0
= Intersep
j
= Koefisien regresi (j=1,2,3,..6)
MS = Modal sosial (rumah tangga)
U = Umur kepala keluarga (tahun)
AK = J umlah anggota rumah tangga (jiwa)
d_PdK = Pendidikan kepala keluarga (1=tamat SMA, 0 =tidak tamat SMA)
d_PK = Pekerjaan kepala keluarga (1 =sudah tetap, 0 =belum tetap)
NGO =Banyaknya NGO dalam satu desa yang membantu dibidang ekonomi
Fadli
1)
, Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Pasca Tsunami 45
HASIL PENELITIAN
Pendapatan merupakan salah satu indikator
kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi
pendapatan, tingkat kesejahteraannya juga semakin
tinggi. Pendapatan keluarga secara umum bisa
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala keluarga,
pekerjaan kepala keluarga, umur kepala keluarga,
jumlah anggota rumah tangga, aset yang dimiliki
rumah tangga dan lain sebagainnya.
Model yang digunakan untuk menganalisis
faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga
pasca tsunami adalah model regresi linier. Selain
memasukkan variabel-variabel yang secara umum
digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi
pendapatan keluarga yaitu pendidikan kepala
keluarga, pekerjaan kepala keluarga, jumlah anggota
keluarga, juga memasukkan faktor modal sosial
masyarakat dan keterlibatan berbagai pihak sebagai
penyedia bantuan dalam proses rehabilitasi dan
rekonstruksi di NAD sebagai variabel bebasnya.
Dengan memasukkan indeks modal sosial
masyarakat, maka dapat dilihat seberapa besar modal
sosial berpengaruh terhadap pemulihan pendapatan
masyarakat pasca tsunami.
Hasil pengujian hipotesis terhadap model
analisis regresi linier menunjukkan nilai probabilitas
< 0,05, maka model regresi linier tersebut layak
digunakan untuk memprediksi faktor modal social,
pendidikan kepala keluarga, jumlah anggota
keluarga, pekerjaan kepala keluarga dan bantuan
NGO berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat
pasca tsunami (Tabel 1). Hasil analisis menunjukkan
bahwa pendapatan keluarga dipengaruhi secara nyata
oleh indeks modal sosial masyarakat pada taraf nyata
95 %. Modal sosial memberikan pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap pendapatan keluarga
pasca tsunami. Modal sosial merupakan salah satu
faktor yang dapat memudahkan masayarakat untuk
memulihkan pendapatannya. Kerjasama dan saling
percaya sebagai unsur modal sosial memberi peluang
masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara
kolektif, seseorang pecaya kepada orang lain karena
ada tujuannya yaitu untuk mendapat keuntungan
(Lawang 2004).
Selain itu, tingkat pendidikan kepala
keluarga juga berpengaruh terhadap pemulihan
pendapatan masyarakat pasca tsunami walaupun
tidak begitu signifikan. Tingkat pendidikan kepala
keluarga minimal SMA memberi pengaruh yang
positif kepada peningkatan pendapatannya. Hal
tersebut merupakan hal yang logis, mengingat
pendidikan kepala keluarga yang sudah tamat SMA
akan memudahkan dalam melakukan berbagai
kegiatan. Sedangkan variabel keterlibatan NGO
(d_NGO) memiliki tanda positif artinya bahwa
jumlah NGO yang terlibat dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Sumber peningkatan
pendapatan masyarakat yang berkaitan dengan
jumlah NGO yang terlibat yaitu terutama pada
pembangunan fisik seperti pembangunan rumah.
Sedangkan pada bidang ekonomi, modal usaha yang
disalurkan belum mendapatkan hasil mengingat
waktunya yang belum begitu lama sehingga usaha
masyarakat belum memberikan hasil sesuai yang
diharapkan.
Tabel 1. Hasil Analisis Menggunakan Regresi Linier dengan Variabel Terikat Pendapatan Rumah Tangga
Indikator Koefisienregresi P-Value
Konstanta -22.706 0.192
Indeks Modal Sosial Masyarakat (MS) 32.721 0.011
Umur Kepala Rumah Tangga (U) 9.780E-02 0.711
Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (d_PK) 9.169 0.098
Pendidikan Kepala Rumah Tangga (d_PdK) 10.267 0.060
J umlah Anggota Rumah Tangga (AK) -0.843 0.589
Keterlibatan NGO (NGO) 1.870 0.170
R Square 0.260
Adjusted R Square 0.178
F Statistik 0.010
46 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 43-46
Keterkaitan pendapatan masyarakat desa pasca
tsunami dan modal sosial yaitu modal sosial dapat
memfasilitasi terjadinya proses perolehan
pendapatan yang lebih cepat. Penggunaan modal
sosial yang tepat akan meningkatkan akses setiap
orang untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan,
kesehatan, kenyamanan, perumahan dan kesempatan
kerja sehingga kehidupannya akan lebih sejahtera.
Modal sosial memfasilitasi orang untuk bekerja
secara bersama-sama (collective action) untuk
mencapai tujuan bersama.
Modal sosial memang bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi tercapainya tingkat
kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan
wilayah yang tinggi. Banyak faktor-faktor yang juga
mempengaruhinya seperti ketersediaan sumberdaya
alam fisik serta sumberdaya manusia. Penelitian-
penelitian tentang modal sosial yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa modal sosial dapat
mempengaruhi tercapainya tingkat kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan wilayah yang tinggi,
khususnya pembangunan ekonomi suatu wilayah
(Kirwen dan pierce, 2002, Knowles, 2005, Narayan
dan Pritchett, 1999, North, 1990 serta Putnam,
1993).
Kerjasama dan saling percaya antar sesama
masyarakat maupun dengan lembaga di dalam dan di
luar komunitas masyarakat merupakan unsur utama
modal sosial. Sering melakukan kerjasama dan
tingkat kepercayaan yang tinggi memberi peluang
masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara
kolektif. Aktivitas bersama yang dihasilkan dari
adanya interaksi sosial yang intensif dapat
meningkatkan produktifitas ekonomi.
KESIMPULAN
Peningkatan pendapatan masyarakat desa
pasca tsunami dipengaruhi oleh stok modal sosial.
Semakin tinggi stok modal sosialnya, proses
menghasilkan pendapatan semakin cepat. Modal
sosial menjadi faktor penentu peningkatan
pendapatan masyarakat desa pasca tsunami
disamping faktor lain yaitu pekerjaan, pendidikan,
umur kepala keluarga dan keterlibatan pihak NGO,
modal sosial dapat mendorong masyarakat untuk
melakukan kerjasama (collective action) untuk
mencapai tujuan bersama yaitu membangun kembali
desa mereka yang telah hancur akibat tsunami.
DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama, F. (1995). Trust: the social virtues and
the creation of prosperity. The Free Press.
New York.
Kirwen, E. L., Pierce, L. I. (2002). Rebuilding trust
and social capital in Maluku, Indonesia.
Prepared for the USAID DG Partners
Conference December 2002.
Knowles, S. (2005). The future of social capital in
economics development research. A paper for
WIDER J ubilee Conference. Helsinki.
Lawang, R. M. Z.(2004). Kapital sosial dalam
perspektif sosiologik suatu pengantar. FISIP
UI PRESS. J akarta.
Mantra, I. B. (2004). Filsafat penelitian dan metode
penelitian sosial. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Narayan, D., Pritchett, L.(1999). Cent and
sociability. Household income and social
capital in rural Tanzania. Economic
Development and Cultural Change 47 (8):
871-986.
North, D. C. (1990). Institutions, institutional change
and economic performance. Cambridge
University Press. Cambridge.
Putnam, R. D. (1993). Making democracy work:
civic tradition in modern Italy. Princeton
University Press. Princeton. New J ersey.
1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
47
EVALUASI BEBERAPA NOMOR AKSESI KENTANG (Solanum tuberosumL.) TERHADAP
KETAHANAN PENYAKIT HAWAR DAUN (Phytopthora infestans (Mont.) de Bery)
EVALUATION OF ACCESSION NUMBER OF PATATO (Solanum tuberosum L.) ON
RESISTANCE LEAF BLIGHT (Phytopthora infestans (Mont.) de Bery)
Muhamad Yusuf
1)
Abstract
The purpose of this study is to evaluate 27 potato accession numbers from crosses that have disease resistance
of P. infestans ( late blight ), knowing the potential production of 27 clones of potato accession numbers from
crosses. Results showed the intensity of the disease are observed including six resistant clones 22.22% (PT4,
AP3, PT3, AP4, AP7, and PT2) with the intensity of attacks between 9.70-18.33%, 14.81% four moderately
resistant clone (PT1, PT5, AP8 and AP2) with the intensity of 20.48-37.50%, 12% moderately susceptible
clones 44.44 (RP5, RP18, RP7, RP16, RP 6, RP 8, RP3, RP2, RP14, RP17, Rp13, and RP10) with the intensity
of attacks 45.00-59, 12%, and 18-52% five clones were classified as susceptible (RP4, RP15, RP 9, AP1 and
AP6) with the intensity of attacks between 68.18-100%. Intensity of the relationship is linear with the number
of bulbs, with the model equation Y = 17 594 - 0.174x. (R
2
= 0.264), the intensity of the relationship with tuber
weight is linear, with the model equation Y = 404 817-4.606x. (R
2
= 0.297) and the intensity of the bulb
volume is linear, with a regression model Y = 346 010- 4.081x. (R
2
= 0.292).
Keywords: Evaluation, Accession Potato, leaf blight.
