Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS TINGKAT PENYERAPAN PANGAN

RUMAHTANGGA PETANI BERDASARKAN SKALA


USAHATANI PADA TIPE AGROEKOSISTEM PERSAWAHAN
DI KABUPATEN LUWU

OLEH :
MUH. ARFINAL
2011 12 046

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERISTAS ANDI DJEMMA
2015
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Petani Indonesia pada umumnya menguasai lahan yang relatif sempit,

sehingga pendapatan dari usahatani saja sering tidak mencukupi kebutuhan

dasar rumah tangga. Selain itu, sifat pertanian yang musiman dan terbatasnya

pendapatan dari sektor pertanian menyebabkan rumah tangga di pedesaan

mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Bahkan ada kecenderungan kegiatan

ekonomi sebagian masyarakat di pedesaan beralih dari sektor pertanian ke luar

sektor pertanian. Fenomena ini oleh Rasahan, et.al (1989) dipandang sebagai

suatu tranformasi struktural perekonomian rumah tangga di pedesaan. Saragih

(2010) menyatakan bahwa pergeseran struktur ekonomi telah menyebabkan

pangsa sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja dan PDB menurun,

sementara pangsa sektor sektor lain meningkat. Berdasarkan data BPS, bahwa

pangsa sektor pertanian terhadap PDB menurun dari 21,58 persen pada tahun

1981 menjadi hanya 15,38 persen pada tahun 2009 (BPS, 1982-2009). Dalam

periode yang sama, pangsa sektor industri meningkat dari 10,07 persen pada

tahun 1981 menjadi sekitar 33,47 persen pada tahun 2009. Dengan kata lain

bahwa pangsa sektor pertanian terhadap PDB sudah dibawah sektor industri.

Namun demikian, dalam penyerapan tenaga kerja, meskipun menurun, sektor

pertanian masih tetap yang tertinggi. Selama dua dasawarsa, pangan sektor

pertanian dalam penyerapan tenaga kerja menurun dari 54,66 persen pada

tahun 1981 menjadi 43,33 persen pada tahun 2009. Tingginya sumbangan

sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja dan PDB mencerminkan

betapa pentingnya sektor ini sebagai sumber utama pendapatan rumah tangga di

pedesaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi prioritas
pembangunan ekonomi, termasuk pembangunan infrastruktur penunjang

pertanian di pedesaan (Simatupang, el at. 2004).

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa sektor pertanian

terhadap pendapatan rumah tangga tertinggi pada agro-ekosistem yang

tergolong marjinal, yaitu lahan kering, sawah tadah hujan, dan lahan rawa. Hal ini

sebagian disebabkan oleh kecilnya kesempatan kerja non-pertanian pada

wilayah agro-ekosistem ini, mengingat daerah-daerah ini umumnya kurang akses

dibandingkan dengan daerah irigasi. Akibatnya, masyarakat di wilayah ini

semakin terperangkap dalam kemiskinan. Taryoto (1995) mengungkapkan

bahwa sebagian besar wilayah miskin berada pada zona agro-ekosistem lahan

kering, tadah hujan, pantai dan lahan rawa yang tergolong marjinal. Karakteristik

wilayah miskin adalah sebagai berikut : (1) Penguasaan teknologi budidaya

pertanian umumnya rendah, bahkan masih bersifat tradisional; (2) Kurang

berfungsinya lembaga-lembaga penyedia sarana produksi; (3) Ketiadaan atau

kurang berfungsinya lembaga pemasaran sehingga orientasi usahatani bersifat

subsistem; (4) Rendahnya kualitas prasarana transfortasi dan komunikasi,

rendahnya produktivitas kerja serta rendahnya marketable surplus hasil

usahatani.Masalah lain adalah skala pengusahaan oleh petani yang relatif kecil,

dan pengusahaan single commodity membuat sistem usahatani kurang efisien

dan beresiko tinggi. Secara umum petani seperti ini dicirikan oleh penguasaan

sumberdaya yang sangat terbatas, secara ekonomi miskin, serta tingkat

pendidikan yang rendah (Singh, 2002). Semua keterbatasan tersebut

menyebabkan rendahnya penerapan teknologi sehingga produktivitas

sumberdaya dan pendapatan petani juga rendah. Akibatnya mereka tidak

mampu memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga hanya dari usahtani,

sehingga harus mencari sumber pendapatan lain.


