Anda di halaman 1dari 11

DWI PRIYANTO: Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

MODEL USAHATANI INTEGRASI KAKAO KAMBING DALAM UPAYA


PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

DWI PRIYANTO

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

(Makalah diterima 20 September 2007 – Revisi 8 Januari 2008)

ABSTRAK

Aset usahatani dari tahun ke tahun mengalami penurunan akibat perubahan tata ruang dan perkembangan populasi
penduduk. Perubahan ini menuntut adanya pola intensifikasi usahatani, salah satunya adalah penerapan sistem integrasi tanaman
dan ternak (crop livestock system). Pola ini menerapkan pendekatan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA),
sehingga diharapkan tercapai efisiensi dalam usahatani. Potensi integrasi ternak di lahan perkebunan cukup memberikan peluang
akibat semakin berkembangnya usaha perkebunan rakyat. Perkebunan kakao memiliki prospek yang baik dalam sistem integrasi
dengan ternak kambing, dimana model tersebut harus tepat dalam implementasinya sehingga sistem integrasi dapat
berkelanjutan. Perkebunan kakao rakyat memiliki potensi daya dukung mencapai 6,05 ekor ternak kambing untuk 1 ha. Hal
tersebut berdasarkan pertimbangan kebutuhan pakan dari limbah kulit kakao sebesar 1,5 kg/ekor/hari pada kambing dewasa.
Skala usaha yang direkomendasikan adalah 5 ekor induk/peternak, sehingga total ternak yang harus dipelihara di kandang
mencapai 13 ekor, dengan target penjualan anak pada umur 8 bulan. Hal ini cukup rasional dengan sumberdaya kepemilikan
areal perkebunan kakao di tingkat petani dan daya dukung tenaga kerja keluarga yang tersedia. Model ini ditinjau dari sistem
usaha diversifikasi komoditas (kakao dan kambing) dapat saling mendukung sehingga tercapai pola efisiensi usaha di kedua sub
sektor. Dampak penerapan model usahatani integrasi ini mampu meningkatkan pendapatan petani sampai 45%.
Kata kunci: Sistem integrasi, kakao-kambing, pendapatan petani

ABSTRACT

FARMING SYSTEM MODEL ON INTEGRATED COCOA AND GOAT TO INCREASE FARMER’S INCOME

Farming system assets decrease steadily from year to year due to the changes of ecology and population. This change needs
farming intensification in which, one of them is the introduction of integrated systems such as crop livestock system. The crop
livestock system has applied Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) approach in order to reach efficiency of the
farming systems. The potential of livestock integrated with the cocoa estates has a good prospect on the public estate’s
development. Cocoa estate has a good prospect to support the integrated with goat farming, however it needs a real concept of
the integrated program that work sustainable. The potency of cocoa estate has a carrying capacity of 6.05 head goats for 1 hectare
area. This is based on the need of the feed from cocoa husk of 1.5 kg/head/day. The recommended size of economic scale is 5
does per farmer, so that the optimum number of goats raised by farmer is 13 heads, with sold target age is 8 months. This model
is rational based on farmer’s availability for land resources and household family labor. This concept considered from
diversification of commodities may support one another, so that the efficiency could be reached both sub sectors, and could give
an impact to increase both productivities. Implementation of this model is expected to increase farmer’s income up to 45%.
Key words: Integrated systems, cocoa-goat, farmer’s income

PENDAHULUAN berkelanjutan adalah melakukan usahatani diversifikasi


(multi komoditas), salah satunya adalah penerapan
Faktor lahan sebagai aset utama usahatani dari model usahatani integrasi tanaman dan ternak. Hal ini
tahun ke tahun cenderung menurun sebagai akibat merupakan salah satu alternatif dalam melakukan
perkembangan populasi penduduk, perubahan tata efisiensi usaha pada areal lahan yang relatif tetap,
ruang wilayah dan lain sebagainya. Kondisi ini tetapi mampu meningkatkan produktivitas usaha
berdampak terhadap sistem usahatani yang semakin sehingga terjadi nilai tambah (added value) dari
terbatas akibat semakin sempitnya lahan budidaya yang berbagai sektor usaha yang saling mendukung.
tersedia. Hal ini secara langsung berdampak terhadap Model usahatani integrasi tanaman dan ternak
sistem produksi dan pada akhirnya pendapatan mulai dikembangkan secara intensif sejak adanya
usahatani juga semakin menurun. Langkah yang harus program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu
ditempuh dalam antisipasi sistem usahatani (P3T). Hal ini dilakukan dalam upaya rehabilitasi lahan

