Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS TINGKAT AKSES PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

BERDASARKAN SKALA USAHATANI PADA TIPE AGROEKOSISTEM


PERSAWAHAN DI KABUPATEN LUWU

OLEH :
AGUNG SETIABUDI
2011 12 007

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERISTAS ANDI DJEMMA
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


World Food Summit (1996) mendefinisikan Ketahanan Pangan

sebagai, ”Ketahanan Pangan terjadi apabila semua orang secara terus

menerus baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk

pangan yang memadai/cukup, bergizi, dan aman yang memenuhi kebutuhan

pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup aktif dan sehat”. Sebagai salah

satu negara yang ikut menandatangani, Pemerintah Indonesia menunjukkan

tekadnya dengan menuangkan ketahanan pangan dalam Undang-Undang

No. 7 tahun 1996 yang mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya

pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan

terjangkau.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan

sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, 

upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi

pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal,

mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi

produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan

mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Luasnya lahan persawahan di Indonesia ternyata tidak mampu membuat

taraf hidup petani meningkat. Masih banyak petani sawah yang mengalami

kesulitan dalam menjalani hidup, dalam hal ini adalah kesejahteraan

ekonomi. Banyak petani sawah didesa-desa berada dalam garis kemiskinan.


Hal ini disebabkan karena meningkatnya berbagai kebutuhan hidup, baik

kebutuhan sekunder maupun kebutuhan primer dan juga karena terjadinya

krisis ekonomi yang tidak kunjung terselesaikan. Inilah yang membuat para

petani miskin semakin kewalahan dalam memperbaiki perekonomian.

Masalah ketahanan pangan di Indonesia memiliki dua dimensi

kepentingan, yakni bagaimana agar masyarakat dapat mengakses pangan

dengan harga terjangkau dan di sisi lain bagaimana kesejahteraan petani

dapat terlindungi. Hampir setiap tahun, kita disibukkan dengan pro-kontra

impor bahan pangan, mulai dari beras, daging sapi, kedelai, hingga bawang

merah.Menurut Hendiawan (2012) Ada banyak persoalan yang menyebabkan

hal itu terjadi. Salah satunya, data yang digunakan untuk membuat kebijakan

yang bersumber dari instansi resmi negara seringkali tidak sinkron satu sama

lain. Apalagi pada tataran perumusan dan eksekusi kebijakannya di lapangan.

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir

ditengah masyarakat berkembang. Dalam konteks masyarakat Indonesia,

masalah kemiskinan juga merupakan sebuah masalah sosial yang

senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Pada masyarakat

pedesaan, faktor kemiskinan menyebabkan masalah ketenagakerjaan.

Umumnya pekerja di pedesaan melakukan jenis pekerjaan lebih dari satu

hal ini disebabkan karena pekerjaan sebagai petani dianggap bukan

sebagai mata pencaharian utama dalam meningkatkan pendapatan

keluarganya. Oleh karena itu petani melakukan pekerjaan lain diluar status

mereka sebagai petani dengan harapan dapat menambah pendapatan guna

memenuhi kebutuhan pangan keluarga.


1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani berdasarkan skala

usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu

b. Bagaimana tingkat akses pangan rumahtangga petani berdasarkan skala

usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian

ini adalah:

a. Menemukenali kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani berdasarkan skala

usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu

b. Menganalisis tingkat akses pangan rumahtangga petani berdasarkan skala

usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

a. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan terutama yang

berkaitan dengan topik penelitian dan merupakan salah satu syarat untuk

meperoleh gelar sarjana pertanian di Universitas Andi Djemma Palopo.

b. Bagi pemerintah Kabupaten Luwu, penelitian ini berguna sebagai

sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam pengambilan


kebijakan khususnya yang berkaitan dengan Analisis Tingkat

Ketersediaan Pangan Rumahtangga Petani berdasarkan Skala Usahatani

pada Tipe Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu.

c. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah

pengetahuan mengenai Analisis Tingkat Ketersediaan Pangan

Rumahtangga Petani berdasarkan Skala Usahatani pada Tipe

Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu.

d. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sistem Ketahanan Pangan

Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan

(sufficiency), akses (access)keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty ,

2004). Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang

menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga komponen utama

yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability dan stability),

kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan pemanfaatan pangan.

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang

terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem

ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan

pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan

ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi

pangan sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah,

pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta

stabil dari waktu kewaktu. Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya

memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta

stabilitas harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses

masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah,

belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/masyarakatnya. Sedangkan

subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai

pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi

individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan

tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif
bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas

dan produktif (Thaha, dkk, 2000).

Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak

mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana,

2003).

