Oleh :
Nama
NIM
: 155040201111100
Kelas
:Q
Asisten
: Edi Murjani
Prodi
: Agroekoteknologi
1. PENDAHULUAN
(tumpang sari).
Mengetahui perbedaan tumbuh dan perbedaan hasil antara pola monokultur
dan tumpangsari.
Mengetahui pola tanam mana yang lebih efektif digunakan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian tanam
Tanam adalah menempatkan bahan tanam berupa benih atau bibit pada media
tanam baik media tanah maupun media bukan tanah dalam suatu bentuk pola tanam
(Vincent, 1996).
Tanam adalah menanam sesuatu yang bisa hidup yang disesuaikan dengan
daerah kondisi dan ligkungan serta keadaan sehingga dapat menghasil kan sesuatu
yang menguntungkan minimal bagi pribadi yang menanam. (Setjanata, 1983).
Tanam adalah menempatkan tanaman berupa benih atau bibit pada media
tanah maupun selain tanah dalam suatu bentuk pola tanam (Tambunan, 2011).
relatif mudah karena tanaman yang ditanam maupun yang dipelihara hanya satu jenis.
Namun, di sisi lain, Kelemahan sistem ini adalah tanaman relatif mudah terserang
hama maupun penyakit (Setjanata, 1983).
Kelebihan sistem ini yaitu teknis budidayanya relatif mudah karena tanaman
yang ditanam maupun yang dipelihara hanya satu jenis. Selain itu, Monokultur
menjadikan penggunaan lahan efisien karena memungkinkan perawatan dan
pemanenan secara cepat dengan bantuan mesin pertanian dan menekan biaya tenaga
kerja
karena
wajah
lahan
menjadi
seragam.
Namun, di sisi lain, Kelemahan sistem ini adalah tanaman relatif mudah terserang
hama maupun penyakit dan keseragaman kultivar mempercepat penyebaran
organisme pengganggu tanaman (OPT, seperti hama dan penyakit tanaman)
(Tambunan dkk. 2011).
Namun, di sisi lain, Kelemahan system ini adalah tanaman relatif mudah
terserang hama maupun penyakit dan pola tanam monokultur adalah pola tanam
monokultur memiliki pertumbuhan dan hasil yang lebih besar daripada pola tanam
lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya persaingan antar tanaman dalam
memperebutkan unsur hara maupun sinar matahari, akan tetapi pola tanam lainnya
lebih efisien dalam penggunaan lahankarena nilai LER lebih dari 1 (Setjanata, 1983).
2.3.2 Pola tanam tumpangsari
Tumpangsari merupakan salah satu jenis pola tanam yang termasuk jenis
polikultur. Polikultur adalah penanaman serentak dua jenis tanaman atau lebih dalam
barisan berseling-seling pada sebidang tanah. Kelebihan dari pola tanam ini salah
satunya yaitu dapat mengurangi serangan OPT (pemantauan populasi hama), karena
tanaman yang satu dapat mengurangi serangan OPT lainnya. Misalnya bawang daun
dapat mengusir hama aphids dan ulat pada tanaman kubis karena mengeluarkan bau
allicin. Sedangkan kekurangannya yaitu terjadi persaingan unsur hara antar tanaman
(Semeru, 1995).
Menurut Setiadi (1993), ada beberapa macam pola tanam tumpangsari yaitu:
1. Mixed cropping
Merupakan penanaman jenis tanaman campuran yang ditanam pada lahan yang
sama, pada waktu bersamaan dengan jarak interval waktu tanam yang singkat dan
pengaturan jarak tanam yang sudah ditetapkan dan populasi didalamnya tersusun rapi.
Sistem ini dapat mengatur lingkungan yang tidak stabil dan lahan yang variable dan
menekan terhadap kegagalan panen total.
2. Relax cropping
Sistem polatanam dengan penanaman 2 atau lebih tanaman pada tanaman
tahunan. Dimana tanaman yang memiliki unsur lebih panjang ditanam pada
penanaman pertama sedangkan tanaman kedua ditanam setelah tanam an pertama
berkembang atau mendekati panen.
3. Strip cropping
Sistem format pola tanam dengan penanaman secara pola baris sejajar rapi dan
konservasi tanah dimana pengaturan jarak tanamnya sudah ditetapkan dan pada
format satu baris terdiri dari satu jenis tanaman dari berbagai jenis tanaman.
4. Pro intercropping
Penanaman dua jenis tanaman atau lebih dengan cara bersamaan dimana
terdapat satu baris tanaman lain yang teratur letak dan jaraknya diantara tanaman
yang ada.
Menurut Kumala sari (2012) keuntungan sistem pola tanam tumpang sari yaitu:
1. Efisiensi tenaga lebih mudah dicapai karena persiapan tanam, pengerjaan tanah,
pemeliharaan, pemupukan dan pemungutannya lebih mudah dimekanisir.
2. Banyaknya tanaman per hektar mudah diawasi dengan mengatur jarak diantara dan
didalam barisan, Menghsilkan produksi lebih banyak untuk di jual ke pasar.
3. Perhatian lebih dapat di curahkan untuk tiap jenis tanaman sehingga tanaman yang
ditanam dapat dicocokkan dengan iklim, kesuburan dan tekstur tanah.
4.
Pada pola tanam tumpangsari, tidak selalu tanaman yang menjadi tanaman sela,
memiliki permintaan yang tinggi. Sedangkan, untuk memilih tanaman sela yang
cocok ditumpangsarikan dengan tanaman utama, merupakan usaha yang tidak mudah
karena diperlukan wawasan yang lebih luaslagi. Maka dari itu, diperlukan strategi
pemasaran yang tepat agar hasil dari tanaman sela tersebut dapat mendatangkan
keuntungan pula bagi petani.
d) Memerlukan tambahan biaya dan perlakuan
Untuk dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu
diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh di antaranya
ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar matahari dan hama penyakit. Penentuan jenis
tanaman yang akan ditumpangsari dan saat penanaman sebaiknya disesuaikan dengan
ketersediaan air yang ada selama pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh
pertumbuhan dan produksi secara optimal. Kesuburan tanah mutlak diperlukan, hal
ini dimaksudkan untuk menghindar persiangan (penyerapan hara dan air) pada satu
petak lahan antar tanaman.
5. Pemupukan
Berdasarkan hasil penelitian, takaran pupuk untuk tanaman jagung di
Lampung berdasarkan target hasil adalah 350-400 kg urea/ha, 100-150 kg SP-36/ha,
dan 100-150 kg KCl/ha.
6. Penyiangan
Penyiangan dilakukan dua kali selama masa pertumbuhan tanaman jagung.
Penyiangan pertama pada umur 14-20 Hari sesudah tanam dengan cangkul atau bajak
sekaligus bersamaan dengan pembumbunan. Penyiangan kedua dilakukan tergantung
pada perkembangan gulma (rumput). Penyiangan kedua dapat dilakukan dengan cara
manual seperti pada penyiangan pertama atau menggunakan herbisida kontak seperti
Gramoxon atau Bravoxone 276 SL atau Noxone 297 AAS. Pada saat menyemprot
nozzle diberi pelindung plastik berbentuk corong agar tidak mengenai daun jagung.
7. Pengendalian Hama dan Penyakit
Penyakit yang banyak dijumpai pada tanaman jagung adalah penyakit bulai
dan jamur (Fusarium sp). Pengendalian penyakit bulai dengan perlakuan benih, 1 kg
benih dicampur dengan metalaksis (Ridhomil atau Saromil) 2 gr yang dilarutkan
dalam 7,5-10 ml air. Sementara itu untuk jamur (Fusarium) dapat disemprot dengan
Fungisida (Dithane M-45) dengan dosis 45 gr / tank isi 15 liter. Penyemprotan
dilakukan pada bagian tanaman di bawah tongkol. Ini dilakukan sesaat setelah ada
gejala infeksi jamur. Dapat juga dilakukan dengan cara membuang daun bagian
bawah tongkol dengan ketentuan biji tongkol sudah terisi sempurna dan biji sudah
keras.
8. Pengairan (Pada musim kemarau)
Pengairan diperlukan bila musim kemarau pada fasefase (umur) pertumbuhan,
15 hst, 30 hst, 45 hst, 60 hst, dan 75 hst. Pada fase atau umur tersebut tanaman jagung
Cangkul
Tugal
Tali Rafia
Patokan
Meteran
Spidol Marker
Gunting
Kamera
3.1.2 Bahan
1. Benih jagung
2. Benih kedelai
3. Urea, KCl, SP36
Lubang tanam dibuat sesuai dengan jarak tanam yang digunakan dari rafia
ng (pada lahan tumpangsari), diantara tanaman dalam 1 bedeng ditanam benih kedelai. Dan penanam
5 mst
57.1
24.2
Dari data diatas terlihat rata-rata tinggi tanaman jagung terus meningkat
pada pola tanam monokultur maupun pola tanam tumpang sari.Perubahan yang
sangat signifikan dapat dilihat diantara 3 mst hinga 4 mst yaitu dapat dilihat
bahwa pertambahan
meningkat cukup tinggi, sedangkan pada pola tanam tumpang sari perubahan
signifikan dapat dilihat diantara 4 mst hingga 5 mst. Pada pola tanam
monokultur rata-rata tinggi tanaman jagung lebih tinggi yaitu dengan hasil akhir
pada 5 mst adalah rata-rata tingi tanaman jagung yaitu 57,1 sedangkan jika
dibandingkan dengan pola tanam monokultur hasil akhir pada 5 mst adalah
tinggi rata-rata tanaman jagung yaitu 24,2 cm. berikut adalah grafik
60
50
40
Tinggi Tanaman (cm)
30
Monokultur
20
Tumpang Sari
10
0
2
5 mst
7.9
6.3
daun
tanaman
jagung
pada
pola
tanam
monokultur
Monokultur
Tumpang Sari
4.2 Pembahasan
4.2.1 Tinggi tanaman jagung
Dari data yang telah diperoleh pada saat pegamatan bahwa jagung yang
mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu dapat dilihat diantara 3 mst
hinga 4 mst yaitu dapat dilihat bahwa pertambahan tinggi tanaman jagung pada pola
tanam monokultur meningkat cukup tinggi, sedangkan pada pola tanam tumpang sari
perubahan signifikan dapat dilihat diantara 4 mst hingga 5 mst.. Menurut Dwiyanti
(2005) Budidaya jagung manis tidak akan maksimal apabila kebutuhan hara tidak
tercukupi. tanaman jagung memerlukan unsur nitrogen (N) dalam jumlah besar.
Namun pemberian pupuk harus memperhatikan keseimbangan antara nitrogen,
kalium (K) dan pospat (P).
Hasil diatas menunjukkan bahwa setiap minggu tanaman
jagung
mengalami
pertumbuhan
yang
baik.
Namun,
jika
(1993) dalam Suwarto (2005) pada pola tanam tumpang sari ada
persaingan antar kedua spesies atau antarspesies tanaman dalam
mendapatkan faktor tumbuh.
4.2.2 Jumlah daun tanaman jagung
Berdsarkan hasil pengamatan yang telah dilakukann dari data yang dapat
bahwa jumalah daun setiap sampel tanaman jagung mengalami perkembangan
yang berbeda-beda dimana pada akhir pengamatan jumlah daun rata-rata jumlah
daun pada pola tanam monokultur rata-rata jumlah daun tanaman jagung lebih
banyak yaitu pada akhir mst (5 mst) rata-rata jumlah daun sebanyak 7,9 helai ,
sedangkan pada pola tanam monokultur akhir mst (5 mst) rata-rata jumlah daun
sebanyak 6,3 helai. Jagung dapat ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah
sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 m dpl.
Daerah dengan ketinggian optimum antara 0-600 m dpl merupakan ketinggian
yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung.( Erida, G. dan Hasanuddin. 1996).
Pada pola tanam monokultur, jumlah daun pada tanaman jagung mengalami
kenaikan setiap minggunya. Pada pola tanam tumpang saripun juga mengalami
kenaikan pada jumlah daun setiap minggunya. Pertambahan jumlah daun pada
pola tanam monokultur dan tumpang sari lebih banyak pada pola tanam
monokultur. Hal tersebut terjadi karena adanya kompetisi dalam memperebutkan
unsur hara pada pola tanam tumpang sari. Menurut Kroppf dan Lotz
(1993) dalam Suwarto (2005) pada pola tanam tumpang sari
ada persaingan antar kedua spesies atau antarspesies tanaman
dalam
mendapatkan
faktor
tumbuh.
Pada
ubi
jalar
juga
5. KESIMPULAN
Pola tanam merupakan susunan tanaman yang diusahakan dalam satu satuan
luas pada satu tahun. Dengan jarak tanam yang dapat dihitung dan diperkirakan dapat
membantu kegiatan proses budidaya. Ada beberapa macam pola tanam, diantaranya
adalah monokultur dan tumpangsari dimana dari kedua sistem tersebut meiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing karena dalam pemilihan pola tanam harus
mempertimbangkan dan mengetahui syarat-syarat tumbuh tanaman. Maka dari itu
berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa ssitem tanam tumpangsari
lebih baik dibandingkan dengan sistem tanam monokultur selain dapat menekan
resurgensi hama serta dapat meningkatkan hasil produksi pertanian.
Dari hasil praktikum, juga dapat disimpulkan bahwa pola tanam monokultur dan
tumpang sari pada tanaman jagung memberikan pengaruh yang berbeda
pada
pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun. Pada tanaman jagung yang ditanam
mengunakan pola monokultur jumlah rata-rata tinggi tanaman dan rata-rata jumlah
daun lebih tingi dibandingkan tanaman jagung yang ditanamn dengan pola tanam
tumpang sari. Namun, tanaman dengan tumpang sari akan menguntungkan dari segi
penggunaan lahan dan hasil produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Acquaah, G. 2005. Horticulture: Principles and Practices. Marcel Dekker, Inc. New
York
Beets, W,C. 1982. Multiple cropping and tropical faring system growth pusb. Co. Ltd.
Aldersho
Buckman, Harry O and Brandy, Nile C. 1969. The Nature and Properties of Soils, 7th
Edn., The Macmillan Company, p 486-487
Campbell, V.A. 2002. Biology. Jakarta: Erlangga
Chairumansyah. 2010. Keuntungan Penggunaan Mulsa Plastik.
http://binatani.blogspot.com/2010/03/keuntungan-penggunaan-mulsaplastik.html. Diakses pada tanggal 2 Juni 2013
Cunningham, Sally Jean.2000.Great Garden Companion. USA: St. Martins Press.
Dwiyanti,S. 2005. Respon Pengaturan Ketebalan Mulsa Jerami Padi Dan Jumlah
Pemberian Air Pada Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Kacang Hijau. Skripsi.
FP-UB (unpublished).
Erida, G. dan Hasanuddin. 1996. Penentuan Periode Kritis Tanaman Kedelai (Glycine
max ) Terhadap Kompetisi Gulma. Pros. Konf. 13 HIGI : 14 18.
Lakitan. 1995. pengaruh jenis mulsa dan konsentrasi pupuk organik cair super bionik
terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah (allium ascalonicum l).
http://jurnalfloratek.wordpress.com/tag/mulsa/. Diakses pada tanggal 2 Juni
2013
Martoni, A. 2007. Pengaruh Ketebalan Mulsa Jerami Padi Sebagai Pengendali Gulma
Pada Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai (Glycine max l). Skripsi. FP-UB
(unpublished).
Novitan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta: Agromedia Pustaka
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pengamatan Tinggi Tanaman Jagung Monokultur
Samp
el
Tana
man 1
Tana
man 2
Tana
man 3
Tana
man 4
Tana
man 5
Tana
man 6
Tana
man 7
Tana
man 8
Tinggi Tanaman ( cm )
2
3
4
mst
mst
mst
8
2
4
6
1
9
2
4
6
4
7
2
4
3
5
7
2
4
1
0
12
2
4
6
1
12
2
4
5
2
13
2
3
4
8
8
1
3
5
4
5
mst
6
0
6
0
6
7
4
9
5
4
6
2
6
0
4
5
Jumlah Daun
2
3
4
mst
mst
mst
6
7
8
5
mst
10
an 1
Tanam
Tanam
Tanam
Tanam
Tanam
Tanam
an 2
9
10
an 3
an 4
an 5
an 6
an 7
Tanam
an 8
Tinggi Tanaman ( cm )
2 mst
3 mst
4 mst
5 mst
Tanaman
1
4,5
5,5
15
Tanaman
2
4,5
8,5
19
Tanaman
3
11
21,5
Tanaman
4
4,8
8,5
13
23
Tanaman
5
4,5
5,5
18,5
Tanaman
6
10
20
35
Tanaman
7
17
Tanaman
8
11
15
25
45
Jumlah Daun
2 mst
3 mst
4 mst
5 mst
Tanaman 1
Tanaman 2
Tanaman 3
Tanaman 4
Tanaman 5
Tanaman 6
Tanaman 7
Tanaman 8