Anda di halaman 1dari 29

Sistem Agroforestry di Pesisir Timur

Sumatera

Tugas
Agroforestry dan Sistem Pertanian
Konservasi

OLEH
MORTON EFENDI MANURUNG
NIM : 1810247079

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi

mendorong bertambahnya permintaan akan ruang/lahan baik untuk

pemukiman ataupun untuk usaha, akibatnya terjadi kompersi lahan hutan

sekitar 50 hektar per tahun (Nasution dan Joyowinoto, 1995). Kompersi

lahan untuk pemenuhan kebutuhan pemukiman ataupun industri tidak

jarang dilakukan pada lahan pertanian yang subur sehingga untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya petani terpaksa menggunakan lahan-

lahan marginal atau merambah lahan hutan untuk dijadikan lahan

usahatani.

Untuk menggunakan lahan  pada daerah hulu secara rasional

maka diperlukan sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-

kaidah konservasi, produktif dan pemanfatan teknologi yang ramah

lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan sistem pertanian yang

tangguh dan secara menyeluruh mencipkan pengelolaan sumberdaya

alam berkelanjutan dengan sistem Agroforestri.

Prinsip Teknologi

Agroforestri merupakan  gabungan ilmu kehutanan dengan

agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan

pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian

dan pelestarian hutan  (Hairiah et al., 2002).  Definisi agroforestri adalah

sistem penggunaan lahan dan teknologi dimana tanaman keras berkayu


(pohon-pohonan, perdu, jenis palem, bambu dan sebagainya) ditanam

bersama dengan tanaman pertanian  dan/atau hewan dengan satu tujuan

tertentu dalam satu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporel dan

didalamnya terdapat interaksi ekologi dan ekosistem diantara berbagai

komponen yang bersangkutan (Laundgren dan Raintree,

1982 dalam Nair, 1993).

Secara umum fungsi agroforestri adalah:

1. Suplai kayu bangunan, kayu bakar, dan pakan ternak.

2. Penggunaan lahan secara optimal.

3. Pemanfaatan energi matahari dalam luasan yang maksimal.

4. Mencegah aliran air permukaan yang dapat menyebabkan

terjadinya erosi.

5. Pemanfaatan sumberdaya air dan hara lebih efisien.

Adapun keuntungan bagi masyarakat adalah:

1. Kayu bangunan yang tersedia dapat memperbaiki dan

meningkatkan standar perumahan.

2. Kayu bakar yang dihasilkan dapat menjaga keamanan energi

rumah tangga.

3. Bahan pangan dan pakan ternak, dapat memberikan keamanan

pangan dan pakan.

4. Konservasi tanah dan air, dapat mencegah erosi, pemeliharaan

dan pemulihan produktivitas lahan.

5. Bahan baku industri, menjamin ketersediaan bahan baku industri

dan perkakas.
6. Hasil bumi untuk perdagangan, dapat meningkatkan pendapatan

rumah tangga.

7. Diversifikasi perekonomian desa, dapat memuculkan adanya

diversifikasi pekerjaan.

1.2 Tujuan

Tujuan Agroforestry adalah;

1. Penghutanan kembali.

2. Penyediaan sumber makanan dan pakan ternak.

3. Penyediaan kayu bangunan dan kayu bakar.

4. Pencegahan migrasi penduduk ke kota.

5. Mengurangi pemanasan bumi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Agroforestry

Hairiah et al. (2003) mendefinisikan agroforestri sebagai sistem

penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan

tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis

maupun lingkungan. Menurut Wulandari et al. (2012) agroforestri merupakan

salah satu teknologi yang mengoptimalkan pemanfaatan tanah dengan

prinsip keberlanjutan yang mempertimbangkan aspek sosial, aspek ekonomi,

dan aspek ekologi. Kedua teori tersebut memiliki arti yang sama dalam hal

penggabungan unsur kehutanan dan pertanian. Penggabungan unsur-unsur

tersebut mengakibatkan adanya interaksi antara aspek ekologi, ekonomi dan

sosial pada berbagai komponen yang ada.

Menurut Firdaus et al. (2013), interaksi yang terjadi antara kedua

tanaman bergantung terhadap kebutuhan nutrisi masing-masing tanaman

dan juga sifat dari tajuknya, dimana terbagi atas interaksi positif, netral, atau

negatif. Interaksi positif apabila keberadaan dua jenis tanaman saling

meningkatkan produktivitas, interaksi negatif apabila keberadaan kedua jenis

tanaman saling mengganggu atau mengurangi produkstifitas tanaman yang

lainnya, dan disebut interaksi netral apabila keberadaan kedua jenis tanaman

tidak saling memberikan pengaruh positif ataupun negatif.