II.2. Ketersediaan Pangan

Aspek-aspek ketahanan pangan terdiri dari 4 (empat), salah satunya yaitu

aspek ketersediaan pangan. Aspek Ketersediaan (Food Availability) : yaitu

ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua

orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor,

cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan

mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagi jumlah kalori yang

dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

Ketersediaan pangan per kapita yaitu ketersediaan jenis pangan yang

tersedia untuk di konsumsi oleh rumah tangga, pedagang eceran,

perusahaan/industri makanan jadi, rumah makan dan sejenisnya pada periode

tertentu. Ketersediaan pangan mengisyaratkan adannya rata-rata pasokan

pangan yang cukup tersedia setiap saat. faktor-faktor yang mempengaruhi

ketersedian pangan antara lain :

1. Produksi : peningkatan produksi pangan dan kualitas pangan dapat

dilakukan dengan program intensifikasi budidaya dan diversifikasi pangan

antara lain dengan usaha pengolahan bahan pangan menjadi produk

pangan yang menpunyai nilai tambah.

2. Pasokan pangan dari luar (impor)


3. Cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan

penting bagi pemantapan ketahan pangan. Pengelolaan cadangan yang

baik akan dapat menanggulangi masalah pangan seperti adanya gejolak

harga yang tidak wajar, atau keadaan darurat karena adanya bencana

atau paceklik yang berkepanjangan, sehingga membatasi aksesibilitas

pangan masyarakat.

4. Bantuan pangan

5. Jumlah penduduk (Nuhfil Hanani AR, 2009)

Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin

terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional.

Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial – ekonomi :

1.     Teknis

a. Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian

ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun).

b. Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.

c. Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.

d. Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan

kemampuannya semakin menurun.

e. Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen

(10-15%).

f. Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak

pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .

2.     Sosial- ekonomi

a. Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh

pemerintah.
b. Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan

karena besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan

lahan produksi yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju

0,5%/tahun).

c. Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar

dari pemerintah kecuali beras.

d. Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif

impor yang melindungi kepentingan petani.

e. Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi

penyediaan pangan (http/www. Novi eka kartika. Google.co.id).

II.3. Skala Usahatani

Skala usaha dalam suatu sistem usaha tani dapat diukur dengan

berbagai cara, antara lain dari investasi, biaya tetap, biaya variabel, total nilai

penjualan, luas areal tanam, dan jumlah satuan ternak. Perhitungan biaya setiap

luasan areal tanam atau satuan ternak dapat dilakukan untuk melihat perbedaan

efisiensi di antara petani yang mengusahakan komoditas serupa.

Biaya investasi adalah biaya yang diperlukan petani pada saat memulai

usahanya dan yang akan dikeluarkan kembali pada saat atau usia ekonomis

investasi tersebut telah habis. Termasuk dalam biaya investasi adalah tanah,

bangunan, mesin, bibit ternak, dan peralatan tidak habis pakai.

Biaya tetap adalah biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani atau

peternak dan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi dalam suatu siklus

produksi, misalnya biaya kandang, peralatan, perbaikan, depresiasi, dan upah

manajer.
Biaya operasional atau biaya variabel adalah biaya yang berubah-ubah

sesuai dengan perubahan produksi, seperti biaya pakan konsentrat, hijauan,

mineral, obat-obatan, serta tenaga pemelihara atau buruh. Total nilai penjualan

biasanya dihitung setiap tahun dan untuk menentukan besarnya pajak yang

harus dibayar. Cara seperti ini dilakukan di negara yang sudah maju dan

digunakan juga untuk mengelompokkan skala usaha kecil, menengah, dan

besar.

Skala usaha juga dapat diukur dengan melihat luas areal yang

diusahakan oleh petani atau satuan ternak yang dimiliki peternak. Dalam sistem

usaha yang terintegrasi, kombinasi komponen usaha tani tersebut menentukan

besarnya usaha.

Pendekatan titik impas dapat digunakan untuk menentukan skala usaha.

Secara umum, karena adanya respons petani terhadap tingkat risiko usaha yang

dihadapi, maka skala usaha dapat dilihat dari keuntungan yang diperoleh dengan

cara menjabarkan berbagai prasyarat teknis maupun ekonomi yang memberikan

kontribusi terhadap keuntungan tersebut. Untuk itu, skala usaha dapat dilihat dari

pendekatan titik impas.

Variasi tingkat keuntungan, volume produksi, dan persentase

perubahannya dapat dilakukan melalui analisis kepekaan (sensitivity analyses)

pada berbagai tingkat yang dikehendaki, sehingga dapat diketahui skala produksi

yang dikehendaki serta berbagai konsekuensinya. Usaha tani terpadu tanaman

dan ternak akan berhasil bila mempertimbangkan aspek keberlanjutan, ramah

lingkungan, serta secara sosial dan politis dapat diterima masyarakat.

