Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH MANAJEMEN PEMASARAN

UPAYA PERBAIKAN PENDAPATAN PETANI MELALUI TINDAKAN INTEGRASI


(Studi Kasus Pada Komoditas Kelapa Sawit di Indonesia)

DISUSUN OLEH:

NURFITRIYANI MANDALA P042231016

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena sebagian besar masyarakat Indonesia
berada di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, maka sudah sewajarnya
pembangunan pertanian menjadi prioritas. Besarnya peran sektor pertanian
terhadap keberhasilan pembangunan ekonomi telah diungkap oleh Adriani
(2013) yang menyatakan bahwa pertambahan produksi sektor pertanian akan
mendorong peningkatan kesempatan kerja pertanian sebesar 69,677 persen,
angkatan kerja sebesar 3,75 persen di pasar tenaga kerja pertanian,
sementara pertambahan produksi sektor pertanian akan mendorong
peningkatan pendapatan nasional sektor pertanian sebesar 59,23 persen dan
investasi sebesar 26,93 persen di pasar produk pertanian. Adriani (2013) juga
menyatakan juga dibandingkan dengan sektor non pertanian, sektor pertanian
memberikan respon paling besar di pasar barang dan pasar kerjanya terhadap
pertambahan produksi.
Upaya demi upaya dilakukan untuk mendorong pembangunan
perekonomian di sektor pertanian. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
upaya perbaikan pendapatan pertanian melalui tindakan integrasi. Integrasi
tanaman ternak merupakan teknologi yang memadukan dan mengaitkan
usaha pertanian dan usaha peternakan. Teknologi ini juga menerapkan
konsep produksi bersih (Cleaner production), yang bertujuan teknologi tanpa
limbah (Zero waste). Karena limbah peternakan digunakan sebagai sumber
pupuk usaha pertanian dan limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak
(Indrawanto, 2017).
Tanaman sawit adalah tanaman yang sebagian besar diusahakan oleh
petani di Indonesia. Pada tahun 2019, luas perkebunan kelapa sawit di
Indonesia mencapai 14,7 juta ha, jauh lebih luas dari lahan perkebunan lain
(BPS 2020). Sebagian besar perkebunan tersebut berlokasi di Sumatera dan
Kalimantan. Namun limbah tanaman kelapa sawit sebagian besar belum
dimanfaatkan secara optimal oleh petani perkebunan. Oleh karena itu penting
bagi petani untuk meningkatkan pendapatan dengan mengoptimalkan sistem
usahatani integrasi ternak dan tanaman.
Vegetasi di lahan perkebunan, produk samping tanaman dan industri
pengolahan hasil kelapa sawit berpotensi dijadikan sumber pakan ternak sapi.
Menurut Ilham (2015), jika 30% saja potensi tersebut digunakan untuk pakan
ternak, akan mampu menampung sekitar 16 juta satuan ternak. Di Malaysia,
sistem usaha integrasi sawit sapi merupakan solusi dari keterbatasan padang
penggembalaan sapi untuk mencukupi kebutuhan daging sapi lokal dengan
harga relatif murah (Ahmad dan Nasir 2020). Lahan perkebunan kelapa sawit
yang luas merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan industri
sapi potong dengan sistem integrasi sawit sapi.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang diambil
pada makalah ini yaitu:
1. Bagaimana upaya integrasi berdampak pada perbaikan pendapatan
petani kelapa sawit di Indonesia?
2. Apa saja manfaat tindakan integrasi sawit sapi di Indonesia?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Mengetahui dampak upaya integrasi pada perbaikan pendapatan petani
kelapa sawit di Indonesia
2. Mengetahui manfaat dari tindakan integrasi sawit sapi di Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Integrasi Pertanian