PENDAHULUAN
Identifikasi penyebab suatu penyakit (etiologi)
merupakan suatu langkah dalam studi penyakit dan
sebagai titik awal untuk menentukan langkah-
langkah selanjutnya. J ika terjadi epidemi penyakit
baru pada suatu komoditas pertanian yang penting
dan telah menimbulkan kerusakan yang cukup
berarti atau diduga akan menimbulkan masalah yang
besar, maka langkah pertama yang harus dilakukan
ialah menentukan organisme penyebabnya. Menurut
Sahat (1985) yang mempelajari sifat ketahanan
terhadap penyakit hawar daun pada kentang
komersial menyimpulkan bahwa sifat ketahanan
dikontrol oleh tiga gen dominan. Ketahanan terhadap
penyakit P. infestans (hawar daun) bersifat dominan
dan dikendalikan oleh tiga pasang gen mayor dan
tingkat ketahanan populasi hibridnya lebih besar jika
dibandingkan dengan rata-rata tetuanya (Liao, Wang,
Xang, Tang, Tan, dan Sun,1990). Karena sifat
ketahanan seringkali terdapat pada spesies Solanum
diploid, maka pembentukan varietas yang memiliki
komposisi genetik yang unggul syarat mutlak bagi
suatu budidaya tanaman terutama dalam program
pemuliaan.
Target mutu benih kentang adalah kesehatan
benih (seed health) dan kebenaran varietasnya. Oleh
karena itu persoalan pokok pada benih kentang
adalah bagaimana agar benih kentang yang
diproduksi itu sehat, bebas dari infeksi dan infestasi
penyakit. Salah satu penyakit penting pada kentang
adalah hawar daun yang disebabkan oleh jamur P.
infestans (Yabuuchi, Kosaka, Yano, Hotta, dan
Nishiuchi, 1995). Kerusakan oleh penyakit hawar
daun dapat mengakibatkan penurunan hasil antara
10-100% (Suryaningsih, Chujoi, dan Kusmana,
1999). Di Belarusia pada pada tahun 1999 penyakit
hawar daun P. infestans (Mont.) de Bery dapat
menyerang daun-daun tanaman bagian atas (daun
muda) pada awal periode pertumbuhan vegetatif
tanaman dengan tingkat kerusakan daun mencapai
80-100% pada varietas yang berumur genjah, dan
70-80% pada varietas yang berumur sedang dan
dalam (Anoshenko,1999).
Hasil penelitian Sengooba dan Hakiza (1999),
menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat
melebihi 90%, jika patogen yang menyerang kultivar
yang rentan pada awal pertanaman. Penelitian yang
dilakukan di Ethiopia, Kenya, Rwanda, Uganda, dan
Burundi menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat
mencapai 40-70%, dan besarnya kehilangan hasil
sangat tergantung baik pada kerentanan varietas
maupun pada kondisi lingkungan tempat tumbuh.
Penyakit P. infestans (hawar daun) pada
kentang sampai saat ini masih menjadi kendala
dalam produksi kentang. Berbagai rekomendasi
upaya pengendalian penyakit ini belum memberikan
hasil yang optimal. Penggunaan tanaman tahan
merupakan faktor yang sangat penting untuk
mengendalikan penyakit tanaman. French (1994),
menyatakan bahwa salah satu metode untuk
48 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55
mengendalikan penyakit adalah penggunaan kultivar
tahan.
Perakitan kultivar unggul yang tahan terhadap
penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain dengan melakukan hibridisasi atau
persilangan antara semua tetua sehingga dapat
diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, nilai
heterosis, daya gabung (daya gabung umum dan
khusus) dan dugaan besarnya ragam genetik dari
suatu karakter.
Benih kentang yang dipakai sekarang berupa
organ vegetatif (umbi), sehingga sekalipun
diperbanyak berkali-kali tidak akan terjadi
perubahan secara genetis. Adapun kemerosotan
(degenerasi) produksi yang terjadi pada setiap
generasi benih kentang yang diperbanyak/ditanam
secara terus menerus disebabkan oleh infestasi
penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan
terus terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang
dimaksud adalah jamur yang disebabkan P.
infestans. Semakin panjang generasi benih maka
semakin besar tingkat infestasi jamur pada generasi
benih tersebut, sehingga produksinya semakin
rendah. Oleh karena itu hanya benih yang sehat yang
memiliki potensi produksi yang baik.
Keadaan tersebut memberi peluang untuk
merakit varietas yang berorientasi masa depan.
Penerimaan varietas baru hanya akan terlaksana
apabila varietas tersebut memiliki keunggulan yang
signifikan dari varietas yang telah ada.
Metode seleksi merupakan proses yang efektif
untuk memperoleh sifat-sifat yang dianggap sangat
penting dan tingkat keberhasilannya tinggi (Kasno,
1992). Untuk mencapai tujuan seleksi, harus
diketahui antara karakter agronomi, komponen hasil,
sehingga seleksi terhadap satu karakter atau lebih
dapat dilakukan (Zein, 1995).
Variasi genetik akan membantu dalam
mengefesienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi
genetik dalam suatu populasi tinggi, ini
menunjukkan individu dalam populasi beragam
sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang
diharapkan akan baik (Bahar dan Zein, 1993).
Sedangkan pendugaan nilai heritabilitas yang dari
rata-rata induknya ini menunjukkan bahwa faktor
pengaruh genetik lebih besar terhadap penampilan
fenotip serta lingkungan, sehingga dapat diketahui
sejauh mana sifat atau faktor lingkungan, sehingga
dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat
diturunkan pada generasi berikutnya.
Korelasi dua atau lebih antara sifat positif
yang dimiliki akan memudahkan seleksi karena akan
diikuti oleh meningkatnya sifat yang satu ke sifat
yang lainnya, sehingga dapat ditentukan satu sifat
atau indek seleksi (Eckebil, Gardner, dan Maranville,
1977). Sebaliknya bila korelasi negatif, maka sulit
untuk memperoleh sifat yang diharapkan, maka
seleksi menjadi tidak efektif (Poespodarsono, 1988).
Pada umumnya bila dua tanaman yang
berlainan disilangkan, maka turunannya sering
memperlihatkan gejala heterosis atau umumnya
disebut vigor hibrida (hybrid vigour) (North, 1979
dalam Baihaki, 1989).
Usaha pengendalian dengan menanam varietas
tahan merupakan cara efektif, efesiensi dan aman
bagi lingkungan (Hogenboom,1993).
Morfologi
Berbagai teknik telah digunakan oleh para
peneliti untuk mengkaji keragaman ciri-ciri P.
infestans, baik menggunakan teknik yang
konvensional maupun teknik molekuler. Beberapa
teknik molekuler yang telah digunakan di antaranya
adalah analisis allozyme, uji kepekaan terhadap
metalaxyl, dan analisis genomik DNA dari isolate P.
infestans (Purwanti, 2002). P. infestans termasuk
famili Pythiaceae , ordo Peronosporales, klas
Oomycetes (Alexopoulos, Mims, dan Blackwell,
1996).
Struktur vegetatif dari jamur sendiri terdiri
dari hifa yang menyerupai benang-benang panjang.
Hifa secara kolektif membentuk miselium dan
panjangnya ada yang sampai beberapa meter. Hifa
ada yang beruas dan tak beruas. Pada hifa yang
beruas hifanya terbagi dengan sekat-sekat dan setiap
ruas mengandung satu nucleus atau banyak nucleus.
Pada tipe yang tak beruas terdiri dari hifa yang
mempunyai banyak nucleus yang tidak dibatasi oleh
sekat. Pada tipe ini dapat pula dijumpai dinding sekat
terutama pada hifa yang tua.
J amur parasit mempunyai hifa yang ektofitik
atau endofitik. Miselium yang ektofitik berada pada
permukaan tanaman inang sedangkan miselium yang
endofitik berada didalam jaringan tanaman inang dan
dapat tumbuh secara interseluler (diantara sel) atau
intraseluler (masuk kedalam sel). Hifa yang ektofitik
dan interseluler membentuk haustorium ke dalarn sel
untuk memperoleh zat makanan, bentuk haustorium
dapat bulat atau seperti akar.
Muhamad Yusuf
1)
, Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun 49
Ciri yang khas untuk mengenal sebagian besar
Phycomycetes ialah miselliumnya yang tidak
bersekat-sekat. Warna misellium putih, jika tua
mungkin agak coklat kekuning kuningan,
kebanyakan sporangium berwarna kehitam-hitaman
(Dwidjoseputro, 2005).
Gambar 1 adalah salah satu bentuk sporangia
hyalin, yang berbentuk seperti jeruk nipis,
mempunyai ukuran panjang 20-40 m (Anonim,
2005).
Fisiologi
Pada umumnya, patogen berkembangbiak
secara aseksual. Cara ini dilakukan tanpa
penggabungan sel kelamin betina dan sel kelamin
jantan, tetapi dengan pembentukan spora yaitu
zoospora yang terdiri dari masa protoplasma yang
mempunyai bulu-bulu halus yang bisa bergetar dan
disebut cilia, tetapi dapat juga berkembangbiak
secara seksual dengan oospora, yaitu penggabungan
dari gamet betina besar dan pasif dengan gamet
jantan kecil tapi aktif.
Daur hidup dimulai saat sporangium terbawa
oleh angin. J ika jatuh pada setetes air pada tanaman
yang rentan, sporangium akan mengeluarkan spora
kembara (zoospora), yang seterusnya membentuk
pembuluh kecambah yang mengadakan infeksi
(Rumahlewang, 2008). Ini terjadi ketika berada
dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan
perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan
berenang sampai menemukan tempat inangnya.