Oleh karena itu, penerapan sistem ini akan bervariasi pada setiap

wilayah, bergantung pada kondisi geografis, ekologis, dan sosial ekonomi


masyarakat setempat dalam hal jenis ternak, sistem budi daya, perkandangan,

maupun komponen teknologi lainnya (Tjeppy D. Soedjana, 2007).

2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan terdapat berbagai desa yang mampu

menghasilkan pangan padi dengan jumlah yang besar. Pada kondisi ini apakah

kabupaten luwu mampu menyediakan pangan, sehingga masyarakat mampu

mengakses pangan dengan mudah. Pada dasarnya masyarakat tani di

Kabupaten Luwu mampu mengakses pangan dari hasil bertani dan bantuan

pemerintah melalui Raskin. Sehingga akses pangan masyarakat tani tidak begitu

jelas, maka dalam penelitian ini, mencoba menganalisis tingkat akses pangan

rumah tangga petani di desa Noling dan Buntu Batu, Berdasarkan skala

usahatani pada tipe agroekosistem persawahan.


Sistem
Ketahanan
Pangan

Ketahanan Pangan
Rumahtangga

Agroekosistem
Persawahan

Lahan Luas Lahan Lahan


Sedang Sempit

Pangan Utama

Pendapatan Pendapatan Pendapatan Alokasi Alokasi


Pendapatam Untuk
Kepala Istri Anggota Pendapatan
Non Pangan
Rumahtangg Rumahtangga Untuk Pangan
a

Peningkatan
Ketersediaan Pangan
Rumahttangga

Peningkatan
Ketahanan Pangan

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian


2.2. Hipotesis
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi untuk objek penelitian ditentukan dengan menggunakan

Multistage Sampling. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan 2 tahap yaitu

penentuan kecamatan dan penentuan desa untuk lokasi penelitian.

Tahap pertama adalah pengambilan contoh kecamatan berdasarkan

tingkat ketahanan pangan tingkat kecamatan. Pemilihan kecamatan didasarkan

pada asumsi bahwa kecamatan yang terpilih adalah kecamatan yang memiliki

areal persawahan yang luas. Berdasarkan data sekunder maka kecamatan yang

terplih untuk Kabupaten Luwu kecamatan yang terplih adalah Kecamatan Bupon.

Tahap kedua akan dipilih 2 desa setiap kecamatan untuk mengukur

ketahanan pangan rumahtangga. Pemilihan desa didasarkan pada aksesibilitas

desa yaitu desa yang dekat dengan ibu kota kecamatan dan desa yang terjauh

dari ibu kota kecamatan. Untuk Kecamatan Bupon desa yang terpilih adalah

Desa Noling dan Desa Buntu Batu.

3.2. Metode Penetuan Sampel

Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode stratifikasi

random sampling berdasarkan skala usahatani rumahtangga petani. Skala

usaha ditentukan pada 3 strata yaitu (1) rumahtangga petani yang memiliki luas

penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, (2) rumahtangga petani yang memiliki

luas penguasaan lahan 0,5 sampai 1,0 hektar dan (3) rumahtangga petani yang

memiliki luas penguasaan lahan lebih besar dari 1 hektar. Setelah populasi dari
setiap strata ditentukan maka jumlah sampel akan dipilih secara acak sederhana

sebesar 20 % dari setiap populasi.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara

dimana peneliti melakukan wawancara kepada sampel yang terpilih dengan

menggunakan alat wawancara atau questioner penelitian (lampiran 1) yang

memuat instrument yang terdiri dari identitas responden, keadaan sosial

ekonomi, kondisi rumahtangga yang terkait dengan komponen ketahanan

pangan yang terkait dengan ketersediaan pangan yang meliputi 4 komponen

yaitu, pangan produksi sendiri, pangan yang dibeli, bantuan pangan dan

cadangan pangan.

Data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer digunakan untuk menentukan derajat ketahanan pangan

rumahtangga pada tiga tipe agroekosistem yang menjadi unit analisis,

sedangkan data sekunder digunakan untuk mengkaji hal-hal yang terkait dengan

kebijakan untuk meningkatkan ketahapan pangan rumahtangga.

Data sekunder dikumpulkan pada berbagai instansi yang terkait dengan

kajian dari penelitian ini seperti, potensi desa, Badan Pemberdayaan

Masyarakat, Dinas pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kesehatan, BKKBN, Biro

Pusat Statistik. Data sekunder ini diperoleh dengan melakukan pencatatan

dokumen dan wawancara mendalam (indepht interview) kepada setiap informan

pada instansi yang terkait. Sedangkan data primer diperoleh dengan melakukan

wawancara kepada rumahtangga yang terpilih dengan menggunakan pedoman

wawancara (questioner) yang akan disiapkan sebelumnya. Data primer ini


diperoleh dari sampel yang mampu memberikan informasi tentang indikator yang

berhubungan ketahanan pangan rumahtangga.

3.4. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini disajikan sesuai

dengan tujuan penelitian:

1. Deskripsi Variabel Sosial Ekonomi (tujuan1)

Kondisi social ekonomi dianlisis dengan deskriptif dimana akan dijelaskan

secara deskripsi kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani yang terdiri dari

umur, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, keragaan pekerjaan, kondisi

akses pangan rumahtangga yang meliputi pendapatan kepala keluarga,

pendapatan istri, pendapatan anggota rumahtangga, alokasi pendapatan untuk

pangan dan non pangan.

2. Analisis Tingkat Ketersedian Pangan Rumahtangga Petani (tujuan2)

Tingkat akses pangan rumahtangga dianalisis dengan membandingkan

antara skor dan bobot dari masing-masing komponen akses pangan

rumahtangga khususnya tipe agroekosistem persawahan (Mais Ilsan, 2015).

Adapun pengukuran akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosiste

persawahan disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Pengukuran Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Petani Pada Tipe


Agroekosistem Persawahan

No. Indikator Pengukuran Skor Bobot SXB


Akses Pangan (Bobot 20)
X1 Pendapata > 90% (sangat tahan pangan) 6 5 30
n Kepala > 80% - 90% (tahan pangan) 5 5 25
Keluarga > 70% - 80% (agak tahan pangan) 4 5 20
> 50% - 70% (agak rawan pangan) 3 5 15
> 30% - 50% (rawan pangan) 2 5 10
< atau = 30% (sangat rawan 1 5 5
pangan)
No. Indikator Pengukuran Skor Bobot SXB

X2 Pendapata > 50% (sangat tahan pangan) 6 5 30


n Istri > 40% - 50% (tahan pangan) 5 5 25
> 30% - 40% (agak tahan pangan) 4 5 20
> 20% - 30% (agak rawan pangan) 3 5 15
> 10% - 20% (rawan pangan) 2 5 10
< atau = 10% (sangat rawan 1 5 5
pangan)

X3 Pendapata > 50% (sangat tahan pangan) 6 2 12


n Anggota > 40% - 50% (tahan pangan) 5 2 10
Keluarga > 30% - 40% (agak tahan pangan) 4 2 8
> 20% - 30% (agak rawan pangan) 3 2 6
> 10% - 20% (rawan pangan) 2 2 4
< atau = 10% (sangat rawan 1 2 2
pangan)

X4 Alokasi > 50% (sangat rawan pangan) 1 5 5


Pendapata > 40% - 50% (rawan pangan) 2 5 10
n Untuk > 30% - 40% (agak rawan pangan) 3 5 15
Pangan > 20% - 30% (agak rawan pangan) 4 5 20
> 10% - 20% (tahan pangan) 5 5 25
< atau = 10% (sangat tahan 6 5 30
pangan)

X5 Alokasi > 50 % (Sangat Tahan Pangan) 6 3 18


Pendapata > 40-50 % (Tahan Pangan) 5 3 15
n Untuk > 30- 40 % ( Agak Tahan Pangan) 4 3 12
Non > 20-30 % ( Agak Rawan Pangan) 3 3 9
Pangan > 10-20 % (Rawan Pangan) 2 3 6
< atau = 10% (Sangat Rawan 1 3 3
Pangan)
Perhitungan Persentasi Pendapatan
1. Pendapatan Kepala RT (Rp ……………/bulan) ( ….. %)
2. Pendapatan Istri (Rp ……..……../bulan) (……%)
3. Pendapatan Anggota Keluarga (Rp ….…...……/bulan) ( ….. %)
4. Total Pendapatan RT (Rp. …………../bulan) (100 %)
Perhitungan Persentasi Untuk Alokasi Pendapatan Untuk Pangan (APUP)
APUP/Tot Pendapatan RT X 100 %
Perhitungan Persentasi Untuk Alokasi Pendapatan Non Pangan (APNP)
APNP/Tot Pendapatan RT X 100 %
Perhitungan Komposit Akses Pangan
Bobot 20,00 – 36,66 ( Sangat Rawan Pangan)
Bobot 36,67 – 53,33 (Rawan Pangan)
Bobot 53,34 – 70,00 (Agak Rawan Pangan)
Bobot 70,01 – 86,67 (Agak Tahan Pangan)
Bobot 86,68 – 103,34 (Tahan Pangan)
Bobot 103,35 – 120,00 (Sangat Tahan Pangan)

Anda mungkin juga menyukai