Anda di halaman 1dari 11

Hanna Felina Monalisa Silalahi

2402101140111
Kelompok 20

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Reaksi oksidasi reduksi adalah reaksi yang melibatkan penangkapan dan


pelepasan elektron. Oksidasi adalah peristiwa pelepasan elektron, sementara
reduksi adalah peristiwa pengikatan elektron. Syarat reaksi redoks adalah jumlah
elektron yang dilepaskan oleh reduktor harus sama dengan jumlah elektron yang
ditangkap oleh oksidator. Titrasi redoks pada praktikum kali ini lebih dispesifikasi
pada titrasi permanganometri dan iodometri.
Titrasi redoks berbeda dengan titrasi asam basa. Bila titrasi asam basa titik
akhirnya ditentukan oleh perubahan pH, maka pada titrasi redoks titik akhir titrasi
ditentukan oleh terjadinya perubahan potensial reduksi-oksidasi. Potensial redoks
merupakan besaran yang menyatakan kekuatan oksidasi atau reduksi yang
dinyatakan dengan e (Sukarti, 2008).

5.1 Titrasi Permanganometri


Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi
oleh kalium permanganat (KMnO4). Titrasi permanganometri digunakan untuk
menetapkan kadar reduktor dalam suasana asam sulfat encer dengan
menggunakan kalium permanganat sebagai titran. Oksidasi ini dapat berlangsung
dalam suasana asam, netral dan alkalis (Svehla, 1990). Namun titrasi
permanganometri pada suasana basa atau netral lebih sulit karena akan
menghasilkan senyawa MnO2 yang akan menimbulkan endapan kecoklatan dan
mengganggu titrasi.

5.1.1 Standarisasi KMnO4 terhadap Na2C2O4 0.1 N


Standarisas kalium permanganat bertujuan untuk mengetahui kadar kalium
permanganat secara pasti karena sifatnya yang mudah larut dalam air dan mudah
terurai jika berada dalam kondisi kering dan terdapat cahaya matahari
menghasilkan:
2 KMnO4 → K2MnO4 + MnO2 + O2
Kalium permanganat sangat sukar ditemui dalam keadaaan murni setelah
tersimpan agak lama karena mudah bereaksi (Bassett, J. dkk., 1994). Standarisasi
dilakukan dengan natrium oksalat 0.1 N sebagai larutan baku primer agar
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

konsentrasi kalium permaganat diketahui dan penggunaanya dapat lebih tahan


lama.
Preparasi asam oklalat dilakukan dngan cara menimbang 1.675 gram
natrium oksalat padat dan dilarutkan ke dalam 250 ml aquades. Berat natrium
𝑚
𝐵𝐸
oksalat yang digunakan didapat dengan menggunakan rumus 𝑁 = . BE dari
𝑉

Na2C2O4 adalah 67 g/mol.


𝐵𝐸
𝑚= ×𝑁
𝑉
67
𝑚= × 0.1 𝑁
0.25 𝐿
𝑚 = 1.675 𝑔𝑟𝑎𝑚
Analit dipersiapkan dengan mencampur 10 ml natrium oksalat 0.1 N
dengan 10 ml asam sulfat 6 N, penambahan asam sulfat dilakukan di ruang asam.
Fungsi penambahan asam sulfat kuat adalah untuk membentuk suasana asam yag
dibutuhkan oleh reaksi supaya daya oksidasi kalium permanganat lebih kuat,
kalium permanganat dapat bertindak sebagai autoindikator, dan tidak terbentuk
endapan coklat mangan (IV) oksida jika reaksi berlangsung.
Analit yang telah ditambahkan asam kuat kemudian dilakukan pemanasan
dengan menggunakan hot plate hingga hampir mendidih. Hal ini bertujuan untuk
memekatkan analit karena reaksi tidak akan berlangsung jika larutan encer. Analit
dititrasi dengan kalium permanganat hingga terjadi perubaham warna dari bening
menjadi ungu muda yang tidak hilang setelah dibiarkan lebih dari 60 detik.
Kalium permanganat diletakkan dalam buret gelap karena kalium permanganat
mudah teroksidasi bila terkena cahaya. Volume kalium permanganat dicatat
sehingga normalitas kalium permanganat dari setiap percobaan dapat diketahui.
Normalitas kalium permmanganat dihitung dengan rumus:
(𝑁 𝑁𝑎2𝐶2𝑂4)(𝑉 𝑁𝑎2𝐶2𝑂4)
N KMnO4 =
𝑉 𝐾𝑀𝑛𝑂4
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