Ketika keadaan lebih panas, P. infestans akan
menginfeksi tanaman dengan perkecambahan
langsung, yaitu germ tube yang terbentuk dari
sporangium akan menembus jaringan inang yang
akan membiarkan parasit tersebut untuk memperoleh
nutrient dari tubuh inangnya, karena jamur ini
bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan
secara seksual atau pembentukan oospora hanya
terjadi apabila terjadi mating (perkawinan silang)
antara dua isolat P. infestans yang mempunyai
mating type (tipe perkawinan) berbeda (Purwanti,
2002).
Gambar 1. Morfologi Phytophthora infestans; a. Sporangiospora jamur b. Spora jamur c. Bentuk lain dari
sporangiospora jamur P. infestans memproduksi spora aseksual yang disebut sporangia.
Gambar 2. Daur hidup penyakit P. infestans (hawar daun).
50 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55
Inti sel antheridium dan oogonium akan saling
melebur (karyogami) ketika antheridium memasuki
oogonium. Mereka akan membentuk oospora
diploid, yang mana akan berkembang menjadi
sporangium dan daur hidup secara aseksual akan
terulang (Benru, 2007). Berbagai macam kondisi
untuk pembentukan oospora telah dianalisis.
Di bawah suatu kontrol, oospora diproduksi
pada daun kentang pada temperatur antara 5-25
0
C
(Govers, A. Drenth and E.M. J anssen, 2007).
Mendekati dengan 100% kelembaban relatif, jamur
P. infestans menghasilkan jumlah berlimpah
sporangia pada permukaan daun (Anonim, 2005).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat yang digunakan dilapangan
meliputi : pupuk organik (kotoran ayam) dan pupuk
anorganik NPK Mutiara (16:16:16), lanjaran, tali
rafia, emrad (gembor), label, meteran, jangka sorong,
timbangan serta peralatan tulis dan dokumentasi
Metode eksperimen yang digunakan dalam
penelitian menggunakan metode Rancangan Acak
Kelompok (RAK), perlakuan terdiri dari 27 klon
kentang hasil dari 3 persilangan kultivar tetua yang
berbeda; (1) Tetua Putih
x Thung
(5 nomor klon
generasi F2; PT1, PT2, PT3, PT4 dan PT5), (2)
Tetua Arinsa
x Putih
(7 nomor klon generasi F2;
AP1, AP2, AP3, AP4, AP6, AP7 dan AP8) dan (3)
Tetua Red Herta
x Putih
ij : Pengaruh galat perlakuan minyak pala ke-K
pada ulangan ke- i
Data hasil Penelitian dianalisis dengan
analysis of variance (anova) apabila menunjukkan F
hitung
>F
tabel,
maka selanjutnya dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan Uji BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN.
Tingkah Laku Ikan.
Hasil penelitian pada perlakuan A
menunjukkan bahwa reaksi ikan setelah dimasukkan
ke dalam wadah yang sudah terisi minyak pala, ikan
terlihat berenang aktif, dalam jangka waktu yang
cukup lama yaitu pada menit ke 2:14 ikan terlihat
sedikit panik, lalu terlihat stres pada menit ke 4:16
namun terkadang ikan terlihat diam dan tidak
berenang. Berenangnya mulai miring pada menit ke
8:45, tapi masih mampu bertahan, dan dalam
jangka waktu 12:09 kemudian ikan roboh. Posisi
ikan tegak lemah dan gerakan anggota badan seperti
insang dan sirip masih jelas walaupun lemah dan
jarang, serta masih responsif terhadap rangsangan
fisik dari luar meskipun sudah lemah. Setelah itu
ikan langsung terlihat tidak ada respon pada menit ke
19:03, ikan tersebut jatuh ke dasar wadah dan
akhirnya pingsan, tapi gerakan insang dan sirip
masih terlihat pada menit ke 26:10.
Pada perlakuan B tidak jauh berbeda dengan
perlakuan A, saat ikan dimasukkan ke dalam wadah
yang sudah terisi minyak pala ikan terlihat berenang
aktif, setelah menit ke 1:45 ikan terlihat diam.
Lalu pada menit ke 2:13 ikan terlihat sedikit panik,
dan pada menit ke 3:13 ikan tersebut sudah mulai
stres, berenang miring pada menit ke 8:26 tetapi
masih mampu bertahan. Kemudian mulai roboh pada
menit ke 12:07 posisi ikan tegak lemah dan
gerakan anggota badan seperti insang dan sirip masih
jelas walaupun lemah dan sesekali bergerak serta
masih responsif terhadap rangsangan fisik dari luar.
Setelah itu ikan pingsan pada menit ke 25:13 ikan
tersebut jatuh ke dasar wadah, tapi gerakan insang
dan sirip masih terlihat.
Pada perlakuan C juga tidak jauh berbeda
dengan perlakuan B, saat ikan dimasukkan ke dalam
wadah yang sudah terisi minyak pala ikan pada
64 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68
menit ke 1:04 ikan terlihat diam. Lalu pada menit
ke 1:24 ikan terlihat sedikit panik, dan pada menit
ke 2:32 ikan tersebut sudah mulai stres, berenang
miring pada menit ke 5:34 dan kemudian mulai
roboh pada menit ke 10:43. Setelah itu ikan
pingsan pada menit ke 21:10 ikan tersebut jatuh ke
bawah dasar wadah dan pingsan, tapi gerakan insang
dan sirip masih terlihat.
Pada perlakuan D menunjukkan bahwa reaksi
ikan setelah dimasukkan ke dalam wadah yang sudah
terisi minyak pala, pada menit ke 1:12 awalnya
panik, lalu terlihat stres pada menit ke 2:32 dan
berenang miring pada menit ke 4:30. Kemudian
mulai roboh pada menit ke 11:09, pada menit ke
12:05 ikan tidak ada respon lagi. Setelah ikan
pingsan, ikan tersebut jatuh ke dasar wadah, tapi
gerakan insang dan sirip masih terlihat pada menit ke
13:08. Hal ini sesuai dengan pendapat Karnila
(2001), yaitu kondisi ikan terbius roboh serta tidak
ada respon. Menurut Ningsih (2010) tingkah laku
ikan sebelum pingsan antara lain panik, stres,
berenang miring, dan kemudian pingsan, hal ini
sesuai dengan perlakuan yang penulis lakukan.
Tabel 1. Lama waktu untuk pingsan ikan nila
(Oreochromis niloticus).
Perlakuan
Lama waktu untuk pingsan
(menit)
Rata-
rata Ulangan
I
Ulangan
II
Ulangan
III
A
B
C
D
26,12
25,16
21,12
13,07
26,09
25,16
21,13
13,09
26,10
25,15
21,12
13,07
26,10
25,15
21,12
13,07
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Keterangan:
A: Minyak pala dengan dosis 0,8 ppm,
B: Minyak pala dengan dosis 0,9 ppm,
C: Minyak pala dengan dosis 1 ppm,
D: Minyak pala dengan dosis 1,1 ppm.
Lama Waktu Untuk Pingsan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda
berpengaruh terhadap waktu pingsan ikan nila. Dari
hasil pengamatan ternyata ikan yang paling cepat
pingsan adalah pada perlakuan D dengan dosis 1,1
ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah
pada menit 13:07, sedangkan lama waktu untuk
pingsan pada perlakuan lain berturut-turut adalah C
menit ke 21:12 B menit ke 25:15, dan A menit ke
26:10. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan
perlakuan yang paling cepat pingsan, sedangkan
selanjutnya disusul dengan perlakuan C: minyak pala
dengan dosis 1 ppm, B: minyak pala dengan dosis
0,9 ppm, A: minyak pala dengan dosis 0,8 ppm.
Berdasarkan data lama waktu untuk pingsan
selama penelitian pada Tabel 1 dapat diketahui
bahwa lama waktu untuk pingsan pada perlakuan D
dengan dosis 1,1 ppm yang paling cepat pingsan bila
dibandingkan dengan perlakuan A, B, dan C. Uji
analisa statistik menunjukkan bahwa lama waktu
untuk pingsan dengan dosis minyak pala yang
berbeda adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) >F
(tabel 0,01). Dengan menggunakan uji BNT (Beda
Nyata Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D
berbeda sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan
C berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan
perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan
A.
Diduga semakin tinggi dosis minyak pala
maka semakin cepat ikan nila tersebut pingsan,
dikarenakan dalam minyak pala mengandung
eugenol yang juga terdapat dalam minyak cengkeh
sehingga membuat ikan lemas dan akhirnya pingsan
tetapi kandungan eugenol dalam minyak pala sangat
rendah yaitu sekitar 4-8 % bila dibandingkan dengan
kandungan eugenol dalam minyak cengkeh yang
mencapai 90%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Afrianto dan Liviawati (1992), yaitu minyak
cengkeh mengandung zat eugenol yang dapat
membuat ikan lemas dan bergerak pelan dan
akhirnya pingsan.
Hasil penelitian yang penulis lakukan hampir
sama dengan hasil penelitian Wahyuni (2009)
semakin tinggi dosis, waktu pingsan semakin cepat,
tentang pengaruh minyak cengkeh terhadap lama
waktu sebelum pingsan ikan bandeng yang paling
cepat adalah pada perlakuan A dengan dosis 1 ml/5
liter air yang membutuhkan waktu selama 58,33
detik.
Dari hasil penelitian Ningsih (2010) tentang
pengaruh minyak cengkeh terhadap lama waktu
menjelang pingsan ikan mas yang paling cepat
pingsan adalah pada perlakuan A dengan dosis 1,3
ml/7 liter air yang membutuhkan waktu selama
58,48 detik.