Model integrasi tanaman ternak yang dikembangkan di lokasi
beberapa daerah dan negara berorientasi pada konsep sistem produksi
tanpa limbah (zero waste production system), yaitu seluruh limbah dari
ternak dan tanaman didaur ulang dan dimanfaatkan kembali ke dalam siklus
produksi. Komponen usahatani dalam model ini meliputi usaha ternak sapi
potong, tanaman pangan (padi atau jagung), hortikultura (sayuran),
perkebunan (tebu), dan perikanan (lele, gurami, nila). Limbah ternak (kotoran
sapi) diproses menjadi kompos dan pupuk organik granuler serta biogas;
limbah pertanian (jerami padi, batang dan daun jagung, pucuk tebu, jerami
kedelai dan kacang tanah) diproses menjadi pakan (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2010).
Pengembangan kegiatan pembangunan pertanian melalui kegiatan
integrasi tanaman ternak juga telah menjadi pola usahatani yang banyak
dikembangkan di berbagai daerah dan agroekosistem di Indonesia. Selain
menjadi sumber pendapatan keluarga, pola ini dipandang dapat memberikan
berbagai dampak pada proses integrasi dengan program pengembangan
usaha lainnya yang lebih luas.
Berbagai pola pengembangan integrasi tanaman-ternak baik yang
berbasis komoditas maupun agro ekosistem telah menjadi bagian dalam
upaya mendukung usaha pembibitan sapi potong dalam negeri (Winarso dan
Basuno, 2013), sekaligus menjadi salah satu potensi untuk pencapaian
Program Swasembada Daging Sapi Nasional (PSDS) tahun 2014 yang telah
direncanakan dalam lima kegiatan pokok serta kegiatan operasional Dirjen
Peternakan (Ashari et al., 2013). Konsep yang disampaikan Pasandaran et
al. (2005) menyatakan bahwa salah satu sistem usahatani yang dapat
mendukung pembangunan pertanian di wilayah perdesaan adalah sistem
integrasi tanaman-ternak. Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan
ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara
tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan
yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen.
Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor
pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan
pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran et al., 2005).
Sistem integrasi tanaman ternak mengemban tiga fungsi pokok yaitu
memperbaiki kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi,
memperkuat ketahanan pangan, dan memelihara keberlanjutan lingkungan.
Sistem integrasi tanaman ternak terdiri dari komponen budi daya tanaman,
budi daya ternak, dan pengolahan limbah. Penerapan teknologi pada
masing-masing komponen merupakan faktor penentu keberhasilan sistem
integrasi tersebut. Menurut Pasandaran et al. (2005), salah satu kunci
keberhasilan sistem integrasi adalah kemampuan mengelola informasi yang
diperlukan dalam sistem integrasi termasuk informasi mengenai teknologi
integrasi tanaman ternak. Di samping itu, keberhasilan petani dalam
penerapan sistem integrasi tanaman ternak perlu didukung oleh
kelembagaan yang kuat. Kelembagaan tersebut di antaranya adalah
lembaga sosial masyarakat, lembaga agroinput, lembaga keuangan,
lembaga pemasaran, dan lembaga penyuluhan (Rahman dan Subikta dalam
Fagi et al, 2009).

2.2. Gambaran Umum Kelapa Sawit di Indonesia


Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu
komoditas perkebunan utama di Indonesia dan berperan penting dalam
pembangunan nasional. Tanaman ini dapat menghasilkan minyak nabati
yang kualitas minyaknya lebih baik dibanding minyak yang dihasilkan oleh
tanaman lain, seperti memiliki kadar kolesterol rendah. Selain itu, juga
dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Bagian tanaman kelapa sawit
yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah buahnya yang tersusun dalam
sebuah tandan, sering disebut dengan TBS (tandan buah segar). Bagian
sabut buah kelapa sawit (daging buah atau mesocarp) menghasilkan minyak
sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) yang berwarna kuning sebanyak
20-24% dan minyak inti sawit (PKO atau Palm Kerner Oil) yang tidak
berwarna. CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan,
industri sabun, industri baja, industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan
bakar alternatif (biodiesel). Indonesia saat ini telah menjadi produsen CPO
terbesar di dunia setelah mampu menggeser Malaysia.
Kelapa sawit dan produk turunannya telah menjadi komoditas
perdagangan internasional yang menyumbang devisa terbesar bagi negara
dari ekspor non-migas tanaman perkebunan. Selain itu, juga berperan dalam
meningkatkan pendapatan petani sekaligus memberikan kesempatan kerja
yang luas (Yahya, 1990). Berdasarkan data statistik, selama kurun waktu
2013-2016 terlihat perkembangan areal tanaman kelapa sawit selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat pada Tabel
1 berikut:
Tabel 1. Luas areal, produksi, dan produktivitas kelapa sawit di
Indonesia, tahun 2013-2016

2.3. Potensi Limbah Kelapa Sawit


Potensi bahan baku pakan dari industri perkebunan kelapa sawit
cukup besar dan teknologi formulasi pakan sudah tersedia, namun
pengembangannya dinilai belum masif. Limbah (produk samping) tanaman
kelapa sawit dapat berupa pelepah sawit, daun sawit tanpa lidi, lumpur sawit
(solid), bungkil inti sawit (BIS), serat perasan, dan tandan buah kosong
(TBK). Enam limbah (produk samping) kelapa sawit tersebut diantaranya
dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak ruminansia maupun non
ruminansia, yaitu: daun sawit tanpa lidi, pelepah sawit, solid, dan bungkil inti
sawit dengan limbah bahan kering (biomasa).
Kajian Mayulu et al. (2013) mengemukakan bahwa perkebunan
kelapa sawit dan hasil samping industri minyak sawit dapat
direkomendasikan untuk pakan ternak ruminansia karena selain jumlahnya
yang besar, kandungan nutrisinya pun sesuai untuk ternak ruminansia.
Permasalahannya antara lain peternak skala kecil yang juga petani kebun
sawit hanya memiliki luas kebun rata-rata 2,0 ha. Luasan tersebut belum
memadai dijadikan area penggembalaan. Sementara itu, untuk meramu
pakan formula (pakan komplit) dibutuhkan bahan baku bungkil inti sawit (BIS)
dan lumpur sawit (sludge) yang dihasilkan perusahaan perkebunan
pengolahan kelapa sawit. Pengembangan usaha integrasi sawit sapi yang
dilakukan peternak skala kecil perlu melibatkan perkebunan skala besar baik
milik pemerintah (BUMN) maupun milik swasta agar peternak dapat
mengakses BIS dan sludge sebagai bahan baku pakan komplit dan dapat
mengakses lahan perkebunan sebagai areal penggembalaan sapi.

2.4. Potensi Limbah Sapi


Perkembangan subsektor peternakan khususnya ternak sapi selama
beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kemajuan yang cukup nyata. Hal ini
tercapai karena adanya upaya percepatan swasembada daging yang telah
dicanangkan pemerintah sejak tahun 2010 melalui Program Swasembada
Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK). Pada tahun 2016, pemerintah kembali
mencanangkan program baru yang dikenal dengan nama SIWAB (Sapi Induk
WAjib Bunting). Kemajuan usaha peternakan sapi ini dalam meningkatkan
populasi dan produksi daging tidak terlepas dari diadopsinya inovasi
teknologi peternakan berupa komponen teknologi dan paket teknologi yang
dihasilkan oleh lembaga penelitian pertanian, khususnya Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan).
Limbah ternak sapi dapat berbentuk padat dan cair. Limbah ini bila
tidak dimanfaatkan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, sebaliknya
bila dapat dimanfaatkan dengan sentuhan inovasi teknologi maka akan
memiliki nilai tambah, utamanya peningkatan pendapatan petani. Limbah
padat berupa kotoran sapi (feces) dan sisa-sisa makanan, sedangkan limbah
cair berupa kencing sapi (urine). Kotoran padat dapat digunakan sebagai
sumber pupuk organik padat (pupuk kandang) dan sumber energi (biogas).
Sementara itu, kotoran cair dapat dipergunakan sebagai sumber pupuk
organik cair. Menurut Hendri, dkk. (2015), seekor sapi dewasa mampu
menghasilkan kotoran padat berkisar 10-15 kg/hari dan kotoran cair berkisar
3-5 liter/hari.

2.5. Pendapatan
Pendapatan petani adalah salah satu tolak ukur yang diperoleh petani
dari usahatani yang dilakukan. Dalam analisis usahatani, pendapatan yang
diperoleh oleh petani adalah sebagai indikator yang sangat pentingn karena
merupakan sumber pokok dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pendapatan merupakan bentuk timbal balik jasa pengolahan lahan, tenaga
kerja, modal yang dimiliki petani untuk usahanya. Kesejahteraan petani dapat
meningkat apabila pendapatan petani lebih lebih besar dari pada biaya yang
dikeluarkan, tetapi diimbangi jumlah produksi yang tinggi dan harga yang
baik (Hernanto, 1996).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pola Integrasi Kelapa Sawit-Sapi


Peningkatan produksi daging dan produktivitas peternakan,
khususnya sapi dihadapi oleh kendala ketersediaan lahan yang terbatas.
Namun, peluang yang dapat dimanfaatkan adalah penerapan inovasi
teknologi integrasi komoditas peternakan dengan komoditas perkebunan,
misalnya: ternak sapi dengan tanaman kelapa sawit. Pola ini sebenarnya
sudah banyak dikenal oleh peternak dan pegusaha perkebunan, namun
belum optimal dalam menerapkan inovasi teknologi.
Keuntungan pola integrasi kelapa sawit-sapi ini, antara lain adalah
adanya siklus yang tidak terputus antara limbah tanaman kelapa sawit
sebagai pakan ternak dengan limbah ternak (kotoran padat dan cair) sebagai
sumber pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit dan sumber biogas.
Umumnya areal perkebunan kelapa sawit kurang dapat ditumbuhi tanaman
semusim, utamanya padi, palawija, dan rumput-rumputan yang dapat
dimanfaatkan oleh ternak sebagai sumber pakan. Hal ini disebabkan
rendahnya intensitas sinar matahari yang diterima akibat ternaungi oleh
tanaman kelapa sawit, khususnya tanaman yang telah menghasilkan (TM).
Akibatnya, ketersediaan pakan hijauan untuk ternak tidak dapat terpenuhi
dan harus didatangkan dari areal luar perkebunan. Namun, melalui inovasi
teknologi kelapa sawit-sapi, ketersediaan pakan ternak dapat disubstitusi
melalui pemanfaatan limbahtanaman kelapa sawit. Di sisi lain, kebutuhan
tanaman kelapa sawit terhadap pupuk organik (padat dan cair) dapat
dipenuhi melalui usaha budidaya ternak sapi.
Melalui pola integrasi kelapa sawit sapi ini, diterapkan konsep
produksi bersih (cleaner production) yang menghasilkan usahatani tanpa
limbah (zerro waste). Hasil utama ternak sapi adalah berupa daging dan susu
yang dapat dijual langsung ke pasar. Limbah atau produk sampingnya
berupa kotoran sapi dan urine yang dapat dijadikan sebagai sumber pupuk
organik untuk tanaman kelapa sawit. Kotoran sapi selain dapat dijadikan
sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit, juga sebagai
sumber biogas. Hasil akhir biogas dapat berupa: bahan bakar kompor,
sumber energi listrik, dan sisa kotoran sapi. Sisa kotoran sapi juga dapat
dijadikan sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit.
Sementara itu, hasil utama tanaman kelapa sawit adalah berupa tandan buah
segar (TBS) yang dapat dijual langsung ke pasar. Limbah atau produk
sampingnya berupa pelepah sawit, daun sawit tanpa lidi, solid, bungkil inti
sawit (BIS), serat perasan, dan tandan buah kosong (TBK) dapat dijadikan
sebagai sumber pakan ternak. Keuntungannya, dapat meminimalisir biaya
usahatani kepala sawit dan budidaya ternak sapi. Berikut adalah gambar
model implementasi integrasi sawit sapi:

Gambar 1. Model Implementasi Integrasi Kelapa Sawit-Sapi


3.2. Limbah Tanaman Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak
Pemanfaatan limbah kelapa sawit masih sangat terbatas. Sebagian industri
kelapa sawit masih menimbun limbah (open dumping) dan membakarnya dalam
incinerator sehingga dapat mencemari lingkungan. Untuk mengurangi pencemaran
lingkungan akibat limbah industri tersebut, diperlukan pengelolaan limbah yang
berwawasan lingkungan. Salah satunya melalui pemanfaatan limbah kelapa sawit
menjadi pupuk organik melalui proses pelapukan menggunakan dekomposer.
Limbah tanaman kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak
ruminansia maupun non ruminansia, yaitu: daun sawit tanpa lidi, pelepah sawit,
solid, dan bungkil inti sawit (BIS) dengan limbah bahan kering (biomasa) sebanyak
3.944 kg/ha/ tahun. Solid dapat langsung diberikan pada ternak. BIS juga dapat
diberikan langsung pada ternak. Namun, karena kurang disukai ternak maka
sebaiknya BIS terlebih dahulu dicampur dengan dedak sebagai konsentrat.
Sementara itu, daun dan pelepah sawit juga dapat diberikan langsung pada ternak.
Namun, karena kandungan gizinya relatif rendah (protein 4-5%) dan kandungan
serat kasar yang tinggi maka perlu ditingkatkan kualitasnya melalui pembuatan
silase hijauan sawit (BPTP Sumbar, 2012).
Hasil penelitian Hendri dan Dewi (2014) mendapatkan bahwa pemberian
rumput ditambah pelepah sawit dalam bentuk segar pada ternak sapi Bali mampu
meningkatkan pendapatan petani akibat pertambahan berat badan harian (PBBH).
Pemberian pelepah sawit yang dicampur rumput dapat meningkatkan PBBH berkisar
13,12-22,17% dibanding pemberian tanpa pelepah sawit. Meskipun kandungan
protein pada rumput lebih tinggi dibanding pelepah sawit, namun dengan kandungan
Total Digestible Nutrient (TDN) atau jumlah nutrisi mudah dicerna lebih tinggi maka
asupan protein menjadi meningkat dan penyerapan zat-zat makanan semakin
efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi daging dan mempengaruhi
pertambahan berat badan. Cara pemberian pakannya adalah: pelepah sawit
dibuang bagian daunnya dan dikupas untuk mendapatkan empulurnya, lalu dicacah
menggunakan chopper. Selanjutnya diberikan kepada ternak, yaitu: pada pagi hari
diberikan campuran pelepah sawit dan ½ bagian konsentrat, pada siang hari
diberikan ½ bagian konsentrat, dan pada sore hari diberikan rumput.
3.3. Peningkatan Pendapatan Melalui Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Usahatani dengan menerapkan teknologi integrasi kelapa sawit-sapi
merupakan salah satu solusi dalam meningkatkan pendapatan dan sekaligus
kesejahteraan petani. Hasil penelitian Hendri dan Dewi (2014) mendapatkan bahwa
pemberian rumput ditambah pelepah sawit dalam bentuk segar pada ternak sapi Bali
mampu meningkatkan keuntungan/laba petani berkisar 168,8-261,0% dibanding
dengan pemberian tanpa pelepah sawit. Sementara itu, Pagassa (2008)
menyatakan bahwa integrasi ternak di lahan perkebunan kelapa sawit mampu
meningkatkan pendapatan antara 10,56-16,49%. Teknologi ini juga dapat
menghemat biaya pengendalian gulma sekitar 20-50% dan mengurangi biaya
pemupukan sampai 35% (Utomo dan Widjaya, 2012).
Adapun manfaat yang didapatkan dari integrasi kelapa-sawit dalam upaya
peningkatan pendapatan petani yaitu:
1. Manfaat finansial
Usaha intergrasi sapi sawit dapat dilakukan dengan tiga pola, yaitu
intensif, semi intensif, dan ekstensif. Pola intensif, sapi dikandangkan terus
menerus dan diberi pakan komplit dengan bahan baku utama dari BIS,
lumpur sawit dan pelepah daun sawit yang telah dicacah. Pola semi
intensif, sapi digembalakan di lahan perkebunan pada siang hari dan
kembali ke kandang pada sore hari. Pola ekstensif, sapi digembalakan
terus menerus di lahan perkebunan dengan cara dirotasi agar vegetasi di
lahan perkebunan sebagai sumber pakan tidak rusak akibat
penggembalaan berlebih (over-grazing). Sementara, kajian Saifuddin dan
Suryadi (2017) di Aceh menyebutkan ada tiga proses dalam pembentukan
integrasi sawit sapi, yaitu 1. sistem integrasi secara alami
2. sistem integrasi kooperatif
3. sistem integrasi intensif
Menurut Ilham dan Saliem (2011), usaha ternak sapi yang diusahakan
secara terintegrasi dengan usaha tani kelapa sawit dengan semi intensif
secara finansial layak dikembangkan dengan nilai Benefit/Cost (B/C)
antara 1,35–2,67; Internal Rate of Return (IRR) berkisar antara 21– 29%;
Net Present Value (NPV) lebih besar dari nol dan lama pengembalian
modal 4,91–6,4 tahun. Hasil ini senada dengan penelitian Utomo dan
Widjaja (2012); Affandi et al. (2014); Indrayani dan Hellyward (2015);
Hidayat dan Hidayat (2017); dan Nur et al. (2018), yang mengatakan
bahwa usaha integrasi sawit-sapi dilakukan oleh peternak dan perusahaan
swasta memberikan keuntungan ekonomi. Sementara itu, Suadi dan
Suryadi (2017) dan Zaimah et al. (2017) menyebutkan program integrasi
sawit sapi menghasilkan sejumlah dampak positif kepada masyarakat.
Dampak yang jelas adalah dari sisi ekonomi berupa kenaikan pendapatan.
Di samping itu, ada dampak positif terhadap meningkatnya pemenuhan
kegiatan sosial dan spiritual.
2. Manfaat Teknis
Kebun kelapa sawit berpotensi sebagai area penggembalaan sapi
khususnya ras sapi tropis. Daun kelapa sawit dapat dijadikan sumber pakan
pada musim kemarau saat pakan hijauan produksinya menurun. Pemberian
pupuk organik cair dan padat dari ternak sapi untuk tanaman kelapa sawit
mampu meningkatkan produksi (Bamualim et al. 2015; Ahmad dan
Sariffudin 2019; Dahono et al. 2019).
Banyak petani menggunakan pupuk kandang dan menurunkan dosis
pupuk inorganik dengan dampak meningkatkan pendapatan usaha tani
kelapa sawit (Ilham et al. 2016). Usaha integrasi sawit sapi memberikan
pengaruh positif dari aspek lingkungan karena pembasmian gulma di
perkebunan sawit menggunakan pestisida menjadi berkurang (Saifuddin
dan Suryadi 2017; Mahendri dan Sisriyenni 2020). Tidak semua peternak
yang berusaha sapi potong telah melakukan usaha integrasi sawit sapi.
Belum diterapkannya teknologi pakan dan pembuatan pupuk organik oleh
peternak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dikarenakan
ketidakpahaman peternak tentang pentingnya integrasi sapi sawit sehingga
belum mengadopsi teknologi integrasi sawit-sapi (Malik et al. 2017). Oleh
karenanya, diperlukan dukungan pemerintah disertai pendampingan yang
intensif dan berkelanjutan.
BAB V
KESIMPULAN
Usahatani dengan menerapkan teknologi integrasi kelapa sawit-sapi
merupakan salah satu solusi dalam meningkatkan pendapatan dan sekaligus
kesejahteraan petani. Hasil penelitian Hendri dan Dewi (2014) mendapatkan bahwa
pemberian rumput ditambah pelepah sawit dalam bentuk segar pada ternak sapi Bali
mampu meningkatkan keuntungan/laba petani berkisar 168,8-261,0% dibanding
dengan pemberian tanpa pelepah sawit. Hal ini dikarenakan limbah tanaman kelapa
sawit dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak ruminansia maupun non
ruminansia.
Melalui pola integrasi kelapa sawit sapi ini, diterapkan konsep produksi
bersih (cleaner production) yang menghasilkan usahatani tanpa limbah (zerro
waste). Hasil utama ternak sapi adalah berupa daging dan susu yang dapat dijual
langsung ke pasar. Limbah atau produk sampingnya berupa kotoran sapi dan urine
yang dapat dijadikan sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit.
Kotoran sapi selain dapat dijadikan sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman
kelapa sawit, juga sebagai sumber biogas.
Konsep ini juga memberikan manfaat bagi petani, baik manfaat secara teknis
maupun manfaat secara finansial. Manfaat teknis dari kegiatan ini adalah Pemberian
pupuk organik cair dan padat dari ternak sapi untuk tanaman kelapa sawit mampu
meningkatkan produksi , sedangkan manfaat finansial yang didapatkan yaitu bahwa
usaha integrasi sawit-sapi dilakukan oleh peternak dan perusahaan swasta
memberikan keuntungan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Dessy. 2013. Integrasi Pertumbuhan Ekonomi Dan Penciptaan Kesempatan


Kerja Sektor Pertanian Di Indonesia

Anugrah, Iwan Setiajie. 2014. Sistem Pertanian Terintegrasi – Simantri : Konsep,


Pelaksanaan, Dan Peranannya Dalam Pembangunan Pertanian Di Provinsi
Bali

Atman, Chandra Indrawanto. 2017. Integrasi Tanaman Ternak Solusi Meningkatkan


Pendapatan Petani

Badan Pusat Statistik. 2017. https://www.bps.go.id/subject/53/ tanaman-


pangan.html#subjekViewTab3; Diunduh 10 Desember 2017.

Ilham, Nyak. 2021. Pengembangan Usaha Integrasi Sawit Sapi: Dukungan Legislasi
Dan Stakeholder.

Ni Putu Sukanteri. 2018. Teknologi Pertanian Terpadu Berbasis Filosofi Tri Hita
Karana Dalam Usahatani Menuju Pertanian Organik.

Pratama, Yogi. 2019. Integrasi Usahatani Dengan Pemanfaatan Limbah Ternak Di


Desa Sapen, Mojolaban, Sukoharjo.

Yunus, Musa. 2018. Peningkatan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani


Melalui Integrasi Tanaman dan Ternak

Anda mungkin juga menyukai