Anda di halaman 1dari 8

Pengaruh Kebijakan Impor Beras pada Kesejahteraan Petani: Perspektif Keadilan Pancasila Pendahuluan Indonesia sebagai salah satu

negara tropis terbesar dan terluas di dunia yang memiliki cakupan wilayah daratan yang memiliki luas hingga 1,9 juta kilometer persegi, sampai hari ini belum bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya secara mandiri. Indonesia masih harus mengimpor bahan pangan dari negara lain. Salah satu bahan pangan yang harus diimpor Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya adalah beras. Ada sebuah ungkapan di masyarakat Indonesia yang mengatakan, jika tidak makan nasi, maka belum dikatakan makan. Dari ungkapan tersebut, kita bisa melihat bagaimana cara masyarakat kita bersikap terhadap pangan. Beras merupakan makanan pokok yang tergantikan dalam masyarakat kita. Padahal jika ditelusuri ke daerah-daerah, makanan pokok orang-orang Indonesia sebenarnya banyak macamnya, seperti sagu, singkong, jagung, ketela, sukun, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, membuat petani tak bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Bulog (Badan Urusan Logistik) juga belum terlalu berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya persawahan. Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan, hal ini tentunya bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila ke-5 Pancasila, menyatakan keadilan bagi seluruh rakyat dalam bidang kehidupan baik material maupun spiritual. Jika ditelaah, sila ke-5 sangat berkaitan dengan hal kesejahteraan ekonomi rakyat. Sila ke-5 mengharapkan perkembangan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya untuk menuju kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (MPR, 2012).

Pengaruh Kebijakan Impor Beras pada Kesejahteraan Petani Indonesia merupakan negara agraris, di mana sektor pertanian memegang peranan penting dalam tata pembangunan nasional. Peran yang dilakukan oleh sektor pertanian antara lain: memberikan pangan untuk seluruh penduduk, menyumbang devisa negara dari sektor non migas, dan membuka kesempatan kerja. Ketahanan pangan tersebut belum bisa terlepas sepenuhnya dari beras sebagai komoditi basis yang strategis. Beras bagi banyak penduduk Indonesia merupakan salah satu makanan pokok yang tidak tergantikan. Hal tersebut tercermin dari konsumsi beras masyarakat Indonesia yang mencapai tingkat tertinggi di Asia dengan capaian konsumsi yang menembus angka 135-140 kilogram beras per orang per tahun (dalam Cahyanto, 2012). Ungkapan jika tidak makan nasi, maka belum dikatakan makan, ditengarai menyebabkan konsumsi beras nasional menjadi tidak terkendali. Akibatnya, Indonesia harus mangimpor beras dari negara lain. Hal ini bisa dikatakan ironis melihat luas lahan pertanian Indonesia yang begitu luas dan mengingat sejarah saat zaman Orde Baru Indonesia pernah melakukan swasembada beras. Impor beras memiliki dampak jangka panjang yang buruk. Sedikit saja terjadi fluktuasi harga di pasar beras internasional bisa memukul ketahanan pangan kita dan memunculkan masalah serius bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Beras mempunyai peranan yang strategis dalam pemantapan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan stabilitas politik nasional. Seperti yang terjadi pada tahun 1998 menunjukkan bahwa guncangan politik dapat berubah menjadi krisis politik yang dahsyat karena harga pangan melonjak tinggi dalam waktu singkat (Suryana dan Mardianto dalam Hutagalung, 2007). Beras juga merupakan makanan pokok, menjadi ujung tombak ketahanan pangan wilayah dan nasional. Harga beras mengalami peningkatan setiap tahun. Peningkatan harga beras ini diakibatkan oleh adanya kebijakan impor beras yang dilakukan oleh pemerintah. Pada dasarnya impor beras akan mencederai nasib petani. Namun bila pemerintah tidak mengimpor beras, mungkin akan lebih banyak rakyat Indonesia dicederai dengan mahalnya

harga beras. Rakyat ingin harga beras terjangkau, namun hal ini tak sejalan dengan nasib petani yang terus terpuruk. Menurut bank dunia tingginya harga beras menjadi salah satu penyebab kenaikan jumlah penduduk miskin. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah untuk mengimpor beras. Jumlah angka kemiskinan menurut bank dunia sekitar 109 juta jiwa. Hal ini terjadi berbarengan dengan kenaikan harga beras yang signifikan. Kondisi ini menempatkan pemerintah pada dua pilihan, mengorbankan petani atau konsumen beras. Pemerintah selalu mengorbankan petani dengan membuka keran impor. Jalan pintas impor beras tanpa mengatasi akar masalah yakni peningkatan produksi beras akan merusak kedaulatan pangan. Ketergantungan pangan pada pihak luar di tengah kesuburan alam Indonesia memperjelas kegagalan negara mengelola sumber daya manusia Indonesia untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Indonesia yang kaya sumber daya pertanian harus menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia (Sibuea dalam Hutagalung, 2007). Kebijakan mengimpor beras dari luar negeri tersebut tentunya berdampak pada kesejahteraan petani. Petani adalah pihak yang paling dirugikan dengan adanya kebijakan impor beras. Dengan adanya para petani yang dirugikan, hal ini tentunya bertentangan dengan sila ke-5 dalam Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia yang bermakna sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah dan batiniah. Keadilan adalah nilai yang amat mendasar yang diharapkan oleh seluruh rakyat indonesia. Tapi sayangnya nilai keadilan dalam kehidupan pertanian belum terlihat secara jelas. Kaum petani adalah kaum yang tidak pernah mendapatkan keadilan secara sempurna, ini dibuktikan dengan adanya penindasan terhadap kaum petani. Penindasan dalam arti kata ini adalah pemberian nilai harga yang rendah terhadap produksi pertanian seperti beras. Beras produksi petani lebih murah harganya di bandingkan beras impor. Padahal indonesia adalah negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Ini menunjukkan bahwa nilai keadilan pada petani tidak ada (Sunarti, 2008).

Ketergantungan Indonesia pada pangan impor tentunya akan menciptakan kerentanan ketahanan pangan nasional berkaitan dengan resiko dan ketidakpastian penyediaan pangan dunia dan situasi pasar pangan internasional. Meningkatnya impor beras antara lain disebabkan oleh lebih murahnya harga beras di pasar internasional di banding harga domestik. Peranan pemerintah dengan lembaga Bulog (Badan Urusan Logistik) sangat diharapkan untuk bisa memantau, manjaga, dan menstabilkan harga dan pasokan beras di pasar agar kebijakan impor beras tidak terlalu merugikan petani lokal. Kearifan Lokal sebagai Solusi untuk Menciptakan Keadilan Sosial bagi Petani Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras ditenggarai akibat kebijakan pemerintah yang masih menitikberatkan konsumsi karbohidrat standar pada pemenuhan beras semata. Akibatnya masyarakat Indonesia hari ini telah melupakan sumber makanan pokok lain yang sebenarnya melimpah dan penyebarannya terdapat di berbagai daerah di Indonesia (Cahyanto, 2012). Menurut Sibeua dalam Cahyanto (2012) dinyatakan: ...Bagi 60 persen penduduk Indonesia di pedesaan, kebutuhan pangannya berbasis sumber daya lokal. Kearifan lokal ini berperan sebagai mitigasi kerawanan pangan... namun belakangan, kearifan lokal acap dilupakan karena pemerintah secara tidak langsung menggiring pola konsumsi penduduk berbasis beras (nasi). Muaranya, muncul persepsi bias pangan menjadi identik beras saja karena dianggap makanan pokok. Masalah ketahanan pangan akan tetap menjadi tantangan utama pembangunan.

Penganekaragaman pangan perlu diterapkan di Indonesia mengingat sebaran penduduk Indonesia yang tidak merata, letak geografis yang berbeda-beda, dan kearifan lokal berbagai budaya di Indonesia yang berbeda pula. Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai alternatif pangan pengganti beras. Kekayaan alam Indonesia perlu tetap dipertahankan, dengan mengembangkan pola tani yang sesuai dengan kondisi lokal daerah masing-masing. Kearifan lokal bisa menjadi benteng yang sangat penting dalam meningkatkan peranan dunia usaha di bidang pertanian tanaman pangan. Dengan menggali dan mengembangkan kearifan lokal, kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi, tapi juga dapat dihindari karena lestarinya sumber daya bagi generasi selanjutnya (Soerjani dalam Cahyanto, 2012). Kearifan lokal

mengandung keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup kebutuhan manusia. Divertivikasi pangan sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia saat ini untuk mengatasi masalah ketahanan pangan. Konsep divertivikasi pangan bisa mencegah terjadinya ketergantungan terhadap pangan impor yang semakin meningkat. Konsep divertivikasi terhadap ketergantungan beras bisa dimulai dengan mengenalkan dan menghapus pandangan yang menempatkan tanaman palawija sebagai pangan masyarakat kelas dua dan dengan merangkul kembali potensi-potensi pangan yang ada di daerahnya (Cahyanto, 2012). Contohnya saja kearifan lokal suku-suku yang terdapat di daerah Papua. Suku-suku di Papua memanfaatkan sagu sebagai makanan pokok mereka. Sagu adalah tanaman yang banyak terdapat di Papua. Bisa dilihat, mereka memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki untuk dijadikan makanan pokok. Jika sudah seperti itu, keadilan sosial bagi petani bukan hal yang mustahil diwujudkan. Mengembalikan cara-cara pemenuhan kebutuhan pangan kepada kearifan lokal tiap daerah dan pemerintah turut serta mengatur kebijakan untuk melindungi pemenuhan ketahanan pangan nasional. Jika ketahanan pangan nasional tercapai maka pembangunan nasional dapat terlaksana hingga kesejahteraan masyarakat Indonesia terwujud.

Kesimpulan a. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menyebabkan kesejahteraan petani berkurang. Beras lokal petani yang lebih mahal kalah bersaing, dengan beras impor yang lebih murah, sehingga membuat para petani lokal merugi. b. Divertivikasi pangan perlu diterapkan pada masyarakat Indonesia agar pemerintah bisa mengendalikan harga pangan di pasar dan menekan pengeluaran dan kegiatan impor beras dari negara lain. c. Mengembangkan pola pertanian sesuai kearifan lokal daerah masing-masing dapat membantu kesejahteraan petani dan dapat mengurangi konsumsi beras masyarakat Indonesia. Kesejahteraan petani bisa terangkat karena para petani mampu memenuhi permintaan pasar di daerahnya tanpa perlu mengkhawatirkan dampak dari kebijakan impor beras.

Daftar Pustaka Cahyanto, Sugeng Setya, et.all. 2012. Penguatan Kearifan Lokal Sebagai Solusi Permasalahan Ketahanan Pangan Nasional. diakses [pdf]. tanggal 3

(https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/09102012-66.pdf, November 2013)

Hutagalung, Makmur. 2007. Dampak peningkatan harga beras terhadap tingkat kesejahteraan petani pada beberapa strata luas lahan. [pdf].

(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7471/1/09E00490.pdf, diakses tanggal 6 November 2013) Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR. Edisi Kedua. Sunarti, Buis dan Khomsan, Ali. 2008. Kesejahteraan Keluarga Petani Mengapa Sulit Diwujudkan?. [pdf]. (demografi.bps.go.id/.../Sunarti-Jurnal-

Kesejahteraan_Kelurga_Petani.pdf, diakses tanggal 4 November 2013)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pengaruh Kebijakan Impor Beras pada Kesejahteraan Petani: Perspektif Keadilan Pancasila

Dosen Pengampu: M. Anas, M.Phil

Oleh : Nama : Annisa K. S. NIM : 125120201111015

ILMU KOMUNIKASI (E IK 3) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA NOVEMBER 2013

Anda mungkin juga menyukai