Tabel 1. Standarisasi KMnO4


Kelompok Vtitrasi (ml) N KMnO4
16 3.1 0.3226 N
17 3.2 0.3125 N
18 3.15 0.3175 N
19 3.2 0.3125 N
20 3.2 0.3125 N
Rata-rata 0.3155 N
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

(0.1)(10)
N KMnO4 (16) = = 0.3226 N
(3.1)
(0.1)(10)
N KMnO4 (17,19, dan 20) = = 0.3125 N
(3.2)
(0.1)(10)
N KMnO4 (18) = = 0.3175 N
(3.15)
0.3226+ 0.3125+ 0.3175+0.3125+0.3125
Rata-rata = = 0.3155 N
5

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa normalitas rata-rata dari kalium


permanganat adalah 0,3155 N. Volume titrasi yang didapatkan dari hasil
percobaan dapat berbeda-beda karena kemungkinan titrasi yang dilakukan
melewati titik akhir titrasinya sehingga volume yang terbaca pada buret menjadi
tidak akurat.
Reaksi yang terjadi pada standarisasi na-tiosulfat dengan menggunakan
larutan baku kalium dikromat dan asam sulfat adalah:

KMnO4 + Na2C2O4 + H2SO4  K2SO4 + CO2 + MnSO4 + Na2SO4 + H2O


+7 +3 +4 +2

Reduksi: MnO4- + 8H+ + 5e  Mn2+ + 4H2O ×2


Oksidasi: C2O42-  2CO2 + 2e ×5
2MnO4- + 16H+ + 10e  2Mn2+ + 8H2O
5C2O42-  10CO2 + 10e
Redoks: 2MnO4- + 16H+ + 5C2O42  2Mn2+ + 8H2O + 10CO2

5.1.2 Penentuan Kadar Fe dalamm FeSO4


Aplikasi titrasi permanganometri dapat digunakan untuk mentukan kadar
besi pada sampel. 10 ml sampel yang mengandung Fe2+ yaitu larutan besi (II)
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

sulfat dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan 10 ml asam sulfat 6 N,


dan dipanaskan hingga hampir mendidih. Larutan kemudian dititrasi dengan
kaium permanganat dan kadar besi sampel dihitung dengan menggunakan rumus:
𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝐹𝑒2+
(𝑉 𝐾𝑀𝑛𝑂4) (𝑁 𝐾𝑀𝑛𝑂4) ( ⁄𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑀𝑛𝑂4−) (𝐵𝑀 𝐹𝑒)
Kadar Fe (g/L) = (𝑉 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)

Tabel 2. Hasil Analisis Kadar Fe2+


Volume W Fe2+ (g)
Kelompok Kadar Fe2+ (g/L)
KMnO4(ml)
11 3,3 0,29 29
12 3,5 0,308 30,8
13 3,5 0,308 30,8
14 3,3 0,29 29
15 3,5 0,308 30,8
16 3,3 0,29 29
17 3,4 0,302 30,2
18 3,5 0,308 30,8
19 3,4 0,302 30,2
20 3,5 0,308 30,8
Rata-rata 30.14
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)

(3.3) (0.3155) (5⁄1) (56)


Kadar Fe (g/L) (11, 14, dan 16) = = 29 g/L
(10)

(3.5) (0.3155) (5⁄1) (56)


Kadar Fe (g/L) (12, 13, 15, 18, dan 20) = = 30.8 g/L
(10)

(3.4) (0.3155) (5⁄1) (56)


Kadar Fe (g/L) (17 dan 19) = = 30.2 g/L
(10)
29+30.8+30.8+29+30.8+29+30.2+30.8+30.2+30.8
Rata-rata = = 30.14 g/L
10

Hasil titrasi yang dilakukan menghasilkan kadar Fe berkisar dari 29 -30.8


g/L dengan kadar Fe rata-rata adalah 30.14 g/L. Perbedaan kadar Fe ini dapat
disebabkan karena perbedaan jumlah volume ketika mencapai titik akhir titrasi.
Reaksi yang terjadi antara KMnO4 dengan Fe(II) adalah:
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