Dari struktur pendapatan rumah tangga pertanian, secara empiris sektor

pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama bagi sebagian besar

rumah tangga pertanian. Hasil penelitian Nurmanaf dan Nasoetion (1986)

menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian dalam pendapatan rumah

tangga pertanian mencapai 73 persen di desa lahan kering, 58 persen di desa

tambak, dan 60 persen di desa irigasi. Marisa dan Hutabarat (1988)

mengungkapkan bahwa 88 persen dari pendapatan rumah tangga pertanian di

Pedesaan Sulawesi Selatan berasal dari sektor pertanian. Sementara itu, hasil

penelitian Susilowati, et al. (2002) mengungkapkan bahwa di pedesaan Jawa

Barat sekitar 51 persen dari pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari

sektor pertanian. Saliem, et al. (2005) mengungkapkan bahwa pada tahun 2003

pangsa sektor pertanian dalam pendapatan rumah tangga pertanian adalah

masing-masing 48 persen di Jawa Timur, 51 persen di NTB dan 63 persen di

Sulawesi Selatan.

Dalam pertanian usaha pengembangan bisnis petani kecil merupakan

tantangan yang berat, meskipun bukan berarti tidak mungkin. berat karena

adanya keterbatasan pada petani kecil yang sering dikatakan bahwa usaha tani

kecil masih bersifat substen atau semi substen dengan cara budidaya tradisonal

dan keterbatsan dalam hal luas lahan, pendidikan, pengetahuan, tanpa orientasi

bisnis, sehingga berusaha tani bukan merupakan usaha melainkan jalan hidup

(way of life). Namum perkembangan penggunaan teknologi modern dan

masuknya ekonomi uang di pedesaan telah mulai berubah orientasi bisnis petani

kecil ke arah pasar. Petani telah lebih dinamis, telah mengenal teknologi modern

dan tanaman bernilai ekonomi tinggi. Perkembangan usaha tani yang positif ke

arah orientasi bisnis ini tidak menutup kenyataan yang ada tanpa adanya

keterbatasan dan trend perkembangan keberagaman usaha rumah tangga

petani. Kecilnya usaha tani menimbulkan usaha diluar usaha tani sehingga
peranan off-farm employment dan off-farm income makin besar. Dengan

demikian petani tidak hanya terlibat dalam usaha produksi primer sebagai

penghasil bahan baku. Off-fram employment juga merupakan peluang bagi

petani untuk meningkatkan pendapatannya bukan hanya dari tambahan

pendapatan yang dapat menambah konsumsi, melainkan juga petani akan

menambah investasi dan lebih mampu membiayai usahataninya dan akses

terhadap teknologi dan pasar menjadi lebih luas. Meskipun tetap dominan,

kontribusi sektor pertanian dalam pendapatan rumah tangga pertanian

menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini disebabkan oleh makin sempitnya

penguasaan lahan, sehingga pendapatan dari sektor pertanian juga makin

rendah. Konsekuensinya, anggota rumah tangga harus mencari sumber

pendapatan dari luar pertanian, guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Oleh

karena itu, sumber pendapatan rumah tangga cenderung makin beragam.

Banyak faktor yang berhubungan dengan tingkat pendapatan rumah tangga

pertanian seperti model usahatani, tingkat keberagaman usaha rumah tangga,

dan kontribusi berbagai sumber pendapatan terhadap pendapatan rumah

tangga.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani berdasarkan skala

usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu.

b. Bagaimana tingkat penyerapan pangan rumahtangga petani berdasarkan

skala usahatani

c. pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu.


1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian

ini adalah:

a. Menemukenali kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani berdasarkan

skala usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu.

b. Menganalisis tingkat penyerapan pangan rumahtangga petani berdasarkan

skala usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

a. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan terutama yang

berkaitan dengan topik penelitian dan merupakan salah satu syarat untuk

meperoleh gelar sarjana pertanian di Universitas Andi Djemma Palopo.

b. Bagi pemerintah Kabupaten Luwu, penelitian ini berguna sebagai

sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam pengambilan

kebijakan khususnya yang berkaitan dengan Analisis Tingkat

Ketersediaan Pangan Rumahtangga Petani berdasarkan Skala Usahatani

pada Tipe Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu.

c. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah

pengetahuan mengenai Analisis Tingkat Ketersediaan Pangan

Rumahtangga Petani berdasarkan Skala Usahatani pada Tipe

Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu.

d. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya


II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sistem Ketahanan Pangan

Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan

(sufficiency), akses (access)keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty ,

2004). Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang

menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga komponen utama

yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability dan stability),

kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan pemanfaatan pangan.

