Anda di halaman 1dari 44

7 TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Pengelolaan Sistem Usahatani Terpadu Suatu teknologi dapat dikatakan tepatguna apabila memenuhi kriteria: (1) secara teknis mudah dilakukan, (2) secara finansial (bahkan ekonomi) menguntungkan, (3) secara sosial budaya diterima masyarakat, dan (4) tidak merusak lingkungan (Swastika, 2004). Untuk itu perlu diupayakan

mengidentifikasi teknologi dan sistem usahatani yang sesuai dengan kondisi agroekosistem dan mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal.

Beragamnya sumber pendapatan rumah tangga petani perlu dipandang sebagai suatu kekuatan yang harus dikembangkan, terutama usaha non-pertanian, ke arah yang bersifat usaha mandiri. Selain itu, sumberdaya pertanian yang dikuasai petani (terutama di lahan kering dan sawah tadah hujan) perlu dikelola secara optimal, sehingga menjadi sumberdaya yang produktif dan mampu meningkatkan pangsa sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga tani. Sistem usahatani terpadu (integrated farming system) sebagai salah satu upaya penganekaragaman sumber pendapatan dari sektor pertanian, sekaligus pemanfaatan sumberdaya secara optimal. Sistem usahatani terpadu merupakan revolusi konvensional dari usahatani peternakan, perikanan, hortikultura, agro-industri dan kegiatan-kegiatan lain di beberapa negara, khususnya di wilayah tropikal dan sub tropikal yang tidak gersang. Secara keseluruhan usahatani di belahan dunia ini tidak menunjukkan kinerja yang baik kecuali jika ditambahkan input yang relatif besar agar diperoleh hasil yang berkelanjutan dan seringkali berkompromi dengan aspek keberlajutan ekologis maupun aspek ekonomi. Sistem usahatani terpadu dapat mengatasi kendala tersebut melalui pemecahan masalah terbaik tidak hanya dari aspek ekonomi dan ekologis, bahkan menghasilkan bahan bakar, pupuk dan bahan pangan di samping peningkatan produktivitas. Hal ini dapat mengubah sistem usahatani yang telah dilakukan selama ini, khususnya di negara-negara miskin dalam memperhatikan aspek ekonomi dan sistem keseimbangan ekologi, tidak hanya mengurangi kemiskinan, tetapi juga dapat mencegah bencana (Chan, 2003).

8 Usahatani terpadu dapat diartikan sebagai suatu sistem usahatani yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi dan terintegrasi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan tertentu. Usahatani terpadu terdiri dari cabang-cabang usahatani padi, palawija, ternak dan ikan yang dilakukan secara terpadu untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Sistem usahatani tanaman-ternak (SUTT) telah lama dilaksanakan oleh sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ciri utama SUTT adalah

keterkaitan antara tanaman dengan ternak, limbah tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman. Oleh sebab itu, SUTT umumnya diterapkan di daerah di tempat terdapatnya perbedaan yang nyata antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) dengan bulan kering lebih dari tiga bulan berturut-turut. Jerami padi, jerami jagung, dan limbah tanaman kacang-kacangan, bahkan daun pisang, jerami bambu, dan sebagainya merupakan pakan alternatif saat rumput alami kurang tersedia pada MK. Tidak jarang petani menjual ternaknya hanya untuk membeli jerami padi dari luar desa, luar kecamatan, bahkan dari luar kabupaten. Di Kediri, Jawa Timur, petani-peternak bekerja sebagai pemanen jagung hibrida pada MK dengan upah limbah tanaman jagung (Fagi et al., 2004). Hasil kajian Bulu et al. (2004) menunjukkan bahwa sistem usahatani terpadu tanaman-ternak dengan penggunaan teknologi sederhana yang telah dilakukan petani saat ini merupakan bagian dari bentuk budaya petani. Usaha agribisnis, termasuk sistem usahatani tanaman-ternak di Lombok, merupakan usaha agribisnis rumah tangga dengan segala keterbatasannya. Keterbatasanketerbatasan sumberdaya tersebut menghambat pengembangan usaha.

Kelembagaan pertanian di pedesaan selama ini belum dimanfaatkan dalam pengembangan inovasi teknologi sistem usahatani tanaman-ternak. Sistem usahatani terpadu tanaman-ternak meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Kontribusi pendapatan dari usaha peternakan mencapai 40,6 persen dari total pendapatan. Namun demikian kontribusi nyata tersebut tidak diikuti oleh peningkatan investasi usaha peternakan. Aliran modal secara timbal balik antara usaha tanaman dan peternakan relatif kecil, karena keuntungan yang diperoleh digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (pangan dan non pangan).

9 Pengelolaan atau pemilikan sumberdaya lahan yang terbatas merupakan masalah utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas usahataninya. Pengembangan model sistem usahatani tanaman-ternak introduksi perlu memperhatikan kearifan tradisi yang tercermin dalam sistem pengetahuan dan teknologi lokal serta lingkungan sosial ekonomi masyarakat setempat. Mengutip pendapat Getz dan Warner (2006), dengan meningkatnya teknologi untuk pengaturan lingkungan pertanian menstimulir peningkatan perhatian terhadap sistem usahatani terpadu dan bentuk partisipasi penyuluhan. Kemitraan pertanian-lingkungan menjadi strategi utama sebagai strategi pencegahan polusi pertanian di California, menunjukkan strategi alternatif yang potensial mengendalikan hama. Struktur organisasi kemitraan ini dengan strategi belajar bersama dan partisipasi yang lebih besar merupakan kunci sukses mereka. Perubahan bentuk dari suatu model transfer teknologi pada partisipasi belajar bersama dan pengambilan keputusan, mendukung perbaikan layanan

penyampaian penyuluhan dan sebagai suatu strategi penting untuk kegiatan penyuluhan dengan cakupan klien dalam wilayah yang luas. Pada tahun 1993, Lembaga Penelitian Nasional Tanah dan Kualitas Air (National Research Councils Soil and Water Quality) merekomendasikan sistem usahatani terpadu untuk kegiatan pertanian yang menjadi dasar program tanah lokal dan kualitas air. Hal ini didasari atas pendekatan sistem tingkatan untuk menganalisis sistem produksi pertanian terkait dengan kualitas konservasi tanah, memperbaiki penggunaan input secara efisien, peningkatan resistensi erosi dan limpasan serta penggunaan zona penyangga. Alternatif strategi pengelolaan

tanah, air dan farmscape merupakan potensi untuk mengurangi penggunaan insektisida dan dampak lingkungan, tetapi pendekatan sistem usahatani terpadu membutuhkan praktek penyuluhan dan menumbuhkan pembelajaran (Getz dan Warner, 2006). Sejalan dengan upaya peningkatan potensi lahan kering, inovasi teknologi rehabilitasi lahan kering telah diujicobakan pada tanaman jagung (tahun 1996) di Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Produktivitas jagung yang diperoleh pada awal tahun tanpa rehabilitasi mencapai 2,49 ton/ha, dengan pupuk kandang 3,50 ton/ha, dengan mulsa jerami padi 3,60 ton/ha, serta dengan mulsa Mucuna sp.

10 3,68 ton/ha. Produktivitas jagung pada tahun ke-9 tanpa rehabilitasi mencapai 1,48 ton/ha, dengan pupuk kandang 3,38 ton/ha, dengan mulsa jerami padi 3,59 ton/ha, serta dengan mulsa Mucuna sp. 3,59 ton/ha (Kurnia et al., 2002). Pengkajian yang dilaksanakan di Desa Cikelet, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dari bulan Januari sampai dengan April 1998 dengan penerapan sistem pertanaman lorong dan tanpa penerapan sistem pertanaman lorong (tumpangsari biasa) menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-kooperator. Pendapatan masing-masing mencapai Rp 2,27 juta dan Rp 1,24 juta per hektar per tahun. Dari hasil kajian kelayakan dan efisiensi penggunaan masukan (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) dan hasil penerimaan berdasarkan kriteria kemiringan lahan diketahui bahwa, teknologi pertanaman lorong yang diterapkan pada kriteria kemiringan lahan 15-30 persen lebih efisien dalam penggunaan masukan dan layak secara finansial dibandingkan pada kriteria kemiringan kurang dari 15 persen. Berdasarkan basis tanaman buah-buahan, maka pertanaman lorong dengan basis tanaman pisang lebih layak secara finansial dibandingkan basis tanaman mangga terhadap efisiensi penggunaan masukan dan tingkat pendapatan (keuntungan) yang diperoleh petani. Model pertanaman (Pisang + Rumput gajah + Gliricidia sp./ Flemingia congesta)/(Padi gogo/Kacang tanah + Jagung + Ubikayu) (Kacang tanah) (Bera) merupakan model pertanaman yang paling sesuai diterapkan di wilayah setempat (Ishaq et al., 2002). Selain itu, inovasi yang diperkenalkan di lahan kering adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Beberapa pendekatan yang digunakan dalam Prima Tani, yaitu: (1) agroekosistem, (2) agribisnis, (3) wilayah, (4) kelembagaan, dan (5) kesejahteraan. Pendekatan agroekosistem berarti Prima Tani diimplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi biofisik lahan kering dataran rendah yang meliputi aspek sumberdaya lahan, air, wilayah komoditas dan komoditas dominan. Pendekatan agribisnis berarti struktur dan keterkaitan subsistem penyediaan input, usahatani, pascapanen, pengolahan, pemasaran dan penunjang dalam satu sistem. Pendekatan wilayah berarti optimasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan). Salah satu

11 komoditas pertanian dapat menjadi perhatian utama, sedangkan beberapa komoditas lain sebagai pendukung, terutama dalam kaitannya dengan resiko ekonomi (harga). Pendekatan kelembagaan berarti memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output, termasuk modal sosial, norma dan aturan. Bila dicermati, inovasi Prima Tani sesungguhnya menggunakan pendekatan sistem usahatani terpadu. Menurut Adiningsih et al. (1994), sistem usahatani terpadu dengan pemilihan komoditas yang sesuai disertai pengelolaan tanah dan air yang tepat berasaskan konservasi, merupakan pendekatan terbaik untuk melestarikan bahkan meningkatkan produktivitas lahan marjinal. Faktor-faktor sosial ekonomi, budaya, penyediaan sarana/prasarana dan penanganan pasca panen yang kondusif sangat menentukan keberhasilan pendekatan tersebut. Sebagai contoh, inovasi teknologi yang diintroduksikan mencakup konservasi lahan, kesepadanan teknologi yang diusahakan (komoditas kedelai, kacang tanah dan padi gogo) dan pengelolaan ternak domba didukung dengan kelembagaan. Kesepadanan teknologi yang diusahakan merupakan modifikasi dari teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah yang meliputi penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik dan anorganik berdasarkan status kesuburan tanah serta perbaikan jarak tanam. Kegiatan Prima Tani antara lain dilakukan di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Di lokasi tersebut sejak tahun 2006 telah diimplementasikan inovasi teknis dan inovasi kelembagaan. Berdasarkan potensi dan permasalahan usahatani di Kecamatan Leuwisadeng, inovasi teknologi yang dikembangkan berupa Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi yaitu integrasi antara tanaman dan ternak yang didukung dengan kelembagaan. Pada tahun 2007 dilakukan perbaikan budidaya tanaman utama (jambu biji), pengendalian hama penyakit, pemupukan, introduksi varietas unggul dan perbaikan teknologi produksi tanaman padi gogo serta pemeliharaan ternak domba (bibit unggul dan pakan). Inovasi teknis yang diperkenalkan merupakan upaya perbaikan terhadap kegiatan usahatani yang selama ini telah dilakukan petani. Keuntungan yang diperoleh petani (sebelum Prima Tani) dari usahatani jambu biji sebesar Rp 5,7 juta/tahun untuk 200 pohon dengan luasan lahan 1.000 m2. Dengan skala usaha

12 3.500 m2 (0,35 ha), usahatani jambu biji dinilai layak secara ekonomis. Hal ini terbukti dari beberapa petani yang mengikuti menanam komoditas jambu biji. Karakteristik wilayah miskin, yang berada pada zona agroekosistem lahan kering marjinal dicirikan oleh: (1) penguasaan teknologi budidaya pertanian umumnya rendah, bahkan masih bersifat tradisional; (2) kurang berfungsinya lembaga-lembaga penyedia sarana produksi; (3) ketiadaan atau kurang berfungsinya lembaga pemasaran sehingga orientasinya bersifat subsisten; serta (4) rendahnya kualitas prasarana transportasi dan komunikasi yang berkaitan erat dengan rendahnya kepadatan penduduk, produktivitas kerja serta rendahnya marketable surplus hasil usahatani (Taryoto, 1995). Lebih lanjut Tjitropranoto (2005) mengungkapkan bahwa secara umum petani di lahan kering marjinal berpendapatan rendah, sehingga banyak yang mempunyai sifat-sifat yang menghambat kemajuannya, seperti: (1) kapasitas diri petani yang rendah, (2) pendidikan rendah, sehingga pengetahuan dan wawasannya juga terbatas, yang berakibat pula pada daya inisiatif yang rendah, (3) apatis akibat usaha yang telah dilakukan bertahun-tahun tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, (4) kemauan usaha rendah, karena keadaan lingkungannya yang tidak mendukung untuk melakukan usaha, (5) kurang percaya diri akibat usahanya yang sering tidak berhasil, sehingga komitmen terhadap usaha pertanian juga rendah, (6) tidak memiliki modal dan sarana baik untuk produksi maupun pengolahan hasil produksi, dan (7) kurang terjangkau prasarana dan sarana sehingga tertinggal dari petani lainnya dalam informasi ataupun pembangunan. Karakteristik Petani Sejumlah literatur yang telah mengakumulasikan hasil-hasil penelitian tentang peubah yang berhubungan dengan keinovatifan, telah disarikan Rogers (2003) menjadi tiga bagian, yang melekat pada individu: (1) Karakteristik sosial ekonomi: umur (tidak ada perbedaan antara peloporearlier adopters dengan pengikut akhir-later adopters, dilihat dari sisi umur), sedangkan pendidikan formal, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, dan skala usaha pada pelopor lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir.

13 (2) Pribadi (personalitas): pelopor memiliki tingkat empati, kemampuan abstraksi, rasionalitas, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, keberanian menanggung resiko dan ketidakpastian, serta tingkat aspirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir; dengan tingkat dogmatis dan fatalistik yang lebih rendah. (3) Perilaku komunikasi: pelopor memiliki partisipasi sosial, jaringan interpersonal, tingkat kekosmopolitan, kontak dengan agen pembaruan, keterdedahan terhadap media, keterdedahan terhadap komunikasi interpersonal, pencarian informasi tentang inovasi, dan tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir. Tingkat Rasionalitas Jung (Sujanto et al., 2004) mendefinisikan fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teoritis tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Lebih lanjut Jung membedakan fungsi jiwa dalam empat hal yaitu pikiran, perasaan, pendirian dan intuisi, sebagaimana tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja Fungsi Jiwa (1) Pikiran (2) Perasaan (3) Pendirian (4) Intuisi Sifat rasional rasional irrasional irrasional Mekanisme Kerja dengan penilaian: benar-salah dengan penilaian: senang-tidak senang tanpa penilaian: sadar indriah tanpa penilaian: sadar naluriah

Sumber: Jung (Sujanto et al., 2004)

Pada dasarnya setiap manusia memiliki keempat fungsi tersebut, namun biasanya hanya salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan). Fungsi yang paling berkembang itu merupakan fungsi superior dan menentukan tipe orang. Terdapat orang yang bertipe pemikir, perasa, pendria dan intuitif. Keempat fungsi tersebut berpasang-pasangan, jika suatu fungsi menjadi superior (menguasai kehidupan alam sadar), maka fungsi pasangannya menjadi inferior, yang berada dalam ketidaksadaran. Dua fungsi yang lain menjadi fungsi bantu, sebagian terletak dalam alam sadar dan sebagian lagi terletak dalam alam tidak

14 sadar. Fungsi yang berpasang-pasangan, berhubungan secara kompensatoris. Semakin berkembang fungsi superior, maka makin besar kebutuhan fungsi inferior akan kompensasi, yang mengganggu keseimbangan jiwa (terefleksikan dalam tindakan yang tidak terkendali). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat rasionalitas dapat didekati melalui pikiran (berpikir) dan perasaan. Mengutip pendapat Plato (Suryabrata, 2005), berpikir adalah berbicara dalam hati. Tujuan berpikir adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan (segala sesuatu yang telah dimiliki), berupa pengertian-pengertian dan dalam batas tertentu juga tanggapan. Berpikir merupakan proses yang dinamis dan dapat digambarkan menurut proses atau jalannya. Terdapat tiga langkah dalam proses atau jalannya berpikir (Suryabrata, 2005; Sujanto, 2004): (1) Pembentukan pengertian: menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek sejenis, membandingkan ciri-ciri tersebut untuk diketemukan ciri-ciri yang sama dan tidak sama, serta mengabstraksikan (menyisihkan, membuang ciri-ciri yang tidak hakiki dan menangkap ciri-ciri yang hakiki). (2) Pembentukan pendapat: meletakkan hubungan antara dua pengertian atau lebih. Pendapat dapat dibedakan menjadi tiga macam: pendapat afirmatif (positif), pendapat negatif, dan pendapat modalitas (kemungkinan-

kemungkinan). (3) Penarikan kesimpulan atau pembentukan keputusan: berdasarkan pendapatpendapat yang telah ada. Selain berpikir, tingkat rasionalitas juga memasukkan unsur perasaan, yang merupakan gejala psikis yang bersifat subyektif dan umumnya berhubungan dengan gejala mengenal. Perasaan dapat timbul karena mengamati, menanggapi, mengingat, atau memikirkan sesuatu. Perasaan dibedakan atas: (1) Perasaan jasmaniah: perasaan indriah (berhubungan dengan perangsangan pancaindera: manis, asin, pahit) dan perasaan vital (berhubungan dengan keadaan jasmani: segar, letih, sehat). (2) Perasaan rohaniah: perasaan intelektual (kesanggupan intelek dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi: senang, kecewa), perasaan kesusilaan/etis (tentang baik-buruk, terkait dengan norma-norma), perasaan keindahan, perasaan sosial (mengikatkan individu dengan sesama manusia,

15 hidup bermasyarakat, bergaul, saling tolong-menolong, memberi dan menerima simpati dan antipati, rasa setia kawan), perasaan harga diri (positif: puas, senang, gembira, bahagia; dan negatif: kecewa, tidak senang, tidak berdaya), perasaan keagamaan (terkait dengan kepercayaan seseorang terhadap Tuhan: rasa kagum, rasa syukur). Tingkat Intelegensi Binet (Suryabrata, 2005) menyatakan bahwa sifat hakikat intelegensi ada tiga macam, yaitu: (1) Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakap membuat tujuan sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak menunggu perintah saja. Semakin cerdas seseorang, makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang lain dan suasana lain. (2) Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai tujuan itu. Jadi semakin cerdas seseorang akan makin dapat menyesuaikan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis. (3) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang makin dapat belajar dari kesalahannya. Menurut Stern (Sujanto, 2004), intelegensi merupakan kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri cepat dan tepat dalam suatu situasi yang baru. Berdasarkan arah atau hasilnya intelegensi dibedakan atas dua jenis: (1) Intelegensi praktis: untuk mengatasi suatu situasi yang sulit dalam pekerjaan, yang berlangsung secara cepat dan tepat. (2) Intelegensi teoritis: untuk mendapatkan suatu pikiran penyelesaian soal atau masalah dengan cepat dan tepat. Faktor yang mempengaruhi intelegensi adalah: pembawaan (kesanggupan yang dibawa sejak lahir, tidak sama pada setiap orang); kematangan (munculnya daya jiwa yang kemudian berkembang); pembentukan (faktor luar yang mempengaruhi intelegensi di masa perkembangannya); dan minat (motor penggerak intelegensi).

16 Howard Gardner (Wikipedia, 2010) berpendapat bahwa tingkat intelegensi merupakan kemampuan dasar yang terkait dengan kemampuan abstraksi, logika dan daya tangkap. Intelegansi dibedakan atas: (1) Intelegensi linguistik, intelegensi yang menggunakan dan mengolah kata-kata, baik lisan maupun tulisan, secara efektif. (2) Intelegensi matematis-logis, kemampuan yang lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan pada kepekaan pola logika dan perhitungan. (3) Intelegensi ruang, kemampuan yang berkenaan dengan kepekaan mengenal bentuk dan benda secara tepat serta kemampuan menangkap dunia visual secara cepat. (4) Intelegensi kinestetik-badani, kemampuan menggunakan gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan. (5) Intelegensi musikal, kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. (6) Intelegensi interpersonal, kemampuan seseorang untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, motivasi, dan watak temperamen orang lain seperti yang dimiliki oleh seorang motivator dan fasilitator. (7) Intelegensi intrapersonal, kemampuan seseorang dalam mengenali dirinya sendiri. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan berefleksi (merenung) dan keseimbangan diri. (8) Intelegensi naturalis, kemampuan seseorang untuk mengenal alam, flora dan fauna dengan baik. (9) Intelegensi eksistensial, kemampuan seseorang menyangkut kepekaan menjawab persoalan-persoalan terdalam keberadaan manusia, seperti apa makna hidup, mengapa manusia harus diciptakan dan mengapa kita hidup dan akhirnya mati. Sikap terhadap Perubahan Salah satu strategi difusi yang dapat dilakukan agen pembaruan (penyuluh) adalah mengembangkan sikap umum yang positif terhadap perubahan, pada sebagian kliennya. Individu anggota sistem yang berorientasi pada perubahan akan selalu memperbarui diri, terbuka pada hal-hal baru dan giat mencari

17 informasi. Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap atau orientasi pada

perubahan ini adalah dengan memilih inovasi-inovasi yang layak untuk diperkenalkan secara berurutan. Cara lain yaitu dengan mengekspos sejumlah pesan modernisasi walaupun pesan tersebut mungkin tidak berkaitan dengan inovasi tertentu. Contoh pendekatan ini dijumpai di kalangan petani di negaranegara berkembang. Media massa seperti radio, televisi, film, dan surat kabar dapat menciptakan iklim modernisasi dengan jalan mengekspos pesan-pesan pembangunan yang mendukung perubahan. Salah satu hasil penyajian pesanpesan (informasi) seperti itu adalah timbulnya sikap positif terhadap perubahan, yang memudahkan pengadopsian ide-ide baru (Rogers dan Shoemaker, 1971). Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa ada dua tingkatan sikap, yaitu: (1) sikap khusus terhadap inovasi, dan (2) sikap umum terhadap perubahan. Sikap khusus terhadap inovasi adalah berkenan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya seseorang terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap khusus ini menjembatani antara suatu inovasi dengan inovasi lainnya. Pengalaman positif dengan pengadopsian inovasi yang terdahulu pada umumnya menimbulkan sikap-sikap yang positif pula terhadap inovasi yang diperkenalkan berikutnya. Sebaliknya pengalaman pahit dari pengadopsian suatu inovasi, yang dianggap sebagai suatu kegagalan, akan menjadi perintang bagi masuknya ide-ide baru pada masa mendatang. Oleh karena itu agen pembaruan harus memulai kegiatannya terhadap klien tertentu dengan inovasi yang memiliki taraf keuntungan yang relatif tinggi, yang sesuai dengan kepercayaan yang ada dan mempunyai peluang besar untuk berhasil. Hal ini akan membantu menciptakan sikap positif terhadap perubahan dan melancarkan jalan untuk ide-ide yang akan diperkenalkan selanjutnya. Perilaku Komunikasi Petani Kerjasama Mengikuti pemikiran Etzioni (1961) bahwa kerjasama yang didasari keterikatan dan keterlibatan, dapat dibedakan atas tiga tipe, yakni kerjasama ekonomi, keamanan dan budaya. Dalam pandangan masyarakat madani, Martinelli (2002) berpendapat bahwa kerjasama di masyarakat dibagi dalam tiga tipe, yakni masyarakat pasar, pemerintah dan masyarakat komunal.

18 Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences) dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious beliefs) cenderung memiliki kohesivitas tinggi, tetapi rentang jaringan maupun kepercayaan (trust) yang terbangun adalah sangat sempit. Sebaliknya pada

kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan serta dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Pada tipologi kelompok ini akan lebih banyak menghadirkan dampak positif baik bagi kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara luas (Hasbullah, 2006). Tingkat Kekosmopolitan Rogers (2003) mendefinisikan tingkat kekosmopolitan adalah sebagai berikut: Cosmopoliteness is the degree to which an individual is oriented outside a social system. Inovator (perintis) adalah anggota dari suatu sistem sosial tetapi memiliki orientasi yang kosmopolit ke luar sistem. Orientasi tersebut membuat inovator terlepas dari kendala sistem lokal dan memungkinkan untuk memiliki kebebasan pribadi dalam mencoba ide-ide baru yang belum pernah dicoba. Mengacu

pendapat Mardikanto (1993), tingkat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi masyarakat yang relatif kosmopolit, adopsi inovasi berlangsung lebih cepat. Namun bagi yang lebih lokalit (tertutup di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi berlangsung lebih lamban karena tidak ada keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dialami oleh orang lain di luar sistem sosialnya sendiri.

19 Keterdedahan terhadap Media Media massa memiliki ciri sangat efektif dalam menyampaikan

pengetahuan dan relatif cepat menjangkau sasaran yang luas dalam waktu yang singkat. Hal ini memungkinkan media massa dapat berperan penting pada tahap pengenalan suatu inovasi ke masyarakat (Rogers dan Shoemaker, 1971). Media massa dapat digunakan untuk penyebaran inovasi-inovasi yang tidak rumit. Menurut teori 'psikodinamik model DeFleur's' (McQuail dan Windahl, 1981), media massa tidak hanya berpengaruh secara langsung pada individu, tetapi juga mempengaruhi budaya, memberikan andil terhadap pengetahuan, norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Media massa menyajikan serangkaian gambar, ide, dan evaluasi, sehingga dapat menarik khalayak dalam memilih perilaku yang sesuai. Kecenderungan media massa untuk menyampaikan ideologi (secara implisit); pembentukan pendapat; distribusi diferensial pengetahuan dalam masyarakat; perubahan jangka panjang dalam budaya, institusi dan bahkan struktur sosial. Dukungan Iklim Usaha Mosher (1966) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian, setiap petani semakin lama semakin bergantung pada sumber-sumber dari luar lingkungannya. Bila pertanian hendak dimajukan, maka petani harus didukung dengan fasilitas dan jasa, yang dikenal dengan lima syarat-syarat pokok pembangunan pertanian. Kelima syarat-syarat pokok tersebut terdiri atas: (1) pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan/transportasi. Syarat pokok pertama: pasar untuk hasil usahatani. Peningkatan produksi pertanian dari usahatani menghasilkan surplus. Konsekuensi dari peningkatan produksi pertanian adalah meningkatnya kebutuhan petani akan pihak-pihak yang berperan dalam meningkatkan: permintaan pasar (market demand), baik di dalam maupun luar negeri, dan sistem tataniaga (marketing system) yang melibatkan berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam pemasaran hasil usahatani: dari pedagang pengumpul di tingkat desa sampai dengan nasional dan internasional yang berperan sebagai eksportir.

20 Kedua: teknologi yang senantiasa berubah. Dalam konteks ini, agar pembangunan pertanian dapat berlangsung terus menuntut adanya suatu perubahan berkelanjutan dalam hal teknologi pertanian. Selalu muncul tuntutan adanya penelitian dan pengembangan pertanian yang menghasilkan inovasi teknologi pertanian. Inovasi ini mutlak diperlukan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perubahan dalam sistem pertanian/agribisnis. Sejak proses budidaya sampai pascapanen komoditas pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas, mutu dan efisiensi pertanian secara berkelanjutan. Inovasi teknologi tersebut sangat relatif. Bisa merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang dikembangkan petani, ditemukan petani dan peneliti lain, dari beragam kelembagaan pemerintah dan atau swasta di dalam dan luar negeri. Syarat pokok ketiga: tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal. Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi dari temuan inovasi teknologi pertanian atau sarana produksi pertanian, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, pakan ternak, alat mesin pertanian, dan sebagainya. Sarana produksi dan peralatan yang ditawarkan kepada petani hendaknya harus memiliki 5 (lima) sifat berikut, sehingga petani akan cenderung terus membeli: (1) keefektifan dari segi teknis, (2) mutu produk dapat dipercaya, (3) harga tidak mahal, (4) harus tersedia di lokasi petani berdomisili atau setidaknya di tempat yang terjangkau oleh petani, serta (5) dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan petani. Syarat pokok keempat adalah perangsang produksi bagi petani. Menurut Mosher (1966), petani sangat rasional dalam mengambil keputusan tentang usahataninya. Petani menghendaki perbandingan harga yang menguntungkan, bagi hasil yang wajar, dan tersedianya barang serta jasa yang ingin dibeli oleh petani untuk keluarganya. Petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksi bila: (1) harga komoditas yang dianjurkan mempunyai harga pasar yang tinggi, (2) barang-barang input yang diperlukan tersedia secara lokal, (3) mengetahui bagaimana menggunakan input secara efektif, (4) harga input tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan harga yang diharapkan dari hasil produksinya, dan (5) tataniaganya lebih efisien. Pengangkutan/transportasi merupakan syarat pokok kelima dalam

pembangunan pertanian. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, keempat

21 syarat pokok tersebut diatas tidak dapat diadakan secara efektif. Jaringan pengangkutan yang luas diperlukan mengingat lokasi pertanian dan masyarakat pertanian tersebar luas. Dengan sarana transportasi dan prasarana infrastruktur yang baik, tidak hanya memudahkan dalam penyediaan saprodi secara lokal tetapi juga untuk memudahkan pemasaran hasil produksi pertanian. Pengangkutan secara langsung mempengaruhi efisien tidaknya sistem tataniaga suatu komoditas pertanian. Berarti secara langsung menentukan terhadap ketersediaan dan harga sarana produksi dan alat pertanian di tempat di mana petani bertempat tinggal, serta menentukan terhadap tingkat harga dan stabilitas harga komoditas yang akan dipasarkan. Mosher (1978) menambahkan bahwa untuk membangun pertanian yang modern di pedesaan, perlu tambahan dukungan (selain yang telah dikemukakan sebelumnya), yaitu: (1) kredit produksi dan (2) pendidikan penyuluhan yang bertujuan membantu petani mendapatkan informasi baru dan mengembangkan keterampilan baru. Setiap penyuluh membutuhkan pemahaman tentang: (1)

produksi tanaman dan ternak, (2) pertanian sebagai suatu usaha, (3) pembangunan pertanian, (4) petani dan bagaimana mereka belajar, dan (5) masyarakat pedesaan. Syahyuti (2003) membedakan pengelompokan kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian atau pedesaan atas sistem agribisnis, dibagi menjadi lima kelompok kelembagaan. Pertama, kelembagaan pengadaan sarana input produksi. Dalam kelompok ini misalnya termasuk kelembagaan kredit atau kelembagaan permodalan usahatani, kelembagaan pupuk yang mencakup mulai dari pengadaan sampai distribusinya, kelembagaan benih yang juga begitu kompleksnya yang salah satu bagiannya dikenal dengan struktur JABAL (Jaringan Benih Antar Lapang), serta kelembagaan penyediaan dan distribusi pestisida. Kedua, kelembagaan dalam aktivitas budidaya, mencakup kelembagaan tenaga kerja, kelembagaan pengairan, kelembagaan lahan dalam hal tata hubungan antara pemilik dan petani penggarap, serta kelembagaan panen. Ketiga, kelembagaan terkait dengan kegiatan pengolahan hasil pertanian. Seluruh orang yang terlibat di dalamnya dapat diidentifikasi, karena diikat oleh kepentingan yang sama, dan tunduk pada kesepakatan-kesepakatan yang diakui secara bersama. Keempat, kelembagaan pemasaran. Hal ini merupakan kelembagaan

22 yang cukup kompleks. Dalam pengertian Purcell (Syahyuti, 2003), analisis

kelembagaan pada tataniaga pertanian merupakan proses penyampaian suatu barang dari produsen ke konsumen, dan efisiensi merupakan indikator kelembagaan yang penting. Kelima, kelembagaan pendukung yang meliputi kelembagaan koperasi, kelembagaan penyuluhan pertanian, dan kelembagaan penelitian mulai dari penciptaan sampai dengan delivery system-nya

membutuhkan suatu organisasi khusus. Penyuluhan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan penyuluhan adalah: proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selanjutnya pada Pasal 26 ayat (3), penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha. Pada Pasal 2 UU RI Nomor 16 Tahun 2006, penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan,

keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat. Penjelasan lebih lanjut dalam UU tersebut, sebagai berikut: (1) Penyuluhan berasaskan demokrasi, yaitu penyuluhan yang diselenggarakan dengan saling menghormati pendapat antara pemerintah, pemerintah daerah dan pelaku utama serta pelaku usaha. (2) Penyuluhan berasaskan manfaat, yaitu penyuluhan yang harus memberikan nilai manfaat bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha.

23 (3) Penyuluhan berasaskan kesetaraan, yaitu hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha yang harus merupakan mitra sejajar. (4) Penyuluhan berasaskan keterpaduan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan secara terpadu antar kepentingan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. (5) Penyuluhan berasaskan keseimbangan, yaitu setiap penyelenggaraan penyuluhan harus memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, pengarusutamaan gender, keseimbangan pemanfaatan sumberdaya dan kelestarian lingkungan, serta keseimbangan antara kawasan yang maju dengan kawasan yang relatif masih tertinggal. (6) Penyuluhan berasaskan keterbukaan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh dan pelaku utama serta pelaku usaha. (7) Penyuluhan berasaskan kerjasama, yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus dilaksanakan secara sinergis dalam kegiatan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan serta sektor lain yang merupakan tujuan bersama antara pemerintah dan masyarakat. (8) Penyuluhan berasaskan partisipatif, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang melibatkan secara aktif pelaku utama dan pelaku usaha dan penyuluh sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. (9) Penyuluhan berasaskan kemitraan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip saling menghargai, saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling membutuhkan antara pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh. (10) Penyuluhan berasaskan berkelanjutan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan dengan upaya secara terus menerus dan berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan serta perilaku pelaku utama dan pelaku usaha semakin baik sesuai dengan perkembangan sehingga dapat terwujud kemandirian. (11) Penyuluhan berasaskan berkeadilan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang memposisikan pelaku utama dan pelaku usaha berhak mendapatkan

24 pelayanan secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, serta kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. (12) Penyuluhan berasaskan pemerataan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus dapat dilaksanakan secara merata bagi seluruh wilayah Republik Indonesia dan segenap lapisan pelaku utama dan pelaku usaha. (13) Penyuluhan berasaskan bertanggung gugat, yaitu bahwa evaluasi kinerja penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat dijadwalkan. Pada Pasal 3 UU RI Nomor 16 Tahun 2006, tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu: (1) Memperkuat pengembangan pertanian, perikanan serta kehutanan yang maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan; (2) Memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan

kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi; (3) Memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya penyuluhan yang produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi, partisipatif, terbuka,

berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan, berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin terlaksananya pembangunan pertanian, perikanan serta kehutanan; (4) Memberikan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan; (5) Mengembangkan sumberdaya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan. Pasal 4 UU RI Nomor 16 Tahun 2006 menyatakan, bahwa fungsi sistem penyuluhan meliputi: (1) Memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;

25 (2) Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (3) Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (4) Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (5) Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (6) Menumbuhkembangkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian lingkungan; (7) Melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan. Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuhkembangan dinamika organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional, sebagaimana tertuang dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 ayat (1). Menurut van den Ban dan Hawkins (2005), penyuluhan didefinisikan secara sistematis sebagai proses yang: (1) Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; (2) Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut; (3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani; (4) Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal;

26 (5) Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai alternatif tindakan; (6) (7) Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Namun demikian, penyuluhan tidak mencakup semua aspek tersebut. Dengan pemberian satu atau beberapa aspek permasalahan, petani akan mampu memecahkan sendiri masalah selebihnya, bahkan kadang-kadang cukup dengan hanya penjelasan masalah dan analisis yang sistematis. Pada kesempatan lain mungkin cukup dengan hanya memberi tambahan informasi. Penyuluh perlu terlebih dahulu menganalisis keadaan petani sebelum memutuskan untuk membantunya. Mosher (1978) mendefinisikan penyuluhan adalah sebagai berikut: The extension process is that of working with rural people through out-ofschool education, along those lines of their current interest and need which are closely related to gaining livelihood, improving the physical level of living of rural families, and fostering rural community. Kompetensi Penyuluh Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi adalah sebagai berikut: A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to creterion-referenced effective and/or superior performance in a job or situation. Kata underlying characteristic mempunyai arti bahwa kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang, serta dapat memprediksi perilaku pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Causally related bermakna kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya kinerja atau dapat digunakan untuk memprediksi perilaku seseorang. Kata creterion-referenced memiliki makna bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa? seseorang yang berkinerja baik atau buruk, diukur dari kriteria atau standar khusus yang digunakan.

27 Menurut Sumardjo (2008), kompetensi penyuluh adalah karakteristik yang melekat pada diri penyuluh yang menentukan keefektifan kinerja penyuluh dalam mengemban misi penyuluhan. Dalam organisasi penyuluhan dibutuhkan penentuan tingkat kompetensi, agar dapat mengetahui tingkat kinerja yang diharapkan. Penentuan kebutuhan ambang kompetensi penyuluh dapat dijadikan dasar bagi proses-proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan pengembangan kompetensi masing-masing level kualifikasi penyuluh. Merujuk pada karakteristik kompetensi menurut Spencer dan Spencer (1993) dan Mitrani et al. (Sumardjo, 2008), terdapat lima karakteristik kompetensi penyuluh, yaitu: (1) Motives, (2) Traits, (3) Self Concept, (4) Knowledge, dan (5) Skills. Motif (Motives) adalah sesuatu bilamana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan. Motif penyuluh adalah dorongan

(drive), arah (direct), dan pilihan (select) perilaku penyuluh melalui tindakan tertentu atau menuju tujuan tertentu penyuluhan (motives adalah drive, direct and select behavior toward certain action or goals and away from others). Misalnya dengan mengacu pada filosofi penyuluhan, maka dapat diusulkan bahwa secara normatif motif penyuluh dalam konteks profesi adalah mengembangkan karir melalui profesi pengembangan kompetensi petani agar petani mampu

meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya. Dalam hal ini terdapat sinergi antara penyuluh, petani dan negara, yang diindikasikan oleh adanya pencapaian kesejahteraan penyuluh dan kesejahteraan petani, serta dengan kesejahteraan rakyat dan bangsa (tujuan negara). Sifat bawaan (Traits) adalah karakter atau kepribadian yang otonom atau watak mandiri yang membuat seseorang (penyuluh) berperilaku tertentu (secara otonom) dalam merespon sesuatu dengan cara tertentu. Misalnya percaya diri (self confident), kontrol diri (self control), kesiapan diri (self-readiness), ketahanan terhadap stres (stress resistence), atau ketabahan/daya tahan (hardiness). Secara normatif dapat diusulkan seorang penyuluh seharusnya

mempunyai karakter senantiasa konsisten, inovatif, percaya diri, berkeyakinan diri, arif, mampu bersinergi (interdependent), berwawasan luas, adil dan beradab. Beradab berarti mampu memahami dan menghargai norma dan nilai budaya yang berlaku dan mampu berempati dalam mengemban misi atau tugas-tugasnya.

28 Konsep diri (Self Concept) adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang (penyuluh). Secara normatif dapat diusulkan, seseorang penyuluh memiliki sikap dan nilai (value) yang jelas dan positif terhadap diri sendiri, misi penyuluhan, keberpihakan pada keadilan, egaliter, kerjasama yang sinergis dan konvergen antar pihak-pihak terkait dengan upaya mewujudkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat melalui penyuluhan. Petani bukanlah bawahan

penyuluh pertanian, melainkan mitra dalam mewujudkan kesejahteraan bersama rakyat dan bangsa/negara. Oleh karena itu pendekatan dalam kegiatan dan program penyuluhan harus partisipatif dan dialogis. Penyuluh juga bukan subordinat (bawahan) dinas teknis, tetapi mitra sejajar dalam upaya mewujudkan tujuan pihak-pihak terkait. Di sini peran penyuluh adalah sebagai fasilitator dan pendamping pihak-pihak terkait dalam mewujudkan kesejahteraan petani. Pengetahuan (Knowledge) adalah informasi yang dimiliki seseorang (penyuluh) untuk bidang tertentu (terkait dengan substansi/inovasi, metode/teknik, dan pendekatan, serta pengelolaan program penyuluhan yang sesuai dengan potensi, permasalahan, dan tuntutan kebutuhan masyarakat serta lingkungan setempat). Secara normatif, misalnya seorang penyuluh harus memiliki informasi terkait dengan wawasan yang luas (inovasi, metode dan teknik, kebutuhan, serta budaya masyarakat) atau persepsi yang tepat terkait dengan potensi sumberdaya, kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam program penyuluhan di wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, yang terpenting penyuluh harus memiliki pengetahuan

tentang perilaku khalayak sasaran (petani, peternak, nelayan dan sebagainya). Keterampilan (Skills) adalah kemampuan (penyuluh) untuk melaksanakan suatu tugas (penyuluhan) baik secara fisik maupun mental. Seperti disebutkan dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 16 ayat (2), penyuluh perlu memiliki keterampilan dalam hal: (1) Menyusun program penyuluhan; (2) Melaksanakan penyuluhan; (3) Menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya; (4) Melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usahatani bagi pelaku utama dan pelaku usaha;

29 (5) Menumbuhkembangkan kepemimpinan, kewirausahaan, serta kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha; (6) Melaksanakan kegiatan rembuk, pertemuan teknis, temu lapang, dan metode penyuluhan lain bagi pelaku utama dan pelaku usaha; (7) Memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan serta pelatihan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; (8) Memfasilitasi forum penyuluhan pedesaan. Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memprediksi suatu pekerjaan, Spencer dan Spencer (1993) membedakan kompetensi menjadi dua kategori, yaitu: (1) threshold dan (2) differentiating. Threshold competencies merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya. Dalam konteks

penyuluhan, keahlian dasar seorang penyuluh adalah memahami perilaku dan kebutuhan khalayak sasaran. Di samping itu juga kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerjasama (networking), dan kemampuan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Differentiating competencies

adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah. Dalam konteks penyuluh, menyangkut orientasi motivasi melaksanakan tugas penyuluhannya. Seorang

penyuluh yang motivasinya mengembangkan kompetensi petani agar dapat meraih kesejahteraannya yang lebih tinggi, akan berkinerja lebih tinggi, dibanding penyuluh yang motivasinya hanya sekedar melaksanakan tugas-tugas mencapai target produksi yang telah ditetapkan oleh atasannya. Peran Penyuluh Beberapa hal yang harus diperankan penyuluh dalam mendorong terjadinya pembaruan (Lippitt et al., 1958), yaitu: (1) (2) Mendiagnosis permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh klien. Tahapan ini dapat dilakukan dengan menggunakan sumber lain atau mendiagnosis permasalahan klien secara langsung. (3) Mengenali sistem motivasi klien dan kapasitasnya untuk melakukan pembaruan. Motivasi merupakan sistem yang kompleks mencakup baik

30 bersifat altruisme (ikhlas) untuk kepentingan pihak lain maupun untuk kepentingan diri sendiri. (4) Mengenali motivasi penyuluh dan sumberdaya yang tersedia. Penyuluh harus mengacu kepada kebutuhannnya, preferensi pribadi, dan

keyakinannya terhadap hal yang benar dan yang salah. (5) Memilih tujuan pembaruan yang tepat. Dalam pemilihan ini peran yang harus diambil oleh penyuluh bergantung pada interpretasi diagnostiknya dalam menentukan langkah awal dan sekuensi atas tahapan-tahapan yang harus dilalui serta tujuan akhir yang hendak diwujudkan. (6) Menentukan peran yang tepat. Penyuluh harus memberikan suatu inisiatif tentang keputusan tujuan pembaruan, bagaimana mewujudkannya dan apa yang harus dilakukan pertama kali. (7) Membangun dan memelihara hubungan dengan sistem klien. Semua diagnostik dari penyuluh dan kegiatan-kegiatan yang membantu harus dilaksanakan dalam konteks membangun hubungan yang telah dibangun dengan sistem klien. (8) Mengenalkan dan memandu tahap-tahap pembaruan. Setiap pembaruan harus dilakukan dengan tahapan-tahapan yang jelas serta klien dipandu dengan benar. (9) Penyuluh harus mampu memilih teknik-teknik yang spesifik dan model perilaku secara tepat, karena banyak teknik dan model perilaku yang dapat digunakan. (10) Penyuluh harus menstimulir dirinya untuk berkembang bersama-sama dengan klien serta dapat memberikan kontribusi melalui penelitian dan perumusan konsep. Hasil identifikasi Rogers (2003) terdapat tujuh peran penyuluh sebagai agen pembaruan, yakni: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) untuk menetapkan suatu hubungan pertukaran informasi, (3) mengdiagnosis masalah, (4) menciptakan suatu maksud pada klien untuk berubah, (5) mewujudkan suatu maksud dalam tindakan, (6) memantapkan adopsi dan mencegah penghentian, dan (7) mencapai hubungan akhir (tujuan akhir penyuluh adalah mengembangkan perilaku memperbarui sendiri pada klien).

31 Materi/Program Penyuluhan Dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (22), disebutkan bahwa materi penyuluhan adalah: bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum dan kelestarian lingkungan. Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan, bahwa: materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan

memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan, dan kehutanan. Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (2) dinyatakan, bahwa: materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan. Pada Pasal 28 ayat (1) dinyatakan, bahwa materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional. Pada bagian penjelasan atas UU RI tersebut dijelaskan istilah-istilah teknologi, teknologi tertentu, serta teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional. Istilah teknologi

dapat berupa produk atau proses. Produk dapat berupa bibit, benih, alat, dan mesin, bahan, pestisida, dan obat hewan/ikan, sedangkan proses berupa paket teknologi, misalnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Istilah teknologi tertentu dimaksudkan sebagai teknologi yang diperkirakan dapat merusak lingkungan hidup, mengganggu kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan masyarakat. Misalnya teknologi rekayasa genetik, teknologi perbenihan dan teknologi pengendalian hama penyakit. Adapun teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional merupakan produk atau proses yang ditemukan oleh masyarakat dan/atau telah dimanfaatkan secara meluas sesuai dengan adat kebiasaan secara turun temurun. Clements (1999) mengungkapkan bahwa suatu program penyuluhan telah memotivasi beberapa partisipan untuk mengubah perilaku atau memperbaiki

32 praktek. Penyuluh memberikan tambahan informasi dan mendukung untuk membantu individu mengadopsi praktek terbaik. Penyuluh ditantang untuk

membuat program yang berdampak bagi sejumlah klien untuk mengubah prakteknya, yang mendukung perubahan perilaku; menjadi lebih terlibat dengan individu; dan akan belajar bagaimana program yang akan datang diubah lebih efektif dalam mendorong adopsi. Diperlukan usaha untuk memotivasi tiap partisipan, menjelaskan tahapan-tahapan dalam suatu proses, menyediakan sumberdaya, dan menyediakan waktu untuk memulai pada tiap tahap yang tidak cukup menjamin perubahan perilaku. Beberapa partisipan membutuhkan dorongan dan dukungan dalam bentuk informasi yang lebih banyak, pedoman praktek, dan penguatan yang membuat kemajuan mereka terintegrasi dengan kompetensi baru dalam kehidupan mereka sehari-hari. Prochasca, Norcross dan DiClemente (Clements, 1999) menyarankan enam tahapan perubahan: sebelum perenungan (precontemplation), perenungan (contemplation), mengumpulkan informasi, tindakan, adopsi dan internalisasi. Jika pergerakan dari satu tahap ke tahap yang lain didokumentasikan, maka terlihat adanya perubahan perilaku. Suatu program harus didefinisikan secara jelas, dan apa yang menjadi prioritas, dalam tujuan program diketahui perilaku khusus yang ingin diubah, dan waktu untuk melakukan perubahan, alat evaluasi harus dikembangkan selama perencanaan program, perlu motivasi partisipan untuk memulai mengubah perilakunya, diperlukan waktu untuk menindaklanjuti evaluasi administrasi sebagai alat perencanaan program, perkiraan jumlah klien dalam program yang dapat diharapkan secara realistik untuk mengadopsi teknologi baru. Administrator harus proaktif dalam membantu penyuluhan

profesional dengan mempromosikan dan mendokumentasikan perubahan perilaku. Menurut Mukmin (1992), persyaratan materi penyuluhan adalah

menguntungkan, sesuai dengan teknologi setempat, mudah dimengerti, mudah dicoba dalam skala kecil, dan cepat dapat dirasakan hasilnya. Jenis materi

meliputi teknologi (pemanfaatan, pelestarian dan rehabilitasi sumberdaya alam), dan materi pembinaan sikap mental untuk memupuk kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

33 Metode Penyuluhan Berdasarkan jumlah sasaran khalayak, metode penyuluhan dapat dibedakan dalam tiga macam teknik komunikasi (Mukmin, 1992; van den Ban dan Hawkins, 2005), yaitu: (1) Komunikasi secara perseorangan (interpersonal), terutama dilakukan untuk mempengaruhi tokoh masyarakat yang menjadi kunci pendorong

keberhasilan kegiatan penyuluhan pembangunan, seperti tokoh kader usahatani menetap, kader santri penghijauan, kader konservasi sumberdaya alam dan sebagainya. Penyuluhan secara interpersonal merupakan dialog antara penyuluh dengan tokoh masyarakat ataupun dengan petani. (2) Komunikasi secara kelompok, dilakukan untuk menjangkau masyarakat sasaran penyuluhan pertanian, seperti kelompok-kelompok tani, kelompok pelestari sumberdaya alam, dan sebagainya, misalnya untuk menyampaikan informasi pembinaan keterampilan dalam pelestarian sumberdaya alam. Metode kelompok mencapai lebih sedikit petani, tetapi memberi banyak kesempatan untuk berinteraksi dan memperoleh umpan balik. (3) Komunikasi secara masal, yang dilakukan untuk memberi informasi kepada masyarakat secara luas. Media cetak dan elektronik seperti surat kabar, radio dan televisi membantu penyuluh mencapai sejumlah besar petani secara serentak. Walaupun demikian, hanya sedikit kesempatan bagi petani untuk saling berinteraksi atau memberikan umpan balik kepada penyuluh. Media massa dapat menyebabkan perubahan perilaku, terutama yang terkait dengan perubahan pengetahuan, namun tidak menyebabkan perubahan sikap. Hal ini disebabkan oleh pengirim dan penerima pesan cenderung menggunakan proses-proses selektif saat menggunakan media massa sehingga pesan pengirim mengalami distorsi. Proses-proses tersebut meliputi: publikasi selektif, perhatian selektif, persepsi selektif, daya ingat selektif, penerimaan selektif, dan diskusi selektif. Ada kecenderungan untuk menganggap penerima pesan bersifat resisten bila media gagal melakukan perubahan. Padahal secara logika sumber mungkin saja ikut bertanggung jawab. Kredibilitas, keandalan dan relevansi sumber sangat besar artinya. Kredibilitas pada umumnya tinggi, jika sumber dianggap memiliki keahlian, sesuai dengan pendapat penerima dalam hal-hal yang penting, dan yakin

34 akan kesungguhannya untuk membantu secara tulus (van den Ban dan Hawkins, 2005). Metode penyuluhan kelompok lebih menguntungkan dari media massa, karena terjadi umpan balik yang baik. Kesalahan pengertian yang mungkin terjadi antara penyuluh dengan petani dapat dihindari. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok. Metode kelompok satu sama lain berbeda di dalam kesempatan memperoleh umpan balik dan berinteraksi. Biaya menggunakan

metode kelompok cenderung lebih tinggi daripada media massa terutama jika penyuluhan dilakukan terhadap kelompok kecil. Metode kelompok sering mencapai bagian tertentu dari kelompok sasaran, karena hanya petani yang betulbetul berminat pada penyuluhan dan/atau petani anggota organisasi tertentu yang datang ke pertemuan. Ceramah, demonstrasi, widyakarya, dan diskusi kelompok merupakan metode kelompok (Tabel 2). Tabel 2 Fungsi, kelebihan dan kekurangan berbagai metode penyuluhan
Media yang sesuai atau memiliki ciri khas 1. Menciptakan kesadaran akan inovasi 2. Menciptakan kesadaran akan masalah sendiri 3. Alih pengetahuan 4. Perubahan perilaku 5. Menggunakan pengetahuan sesama petani 6. Membangkitkan proses belajar 7. Menyesuaikan dengan masalah petani 8. Tingkat abstraksi 9. Biaya/petani yang dicapai Media Wejangan Demonstrasi massa xxx x xx Media rakyat xx Diskusi kelompok 0 Dialog/ interaktif 0

xx

xxx

xxx

xxx

xxx 0 0

xx 0 0

xx xx x

xx x xx

x xxx xxx

xx xx x

0 0

0 0

x x

x xx

xxx xx

xx xxx

xxx 0

xx x

0 x

0 xx

x xx

x xxx

Sumber: van den Ban dan Hawkins (2005) Keterangan: 0 = tidak cocok; x = cocok; xx=sangat cocok; xxx=amat sangat cocok

35 Metode kelompok terutama penting jika digunakan bersama-sama dengan metode lain dalam penyuluhan. Demonstrasi dan widyakarya mempunyai keuntungan, karena petani dapat melihat sendiri penerapan suatu metode dan mengetahui keuntungan dan kekurangan suatu inovasi. Petani cenderung mengubah perilakunya sesuai dengan yang dianjurkan, jika petani berkesempatan mendiskusikan yang diamati dengan pengelola demonstrasi, dengan anggota lain dari kelompoknya, dan dengan penyuluh serta sesama petani. Kekurangan dan kelebihan suatu metode tidak hanya bergantung pada metode yang dipilih, tetapi juga cara metode digunakan. Pada Tabel 3 ditunjukkan beberapa pendekatan yang berbeda berdasarkan tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui metode tertentu. Tabel 3 Beberapa strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar Sifat tujuan belajar (1) Mengetahui (kognitif) (2) Sikap (afektif) Strategi Alih informasi (dari luar) Metode yang disukai Publikasi dan rekomendasi dari media massa, ceramah, selebaran, dialog yang diarahkan

Belajar dari penga- Diskusi kelompok, dialog tidak laman (informasi diarahkan, simulasi dan film dari dalam) Latihan dalam keterampilan Metode yang mendorong tindakan = latihan, persiapan dengan demonstrasi atau film demonstrasi

(3) Tindakan/ melakukan (psikomotorik)

Sumber: van den Ban dan Hawkins (2005)

Persepsi Litterer (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi adalah: the understanding or view people have of things in the world around them. Combs, Avila dan Purkey (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa: perception is the interpretation by individuals of how things seem of them, espicially in reference to how individuals view themselves in relation to the world in which they are involved. Wikipedia (2008) mengartikan persepsi sebagai proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari

36 proses penginderaan terhadap obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Proses kognisi dimulai dari persepsi. Secara teori persepsi dibedakan menjadi: (1) the sense-datum theory, (2) the adverbial theory, (3) the intentional theory, dan (4) the disjunctive theory (Stanford Encyclopedia, 2005). Litterer (Asngari, 1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Pengalaman akan berperan pada persepsi orang tersebut. Persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-

bagian informasi, dengan cepat disusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Ada tiga mekanisme pembentukan mekanisme: (1) selectivity, (2) closure, dan (3) interpretation, yang secara skematis ditampilkan pada Gambar 1. Pembentukan persepsi Mekanisme pembentukan persepsi
Informasi sampai ke individu

Pengalaman masa silam

Interpretation

Selectivity Closure Persepsi


Perilaku

Gambar 1 Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984)

Informasi yang disampaikan kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadi interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa lalu memegang peranan penting.

37 Litterer (Asngari, 1984) menekankan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi perilakunya. Sebaliknya, bila seseorang beranggapan bahwa hal tersebut dipandang nyata, walau kenyataaannya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi perilaku atau tindakannya. Brunner dan Tagiuri (Asngari, 1984) menyatakan bahwa melalui interaksi, seseorang memperoleh banyak informasi. Hal ini dapat meningkatkan ketepatan persepsinya. Dalam studinya di Caleta, Australia, Tully (Asngari, 1984)

menemukan bahwa interaksi di antara anggota kelompok akan meluruskan persepsi dan pengertian yang salah terhadap informasi yang diterimanya. Interaksi yang didasari oleh persepsi yang realistik akan mendorong tercapainya kesepakatan, dan selanjutnya meningkatkan motivasi dan tindakan bersama yang efektif. Sebaliknya, interaksi yang didasari oleh persepsi yang salah terhadap sesuatu akan menimbulkan pertentangan. Inovasi Rogers (2003) dan van den Ban dan Hawkins (2005) berpandangan bahwa inovasi merupakan suatu ide (gagasan), praktek atau obyek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang (individu) atau unit lain yang mengadopsi. Tidak menjadi masalah, sejauh dikaitkan dengan perilaku manusia, apakah ide (gagasan) tersebut secara obyektif dinilai baru atau tidak bila diukur dengan selang waktu sejak pertama kali digunakan atau ditemukan? Kebaruan suatu ide bagi seseorang ditentukan oleh reaksinya. Bila ide tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi seseorang, maka dapat dikatakan sebagai suatu inovasi; tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Sistem metrik misalnya, masih merupakan suatu inovasi bagi beberapa orang Amerika Utara (Anglo-Saxon), walaupun sistem tersebut telah dikembangkan sekitar 200 tahun yang lalu. Kemungkinan seseorang telah mengetahui suatu inovasi, tetapi tidak bersikap mengadopsi atau menolak. Kebaruan suatu inovasi ditunjukkan dengan adanya pengenalan, persuasi atau suatu keputusan untuk mengadopsi. Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau

38 dapat mendorong terjadinya pembaruan dalam masyarakat atau lokalitas tertentu. Pengertian baru di sini, mengandung makna bukan sekedar baru diketahui oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat setempat dalam arti sikap mental (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau gerakangerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk kehidupan masyarakat. Lebih lanjut pengertian inovasi diperluas menjadi: Sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan

masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. Menurut pakar sosiologi, inovasi merupakan salah satu butir proses spesifik yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial, di samping tiga butir lainnya yaitu: penemuan (discovery), invensi (invention), dan difusi (diffusion) (Garcia, 1985). Hagen (Garcia, 1985) berpendapat bahwa inovasi meliputi baik

pencapaian konsep mental baru maupun perubahan yang masuk dalam konsep tindakan atau dalam bentuk material. Contoh inovasi adalah perencanaan ulang dari beberapa item perlengkapan fisikal, pekerjaan teknik, pendidikan modern, industri dan bisnis, dan bahkan suatu kelompok organisasi manusia yang masuk dalam kelompok aktif yang menanamkan konsep baru dalam latihan. Dalam inovasi, baik kreativitas maupun sikap yang tepat diperlukan untuk memperbaiki hasil atau latihan. Dalam inovasi, seseorang menemukan lebih baik dan lebih efisien melalui kecerdasannya, imajinasi dan orisinalitas. Penerimaan terhadap sikap yang diinginkan, hanya dalam lingkup inovasi tempat seseorang mendapatkan kepuasan. Teori tentang perubahan berencana (Lippitt et al., 1958) dapat digunakan sebagai alat analisis untuk menelaah pendekatan yang dapat mendorong terjadinya

39 perubahan perilaku suatu komunitas. Dalam melakukan pembaruan, paling tidak terdapat tujuh tahapan proses pembaruan, yaitu: (1) Tahap 1: Mengembangkan kebutuhan untuk berubah (Development of a need for change, unfreezing). Pada fase ini perlu dikembangkan suatu kesadaran akan masalah-masalah yang dihadapi serta keinginan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tanpa kesadaran terhadap masalah tidak mungkin ada keinginan untuk melakukan pembaruan. (2) Tahap 2: Membentuk suatu perubahan hubungan (Establishment of a change relationship). Perlu dibangun kesamaan pandangan atas masalah-masalah yang dihadapi klien, antara penyuluh dengan klien sehingga memudahkan penyuluh dalam membantu klien menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. (3) Tahap 3,4,5: Bekerja menuju perubahan (Working toward change, moving). Sebelum menyusun program kerja paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu: Tahap 3: mengklarifikasi atau mendiagnosis permasalahanpermasalahan klien; Tahap 4: menguji alternatif tujuan, menetapkan tujuan dan tindakan-tindakan yang tepat; Tahap 5: menterjemahkan apa yang telah ditetapkan dan direncanakan dalam tindakan nyata. (4) Tahap 6: Mengeneralisasikan dan memantapkan suatu perubahan

(Generalization and stabilization of change, freezing). Tahap ini dilakukan untuk memastikan pembaruan-pembaruan yang dilakukan benar-besar sesuai dengan karakteristik permanen dari sistem. Dengan demikian pembaruan

yang dilakukan tetap bertahan dan tidak hilang begitu saja setelah program pembaruan dilakukan. (5) Tahap 7: Pencapaian akhir suatu hubungan (Achieving a terminal relationship). Proses ini dilakukan untuk memastikan tidak ada

kebergantungan yang mendalam antara klien dengan penyuluh. Ciri-ciri Inovasi dan Kecepatan Adopsi Difusi beberapa inovasi dari pertama diperkenalkan dalam beberapa tahun menyebar penggunaannya, sebagai contoh dari tahun 1989-2002, penduduk Amerika dewasa yang mengadopsi internet telah mencapai 71 persen. Kecepatan

40 adopsi merupakan kecepatan relatif di tempat suatu inovasi diadopsi oleh anggota suatu sistem sosial. Biasanya kecepatan adopsi diukur berdasarkan jumlah individu yang mengadopsi suatu ide baru dalam periode waktu tertentu, misalnya dalam satu tahun. Ciri inovasi merupakan satu hal penting yang menjelaskan kecepatan adopsi suatu inovasi (Rogers, 2003). Ciri-ciri Inovasi (1) Keuntungan relatif (relative advantage): tingkatan suatu inovasi dianggap lebih baik daripada ide sebelumnya, seringkali dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, prestise sosial, atau dengan cara lain. Keuntungan relatif merupakan rasio keuntungan yang diharapkan dengan biaya adopsi suatu inovasi. Sub dimensi keuntungan relatif termasuk keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat waktu dan tenaga, imbalan yang segera didapat. Faktor terakhir yang menjelaskan mengapa kecepatan adopsi inovasi preventif biasanya rendah. Inovasi preventif merupakan ide baru yang diadopsi individu saat ini dan peluang memperkirakan masa mendatang rendah. Sebagai contoh: berhenti merokok, menggunakan sabuk pengaman mobil, mengadopsi praktek konservasi tanah, memeriksa kanker payudara, mendapat suntikan untuk melawan penyakit, pencegahan HIV/AIDS, dan metode adopsi kontrasepsi. Keuntungan relatif inovasi preventif sulit didemonstrasikan oleh agen pembaruan kepada klien, karena keuntungannya baru diperoleh di masa mendatang dan tidak mengetahui waktunya, ketidakpastiannya tinggi. (2) Kesesuaian (compatibility): tingkatan suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan potensial adopter. Hal ini akan membantu individu memahami ide baru, sehingga lebih mudah mengenal (familiar). Suatu inovasi dapat sesuai atau tidak dengan: (a) nilai-nilai sosiobudaya, (b) ide-ide yang telah diperkenalkan sebelumnya, dan/atau (c) kebutuhan klien akan inovasi. Seperti varietas padi yang diperkenalkan International Rice Research Institute (IRRI) pada tahun 1960, tidak sesuai dengan rasa yang diinginkan masyarakat. Empat puluh tahun kemudian, petani India masih menanam (sedikit) varietas padi lokal (tradisional) untuk dikonsumsi sendiri, sedangkan jenis padi IRRI untuk

41 dijual. Saat ini ahli pemuliaan tanaman IRRI telah mulai memperkenalkan varietas padi baru yang sesuai dengan selera konsumen, seperti halnya produksi yang tinggi. Kesesuaian suatu inovasi tidak hanya dengan nilai-nilai budaya, tetapi juga dengan ide sebelumnya; dan ini dapat mempercepat kecepatan adopsi. Ide-ide lama merupakan alat mental utama yang digunakan individu untuk akses terhadap ide-ide baru dan memaknainya. Salah satu indikasi kesesuaian inovasi adalah tingkatan pemenuhan kebutuhan yang dirasakan klien. Agen pembaruan menentukan kebutuhan klien dan merekomendasikan inovasi yang memenuhi kebutuhan tersebut. Agen pembaruan harus memiliki tingkat empati yang tinggi dan akrab dengan klien agar dapat memperkirakan kebutuhan klien dengan tepat. Penyelidikan

informal, kontak interpersonal dengan klien, dan survai terhadap klien dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan inovasi. Di sini agen pembaruan harus berhati-hati dalam menggali kebutuhan klien, jangan sampai hanya merupakan refleksi kebutuhan agen pembaruan. (3) Kerumitan (complexity): tingkatan suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan. Ide baru dapat diklasifikasikan dalam kontinum rumit-sederhana. Beberapa inovasi dapat dengan mudah dipahami oleh

adopter yang potensial, sedangkan yang lain tidak. Kerumitan suatu inovasi dianggap oleh anggota suatu sistem sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsi. Kerumitan mungkin tidak demikian penting dibandingkan dengan keuntungan relatif atau kesesuaian untuk beberapa inovasi, tetapi beberapa ide baru yang rumit merupakan suatu rintangan untuk diadopsi. (4) Dapat diujicoba (trialability): tingkatan suatu inovasi dapat dicoba dengan skala yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba, biasanya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba. Beberapa inovasi lebih sulit untuk dicoba, dibandingkan dengan yang lain. Individu yang mencoba suatu inovasi merupakan salah satu cara untuk memberikan makna pada suatu inovasi dan menemukan cara bagaimana bekerja dengan kondisi yang ada pada dirinya. Dapat dicobanya suatu inovasi dianggap oleh anggota sistem sosial, berhubungan positif dengan kecepatan adopsi. Jika suatu inovasi dirancang lebih mudah dicoba, maka akan lebih mempercepat adopsi.

42 (5) Dapat diamati (observability): tingkatan hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Beberapa ide mudah diamati dan dikomunikasikan kepada masyarakat, namun terdapat juga inovasi yang sulit diamati ataupun digambarkan kepada orang lain. Dapat diamatinya suatu inovasi dianggap oleh anggota suatu sistem sosial, berhubungan positif dengan kecepatan adopsi. Kecepatan Adopsi Inovasi Sebagian besar perbedaan kecepatan adopsi suatu inovasi, dari 49-87 persen, dapat dijelaskan dengan lima karateristik: keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba dan dapat diamati. Selain kelima karateristik tersebut, terdapat peubah lain seperti: (1) tipe keputusan inovasi (opsional, kolektif dan otoritas), (2) saluran komunikasi yang menyebarkan inovasi pada berbagai kondisi dalam proses keputusan inovasi, (3) sistem sosial di tempat inovasi disebarkan, dan (4) tingkat upaya promosi agen pembaruan dalam menyebarkan inovasi, yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi (Rogers, 2003). Secara umum keputusan inovasi secara optional yang dilakukan individu lebih cepat dibandingkan bila dilakukan oleh suatu organisasi. Lebih banyak orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kecepatan adopsinya semakin lambat. Berarti salah satu cara untuk mempercepat adopsi suatu inovasi adalah berupaya memilih unit pengambilan keputusan yang lebih sedikit melibatkan orang (individu). Saluran komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan suatu inovasi mungkin juga mempunyai pengaruh terhadap kecepatan adopsi suatu inovasi. Misal, jika saluran komunikasi interpersonal (daripada saluran media massa) menimbulkan kesadaran-pengetahuan, seperti yang sering terjadi pada pengikut akhir (later adopter), kecepatan adopsinya berjalan lambat. Pada suatu sistem sosial alami, seperti norma-norma, dan tingkatan struktur jaringan komunikasi saling berhubungan erat, juga berdampak pada kecepatan adopsi suatu inovasi. Kecepatan adopsi suatu inovasi juga dipengaruhi oleh upaya promosi agen pembaruan. Hubungan antara kecepatan adopsi dengan upaya agen pembaruan, mungkin tidak langsung dan linear. Suatu hasil terbesar dari sejumlah kegiatan agen pembaruan pasti terdapat tahapan-tahapan dalam suatu difusi inovasi.

43 Respon terbesar dari upaya agen pembaruan terjadi ketika pemuka pendapat mengadopsi, di suatu tempat biasanya terjadi antara 3-16 persen mengadopsi dalam sebagian besar sistem. Inovasi akan terus disebarkan dengan upaya promosi yang lebih sedikit oleh agen pembaruan, setelah titik kritis pengadopsi tercapai. Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar tahu tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: pengetahuan, sikap dan keterampilannya. Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa inovasi, maka proses adopsi dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan, seperti ditampilkan pada Gambar 2 (Mardikanto, 1993). KOGNITIF pengetahuan INFORMATIF PSIKOMOTORIK keterampilan INOVASI pesan Persuasif dan entertainment AFEKTIF sikap ADOPSI INOVASI perubahan perilaku

Gambar 2 Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan (Mardikanto, 1993) Proses adopsi melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/ menerapkan, meskipun selang waktu antara tahapan yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama. Dalam setiap tahapan adopsi, terdapat faktor pribadi dan lingkungan yang berpengaruh (Tabel 4).

44 Tabel 4 Faktor pribadi dan lingkungan dalam setiap tahapan adopsi Tahapan Adopsi (1) Sadar Faktor Pribadi - Kontak dengan sumbersumber informasi di luar masyarakatnya - Kontak dengan individu dan kelompok dalam masyarakatnya - Tingkat kebutuhan - Kontak dengan sumber informasi - Keaktifan mencari sumber informasi Faktor Lingkungan - Tersedianya media komunikasi - Adanya kelompokkelompok dalam masyarakat - Bahasa dan kebudayaan - Adanya sumber informasi secara rinci - Dorongan dari warga masyarakat setempat

(2) Minat

(3) Menilai

- Pengetahuan tentang - Penerangan tentang keuntungan relatif dari keuntungan relatif praktek yang bersangkutan - Pengalaman petani lain - Tujuan dari usahataninya - Tipe pertanian dan derajat komersialisasinya - Keterampilan spesifik - Kepuasan pada cara-cara lama - Keberanian menanggung resiko - Kepuasan pada pengalaman pertama - Kemampuan mengelola dengan cara baru - Penerangan tentang caracara praktek yang spesifik - Faktor-faktor alam - Faktor-faktor harga input dan produk - Analisis keberhasilan/ kegagalan - Tujuan dan minat keluarga

(4) Mencoba

(5) Menerapkan

Sumber: Slamet (Mardikanto, 1993)

Proses adopsi tersebut terdiri atas lima tahap (Lionberger, 1968; Rogers dan Shoemaker, 1971; Mardikanto, 1993), yaitu: (1) Tahap kesadaran, yaitu seseorang (sasaran) mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. (2) Tahap menaruh minat, sering ditandai oleh keinginan seseorang (sasaran) untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. (3) Tahap penilaian, yaitu seseorang (sasaran) melakukan penilaian terhadap inovasi, baik aspek teknis, ekonomi, maupun sosial budaya, dikaitkan dengan

45 kondisi sasaran tersebut pada saat ini dan masa mendatang serta menentukan mencobanya atau tidak. (4) Tahap mencoba: seseorang (sasaran) menerapkan inovasi dalam skala kecil untuk menentukan kegunaan dan kesesuaian dengan kondisi orang tersebut. (5) Tahap penerimaan atau menerapkan dengan keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan. Lionberger (1968) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi, yakni: (1) Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda. (2) Pendidikan: melalui pendidikan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru. (3) Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain, keterdedahan terhadap sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya, dapat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru. (4) Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi. (5) Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. (6) Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi mendapatkan simbol status). (7) Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinasdinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani.

46 (8) Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovasi maka semakin lambat tingkat adopsinya. Berikut contoh dari yang paling cepat diterima, hingga yang paling sulit: (a) Perubahan hanya di bahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau pelaksanaan (misal: varietas baru suatu benih). (b) Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam bahan atau alat (misal: perubahan dalam rotasi tanaman). (c) Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour cropping). (d) Perubahan total kegiatan usaha (misal: dari usahatani tanaman ke peternakan). Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek pertanian, seperti: (a) Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat diadopsi dibandingkan dengan modal kecil. (b) Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekkan, maka akan lebih cepat diadopsi. (c) Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi. (d) Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya, lebih lambat diadopsi. (e) Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin dilakukan. (9) Interaksi faktor-faktor yang berhubungan: beberapa faktor tersebut diatas dapat dikombinasikan untuk menjelaskan tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi. Saluran Komunikasi Saluran komunikasi dibedakan atas: (1) saluran interpersonal dan media massa; serta (2) saluran lokalit dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal merupakan saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka (sumber dan penerima) antara dua orang atau lebih. Misalkan rapat atau pertemuan kelompok,

47 tanya jawab antara petani dengan penyuluh. Saluran media massa merupakan alat-alat penyampai pesan yang memungkinkan sumber dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar, yang dapat menembus batasan waktu dan ruang, misalkan televisi, radio, film, surat kabar, buku dan sebagainya. Perbedaan penting antara saluran media massa dan interpersonal ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik saluran komunikasi Karakteristik Media massa (1) (2) (3) (4) Arus pesan Konteks komunikasi Kemungkinan umpan balik Kemampuan mengatasi proses selektif (selective exposure) Kecepatan menjangkau khalayak dalam jumlah besar Kemungkinan untuk menyesuaikan pesan dengan penerima Cenderung satu arah Mentransmisikan pesan melalui media Rendah Rendah Saluran Interpersonal Cenderung dua arah Tatap muka Tinggi Tinggi

(5)

Relatif cepat dan efisien Kecil

Relatif lambat

(6)

Besar

(7) (8) (9)

Biaya yang diperlukan Rendah untuk menjangkau per orang Kemungkinan pesan diabaikan oleh penerima Pesan yang sama bagi semua penerima pesan Tinggi Ya Pakar atau penguasa Perubahan pengetahuan

Tinggi Rendah Tidak Setiap orang Perubahan dan pembentukan sikap

(10) Pihak pemberi informasi (11) Efek yang mungkin dihasilkan

Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971); Rogers (2003)

Saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit, jika menghubungkan sumber di atau dari luar sistem sosial. Sebagai contoh seorang anggota sistem sosial melakukan perjalanan ke luar daerah untuk menjumpai sumber informasi. Dapat juga seseorang dari luar daerah yang berkunjung ke dalam sistem sosial dan mengadakan pertemuan dengan anggota sistem sosial untuk menyampaikan

48 informasi. Saluran interpersonal dikatakan lokalit bila kontak langsung yang

terjadi sebatas daerah atau sistem sosial itu saja. Sebaliknya saluran media massa dapat dipastikan bersifat kosmopolit. Keputusan Petani Dalam kegiatan usahatani terdapat sejumlah kendala yang berada diluar kemampuan petani, namun terdapat beberapa hal yang dapat dikontrol. Kontrol disini berarti bahwa petani dapat mengambil keputusan mengenai penggunaan faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, tenaga kerja, modal dan penjualan produk. Derajat kontrol terhadap faktor produksi usahatani dan produknya

bergantung pada organisasi sosial dan masyarakatnya, yaitu direncanakan secara terpusat atau lebih berorientasi terhadap pasar (FAO, 1990). Untuk analisis

usahatani, perlu mengetahui derajat kebebasan yang dimiliki rumah tangga tani dalam pengambilan keputusan. Terdapat beberapa jenis keputusan yang dapat dibuat oleh rumah tangga tani, berdasarkan orientasi terhadap: (1) produksi, (2) penggunaan sumberdaya, (3) investasi, (4) likuiditas, yakni banyaknya uang tunai yang dibutuhkan rumah tangga tani, (5) pengolahan dan pemasaran, serta (6) komunitas (seperti partisipasi dalam suatu organisasi petani, peningkatan status, apa yang diharapkan komunitas dari usahatani dalam hal produksi, waktu). Semua keputusan tersebut diambil dari sudut pandang tujuan-tujuan rumah tangga tani seperti tujuan dasar yang terkait dengan kebutuhan biologis (pangan, sandang, papan, dan pemeliharaan kesehatan); serta tujuan sosial yang terkait dengan lingkungan. Tujuan sosial mengacu pada peran dan fungsi yang dimiliki rumah tangga tani dalam komunitasnya. Perilaku anggota rumah tangga tani seringkali ditentukan oleh tradisi dan nilai-nilai. Perasaan sebagai manusia seringkali berhubungan dengan derajat keberhasilan dalam mencapai tujuan sosial. Pendekatan lain yang secara tidak langsung mengarah ke identifikasi

tujuan adalah analisis kebutuhan dan permasalahan yang dirasakan. Pada tingkatan yang lebih jauh lagi dalam pembangunan pertanian, banyak tujuan sosial yang diperoleh dengan peningkatan produksi dan pendapatan. Simbol-simbol status merupakan hal yang individual, seperti memiliki beberapa ekor sapi cukup untuk meningkatkan status sosial seseorang.

49 Kinerja Usahatani Untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja usahatani petani, perlu mengidentifikasi apakah teknologi yang diterapkan petani dalam usahataninya mampu mencapai tujuan yang diinginkan? Tujuan petani dalam mengelola

usahatani antara lain : (1) mencukupi kebutuhan pangan sepanjang tahun, (2) memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti sandang, papan dan kesehatan, (3) mampu memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya, (4) mampu menabung untuk jaminan hidup dan investasi, dan (5) dapat diterima masyarakat serta memperoleh penghargaan diri dan reputasi (FAO, 1990). Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa; hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan (Akuntansi Sektor Publik, 2008). ARDictionary (2008) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai berikut: The act of performing; of doing something successfully; using knowledge as distinguished from merely possessing it; they criticised his performance as mayor"; "experience generally improves performance. Hasil kajian BPTP Jawa Tengah menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan konsolidasi manajemen usahatani dalam Corporate Farming (CF). Perbaikan tersebut bisa terjadi apabila ada peningkatan produktivitas, penurunan input produksi dan peningkatan harga secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Struktur dan tingkah laku pasar produk usahatani strategis mengikis manfaat konsolidasi pengelolaan usahatani dalam CF. Analisis kinerja usahatani korporasi ini difokuskan pada aspek-aspek alokasi dan pengelolaan sumber daya, produksi dan harga produk yang dihasilkan (Sarjana et al., 2008).

50 Menurut Sulistiyani (Wikipedia, 2009), kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Hasibuan (Wikipedia, 2009) mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Witmore (Wikipedia, 2009) mendefinisikan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Karakteristik usahatani komersial yang sudah berkembang secara efisien dan produktif menurut FAO (1990) adalah: (1) (2) Tingkat spesialisasi yang tinggi, orientasi pasar secara penuh. Padat modal, pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, penggunaan alsintan, handling yang baik, perkandangan yang baik, dan memungkinkan rasio lahan/orang atau ternak/orang yang lebih tinggi. (3) (4) Input tenaga kerja yang rendah. Teknologi tinggi dengan input yang tinggi, benih atau bibit ternak yang berkualitas, asuransi tanaman/ternak. (5) (6) Manajemen yang baik. Produksi per area atau per ekor ternak per hari yang tinggi, produktivitas tenaga kerja/hari yang tinggi, tingkat pengembalian modal tunai yang tinggi dan cepat. (7) Penanganan pascapanen sudah secara industri, rantai pemasaran

berkembang dengan baik, jaringan agribisnis yang efisien. (8) Sistem pendukung berkembang dengan baik (perbankan, kredit, bengkel alsintan, penyuluhan organisasi petani, sarana komunikasi dan transportasi). (9) Tersedianya suplai input dengan sistem penyampaian yang cepat.

(10) Petani memiliki rumah yang memadai, dengan peralatan modern seperti televisi, air ledeng, listrik dan telepon. (11) Sistem jaminan sosial berkembang seperti asuransi kesehatan, dan pendidikan yang memadai.

Anda mungkin juga menyukai