Munawwar Khalil
1)
, Yuskarina
2)
, Prama Hartami
1)
, Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi 65
Lama Waktu Pingsan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda
berpengaruh terhadap lama waktu pingsan ikan nila.
Pada perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan
lama waktu pingsan yang paling lama yaitu selama
253:09", kemudian disusul pada perlakuan lain
seperti pada perlakuan C selama 230:30, perlakuan
B selama 211:07, dan perlakuan A selama
204:06. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Lama waktu pingsan ikan nila
(Oreochromis niloticus).
Perlakuan
Lama waktu pingsan (menit)
Rata-
rata
Ulangan
I
Ulangan
II
Ulangan
III
A
B
C
D
204,55
211,10
230,29
253,06
204,40
211,07
230,33
253,08
204,45
211,05
230,30
253,13
204,46
211,07
230,30
253,09
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan
perlakuan yang paling lama waktu pingsan,
sedangkan selanjutnya disusul dengan perlakuan C:
Minyak pala dengan dosis 1 ppm, B: Minyak pala
dengan dosis 0,9 ppm, dan perlakuan A: Minyak
pala dengan dosis 0,8 ppm.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat
dijelaskan bahwa pada perlakuan D merupakan
waktu yang paling lama ikan pingsan yaitu selama
253:09, kemudian disusul pada perlakuan C
230:30, perlakuan B selama 211:07, dan
perlakuan A merupakan perlakuan yang paling
singkat lama waktu pingsan diantara perlakuan yang
lain yaitu selama 204:46.
Uji analisis menunjukkan bahwa lama waktu
menjelang pingsan dengan dosis minyak pala yang
berbeda adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) >F
(tabel 0,01). Dengan menggunakan uji BNT (Beda
Nyata Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D
berbeda sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan
C berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan
perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan
A.
Hasil penelitian penulis hampir mirip dengan
hasil penelitian Ningsih (2010) tentang semakin
tinggi dosis yang diberikan maka semakin lama
waktu pingsan ikan tersebut, pengaruh minyak
cengkeh terhadap lama waktu pingsan ikan mas yaitu
perlakuan yang paling lama pingsan adalah pada
perlakuan A dengan 1,3 ml/7 liter air yang
membutuhkan waktu selama 18060,28 detik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu
pemingsanan yang paling lama diperoleh pada
penggunaan minyak cengkeh 15 mg/ liter air yaitu
selama 79:40. Selanjutnya menjadi lebih cepat
berturut-turut untuk konsentrasi 30 mg/liter air yaitu
selama 26:55, 45 mg/liter air yaitu selama 10:30
dan untuk 60 mg/l yaitu selama 8:00.
Lama Waktu Sadar.
Pada saat ikan nila dimasukkan ke dalam air
untuk dilakukan penyadaran kembali ikan tersebut
masih dalam keadaan pingsan, tetapi gerakan insang,
sirip dan pangkal ekor sudah terlihat. Setelah
beberapa saat kemudian, dan ikan tersebut sadar,
bergerak pelan dan berenang perlahan, dan dalam
jangka waktu tertentu ada ikan yang berenang aktif
(normal kembali), dan ada juga beberapa ikan yang
mati karena tidak mampu bertahan terhadap
perlakuan dengan dosis minyak pala pada semua
perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda
berpengaruh terhadap waktu sadar ikan nila, pada
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan lama
waktu sadar yang paling lama yaitu pada menit ke
60:06. Kemudian disusul dengan perlakuan C:
45:30 B: 30:12, dan perlakuan A selama:
24:46. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Lama waktu sadar ikan nila (Oreochromis
niloticus).
Perlakuan
Lama waktu sadar (menit)
Rata-
rata
Ulangan
I
Ulangan
II
Ulangan
III
A
B
C
D
24,55
30,15
45,29
60,03
24,40
30,12
45,33
60,05
24,45
30,10
45,30
60,10
24,46
30,12
45,30
60,06
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Berdasarkan data lama waktu sadar pada
Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa lama waktu sadar
yang paling lama terdapat pada perlakuan D dengan
dosis 1,1 ppm yaitu pada menit ke 60:06
dibandingkan dengan perlakuan C, B, A masing-
masing dengan lama waktu secara berturut-turut
66 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68
45:30; 30:12 dan 24:46. Uji analisis statistik
menunjukkan bahwa lama waktu menjelang pingsan
dengan dosis minyak pala yang berbeda adalah
berbeda sangat nyata, F (hitung) >F (tabel 0,01).
Dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata
Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D berbeda
sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan C
berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan
perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan
A.
Dari hasil penelitian ternyata semakin tinggi
dosis minyak pala yang diberikan maka semakin
lama ikan nila tersebut sadar, dikarenakan dalam
minyak pala mengandung zat eugenol yang juga
terkandung dalam minyak cengkeh. Pada perlakuan
A saat pembongkaran setelah transportasi selama 3
jam untuk proses penyadaran, pada saat dimasukkan
ke dalam air segar yang ditambahkan aerasi. Ikan
masih dalam keadaan roboh dan jatuh ke dasar
wadah dan terlihat diam tanpa ada pergerakan sedikit
pun, seolah-olah ikan mati yang masih segar.
Ikan yang tenang dan tidak bergerak tersebut
merupakan ikan yang mati karena tubuhnya keras
dan kaku pada saat pembiusan yang menyebabkan
ikan tersebut menjadi mati, serta ditambah lagi
akibat kelebihan dosis minyak pala yang tinggi
sehingga mengakibatkan ikan tidak mampu bertahan
(Berka,1986). Sedangkan penggunaan dosis minyak
pala yang rendah lama waktu pingsan sangat singkat
bila dibandingkan dengan pembiusan menggunakan
minyak cengkeh, dikarenakan kandungan zat
eugenol dan methyleugenol yang terkandung dalam
minyak pala sangat rendah yaitu sekitar 4-8 %
(Drazat, 2007). Hal ini hampir mirip dengan hasil
penelitian Wahyuni (2009) tentang pengaruh minyak
cengkeh terhadap lama waktu sadar ikan mas yang
paling lama pingsan adalah pada perlakuan A dengan
1 ml/5 liter air yang membutuhkan waktu selama
435 detik, hal ini berbeda dengan perlakuan yang
penulis lakukan. Waktu pemulihan yang paling lama
diperoleh dari perlakuan konsentrasi minyak
cengkeh 45 mg/l yaitu 7: 35 dan 60 mg/l yaitu
8:09, sedangkan waktu tercepat diperoleh pada
konsentrasi 15 mg/l 1:72 dan 30 mg/l 2:68.
Pada perlakuan A ikan yang masih hidup
mulai menunjukkan tanda-tanda kesadarannya,
seperti adanya pergerakan pada insang, sirip dan
pangkal ekor walaupun hanya sedikit, dan perlahan
mulai menunjukkan pergerakan tubuhnya dan mulai
berenang perlahan-lahan, dan lalu aktif kembali.
Pada perlakuan B, C, dan D pada saat pembongkaran
setelah transportasi selama 3 jam untuk proses
penyadaran, pada saat dimasukkan ke dalam air
segar yang ditambahkan aerasi, ikan masih dalam
keadaan roboh dan jatuh ke dasar wadah dan terlihat
diam tanpa ada pergerakan sedikitpun, seolah-olah
ikan mati yang masih segar. Secara visual tubuh ikan
terlihat keras dan kaku sehingga menyebabkan
banyak ikan yang mati.
Kelangsungan Hidup.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kelangsungan hidup ikan nila adalah berbeda sangat
nyata, F (hitung) >F (tabel 0,01), rata-rata tingkat
kelangsungan hidup untuk semua perlakuan sangat
rendah yaitu sekitar 29,16 %. Perlakuan A dengan
tingkat kelangsungan hidupnya 58,33 %, sedangkan
perlakuan B adalah 33,33 %, perlakuan C adalah
16,66 %, dan perlakuan D adalah 8,33 %. Hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis
niloticus).
Perlakuan
Kelangsungan Hidup (%) Rata-
rata
(%)
Ulangan
I
Ulangan
II
Ulangan
III
A
B
C
D
75
25
25
0
50
50
0
25
50
25
25
0
58,33
33,33
16,16
8,33
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan banwa
tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan
A yaitu 58,33 %, dan terendah pada perlakuan D
yaitu 8,33 %. Hal ini dikerenakan dosis minyak pala
yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1,1 ppm.
Dari hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan
bahwa kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan
A lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan
B, C, dan D. Pada perlakuan B, C, dan D bila dilihat
dengan rendahnya SR, diduga dengan pemberian
minyak pala yang banyak bisa mengakibatkan
kematian. Minyak pala sebagai bahan penyedap pada
produk makanan dianjurkan memakai dosis sekitar
0,08%, karena dalam dosis yang lebih tinggi dapat
menyebabkan keracunan. Minyak ini memiliki
kemampuan lain, yaitu dapat mematikan serangga
(insektisidal), anti jamur (fungisidal), dan anti
bakteri.
Berdasarkan uraian hasil penelitian efektifitas
dosis minyak pala untuk pemingsanan ikan nila
(Oreochromis niloticus) selama transportasi diduga
tidak efektif untuk pemingsanan ikan dikarenakan
Munawwar Khalil
1)
, Yuskarina
2)
, Prama Hartami
1)
, Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi 67
kelangsungan hidup untuk semua perlakuan sangat
rendah yaitu sekitar 29,16 %. Dosis tinggi akan
menyebabkan banyak ikan yang mati sedangkan
dosis rendah membutuhkan waktu yang sangat lama
pada saat pembiusan menjelang pingsan, dan lama
waktu pingsan sangat singkat bila dibandingkan
dengan pembiusan menggunakan minyak cengkeh,
dikarenakan kandungan zat eugenol dan
methyleugenol yang terkandung dalam minyak pala
sangat rendah yaitu sekitar 4-8 % (Drazat, 2007).
Hasil penelitian penulis sangat berbeda dengan hasil
penelitian Ningsih (2010) tentang pengaruh minyak
cengkeh terhadap kelangsungan hidup ikan mas
(Cyprinus carpio) yang tertinggi terdapat pada
perlakuan B dengan 1 ml/7 liter air dengan nilai
100%, C dengan 0,7 ml/7 liter air dengan nilai
100%, B dengan 0,4 ml/7 liter air dengan nilai
100%.
Selanjutnya untuk tingkat kelangsungan hidup
(%) ikan nila juga berpengaruh pada banyak
sedikitnya aktifitas fisik pada saat dilakukan
pembiusan. Ikan akan mengeluarkan lendir pada saat
selama pengangkutan, karena pada saat pembiusan
banyak ikan yang mengalami stres dan ikan menjadi
menggelepar dengan banyaknya melakukan aktifitas
fisik. Oleh sebab itu banyak menghabiskan energi,
maka pada saat pengangkutan ikan akan
mengeluarkan lendir.
Dapat dibuktikan pada saat pembongkaran dan
pada saat dilakukan penyadaran ikan terasa licin dan
berlendir. Adapun fungsi lendir untuk mencegah
gesekan badan dengan air atau es, mempercepat
gerakan saat penyadaran, mencegah keluar masuk air
melalui kulit, mencegah infeksi, menutup luka, dan
mencegah kekeringan.
KESIMPULAN DAN SARAN.
Kesimpulan.
Hasil Penelitian menunjukkan yang paling
cepat pingsan adalah perlakuan D dengan dosis 1,1
ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah
pada menit 13:08, perlakuan C dengan dosis 1 ppm
menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada
menit 21:10, perlakuan B dengan dosis 0,9 ppm
menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada
menit 25:13, perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm
menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada
menit 26:10. Lama waktu pingsan yang paling
cepat yaitu pada perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm
air selama 204:46 menit, perlakuan B dengan dosis
0,9 ppm air selama 210:12, menit, perlakuan C
dengan dosis 1 ppm selama 225:30 menit,
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm selama 240:06
menit. Lama waktu sadar yang paling cepat yaitu
pada perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm pada menit
ke 24:47, perlakuan B dengan dosis 0,9 ppm pada
menit ke 30:20, perlakuan C dengan dosis 1 ppm
air pada menit ke 45:51, perlakuan D dengan dosis
1,1 ppm pada menit ke 60:06. Perlakuan A dengan
tingkat kelangsungan hidupnya 58,33 %, sedangkan
perlakuan B adalah 33,33 %, perlakuan C adalah
16,66 %, dan perlakuan D adalah 8,33 %.
Berdasarkan uraian hasil penelitian efektifitas
dosis minyak pala untuk pemingsanan ikan nila
(Oreochromis niloticus) selama transportasi dapat
disimpulkan bahwa minyak pala di berbagai dosis
tidak efektif untuk pemingsanan ikan dikarenakan
kelangsungan hidup rata-rata untuk semua perlakuan
sangat rendah yaitu sekitar 29,16 %. Dosis tinggi
akan menyebabkan banyak ikan yang mati
sedangkan dosis rendah membutuhkan waktu yang
sangat lama pada saat pembiusan menjelang pingsan,
dan lama waktu pingsan sangat singkat bila
dibandingkan dengan pembiusan menggunakan
minyak cengkeh.
Saran.
Perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas
dosis minyak atsiri yang lain untuk pemingsanan
ikan agar didapat kelangsungan hidup yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA.
Afrianto, E., & E. Liviawati. (1992). Pengendalian
hama dan penyakit ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Basyarie, A. (1990). Transportasi ikan hidup.
Training Penangkapan. Aklimatisasi dan
Transportasi Ikan Hias Laut. J akarta 4-18
Desember 1990.
Berka, R. (1986). The transport of live fish. EIFAC
Teach. Pap., FAO, (48) : 48-52.
Drazat. (2007). Meraup laba dari pala. Agromedia
Pustaka. J akarta.
Effendie. (1979). Metode biologi perikanan. Dwi
Sri. Bogor.
68 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68
Gomez, A. A., & Gomez, K. A. (1995). Prosedur
statistik untuk penelitian pertanian.
Universitas Indonesia. J akarta.
Karnila. (2001). Pengaruh suhu dan waktu
pembiusan bertahap terhadap ketahanan
hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F)
dalam transportasi sistem kering. Natur
Jurnal Indonesia. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas Riau.
Ningsih, T. (2010). Kajian penggunaan minyak
cengkeh (Syzygium aromatikum) dengan
dosis yang berbeda terhadap waktu pingsan
ikan mas (Cripinus carpio) selama
transportasi dalam media serbuk gergaji.
Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan,
Fakultas Pertanian, Universitas
Malikussaleh.
Wahyuni, (2009). Pengaruh konsentrasi minyak
cengkeh yang berbeda terhadap waktu
pingsan ikan bandeng (Chanos chanos).
Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan,
Fakultas Pertanian. Universitas
Malikussaleh.
1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
69
THE EFFECT OF ENVIRONMENTAL CONDITION ON THE SPAWNING PERIOD OF
BLOOD COCKLE Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) IN LHOKSEUMAWE, THE
NORTHERN STRAITS OF MALACCA
PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERIODE PEMIJ AHAN KERANG DARAH Anadara
granosa (Bivalvia: Arcidae) DI LHOKSEUMAWE, BAGIAN UTARA SELAT MALAKA
Munawar Khalil
1)
Abstract
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan dalam perkembangan gonad kerang Anadara
granosa di Lhokseumawe, bagian utara Selat Malaka dalam hubungannya dengan fluktuasi kualitas air
harian. Untuk menentukan periode pemijahan populasi kerang, dilakukan analisis indeks kondisi (condition
index/CI). Sampel kerang dikumpulkan dari Juli 2009 sampai Mei 2010 dan parameter kualitas air turut
diukur secara berkala. Indeks kondisi tertinggi dari populasi kerang diamati pada Oktober 2009
(13.973.49), sedangkan indek kondisi terendah ditemukan pada Januari 2010 (6.761.13). Periode
pemijahan untuk A. granosa diketahui terjadi terus-menerus sepanjang tahun, dengan puncak pemijahan
terjadi pada bulan Oktober 2009 sehingga Januari 2010. Suhu air dan salinitas harian di lokasi penelitian
berkisar antara 24-34
o
C dan 27-33 ppt. Periode pemijahan populasi A. granosa diketahui bertepatan dengan
terjadinya fluktuasi secara drastis pada suhu air dan salinitas harian. Analisis kualitatif menunjukkan bahwa
suhu dan salinitas adalah modulator utama peristiwa reproduksi. Ketika suhu dan salinitas berfluktuasi,
aktifitas pemijahan secara sporadis terdeteksi pada spesies ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
periode pemijahan yang diikuti oleh proses rekrutmen dalam populasi kerang A. granosa Lhokseumawe
sangat tergantung pada kondisi lingkungan kawasan tersebut..
Katakunci: Anadara granosa, parameter kualitas air, modulator, periode pemijahan, indeks kondisi,
bagian utara Selat Malaka.
INTRODUCTION
The northern Straits of Malacca is an
important nursery area for many intertidal
organisms, and a feeding area for migrating species.
Anadara granosa is one of the 7500 of bivalve
species in the family Arcidae, often called blood
arks or blood cockles. Their common name refers
to the hemoglobin and hemocyanin pigments in their
blood and tissue cells, giving their blood dark red
colors. The species is indigenous to the intertidal
mudflats bordering the coastal regions of many
South East Asian countries particularly Indonesia,
Malaysia and Thailand. In these countries, the
cockles are mainly distributed in mangrove forest,
mud vegetation or mixed areas. Intertidal species A.
granosa was predicted as a keystone species at
mangrove in several areas in Northern Straits of
Malacca. This species also has been one of the most
important fisheries commodities in South East Asia
for many years (Broom, 1985).
A number of studies have been carried out on
the ecological alteration of genus Anadara from
different habitats in previous studies (Kastoro, 1978;
Broom, 1985; Suwanjarat and Parnrong, 1990;
Mzighani, 2005; Aviati, 2007), but no data was
available on the effect of physical, chemical and
biological parameters, which had affected the
population of A. granosa in Northern Straits of
Malacca. Regardless of the geographical area and
bivalve species, population growth and reproduction
in intertidal species are grossly regulated by similar
environmental factors particularly temperature,
salinity and food availability (Bayne 1985,
MacDonald & Thompson 1985, Baqueiro-Cardenas
& Aldana-Aranda 2000, Freites et al., 2010).
Environmental conditions are considered exogenous
factors related to gametogenesis in bivalve in their
natural habitat.
This study evaluated the changes in the
environment conditions affecting the intertidal
population of cockle A. granosa on the spawning
period which correlated to recruitment process and
determine temporal changes in the gross condition of
animals. This information can help propose
managing protocols of this species for ecological of
intertidal habitat.
MATERIALS AND METHOD
Collection of Samples
A total of 30 samples of adult A. granosa
(size range: 3871 mm) were collected monthly from
70 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
J uly 2009 until May 2010 from the natural grounds
in Lhokseumawe (Figure 1) at the East coast of
Sumatera Indonesia (05
0
9' 38.1"N, 95
0
08 32.3E).
The sampling area was characterized by muddy area,
relatively no wave action and mangrove area was
found sheltered and exhibit high in salinity. After
collecting, the specimens were stored in isotherm
containers and immediately transported to the
laboratory. The samples were fully removed from
bio fouling and other adherences.
Measurement of Environmental Parameters and
Collection of Water Samples
The environmental parameters were
recorded in situ and ex situ. Water temperature,
salinity, pH, turbidity, and dissolved oxygen were
recorded in situ while minimum and maximum water
temperature and salinity were recorded daily. Water
temperatures were collected at sampling areas daily
at the bottom of sea beds during the sampling period.
Temperature was measured with a handheld
maximum minimum thermometer, and salinity was
measured with a hand refractometer. The salinity of
the seawater was collected daily at the bottom of sea
bed depth. Hydrogen Ion Concentration (pH) was
measured using portable pH meter periodically
during the sampling period.
The turbidity consisted of organic and
inorganic matters held in suspension by turbulence in
seawater. The turbidity was measured using a
turbidity meter Model HACH Turbidimeter 2100
AN, while the Dissolved Oxygen was measured
using Dissolved Oxygen Meter model YSI 52.
Chemical parameters such as nitrate, nitrite,
ammonia, and orthophosphate were measured using
spectrophotometry. The biological parameter such as
phytoplankton density was monitored to determine
food ability at the cockle habitat.
Figure 1. Sampling area of Anadara granosa from Lhokseumawe, the Northern Straits of Malacca.
Munawar Khalil
1)
, The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa 71
Figure 2. Variation in maximum-minimum temperature and salinity measurement at Lhokseumawe, from J une
2009 to May 2010.
Condition I ndex (CI )
The condition index can determine the
ecophysiological factors which affect the physiologic
changes of the carbohydrate, glycogen and protein
fractions under environment influences. In another
term, CI is a reflection of the reproductive biology of
bivalves. When the gonad mess increases during
maturation, the CI will also increase, condition index
will decrease progressively after spawning had
occurred (Angell, 1986). Water displacement method
was used to determine the condition index. A total
of 30 specimens were analyzed monthly. Each
specimen was measured on the: dry flesh weight, wet
weight of shell in grams (g) and internal cavity
volume (ml). Flesh was dried at 105
0
C for 72 hours
to a constant weight. These data were used to
calculate the condition index using the formula
described by Scott & Lawrence (1982):
RESULTS
Water Quality Parameters
During the study period, the variation in the
daily temperature recorded did not show any
significance differences. The highest temperature
recorded was 34
0
C and the lowest was 24
0
C. There
was a drastic fluctuation in temperature in middle of
72 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
J une 2009 until early October 2009, thereafter
remaining stable through March 2010 (Figure 2).
Salinity is important in determining the
distribution of bivalves and able to influence the
physiological rates of bivalve including reproductive
process (Dame, 1996). Salinity fluctuation between
27-33ppt, with highest fluctuated observed in
October 2009 until end November 2009. The lowest
salinities were recorded during the month of October
to December 2009 during the highest intensity of
rain.
Figure 3. Variations in environmental parameters at Lhokseumawe, including pH, turbidity, dissolved oxygen,
phytoplankton density and, nitrate, nitrite, ammonia and orthophosphate, from J une 2009 to May 2010
Munawar Khalil
1)
, The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa 73
The variation of pH, turbidity, dissolved
oxygen, phytoplankton density and other chemical
compounds at Lhokseumawe from J une 2009 to May
2010 were shown in Figure 3.
The mean value of pH recorded during the
study period was 8.040.13 with the lowest value
recorded in May 2010 (pH=7.84), and the highest in
J anuary 2010 (pH=8.21). The mean turbidity
recorded during the study period was 49.0727.22
NTU, with a range between 15.18 NTU and 103
NTU. The lowest turbidity was recorded in
November 2009, while the lowest was in December
2010. The mean value of dissolved oxygen recorded
during the study period was 6.22 0.28 mg/L. The
lowest dissolved oxygen was recorded in May 2010
with value of 5.98 mg/L, while the highest value of
dissolved oxygen recorded in February 2010 with
value of 6.97 mg/L. Phytoplankton density showed a
high variability throughout the year. The mean
values of phytoplankton density recorded during the
study period was 2181.67 cells/L. Phytoplankton
density with values more than 3000 cells/L occurred
in October 2009 and December 2009, with a peak in
December (4001.67 20.43 cells/L). Minimum
values occurred in August 2009 (711.67 5.77
cells/L).
The chemical compounds i.e. nitrate, nitrite,
ammonia and orthophosphate were below the
tolerance level for intertidal benthic species. The
mean value of nitrate during the study in the
sampling area was 0.210.28 mg/L. The highest
peak of nitrate was recorded in April 2010 with the
value of 0.715 mg/L, while the lowest peak was in
December 2009 with value of 0.002 mg/L. The range
between the lowest and the highest values for nitrate
was 0.713 mg/L. The mean value of nitrite during
the study period was 0.110.16 mg/L. The highest
peak of nitrite was recorded in December 2010 with
value of 0.442 mg/L, while the lowest peak was in
J une 2009 with value of 0.028 mg/L. The nitrite
range between the lowest and the highest values was
0.414 mg/L.
The mean value of ammonia from J une 2009
to May 2010 was 0.270.10 mg/L. The highest peak
of ammonia was in May 2010 with value of 0.49
mg/L, while the lowest value was in October 2009
with value of 0.14 mg/L. The range value between
the highest and the lowest values was 0.35 mg/L.
The mean value of orthophosphate during the
sampling period was 0.0900.195 mg/L. The highest
value was recorded in J anuary 2010 (0.700 mg/L),
while the lowest value was recorded in February
2010 (0.001 mg/L). The range between the highest
and the lowest values of orthophosphate was 0.699
mg/L.
Figure 4. Condition Index of Anadara granosa from Lhokseumawe from J une 2009 to May 2010).
74 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
Figure 5. Correlation between spawning period of Anadara granosa with changes of temperatures and
salinities from J une 2009-May 2010 in Lhokseumawe, Indonesia.
Condition Index
Condition Index has correlation with maturity
period. The high values of CI showed that the
cockles had reached the ripe stages while the low
values of CI shows the cockles were on spawning
process (Figure 4). The highest condition index of
the cockle population from Lhokseuwawe was
observed in April 2010 (11.57 1.58) whereas, the
lowest showed in J anuary 2010 (6.76 1.13).
Spawning period of A. granosa was continuous
throughout the year, the peaks spawning period was
occurred in October 2009 until J anuary 2010.
Munawar Khalil
1)
, The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa 75
DISCUSSION
In this study, condition index (CI) was used
to evaluate the tissue quality in the intertidal species
A. granosa in Lhokseumawe, Indonesia. The
condition index was known to be influenced by
many environmental factors, such as temperature
(Chipman, 1947, Freites et al., 2010), salinity (Engle,
1957; Haven, 1947), seasonal variations (Rebelo et
al., 2005; Sahin et al., 2006), chemical characteristics
of the water and sediment (Engel, 1957), crowding
and availability of food (Korringa, 1952; Galtsoftt,
1964).
In this study, temperature and salinity were
the main environmental regulating factors of habitual
performance of spawning period in A. granosa
Lhokseumawe, Indonesia. In addition, gonad
development proceeded more actively during the
periods of drastic fluctuating of temperatures and
salinities, from October 2009 through J anuary 2010
(2434
0
C). These suggested an inverse relation
between water temperature, salinities and
gametogenesis. The release of gametes by the natural
population of A. granosa at Lhokseumawe coincided
with the drastic daily fluctuations in temperature and
salinity as indicated by the rectangle boxes in Figure
5.
Reproductive cycles of the cockle population
in Lhokseumawe were highly influenced by the
fluctuation of abiotic factors such as temperature and
salinity, where in J uly 2009 until October 2009,
maximum and minimum temperatures were actively
fluctuating. Similar condition was recorded in
salinity, where fluctuation had occurred in
September 2009 until December 2009. Both these
fluctuations were suggested as factors which have
positive correlation in the reproductive cycle of
bivalve A. granosa in Lhokseumawe.
Based on this study, The Condition Index of the
cockle population in Lhokseumawe was a
combination result of the fluctuations on two main
environment factors, namely temperature and
salinity. Combined effect of the fluctuations in
temperature and salinity had become the stimulus for
the spawning activities of the cockle population.
Form the observations of Condition Index of A.
granosa (12 months), it was found that high
fluctuation in daily temperature followed by the
onset of high fluctuation in salinity resulted two
reproductive cycles. The first reproductive process
was recorded in J uly 2009 to September 2009 and
the second cycle was in October 2009 to March
2010, with a higher interval compared to first cycle.
Fluctuation in temperature and salinity act as the
main trigger and an active response for cockle to
perform reproductive cycle. High fluctuation of daily
temperature and salinity had induced the
development of gonad. Once the gonads matured,
highest fluctuation in temperature and salinity would
trigger the spawning process in A. granosa at
Lhokseumawe, Indonesia.
CONCLUSION
Changes on water temperature and salinity
exhibited the maximum reproductive activity of
intertidal bivalve species A. granosa. The CI of A.
granosa has shown a direct relationship with the
amount of body reserves and has correlation with the
environmental condition in their habitat. The main
parameters found to be directly affecting the
reproductive process were temperature and salinity.