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang

terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem

ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan

pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan

ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi

pangan sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah,

pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta

stabil dari waktu kewaktu. Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya

memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta

stabilitas harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses

masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah,

belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/masyarakatnya. Sedangkan

subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai

pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi

individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan

tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif

bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas

dan produktif (Thaha, dkk, 2000).


Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak

mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana,

2003).

II.2. Ketersediaan Pangan

Aspek-aspek ketahanan pangan terdiri dari 4 (empat), salah satunya yaitu

aspek ketersediaan pangan. Aspek Ketersediaan (Food Availability) : yaitu

ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua

orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor,

cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan

mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagi jumlah kalori yang

dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

Ketersediaan pangan per kapita yaitu ketersediaan jenis pangan yang

tersedia untuk di konsumsi oleh rumah tangga, pedagang eceran,

perusahaan/industri makanan jadi, rumah makan dan sejenisnya pada periode

tertentu. Ketersediaan pangan mengisyaratkan adannya rata-rata pasokan

pangan yang cukup tersedia setiap saat. faktor-faktor yang mempengaruhi

ketersedian pangan antara lain :

1. Produksi : peningkatan produksi pangan dan kualitas pangan dapat

dilakukan dengan program intensifikasi budidaya dan diversifikasi pangan

antara lain dengan usaha pengolahan bahan pangan menjadi produk

pangan yang menpunyai nilai tambah.

2. Pasokan pangan dari luar (impor)

3. Cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan

penting bagi pemantapan ketahan pangan. Pengelolaan cadangan yang

baik akan dapat menanggulangi masalah pangan seperti adanya gejolak

harga yang tidak wajar, atau keadaan darurat karena adanya bencana
atau paceklik yang berkepanjangan, sehingga membatasi aksesibilitas

pangan masyarakat.

4. Bantuan pangan

5. Jumlah penduduk (Nuhfil Hanani AR, 2009)

Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin

terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional.

Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial – ekonomi :

1.     Teknis

a.     Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian

ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun).

b.     Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.

c.      Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.

d.     Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan

kemampuannya semakin menurun.

e.      Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen

(10-15%).

f.       Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak

pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .

2.     Sosial- ekonomi

a.     Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh

pemerintah.

b.     Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan

karena besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan

lahan produksi yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju

0,5%/tahun).

c.      Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar

dari pemerintah kecuali beras.


d.     Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif

impor yang melindungi kepentingan petani.

e.      Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi

penyediaan pangan (http/www. Novi eka kartika. Google.co.id).

II.3. Skala Usahatani

Skala usaha dalam suatu sistem usaha tani dapat diukur dengan

berbagai cara, antara lain dari investasi, biaya tetap, biaya variabel, total nilai

penjualan, luas areal tanam, dan jumlah satuan ternak. Perhitungan biaya setiap

luasan areal tanam atau satuan ternak dapat dilakukan untuk melihat perbedaan

efisiensi di antara petani yang mengusahakan komoditas serupa.

Biaya investasi adalah biaya yang diperlukan petani pada saat memulai

usahanya dan yang akan dikeluarkan kembali pada saat atau usia ekonomis

investasi tersebut telah habis. Termasuk dalam biaya investasi adalah tanah,

bangunan, mesin, bibit ternak, dan peralatan tidak habis pakai.

Biaya tetap adalah biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani atau

peternak dan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi dalam suatu siklus

produksi, misalnya biaya kandang, peralatan, perbaikan, depresiasi, dan upah

manajer.

Biaya operasional atau biaya variabel adalah biaya yang berubah-ubah

sesuai dengan perubahan produksi, seperti biaya pakan konsentrat, hijauan,

mineral, obat-obatan, serta tenaga pemelihara atau buruh. Total nilai penjualan

biasanya dihitung setiap tahun dan untuk menentukan besarnya pajak yang

harus dibayar. Cara seperti ini dilakukan di negara yang sudah maju dan

digunakan juga untuk mengelompokkan skala usaha kecil, menengah, dan

besar.
Skala usaha juga dapat diukur dengan melihat luas areal yang

diusahakan oleh petani atau satuan ternak yang dimiliki peternak. Dalam sistem

usaha yang terintegrasi, kombinasi komponen usaha tani tersebut menentukan

besarnya usaha.

Pendekatan titik impas dapat digunakan untuk menentukan skala usaha.

Secara umum, karena adanya respons petani terhadap tingkat risiko usaha yang

dihadapi, maka skala usaha dapat dilihat dari keuntungan yang diperoleh dengan

cara menjabarkan berbagai prasyarat teknis maupun ekonomi yang memberikan

kontribusi terhadap keuntungan tersebut. Untuk itu, skala usaha dapat dilihat dari

pendekatan titik impas.

Variasi tingkat keuntungan, volume produksi, dan persentase

perubahannya dapat dilakukan melalui analisis kepekaan (sensitivity analyses)

pada berbagai tingkat yang dikehendaki, sehingga dapat diketahui skala produksi

yang dikehendaki serta berbagai konsekuensinya. Usaha tani terpadu tanaman

dan ternak akan berhasil bila mempertimbangkan aspek keberlanjutan, ramah

lingkungan, serta secara sosial dan politis dapat diterima masyarakat.

Oleh karena itu, penerapan sistem ini akan bervariasi pada setiap

wilayah, bergantung pada kondisi geografis, ekologis, dan sosial ekonomi

masyarakat setempat dalam hal jenis ternak, sistem budi daya, perkandangan,

maupun komponen teknologi lainnya (Tjeppy D. Soedjana, 2007).


2. KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka Pikir Penelitian

Sistem
Ketahanan
Pangan

Ketahanan Pangan
Rumahtangga

Agroekosistem
Persawahan

Lahan Luas Lahan Lahan


Sedang Sempit

Pangan Utama

Tingkat Tingkat Tingkat Penganekara


Kecukupan Kecukupan Kecukupan gaman
Energi Protein Viitamin A Pangan

Peningkatan
Ketersediaan Pangan
Rumahttangga

Peningkatan
Ketahanan Pangan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

2.2. Hipotesis
III. METODE PENELITIAN

III.1. Metode Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi untuk objek penelitian ditentukan dengan menggunakan

Multistage Sampling. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan 2 tahap yaitu

penentuan kecamatan dan penentuan desa untuk lokasi penelitian.

Tahap pertama adalah pengambilan contoh kecamatan berdasarkan

tingkat ketahanan pangan tingkat kecamatan. Pemilihan kecamatan didasarkan

pada asumsi bahwa kecamatan yang terpilih adalah kecamatan yang memiliki

areal persawahan yang luas. Berdasarkan data sekunder maka kecamatan yang

terplih untuk Kabupaten Luwu kecamatan yang terplih adalah Kecamatan Bupon.

Tahap kedua akan dipilih 2 desa setiap kecamatan untuk mengukur

ketahanan pangan rumahtangga. Pemilihan desa didasarkan pada aksesibilitas

desa yaitu desa yang dekat dengan ibu kota kecamatan dan desa yang terjauh

dari ibu kota kecamatan. Untuk Kecamatan Bupon desa yang terpilih adalah

Desa Noling dan Desa Buntu Batu.

III.2. Metode Penetuan Sampel

Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode stratifikasi

random sampling berdasarkan skala usahatani rumahtangga petani. Skala

usaha ditentukan pada 3 strata yaitu (1) rumahtangga petani yang memiliki luas

penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, (2) rumahtangga petani yang memiliki

luas penguasaan lahan 0,5 sampai 1,0 hektar dan (3) rumahtangga petani yang

memiliki luas penguasaan lahan lebih besar dari 1 hektar. Setelah populasi dari

setiap strata ditentukan maka jumlah sampel akan dipilih secara acak sederhana

sebesar 20 % dari setiap populasi.


III.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara

dimana peneliti melakukan wawancara kepada sampel yang terpilih dengan

menggunakan alat wawancara atau questioner penelitian (lampiran 1) yang

memuat instrument yang terdiri dari identitas responden, keadaan sosial

ekonomi, kondisi rumahtangga yang terkait dengan komponen ketahanan

pangan yang terkait dengan penyerapan pangan yang meliputi 5 komponen

yaitu, tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan

vitamin A dan penganekaragaman pangan.

Data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer digunakan untuk menentukan derajat ketahanan pangan

rumahtangga pada tiga tipe agroekosistem yang menjadi unit analisis,

sedangkan data sekunder digunakan untuk mengkaji hal-hal yang terkait dengan

kebijakan untuk meningkatkan ketahapan pangan rumahtangga.

Data sekunder dikumpulkan pada berbagai instansi yang terkait dengan

kajian dari penelitian ini seperti, potensi desa, Badan Pemberdayaan

Masyarakat, Dinas pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kesehatan, BKKBN, Biro

Pusat Statistik. Data sekunder ini diperoleh dengan melakukan pencatatan

dokumen dan wawancara mendalam (indepht interview) kepada setiap informan

pada instansi yang terkait. Sedangkan data primer diperoleh dengan melakukan

wawancara kepada rumahtangga yang terpilih dengan menggunakan pedoman

wawancara (questioner) yang akan disiapkan sebelumnya. Data primer ini

diperoleh dari sampel yang mampu memberikan informasi tentang indikator yang

berhubungan ketahanan pangan rumahtangga.


III.4. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini disajikan sesuai

dengan tujuan penelitian:

1. Deskripsi Variabel Sosial Ekonomi (tujuan1)

Kondisi social ekonomi dianlisis dengan deskriptif dimana akan dijelaskan

secara deskripsi kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani yang terdiri dari

umur, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, keragaan pekerjaan, kondisi

penyerapan pangan rumahtangga yang meliputi tingkat kecukupan energi,

tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan vitamin A dan penganekaragaman

pangaan rumahtanagga petani.

2. Analisis Tingkat Ketersedian Pangan Rumahtangga Petani (tujuan2)

Tingkat penyerapan pangan rumahtangga dianalisis dengan

membandingkan antara skor dan bobot dari masing-masing komponen

penyerapan pangan rumahtangga khususnya tipe agroekosistem persawahan

(Mais Ilsan, 2015). Adapun pengukuran penyerapan pangan rumahtangga

petani pada tipe agroekosistem persawahan disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Pengukuran Tingkat Penyerapan Pangan Rumahtangga Petani Pada


Tipe Agroekosistem Persawahan

No. Indikator Pengukuran Skor Bobot SXB


Penyerapan Pangan (Bobot 25)
X1 Tingkat > 2.600 kkl/kpt/hr (Sangat Tahan 6 5 30
Kecukupan Pangan)
Energi > 2.500-2.600 kkl/kpt/hr (Tahan 5 5 25
Pangan)
> 2.400-2.500 kkl/kpt/hr ( Agak 4 5 20
Tahan Pangan)
>2.300-2.400kkl/kpt/hr 3 5 15
(AgakRawan angan)
> 2.200-2.300 kkl/kpt/hr (Rawan 2 5 10
Pangan)
< 2.200 kkl/kpt/hr(Sangat Rawan 1 5 5
Pangan)
X2 Tingkat > 77 gram/kpt/hr (Sangat Tahan 6 10 60
No. Indikator Pengukuran Skor Bobot SXB
Kecukupan Pangan)
Protein > 72-77 gram/kpt/hr (Tahan 5 10 50
Pangan)
> 67-72 gram/kpt/hr ( Agak Tahan 4 10 40
Pangan)
> 62-67 gram/kpt/hr (AgakRawan 3 10 30
Pangan) 2 10 20
> 57-62 gram/kpt/hr (Rawan 1 10 10
Pangan)
< 57 gram/kpt/hr (Sangat Rawan
Pangan)
X3 Tingkat > 13 gram/kpt/hr (Sangat Tahan 6 5 30
Kecukupan Pangan)
Vitamin > 11-13 gram/kpt/hr (Tahan 5 5 25
Pangan) 4 5 20
> 9-11 gram/kpt/hr ( Agak Tahan
Pangan) 3 5 15
> 7-9 gram/kpt/hr (AgakRawan
Pangan) 2 5 10
> 5-7 gram/kpt/hr (Rawan Pangan) 1 5 5
< 5 gram/kpt/hr (Sangat Rawan
Pangan)
X4 Penganeka > 90% (sangat tahan pangan) 6 5 30
ragamaan > 80% - 90% (tahan pangan) 5 5 25
Pangan > 70% - 80% (agak tahan pangan) 4 5 20
> 50% - 70% (agak rawan pangan) 3 5 15
> 30% - 50% (rawan pangan) 2 5 10
< atau = 30% (sangat rawan 1 5 5
pangan

Perhitungan Komposit Penyerapan Pangan


Bobot 25,00 – 45,83 ( Sangat Rawan Pangan)
Bobot 45,84 – 66,66 (Rawan Pangan)
Bobot 66,67 – 87,50 (Agak Rawan Pangan)
Bobot 87,51 – 108,33 (Agak Tahan Pangan)
Bobot 108,34 – 129,17 (Tahan Pangan)
Bobot 129,18 – 150,00 (Sangat Tahan Pangan)

Anda mungkin juga menyukai