46
WARTAZOA Vol. 18 No. 1 Th. 2008

pertanian yang mengalami degradasi akibat eksploitasi dimana kedua usaha tersebut akan menciptakan pola
pemupukan, yang merupakan program utama Badan usaha yang sinergis melalui efisiensi usaha (perkebunan
Litbang Pertanian (ZAINI et al., 2002). Sistem integrasi kakao dan usahaternak kambing). Hal ini juga sekaligus
padi-ternak (SIPT) merupakan salah satu komponen berdampak terhadap peningkatan nilai tambah
dalam mendukung perbaikan lahan pertanian pada pendapatan rumahtangga petani di pedesaan. Kondisi
kondisi agro-ekosistem lahan sawah intensif demikian membuka peluang dalam program
(HARYANTO et al., 2002), yang didukung pengembangan usaha peternakan yang mampu
pengembangan kelembagaan Kelompok Usaha memanfaatkan limbah kulit kakao sebagai pakan ternak.
Agribisnis Terpadu (SOENTORO et al., 2002). Kegiatan Model usahatani integrasi yang tepat perlu dilihat dari
tersebut cukup memiliki prospek usaha yang baik komoditas ternak yang mampu memanfaatkan limbah
melalui pendekatan Low External Input Sustainable kulit kakao, serta kemudahan petani dalam
Agriculture (LEISA) sebagai langkah efisiensi mengaplikasikan teknologi tersebut. Model usahatani
usahatani, sehingga mampu meningkatkan pendapatan integrasi ternak kambing pada perkebunan kakao rakyat
rumahtangga petani. perlu dikaji dengan tepat, sehingga mampu tercipta pola
Model usahatani integrasi tersebut berkembang ke usaha sinergis sebagai model pengembangan usahatani
arah komoditas tanaman perkebunan yang salah berkelanjutan berbasis tanaman perkebunan kakao dan
satunya adalah integrasi tanaman kakao dengan ternak ternak kambing.
kambing di Provinsi Lampung yang cukup potensial
dalam mendukung ekonomi rumahtangga (PRIYANTO et
al., 2004). Sistem pertanian terpadu selanjutnya lebih POTENSI SUBSEKTOR PERKEBUNAN
berkembang lagi dengan memasukkan komponen SEBAGAI PELUANG PENGEMBANGAN
ternak di dalam sistem usahatani (farming system) dan PETERNAKAN
terakhir sistem tanaman-ternak (crop livestock system).
Di dalam model usahatani, ternak diintegrasikan Beberapa komoditas tanaman perkebunan
dengan tanaman pangan untuk mencapai kombinasi memiliki potensi dalam mendukung model sistem
optimal, sehingga input produksi menjadi lebih rendah integrasi dengan komoditas peternakan. Areal lahan
(low input) dengan tidak mengganggu tingkat produksi perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit dan lainnya
yang dihasilkan. Prinsip menekan resiko usaha karena cukup potensial dalam mendukung perkembangan
adanya divesifikasi usaha dan kelestarian sumberdaya usaha peternakan. Potensi subsektor perkebunan dalam
lahan menjadi titik perhatian dalam model ini mendukung pengembangan usaha peternakan sebagai
(DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2004). sumber pakan melalui sistem integrasi tanaman dan
Di sisi lain, kasus penanganan limbah pertanian ternak dapat berupa: (1) Pemanfaatan lahan di antara
dan perkebunan (khususnya kakao) sampai saat ini tanaman perkebunan (karet, kelapa, kelapa sawit,
masih merupakan kendala dalam pelaksanaan di tingkat jambu mente, cengkeh dan kopi), serta (2) Pemanfaatan
petani. Beberapa kendala diantaranya adalah limbah tanaman pokok maupun tanaman sela dan
keterbatasan waktu, tenaga kerja, dan keterbatasan limbah pabrik (kelapa sawit, kelapa dan kakao)
areal pembuangan. Limbah perkebunan masih belum (SUBAGYONO, 2004).
banyak dimanfaatkan walaupun di beberapa lokasi Perkebunan rakyat memiliki peluang terbesar
memiliki potensi sebagai bahan baku pakan ternak untuk menerapkan sistem integrasi dengan usaha
maupun bahan baku kompos. Limbah kulit kakao pada peternakan. Perkembangan luasan lahan areal
umumnya dibuang petani di sekitar kebun dan perkebunan rakyat pada periode tahun 2000 – 2004
berpotensi sebagai media pengembangan hama menunjukkan peningkatan yang cukup besar, kecuali
penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella) untuk perkebunan karet (menurun 9,9%). Potensi
yang sangat merugikan petani (FAJAR et al., 2004). Hal perkebunan yang menunjukkan perkembangan cukup
ini menunjukkan bahwa limbah kulit kakao belum tinggi adalah perkebunan kelapa sawit (55,3%), kakao
banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. (26,1%) dan vanili (13,57%) (Tabel 1). Secara umum
Beberapa lokasi telah mengaplikasikan pemanfaatan hal ini menggambarkan bahwa peningkatan luas areal
limbah kulit kakao untuk kambing (Provinsi Lampung) tersebut akan membuka peluang besar dalam
sebagai bahan pakan yang dapat memberikan mendukung pengembangan usaha peternakan melalui
keuntungan bagi peternak. Berbagai sosialisasi model integrasi. Potensi areal perkebunan hampir
pengembangan model usahatani di lapang dalam seluruhnya dapat dimanfaatkan dalam model integrasi
mengintroduksikan inovasi tersebut perlu dilakukan usaha peternakan, khususnya pada areal perkebunan
secara terus menerus. rakyat. Diperkirakan sekitar 10 juta ha areal
Model usahatani integrasi kakao-kambing perkebunan rakyat dapat dimanfaatkan untuk
merupakan salah satu bentuk pengembangan integrated pengembangan ternak ruminansia besar maupun kecil
farming system seperti crop livestock systems (CLS), (SUBAGYONO, 2004). Secara rinci manfaat sistem

47
DWI PRIYANTO: Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

Tabel 1. Perkembangan luas tanaman perkebunan rakyat tahun 2000 – 2004 (000 ha)

Tahun
Komoditas Pertumbuhan
2000 2001 2002 2003 2004
2000 – 2004
Karet 3.046 2.838 (-6,83) 2.825 (-0,46) 2.797 (-0,99) 2.769 (-1,0) -9,09
Kelapa 3.601 2.819 (6,05) 3.806 (-0,34) 3.803 (-0,79) 3.807 (0,11) 5,72
Kelapa sawit 1.190 1.566 (31,59) 1.808 (15,45) 1.827 (1,05) 1.846 (1,03) 55,13
Kopi 1.321 1.259 (-4,69) 1.318 (4,68) 1.327 (0,68) 1.343 (1,20) 1,66
Kakao 641 708 (10,45) 798 (12,71) 801 (0,38) 809 (0,99) 26,21
Teh 67 67 (0) 66 (-1,49) 63 (-4,54) 69 (9,52) 2,98
Jambu mete 572 558 (-2,44) 568 (1,78) 571 (0,53) 577 (1,05) 0,87
Lada 150 185 (23,33) 203 (9,72) 203 (0) 204 (0,49) 36,00
Vanili 14 14 (0) 15 (7,14) 15 (0) 15,9 (6,00) 13,57

( ): Menunjukkan pertumbuhan tahun sebelumnya (%)


Sumber: BADAN PUSAT STATISTIK (2005)

integrasi tanaman dan ternak antara lain: (1) POTENSI PERKEBUNAN KAKAO SEBAGAI
Meningkatkan diversifikasi usaha terhadap kotoran PELUANG INTEGRASI DENGAN TERNAK
ternak, (2) Peningkatan nilai tambah dari tanaman atau KAMBING
hasil ikutannya, (3) Mempunyai potensi
mempertahankan kesehatan dan fungsi ekosistem, dan Kulit kakao merupakan salah satu bahan pakan
(4) Mempunyai kemandirian usaha yang tinggi dalam ternak kambing yang cukup memberikan prospek
penggunaan sumberdaya mengingat nutrisi dan energi terciptanya model integrasi kakao-kambing. Kulit
saling mengalir antara tanaman dan ternak (MAKKA, kakao mampu mengurangi porsi pemberian rumput
2004). yang harus disediakan peternak khususnya pada usaha
Prospek pengembangan model integrasi cukup pola intensif (dikandangkan penuh) (PRIYANTO et al.,
memberikan keberhasilan, misalnya perkebunan sawit 2004). Daya dukung kulit kakao sebagai salah satu
dengan ternak sapi mampu menampung 300 ribu ekor sumber bahan pakan ternak ditentukan oleh produksi
sapi di Provinsi Bengkulu. Peranan sapi adalah kakao yang dihasilkan per satuan luas, serta distribusi
membantu pengangkut hasil panen sawit (tandan buah produksi sepanjang tahun, karena tanaman kakao
segar) sehingga kapasitas angkut meningkat dan merupakan komoditas tanaman tahunan. Tingkat
mampu meningkatkan pendapatan petani sekitar produksi kakao cukup bervariasi, dimana dalam 2 – 3
Rp. 900.000 – Rp. 1.200.000/bulan, disamping sebagai bulan terjadi puncak produksi dan bulan-bulan lainnya
sumber kompos untuk pupuk tanaman kelapa sawit berproduksi rendah tergantung dari kondisi wilayah.
(GUBERNUR PROVINSI BENGKULU, 2004). Pola integrasi Sebagai contoh, di wilayah pantai Barat Sulawesi,
melalui konsep Sistem Tiga Strata (STS) hasil puncak produksi dicapai selama 3 bulan (April s/d
pengamatan NITIS et al. (2004), melalui pendekatan Juni) yang masing-masing mencapai 20, 25 dan 15%
terpadu antara tanaman pangan, tanaman perkebunan, produksi, sedangkan pada bulan-bulan lainnya hanya
dan peternakan dengan memanfaatkan kotoran mencapai rataan sekitar 4 – 6% (FAJAR et al., 2004).
kambing mampu meningkatkan daya dukung pakan Tingkat produksi kakao sangat bervariasi tergantung
ternak (hijauan) berupa leguminosa (91%), produksi dari potensi bibit dan manajemen pemeliharaan oleh
palawija (13%), hortikultura jeruk (13%), dan kelapa petani, yang akan berpengaruh terhadap produksi kulit
(9%). Produktivitas Sapi Bali meningkat 13% dengan kakao yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
bobot hidup 375 kg, meningkatkan daya dukung kambing. Data perkembangan produksi kakao secara
(stocking rate) pada waktu musim hujan dan kering (45 nasional masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
vs 30%), serta daya tampung ternak (carrying capacity) perkembangan populasi ternak kambing (52,6 vs
mencapai 52% lebih besar dibandingkan pada 6,97%) yang hal tersebut menunjukkan bahwa masih
perlakuan kontrol. terdapat peluang yang besar dalam penerapan model
usahatani integrasi tanaman kakao dengan usahaternak
kambing (Tabel 2).

48
WARTAZOA Vol. 18 No. 1 Th. 2008

Tabel 2. Perkembangan produksi tanaman kakao rakyat dan populasi ternak kambing

Tahun Pertumbuhan
Komoditas 2000 – 2004
2000 2001 2002 2003 2004
Produksi kakao (*) 353,6 560,4 511,4 512,3 539,6
(000 ton) (58,48) (-0,87) (0,17) (5,32) (52,60)
Populasi kambing (**) 12.566 12.464 12.549 12.722 13.442
(000 ekor) (-0,81) (0,68) (1,38) (5,66) (6,97)

( ): Menunjukkan pertumbuhan tahun sebelumnya (%)


Sumber: (*) BADAN PUSAT STATISTIK (2005)
(**) DITJEN PETERNAKAN (2006)

Penerapan model usahatani integrasi kakao- 3.268,6 kg/ha/tahun. Hasil pengamatan pada kondisi
kambing di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa peternakan rakyat di Provinsi Lampung menunjukkan
peternak mampu memberikan kulit kakao sebagai bahwa setiap satu ekor kambing dewasa mampu
pakan ternak kambing dewasa mencapai 1 – 2 mengkonsumsi kulit kakao sebanyak 1,5 kg/ekor/hari,
kg/ekor/hari. Sebagian besar peternak menyatakan maka untuk setiap 1 ha kebun kakao memiliki potensi
bahwa hal ini mampu menghemat tenaga kerja dalam daya dukung sebesar 6,05 ekor kambing dewasa.
hal penyediaan pakan hijauan mencapai 50%. Ternak Dengan kata lain, jika peternak ingin mempertahankan
kambing sangat menyukai kulit kakao, dan hal ini dapat kontinuitas pakan kulit kakao sepanjang tahun, maka
dipergunakan sebagai langkah antisipasi kekurangan dalam 1 ha kebun kakao dapat dipelihara 6,05 ekor
pakan hijauan (PRIYANTO et al., 2004). Puncak ternak kambing dengan rata-rata pemberian 1,5
produksi kakao di Provinsi Lampung dalam satu tahun kg/ekor/hari.
dicapai selama 2 bulan (April dan Mei), masing-masing
mencapai 20 – 30% (160 – 240 kg/ha) dari total
produksi tahunan, sedangkan pada bulan-bulan lainnya KETERSEDIAAN KULIT KAKAO SEBAGAI
hanya mencapai sekitar 5%. Berdasarkan produksi PENDUKUNG PAKAN TERNAK
kakao yang dihasilkan, dapat digambarkan potensi
limbah kulit kakao yang tersedia, dan daya dukung Tanaman kakao mampu berproduksi sepanjang
pakan untuk ternak kambing terlihat pada Tabel 3. tahun, tetapi produksi buah kakao tersebut tidak merata
Dalam memperhitungkan potensi daya dukung sepanjang tahun, sehingga akan mempengaruhi potensi
kulit kakao sebagai pakan ternak kambing diperlukan produksi kulit kakao (Gambar 1). Dengan asumsi
tingkat kontinuitas produksi dan keberlanjutan bahwa petani memiliki areal satu hektar kebun kakao,
penyediaan pakan sepanjang tahun. Produksi kakao dan tidak ada peluang memperoleh kulit kakao dari
kering tergantung dari spesifik lokasi, pada lokasi petani lain, maka rataan potensi kulit kakao bulanan
perkebunan rakyat di Donggala mencapai 880 kg sebanyak 342 kg (daya dukung 6,05 ekor). Distribusi
kering/ha/tahun dengan jarak tanam 3 x 3 m. Dengan produksi tertinggi terjadi pada bulan Maret sampai
konversi bahwa kakao kering mencapai 50% kakao dengan Juni (sekitar 3 bulan). Potensi produksi rendah
basah, maka kakao basah yang dihasilkan sebesar: terjadi pada bulan Juli sampai dengan bulan Februari,
100/50 x 880 kg = 1.760 kg/ha/tahun. Proporsi kulit sehingga terlihat terjadi over supply produk kulit kakao
kakao dan kakao basah mencapai 65 : 35%, maka pada bulan Maret s/d Juni. Kondisi minimal produksi
produksi kulit kakao mencapai: 65/35 x 1.760 kg = kulit kakao sebesar 136 kg yang hanya mampu

Tabel 3. Perhitungan daya dukung kulit kakao dalam mendukung ketersediaan pakan kambing

Uraian Cara perhitungan Hasil perhitungan


Buah kakao kering 1.100 pohon x 0,8 kg 880 kg/ha/tahun
Buah kakao basah 100/50 x 880 kg 1.760 kg/ha/tahun
Produksi kulit kakao 65/35 x 1760 kg 3.268,6 kg /ha/tahun
Kebutuhan kulit kakao 1,5 kg x 360 hari 540 kg/tahun/ekor
Daya dukung kulit kakao 3.268,6/540 6,05 ekor kambing/ha kakao

Sumber: FAJAR et al. (2004)

49
DWI PRIYANTO: Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

1200

1000

800
Kulit kakao (kg)

Aktual
600
Rataan
400

200

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 1. Ketersediaan kulit kakao sepanjang tahun pada kondisi petani di Kabupaten Dongggala
Sumber: FAJAR et al. (2004)

menampung setara 3 ekor kambing. Dalam jangka Skala usaha yang direkomendasikan minimal
panjang diperlukan teknologi pengolahan kulit kakao sebanyak 5 induk untuk setiap petani dengan 1 pejantan
melalui pengawetan (fermentasi) dalam mendukung pada 2 – 3 petani (secara berkelompok), dengan
kebutuhan pakan ternak kambing secara berkelanjutan pertimbangan sebagai berikut:
sepanjang tahun untuk mendukung kapasitas optimal 1. Pemeliharaan 5 ekor induk, maka kapasitas
(6,05 ekor). Kondisi tersebut diperlukan apabila tampung kandang secara kontinyu mencapai
kondisi daya dukung (pemilikan lahan kakao petani maksimal 13 ekor, dengan asumsi penjualan anak
terbatas) dan tidak mampu memperoleh dari petani dilakukan pada umur 8 bulan. Hal ini memerlukan
lain. Dalam kasus di Provinsi Lampung, petani dapat kandang dengan luas sekitar 13 m2. Berdasarkan
memanfaatkan kulit kakao dari petani lainnya, hasil pengamatan jumlah anak sekelahiran (litter
disamping skala pemilikan lahan yang cukup luas size) sebesar 1,71 ekor, tingkat kematian anak 5%
sehingga kebutuhan dapat terpenuhi (PRIYANTO et al., pada kasus kambing Peranakan Etawah (PE)
2004). Berdasarkan dari data yang ada daya dukung kondisi pedesaan (SUBANDRIYO et al., 1995), lama
kulit kakao masih sangat berlebih dilihat dari rasio laju kebuntingan 5 bulan dan kondisi siap kawin
populasi kambing dan produksi kakao, sehingga masih kembali 3 bulan (jarak beranak mencapai 8 bulan),
terbuka luas peluang model usahatani integrasi ternak dengan penjualan anak rutin umur 8 bulan, maka
kambing secara berkelanjutan. kapasitas maksimal ternak kambing yang ada di
kandang mencapai 13 ekor (Gambar 2).
2. Daya dukung maksimal kulit kakao dengan
MODEL SISTEM INTEGRASI PERKEBUNAN pemilikan areal 1 ha adalah sekitar 6 ekor, dengan
KAKAO DENGAN TERNAK KAMBING pemberian 1,5 kg/hari. Target ideal dengan skala 5
ekor induk adalah petani memiliki lahan kakao
Skala usaha pemeliharaan seluas 1,5 ha. Apabila pemberian kulit kakao
dikurangi menjadi 1 kg/ekor, maka dalam areal 1 ha
Secara umum usahaternak kambing dilakukan kebun kakao berpeluang memberikan daya dukung
dengan 2 pola usaha, yakni pola penggembalaan dan sebesar 9 ekor kambing, dengan konsekuensi
pola intensif (dikandangkan penuh) dimana petani komposisi hijauan yang diperbanyak yang dapat
mempersiapkan pakan sesuai jumlah kambing yang diperoleh dari lahan kebun kakao (tanaman
dipelihara. Pada pola penggembalaan petani mampu pelindung).
memelihara dalam skala yang lebih besar dibandingkan 3. Pemeliharaan dengan skala 5 induk, jumlah anak
dengan pada pola intensif karena pertimbangan tenaga yang dilahirkan mencapai 8 ekor selama 8 bulan,
kerja mengambil rumput. Dalam model usahatani sehingga selama satu tahun mampu menghasilkan
integrasi, pemeliharaan disarankan dilaksanakan anak 12 ekor. Hal demikian secara periodik petani
dengan pola intensif. Kondisi ini mempertimbangkan mampu melakukan penjualan setara 1 ekor setiap
beberapa aspek diantaranya adalah daya dukung pakan, bulan. Kondisi ini menuntut dilakukan program
ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan kapasitas daya perkawinan yang tepat waktu dengan
tampung kandang.

50
WARTAZOA Vol. 18 No. 1 Th. 2008

Total Induk 5 + lahir 8 Induk 5 + lahir 8 anak Induk 5 + lahir 8 anak


5 induk anak I total 13 ekor II jual anak I (8 ekor) III jual anak II
total 13 ekor (8 ekor) total 13 ekor

Kawin I Kawin II Kawin III

II==I==I==I==I==II==I==I==II==I==I==I==I==II==I==I==II==I==I==I==I==II= Bulan

-----5 bulan ---- II --3 bulan--II ----- 5 bulan ---- II -- 3 bulan-- II ---- 5 bulan ---- II ----
Kebuntingan II---- jarak beranak 8 bulan ----II ---- jarak beranak 8 bulan ---- II -----

Gambar 2. Siklus produksi kambing dengan skala induk 5 ekor pada kondisi petani yang terintegrasi dengan perkebunan
kakao rakyat

memperhatikan siklus berahi ternak, sehingga target Manajemen pakan


penjualan produksi anak dapat tercapai.
4. Produksi kompos yang dihasilkan sekitar 4 kg/hari Sistem pemeliharaan dilakukan pola intensif,
(0,3 kg/ekor/hari) pada skala 13 ekor kambing, akan dimana penyediaan pakan dilakukan oleh peternak (cut
diperoleh 120 kg/bulan. Kompos tersebut dapat and carry). Pakan yang diberikan berupa hijauan yang
dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman bersumber tanaman naungan kakao berupa leguminosa
kakao sekitar 20 pohon (rataan 6 kg/pohon), yang pohon (Lamtoro dan Gliricidia), ataupun yang
secara bertahap akan mampu mendukung dikembangkan sebagai pagar perkebunan kakao. Pakan
peningkatan produktivitas, maupun efisiensi input utama yang tersedia tiap hari berupa kulit kakao segar
produksi pada usahatani kakao petani. dengan dipotong/dicacah ukuran sekitar 1 x 3 cm.
Pemberian hijauan sekitar 2 – 3 kg/ekor/hari, dan kulit
kakao sekitar 1 – 1,5 kg/ekor/hari untuk kambing
Manajemen pemeliharaan
dewasa. Dalam pola integrasi tersebut dipertimbangkan
berdasarkan kemudahan petani dalam penggunaan
Perkandangan pakan yang ada. Apabila diperlukan dalam jangka
kedepan dalam antisipasi over suply kulit kakao perlu
Kandang dibuat dengan sistem panggung pada dilakukan fermentasi khususnya untuk penyediaan saat
ketinggian minimal 75 cm, sehingga peternak mudah tidak terjadi musim panen raya. BAKRIE et al. (1999)
dalam pengambilan kotoran ternak yang dipersiapkan melaporkan bahwa pemanfaatan kulit kakao sampai
diolah sebagai kompos (pupuk tanaman). Ukuran 30%, dengn kombinasi hijauan (leguminosa), dan
kandang disesuaikan dengan kapasitas tampung tambahan mineral blok pada kambing dara PE di
maksimal berdasarkan skala 5 ekor induk (13 ekor peternakan rakyat mampu meningkatkan pertambahan
maksimal). Tipe kandang adalah kandang kelompok, bobot hidup per ekor dari 38 g menjadi 78 g/hari.
maupun individual dengan ukuran luas kandang sekitar PRABOWO dan BAHRI (2003, unpublished) juga
1 m2/ekor (13 m2), yang dilengkapi dengan tempat menyatakan bahwa peranan kulit kakao cukup
pakan, dan tempat penyimpanan pakan hijauan potensial mendukung pertumbuhan kambing PE yakni
(LUDGATE, 1989). Alas kandang dibuat dari belahan diperoleh pertambahan bobot badan harian sebesar 76,8
bambu atau kayu dengan jarak sekitar 1 cm, sehingga g/ekor dan 58,6 g/ekor masing-masing pada kambing
kotoran dapat langsung jatuh ke bawah kandang. Pada jantan dan betina dengan pakan kulit buah kakao 30 –
kandang individual dilengkapi dengan sekat 70% yang didukung suplemen pakan lengkap.
bambu/papan khususnya kandang ternak jantan. Di
bawah kandang dilengkapi dengan kolong tempat
penampung kotoran (pit) yang terhindar dari genangan Sistem perkawinan
air hujan (ditanggul), sehingga kotoran tetap kering dan
akan memudahkan dalam prosesing kompos. Dalam mendukung sistem perkawinan ternak
untuk langkah efisiensi penggunaan pejantan, maka

51
DWI PRIYANTO: Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

dari 2 – 3 peternak yang berdekatan disediakan 1 Penjualan


pejantan yang dikelola secara kelompok. Sistem
perkawinan sebaiknya dilakukan dengan cara Penjualan ternak hasil kelahiran anak sebaiknya
menyatukan pejantan pada kandang di masing-masing dilakukan pada saat umur 8 bulan. Hal tersebut
petani selama 1 – 1,5 bulan (dicampur) dengan sistem dilakukan dengan pertimbangan bahwa kondisi ternak
pergiliran (rotasi). Secara langsung dengan disatukan tersebut telah memenuhi persyaratan bobot jual (15 –
antara ternak jantan pada kelompok betina dalam waktu 20 kg) kasus pada kambing PE di peternakan rakyat
tersebut akan terjadi 2 siklus berahi (siklus berahi 21 (SUBANDRIYO et al., 1995), sekaligus membatasi
hari), sehingga betina yang menunjukkan tanda berahi jumlah populasi ternak dalam kandang. Dalam periode
akan langsung dapat dikawini oleh pejantan. ini telah terdapat kelahiran anak periode berikutnya,
Selanjutnya pejantan dipindahkan pada petani lainnya, dengan melakukan penjualan kapasitas kandang relatif
sehingga dalam siklus bunting 5 bulan akan kembali tetap (maksimal 13 ekor). Pembatasan kapasitas
pada perputaran pada peternak semula. tampung kandang tersebut perlu dipertahankan dalam
Sistem perkawinan juga dapat diatur sesuai rangka antisipasi kepadatan ternak dalam kandang,
kehendak petani apabila dikehendaki periode kelahiran antisipasi kecukupan pakan, serta alokasi tenaga kerja
yang periodik (misalnya 1 bulan sekali). Hal ini pemeliharaan. Dengan target skala induk dan sistem
memerlukan waktu yang tepat dalam mengatur perkawinan yang tepat dapat diprogramkan penjualan
perkawinan sesuai ketepatan berahi ternak, sehingga ternak secara kontinu sebanyak 12 ekor per tahun yang
anak yang dilahirkan terjadi secara periodik, sehingga dapat diatur sesuai keinginan petani.
penjualan anak dapat secara rutin, dan mampu
diciptakan pendapatan rutin (reguler). Perguliran sistem
perkawinan dilakukan dengan meminjam pejantan MODEL INTEGRASI KAKAO – KAMBING DAN
untuk kawin pada saat terdapat tanda-tanda betina ANALISIS EKONOMI
berahi. Kondisi demikian memerlukan pembekalan
tentang tanda-tanda berahi kepada peternak, sehingga Model usahatani integrasi kakao-kambing
pada saat betina berahi dapat dikawinkan dengan tepat diharapkan terjadi sinergisme antara kedua komoditas
waktu, sehingga dicapai jarak beranak sesuai target (8 tersebut guna memberikan nilai ekonomis yang lebih
bulan). optimal, sekaligus mampu meningkatkan pendapatan

Leguminosa
tanaman pelindung Sumber
pakan

Kulit kakao segar

Efisiensi tenaga kerja


Tenaga kerja Tenaga kerja
Rumah
Usahatani kakao Usahaternak kambing
tangga

Kotoran
- Peningkatan produksi Kompos
- Peningkatan pemupukan pupuk Efisiensi pakan/
- Menurunnya penyakit PBK tenaga kerja
Jual
Buah kakao
Anak kambing
Jual PASAR
Jual

- Peningkatan produksi dan pendapatan usahatani kakao


- Peningkatan pendapatan usahaternak kambing

Gambar 3. Diagram alir input output model usahatani integrasi kakao-kambing

52
WARTAZOA Vol. 18 No. 1 Th. 2008

petani. Perkebunan kakao memberikan dukungan pengelolaan kebun kakao terjadi pada penghematan
pakan terhadap ternak kambing, sebaliknya ternak biaya penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk
kambing dapat menghasilkan kotoran sebagai sumber tanaman kakao yang mencapai 40%, di samping
bahan organik untuk pupuk tanaman kakao. Konsep ini penjualan pupuk kandang yang telah banyak dilakukan
akan menciptakan pola efisiensi usaha baik efisiensi peternak di Provinsi Lampung (PRIYANTO et al., 2004).
input sumberdaya usahatani dan efisiensi alokasi Pada analisis usahatani model integrasi kakao –
tenaga kerja keluarga (Gambar 3). kambing tersebut dilakukan pada kondisi areal kebun
Pola efisiensi usaha ternak kambing terjadi pada kakao seluas 1,5 ha, berdasarkan kemampuan daya
pemanfaatan kulit kakao dan hijauan tanaman tampung pemeliharaan skala 5 ekor induk. Dengan
pelindung kakao (leguminosa) yang mampu penerapan model usahatani integrasi secara umum
menghemat alokasi tenaga kerja dalam penyediaan mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani
pakan mencapai 50%. Sebaliknya pola efisiensi (Tabel 5). Pada usahatani kakao, dengan adanya

Tabel 5. Analisis ekonomi model usahatani integrasi kakao-kambing

Usaha multi komoditas (integrasi kakao-kambing)


Usahatani komoditas tunggal (luas 1,5 ha)
(luas 1,5 ha dan 5 ekor induk kambing)
Usaha kakao Usaha kakao
Penerimaan 1200 kg x Rp. 12.000 = Rp. 14.400.000 Penerimaan meningkat 20 % (dampak = Rp. 17.280.000
pemupukan) 1.440 kg x Rp 12.000
Biaya Biaya
Pupuk: tanpa pupuk kompos Pupuk: menggunakan kompos dari kambing
Obat = Rp. 500.000 Obat: hama PBK menurun 50% = Rp. 250.000
Tenaga kerja: 2 jam x 360 hari/5 jam/ = Rp. 2. 880.000 Tenaga kerja: 2 jam x 360 hari/5 jam/ = Rp. 2.880.000
HOK x Rp. 20.000 HOK x Rp. 20.000
Pendapatan = Rp. 11.020.000 Pendapatan = Rp. 14.150.000
Usaha ternak kambing (tidak ada) Usaha ternak kambing
Penerimaan (jual anak): 8 ekor selang 8 = Rp. 3.600.000
bulan 12/8 x 8 ekor x Rp. 300.000
Biaya tetap:
Bibit induk = 5 x Rp. 400.000 = Rp. 2.000.000
Bibit jantan = 1 (3 peternak) = 1/3 x = Rp. 200.000
Rp. 600.000
Kandang (pakai 5 tahun) = Rp. 500.000
Penyusutan/tahun = Rp. 100.000
Biaya tidak tetap:
Pakan: hijauan + kulit kakao (tidak beli)
Obat: 13 x Rp. 10.000 = Rp. 130.000
Tenaga kerja: 1 x 360 hari/5 jam/ = Rp. 1.440.000
HOK x Rp.20.000
Pendapatan bersih usahaternak = Rp. 1. 930.000
Total pendapatan = Rp. 11.020.000 Total pendapatan = Rp. 16.080.000
Dampak sistem integrasi/petani/tahun Rp. 5.060.000 berasal dari
Usahatani kakao = Rp. 3.130.000
Usahaternak kambing = Rp. 1.930.000
Peningkatan pendapatan pola integrasi = 5.060.000/11.020.000 = 45,9 %
Incremental Benefit Cost Ratio (IBCR) = ∆ output/∆ input = 5.060.000/4.070.000 = 1,24
Dengan penambahan input biaya 1 satuan akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar 1,24

- Luas areal 1,5 ha disesuaikan dengan kemampuan daya dukung kulit kakao dan kapasitas skala usaha (5 induk atau skala 13
ekor kambing)
- Modal bibit ternak sebagai modal tetap (harga jual tetap)

53
DWI PRIYANTO: Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

A B

Gambar 4. (A) Perawatan kebun kakao melalui program pemupukan kompos dari kotoran kambing di Donggala
(B) Kulit kakao yang dicacah dan siap digunakan sebagai pakan ternak

penambahan kompos sebagai pupuk tanaman kakao Permasalahan penerapan model usahatani integrasi
dapat meningkatkan produktivitas mencapai 20% kakao-kambing dan rekomendasi pemecahan
(FAJAR et al., 2004), dan pendapatan mencapai
Rp. 3.130.000 lebih tinggi dibandingkan pada usahatani Penerapan model usahatani integrasi kakao dan
komoditas tunggal (kakao). Usahaternak kambing kambing ditinjau dari aspek manajemen pemeliharaan
mampu memberikan kontribusi Rp. 1.930.000/petani/ dan konsekuensi dalam pemanfaatan kulit kakao
tahun, dengan memanfaatkan sumber pakan dari sebagai pakan ternak tersebut masih terdapat beberapa
hijauan (tanaman peneduh) berupa leguminosa, dan kendala di lapang diantaranya:
limbah kulit kakao yang tidak dimanfaatkan. Dampak 1. Pengelolaan sistem manajemen pola intensif yang
penerapan model integrasi secara umum memberikan terintegrasi secara berkelanjutan belum banyak
tambahan pendapatan bagi petani mencapai Rp. dikenal petani. Hal demikian perlu dilakukan
5.060.000 per tahun. sosialisasi/pembinaan secara rutin dan serius untuk
Penerapan model integrasi memberikan dampak meyakinkan bahwa sistem integrasi tersebut mampu
peningkatan pendapatan mencapai 45,9%, dan hasil mendukung konsep ”multi usaha” (kakao-
perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa dengan kambing), dan mampu tercipta pola efisiensi
penambahan satu satuan input akan menghasilkan usahatani, serta berdampak terhadap peningkatan
pendapatan 1,24 kali lebih besar (IBCR = 1,24). pendapatan rumahtangga petani.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan 2. Potensi daya dukung baik hijauan (leguminosa)
bahwa penerapan model integrasi dapat memberikan maupun kulit kakao sebagai pakan basal ternak
tambahan kontribusi pendapatan petani. Model kambing masih memiliki daya dukung cukup besar.
integrasi ternak kambing pada sistem perkebunan Penerapan pemberian pakan tersebut patut
kakao rakyat mampu meningkatkan pendapatan petani diperhitungkan secara berkelanjutan. Tingkat
sebesar 17,45% di Kabupaten Lampung Utara produksi kakao yang tidak merata sepanjang tahun,
(PRIYANTO et al., 2004). Demikian pula model berimplikasi terhadap fluktuasi ketersediaan kulit
integrasi lainnya dilaporkan KARTAMULIA et al. (1993) kakao. Hal tersebut dapat diatasi pada saat musim
bahwa dengan paket kredit 4 ekor induk domba yang panen kakao rendah, peternak dapat memanfaatkan
diintegrasikan di perkebunan karet mampu kulit kakao hasil panen petani lain yang tidak
meningkatkan pendapatan sebesar 12%. HORNE et al. memelihara ternak kambing (kasus Provinsi
(1994) pada kondisi manajemen sama dengan skala 20 Lampung), sehingga secara berkelanjutan mampu
ekor induk per peternak, mampu meningkatkan terpenuhi sepanjang tahun. Diperlukan inovasi
pendapatan mencapai 25%. Secara umum pola integrasi teknologi pengawetan kulit kakao (teknologi
tanaman-ternak telah menunjukkan prospek yang pengolahan/fermentasi) yang diterapkan dalam
positif dalam mendukung pendapatan petani di memenuhi kebutuhan sepanjang tahun.
pedesaan.

54
WARTAZOA Vol. 18 No. 1 Th. 2008

3. Pada buah kakao yang terserang penyakit DITJEN PETERNAKAN. 2006. Buku Statistik Peternakan.
penggerek buah kakao (PBK), mengakibatkan kulit Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
kakao terjadi pengerasan, sehingga akan DIWYANTO, K. dan E. HANDIWIRAWAN. 2004. Peran Litbang
menurunkan tingkat palatabilitas kambing. Perlu dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi
solusi program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) tanaman-ternak. Pros. Seminar Nasional Sistem
secara rutin sehingga dihasilkan kulit yang relatif Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli
bagus dan mampu secara optimal dikonsumsi 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan
ternak, sekaligus upaya peningkatan produksi. BPTP dan CASREN. hlm. 63 – 80.
4. Kulit kakao yang sudah dikupas selama 3 hari FAJAR, U., SUKADAR, W. HARTUTIK, D. PRIYANTO, F.F.
menyebabkan terjadi bau yang tidak sedap sehingga MUNIER, A. ARDJANHAR dan HERMAN. 2004.
kambing kurang menyukai. Untuk mengatasi hal Pengembangan sistem usahatani integrasi kakao-
tersebut dalam pemberian dilakukan pengupasan kambing-hijauan pakan ternak di Kabupaten
Donggala. Laporan Akhir. Kerjasama Lembaga Riset
secara bertahap disesuaikan dengan kapasitas
Perkebunan Indonesia, Puslitbang Peternakan,
kebutuhan pakan harian, sehingga kulit kakao tidak Puslitbang Tanah dan Agroklimat dan BPTP Sulawesi
terbuang. Tengah. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 219 hlm.
GUBERNUR PROVINSI BENGKULU. 2004. Prospek
KESIMPULAN pengembangan sistem integrasi sapi-kelapa sawit di
Provinsi Bengkulu. Pros. Seminar Nasional Sistem
Dalam implementasi model usahatani integrasi Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli
kakao-kambing dapat disimpulkan bahwa: 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan
BPTP Bali dan CASREN. hlm. 87–92.
1. Perkebunan kakao rakyat memiliki prospek dalam
mendukung model usahatani integrasi dengan HARYANTO, B., I. INOUNU, B. ARSANA dan K. DIWYANTO.
ternak kambing. Potensi daya dukung mencapai 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak.
6,05 ekor dalam areal luasan 1 ha, berdasarkan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 16 hlm.
pertimbangan kebutuhan pakan dari limbah kulit HORNE, P.M. , R.M. GATENBY, L.P. BATUBARA and S. KARO-
kakao sebesar 1,5 kg/ekor/hari pada kambing KARO. 1994. Research priorities for integrated tree
dewasa. cropping and small ruminant production systems in
2. Skala usaha yang direkomendasikan adalah minimal Indonesia. Pros. Seminar Sains dan Teknologi
Peternakan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
5 ekor induk/peternak, berdasarkan pertimbangan
hlm. 485 – 494.
kebutuhan pakan dari perkebunan kakao yang
dimiliki petani adalah 1,5 ha. Skala pemeliharaan KARTAMULIA, I., S. KARO-KARO and J. DE BOER. 1993.
maksimal di kandang peternak mencapai 13 ekor Economic Analysis of Sheep Grazing in Rubber
(berbagai umur), dengan target penjualan anak pada Plantations. A Case Study of OPMM Membang
Muda. Working Paper 145. SR-CRSP. Sei Putih,
umur 8 bulan. Hal demikian cukup rasional dengan Sumatera Utara. hlm. 11 – 17.
sumberdaya kepemilikan areal perkebunan kakao di
tingkat petani dan daya dukung tenaga kerja LUDGATE. 1989. Kumpulan Peragaan dalam Usahaternak
keluarga yang tersedia. Domba di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak/Small
Ruminant-Collaborative Research Support Program.
3. Model usahatani integrasi sangat mendukung pola
Puslitbang Peternakan, Bogor. 167 hlm.
diversifikasi komoditas (kakao dan kambing), yang
mampu saling mendukung di kedua subsektor usaha. MAKKA, D. 2004. Prospek pengembangan sistem integrasi
Model tersebut mampu tercipta pola efisiensi usaha peternakan yang berdaya saing. Pros. Seminar
Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar,
di kedua sektor usaha. Model tersebut berdampak
20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama
terhadap peningkatan produktivitas usaha, sekaligus dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 18 – 31.
mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar
45,9%, dengan nilai IBCR mencapai 1,24. NITIS, I.M., K. LANA dan A.W. PUGER. 2004. Pengalaman
pengembangan tanaman-ternak berwawasan
lingkungan di Bali. Pros. Seminar Nasional Sistem
DAFTAR PUSTAKA Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli
2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan
BADAN PUSAT STATISTIK. 2005. Statistik Indonesia. Badan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 44 – 52.
Pusat Statistik, Jakarta. PRIYANTO, D., A. PRIYANTI dan I. INOUNU. 2004. Potensi dan
BAKRIE, B., A. PRABOWO, M. SILALAHI, E. BASRI, TAMBUNAN, peluang pola integrasi ternak kambing dan
SOERACHMAN, A. SUKANDA, T. KUSNANTO dan A. perkebunan kakao rakyat di Propinsi Lampung. Pros.
MARYANTO. 1999. Kajian Teknologi Spesifik Lokasi Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak.
dalam Mendukung SPAKU Kambing. Laporan Akhir. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan
LPTP Natar. Lampung. 25 hlm. bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm.
381 – 388.

55
DWI PRIYANTO: Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

SOENTORO, M. SYUKUR, SUGIARTO, HENDIARTO dan H. SUBANDRIYO, B. SETIADI, D. PRIYANTO, M. RANGKUTI, W.K.
SUPRIYADI. 2002. Panduan Teknis. Pengembangan SEJATI, D. ANGGRAENI, RIA SARI G.S., HASTONO dan
Usaha Agribisnis Terpadu. Badan Litbang Pertanian, S.O. BUTAR-BUTAR. 1995. Analisis Potensi Kambing
Jakarta. 17 hlm. Peranakan Etawah dan Sumberdaya di Daerah
Sumber Bibit Pedesaan. Puslitbang Peternakan,
SUBAGYONO, D. 2004. Prospek pengembangan ternak pola Bogor. 112 hlm.
integrasi di kawasan perkebunan. Pros. Seminar
Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. ZAINI, Z., I. LAS, SUWARNO, B. HARYANTO, SUNTORO dan E.
Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan ANANTO. 2002. Pedoman Umum. Kegiatan
bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu
13 – 17. 2002. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 24 hlm.

56

Anda mungkin juga menyukai