Anda di halaman 1dari 12

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Silsilah Genetik Jagung DR dan MDR

Genotip DR dan BR adalah genotip elit Unpad yang memiliki karakter

berdaya hasil tinggi, tahan hama gudang dan penyakit bulai serta memiliki

kandungan protein tinggi (Putri, et al. 2010).

Genotip-genotip DR terdiri dari 20 genotip. Genotip-genotip tersebut

dikelompokan menjadi 2, yaitu DR 1-10 merupakan hasil persilangan genotip-

genotip DMR dan QPM, sedangkan DR 11-20 merupakan hasil seleksi pedigree

dari populasi genotip DMR dan QPM (Febriani et al., 2008).

MDR merupakan genotip mutan hasil mutasi genotip-genotip DR

menggunakan sinar gamma dengan dosis 200 Gy. Perlakuan sinar gamma

dilaksanakan di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Teknologi

Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional Jakarta (Putri, et al. 2010).

2.1.2 Sistem Pertanian Agroforestri

Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang merupakan

kombinasi antara produksi pertanian, termasuk pohon buah-buahan dan atau

peternakan dengan tanaman kehutanan. Sistem agroforestri merupakan sistem

pengelolaan sumber daya yang dinamis dan berbasis ekologi, dengan memadukan

berbagai jenis pohon pada tingkat lahan (petak) pertanian maupun pada suatu

7
8

bentang lahan. Pengolahan lahan dengan sistem agroforestri bertujuan untuk

mempertahankan jumlah dan keragaman produksi lahan, sehingga berpotensi

memberikan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan bagi para pengguna lahan

(Hairiah et al. 2004).

De Foresta dan Michon (1997) mengelompokan agroforestri menjadi dua

sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks.

Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan

ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim.

Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan,

secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam

larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga

sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet,

cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau yang

bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman

semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung,

kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis

tanaman lainnya. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian

menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik

sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan

dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Selain

terdapat beraneka jenis pohon, di dalam sistem ini juga terdapat tanaman perdu,

tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah

banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan
9

fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik

hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut

sebagai Agroforest.

Pola pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri merupakan suatu

model usaha tani yang penting bagi para petani yang umumnya memiliki lahan

pertanian terbatas. Pertanian sistem agroforestri akan meningkatkan intensitas

panen yang akhirnya mampu memberikan tambahan out put baik berupa fisik

maupun nilai finansial. Agroforestri sebagai salah satu model teknologi usaha tani

semakin meningkat peranannya, terutama bagi masyarakat pedesaan yang

memiliki lahan terbatas. Pola usaha tani seperti ini memberikan kemungkinan bagi

pemilik lahan untuk meningkatkan intensitas pengambilan hasil per satuan luas

tertentu. Pola usaha tani agroforestri ini dianggap dapat mengatasi permasalahan

kehidupan petani, terutama dalam memenuhi kebutuhan subsistemnya (Senoaji,

2012).

Sistem agroforestri akan menekankan penggunaannya pada jenis-jenis

pohon serbaguna dan menentukan asosiasi antara jenis-jenis vegetasi yang

ditanam. Pohon serbaguna dalam konteks agroforestri mengandung pengertian

semua pohon atau semak yang digunakan atau dikelola untuk lebih dari satu

kegunaan produk atau jasa yang penekanannya pada aspek ekonomis dan

ekologis. Saat ini agroforestri diyakini secara luas mempunyai potensi besar

sebagai alternatif pengelolaan lahan yang utama untuk konservasi tanah dan juga

pemeliharaan kesuburan dan produktivitas lahan di daerah tropis. Keyakinan ini

didasarkan pada hipotesa yang didukung data-data ilmiah bahwa pohon dan
10

vegetasi besar lainnya dapat meningkatkan kesuburan tanah di bawahnya (Nair,

1993).

Petani dalam memilih jenis pohon untuk diterapkan pada sistem

agroforestri, akan mempertimbangkan jenis yang mempunyai keunggulan

berdasarkan biofisik tanaman. Kecepatan tumbuh tanaman menjadi pertimbangan

utama petani dalam memilih jenis pohon, karena semakin cepat tumbuh, semakin

cepat pula hasil produksinya bisa dijual.

Albizia merupakan jenis pohon yang cenderung pertumbuhannya lebih

cepat dibandingkan dengan jenis tanaman kayu lainnya, sehingga masa tebangnya

lebih pendek dan cepat menghasilkan. Keunggulan lainnya yaitu pemeliharaannya

mudah dan dapat ditanam diberbagai kondisi tanah. Pohon ini berukuran sedang

sampai besar, tinggi dapat mencapai 40 m. tidak berbanir, berwarna kelabu muda,

bulat agak lurus. Diameter bisa mencapai 100 cm, tajuk berbentuk perisai, jarang

dan selalu hijau. Kayu berwarna putih, teksturnya agak kasar, permukaannya agak

licin dan mengkilap. Hasil kayunya digunakan untuk kontruksi ringan, perabot

rumah tangga dan lain-lain.

Ciri biofisik tanaman yang ditampilkan oleh Albizia menunjukkan bahwa

tanaman tersebut bisa dijadikan salah satu alternatif dalam penerapan sistem

pertanian agroforestri karena umurnya relatif pendek. Selain itu juga mudah dalam

pemeliharaan dan dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah.


11

2.1.3 Pengaruh Intensitas Cahaya Bagi Tanaman Jagung

Respons tanaman sebagai akibat faktor lingkungan terlihat pada

penampilan tanaman (performance). Tanaman berusaha menanggapi kebutuhan

khususnya selama siklus hidupnya kalau faktor lingkungan tidak mendukung.

Tanggapan dapat berupa morfologis, fisiologis atau anatomis. Walaupun

genotipnya sama, dalam lingkungan yang berbeda penampilan dapat berbeda pula.

Energi radiasi matahari membentuk energi pereduksi, yakni fereduksin tereduksi

yang akan berperan dalam reduksi nitrit untuk dijadikan amonia. Reaksi biokimia

dari gugus amonia dengan beberapa tahap akan dihasilkan nitrogen dalam bentuk

siap diserap tanaman diantaranya NO3. Suhu yang optimum akan memperlancar

proses asimilasi nitrogen, baik yang masih berada dalam tanah maupun yang telah

sampai ke jaringan tanaman (Haryanti, 2010).

Sinar matahari mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap

tumbuhan dan makhluk lainnya di muka bumi. Cahaya berpengaruh terhadap

pertumbuhan setiap organ tumbuhan secara langsung. Sinar matahari yang

ditangkap klorofil menaikkan tingkat energi elektron-elektron yang dihasilkan

dari oksidasi air dalam proses fotosintesis. Energi yang dihasilkan dapat

digunakan tumbuhan untuk keperluan biologis atau sintesis makromolekul dan

pembelahan sel. Misalnya pembelahan pada sistem ontogenetik stomata yang

berdasarkan cara pembelahan sel induk penjaga yang berhubungan dengan arah

dinding sel yang memotong bagian tersebut dari meristemoid (Fahn, l992).

Santoso (2010) menyatakan intensitas naungan terlalu tinggi menyebabkan

cahaya berkurang, suhu terlalu rendah pertumbuhan tanaman terhambat.


12

Sebaliknya tanpa naungan, cahaya terlalu tinggi, suhu juga tinggi sehingga dapat

menekan daya kerja auksin (zat pemacu pertumbuhan).

Naungan memberikan manfaat untuk mengatur intensitas penyinaran

matahari, tinggi rendahnya suhu, kelembaban udara dan menahan angin. Siang

hari naungan berperan untuk mengurangi tingginya suhu maksimum dengan cara

menahan cahaya matahari yang diterima tanaman dan pada malam hari naungan

mengurangi turunnya suhu minimum dengan cara menghambat radiasi panas dari

bumi ke atmosfer (Dora, 2011).

Proses fotosintesa dan metabolisme suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor

luar seperti sinar matahari, suhu, ketersediaan air, hara mineral dan kondisi tempat

tumbuh. Setiap tanaman mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya

matahari. Ada tanaman yang tumbuh baik ditempat terbuka, sebaliknya ada

beberapa tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada tempat teduh/ternaungi.

Ada pula tanaman yang memerlukan intensitas cahaya yang berbeda sepanjang

periode hidupnya. Waktu masih muda memerlukan cahaya dengan intensitas

rendah dan menjelang sapihan mulai memerlukan cahaya dengan intensitas tinggi

(Basri et al., 2013).

Beberapa jenis tanaman mempunyai respons positif terhadap intensitas

cahaya tinggi dan dapat meningkatkan bobot kering tajuk dan akar secara nyata

(Setyowati, 2011). Laju fotosintesa meningkat dan bobot kering tanaman

bertambah seiring dengan semakin tinggi intensitas cahaya (Gardner et al., 1991).

Jagung adalah tanaman golongan C4 yang menghendaki pencahayaan

secara langsung, memiliki habitus tinggi, tegak, dan tidak bercabang dengan
13

kanopi yang renggang, memungkinkan tanaman ini memperoleh pencahayaan

secara langsung (Turmudi, 2002). Jagung sebagai tanaman C4 dapat

memanfaatkan cahaya matahari lebih efisien jika dibandingkan dengan jenis

tanaman C3. Intensitas cahaya yang diterima tanaman jagung, baik intensitas

maupun kualitasnya, mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Intensitas cahaya

rendah menyebabkan fotosintesis berkurang dan berkurangnya enzim fotosintetik

yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2 (Taiz dan Zeiger, 2002;

Cruz, 1997).

Tanaman jagung teradaptasi pada kondisi lingkungan dengan intensitas

cahaya matahari tinggi, dengan suhu siang dan malam tinggi, curah hujan rendah

dengan cahaya musiman tinggi disertai suhu tinggi, serta kesuburan tanah yang

relatif rendah. Salah satu sifat tanaman jagung sebagai tanaman C 4 antara lain

daun mempunyai laju fotosintesis lebih efisien dibandingkan tanaman tipe lain,

Fotorespirasi rendah dan efisien dalam penggunaan air (Salisbury dan Ross,

1995).

Tanaman yang tumbuh pada lingkungan berintensitas cahaya rendah

memiliki ruas batang tanaman lebih panjang tersusun dari sel-sel berdinding tipis,

ruang antar sel lebih besar, jaringan pengangkut dan penguat lebih sedikit. Daun

berukuran lebih besar, lebih tipis, sel epidermis tipis, tetapi jumlah daun lebih

sedikit, ruang antar sel lebih banyak. Percobaan dengan daun iris yang

ditumbuhkan pada intensitas yang berbeda-beda menunjukkan bahwa jumlah

stomata berkurang dengan menurunnya intensitas cahaya. Stomata tersebar

dengan jarak yang lebih kurang sama, jarak melebarnya khas bagi spesies
14

tumbuhan tertentu dan sisi daun. Beberapa teori stomata adalah: 1. terhambatnya

pertambahan stomata karena differensiasi yang telah ada, 2. pembentukan stomata

bersama dengan sel-sel yang mengelilinginya sebagai bagian dari pola

perkembangan yang sama, 3. induksi pola stomata oleh pola jaringan dasar yaitu

mesofil (Fahn, l992)

Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menurunkan laju fotosintesis

hal ini disebabkan adanya fotooksidasi klorofil yang akan membatasi fotosintesis

dan menyebabkan cadangan makanan cenderung lebih banyak dipakai daripada

disimpan. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan kelembaban udara

berkurang, sehingga proses transpirasi berlangsung lebih cepat. Respons untuk

beradaptasi merupakan pengendali yang halus atas resistansi terhadap kerusakan

struktur klorofil daun. Resistensi itu terjadi mungkin berbalik (biasanya bersifat

fisiologis) atau tidak berbalik (biasanya bersifat morfologis).

Penghalangan cahaya matahari oleh para-para atau naungan akan

mengurangi laju fotosintesis. Radiasi sinar matahari dapat memberikan efek

tertentu pada tumbuhan bila cahaya tersebut diabsorbsi. Secara fisiologis cahaya

mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara

langsung melalui fotosintesis dan secara tidak langsung melalui pertumbuhan dan

perkembangan tanaman akibat respons metabolik yang langsung (Fitter dan Hay,

1991).

Toleransi genotip tanaman terhadap intensitas cahaya rendah ditentukan

berdasarkan nilai indeks toleransi terhadap cekaman tersebut. Genotip toleran

adalah genotip dengan nilai indeks toleransi tinggi, semakin tinggi nilai indeks
15

toleransi suatu genotip, semakin tinggi potensi hasil dan toleransi genotip tersebut

terhadap cekaman intensitas cahaya rendah (Widodo et al. 2012).

2.2 Kerangka Pemikiran

Purnomo (2005) megungkapkan bahwa verifikasi pengukuran cahaya di

atas tajuk tanaman jagung menunjukkan fraksi radiasi berkurang sebanding

dengan peningkatan naungan yaitu secara rata-rata 75%, 67% dan 44% dari

cahaya penuh dengan naungan paranet 20%, 40% dan 60%. Intensitas cahaya di

bawah tegakan karet umur dua dan tiga tahun setara dengan intensitas cahaya di

bawah paranet 25% dan 50%, sedangkan pada tegakan karet berumur empat tahun

sudah melebihi intensitas cahaya dalam paranet 75% (Chozin et al., 1998).

Respons tumbuhan terhadap intensitas cahaya rendah berbeda antara

tumbuhan yang cocok ternaungi dengan tumbuhan yang bisa tumbuh pada kondisi

tidak ternaungi. Tumbuhan cocok ternaungi menunjukkan laju fotosintesis yang

sangat rendah pada intensitas cahaya tinggi. Laju fotosintesis tumbuhan cocok

ternaungi mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya yang lebih rendah, laju

fotosintesis lebih tinggi pada intensitas cahaya yang sangat rendah, titik

kompensasi cahaya lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka, sehingga

tumbuhan cocok ternaungi dapat bertahan hidup pada kondisi ternaungi (Lakitan,

1993).

Indeks luas daun (ILD) varietas Pioneer 11 semakin rendah seiring dengan

peningkatan naungan, sedangkan ILD varietas Kodok dan Kretek tidak jauh

berbeda. Luas daun spesifik (LDS) menunjukkan interaksi terjadi antara naungan
16

dan varietas pada tanaman jagung. Luas daun spesifik varietas Pioneer 11

ternaungi lebih rendah dari pada tanpa naungan sebaliknya varietas Kodok dan

Kretek, naungan meningkatkan LDS khususnya naungan 40% dan 60%. Makin

rendah intensitas cahaya, laju fotosintesis jagung makin rendah (Purnomo, 2005).

Tingkat naungan yang rapat mengakibatkan indeks luas daun semakin rendah, hal

ini akan berdampak pada penurunan laju fotosintesis, laju asimilasi bersih dan laju

pertumbuhan tanaman jagung (Kiswanto et al., 2012).

Johannes et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

antara luas daun dan bobot kering jagung di bawah naungan pohon kelapa umur 5

tahun dan umur 50 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan irradiasi yang

diserap oleh tanaman jagung yang tidak maksimum pada tanaman jagung di lokasi

kelapa 5 tahun dibandingkan dengan tanaman jagung di lokasi kelapa 50 tahun

dan tanaman jagung pada daerah terbuka.

Presentase sinar matahari 55% di bawah tegakan pohon kelapa

menyebabkan produksi jagung di bawah tegakan kelapa lebih rendah

dibandingkan dengan penanaman pada lahan terbuka (Barus, 2013). Cahaya

mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan ruas, terutama cahaya

merah (660 nm) dan merah jauh (730 nm) (Gardner et al., 1991). Tanaman Jagung

yang ternaungi akan terhambat pertumbuhannya yakni batang jagung menjadi

kurus dan tongkolnya ringan bahkan tidak terbentuk buah sehingga produksinya

cenderung menurun (Johanes et al. 2010).

Selain faktor lingkungan, faktor genotip berpengaruh terhadap respons

tanaman. Genotip toleran memiliki kemampuan aktivitas fotosintesis relatif tinggi


17

pada kondisi cahaya rendah sehingga dapat menghasilkan fotosintat yang

memadai untuk pertumbuhan tanaman (Sasmita et al., 2006). Hidema et al. (1992)

mengungkapkan genotip padi toleran memiliki karaktersitik fisiologi daun yang

ditunjukkan diantaranya oleh peningkatan kandungan klorofil yang lebih besar

dibanding yang peka pada kondisi ternaungi. Peningkatan klorofil tersebut

berkaitan dengan meningkatnya protein klorofil a/b pada light harvesting complex

II sehingga mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya.

Umur berbunga jagung akan lebih cepat pada kondisi lahan dengan cahaya

yang leluasa masuk kedalam pertanaman jagung secara langsung menyebabkan

pembungaan tanaman menjadi lebih cepat. Perubahan tunas apikal atau aksilar

dari vegetatif menjadi tunas bunga merupakan hasil dari aktivitas hormonal yang

berlangsung pada tanaman tersebut yang umumnya dirangsang oleh kondisi

lingkungan tertentu misalnya suhu dan perubahan panjang hari (lama penyinaran).

Kepekaan tanaman terhadap rangsangan faktor luar terus bertambah dengan

bertambahnya umur tanaman (Bunyamin dan Aqil, 2009).

Tanaman jagung mempunyai laju fotosintesis yang tinggi dan tidak jenuh

cahaya untuk fotosintesis meskipun dalam cahaya matahari penuh (Goldsworthy

dan Fisher, 1992), karena itu semakin tinggi intensitas penyinaran semakin tinggi

laju produksi bahan kering dan daya hasil tanaman. Intensitas cahaya yang rendah

akan mengurangi fotosintesis daun, bahan kering, jumlah biji, jumlah akar dan

besar batang jagung (Bunyamin dan Aqil, 2009).

Genotip elit DR dan MDR merupakan materi genetik yang dikembangkan

oleh Ruswandi (Ruswandi et al., 2007; Febriani et al., 2008; Ruswandi et al.,
18

2014a; Ruswandi et al., 2014b) di Laboratorium Pemuliaan Tanaman Faperta

Unpad. Genotip-genotip tersebut memiliki karakteristik unggul seperti resisten

terhadap penyakit bulai, hawar pelepah, karat daun, dan toleran kekeringan.

Genotip yang resisten terhadap penyakit bulai, hawar pelepah dan karat

daun antara lain DR 7, DR 8, DR 10, dan DR 18 ( Nevly dan Ruswandi, 2012).

Genotip elit MDR yang memiliki karakterisitik toleran terhadap cekaman

kekeringan seperti MDR 16.1.1 dan MDR 18.2.1 (Ruswandi et al. 2014b).

Fernandez (1992) mengungkapkan genotip toleran dapat diperoleh dengan

seleksi berdasarkan stress tolerance index (STI, indeks toleransi terhadap

cekaman), yaitu dengan membandingkan hasil pada kondisi cekaman dengan hasil

pada kondisi normal terhadap hasil rata-rata pada kondisi normal. Tanaman

toleran didefiniskan sebagai tanaman yang berdaya hasil tinggi pada kondisi

lingkungan bercekaman, mendekati, atau sama baiknya serta lebih tinggi dari hasil

rata-rata pada kondisi tidak bercekaman.

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis yang dapat

diambil adalah sebagai berikut :

1) Terdapat genotip DR dan MDR jagung Unpad toleran naungan di bawah

tegakan Albizia berdasarkan nilai indeks toleransi terhadap cekaman dengan

hasil tinggi.

2) Terdapat perbedaan karakter morfofisiologi genotip jagung Unpad terseleksi

yang toleran pada taraf naungan 0%, 55%, 65% dan 85%.

Anda mungkin juga menyukai