian dalam negeri”. Pertumbuhan impor pangan sekaligus
menunjukkan buruknya kinerja sektor pertanian Indonesia. Kesemuannya itu dilatarbelakangi
buruknya politik pangan Indonesia. Politik pangan Indonesia bukannya meberdayakan sektor
pertanian, justru politik pangan dibangun berdasarkan kepentingan para pemilik kekuasaan
dan kewenangan, bukan kepentingan bangsa dan masyarakatnya. Politik pangan yang
demikian merusak sektor pertanian sebagai sektor utama dalam memproduksi bahan pangan.
Dalam politik pangan, pemilik kekuasaan dan kewenangan akan menerapkan
kebijakan impor karena mereka akan mendapatkan keuntungan dari para pihak yang terkait
dengan kebijakan impor. Polanya adalah penguasa membangun komunikasi kolutif dengan
para importer. Komunikasi kolutif adalah komunikasi yang melahirkan kesepakatan bersama
yang saling menguntungkan kedua belah pihak (pemerintah-importer). Pemerintah (pemilik
kekuasan dan kewenangan yang terkait) akan membuat kebijakan-kebijakan impor yang
dapat mempermudah importer dalam menjalankan bisnis yang menguntungkannya. Dari situ
pihak importer aka mengeluarkan sejumlah fee untuk para pemilik kekuasaan dan
kewenangan yang membuat kebijakan-kebijakan itu.
Pemerintah membuat kebijakan impor dilandasi kepentingan-kepentingan
pragmatis sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat bukan melindungi dan memberdayakan
sektor pertanian dalam negeri, justru melindungi dan memberdayakan pihak pengusaha
importer dan negara-negara lain. Dampak dari kebijakan-kebijakan pragmastis itu adalah
memburuknya kinerja sektor pertanian Indonesia. Akibatnya indeks ketahanan pangan
Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga. Di antara 105 negara yang dinilia, indeks
ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-64 dengan skor 46,8 yang jauh di bawah
Malaysia yang berada diperingkat ke-33 dengan skor 63,9, China ke-38 dengan skor 62,5,
Thailand ke-45 dengan skor 57,9, Vietnam ke-55 dengan skor 50,4, dan bahkan Filipina
yang berada di urutan ke-63 dengan skor 47,1 (Global Food Security Index, 2012, dikutip
Santosa, 2014).

Korupsi Kebijakan Pangan


Kondisi pangan Indonesia diperburuk lagi dengan adanya korupsi kebijakan
anggaran pangan. Jika pada kebijakan impor pemerintah mendapat keuntungan fee dari
pengusaha dan negara-negara importer, namun pada kebijakan pangan pemerintah mendapat
keuntungan melalui kebijakan anggaran untuk sektor pertanian dengan melakukan
penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (korupsi pangan). Pasca reformasi, pemerintah
dinilai cukup aktif membuat kebijakan anggaran yang berpihak kepada sektor pertanian.
Namun pada periode reformasi juga kinerja sektor pertanian semakin memburuk
sebagaimana yang dipaparkan di atas. Hemat saya, pada konteks ini terdapat korelasi positif
antara kebijakan anggaran pangan dan perilaku korupsi pejabat negara sehingga
menghasilkan kinerja buruk sektor pertanian.
Total anggaran yang disediakan untuk sektor pertanian pada tahun 2004 sebesar
Rp 10,1 triliun (laporang keuangan pemerintah pusat tahun 2004). Anggaran tersebut
meningkat menjadi Rp 12,6 triliun pada tahun 2005, Rp 49,8 triliun pada tahun 2009, dan Rp
71,9 triliun pada tahun 2013. Anggaran tersebut terdistribusi untuk kementerian Pertanian,
Irigasi, Subsidi, trasfer ke daerah-daerah, dan belanja lain-lain berupa cadangan beras
pemerintah, cadangan benih nasional, dan cadangan ketahanan pangan (Santosa, 2014).
Melalui anggaran yang besar tersebut selayaknya tidak terdapat keterbatasan bahan pangan,
penerapan kebijakan impor pangan, lahan yang tidak produktif, keterbatasan modal para tani,
tradisionalistik pengolahan pangan, pengalihan profesi para tani, dan rendahnya daya jual
para tani. Besarnya kebijakan anggaran pangan mestinya diikuti ketersediaan bahan pangan
yang cukup dan bahkan lebih untuk diekspor.
Politik kebijakan pangan di Indonesia belum menghendaki terwujudnya
kemandirian bahan pangan dan terbentuknya daya saing sektor pertanian dalam negeri.
Rupanya pemerintah masih ingin menikmati hasil dari kebijakan impor pangan, dan korupsi
kebijakan anggaran sektor pertanian. Jika hal ini terus berlangsung bukan tidak mungkin
negara kaya akan sumber daya alam ini akan menjadi pengemis di negara sendiri dan negara-
negara lain, yang kemudian disebut oleh Andreas Santosa (Guru Besar Pertanian IPB)
Indonesia akan mengalami bencana pangan yang membahayakan masa depan. Semoga hal ini
tidak terjadi!

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai