Anda di halaman 1dari 19

STUDI PERBANDINGAN BIAYA PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADA USAHA TANI

KACANG HIJAU DENGAN SISTEM TANAM TUGAL DAN SEBAR DIKECAMATAN


DOMPU KABUPATEN DOMPU

Oleh :

MUH MUKRIM 2018010078

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA

2022
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian, baik sebagai
sumber mata pencaharian maupun sebagai penompang pembangunan. Proses pembangunan di
Indonesia, menjadikan sektor pertanian sangat penting dalam perekonomian nasional di
karenakan hampir sebagian besar penduduk Indonesia hidup di pedesaan dengan mata
pencaharian sebagai petani. Selain memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
pendapatan nasional Indonesia, sebagian ekspor Indonesia juga berasal dari sektor pertanian,
sehingga sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam penyerapan tenaga kerja dan
penyediaan kebutuhan pangan dan sandang bagi penduduk (Wibowo, 2012).
Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045 disusun sebagai bagian dari
pelaksanaan amanat kontribusi untuk mewujugkan Indonesia yang bermartabat, mandiri, maju,
adil, dan makmur paling lambat pada tahun 2045 yakni setelah 100 tahun Indonesia merdeka
yang dipandang sebagai momentum dalam membangkitkan semangat dan memobilitasi
sumberdaya nasional guna mewujudkan cita-cita luhur seperti yang diamanatkan oleh konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), SIPP merupakan kesinambungan dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RRJPN) 2005-2025 dan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 20012025.Strategi induk pembangunan
nasional sebagaimana diamanatkan konstitusi, yaitu mewujudkan Indonesia mandiri, maju, adil
dan makmur. Sejalan dengan itu maka SIPP disusun dengan perspektif pertanian Indonesia yang
bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur sebagai arah ideal jangka panjang pertanian
(Kementerian Pertanian, 2014).
Paradigma pertanian untuk pembangunan menyatakan bahwa pembanguan perekonomian
nasional dirancang dan dilaksanakan berdasarkan tahapan pembangun pertanian dan menjadikan
sektor pertanian sebagai motor penggerak pembangunan. Penempatan kedudukan (positioning)
sektor pertanian dalam pembanguan nasional merupakan kunci utama keberhasilan mewujudkan
Indonesia yang bermartabat, mandiri, maju, adi, dan makmur. Tahapan pencapaian dan peta jalan
transformasi structural merupakan landasan untuk menetapkan posisi sektor pertanian dalam
pemn bangunan nasional. Transformasi yang esensial dalam mendesain rencana jangka panjang
pembanguna pertanian mencapuk; transformasi demografi, transformasi ekonomi, transformasi
special, transformasi institutional, transformasi tata kelola pembangunan dan tranformasi
pertanian. Transformasi pertanian merupakan proses penggerak transformasi pembangunan
nasional secara keseluruhan. Dengan paradigma ini, proses transformasi pembangunan nasional
dikelola terpadu, sinergis, selaras dan berimbang dengan proses transformasi pertanian.
Paradigma pertanian untuk pembangunan secara bersamaan perlu diimbangi oleh paradigma
pembangunan untuk pertanian (Development for Agriculture) Adanya beberapa pencapaian
yang telah dilakukan dalam kurun waktu 2010-2014 di salah satu bidang pertanian yaitu bidang
hortikultura, produksi komoditas utama hortikultura selama kurun waktu 20102014 menunjukan
pola yang berfluktuatif. Hal ini terjadi tidak hanya pada komoditas sayuran, tetapi juga
komoditas buah, dan florikultura (Kementerian Pertanian, 2014).
Pengembangan sektor sektor pertanian harus diarahkan kepada sistem agribisnis, karena
selain meningkatkan pendapatan bagi pelaku- pelaku agrbisnis. Agribisnis merupakan sistem
pertanian yang mencakup semua kegiatan di sektor pertanaian yang dapat memberikan nilai
tambah bagi petani, mulai dari penyediaan sarana produksi, proses produksi, pasca panen,
pengolahan (agroindustri), dan pemasaran hasil produk tersebut sampai ke konsumen.
Perkembangan agribisnis berdampak terhadap perumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan
pendapatan petani yang pada akhirnya diharapkan akan mengurangi ketimpangan pendapatan
masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan pengembangan ekonomi kerakyatan, terutama sektor
pertanian maka perlu dipersiapkan kebijakan strategis untuk percepatan pertumbuhan sektor
pertanian, terutama pertanian pangan termasuk usahatani kacang hijau. Salah satu cara untuk
mancapai tujuan tersebut adalah pengembangan agribisnis kacang hijau yang terencana dengan
baik dan terkait pembangunan sektor ekonomi lainnya (Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan
Umbi, 2013).

Provinsi NTB merupakan salah satu provinsi yang menjadi sentra produksi
kacang hijau. Sesuai dengan Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi (2012)
terdapat 10 Provinsi yang menjadi sentra produksi yaitu terdapat di Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Kacang hijau
dikelola di lahan sawah tadah hujan setelah padi pada musim hujan akhir dan di lahan
sawah pengairan setengah tekhnis setelah padi pada musim tanam II. Potensi lahan
untuk pengembangan kacang hijau di NTB yaitu di lahan kering yang berupa ladang dan
tegalan. Untuk lebih jelasnya perkembangan produksi dan luas panen kacang hijau
selama kurun waktu 7 tahun dapat dilihat di tabel.1 perkembangan luas panen, produksi
dan produktivitas (Dinas Pertanian Provinsi NTB, 2018).

1.2. Rumusan Masalah Dalam kaitanya dengan studi perbandingan biaya produksi dan pendapatan
pada usahatani kacang hijau dengan sistem tegal dan sebar maka beberapa rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Berapa perbandingan biaya usahatani kacang hijau dengan sistem tanam tugal dan sebar
di Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu?
2. Berapa perbandingan produksi usahatani kacang hijau dengan sistem tanam tugal
dan sebar di Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu?
3. Berapa perbandingan pendapatan usahatani kacang hijau dengan sistem tanam tugal dan
sebar di Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu?
Bab II. KERANGKA TEORI

A. Teori Usahatani

Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seoranag


mengusahakan dan mengkoordinir factor-faktor produksi dan alam sekitarnya
sehingga memberikan manfaat yang sebaiknya (Soekartawi,2003). Usahatani adalah
segalah sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan manusia dalam melaksanakan
pertanian atau diatas tanahnya atau himpinan dari sumber-sumber alam yang
terdapat di suatu tempat yang diperlukan untuk produksi pertanian, seperti: tanah,
air, sinar matahari, bangunan pertanian, dan sebagainnya (Mosher, 1987). Ilmu
usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seoranng mengusahakan dan
mengkoordinir factor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai
modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik- baiknya. Sebagai ilmu
pengetahuan. Ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani
menentukan, mengkoordinir, dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi
selektif dan sefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan
semaksimal mungkin (Suratiyah, 2015).
Unsur-unsur pokok usahatani disebut juga faktor-faktor produksi. Factor
tersebut: tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan. Penguasaan dan pemilikan
factor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap pengelolaan usahatani (Anonim,
2018). Tipe usahatani menunnjukan klasifikasi tanaman yang didasarkan pada
macam dan penyusunan tanaman yang diusahakan. Macam tipe usahatani yaitu,
usahatani padi dan usahatani palawija (serelia, umbi-umbian, jagung). Pola tanaman
usahatani ada tiga yaitu monokultur, campuran tumpang sari, dan bergilir/ tumpang
gilir (Agustina, 2014).
Pola usahatani ada dua macam yaitu lahan basah dan sawah kering. Ada
beberapa sawah yang irigasinya dipengaruhi oleh sifat pengairannya (Agustina,
2014), yaitu:
a. Sawah dengan pengairan tehnis

b. Sawah dengan pengairan setengah tehnis


c. Sawah dengan pengiran sederhana

d. Sawah dengan pengairan tadah hujan

e. Sawah pasang surut, umumnya dimurai sungai.

1. Biaya
Input merupakan seluruh factor yang digunakan dalam suatu proses produksi.
Output merupakan keluaran sebagai akibat adanya proses produksi yang menggunakan
sejumlah input (Abubakar, 2010).

Biaya adalah sejumlah input yang digunakan dalam proses produksi tersebut
dengan memasukan unsur harga input. Input ini berharga karena keadaannya bersifat
kelangkaan sehingga untuk mendapatkannya kita harus mengeluarkan sejumlah biaya
(Abubakar, 2010).
Menurut Soekartawi (1995) biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu: biaya tetap dan biaya tidak tetap.
a. Biaya tetap (fixed cost) ini umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relative
tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh
banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar
kecilnya produksi yang diperoleh. Contohnya pajak, sewah atanh, alat pertanian
dan iuran irigasi.
b. Biaya tidak tetap a d a l a h didefinisikan sebagai biaya yang besar- kecilnya
dipengaruhi oleh produksi yang duperoleh. Contohnya biaya untuk sarana
produksi. Jika menginginkan produksi yang lebih tinggi, maka tenaga kerja perlu
ditambah, pupuk juga perluh ditambah dan sebagainya, sehingga biaya ini
bersifat berubah-ubah tergantung dari besar-kecilnya produksi yang diinginkan.
Biaya total usahatani dapat diformulasikan (Suratiyah, 2015) sebagai berikut:
TC = TFC + TVC
Keterangan:

TC = Total Biaya
TFC = Total Biaya Tetap
TVC = Total biaya variabel
2. Produksi
Produksi adalah proses perubahan input menjadi output, mencakup semua
jenis kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang baik yang dihasilkan
oleh perusahaan besar, sedang maupun kecil. Produksi merupakan hasil akhir dari
proses dan efektivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input
(Joerson, Tati. S, 2003). Fungsi produksi menunjukan berapa banyak jumlah
maksimum output yang dapat diproduksi apabila jumlah input tertentu digunakan
dalam proses produksi. Jadi fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan
hubungan antara tingkat output dan tingkat penggunaan input dan karena fungsi ini
menunjukkan hubungan fisik antara input dan output.
Faktor produksi meruoakan barang atau jasa yang disediakan oleh alam atau
ciptaan manusia yang digunakan untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa
lainnya yang perlukan oleh manusia. Factor produksi dalam usaha pertanian
mencakup alam, modal, tenaga kerja, dan manajemen (Suratiyah, 2015).

3. Penerimaan
Penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual, dimana dalam menghitung total penerimaan usahatani perlu
dipisahkan antara analisis parsial usahatani dan analisis simultan usahatani (Rahim A
dan Hastuti DRD, 2008). Soekartawi et al. (1986) berpendapat bahwa penerimaan
dinilai berdasarkan perkalian antara total produksi dengan harga pasar yang berlaku;
yang mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani,
digunakan dalam usahatani untuk benih, digunakan untuk pembayaran, dan yang
disimpan. Menurut Soeharjo dan Patong (1973) bahwa penerimaan usahatani
berwujud pada tiga hal, yaitu :
1. Hasil penjualan tanaman, ternak, ikan atau produk yang akan dijual.Adakalanya
yang dijual ialah hasil ternak, misalnya susu, daging dan telur. Adakalanya pula
yang dijual adalah hasil dari pekarangan yaitu pisang, kelapa, dan lain-lain.
2. Produk yang dikonsumsi pengusaha dan keluarganya selama melakukan kegiatan.
3. Kenaikan nilai inventaris. Nilai benda-benda inventaris yang dimiliki petani,
berubah-ubah setiap tahun. Dengan demikian akan ada perhitungan. Jika terjadi
kenaikan nilai benda-benda inventaris yang dimiliki petani, maka selisih nilai
akhir tahun dengan nilai awal tahun perhitungan merupakan penerimaan
usahatani.
4. Pendapatan
Pendapatan merupakan balas jasa terhadap penggunaan faktor-faktor
produksi. Menurut Soekartawi (2006) Pendapatan usahatani adalah selisih antara
penerimaan dan semua biaya. Adapun fungsi pendapatan memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan kebutuhan kegiatan usahatani selanjutnya. Dijelaskan oleh Soekartawi
et all (1986) bahwa selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai
usahatani disebut pendapatan tunai usahatani merupakan ukuran kemampuan
usahatani untuk menghasilkan uang tunai. Soekartawi et all (1986) juga menjelaskan
bahwa pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan atas biaya tunai dan
pendapatan atas biaya total. Dimana pendapatan atas biaya tunai merupakan
pendapatan yang diperoleh atas biaya-biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh
petani, sedangkan pendapatan atas biaya total merupakan pendapatan setelah
dikurangi biaya tunai dan biaya diperhitungkan Pendapatan usahatani dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Pd = TR – TC
TR = Y × Py
TC = TFC + TVC

dimana :
Pd = pendapatan usahatani
TR = total penerimaan (total revenue)
TC = total biaya (total cost)
TFC = total biaya tetap (total fixed cost)
TVC= total biaya variabel (total variable cost)
Y = produksi
Py = harga produk

Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani dibagi menjadi dua yaitu


faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor-faktor intern usahatani yang mempengaruhi
pendapatan usahatani yaitu kesuburan lahan, luas lahan garapan, ketersediaan tenaga kerja,
ketersediaan modal dalam usahatani, penggunaan input modern/teknologi, pola tanam,
lokasi tanaman, fragmentasi lahan, status penguasaan lahan, cara pemasaran output,
efisiensi penggunaan input dan tingkat pengetahuan maupun keterampilan petani dan tenaga
kerja. Sedangkan faktorfaktor ekstern usahatani yang mempengaruhi pendapatan usahatani
yaitu sarana transpotasi, sistem tataniaga, penemuan teknologi baru, fasilitas irigasi, tingkat
harga output dan input, ketersediaan lembaga perkreditan, adat istiadat masyarakat dan
kebijaksanaan pemerintah.
Perubahan sistem perusahaan pertanian yang tradisional ke semi tradisional
atau ke komersial membawa dampak terhadap keputusan petani yang didasarkan
konsep utilitas ke konsep atas dasar keuntungan (profit maximization) (Soekartawi,
1993).
Konsep profit maximization muncul pada usahatani komersial dimana konsep
ekonomi sudah diterapkan. Konsep ini dikembangkan di Barat khususnya setelah
muncul konsep laba yang diperkenalkan oleh Adam Smith, petani sebagai penerima
harga (price t e r d a p at memaksimalkan keuntungan melalui pengendalian output
produksi maupun faktor produksi, namun dengan keterbatasan sumberdaya setiap
produsen atau petani berusaha menekan biaya serendah mungkin sehingga
memberikan keuntungan maksimal. Tingkat output yang diperoleh dari kombinasi
penggunaan faktor yang demikian disebut output optimal apabila

penggunaan faktor tersebut sampai jumlah tertentu nilsi produksi output terakhir yang
dihasilkan hanya cukup membayar harga faktor yang digunakan tersebut (Soekartawi,
1989).

5. Tinjauan Umum Tanaman Kacang Hijau

a. Deskripsi Kacang Hijau


Taksonomi tanaman kacang hijau (Rukmana, 2006) sebagai berikut :
Kingdom :

Devisi :

Kelas :
Ordo :

Familia :

Genus :
Species :

Tanaman kacang hijau memiliki batang yang tegak dengan ketinggian sangat
bervariasi, antara 30-60 cm tergantung varietasnya, pada cabang kacang hijau
menyamping pada batang utama terbentuk bulat dan berbulu, warna batang ,
cabangnya ada yang berwrna hijau dan ungu, biji kacang hijau merupakan lebih kecil
dibanding biji kacang-kacangan lain. Biji kacang hijau terdiri dari tiga bagian utama
yaitu kulit biji (10%), kotiledon (88%) dan

lembaga (2%). Bagian kulit biji kacang hijau mengandung mineral antara lain fosfor
(P), kalsium (Ca) dan besi (Fe). Kotiledon banyak mengandung pati dan serat,
sedangkan lembaga merupakan sumber protein dan lemak (Purnomo, 2006).
Tanaman kacang hijau berakar tunggang dengan akar cabang pada permukaan
dan bunga kacang hijau berwarna kuning tersusun dalam tandan, keluar pada cabang
serta batang dan dapat menyebuk sendiri (Tjistrosoepomo, 2000).

b. Syarat Tumbuh Tanaman Kacang Hijau


1. Iklim

Rukmana (2006) menyatakan bahwa untuk dapat tumbuh dan berkembang


kacang hijau menghendaki curah hujan yang optimal 50-200 mm/bln dengan
temparatur 25-270C, kelembaban udara berkisar antara 50- 80% dan cukup
mendapatkan sinar matahari.
Kacang hijau merupakan tanaman tropis yang menghendaki suasana panas
selama hidupnya. Tanaman ini dapat ditanam di dataran rendah hingga tinggi 500 m
di atas permukaan laut (dpl), tanaman kacang hijau dapat hidup di daerah curah hujan
rendah dengan memanfaatkan sisa-sisa kelembaban bekas tanaman yang diari
sepenuhnya, misalnya padi, kacang hijau dapat tumbuh di segala macam tipe tanah,
namun pertumbuhan terbaik pada tanah lempung dengan bahan organic tinggi
(Rukmana, 2006).
2. Tanah

Tanah yang disesuaikan tanaman kacang hijau adalah tanah yang liat
berlempung, berdrainase baik dan cukup unsure hara N, P, K, C dan unsur mikro,
tanah yang terlalu subur dengan kandungan N-total (0,51-0,75 %) dan K-tersedia
(0,61-1,00 C mol, kg-1) yang tinggi kurang baik untuk kacang hijau karena akan
mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang berlebihan dan pembentukan polong
berkurang (Sumarno, 2003). Tingkat keasaman tanah yang optimum untuk
pertumbuhan kacang hijau antara pH 6,5 (Andrianto dan Indrianto, 2004).
Kacang hijau dapat tumbuh pada semua jenis tanah sepanjang kelembaban
dan tersedianya unsur hara yang cukup. Itu lahan yang akan dipergunakan harus
dipersia pkan sebaik-baiknya. Lahan sawah setelah panen padi, tidak perlu dilakukan
pengolahan tanah. Menurut Sunantara (2000) penyediaan lahan berupa dengan
pemotongan jerami padi sesuai untuk untuk budidaya kacang hijau setelah tanaman
padi. Sementara itu pada lahan sawah yang agak lama tidak ditanami perlu
dilakaukan pengolahan tanah secara sempurna, untuk menghindari air tergenang pada
musim hujan serta perlu dibuat saluran drainase dengan lebar dan kedalaman 20-30
cm dan jarak antara saluran maksimum 4 m (Atman, 2007) .

3. Teknologi Budidaya Tanaman Kacang Hijau di Indonesia


Kesiapan teknologi dalam pengembangan kacang hijau belum tersedia dengan
baik, keterbatasan modal, anggapan petani terhadap kacang hijau sebagai tanaman
kedua, dan infrastruktur yang kurang memadai merupakan faktor biofisik dan social
ekonomi yang menghambat pengembangan kacang hijau.
Kacang hijau umumnya ditanam di lahan sawah pada musim kemarau setelah
padi atau tanaman p alawija yang lain. Ditingkat petani, rata-rata produktivitas baru
mencapai 0,9 ton/ha. Sedangkan hasil percobaan dapat mencaoai 1,60 ton/ha.
Rendahnya hasil kacang hijau ditingkat petani antara lain sebabkan oleh praktek
budidaya yang kurang optimal. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman diperlukan
tekhnik budidaya yang tepat.

4. Penanaman Kacang Hijau Dengan Sistem Tanam Tugal dan Sebar

Sistem tanam sebar adalah carah tanam dengan disebar dapat diterapkan pada
daerah-daerah yang tenaga kerjanya susah diperoleh. Cara tanam ini hanya dapat
dilakukan apabila tanah cukup lembab, sehingga

kacang hijau yang jatuh ditanah dapat melekat pada tanah yang lembab (Damai,
2008).
Cara tanam dengan system sebar memerlukan tenaga dan waktu lebih sedikit
dari pada tanam dengan sistem tugal, namun mempunyai beberapa kerugian seperti
jarak antar tanaman tidak merata, sehingga pertumbuhan tanaman tidak seragam.
1. Keperluan benih lebih banyak

2. Biasanya benih kacang hijau tidak masuk dalam tanah, sehingga apabila
keadaan tanahnya kering benih tidak akan tumbuh
3. Pemeliharaan lebih susah karena jarak tanam yang tidak merata. Sistem
tanam tugal pada kacang hijau. Pada musim kemarau,
sebaiknya lubang tanam lebih dalam untuk menghindari kekeringan, sedangkan pada
musim hujan lubang tanam sebaiknya lebih dangkal untuk menghindari pembusukan
akar akibat tanah becek. Semakin tinggi kesuburan tanah, sebaiknya jarak tanam yang
digunakan yang lebih renggang begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat
kesuburan tanah sebaiknya menggunakan jarak tanam yang rapat.
Cara tanam dengan sistem tugal memerlukan tenaga dan waktu lebih banyak,
tetapi mempunyai keuntungan yaitu:
1. Sebagian benih yang tidak tumbuh atau tanaman muda yang mati dapat
terkompensasi sehingga tanaman tidak terlalu jarang
2. Kebutuhan benih tidak terlalu banyak

3. Permukan tanah dapat segera tertutup, sehingga pertumbuhan gulma dapat


ditekan.
4. Jumlah tanaman per hektar merupakan komponen hasil, sehingga dari jumlah
tanaman yang tinggi diharapkan dapat memeberikan hasil yang tinggi pula.

5. Masalah Budidaya Kacang Hijau di Lahan Kering

Lahan kering merupakan lahan dengan tingkat kesuburan dan produktivitas


yang sangat rendah dan khusus pada lahan berlerang atau bergellembang
berpotensi erosi tanah cukup besar. Suprapto et al., (2000) menyatakan bahwa
usahatani di lahan kering masih banyak dihadapkan pada berbagai permasalahan
seperti masalah air pengairan, tingkat kesuburan tanah, dan produktivitas lahan
yang rendah, sehingga perlu diupayakan untuk meningkatkan produktivitas dari
lahan kering tersebut melalui pemupukan baik pupuk anorganik maupun organik.
Permasalahan dalam pengelolaan tanaman kacang hijau di lahan kering
adalah masih rendahnya produktivitas hasil, rendahnya unsur hara di lahan kering
dan air yang tersedia sangat kurang. Kekeringan merupakan salah satu faktor
penting yang berpengaruh terhadap rendah rendah dan tidak stabilnya tanaman
kacang hijau, ketersedian air tanah yang sangat terbatas mengakibatkan
pertumbuhan tanaman terhambat dan dapat menyebabkan hasil tanaman rendah,
kekeringan berat yang sebabkan rendahnya curah hujan serta distribusinya yang
tidak merata di daerah beriklim kering menyebkan kandungan air tanah cenderung
berfluktuasi, karena terhambatnya pertumbuhan tanaman (Soepandie, 1996).

B. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu


Candra Ayu Budi Saputri (2013) yang berjudul “Studi Komparatif Usahatani
Kedelai Dengan Sistem Tanam Tugal Dan Sistem Tanam Sebar di Desa Bogo
Tanjung Kecamatan Gabus Kabupaten Pati”. Hasil penelitian dan uji statistic yang
dilakukan, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara biaya
usahatani kadelai dengan sistem tanam tunggal dan sistem tanam sebar, sehingga
dapat dinyatakan bahwa biaya dari usahatani kadelai dengan sistem tanam tugal Rp. 5
575 710,00/ha lebih besar dari pada usahatani kadelai dengan sistem tanam tugal
sebesar Rp. 5 036 364,00 ha. Penerimaan rata-rata pada usahatani kadelai dengan
sistem tanam sebar sebesar Rp. 17 999 253,00/ha, sedangkan usahatani kadelai
dengan sistem tanam sebar sebesar Rp. 13 383 033,00/ha. Dari hasil uji statistic
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara pendapatan usahatani kadelai
dengan sistem tanam tugal dan sistem tanam sebar, sehingga dapat dinyatakan bahwa
pendapatan dari usahatani kadelai dengan sistem tanam tugal Rp 12 241 456,00/ha
lebih besar dari pada usahatani kadelai dengan sistem tanam sebar Rp 8 272
035,00/ha. Usahatani kadelai dengan sistem tanam tugal dan sistem tanam sebar
dinyatakan efisisen dan efesiensi dari usahatani kadelai dengan sistem tanam tugal
(R/C rasio = 3,17) lebih besar dari pada usahatani kadelai dengan sistem tanam sebar
(R/C rasio = 2,66). Nilai kemanfaatan usahatani kadelai dengan sistem tanam tugal
lebih bermanfaat bagi petani (Increamental B/C rasio = 6,21).
Vita Anggi Tapisa (2019) dengan judul penelitian “Studi Komparatif

Pendapatan dan Kesempatan Kerja Pada Usahatani Kedelai Dengan Sistem Tanam
Sebar dan Tugal di Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) biaya produksi pada usahatani kedelai sistem sebar lebih
kecil dibandingkan usahatani kedelai sistem tugal dengan nilai masing-masing secara
berurutan sebesar Rp 5.741.322,84/ha dan Rp. 7.205.808,64/ha, dengan persentase
biaya variabel masing-masing sebesar 97,47% dan 97,68% dan sisanya 2,53% dan
2,32% pad abiaya tetap. (2) Produksi pada usahatani kedelai sistem sebar lebih kecil
dibandingkan usahatani kedelai sistem tugal setelah diuji dengan uji-t dengan taraf
nyata 0,5% dengan nilai masing-masing secara berurutan sebesar 1.301,42 kg/ha dan
sebesar 1.787,04 kg/ha. (3) Pendapatan pada usahatani kedelai sistem sebar lebih
kecil dibandingkan usahatani kedelai sistem tugal dengan nilai masing-masing secara
berurutan sebesar Rp. 1.806.935,65/ha dan sebesar Rp. 3.159.007,17/ha. (4)
Kesempatan Kerja pada usahatani kedelai sistem sebar dan sistem tugal sama dengan
nilai masing-masing secara berurutan sebesar 53,47 HKO/ha dan sebesar 61,06
HKO/ha, dengan kesempatan kerja paling banyak berada pada jenis kegiatan
penanaman dan pemanenan yang msing-masing sebesar 8,71 HKO/ha dan 12,82
HKO/ha pada sistem sebar sedangkan pada sistem tugal sebesar 12,59 HKO/ha dan
12,82 HKO/ha.
Sariwani (2016) dengan judul penelitian “Studi Komparatif Biaya dan
Pendapatan Usahatani Kacang Tanah dengan Jagung di Kecamatan Bayan Kabupaten
Lombok Utara”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) rata- rata biaya produksi
usahatani kacang tanah Rp. 4 982 289,82/ha dan usahatani jagung sebesar Rp. 4 862
709,92/ha per satu musim tanam. (2) rata-rata pendapatan pada usahatani kacang
tanah sebasar Rp. 7 991 512,34/ha, sedangkan rata-rata pendapatan petani responden
jagung sebesar Rp. 5 379 286,06/ha. (3) R/C ratio sebesar 2,60 untuk usahatani
kacang tanah dan R/c ratio sebesar 2,11 untuk usahatani jagung. Kriteria R/C
> 1 menunjukkan bahwa usaha layak diusahakan, R/C < 1 menunjukkan bahwa
usaha tidak layak diusahakan. Dengan demikian, kedua usahatani tersebut sama-sama
layak untuk diusahakan karena masing-masing nilai R/C ratio >1, akan tetapi
usahatani kacang tanah relative lebih besar

pendapatannya daripada jagung. Rata-rata biaya produksi usahatani kacang tanah


lebih besar daripada dengan usahatani jagung. Rata-rata biaya produksi kacang tanah dan
jagung setelah diuji dengan t-test dengan taraf kesalahan (α) 5%, tidak ada perbedaan
yang nyata antara biaya produksi usahatani kacang tanah dengan biaya produksi
usahatani jagung (t-hitung (-0,4701) lebih besar dari t-tabel (-2,0017) atau ada di
daerah H0 diterima). Pendapatan usahatani kacang tanah lebih besar daripada
pendapatan usahatani jagung dan setelah di uji dengan t-test dengan taraf kesalahan
(α) 5%, tidak ada perbedaan yang nyata antara pendapatan usahatani kacang tanah
dan usahatani jagung (t-hitung (1,4891) lebih kecil dari t-tabel (2,0017) berada di
daerah Ho diterima). Serta nilai R/C ratio usahatani kacang tanah lebih besar daripada
dengan jagung, diperoleh t-hitung (1,4917) lebih kecil dari t-tabel (2,0017) maka, Ho
diterima dengan kesimpulan tidak ada perbedaan efisiensi yang nyata pada usahatani
kacang tanah dengan jagung.
C. HIPOTESIS

Uji hipotesis data (uji F) dilakukan untuk mengetahui homogenitas


(keragaman data), hak ini akan menunjukkan bahwa data yang diolah bersifat
homogen atau heterogen. Jika data bersifat homogen maka data hasil penelitian
dinyatakan berdistribusi normal sehingga kesimpulan yang diambil bersifat valid;
sedangkan jika data bersifat heterogen maka data yang diperoleh tidak berdistribusi
normal sehingga perlu dilakukan transformasi data, agar kesimpulan yang diambil
dari hasil penelitian valid. Hipotesis uji F adalah:
H0 : Data biaya dan pendapatan pada usahatani sistem sebar dan tugal bersifat
homogen
H1 : Data biaya dan pendapatan pada usahatani sistem sebar dan tugal bersifat
heterogen.
- Pengujian Hipotesi Uji F:

Jika nilai probabilitas <0,05, maka uji F berbeda nyata (H0 ditolak),

artinya data bersifat heterogen; sedangkan jika nilai probabilitas >0,05, maka uji F
tidak berbeda nyata (H1 diterima), artinya data bersifat homogen.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar. 2010. Agribisni dan Aplikasi Pertanian. Gaung Persada Press.


Jakarta.
Agustina. 2014. Ilmu Usahatani. Press Universitas Brawijaya. Malang.
Andrianto Taufik, T. dan Indarto, T., 2004. Kadelai Kacang Hijau dan Kacang
Panjang. Absolut. Yogyakarta.
Anonim, 2018. www.scribd.com/document/147632920/unsure-unsur-pokok-
usahatani. Diakses 12/7/2018-9:45 WITA.
Aprilia, 2012. Studi Komparatif Peenndapatan Usahatani Kacang Hijau Pada
Lahan Sawah dan Lahan Kering di Kecamatan Moyo Hilir Kabupeten
Sumbawa. Fakultas Pertanaian Universitas Mataram. Mataram.
Atman, 2007. Teknologi Budidaya Kacang Hijau di Lahan Sawah. Peneliti Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian(BPTP). Sumatera Barat.
Badan Pusat Statistik, 2014. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik NTB.
Badan Pusat Statistik, 2018. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Candra Ayu Budi Saputri, 2013. Studi Komparatif Usahatani Kedelai Dengan
Sistem Tanam Tugal Dan Sistem Tanam Sebar di Desa Bogo Tanjung
Kecamatan Gabus Kabupaten Pati.
Jakarta.
Joerson, Tati Suhartati. 2003. Teori Ekonomi Mikro, Dilengkapi Beberapa
Bentuk Fungsi Produksi. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Kementerian Pertanian, 2013. Prospek pengembangan Agribisnis Kacang
Hijau. Deriktorat Jenderal Tanaman Pangan. Direktorat Budidaya
Tanaman Aneka Kacang Dan Umbi.
Kementerian Pertanian, 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-
2045. Kementerian Pertanian. Jakarta Selatan.
Ken Suratiyah, M., 2015. Ilmu Usahatani (Edisi Revisi). Penebar Swadaya Grup.
Mosher, AT., 1987. Penggerakan dan Pembangunan Pertanian. Yasaguna.
Jakarta.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, 2007. Metodelogi penelitian. Cetakkan 8.


Jakarta.
Purnomo dan Rudi, 2006. Kacang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta Timur.
Rahim, Abd dan diah, RH. 2007. Ekonomi Pertanian (Pengantar Teori dan
Kasus). Penebar Swadaya. Jakarta.
Rukmana. 2006. Kacang Hijau Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Sariwani, 2016. Studi Komparatif Biaya dan Pendapatan Usahatani Kacang
Tanah dengan Jagung di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Soeharjo
A. Patong D., 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Soekartawi, 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengenmbangan
Petani Kecil. Universitas Indonesia. Jakarta.
Soekartawi, 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasinya.
Rajawali Press. Jakarta.
Soekartawi, 1993. Manajemen pemasaran Dalam Bisnis Modern. Pustaka
Harapan. Jakarta.
Soekartawi, 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.
Soekartawi, 2003. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. CV Raja
Wali. Jakarta.
Soekartawi, 2006. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.
Soepandie, D., 1996. Toleransi Tanaman Kacang Hijau Terhadap Cakupan Air;
Uji Akumulasi Prolin dan Asam Abisik dan Hubungannya Dengan
Potensial Osmotik Daun dan Penyesuaian Osmotik. IPB. Bogor.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung.
Sumarno, 2003. Teknik Budidaya Kacang Hijau. Sinar baru. Bandung

Anda mungkin juga menyukai