Hairiah et al. (2003) berpendapat bahwa sistem usahatani agroforestri


secara garis besarnya dikelompokkan menjadi dua yaitu : (1) Sistem

agroforestri sederhana, merupakan perpaduan satu jenis tanaman tahunan

dan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis pohon yang ditanam

bisa bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, jati dan atau

pohon yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra.

Tanaman semusim biasanya padi, jagung, palawija, sayur-mayur dan

rerumputan atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat. Contoh pola

tanamnya adalah budidaya pagar (alley cropping) lamtoro dengan padi atau

jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah dan lain-

lain. (2) Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian

menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam

dan dirawat oleh penduduk setempat, dengan pola tanam dan ekosistem

menyerupai dengan yang dijumpai di hutan. Sistem ini mencakup sejumlah

besar komponen pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput.

Penampakan fisik dan dinamika didalamnya mirip dengan ekosistem hutan

alam baik primer maupun sekunder.

Menurut Simatupang (2011) proporsi kontribusi yang diterima dari

sistem agroforestri terhadap total pendapatan masyarakat sangat bervariasi

dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Asmi et al. (2013) menyatakan

bahwa penerapan sistem agroforestri memiliki kontribusi yang paling

berpengaruh besar terhadap pendapatan rumah tangga petani dibandingkan

dengan pola non agroforestri.


Beberapa ciri penting agroforestri:

1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih

(tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan

berkayu.

2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.

3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan

tanaman tidak berkayu.

4. selalu memiliki dua macam produk atau lebih, misalnya pakan ternak,

kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.

5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa, misalnya pelindung

angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan tempat

berkumpulnya keluarga/masyarakat.

6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri

tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman

terutama dengan mengoptimalkan sisa panen.

7. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur

dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan

sistem budidaya monokultur.

2.2 Ruang Lingkup dan Klasifikasi Agroforestri

Sistem-sistem agroforestri mencakup selang variasi yang cukup luas

dan dapat diklasifikasikan berdasarkan atas kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Dasar struktural, menyangkut komposisi komponen-komponen, seperti


sistem- sistem agrisilvikultur, sislvopastur, dan agrisilvikultur.

2. Dasar fungsional, menyangkut fungsi utama atau peranan dari sistem,

terutama komponen kayu-kayuan.

3. Dasar sosial-ekonomi, menyangkut tingkat masukan dalam

pengelolaan (masukan rendah, masukan tinggi) atau intensitas dan

skala pengelolaan, atau tujuan-tujuan usaha (subsisten, komersial,

intermediet).

4. Dasar ekologi, menyangkut kondisi-kondisi lingkungan dan kecocokan

ekologi dan sistem.

Beberapa cara lain untuk menggolongkan sistem-sistem agroforestri

sebagai berikut:

1. Berdasarkan komponen-komponennya (gabungan antara pohon,

tanaman pangan, padang penggembalaan dan komponen-komponen

lainnya).

2. Berdasarkan fungsi pepohonan (apakah pepohonan digunakan untuk

produksi atau untuk konsevasi?).

3. Berdasarkan lamanya (apakah sistem itu hanya sementara atau telah

terbentuk secara tetap?).

Dipandang dari sudut ekologi dan ekonomi sistem agroforestri lebih

kompleks dari pada sistem monokultu. Sistem agroforestri, menghasilkan

produksi yang beranekaragam dan saling tergantung satu sama lainnya.

Sekurang-kurangnya, satu komponen merupakan tanaman keras berkayu,

sehingga siklusnya selalu lebih dari satu tahun. Sistem agroforestri juga
bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi- kondisi ekologi, sosial-

ekonomi dan kelembagaan setempat. Keadaan ini menunjukkan bahwa

sifat keilmuan dari sistem agroforestri adalah multidisipliner, termasuk antara

lain disiplin-disiplin agronomi dan hortikultura, kehutanan, sosial, ekonomi

dan teknologi.

2.3 Sistem Agroforestri di Indonesia

Sistem-sistem agroforestri tradisional dapat ditemui di seluruh

Indonesia. Contohnya antara lain, sistem-sistem kebun-talun dan

pekarangan di Jawa serta kebun-kebun berstrata banyak di Sumatera.

Sistem-sistem agroforestri yang diintroduksi juga umum terdapat di banyak

daerah. Sistem ini seringkali dipadukan dalam program-program

pengembangan hutan pada lahan hutan, di samping diterapkan pada lahan-

lahan pertanian milik perorangan.

a. Sistem Pekarangan

Sistem ini merupakan campuran antara tanaman tahunan, tanaman

umur panjang, dan ternak (termasuk sapi) di pekarangan sekitar rumah.

Berupa sistem terpadu dengan batas-batas jelas yang memenuhi fungsi-

fungsi ekonomis, biofisik, dan sosial-budaya. Pada umumnya suatu

pekarangan mempunyai struktur yang sama dari tahun ke tahun, walaupun

mugkin ada sedikit variasi musiman. Dua lapisan yang paling rendah

(sampai ketinggian 2 meter) didominasi oleh umbi-umbian, sayur-sayuran,

dan bumbu- bumbuan. Ubi kayu dan ganyong merupakan tanaman yang
paling umum di pekarangan.

Lapisan berikutnya (dari dua sampai lima meter) didominasi oleh

pisang, pepaya, dan pohon buah-buahan yang lain. Lapisan lima sampai

sepuluh meter didominasi oleh tanaman buah-buahan dan tanaman

perdagangan, seperti cengkeh. Sedangkan lapisan tertinggi, yang lebih

tinggi dari sepuluh meter, didominasi oleh kelapa dan pohon-pohonan

lainnya, antara lain sengon, sebagai kayu bangunan dan kayu bakar.

b. Sistem Kebun-Talun

Sistem kebun talun biasanya terdiri dari tiga tahap: kebun, kebun-

campuran, dan talun. Tahap pertama, kebun, terjadi apabila petani

membuka hutan dan mulai menanam tanaman tahunan. Tanaman-tanaman

ini biasanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani, dan hanya sebagian

dijual sebagai sumber penghasilan. Pada tahap kebun ini, terdapat tiga

lapisan mendatar tanaman tahunan yang mendominasi; yaitu

(1) lapisan terendah terdiri atas tanaman merambat yang menutupi tanah

dan hidup di bawah ketinggian 30 cm;

(2) lapisan dari 30 cm sampai 1 m, diisi oleh sayur-mayur, dan

(3) bagian atas lapisan yang diisi oleh jagung tembakau, ubi kayu, dan

tanaman- tanaman leguminosa merambat yang diberi pendukung batang

bambu.

Setelah dua tahun, anakan pohon mulai tumbuh, dan secara

bertahap mengurang tempat untuk tanaman tahunan. Kebun secara

bertahap berubah menjadi kebun campuran, dimana tanaman tahunan


tumbuh di antara tanaman umur panjang yang belum dewasa. Nilai

ekonomis kebun campuran tidaklah setinggi kebun, tetapi nilai biofisiknya

meningkat. Sifat kebun campuran dengan beranekararagam jenis tanaman

di dalamnya, juga meningkatkan konservasi tanah dan air. Dalam sistem

talun, erosi yang sangat sedikit karena semak-semak dan guguran daun

melimpah. Jika semak- semak dan guguran daun dikurangi, erosi akan

meningkat secara nyata.

c. Sistem Tiga Strata

Sistem tiga strata adalah metode penanaman dan pemanenan

rerumputan, tanaman leguminosa, semak, dan pepohonan sedemiian rupa

sehingga pakan ternak tersedia sepajang tahun. Sistem ini dikembangkan

oleh petani di Bali. Lapisan pertama, yang terdiri dari rerumputan dan

tanaman leguminosa, dimaksudkan untuk menghasilkan pakan pada awal

musim penghujan. Lapisan kedua, yang terdiri dari semak-semak,

dimaksudkan untuk menghasilkan pakan pada pertengahan dan akhir

musim penghujan. Lapisan ketiga yang terdiri dari pepohonan, dimaksudkan

untuk menyediakan pakan pada musim kemarau.

Sistem tiga strata membagi suatu lahan menjadi tiga bagian: inti,

selimut, dan batas. Inti dipelihara untk produksi pangan. Areal dibagi

menjadi beberapa bagian, dan masing-masing bagian ditanami dengan

beberapa jenis rumput dan leguminosa. Pohon-pohon penghasil pakan

ternak ditanam di sekitar batas dengan jarak 2 pohon setiap 5 m. Di antara

pohon-pohon ini lamtoro atau gamal ditanam sebagai semak dengan jarak
tanam 10 cm.

2.4 Jenis Tanaman Agroforestri

Menurut Nair (1980) sifat tanaman yang akan digunakan untuk

agroforestri harus memenuhi persyaratan : (1) Tanaman sampingan yang

digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman pokok (kehutanan), agar

pengembilan zat hara tidak pada tempat yang sama di dalam horison tanah,

(2) Tanaman yang digunakan lebih tahan tehadap hama penyakit

dibandingkan dengan tanaman pokok, (3) Dalam penanaman, pemeliharaan

dan pemanenan tanaman sampingan tidak merusak tanaman pokok, (4)

Tanaman sampingan yang diusahakan, mempunyai nilai ekonomis baik, dan

(5) Tidak menimbulkan erosi atau merusak struktur tanah setelah tanaman

sampingan dipanen. Menurut hasil penelitian LP-IPB (1986), jenis tanaman

yang diusahakan dalam setiap bentuk agroforestri harus memenuhi

beberapa beberapa persyaratan:

1. Ekologis:

 Sesuai dengan kondisi setempat dimana agroforestri akan dikembangkan;

 Tidak menimbulkan persaingan dengan tanaman pangan/pakan ternak,

baik dalam bentuk persaingan akar maupun persaingan tajuk. Untuk

maksud ini dapat dipilih jenis-jenis pohon bertajuk ringan, berakar dalam

serta pengaturan jarak tanam;

 Meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah dan meningkatkan

produktivitas tanah;
 Permudaan alami lambat serta radius penyebaran biji sempit agar tidak

mengekspansi tanaman pangan yang dikombinasikan atau berdekatan

dengannya.

2. Ekonomis:

 Cepat menghasilkan, dapat dipilih jenis-jenis yang cepat tumbuh dengan

riap yang tinggi;

 Bermanfaat ganda, seperti kayu pertukangan, bahan baku pulp/kertas,

kayu bakar dan lainnya;

 Mudah dipasarkan, jenis yang dikembangkan perlu terkait dengan sektor

lainnya;

 Diusahakan dapat memberikan hasil antara, yaitu hasil yang diperoleh

berupa kayu tidak hanya diperoleh pada akhir daur, tetapi selama daur.

Untuk maksud ini, dapat diusahakan dengan cara pembentukan tegakan

pohon yang bersifat multistorage yang dikombinasikan dengan tanaman

perkebunan, pakan ternak/hewan atau tanaman pangan.

2.5 Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Agroforestri

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk keberhasilan

agroforestri antara lain (Perum Perhutani, 1993): (1) Faktor lingkungan: jenis

tanaman, topografi, kesuburan tanah, iklim, hama dan penyakit; (2) Faktor

pendukung: kondisi jalan, jarak lokasi, sarana pendukung, pendukung,

permodalan, prospek pasar; (3) Faktor sosial budaya: teknik penanaman,

tingkat ketrampilan, dan jenis kebutuhan.


BAB III

SISTEM AGROFORESTRI

3.1 Klasifikasi Agroforestry

Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek

sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan

dimaksudkan untuk menunjukkan kompleksitas agoroforestri dibandingkan

budidaya tunggal (monoculture; baik di sektor kehutanan ataupun di sektor

pertanian). Akan tetapi pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu

dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di

lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan

manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan.

1) Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya Pengklasifikasian

agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar

adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya Komponen penyusun

utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau

peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

a) Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems) Agrisilvikultur adalah sistem

agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman

berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-


kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops)

dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).

Seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan

tanaman berkayu (misal dalam pola pohon peneduh gamal/Gliricidia sepium

pada perkebunan kakao/Theobroma cacao). Sistem ini dapat juga

dikategorikan sebagai agrisilvikultur. Pohon gamal (jenis kehutanan) secara

sengaja ditanam untuk mendukung (pelindung dan konservasi tanah)

tanaman utama kakao (jenis perkebunan/pertanian). Pohon peneduh juga

dapat memiliki nilai ekonomi tambahan. Interaksi yang terjadi (dalam hal ini

bersifat ketergantungan) dapat dilihat dari produksi kakao yang menurun

tanpa kehadiran pohon gamal.

b) Silvopastura (Silvopastural systems) Sistem agroforestri yang meliputi

komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan

(atau binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura. Beberapa

contoh silvopastura (lihat Nair, 1989), antara lain: Pohon atau perdu pada

padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi

terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals and

wood product. Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai

pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak

di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and

carry’ pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau

pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian

yang disebut ‘protein bank’). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri


tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek

konservasi dan ekonomi (jasa dan produksi) bersifat nyata dan terdapat

komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama.

c) Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems) Telah dijelaskan bahwa

sistem-sistem agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu

(kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang

pada unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan

merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen

pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud.

Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk

mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen

berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people). Tidak

tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh

permudaan alam dan satwa liar (lihat Klasifikasi agroforestri berdasarkan

Masa Perkembangannya).

Interaksi komponen agroforetri secara alami ini mudah diidentifikasi.

Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi

penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan untuk berbagai jenis burung),

dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi

tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan. Terdapat

beberapa contoh Agrosilvopastura di Indonesia, baik yang berada di Jawa

maupun di luar Jawa. Contoh praktek agrosilvopastura yang luas diketahui

adalah berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan


(forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem

Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di

Kalimantan, dan berbagai bentuk kebun pekarangan serta sistem Talun di

Jawa.

2) Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan Meskipun kita telah

mengenal agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan, tetapi seringkali

digunakan istilah teknis yang berbeda atau lebih spesifik, seperti sistem, sub-

sistem, praktek, dan teknologi (Nair, 1993).

a) Sistem agroforestri Sistem agroforestri dapat didasarkan pada komposisi

biologis serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-

ekonominya. Penggunaan istilah sistem sebenarnya bersifat umum. Ditinjau

dari komposisi biologis, contoh sistem agroforestri adalah agrisilvikultur,

silvopastura, agrosilvopastura.

b) Sub-sistem agroforestri Sub-sistem agroforestri menunjukkan hirarki yang

lebih rendah daripada sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian

dari sistem itu sendiri. Meskipun demikian, sub-sistem agroforestri memiliki

ciri-ciri yang lebih rinci dan lingkup yang lebih mendalam. Sebagai contoh

sistem agrisilvikultur masih terdiri dari beberapa sub-sistem agroforestri yang

berbeda seperti tanaman lorong (alley cropping), tumpangsari (taungya

system) dan lain-lain. Penggunaan istilah-istilah dalam sub-sistem

agroforestri yang dimaksud, tergantung bukan saja dari tipe maupun

pengaturan komponen, akan tetapi juga produknya, misalnya kayu bakar,

bahan pangan dll.


c) Praktek agroforestri Berbeda dengan sistem dan sub-sistem, maka

penggunaan istilah ‘praktek’ dalam agroforestri lebih menjurus kepada

operasional pengelolaan lahan yang khas dari agroforestri yang murni

didasarkan pada kepentingan/kebutuhan ataupun juga pengalaman dari

petani lokal atau unit manajemen yang lain, yang di dalamnya terdapat

komponen- komponen agroforestri. Praktek agroforestri yang berkembang

pada kawasan yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai sistem

agroforestri. Perlu diingat, praktek agroforestri dapat berlangsung dalam

suasana sistem yang bukan agroforestri, misalnya penanaman pohon-pohon

turi di persawahan di Jawa adalah praktek agroforestri pada sistem produksi

pertanian.

d) Teknologi agroforestri Penggunaan istilah ‘teknologi agroforestri’ adalah

inovasi atau penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistemsistem

atau praktek-praktek agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh

keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, praktek agroforestri seringkali

juga dikatakan sebagai teknologi agroforestri. Sebagai contoh, pengenalan

mikoriza atau teknologi penanganan gulma dalam upaya mengkonservasikan

lahan alang-alang (Imperata grassland) ke arah sistem agroforestri

(agrisilvikultur; sub-sistem tumpangsari) yang produktif (Murniati, 2002). Uji

coba pola manajemen pola tanam dan tahun tanam baru dalam sistem

tumpangsari pada kebun jati di beberapa tempat di Jawa Timur dan Jawa

Tengah melalui Manajemen Rejim (MR; dikembangkan oleh Prof. Hasanu


Simon dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) dapat pula dipertimbangkan

sebagai bagian dari teknologi baru agroforestri).

3) Klasifikasi berdasarkan masa perkembangannya Ditinjau dari masa

perkembangannya, terdapat dua kelompok besar agroforestri, yaitu:

a) Agroforestri tradisional/klasik (traditional/classical agroforestry) Dalam

lingkungan masyarakat lokal dijumpai berbagai bentuk praktek

pengkombinasian tanaman berkayu (pohon, perdu, palem-paleman, bambu-

bambuan, dll.) dengan tanaman pertanian dan atau peternakan. Praktek

tersebut dijumpai dalam satu unit manajemen lahan hingga pada suatu

bentang alam (landscape) dari agroekosistem pedesaan. Thaman (1988)

mendefinisikan agroforestri tradisional atau agroforestri klasik sebagai ‘setiap

sistem pertanian, di mana pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman

atau pemeliharaan tegakan/tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu,

sosial-ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem)’. Ada

juga yang menyebut agroforestri tradisional/klasik sebagai agroforestri

ortodoks (orthodox agroforestry), karena perbedaan karakter dengan yang

diperkenalkan secara modern. Agroforestri Tradisional/Klasik (Thaman, 1989)

dan Contoh-contohnya di Indonesia : Tegakan hutan alam tropis lembab,

hutan payau atau hutan pantai yang membatasi atau berada dalam mosaik

kebun atau lahan pertanian yang diberakan (dapat dijumpai di hampir seluruh

pulau di Indonesia);
 Hutan-hutan sekunder yang bersatu dengan usaha-usaha pertanian.

Sebagai contoh, sistem perladangan berpindah atau pertanian gilir-balik

tradisional

 Tegakan permanen (umumnya dikeramatkan) pohon yang memiliki manfaat

pada kebun-kebun di sekitar desa (contoh praktek-praktek kebun hutan atau

forest-gardens a.l. Repong Damar di Lampung, Parak di Sumatera Barat,

Tembawang di Kalimantan Barat, Lembo-Ladang di Kalimantan Timur;

Tenganan di Bali – lebih detil lihat Michon et al., 1986; Sardjono, 1990;

Zakaria, 1994; Suharjito, et al., 2000; De Forestra, et al. 2000); Penanaman

pepohonan pada kebun pekarangan di pusatpusat pemukiman atau sekitar

rumah tinggal. Sebagai contoh berbagai bentuk home- dan village-forest-

gardens, yang juga dapat dijumpai di hampir seluruh pulau di Indonesia –

lebih detil lihat artikel kebun pekarangan di Jawa dalam Soemarwoto, et al.,

1985a;b).

b) Agroforestri modern (modern atau introduced agroforestry) Berbagai

bentuk dan teknologi agroforestri yang dikembangkan setelah diperkenalkan

istilah agroforestri pada akhir tahun 70-an, dikategorikan sebagai agroforestri

modern. Walaupun demikian, sistem taungya (yang di Indonesia lebih

popular dengan nama sistem tumpangsari), yang pertama kali diperkenalkan

oleh Sir Dietrich Brandis (seorang rimbawan Jerman yang bekerja untuk

kerajaan Inggris) di Burma (atau Myanmar sekarang) pada pertengahan abad

XIX, dipertimbangkan sebagai cikal bakal agroforestri modern (dari aspek


struktur biofisiknya saja, filosofi taungya sebenarnya tidak sesuai dengan

agroforestri, karena taungya pada awalnya lebih berprinsip pada

pembangunan hutan tanaman dengan tenaga murah dari rakyat miskin).

Agroforestri modern umumnya hanya melihat pengkombinasian antara

tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih.

3.2 Agroforestri pada zona pesisir

Ciri utama pada zona pesisir;

a. Lahan terbatas dengan kemiringan yang tinggi, berbatu atau berpasir

serta sangat rentan terhadap erosi dan longsoran atau pergerakan

tanah jika terjadi hujan lebat, apalagi jika penutupan tanah sangat

rendah baik oleh vegetasi alami maupun vegetasi buatan.

b. Konservasi tanah, pemeliharaan ternak dan pengembangan tanaman

kelapa di kawasan pantai

c. Di kawasan pantai, tanaman kelapa mulai dikombinasikan dengan

tanaman perkebunan seperti coklat, cengkeh dan vanili tergantung

pada tingkat curah hujan. Tanaman kelapa dipadukan pula dengan

pisang dan ubi-ubian yang menjadi pola menu utama pangan

masyarakat pantai tradisional.

d. Di zona ini, pengembangan sebagian wanatani sangat tergantung di

dataran rendahnya. Kawasan ini umumnya mempunyai potensi untuk

pengembangan ternak ikan air tawar maupun campuran (untuk ikan


Bandeng). Pengembangan silvofisheri sangat potensial. Tanaman

bakau (Rhizopora sp.), biasanya menjadi andalan penguatan tambak

atau tempat kepiting dan ikan bertelur.

Di beberapa kawasan pantai, dikembangkan pula jambu mente atau

cengkeh. Perpaduan antara tanaman ini dengan tanaman pangan lain

sangat memungkinkan di tahap awal.

3.3 Sistem Agroforestry di Pesisir Timur Sumatera

3.3.1 Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems)

Sistem agrosilvopastura adalah pengombinasian komponen berkayu

(kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang

pada unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan

merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen

pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem yang dimaksud.

Pengombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk

mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen

berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people). Tidak

tertutup kemungkinan bahwa kombinasi juga didukung oleh permudaan alam

dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami mudah

diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh adalah peranan

tegakan sebagai penyedia pakan satwa liar (misal buah-buahan untuk

berbagai jenis burung), dan sebaliknya.


PEMBAHASAN

Kriteria dan Alternatif Untuk Penelusuran Aspek Sosial Pertanian

Berkelanjutan Untuk parameter mengenai aspek sosial, terdapat data

penelusuran pertanian berkelanjutan yang dilakukan di pesisir timur

sumatera. Diketahui bahwa beberapa kriteria yang mempengaruhi

keberhasilan pertanian berkelanjutan antara lain: sosial budaya, ekonomi,

teknologi pertanian, kelembagaan, dan kebijakan pemerintah. Selanjutnya

berdasarkan pendapat gabungan responden kriteria kelembagaan, diketahui

bahwa alternative penguatan kelembagaan petani di pesisir timur sumatera.

Peberdayaan kelompok tani merupakan kunci dari penguatan kelembagaan

petani.

Pemberdayaan mengandung maksud bahwa kelompok tani

memposisikan dirinya sebagai subjek pembangunan pertanian. Kelompok

tani mampu untuk mengidentifikasi dirinya sendiri, menyadari permasalahan

yang mereka hadapi, mau menolong dirinya sendiri untuk penyelesaian

masalahnya, mengetahui apa yang sebenarnya menjadi kebutuhankelompok,

dan akhirnya meningkatkan peran kelompok tani secara mandiri.


Kecenderungan sebagian kelompok tani yang ada belum optimal fungsi dan

pengelolaannya. Hal tersebut karena sebagian kelompok tani lebih

memposisikan diri sebagai objek dari program/kegiatan pembangunan

pertanian, yaitu wadah penerima bantuanbaik dari pemerintah maupun

penyandang dana lainnya. Kelembagaan petani lebih cenderung bersifat

ketergantungan dimana aktif atau tidaknya peran dan fungsi kelembagaan

bergantung kepada ada tidaknya bantuan yang diberikan.

Melalui program/kegiatan pemberdayaan kelembagaan petani

diharapkan para petani mampu mengambil inisiatif secara mandiri untuk

menyelesaikan permasalahan yang dihadapi khususnya berkaitan dengan

penerapan pertanian berkelanjutan. Bantuan dari berbagai pihak yang

diberikan benar–benar dirasakan sebagai kebutuhan kelompok dan bagian

dari perencanaan mereka untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Hal


tersebut akan menjamin keberlangsungan bantuan/kegiatan yang diberikan

karena memang dibutuhkan dan terdapat rasa memiliki oleh para petani.

Selain itu kelembagaan petani penting untuk meningkatkan perannya dalam

menjalin kerjasama saling menguntungkan dengan berbagai pihak dalam

rangka mengatasi permasalahan yang dihadapi, misalnya harga rendah

ketika terjadi over produksi diatasi dengan sistem kemitraan (Sasongko et al.

2013) Prioritas alternatif berikutnya adalah mengembangkan pengkaderan

kelompok tani/petani sadar pertanian berkelanjutan sebagai

pioneer/contoh/teladan. Program/kegiatan tersebut menjadi cukup penting

dan strategis karena petani memerlukan sosok, figur, contoh, teladan yang

berhasil telah menerapkan model pertanian berkelanjutan. Melalui proses

tersebut petani akan melihat secara langsung, belajar, menganalisa,

mempertimbangkan, dan akhirnya memutuskan. Pengenalan bentuk–bentuk

penerapan pertanian berkelanjutan melalui contoh nyata akan lebih mudah

diterima dibandingkan dengan teori di dalam ruangan. Kader–kader

petani/kelompok tani perlu terus dirintis oleh berbagai pihak, agar semakin

tumbuh subur para pelaku model–model pertanian berkelanjutan sehingga

para petani lain tidak kesulitan meniru, mencontoh, praktek–praktek pertanian

yang menerapkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan di sekitar mereka

(Sasongko et al. 2013) Prioritas alternatif selanjutnya adalah peningkatan

demplot teknologi pertanian berkelanjutan. Demplotmenjadi penting untuk

memperkenalkan teknologi pertanian berkelanjutan yang ada, bagaimana

operasionalisasinya, hasil/keuntungannya, kemudian para petani menjadi


mengetahui, yakin, dan percaya terhadapteknologi pertanian yang

diintroduksikan. Harapannya agar terjadi proses perubahan/peningkatan

pengetahuan,sikap, dan perilaku petani dalam penerapan pertanian

berkelajutan (Sasongko et al. 2013).

Keseuaian Lahan dan Aspek Ekonomi pada Agrosilvopastura Pada

review makalah ini, analisis finansial terhadap sistem agroforestri dilakukan di

pesisir dengan jangka waktu pengusahaan 20 tahun dan tingkat suku bunga

8%, di peroleh, nilai NPV > 0 (positif), dan B/C Ratio ≥ 1 dan nilai IRR≥tingkat

suku bunga (i) untuk semua bentuk penggunaan lahan, dapat dilihat pada

tabel 2. Dari data tersebut menunjukkan bahwa semua sistem agroforestri

baik yang berbentuk agrisilvikultur, silvopastura maupun agrisilvopastura

layak untuk dilaksanakan. Untuk mengamati kesesuaian lahan, yakni dengan

melihat komponen-komponen agrosilvopastura. Analisis finansial agroforestri

per hektar untuk Kriteria Agrisilvikultur Silvopastura Agrisilvopastura NPV

BCR IRR Rp. 55.374.410,- 2,2 31% Rp.84.111.784,- 1,5 38%

Rp.147.896.794,- 2,7 46%.

Sistem silvopastura diperoleh hasil tingkat kesesuaian tanaman

berkayu jati dan mahoni tergolong cukup sesuai (S2). Tanaman tahunan yaitu

pisang tingkat kesesuaian lahan tergolong cukup sesuai (S2) dan untuk

tanaman pakan ternak jenis rumput gajah memiliki tingkat kesesuaian lahan

sesuai marjinal (S3). Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk jenis tanaman

yang penggunaan lahannya berbentuk agrosilvopastura diperoleh hasil untuk

komponen tanaman berkayu jati (Tectona grandis), mahoni(Swietennia sp),


kemiri (Aleuritas moluccana), memiliki tingkat kesesuaian lahan tergolong

cukup sesuai (S2); sedangkan mangga (Mangifera indica), nangka

(Artocarpus integra), rambutan (Nephelium lappaceum), pinang (Areca

catechu) memiliki tingkat kesesuaian lahan tergolong sesuai marjinal (S3).

Selanjutnya tanaman tahunan pisang (Musa pudeca) dan kakao (Theobroma

cacao L) dan pakan ternak rumput gajah (Pennisetum purpureum), memiliki

tingkat kesesuaian lahan tergolong sesuai marjinal (S3).


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, HS, MA. Sardjono, L. Sundawati, T. Djogo, GA Wattimena dan


Widianto. 2003. Agroforestry di Indonesia. World Agroforestry
Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia.

Arnold, JEM. 1983. Economics considerations in agroforestry project.


Agroforestry System 1:299-311. Kluwer Publishers. Netherlands.

Buck, LE, JP. Lassoie, and ECM. Fernandes. (editors). 1999. Agroforestry in
sustainable agricultural systems. CRC Press. USA.

Cooper, PJ, RRB. Leakey, MR. Rao, and L. Reynolds. 1986. Agroforestry
and the migrations of land degradation in the humid and sub-humid
tropics of Africa. Exp. Agric. 32:235-290.

De Foresta, H and G. Michon. 1994. Agrforests in Sumatra, where ecology


meets economy. Agroforestry System 6(4):12-13. Kluwer
Publishers. Netherlands.

De Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon, dan WA. Jatmiko. 2000. Ketika


kebun berupa hutan: Agroforest khas Indonesia, sebuah
sumbangan masyarakat. ICRAF. Bogor, Indonesia.

Gouyon, A, H. de Foresta, and P. Levang. 1993. Does ‘jungle rubber’


deserves its name? An analysis of rubber agroforestry system in
Southeast Sumatra. Agroforestry System 22:181-206.

Hairiah, K., Widianto, S.R. Utami dan B. Lusiana (ed.).  2002. Wanulcas,


Model Simulasi Untuk Sistem Agroforestri. International Center for
Research in Agroforetry. ICRAF Southeast Asia. Bogor, Indonesia.

Huxley, P. 1999. Tropical agroforestry. Blackwell Science. Paris.

Lembaga Penelitian IPB. 1986. Rancangan rencana pola pemukiman


transmigrasi dengan usaha pokok agroforestry. Kerjasama antara
Sekretaria Jendral Deptrans dengan Lembaga Penelitian IPB.

Nair, P.K.R. 1993. An introduction to agroforestry. Kluwer Academic


Publihers in cooperation with ICRAF. Netherlands.

Nasution, L.H. dan Joyowinoto, 1995. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian
dan Dampaknya terhadap Keberlanjutan Sumberdaya Pangan.
Makalah Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya
Lahan dan Air, dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada
Pangan. PPSEP-JKII -The Ford Foundation, Bogor.

Pusat Penyuluhan Kehutanan. 1997. Pengelolaan sumberdaya lahan kering


di Indonesia. Jakarta.

Sasongko, Putra dan Purwanto dan Kismartini. 2013.Perencanaan


Pertanian Berkelanjutan Di Kecamatan Selo. Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan.

Singh, P, PS. Pathak, and MM. Roy. (editors). 1995. Agroforestry system for
sustainable land use. Science Publishers, Inc. New Delhi.

Vergara, NT. 1982. New directions in agroforestry: The potential of tropical


legume trees. Sustained outputs from legume-tree based
agroforestry system. Envronment and Policy Institute, east West
Centre, Honolulu, Hawai, 36 pp.

Watanabe, H. 1999. Handbook of agroforestry. AICAF (Assosiation for


International Cooperation of Agriculture and Forestry). Japan. 84p.

Wijayanto, N. 2001. Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan


kemasyarakatan. Studi kasus di repong damar, Pesisir Krui,
Lampung. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai