Anda di halaman 1dari 6

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan: Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya

menuju Swasembada Berkelanjutan—Kendari, 12 Maret 2018 • Hermanto Siregar & Usman Rianse (Ed)
Penerbit: UHO EduPress, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-4-4 • DOI http://dx.doi.org/10.37149/11328

SUBSEKTOR PERKEBUNAN DAN ASPEK KELEMBAGAAN


TERHADAP PEREKONOMIAN RAKYAT KABUPATEN BUTON UTARA

Syamsinar
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Kendari
shinarshin7@gmail.com

ABSTRAK
Pembangunan subsektor perkebunan harus senantiasa berorientasi pada pemanfaatan sumber daya
alam secara maksimal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan manifestasi nilai
tambah atau manfaat ekonomi bagi masyarakat. Kabupaten Buton Utara merupakan salah satu wilayah di
Sulawesi Tenggara dengan topografi wilayah yang potensial dalam pengembangan komoditas perkebunan
khususnya usahatani cengkeh. Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) kontribusi subsektor perkebunan
terhadap perekonomian rakyat Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara; (2) bagaimana model
kelembagaan subsektor perkebunan yang ada di Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa luas lahan cengkeh, jumlah produksi,
harga jual cengkeh, dan total pendapatan daerah Kecamatan Kulisusu utara yang disumbangkan sektor
pertanian dalam bentuk nilai produk ekonomi kerakyatan tiga tahun (2013, 2014, dan 2015). Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kontribusi subsektor perkebunan (cengkeh) terhadap nilai produk ekonomi kerakyatan di Kecamatan
Kulisusu Kabupaten Buton Utara sebesar 34,08%, sedangkan model kelembagaan subsektor perkebunan di
wilayah ini di bawah koordinasi Assosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) cabang Kecamatan Kulisusu
Utara yang berfungsi mengawasi dan mengontrol kegiatan pemasaran produksi cengkeh.
Kata kunci: sektor perkebunan, kelembagaan, ekonomi kerakyatan.

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi upaya pemerintah meningkatkan taraf hidup
masyarakat, termasuk sektor perkebunan yang tetap menempati posisi strategis sebagai salah satu
subsektor yang menunjang pembangunan ekonomi negara. Pembangunan di sektor perkebunan
harus senantiasa berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan manifestasi nilai tambah atau manfaat ekonomi
bagi masyarakat.
Kabupaten Buton Utara merupakan salah satu wilayah di Sulawesi Tenggara dengan topografi
wilayah yang potensial dalam pengembangan komoditas perkebunan khususnya usahatani cengkeh.
Cengkeh merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang mempunyai peranan yang
cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya dalam menyediakan lapangan kerja. Pada
tahun 2013, usahatani cengkeh menyerap tenaga kerja sekitar 1,2 juta tenaga kerja on farm (BPS
Sultra, 2013).
Cengkeh juga merupakan komoditas yang mendorong pembangunan wilayah dan
pengembangan agroindustri di daerah perdesaan. Dengan luas lahan mencapai 509 ha dan produksi

143
cengkeh mencapai 1.700 kg atau sekitar 17 ton tahun 2015 dengan tingkat produktivitas 104,5 kg/
ha dan jumlah petani 742 KK (BPS Sultra, 2016) menjadi alasan tersendiri bagi penduduk wilayah
tersebut banyak yang berusahatani cengkeh, khususnya di Kecamatan Kulisusu Utara. Kondisi
demikian masih sangat berpeluang dalam mendapatkan produksi cengkeh yang semakin tinggi
dengan dukungan ketersediaan lahan masyarakat sekitar 6.160 ha berupa lahan tidur yang jika
pengelolaannya optimal maka produksi cengkeh di wilayah ini secara signifikan bisa ditingkatkan,
dan secara tidak langsung akan berdampak pada perekonomian penduduk.
Desa Lelamo, Desa Waode Buri, dan Desa Ulunambo merupakan sentra penghasil cengkeh
dengan nilai produksi sekitar 62,05% dari total produksi cengkeh Kecamatan Kulisusu Utara yang
mencapai 315 kg/ha tahun 2012. Usahatani yang dikembangkan diharapkan mampu mendorong
peningkatan pendapatan masyarakat dan berpengaruh terhadap struktur perekonomian daerah.
Namun, keberhasilan pembangunan ekonomi suatu wilayah tidak hanya didukung oleh seberapa
besar sumber mata pencarian penduduk berkontribusi terhadap produk domestik regional bruto
(PDRB) tetapi sangat dibutuhkan dukungan dari aspek lainnya khususnya aspek kelembagaan
sebagai media transformasi pencapaian tujuan yang optimal sebagaimana yang tertuang dalam
rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) setiap wilayah.
Aspek kelembagaan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah. Hal ini tecermin dari peran pemerintah daerah dalam membangun sarana dan prasarana
yang dapat mempermudah akses masyarakat dalam aktivitas perekonomian. Keberadaan lembaga
ekonomi di tengah masyarakat menjadi indikator mobilitas perekonomian yang berlangsung
senantiasa didukung oleh segenap komponen pelaku ekonomi yang berkompeten (Ofyar, 2000).
Hal ini penting karena sangat berkaitan dengan ekonomi kerakyatan sebagai paradigma dan
strategi baru pembangunan ekonomi Indonesia sebagaimana alasan yang dikemukakan Hutomo
(Idris, 2012) bahwa konsep pembangunan ekonomi harus sesuai dengan tuntutan politik rakyat,
konstitusi, serta kondisi objektif dan subjektif rakyat Indonesia sehingga roh tata ekonomi usaha
bersama yang berasas kekeluargaan memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk
berpartisiasi sebagai pelaku ekonomi. Meskipun demikian, optimalisasi fungsi kelembagaan belum
sepenuhnya berjalan dengan baik, dalam artian koordinasi dengan pihak terkait terkadang masih
mengalami kendala.
Aksesibilitas wilayah terhadap pusat perekonomian masyarakat khususnya di kawasan
hinterland seharusnya tidak lagi menjadi halangan, terlebih komoditas unggulan subsektor
perkebunan hampir sebagian besar berasal dari kawasan ini dan aspek kelembagaan seharusnya
menjalankan peranannya secara profesional manakala masyarakat mengalami kendala. Namun,
kenyataannya di lapangan masih berjalan secara partial yang seharusnya secara bersama-sama
sehingga optimalisasi peran lembaga ekonomi dan pemanfaatan hasil perkebunan menjadi
berkelanjutan (Rustiadi, 2011).
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui (1) kontribusi subsektor perkebunan terhadap
perekonomian rakyat Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara; dan (2) bagaimana
model kelembagaan subsektor perkebunan yang ada di Kecamaan Kulisusu Utara Kabupaten Buton
Utara. Berdasarkan wacana tersebut maka sangat dibutuhkan adanya penelitian yang mengkaji
tentang subsektor perkebunan dan aspek kelembagaan terhadap perekonomian rakyat Kabupaten
Buton Utara.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Buton Utara, khususnya di Kecamatan Kulisusu Utara
dengan pertimbangan bahwa cengkeh merupakan komoditas subsektor perkebunan yang banyak

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan


144 Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya menuju Swasembada Berkelanjutan
dikembangkan oleh masyarakat petani di daerah tersebut dan produksi yang dihasilkan mengalami
peningkatan yang signifikan. Dalam penelitian ini dibutuhkan data sekunder berupa luas lahan
cengkeh, jumlah produksi, harga jual cengkeh, dan total pendapatan daerah Kecamatan Kulisusu
utara yang disumbangkan sektor pertanian dalam bentuk nilai produk ekonomi kerakyatan tiga
tahun (2013, 2014, dan 2015). Untuk menganalisis permasalahan yang ada terkait dengan subsektor
perkebunan terhadap perekonomian rakyat Buton Utara, digunakan metode analisis deksriptif
kuantitatif dengan mengumpulkan data untuk dihitung dengan pendekatan rumus kontribusi:

Keterangan: (a) total nilai jual cengkeh yang dihitung berdasarkan data tahun dalam penelitian yaitu tahun 2013, 2014
dan 2015 (Rp); (b) nilai produk ekonomi Kerakyatan yang dihitung adalah berdasarkan data penelitian yaitu tahun
2013, 2014 dan 2015 (Rp).

Untuk mengetahui bagaimana model aspek kelembagaan subsektor perkebunan terhadap


perekonomian rakyat dapat dianalisis dengan metode deksriptif kualitatif dengan mengamati fungsi
dan tugas aspek kelembagaan ekonomi, baik kelembagaan pemerintah maupun nonpemerintah
yang ada di wilayah ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Luas Lahan dan Harga Jual Cengkeh Kecamatan Kulisusu Utara
Pemanfaatan tanaman cengkeh sebagai bahan baku industri di antaranya kretek/rokok, kosmetik,
dan bahan baku makanan yang kegunaannya cukup memberikan rasa yang menarik untuk
dinikmati mendorong permintaan komoditas ini terus mengalami peningkatan. Selain itu, cengkeh
juga merupakan tanaman dengan teknik pembudidayaan tidak terlalu membutuhkan perawatan
yang rumit sepanjang tofografi wilayah mendukung. Kebutuhan cengkeh tahun 2012 mencapai
120 ribu ton, kapasitas produksi dalam negeri belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan
tersebut, akibatnya impor cengkeh akan semakin besar (Deptan, 2013).
Dirjen Perkebunan Ir. Bambang, M.P. mengungkapkan bahwa cengkeh merupakan komoditas
strategis karena kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, sumber devisa negara, penyediaan
bahan baku industri, sumber pendapatan petani, konservasi lingkungan dan sarana pengembangan
wilayah. Devisa negara yang diperoleh dari cengkeh diperkirakan sebesar USD 350 juta. Bersama
komoditas tembakau, kontribusi terhadap cukai rokok tahun 2009 mencapai 45 triliun, dan pada
tahun 2010 meningkat menjadi 59 triliun (Dirjen Perkebunan, 2014).
Indonesia dikenal sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar di dunia. Saat ini posisi ekspor
cengkeh Indonesia menempati urutan ketiga setelah Singapura dan Madagaskar. Menurutnya,
untuk meningkatkan produktivitas cengkeh masih menghadapi berbagai permasalahan antara lain:
banyak tanaman sudah tua, rusak, dan adanya serangan hama penyakit. Di samping itu, adanya
perubahan iklim ditambah keterbatasan sarana dan prasarana produksi, minimnya bibit unggul,
serta lemahnya sumber daya manusia dan kelembagaan petani.
Rata-rata peningkatan luas lahan untuk produksi cengkeh di Kecamatan Kulisusu Utara
selama tiga tahun terakhir (2013, 2014, 2015) sekitar 6,75% dari luas lahan 238 ha, 255 ha, dan
280 ha, dengan luas lahan Sultra 18.182 ha, 19.372 ha, dan 28.752 ha masing-masing tahun 2013,
2014, dan 2015. Adapun harga jualcengkeh di wilayah ini selama tiga tahun terakhir (2013, 2014,
2015) pun berfluktuasi dari Rp55.000,00, Rp85.000,00 hingga Rp120.000,00 dengan persentase
peningkatan rata-rata 31,90%.

Syamsinar
Subsektor Perkebunan dan Aspek Kelembagaan terhadap Perekonomian Rakyat Kabupaten Buton Utara
145
Produksi Cengkeh Nasional, Sulawesi Tenggara, dan Kecamatan Kulisusu Utara
Pada tahun 2013 posisi ekspor cengkeh nasional berada diurutan ketiga setelah Singapura dan
Madagaskar. Produksi cengkeh dan konsumsi nasional setiap tahun mengalami perubahan sehingga
untuk memenuhi kebutuhan cengkeh dalam negeri pemerintah harus mengimpor cengkeh. Total
produksi cengkeh di Kecamatan Kulisusu Utara dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2013,
2014 dan 2015) masing-masing 23,47 ton, 7,6 ton dan 312,12 ton dengan total produksi Sulawesi
Tenggara mencapai 6.557 ton, 7.891 ton, dan 13.571 ton dari tahun 2013, 2014, dan 2015. Rata-rata
untuk peningkatan produksi cengkeh di Kecamatan Kulisusu Utara pada tahun 2013 sampai 2015
sekitar 1312,31%.

Kontribusi Usahatani Cengkeh terhadap Produk Ekonomi Kerakyatan


Produk ekonomi kerakyatan dalam penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa data
PDRB lebih bersifat kewilayahan (pendapatan untuk daerah) dan tidak diukur pada tingkat
kecamatan, sementara dalam penelitian ini mengolah data yang hanya terdapat di satu wilayah
kecamatan yaitu Kecamatan Kulisusu Utara. Dalam penelitian ini, nilai PDRB yang akan
diperhitungkan hanyalah nilai dari sektor-sektor pertanian yang dikelola oleh masyarakat; jadi
lapangan usaha seperti pertambangan, PLN, PDAM yang ada tidak diperhitungkan. Nilai produk
ekonomi kerakyatan diperoleh dari penjumlahan produksi pertanian dikalikan harga yang berlaku.
Nilai produk ekonomi kerakyatan di Kecamatan Kulisusu Utara tahun 2013-2015 secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai Produk Ekonomi Kerakyatan Kecamatan Kulisusu Utara Tahun 2013-2015 Setiap Komoditas

Nilai Rupiah (Rp)


No. Komoditas
2013 2014 2015
1 Perkebunan 9.984.542.000 8.271.772.000 44.841.295.000
2 Tanaman Pangan 48.705.000 18.400.000 23.075.000
3 Perikanan 42.000.000 20.100.000 17.960.000
4 Peternakan 414.790.000 341.650.000 512.750.000
5 Total 10.490.037.000 8.651.922.000 45.395.080.000
(Sumber: BPS Kabupaten Buton Utara, 2015)

Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai produk ekonomi kerakyatan terbesar untuk sektor
pertanian pada tahun 2015 disumbangkan oleh sektor perkebunan yaitu Rp44.841.295.000,00 atau
98,78%, hal ini mengindikasikan bahwa produk perkebunan merupakan sektor utama yang banyak
dikembangkan oleh masyarakat di Kecamatan Kulisusu Utara. Adapun kontribusi usahatani
cengkeh terhadap nilai produk ekonomi kerakyatan secara jelas pada Tabel 2.

Tabel 2 Kontribusi Usahatani Cengkeh Terhadap Nilai Produk Ekonomi Kerakyatan Tahun 2013-2015

Nilai Produk Ekonomi Kerakyatan Nilai Produk Usahatani Cengkeh Persentase


No. Tahun
(Rp) (Rp) (%)
1 2013 10.490.037.000 1.290.850.000 12,30
2 2014 8.651.922.000 646.000.000 7,46
3 2015 45.395.080.000 37.454.400.000 82,50
Rata-rata 34,08
Sumber: BPS Kabupaten Buton Utara, 2015 (Diolah)

Tabel 2 menjelaskan bahwa kontribusi usahatani cengkeh terhadap nilai produk ekonomi
kerakyatan masih cukup besar terutama pada tahun 2015 sebesar 82,50% dengan total rata-rata

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan


146 Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya menuju Swasembada Berkelanjutan
34,08% artinya, pada tahun tersebut sebagian besar nilai produk ekonomi kerakyatan disumbangkan
oleh produksi cengkeh. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani cengkeh merupakan sektor
utama yang banyak diperhatikan oleh masyarakat guna meningkatkan nilai produksi.

Aspek Kelembagaan Komoditas Cengkeh Kecamatan Kulisusu Utara


Pembangunan adalah suatu proses pengembangan kelembagaan. Akibatnya, diperlukan
perencanaan sistem dan kelembagaan yang mampu mengolah proses pembangunan. Setiap
institusi dengan kewenangan tertentu untuk mengoordinasikan masing-masing tahapan proses
pembangunan ekonomi daerah mutlak diperlukan. Aspek kelembagaan dapat berupa kelembagaan
pemerintah maupun nonpemerintah tergantung dari segi kepentingannya. Di lain pihak, aspek
kelembagaan sangat penting, bukan saja dilihat dari segi ekonomi, melainkan pada sudut pandang
sosial budaya pun turut memegang andil dalam proses pembangunan. Kelembagaan ekonomi
merupakan jenis lembaga yang turut berpartisipasi dalan kehidupan masyarakat. Karena itu,
kelembagaan tidak hanya penting dari segi ekonomi pertanian secara keseluruhan, tetapi dari aspek
ekonomi perdesaan pun turut menunjang pembangunan ekonomi daerah (Lincolin A, 1995).
Masalah kelembagaan ekonomi sebagai problem yang dihadapi petani cengkeh yang ada
di Kabupaten Butur khususnya di Kecamatan Kulisusu Utara mendorong Assosiasi Petani
Cengkeh Indonesia (APCI) di wilayah ini membentuk badan usaha guna memotong mata rantai
perdagangan cengkeh yang dinilai terlalu panjang, yang berimbas pada mahalnya harga di pasaran.
Saat anomali iklim menganggu tanaman cengkeh, harga merangkak naik mencapai Rp120.000,00
per kg. Namun, biasanya petani cengkeh menikmati harga lebih rendah dibanding dengan yang
terbentuk di pasar. Pemasarannya mulai dari petani cengkeh, pedagang pengumpul kecamatan,
pedagang pengumpul besar, vendor, perusahaan rokok. Untuk menjaga harga stabil, APCI sepakat
membentuk badan usaha yang berperan dalam pembelian langsung hasil produksi petani cengkeh
tanpa melalui perantara. APCI juga berkewenangan menentukan harga beli petani sebesar
Rp75.000,00 per kg agar petani tetap menikmati harga tinggi dan pabrik rokok juga tidak membeli
terlalu mahal cengkeh petani.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi subsektor perkebunan (cengkeh) terhadap nilai
produk ekonomi kerakyatan di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara sebesar 34,08%,
sedangkan model kelembagaan subsektor perkebunan di wilayah ini di bawah koordinasi Assosiasi
Petani Cengkeh Indonesia (APCI) cabang Kecamatan Kulisusu Utara yang berfungsi mengawasi
dan mengontrol kegiatan pemasaran produksi cengkeh.
Sangat ditekankan agar teknik budidaya cengkeh yang sesuai standar nasional serta
pembangunan sektor transportasi yang mempermudah aksesibilitas ke wilayah-wilayah
perkebunan menjadi perhatian pemerintah dan segenap komponen yang terkait sehingga tugas
dan fungsinya secara optimal berkontribusi terhadap pengembangan sektor pertanian khususnya
subsektor perkebunan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang terkait dalam
penelitian ini, (BPS Kabupaten Buton Utara, BPS Kecamatan Kulisusu Utara, dan lembaga-
lembaga/instansi lainnya) yang telah membantu terwujudnya penelitian hingga selesai, terkhusus
pengurus Perhepi Komda Kendari yang telah memfasilitasi penyelenggaraan Seminar Nasional di
Kota Kendari dan penulis bisa berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Syamsinar
Subsektor Perkebunan dan Aspek Kelembagaan terhadap Perekonomian Rakyat Kabupaten Buton Utara
147
DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Sulawesi Tenggara. 2013. Sultra dalam Angka. Kendari: BPS Sulawesi Tenggara.
Departemen Pertanian. 2013. Tanaman Perkebunan (Cengkeh). Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan.
Lincolin, A. 1995. Ekonomi Pembangunan. Edisi ke-4, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi YPKN.
Amirudin, I, 2012. Pembangunan Daerah. Jakarta: Angkasa Putra.
Ofyar, Z. T. 2000. Perencanaan dan Permodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.
Rustiadi, E. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan


148 Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya menuju Swasembada Berkelanjutan

Anda mungkin juga menyukai