Temperature and salinity were the main modulators
of reproductive events. When temperature and
salinity fluctuated, sporadic spawning was detected
in this species, possibly inducing a survival strategy
whereby the spawning period is extended to increase
reproductive success.
ACKNOWLEDGEMENT
We would like to thanks to Marine Sciences
Laboratory University Sains Malaysia, Aquaculture
Department, Malikussaleh University Indonesia,
Muhammad Rusdi for preparing sampling location
map. Ministry of Science, Technology and
Innovation (MOSTI) Grant Sciences. Malaysian
Quarantine and Inspection Services (MAQIS)
Malaysia and Indonesia Fisheries Quarantine Service
for their continuous support in making this project a
success.
REFERENCES
Afiati, N.( 2007). Gonad maturation of two intertidal
blood clams Anadara granosa (L.) And
Anadara antiquata (L.) (Bivalvia: Arcidae)
in Central J ava. Journal of Coastal
Development, 10, 105-113.
Baqueiro-Cardenas, E., & Aldana-Aranda, D.
(2000). A review of reproductive patterns
of bivalve molluscs from Mexico. Bull.
Marine Sciences, 66, 1327.
Bayne, B. (1985). Responses to environmental
stress: tolerance, resistance and adaptation.
76 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
In: J . S. Gray &M. E. Christiansen, editors.
Marine Biology of Polar Regions and
Effects of Stress on Marine Organisms.
Proc. 18th Europe. Marine Biology.
Symposiums, Univ. Oslo, Norway.
Broom, M. J . (Ed.). (1985). The biology and culture
of marine bivalve molluscs of the genus
Anadara (No. 12). The WorldFish Center.
Chipman, W.A. (1947). Seasonal changes in the
fattening of oysters. Proceedings of the
National Shellfisheries Association. 28-32.
Dame, R. F. (1996). Ecology of marine bivalves: an
ecosystem approach (Vol. 34). CRC PressI
Llc.
Engle, J . B. (1950). The condition of oysters as
measured by the carbohydrate cycle, the
condition factor and the percent dry
weight. In Proc. Natl. Shellfish.
Assoc (Vol. 1950, pp. 20-25).
Freites, L., Montero, L., Arrieche, D., Babarro, J . M.,
Saucedo, P. E., Cordova, C., & Garca, N.
(2010). Influence of environmental factors
on the reproductive cycle of the eared ark
Anadara notabilis (Rding, 1798) in
northeastern Venezuela. Journal of
Shellfish Research, 29(1), 69-75.
Gosling, E. (2003). Bivalve molluscs, biology,
ecology and culture. Fishing News Books.
Blackwell Publishing.
Kastoro, W. (1978). Reproduksi kerang bulu,
Anadara antiquate (Linnaeus), Suku
Arcidae. Oseana Indonesia, 9, 5159.
Lawrece, D., & Scott, G.I. (1982). The determination
and use of condition index of oysters.
Journal of Estuaries, 5, 23-27.
MacDonald, B. A., & Thompson, R. J . (1985).
Influence of temperature and food
availability on the ecological energetic of
the giant scallop Placopecten
magellanicus. II. Reproductive output and
total production. Marine Ecology Progress
Series, 25:295303.
Mzighani, S. (2007). Fecundity and population
structure of cockles, Anadara antiquata L.
1758 (Bivalvia: Arcidae) from a
sandy/muddy beach near Dar es Salaam,
Tanzania. Western Indian Ocean Journal
of Marine Science, 4(1), 77-84.
Rebelo, M. F., Amaral, M. C. R., & Pfeiffer, W. C.
(2005). Oyster condition index in
Crassostrea rhizophorae (Guilding, 1828)
from a heavy-metal polluted coastal
lagoon. Brazilian Journal of
Biology, 65(2), 345-351.
Sahin, C., Dzgnes, E., & Okumus, I. (2006).
Seasonal variations in condition index and
gonadal development of the introduced
blood cockle Anadara inaequivalvis
(Bruguiere, 1789) in the Southeastern
Black Sea coast. Turkish Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences, 6(2), 155-
163.
Suwanjarat, J ., & Parnrong, S. (1990). Reproductive
cycle of Anadara granosa L. Jebilung,
Satun Province. Songklanakarin Journal of
Science and Technology, 12(4), 341-351.
1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala
2) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
77
POST TSUNAMI: MARINE PROTECTED AREAS (MPA) ZONATION
STRUCTURE OF PULO ACEH, INDONESIA
PASCA TSUNAMI: STRUKTUR ZONASI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
PULO ACEH, INDONESIA
Muhammad Rusdi
1)
, Munawar Khalil
2)
, Zulfikar
2)
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan kawasan perlindungan laut (Marine Protected
Areas/MPA) di Pulo Aceh, Indonesia, dengan menggunakan input dari analisis Sistem Informasi Geografis.
Langkah-langkah pengelolaan adalah diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya laut dapat hidup dan
ekosistem dapat dilestarikan. Fokus penelitian ini adalah untuk menunjuk daerah-daerah tertentu sebagai
daerah perlindungan laut (DPL). Pulo Aceh meliputi 24,961.9 hektar yang terdiri dari habitat daratan dan
habitat lautan yang terpilih sebagai kawasan MPA. Zonasi di kawasan konservasi laut didasarkan pada data
ekologi dan data ekologi konservasi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Zona utama yang telah
ditetapkan dan dipetakan dalam kawasan konservasi, yaitu zona inti (94,14 ha atau 0,38 %), zona
pemanfaatan (15,144.86 ha atau 60,67 %) dan zona penyangga (1,038.77 ha atau 4,16 %). Zona inti sangat
dilarang dari kegiatan pengambilan hasil laut, pariwisata dan ekonomi, sementara kegiatan penelitian dan
konservasi dapat diperbolehkan. Zona pemanfaatan dibagi menjadi area untuk pariwisata, penggunaan
tradisional, penggunaan pelagis, penelitian dan pelatihan. Akomodasi permanen untuk kegiatan pariwisata
atau pengambilan sumber daya alam diperbolehkan melalui pelaksanaan proses penilaian dampak
lingkungan terlebih dahulu. Kegiatan di zona penyangga adalah sangat terbatas dan dikendalikan
sepenuhnya hanya untuk kegiatan pengambilan hasil laut.
Katakunci: Konservasi laut, zonasi, sistem informasi geografis, pemetaan, sumberdaya alam
INTRODUCTION
Pulo Aceh Archipelagos are consisting of
two large islands, Pulo Breuh and Pulo Nasi.
Geographically, Pulo Aceh is located on the western
coast of Sumatra Island, Administrative located in
Pulo Aceh, Aceh Besar district, Aceh Province.
Marine and Fisheries Department (2005) released
various data that tsunami impact in Aceh Besar
district about marine and fisheries infrastructure, and
was estimated approximately 90% or 307.140 USD
in total value. Fishing vessels and fishing gear in
Aceh Besar district reached 100% or more than
2.100.000 USD. Pulo Aceh sub district was one of
the most destructive areas hit by tsunami.
Approximately 100% of marine and fisheries
infrastructure was totally damaged. Total damage
was also observed in residential areas which were
generally located on the outskirts of the coastal area.
The tsunami had also caused changes on
coastal ecology. Changing of shorelines and habitats
of organism has been observed in particular areas.
These conditions need specific management and
development planning. In another term, the prone
areas to natural disasters are requiring anticipatory
management of development planning to disaster.
Managing a large area needs the to the
development of technology. One of the commonly
used technologies is Geographic Information System
(GIS). In broad outline, the experts defined that GIS
is a computer system that has the ability to store,
recall, update, manipulate, analyze and present all
forms of geographic data, or spatially referenced
information in accordance with the user (Burrough,
1986 in Barrus, 1996, J aya, 2002, Prahasta, 2005).
Spatial data is associated with the spatial location of
the general shape of the map. The users are can
analyze the geographic location and specific
information related to the location of the individual
and can support decision making. Solving problems
of location suitability, zoning areas for conservation
may be in the analysis, simulation, prediction, and
description using GIS.
78 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82
MATERIALS AND METHOD
Location of the study was conducted in Pulo
Aceh (Figure 1). Preparation of proposal for zoning
in the MPA Pulo Aceh was based on ecological
baseline and socio-economic baseline studies using
GIS (Geographical Information System) (FAO,
1987). Determination of Zoning was followed the
reference Law. 5 / 1990 on conservation of
biological resources and ecosystems.
RESULTS AND DISCUSSION
The coastal and marine habitat at Pulo
Aceh after tsunami was totally damaged.
Descriptions of this condition are shown as in
Figure 2. Where the whole of Pulo Aceh was
scrapped flat by the tidal wave.
Therefore, Munthadar, (2008) had reported
the existing condition of coral reefs after tsunami as
shown in Figure 2. The Figures 3 and 4 show the
recruitment of corals on the reef.
Figure 1. Research location
Figure 2. Stretch of reef conditions in the intertidal area (Gampong Paloh) in Pulo Aceh after tsunami
(modified from; munthadar, 2008)
Muhammad Rusdi
1)
, Munawar Khalil
2)
, Zulfikar
2)
, Post Tsunami: Marine Protected Areas (MPA) Zonation Structure of Pulo Aceh,
Indonesia 79
Figure 3. The condition of damaged coral reefs in (a) Kareung Mane (b) Kareung Maja (c) Kareung Pante
Demit (d) Kareung Maja
Figure 4. Coral colonies began to grow again in (a) Kareung Maja (b) Kareung Peunateung (c) Kareung Mane
(d) Kareung Maja
Recruitment of corals, in term of growth and
process requires time and under specific conditions.
Recruitment is if MPA can be enforced. MPA zoning
practices can provide an opportunity for the
ecosystem of the region to develop properly without
any interference from humans activities in the areas.
Clustering Zonation MPA is made from field
observations and secondary data. The result was a
80 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82
thematic layers using GIS layer which consists of
physical and social components. The physical
components such as coverage, dominance and
indices of coral reefs, the pattern and direction of
currents, topographical, soil and land use (Figure 5).
Social components can be regional profiles, the
potential of the region, demographic, and economic
and community impact by tsunami.
Overlay of all the layers of physical, social
and non-spatial data analysis was conducted into a
single layer. A single zoning system was designed to
MPA Pulo Aceh, which covers a total area of land
and sea with several clustering of zoning as shown in
Figure 6.
Figure 5. Landuse thematic layer
Figure 6. Zonation Clustering in the Marine Protected Areas of Pulo Aceh, Indonesia
1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala
2) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
81
Cluster zonation was made to establish in the
marine areas. The class cluster zonation were
separated in view sub class as shown in Table 1 :
Class Sub class Hectare Percentage
Sea core zone 94.14 0.38
utilize zone 15,144.86 60.67
buffer zone 1,038.77 4.16
Land conservation 2,337.14 9.36
utilize 2,033.19 8.15
buffer 4,312.98 17.28
Total 24,961.09 100.00
The total clustering area MPA of Pulo Aceh
was 24,961.09 hectares with two main classes which
were sea class and land class area. The sea class
areas were divided to three sub class, namely core
zone, utilizes zone and buffer zone. The core zone
was approximately 94.14 hectare or 0.38 % of sea
class total protected areas. The sub class performed
in ecotourism zone, traditional use zone, pelagic use
zone, special research and training zone. This zone
has the largest area to protected about 15,144.86
hectares or 60.67% of total MPA area. The buffer
zone plotted approximately 1,038.77 hectares or
4:16% of total area.
For land class, conservation areas were
plotted was about 2,337.14 or 9.36% of total
protected areas. The utilize zone in land class was
2.033.19 hectare or 17.28 % of total area. The buffer
zone which was a zone to buffered between
conservation zone and utilize zone was plotted about
4,312.98 hectare or 17.28 % of total area. The buffer
zone has largest area that planned in land class.
Zoning within the MPA was based on
existing ecological data, understanding the principles
of ecology and conservation, socio-economic of
local communities and culture, and feasibility of
implementation. Regulations are prepared for each
zone to ensure the continuity of flora and fauna of
the region of MPA, ecosystems, and their local
communities. Core Zone, Zone with Limited
Tourism, Tourism Use Zone and Special Research
and Training Zone are zones where all hunting or
mining of natural resources and non-biological
resources are strictly prohibited.
Harvesting of marine resources is only
allowed in the zone of traditional use. Specific
rules and sub-zones are designed for the tour.
Exit and entry of the ship freely to and through
the MPA is only permitted in Pelagic and
Traditional Use Zone. Special permission was
required for vessels that will enter into MPA
Tourism Zone.
CONCLUSION
Zonation Clustering in MPA were separated
in Core Zone (94, 14 ha, 0.38 %), Utilized Zone
(15,144.86 ha, 60.67%) and Buffer Zone
(1,038.77ha, 4.16%). MPA zoning provide an
opportunity for the ecosystem of the region to
develop properly without any interference from
humans activities in the areas. Need further research
for detail zonation with high resolution image
satellite.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors would like to the :
Rehabilitation and Reconstruction Bord Aceh-Nias
2007 and Aquaculture Department Malikussaleh
University for the support in conducting this
research.
REFERENCES
Barus B., & U.S Wiradisastra. (1996). Sistem
Informasi Geografis, Laboratorium
Penginderaan J auh, jurusan Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, IPB, Bogor, 120 pp.
[BRR] Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD
Nias. (2007). Perumusan rencana
pengelolaan Marine Protected Areas (MPA)
Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar Nanggroe
Aceh Darussalam. Badan Rehabilitasi dan
Rekostruksi NAD-Nias. Banda Aceh, 226 pp.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. (2005). Laporan tim
departemen kelautan perikanan terkait
dengan inventarisasi dan tugas kemanusiaan
bencana alam gempa dan gelombang
tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara. J akarta, 176 pp.
[FAO] Food and Agriculture Organization. (1987).
Marine Resources Mapping : an
introductory manual. FAO fisheries
technical paper. Rome, 104 pp.
J aya, I. N. S. (2002). Aplikasi sistem informasi
geografis untuk kehutanan, Penerbit
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
165 pp.
82 J urnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82
Munthadar, M. (2008). Kajian rehabilitasi
sumberdaya dan pengembangan kawasan
pesisir pasca tsunami di kecamatan Pulo
Aceh kabupaten Aceh Besar. Thesis. Institut
Pertanian Bogor, 145 pp.
Prabowo, D., A.T Nugroho, J . Palap., & H.
Ardiansyah. (1999). Modul pengenalan GIS,
GPS & Remote Sensing. Penerbit Forest
Watch Indonesia Departement GIS.
J akarta. 135 pp.
Prahasta, E. (2009). SIG : Sistem Informasi
Geografis Konsep Konsep Dasar (Perspektif
Geodesi & Geomatika). Edisi revisi.
Bandung: Penerbit CV. Informatika, 818 pp.
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL ILMIAH
urnal AGRIUM merupakan media
publikasi tulisan-tulisan asli yang belum
pernah dipublikasikan, berkaitan dengan
bidang ilmu-ilmu pertanian dan perikanan. Naskah
berasal dari hasil penelitian dasar dan terapan,
skripsi, tesis, disertasi, makalah yang telah
diseminarkan, ulasan (review) dan tulisan yang
sengaja dibuat untuk diterbitkan.
Pedoman Umum
Naskah dapat ditulis dalam bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris dengan memenuhi
kaidah-kaidah tulisan ilmiah menggunakan gaya
bahasa efektif dan akademis. Naskah diketik pada
kertas HVS ukuran A4, ketikan 2 spasi
menggunakan huruf tipe Times New Roman
berukuran 12 point. Naskah asli dikirim sebanyak 3
eksemplar beserta dokumen dalam bentuk soft copy.
Susunan Naskah
Naskah disusun dalam urutan halaman Judul
(Title), Abstrak (Abstract), Pendahuluan
(Introduction), Bahan dan Metode (Materials and
Methods), Hasil dan Pembahasan (Results and
Discussion), Kesimpulan (Conclussions) dan Daftar
Pustaka (References). Ucapan Terima Kasih
(Acknowledgement) dan Saran (Recommendations or
Suggestions) diketik di antara Kesimpulan dan
Daftar Pustaka.
Halaman Judul
Pada halaman Judul, ditulis judul naskah
dalam huruf besar (Capital) dilengkapi dengan
terjemahan bahasa Inggris apabila tulisan dalam
bahasa Indonesia di bawah judul, apabila tulisan
dalam bahasa Inggris, dilengkapi judul dalam
bahasa Indonesia. Penulisan Judul tidak melebihi 25
kata, diikuti nama lengkap penulis, nama lembaga
afiliasi penulis dan nama penulis korespondensi
disertai alamat lengkap dan email.
Abstrak dan Kata Kunci (Key Words)
Abstrak harus mewakili seluruh materi
penulisan dan implikasinya secara ringkas, berisi
maksimum 250 kata dan diketik 1 spasi dalam
bahasa Inggris apabila tulisan dalam bahasa
Indonesia dan sebaliknya. Penulisan key words
diketik menggunakan bahasa Inggris dalam
parantesis di bawah abstrak maksimum 5 kata.
Teks
Penulisan sub judul utama (Pendahuluan, Bahan dan
Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan
Daftar Pustaka) menggunakan huruf besar (Capital).
Sub-sub judul ditulis tebal (bold). Penulisan satuan
mengikuti Standard International (SI). Penulisan
nama limiah mengikuti kaidah penamaan Binomial
Nomenclature. Tabel dan gambar dilengkapi nomor
dan judul diikuti keterangan sebagai catatan kaki.
Daftar Pustaka
Penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:
Buku
Gorman, J.M. (1996). The new psychiatry: The
essential guide to state-of-the-art theraphy
medication and emotional health. New
York: St. Martins Press.
Buku dari database
Brockopp, D.Y. (1995). Fundamentals of nursing
research [versi elektronik]. Boston: Jones &
Bartlett Publishers, Inc. Diakses dari
database netLibrary.
Artikel jurnal
Marek, K.D. & Rantz, M.J. (2000). Aging in place:
A new model for long term care. Nursing
Administration Quarterly, 24(3),1-11.
Artikel dari jurnal online atau majalah
Wills, T.A., Sandy,J.M., Yaeger, A., & Shinar, O.
(2001, May). Familiy risk factors and
adolescent substances use: Moderation
effects for temperament dimensions [versi
elektronik]. Developmental Physchology,
37, 238-297. Diakses dari
http://www.apa.org/journals/dev/dev373283.
html
Biaya Publikasi
Setiap penulis yang naskahnya siap
diterbitkan dikenakan biaya cetak sebesar Rp.
200.000., (bagi dosen tetap Fakultas Pertanian
Unimal) dan Rp.250.000., (bagi penulis luar).
Penulis pertama mendapatkan 1 cetakan lepas
(reprint). Jurnal AGRIUM dijual seharga Rp.
45.000., per eksemplar. Harga langganan untuk
setahun (2 edisi) seharga Rp. 80.000., belum
termasuk biaya pengiriman.
J