MnO4- + 8H+ + 5e  Mn2+ + 4H2O ×1


Reduksi:
Oksidasi: Fe2+  Fe3+ + e ×5
MnO4- + 8H+ + 5e  Mn2+ + 4H2O
5Fe2+  5Fe3+ + 5e
Redoks: MnO4- + 8H+ + 5Fe2+  Mn2+ + 5Fe3+ + 4H2O

Penambahan asam sulfat pada reaksi dibutuhkan pada reaksi tersebut


dilakukan karena ion H+ dibutuhkan sebagai penyeimbang reaksi reduksi. Asam
sulfat merupakan asam yang paling cocok digunakan dalam titrasi
permanganometri karena tidak bereaksi dengan permanganat pada larutan encer
(Gusdinar,2014). Konsentrasi asam yang tinggi juga dibutuhkan agar MnO4
menerima 5 elektron dan membentuk Mn2+, jika digunakan basa lemah MnO4
hanya akan menerima 3 elektron dan membentuk MnO2(s). Pembentukan endapan
mangan (IV) oksida tidak diharapkan karena dapat mengganggu keberlangsungan
titrasi.
Titrasi permanganometri tidak digunakan indikator karena titik akhir titrasi
sudah terlihat dengan jelas ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi
ungu muda (Federica, 2010). Perubahan warna menandakan jumlah permanganat
berlebih. Pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi redoks sehingga
perubahan warna tampak jelas. Permanganometri dapat diaplikasikan untuk
menentukan kadar hidrogen peroksida dan kadar kemurnian nitrit dari KNO3
komersil.

5.2 Titrasi Iodometri


Iodium merupakan oksidator lemah, sebaliknya ion iodida merupakan
reduktor yang cukup kuat. Iodium biasa digunakan sebagai pereaksi oksidasi
(iodimetri) dalam proses analitik sementara ion iodida digunakan sebagai pereaksi
reduksi (iodometri).
Cara iodometri dapat terjadi secara langsung dan tidak langsng. Cara
langsung disebut iodimetri, digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi
reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik ekivalennya.
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

Cara tidak langsung disebut iodometri, oksidator direaksikan dengan ion iodida
berlebih dalam keadaan yang sesuai kemudian iodium dibebaskan secara
kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium thiosilfat standar (Shevla, 1990).

5.2.1 Standarisasi Na2S2O3 dengan K2Cr2O7 0,1 N


Standarisasi na-tiosulfat (Na2S2O3) dilakukan dengan titrasi terhadap
larutan baku kalium dikromat (K2Cr2O7). 10 ml kalium dikromat dipipet dan
ditempatkan pada erlenmeyer. Larutan tersebut kemudian ditambahkan dengan 8
ml kalium iodida 20%, dan 10 ml asam sulfat 6 N. Larutan kemudian dititrasi
dengan na-tiosulfat sampai warna larutan menjadi kuning jerami, dan ditambahkan
0,5 ml indikator amilum 1%. Titrasi kemudian dilanjutkan hingga warna larutan
biru muda atau hijau muda. Normalitas Na2S2O3 dapat dicari dengan
menggunakan rumus:
(𝑁 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7)(𝑉 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7)
N Na2S2O3 = 𝑉 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3

Tabel 3. Standarisasi Na2S2O3


Kelompok Vtitrasi (ml) N Na2S2O3
11 10.2 0.098 N
12 10.1 0.099 N
13 10.1 0.099 N
14 10.5 0.095 N
15 10.1 0.099 N
Rata-rata 0.098 N
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

(0.1)(10)
N Na2S2O3 (11) = = 0.098 N
(10.2)
(0.1)(10)
N Na2S2O3 (12,13, dan 15) = = 0.099 N
(10.1)
(0.1)(10)
N Na2S2O3 (14) = = 0.095 N
(10.5)
0.098+ 0.099+0.099+0.095+0.098
Rata-rata = = 0.098 N
5

Hasil titrasi yang dilakukan dihasilkan normalitas na-tiosulfat berkisar dari


0.095-0.099 N dengan normalitas na-tiosulfat rata-rata adalah 0.098 N. Perbedaan
normalitas ini dapat disebabkan karena perbedaan jumlah volume ketika mencapai
titik akhir titrasi.
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

Ion Cr6+ pada Cr2O72- mengalami reduksi menjadi Cr3+, sedangkan atom S
pada S2O32- mengalami perubahan bilangan oksidasi dari +2 menjadi +3 pada
S4O62- . Hal ini menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi pada titrasi standarisasi
sehingga disebut titrasi redoks.
Reaksi yang terjadi pada standarisasi Na2S2O3, antara lain:

1. Cr2O72- + 6I- + 14H+  3I2 + 2Cr3+ + 7H2O


Jingga Hijau
2. I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
Coklat
3. I2 + Amilum  I2amil
Biru
4. I2amil + 2S2O32-  2I- + S4O62- + Amilum
Biru

Reaksi pertama terjadi pada saat penambahan kalium iodida 20% dan
asam sulfat pada larutan kalium dikromat, reaksi kedua terjadi pada saat analit
dititrasi dengan na-tiosulfat, reaksi ketiga terjadi ketika penambahan indikator
amilum 1%, dan reaksi keempat terjadi ketika titrasi dilanjutkan setelah
penambahan amilum 1%.
Penambahan indikator dilakukan di tengah titrasi atau harus menunggu
mendekati titik akhir titrasi agar amilum tidak membungkus iodium yang
menyebabkan warna biru sukar (Sukarti, 2008). Kesalahan yang sering terjadi
selama titrasi ini adalah oksigen di udara mengoksidasi ion iodida menjadi iodin,
pemberian amilum yang terlalu awal, dan pH larutan yang terlalu tinggi
(Sukarti,2008).

5.2.2 Penentuan Kadar Cu dalam Terusi


Aplikasi titrasi iodometri dapat digunakan untuk mentukan kadar Cu pada
terusi. Proses pengerjaan dari titrasi penentuan kadar Cu serupa dengan titrasi
standarisasi na-tiosulfat terhadap kalium dikromat 0,1 N, yaitu dilakukan dalam
suasana asam, dan penambahan indikator setelah dilakukan titrasi sebelum
mencapai titik akhir . Perbedaan terletak pada analit 10 ml kalium dikromat pada
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

erlemeyer diganti dengan 10 ml terusi. Kadar terusi pada sampel dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:

𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝐶𝑢+
(𝑉 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3) (𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3) ( ⁄𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝐼−) (𝐵𝑀 𝐶𝑢)
Kadar Cu (g/L) = (𝑉 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑠𝑖)

Suasana asam yang diciptakan oleh penambahan asam sulfat yakni sebagai
penyedia ion H+ bertindak untuk penyeimbang muatan pada reaksi. Ion Cu2+ tidak
dapat bereaksi secara langsung dengan titran na-tiosulfat, sehingga ion Cu2+
awalnya direaksikan terlebih dahulu dengan kalium iodida sehingga membentuk
salah satu produk berupa iodin. Iodin yang berbentuk aqueous ini kemudian
dititrasi dengan menggunakan na-tiosulfat.
Indikator amilum yang bereaksi dengan iodin membuat kompleks
berwarna biru tua. Amilum ditambahkan di akhir titrasi agar perubahan warna
jelas dan agar amilum tidak membungkus iod yang sukar lepas sehingga warna
biru sulit lenyap. Pada titik akhir titrasi, iod yang terikat pada amilum habis
bereaksi dengan titran sehingga warna biru lenyap dan perubahan warna tampak
jelas.

Tabel 4. Hasil Analisis Kadar Cu


Volume Na2S2O3
Kelompok W Cu (g) Kadar Cu (g/L)
(ml)
11 10,6 0,067 6,7
12 10,5 0,066 6,6
13 10 0,064 6,4
14 11 0,07 7,0
15 10,1 0,064 6,4
16 10,6 0,067 6,7
17 10,6 0,067 6,7
18 10,6 0,067 6,7
19 10,6 0,067 6,7
20 10,8 0,068 6,8
Rata-rata 6.67 g/L
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)

(10.6)(0,1)(1)(63,5)
Kadar Cu (11, 16, 17, 18, dan 19) = = 6.7 g/L
10
(10.5)(0,1)(1)(63,5)
Kadar Cu (12) = = 6.6 g/L
10
(10)(0,1)(1)(63,5)
Kadar Cu (13) = = 6.4 g/L
10
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

(11)(0,1)(1)(63,5)
Kadar Cu (14) = = 7 g/L
10
(10.1)(0,1)(1)(63,5)
Kadar Cu (15) = = 6.4 g/L
10
(10.8)(0,1)(1)(63,5)
Kadar Cu (20) = = 6.8 g/L
10
6.7+6.6+6.4+7+6.4+6.7+6.7+6.7+6.7+6.8
Rata-rata = = 6.67 g/L
10

Kadar Cu berdasarkan hasil percobaan berada pada kisaran 6.4-7 g/L


dengan rata-rata 6.67 g/L. Perbedaan dapat terjadi karena titrasi yang dilakukan
melewati titik akhir titrasi atau terjadinya penguapan iodin sebelum atau selama
titrasi berlangsung sehingga titik akhir titrasi tercapai lebih cepat daripada
seharusnya. Terdapat 4 reaksi yang terjadi selama titrasi berlangsung antara lain:

1. Cu2+ + 4I-  2CuI + I2


Biru Putih susu Coklat
2. I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
Coklat
3. I2 + Amilum  I2 amil
Biru
4. I2 amil + 2S2O32-  2I- + S4O62- + amilum
Biru

Reaksi pertama terjadi pada saat penambahan kalium iodida dan asam
sulfat pada larutan kalium dikromat, reaksi kedua terjadi pada saat larutan tersebut
dititrasi dengan na-tiosulfat, reaksi ketiga terjadi ketika penambahan indikator
amilum yang bereaksi dengan iodin berlebih, dan reaksi keempat terjadi ketika
titrasi dilanjutkan setelah penambahan amilum.
Ion Cu2+ mengalami reduksi menjadi Cu+, sedangkan ion I- mengalami
oksidasi menjadi I2, bilangan oksidasinya mengalami kenaikan dari -1 menjadi 0.
Titrasi yang terjadi pada reaksi kedua merupakan titrasi oksidasi-reduksi. Selain
penentuan kadar Cu pada terusi, aplikasi titrasi iodometri juga dapat digunakan
untuk menentukan kadar hidrogen sulfit (Mendham, et. al., 2000).
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat pada praktikum ini adalah:
 Normalitas rata-rata hasil standarisasi kalium permanganat adalah
0,3155 N.
 Kadar Fe hasil pengujian berada pada kisaran 29 -30.8 g/L dengan
kadar Fe rata-rata adalah 30.14 g/L.
 Normalitas rata-rata hasil standarisasi na-tiosulfat adalah 0.098 N.
 Kadar Cu hasil pengujian berada pada kisaran 6.4-7 g/L dengan
kadar Cu rata-rata 6.67 g/L.

6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada praktikum ini adalah:
 Dilakukan titrasi secara hati-hati agar titik akhir titrasi dapat
diamati.
 Standarisasi dibutuhkan supaya konsentrasi larutan dapat diketahui
secara pasti.
Hanna Felina Monalisa Silalahi
2402101140111
Kelompok 20

DAFTAR PUSTAKA

Basset, J., Jeffery, G. H., Mendham, J., Denney, R. C. 1994. Textbook of


Quantitative Chemical Analysis. Fifth Edition. Longman: New York.

Federica. 2010. Oxidation Reduction Titration. Available at:


http://federica.unina.it. (Diakses pada tanggal 19 November 2015)

Gusdinar, T. 2014. Redox, Reduction-Oxidation Titration: An Application


Method of Inorganic Pharmaceutical Analysis. Available at:
http://download.fa.itb.ac.id. (Diakses pada 19 November 2015)

Mendham, J., R. C. Denney, J. D. Barnes, dan M. J. K. Thomas. 2000. Vogel’s


Quantitative Chemical Analysis 6th Ed. Prentice Hall: New York.

Sukarti, Tati. 2008. Kimia Analitik. Widya Padjadjaran, Bandung.

Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.
Penerjemah : Ir. L. Setiono dan Dr. A. Hadyana Pudjaatmaka. PT. Kalman
Media Pustaka: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai