Anda di halaman 1dari 92

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM AGROKLIMATOLOGI

Disusun Oleh:

Golongan A2

Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Surabaya

2019
Nama Anggota Golongan A2

1. Imroatul Fauziah (19025010023)


2. Dwi Lestari (19025010024)
3. Dido Ari Widodo (19025010025)
4. Daffa Wildanu A. P. (19025010027)
5. Serlia Nur Abifah (19025010028)
6. Dede Angelina Yulifada (19025010029)
7. Aryo Renanda Atmaja (19025010030)
8. Sulis Andriani (19025010031)
9. Ignatia Regita Wijaya (19025010032)
10. Ayu Fatmawati (19025010033)
11. Faradila Amir (19025010035)
12. Nanda Defi Anita (19025010026)
13. Muhammad Luthfi Charismanda (19025010034)
14. U’ud Uda Marlina (19025010036)
15. Yessy Pristika Efendy (19025010037)
16. Moh. Rizkhulloh Fatqi (19025010038)
17. Agus Mohammad Jarir (19025010039)
18. Dian Ajeng Safitri (19025010040)
19. Hanis Prawestri (19025010041)
20. Febrianti Kusuma Wardhani (19025010042)
21. Tri Yuli Anita (19025010043)
22. Ken Ragil Sekararum (19025010044)
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran ALLAH SWT. Yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-NYA yang telah memberikan banyak kesempatan, sehingga
kami dapat menyelesaikan Laporan Resmi Agrolklimatologi dengan baik dan
benar.Laporan ini disusun berdasarkan pengalaman dan data–data yang kami
peroleh selama melaksanakan praktikum ini guna melengkapi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan praktikum agroklimatologi semester satu
Agroteknologi, Fakultas Pertanian, UPN “Veteran” Jawa Timur.

Dalam penyusunan laporan resmi ini, kami menyadari bahwa selesainya


lapoan ini tidak terlepas dari dukungan, semangat, serta bimbingan dari berbagai
pihak, baik bersifat moril maupun material. Oleh karena itu, kami ingin
menyampaikan ucapan terima kasih sebanyak – banyaknya antara lain kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberi kami kesehatan dan kelancaran
disaat praktikum biologi berlangsung.

2. Kedua Orang Tua kami tercinta, yang senantiasa mendukung selama magang
berlangsung.

3.Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MMT selaku Rektor UPN “Veteran” Jawa
Timur.

4. Ibu Dr. Ir. Nora Agustien K., MP selaku Dekan Fakultas Pertanian UPN
“Veteran” Jawa Timur.

5. Ibu Dr. Ir. Makhziah, MP selaku Dosen Pembimbing Praktikum


Agroklimatologi Golongan A2, Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa
Timur.

6. Kak Nella Oktavianty Sugiharto selaku Asisten Laboratorium Praktikum


Agroklimatologi Golongan A2, Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa
Timur.

i
7. Teman – teman kuliah dan semua pihak bersangkutan yang tidak bisa kami
sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu kami dalam pelaksanaan
praktikum dan penyelesaian laporan ini.

Kami akui bahwa penyusunan laporan ini sangat jauh dari kata sempurna, tapi
kami berharap laporan ini telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Kami
mohon maaf sebanyak – banyaknya bila ada kesalahan dalam pemilihan kata –
kata, penyebutan gelar dan yang lain.

Hormat Kami,

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
I. PENGUKURAN LAMA PENYINARAN MATAHARI 1
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3


BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM 5
3.1 Waktu dan Tempat 5

3.2 Alat dan Bahan 5

3.2.1 Alat 5
3.2.2 Bahan 5
3.3 Cara Kerja 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 7


4.1 Hasil Pengamatan 7

4.2 Pembahasan 7

BAB V PENUTUP 10
5.1 Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11
II. PENGUKURAN SUHU TANAH DAN SUHU UDARA 13
BAB I PENDAHULUAN 14
1.1 Latar Belakang 14

1.2 Tujuan 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16


BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM 18
3.1 Waktu dan Tempat 18

iii
3.2 Alat dan Bahan 18

3.2.1 Alat 18
3.2.2 Bahan 18
3.3 Cara Kerja 18

3.3.1 Pengukuran Suhu Tanah 18


3.3.2 Pengukuran Suhu Udara 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20

4.1 Hasil Pengamatan 20

4.2 Pembahasan 21

BAB V PENUTUP 22
5.1 Kesimpulan 22
DAFTAR PUSTAKA 23
III. PENGUKURAN KELEMBABAN NISBI 24
BAB I PENDAHULUAN 25
1.1 Latar Belakang 25

1.2 Tujuan 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 27


BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM 29

3.1 Waktu dan Tempat 29

3.2 Alat dan Bahan 29

3.2.1 Alat 29
3.2.2 Bahan 29
3.3 Cara Kerja 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 30

4.1 Hasil Pengamatan 30

4.1.1 Hasil Perhitungan 30

4.2 Pembahasan 31

BAB V PENUTUP 32

iv
5.1 Kesimpulan 32
DAFTAR PUSTAKA 33
IV. PENGUKURAN CURAH HUJAN 34
BAB I PENDAHULUAN 35
1.1 Latar Belakang 35

1.2 Tujuan 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 37


BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM 40

3.1 Waktu dan Tempat 40

3.2 Alat dan Bahan 40

3.2.1 Alat 40
3.2.2 Bahan 40
3.3 Cara Kerja 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 42

4.1 Hasil Pengamatan .42

4.1.1 Hasil Perhitungan 42

4.2 Pembahasan 43

BAB V PENUTUP 46
5.1 Kesimpulan 46
DAFTAR PUSTAKA 47
V. PENGUKURAN EVAPORASI 48
BAB I PENDAHULUAN 49
1.1 Latar Belakang 49

1.2 Tujuan 49

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 50


BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM 52

3.1 Waktu dan Tempat 52

3.2 Alat dan Bahan 52

3.2.1 Alat 52

v
3.2.2 Bahan 52
3.3 Cara Kerja 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 53

4.1 Hasil Pengamatan 53

4.2 Pembahasan 53

BAB V PENUTUP 55
5.1 Kesimpulan 55
DAFTAR PUSTAKA 56
VI. PENGUKURAN KECEPATAN ANGIN 57
BAB I PENDAHULUAN 58
1.1 Latar Belakang 58

1.2 Tujuan 59

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 60


BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM 62

3.1 Waktu dan Tempat 62

3.2 Alat dan Bahan 62

3.2.1 Alat 62
3.2.2 Bahan 62
3.3 Cara Kerja 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 62

4.1 Hasil Pengamatan 63

4.2 Pembahasan 64

BAB V PENUTUP 66
5.1 Kesimpulan 66
DAFTAR PUSTAKA 67
VII. PENENTUAN KLASIFIKASI IKLIM DI INDONESIA 68
BAB I PENDAHULUAN 69
1.1 Latar Belakang 69

1.2 Tujuan 70

vi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 71
Bab III METODOLOGI PRAKTIKUM 73

3.1 Waktu dan Tempat 73

3.2 Alat dan Bahan 73

3.2.1 Alat 73
3.2.2 Bahan 73
3.3 Cara Kerja 73

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 75

4.1 Hasil Pengamatan 75

4.2 Pembahasan 76

BAB V PENUTUP 79
5.1 Kesimpulan 79
DAFTAR PUSTAKA 80

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Lama Penyinaran Matahari 7

Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Suhu Tanah dan Suhu Udara 20

Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Kelembaban Nisbi 30

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Pengukuran Curah Hujan 42

Tabel 4.2 Kriteria Hujan Standar Internasional 45

Tabel 5.1 Hasil Pengamatan Pengukuran Evaporasi 53

Tabel 6.1 Hasil Pengamatan Pengukuran Kecepatan Angin 63

Tabel 7.1 Data Curah Hujan Daerah Banyuwangi 75

Tabel 7.2 Data Menurut Schmidt Ferguson 75

Tabel 7.3 Data Menurut Oldeman 76

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kertas Pias 7

Gambar 2.1 Hasil Suhu Tanah 20

Gambar 2.2 Hasil Suhu Udara 20

Gambar 3.1 Termometer Bola Basah dan Bola Kering 30

Gambar 4.1 Gelas Ukur 4

Gambar 6.1 Hasil Kecepatan Angin 1 m 63

Gambar 6.2 Hasil Kecepatan Angin 1,5 m 63

Gambar 6.3 Hasil Kecepatan Angin 2 m 63

Gambar 6.4 Hasil Kecepatan Angin 2,5 m 63

ix
MATERI I PENGUKURAN LAMA
PENYINARAN MATAHARI

x
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lama penyinaran matahari merupakan satu dari beberapa unsur


klimatologi. Lama penyinaran matahari atau durasi penyinaran matahari
(Periodisitas) adalah lamanya matahari bersinar cerah pada permukaan bumi yang
dihitung mulai dari matahari terbit hingga tenggelam. Besar lamanya penyinaran
matahari ditulis dalam satuan jam, nilai persepuluhan, atau dalam satuan persen
terhadap panjang hari maksimum.

Pengukuran lama penyinaran matahari di Indonesia dilakukan dengan


menggunakan alat yaitu cambell stokes dan kertas pias. Cambell stokes terdiri dari
bola pejal terbuat dari bahan gelas dengan diameter 4 inchi yang dipasangkan
pada kedudukannya sehingga sinar matahari dapat difokuskan ke arah kertas pias
dengan tajam. Kertas pias adalah kartu berskala sebagai alat perekam radiasi
matahari.

Pembacaan data dihasilkan oleh suatu alat pengukur cuaca disebut dengan
pengamatan cuaca. Berdasarkan petunjuk dari badan meteorologi dan geofisika,
pembacaan data dilakukan setiap hari pada waktu yang sama dan jam yang sudah
dilakukan. Radiasi yang diukur adalah jumlah energi radiasi yang sampai
dipermukaan bumi dalam sehari. (Arifin,dkk.,2010).

Pengukuran durasi lama penyinaran matahari dengan menggunakan alat


cambell stokes menghasilkan data yang relatif kasar dikarenakan kemampuan
perkiraan pengamat dalam menafsirkan panjang bekas penyinaran kertas pias.
Penyinaran matahari yang terjadi dapat menghasilkan bekas penyinaran berupa
area memanjang, putus-putus, bahkan hanya berbentuk lubang kecil disepanjang
lintasan pada kartu pias. Lama penyinaran matahari adalah jumlah keseluruhan
panjang dari objek bekas penyinaran yang terekam pada kertas pias.

1
1.2 Tujuan

Mengetahui cara mengukur lamanya penyinaran matahari berdasarkan


panjang objek bekas penyinaran pada kertas pias secara akurat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Radiasi adalah suatu istilah yang berlaku untuk banyak proses yang
melibatkan pindahan tenaga oleh gaya elektromagnetik. Gaya radiatif
pemindahan kalor dalam dua pengakuan penting dari yang memimpinkan
konveksi gaya, tidak ada medium yang diperlukan dan pindahan tenaga
adalah sebanding kepada kuasa kelima atau keempat dari temperature (Pitts
dan Sissom, 2001). Radiasi surya merupakan unsur penting dalam pertanian.
Pertama, cahaya merupakan sumber energi bagi tumbuhan hijau melalui
proses fotosintesis diubah menjadi tenaga kimia. Kedua, radiasi memegang
peranan sebagai sumber energi dalam proses evaporasi yang menetukan
kebutuhan air tanaman (Wisnubroto, 2005)

Menurut Trewartha (2011) Matahari adalah sumber energi pada


peristiwa yang terjadi dalam atmosfer yang dianggap penting bagi sumber
kehidupan. Energi matahari merupakan penyebab utama perubahan
pergerakan atmosfer sehingga dapat dianggap sebagai pengendali iklim dan
cuaca yang besar. Di Indonesia yang merupakan daerah tropis mempunyai
potensi energi matahari sangat besar dengan isolasi harian rata-rata 4,5-4,8
KWh/m2/hari. Akan tetapi energi listrik yang dihasilkan sel surya sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh sistem
(Subekti, dkk,2015).

Sebuah penelitian juga membuktikan radiasi yang dipancarkan oleh


matahari setelah mengalami berbagai proses diterima oleh permukaan bumi
hanya sebagian kecil. Radiasi yang diterima di permukaan bumi nilainya
bervariasi terhadap letak lintang serta keadaan atmosfer di tempat tersebut,
faktor ketinggian tempat juga berpengaruh terhadap penerimaan radiasi
(Hanggoro,2011).
Radiasi matahari yang diterima oleh bumi akan diterima dengan cara
diserap dan tidak tertangkis oleh atmosfer sampai ke permukaan bumi,

3
karena bumi sangat padat, maka radiasi ini bukan ditangkis, melainkan
dikembalikan satu arah ke atmosfer (proses ini biasanya disebut refleksi).
Es dan salju merefleksi hampir kebanyakan dari radiasi matahari yang
sampai ke permukaan bumi, sedangkan laut merefleksi sangat sedikit. Pada
waktu radiasi surya memasuki sistem atmosfer menuju permukaan bumi
(daratan dan lautan), radiasi tersebut akan dipengaruhi oleh gas-gas, aerosol,
serta awan yang ada di atmosfer. Sebagian akan diserap dan sisanya
diteruskan ke permukaan bumi berupa radiasi langsung (direct) maupun
radiasi baur (diffuse). Radiasi langsung adalah radiasi yang tidak mengalami
proses pembauran oleh molekul-molekul udara, uap dan butir-butir air serta
debu di atmosfer seperti yang terjadi pada radiasi baur. Jumlah kedua
bentuk radiasi ini dikenal dengan “radiasi global”. Alat pengukur radiasi
surya yang terpasang pada stasiun-stasiun klimatologi (Handoko, 2003).
Lama penyinaran adalah periode (dalam jam) matahari bersinar
cerah. Faktor yang menentukan lama penyinaran adalah penutupan awan,
semakin lama penutupan awan maka lama penyinaran berkurang. Jadi, lama
penyinaran memang sangat ditentukan oleh keadaan awannya. Sebagai
contoh, kita tahu bahwa keadaan matahari menyinari Indonesia sekitar 11-
12 jam, namun lama penyinaran maksimumnya sekitar 8 jam. Untuk
menentukan lama penyinaran ini ada alat ukur yang digunakan, bernama
alat ukur Cambell Stokes. Penggunaannya adalah dengan melihat keadaan
kertas pias sampai terbakar. (Harni Suci, 2014)

4
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Agroklimatologi Materi Pengukuran Lama Penyinaran


Matahari dilaksanakan pada Jumat, 20 September 2019 pukul 14.50-
16.20 WIB di Stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian UPN
“Veteran” Jawa Timur.

3.2 Alat Dan Bahan

3.2.1 Alat

1. Solarimeter tipe Campbell stokes

2. Penggaris

3. Handphone

3.2.2 Bahan

1. Kertas Pias

3.3 Cara Kerja

1. Menyiapkan alat dan bahan


2. Menempatkan kertas pias ke dalam lekukan solarimeter dengan
mengatur posisi titik bakar dan sumbu bola mengarah dari utara ke
selatan sehingga cekungan logam tempat kertas pias sejajar dengan
arah timur dan barat
3. Menempatkan solarimeter tipe Campbell pada tempat terbuka yang
menghadap sinar matahari secara langsung

5
4. Mengamati kertas pias dengan solarimeter selama satu jam sampai
titik pada kertas pias terbakar
5. Mendokumentasikan hasil pengamatan
6. Mengambil kertas pias yang berada di solarimeter lalu mengukur
panjang bagian kertas pias yang terbakar dengan penggaris untuk
mengetahui lama penyinaran matahari
7. mengembalikan alat dan bahan ke tempat semula

6
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Lama Penyinaran Matahari

No Gambar Keterangan
.
1. Panjang kertas pias yang
terbakar 3,1 cm. Lama
penyinaran sinar matahari
didapat dari

3,1cm
=2,44 cm/ jam.
1,27

Gambar 1.1 Kertas Pias

4.2 Pembahasan
Praktikum kali ini membahas tentang radiasi surya, yang salah satu
unsurnya adalah lama penyinaran surya. Lama penyinaran surya diukur dengan
alat yang bernama Campbell Stokes. Campbell Stokes terdiri dari 3 unsur utama
yaitu bola kristal, besi penyangga, dan kertas pias yang terdiri dari 3 macam
(lengkung pendek, lurus, dan lengkung panjang). Masing-masing kertas pias
digunakan dalam waktu tertentu, seperti kertas pias lengkung panjang digunakan
pada Lintang Utara yang panjang harinya relatif panjang, sebaliknya dengan
kertas pias lengkung pendek. Sedangkan kertas pias lurus digunakan saat matahari
berada tepat diatas pengamat (equator).

Lama penyinaran matahari atau durasi penyinaran matahari (perioditas)


adalah lamanya matahari bersinar cerah pada permukaan bumi yang dihitung
mulai dari matahari terbit hingga terbenam. Halangan terhadap pancaran cahaya
surya terutama awan, kabut, aerosol atau benda-benda atmosfer lainnya. Menurut
Arrifin, dkk. (2010) mengemukakan pendapatnya bahwa besarnya lama

7
penyinaran matahari ditulis dalam satuan jam, nilai persepuluhan, atau dalam
satuan persen terhadap panjang hari maksimum.

Menurut WMO (2008) dan Hamdi (2014) mengemukakan pendapatnya


bahwa kartu pias akan terbakar jika kekuatan sinar matahari sebesar 120 w/m 2.
Pengukuran lama penyinaran matahari di Indonesia dilakukan dengan
menggunakan alat yaitu Campbell stokes dan kartu pias (BMKG, 2006).
Campbell stokes adalah alat yang digunakan untuk mengukur intensitas dan lama
penyinaran. Satuan dari intensitas dan lama penyinaran matahari adalah persen.
Campbell stokes dilengkapi dengan kartu khusus yaitu kartu pias. Kartu
ini berperan dalam pencatat data. Kartu pias dipasang di bawah lensa pada alat
Campbell stokes, kemudian diletakkan di tempat terbuka. Campbell stokes terdiri
dari bola pejal terbuat dari bahan gelas berbentuk mangkuk, sisi bagian
dalamnya bercelah-celah sebagai tempat kartu pencatat dengan diameter
4 inchi yang dipasangkan kedudukannya sehingga sinar matahari dapat
difokuskan ke arah kertas pias dengan tajam dan penyanggah tempat bola kaca
pejal dilengkapi skala dalam derajat yang sesuai dengan derajat lintang bumi.
Kertas pias adalah kertas berskala sebagai alat perekam radiasi matahari. Pencatat
waktu pada waktu akan membekas seperti bakaran, bagian hangus itulah yang
menunjukkan intensitas sinar matahari selama satu hari (Soegeng, 2008).
Lakitan (2002) mengemukakan pendapatnya bahwa pengukuran durasi
lama penyinaran matahari dengan menggunakan alat Campbell stokes
menghasilkan data yang relatif kasar dikarenakan kemampuan perkiraan
pengamat dalam menafsirkan panjang bekas penyinaran kartu pias. Lamanya
penyinaran ditulis dalam satuan jam sampai nilai persepuluhan atau terhadap
persen terhadap panjang hari. Lamanya penyinaran matahari dicatat dengan
memusatkan (memfokuskan) sinar matahari melalu bola gelas sedemikian rupa
hingga meninggalkan jejak pias yang terbakar karenanya (Hanum, 2009).
Hasil percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa data pengamatan di
lapangan radiasi tertinggi yaitu panjangnya 3,1 cm dalam 1 jam dan lama
penyinaran sinar matahari didapat dengan hasil 2,44 cm/jam. Percobaan ini
kurang berhasil dikarenakan pada cuaca mingguan tersebut anginnya sangat
kencang sehingga dalam pengukuran letak kertas pias sering berubah-ubah

8
tempatnya, sehingga pembakaran pada kertas pias tidak sesuai atau bekas
penyinaran yang terekam pada kertas pias tidak selalu membentuk garis lurus
yang mudah dihitung. Menurut Arrifin, dkk (2010) berpendapat bahwa kesalahan
pengamatan dapat dikurangi saat melakukan “checking” secara periodik pada jam
pengamatan atau “cross checking” pada saat analisa. Hal ini juga diperkuat
dengan literatur Hanum (2009) yang menyatakan bahwa jika matahari bersinar
sepanjang hari maka akan diperoleh jejak kertas pias yang tidak terputus-putus.
Tetapi, jika matahari bersinar terputus-putus misalnya karena terhalang awan,
angin, hujan, dan sebagainya maka jejak kertas pias pun akan terputus-putus.

9
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa lama penyinaran matahari


adalah seberapa lama intensitas radiasi matahari menyinari permukaan bumi
dalam kurun waktu tertentu, radiasi yang dikeluarkan dipengaruhi oleh jarak,
intensitas, lama penyinaran, dan atmosfer.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arrifin, dkk. 2010. Modul Praktikum Klimatologi. Fakultas Pertanian


Universitas Brawijaya, Malang.

BMKG. 2006. Peraturan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika no


SK/32. /TL. 202/KB/BMG. 2006.

Hamdi, S. 2014. Mengenal Lama Penyinaran Matahari Sebagai Salah Satu


Parameter Klimatologi. Berita Dirgantara, 15(1),7-16.

Handoko. 2003. Klimatologi Dasar. Fakultas Matematika dan Ilmu


Pengetahuan Alam. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hanggoro, Wido. 2011. Pengaruh Intensitas Radiasi Saat Gerhana Matahari
Cincin Terhadap Beberapa Parameter Cuaca. Jurnal Meteorologi
dan Geofisika Vol. 12 No. 2: 137- 144.
Hanum. 2009. Klimatologi Dasar Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer
dan Unsur-Unsur Iklim. IPB. Bogor.
Lakitan, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta:PT. Rajagrafindo
Persada.
Pitts , D. R., and L. E. Sissom. 2001. Theory and Problems of Heat
Transfer. Second edition

Soegeng. 2008. Ionosfer. Penerbit Andi Offset Yogyakarta.

Suci, Harni. 2014. Laporan Praktikum Klimatologi Radiasi Surya. Fakultas


Pertanian. Bengkulu: Universitas Bengkulu.

Trewartha G,T dan L.H.Horn.2011.Pengantar Iklim Edisi


Kelima.Yogyakarta.UGM Pres

Wisnubroto. 2006. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya :


Jakarta.

WMO. 2008. Guide to Meteorological Instruments and Methods of


Observation. WMO-No. 8 seventh edition.

11
Yulianda, Subekti, Gede Sarya, RA Retno Hastijanti. 2015. Pengaruh
Perubahan Intensitas Matahari Terhadap Daya Keluaran Panel
Surya. Jurnal Pengabdian Masyarakat LPPM Untag Surabaya. Vol.
1, No. 2: 193-202.

12
MATERI II PENGUKURAN SUHU
TANAH DAN SUHU UDARA

13
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suhu adalah tingkat kemampuan benda dalam memberi atau menerima
panas. Suhu seringkali juga dinyatakan sebagai energi kinetis rata-rata suatu
benda yang dinyatakan dalam derajat suhu. Suhu udara adalah keadaan panas
atau dinginnya udara, atau ukuran energi kinetik rata–rata dari pergerakan
molekul–molekul. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan
kemampuan benda tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda–
benda lain atau menerima panas dari benda–benda lain tersebut.

Suhu udara dipermukaan bumi adalah relative, tergantung pada faktor-


faktor yang mempengaruhinya seperti misalnya lamanya penyinaran
matahari. Hal itu dapat berdampak langsung akan adanya perubahan suhu di
udara. Alat untuk mengukur suhu udara atau derajat panas disebut
termometer. Pengukuran biasa dinyatakan dalam skala Celsius (C), Reamur
(R), dan Fahrenheit (F). Suhu udara tertinggi di permukaan bumi adalah di
daerah tropis (sekitar ekuator) dan makin ke kutub makin dingin.

Suhu tanah berpengaruh terhadap penyerapan air. Makin rendah suhu,


makin sedikit air yang di serap oleh akar, karena itulah penurunan suhu tanah
mendadak dapat menyebabkan kelayuan tanaman. Pengukuran suhu tanah
dalam klimatologi harus dihindarkan dari beberapa gangguan, baik itu
gangguan likal maupun gangguan lain. Gangguan-gangguan itu adalah sebagai
berikut :
a)      Pengaruh radiasi matahari langsung dan pantulannya oleh benda-
benda sekitar.
b)      Gangguan tetesan air hujan.
c)      Tiupan angin yang terlalu kuat.
d)     Pengaruh local gradient suhu tanah akibat pemanasan dan
pendinginan permukaan tanah setempat.

14
1.2 Tujuan

1. Mengetahui cara pengukuran suhu udara dan tanah dengan


menggunakan Termometer.
2. Memahami sifat panas dari udara dan tanah
3. Mengetahui suhu rata-rata suhu harian

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda
dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah termometer. Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat untuk mengukur suhu cenderung menggunakan
indera peraba. Tetapi dengan adanya perkembangan teknologi maka diciptakanlah
termometer untuk mengukur suhu dengan valid. Berbagai jenis termometer dibuat
berdasarkan pada beberapa sifat termometrik zat seperti pemuaian zat padat,
pemuaian zat cair, pemuaian gas, tekanan zat cair, tekanan udara, regangan zat
padat, hambatan zat terhadap arus listrik, dan intensitas cahaya (radiasi benda)
(Setiabudidaya, 2008).

Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala
tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang  biasa digunakan
adalah derajat celcius (0C). Sedangkan di Inggris dan beberapa Negara lainnya
dinyatakan dalam derajat Fahrenheit (0F) (Ir. Ance Gunarsih Kartasapoetra, 2004)

Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari pergerakan


molekul-molekul. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan
benda tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda - benda lain atau
menerima panas dari benda-benda lain tersebut. Dalam sistem dua benda, benda
yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu lebih tinggi (Yani, 2009).

Suhu tanah adalah salah satu faktor terpenting yang dapat mendukung
aktivitas mikrobiologi dan proses penyerapan unsur hara oleh tanaman. Suhu
tanah sangat bergantung pada besarnya radiasi surya yang di berikan oleh
matahari. Suhu tanah pada saat siang dan malam sangat berbeda, pada siang hari
ketika permukaan tanah dipanasi matahari, udara yang dekat dengan permukaan
tanah memperoleh suhu yang tinggi, sedangkan pada malam hari suhu tanah
semakin menurun (Rayadin dkk., 2016). Lubis (2007) menambahkan suhu tanah
berpengaruh terhadap penyerapan air. Semakin rendah suhu, maka sedikit air yang
diserap oleh akar, karena itulah penurunan suhu tanah mendadak dapat

16
menyebabkan kelayuan tanaman. Faktor-faktor yang menentukan kelembaban
tanah adalah curah hujan, jenis tanah, dan laju evapotranspirasi, dimana
kelembaban tanah akan menentukan ketersediaan air dalam tanah bagi
pertumbuhan tanaman (Djumali & Mulyaningsih, 2014).

17
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Pengukuran Suhu Tanah dan Suhu Udara ini


dilakukan pada pukul 15.00-16.30 WIB. Pada hari Jumat, 13
September 2019 bertempat distasiun Agroklimatologi “UPN Veteran
Jawa Timur”.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

1. Alat tulis

2. Lembar Pengamatan

3. Stopwatch

4.Termometer Maximum dan Minimum

5.Termometer Tanah

6. Handphone

3.2.2 Bahan

1. Tanah

3.3 Cara Kerja

3.3.1 Pengukuran Suhu Tanah

1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Menyalakan Termometer Tanah terlebih dahulu

18
3. Memasukkan Termometer Tanah pada pipa dengan kedalaman
15 cm

4. Menunggu Termometer Tanah sampai dengan 30 menit

5. Melihat angka yang tertera pada Termometer Tanah

6. Mencabut Termometer Tanah dari pipa paralon

7. Mendokumentasikan hasil pengamatan.

3.3.2 Pengukuran Suhu Udara

1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Menyalakan Termometer Maximum dan Minimum terlebih


dahulu

3. Menempatkan Termometer Maximum dan Minimum ke dalam


Sangkar Stevenson

4. Menunggu Termometer Maximum dan Minimum sampai 30


menit

5. Melihat angka yang tertera pada Termometer

6. Mengambil Termometer dari dalam Sangkar Stevenson

7. Mendokumentasikan hasil pengamatan.

19
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Suhu Tanah dan Suhu Udara

No Gambar Keterangan
.
1.

Pada gambar tersebut


menunjukkan hasil dari suhu
tanah selama 30 menit sebesar
39,8°c

Gambar 2.1 Hasil suhu tanah


(Termometer Tanah)
2.

Pada gambar tersebut


menunjukkan hasil dari suhu
udara selama 30 menit ialah:
Suhu max: 32,1°C
Suhu min: 31,1°C
Kelembapan: 44%
Gambar 2.2 Hasil suhu udara (Digital
Hygrometer)

20
4.2 Pembahasan

Matahari adalah sumber energi pada peristiwa yang terjadi dalam atmosfer
yang di anggap penting bagi sumber kehidupan. Energi matahari merupakan
penyebab utama perubahan pergerakan atmosfer, sehingga dapat dianggap sebagai
pengendali iklim dan cuaca yang benar (Trewartha,2009). Seperti yang dijelaskan
bahwa matahari dianggap sebagai pengendali iklim dan cuaca, ini artinya matahari
ini dapat mempengaruhi hasil dari pengukuran suhu tanah dan apa faktor suhu
udara.

Suhu dipermukaan bumi ini bisa menurun dengan bertambahnya


ketinggian dan sebaran suhu di permukaan bumi ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor anatara lain: (1) jumlah radiasi yang diterima perhari, permusim dan
pertahun (2) pengaruh lautan dan daratan (3) pengaruh lintang (4) pengaruh
elevasi dan (5) pengaruh angin (Purnawanto, 2012) Berdasarkan pengamatan atau
praktikum yang dilakukan untuk mengukur sushu tanah dan suhu udara
menggunakan alat yang bernama thermometer tanah dan hygrometer. Jangka
waktu yang digunakan selama pengukuran yaitu kurang lebih 30 menit.
Pengukuran tanah dilakukan dengan menggunakan alat thermometer yang
diletakkan pada lubang paralon yang ditancapkan pada tanah. Berdasarkan
praktikumyang dilakukan besar suhu tanah yang diperoleh dalam waktu 30 menit
itu 39,8°C.

Pengukuran suhu udara dilakukan dengan menggunakan alat hymograf


yang ditempatkan di dalam sangkar stevan san selama 30 menit, setelah 30 menit
maka hasil yang diperoleh itu ada tiga hal, yaitu suhu maksimal 32,1°C, suhu
minimal 31,1°C dan kelembapannya sebesar 44%. Dari hasil yang diperoleh
tersebut dapat dihitung suhu rata-ratanya dengan menggunakan rumus:

Tmax .+Tmin .
T=
2

Hasil data yang diperoleh tersebut mempunyai suhu rata-rata 31,6°C.

21
BAB IV

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan praktikum yang telah kami lakukan dapat disimpulkan,


bahwa suhu tanah dapat diukur dengan menggunakan alat yang
dinamakan thermometer tanah. Suhu tanah yang lebih rendah yaitu
terdapat dibawah pohon rindang karena intensitas cahaya matahari
yang masuk mengenai tanah. Kedalaman juga berpengaruh terhadap
suhu tanah, semakin dalam tanah yang diukur maka semakin kecil
suhu yang didapatkan.

2. Suhu udara yang diukur memiliki pengaruh terhadap vegetasi dan


ketinggian. Vegetasi berperan sebagai penghalang masuknya
intensitas cahaya matahari sehingga pada lokasi yang terdapat
vegetasi memiliki suhu lebih rendah. Ketinggian tempat juga
berpengaruh terhadap suhu udara, semakin tinggi tempat maka suhu
udara akan menurun.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ance Gunarsih Kartasapoetra. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap


Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta

Purnawanto,2012. Pengukuran Suhu Udara dan Suhu Tanah.


http://heripurnawanto.blogspot.com. (diakses 24 Mei 2017)

Setiabudidaya, Dedi. 2008. Modul Praktikum Fisika Dasar I. Laboratorium Dasar

Bersama. Unsri Indralaya.

Trewartha. 2009. Pengantar Iklim Edisi Kelima. Yogyakarta : UGM press.

Yani. 2009. Pengukuran Suhu dan Transfer Suhu.


Repository.ipb.ac.id/bitstream/../16/chapter/2009.pdf. 28 Oktober 2019

Lubis, S.K. 2007. Aplikasi Suhu dan Aliran Panas Tanah. Universitas Sumatera.

Medan. USU

Rayadin, Y., J. Syamsudin, M. Ayatussurur, N. Qomari, H. Pradesta, A.


Priahutama, R.O. Putri. 2016. Pendugaan Biomassa dan Cadangan Karbon.
Kerjasama PT Kideco Jaya Agung dan Ecositrop. Samarinda (Tidak
Dipublikasikan).

Djumali dan Mulyaningsih, S. 2014. Pengaruh Kelembaban Tanah terhadap


Karakter Agronomi, Hasil Rajangan Kering dan Kadar Nikotin Tembakau
(Nicotiana tabacumL; Solanaceae) Temanggung pada Tiga Jenis Tanah.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat. Berita Biologi. Malang.

23
MATERI III PENGUKURAN
KELEMBABAN NISBI

24
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Kehidupan di bumi udara merupakan salah satu unsur penting bagi
manusia, hewan dan tumbuhan. Kelembaban udara juga menentukan
bagaimana makhluk tersebut dapat beradaptasi dengan kelembaban yang ada
di lingkungannya. Dalam atmosfer senantiasa terdapat uap air. Kadar uap air
dalam udara disebut kelembaban. Kadar ini selalu berubah-ubah tergantung
pada temperature udara setempat. Kelembaban udara adalah presentase
kandungan di dalam udara. Total massa uap air per satuan volume udara
disebut kelembaban absolut. Perbandingan antara uap air dengan massa udara
lembab dalam satuan volume udara tertentu diseut sebagai kelembaban
spesifik.
Kelembaban merupakan salah satu komponen abiotik di udara dan tanah.
Kelembaban di udara berarti kandungan uap air di udara, sedangkan
kelembaban di tanah berarti kandungan air di dalam tanah. Kelembaban
diperlukan oleh tanaman agar tubuhnya tidak cepat kering karena proses
penguapan. Kelembaban yang diperlukan tanaman berbeda-beda. Dalam
bidang pertanian kelembaban udara biasanya digunakan untuk meningkatkan
produktifitas dan perkembangan tumbuhan budidaya. Dengan mengetahui
kelembaban udara yang ada di lingkungan tempat yang akan ditanam
tumbuhan, kita dapat menentukan pemilihan jenis tanaman yang sesuai,
misalnya tanaman bakau yang ditanam di daerah yang berkelembaban tinggi,
bakau tersebut akan berkembang dan berproduktifitas dengan maksimal,
sebaliknya jika bakau tersebut tidak ditanam pada daerah yang mempunyai
kelembaban yang rendah maka bakau tersebut tidak akan berproduktifitas dan
berkembang secara maksimal.
Suhu udara adalah derajat panas dari aktifitas molekul dalam atmosfer.
Alat untuk mengukur suhu temperatur atau derajat panas disebut termometer.
Dimana pada praktikum ini menggunakan termometer bola kering dan

25
termometer bola basah. Suhu dan kelembaban udara sangat erat hubungannya,
karena jika kelembaban udara berubah, maka suhu juga akan berubah. Di
musim penghujan suhu udara rendah, kelembaban tinggi, memungkinkan
tumbuhnya jamur pada kertas, atau kertas menjadi bergelombang karena naik
turunnya suhu udara.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui cara pengukuran kelembaban udara.

2. Mengetahui rata-rata kelembaban udara.

26
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang


dapat dinyatakan sebagai kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap
air. Kelembaban mutlak adalah kandungan uap air (dapat dinyatakan dengan
massa uap air atau tekanannya) persatu air aktual dengan keadaan jenuhnya atau
pada kapasitas udara untuk menampung uap air. Kapasitas udara untuk
menampung uap air tersebut (pada keadaan jenuh) ditentukan oleh suhu udara.
Sedangkan defisit tekanan uap air adalah selisih antara tekanan uap jenuh dan
tekanan uap aktual. Laju penguapan dari permukaan tanah lebih ditentukan oleh
defisit tekanan uap air dari kelembaban mutlak maupun nisbi. Sedangkan
pengembunan akan terjadi bila kelembaban nisbi telah mencapai 100% meskipun
tekanan uap air aktualnya relatif rendah (Holton, 2006).

Kelembaban nisbi merupakan perbandingan antara kelembaban aktual


dengan kapasitas udara untuk menampung uap air. Bila kelembaban aktual
dinyatakan dengan tekanan aktual, maka kapasitas udara untuk menampung uap
air tersebut merupakan tekanan uap jenuh. Sehingga kelembaban nisbi dapat
dituliskan dengan persen (%) (Handoko, 2003). Secara makro kelembaban nisbi
umumnya tinggi pada pusat-pusat tekanan rendah berkaitan dengan naiknya massa
udara sebagai salah satu syarat pembentukan awan dan hujan. Karena banyak
hujan maka banyak air yang dapat diuapkan sehingga daerah tersebut menjadi
relatif lembab (Handoko, 2003).

Alat meteorologi umumnya ada dua macam yaitu jenis biasa bukan
pencatat dan jenis pencatat. Contoh jenis alat biasa adalah termometer,
psikromrter, dan sebagainya. Alat pencatat misalnya termograf dan sebagainya.
Untuk jenis alat pencatat biasanya dilengkapi dengan jam (waktu) dan pias (chart)
yang diganti tiap hari untuk pias harian dan tiap minggu untuk pias mingguan.
Biasanya pias ini dilengkapi dengan pias yang pembuatannya biasnya didasarkan
pada bentuk dan cara membersihkan pena, (Tjasyono, 2008).

27
Kelembaban merupakan salah satu faktor lingkungan abiotik yang
berpengaruh terhadap aktifitas organisme di alam. Kelembaban merupakan jumlah
uap air di udara, sedangkan kelembaban mutlak adalah sejumlah uap air dalam
udara yang dinyatakan sebagai berat per satuan udara (misalnya gram per
kilogram udara). Kelembaban merupakan salah satu faktor ekologis yang
mempengaruhi aktifitas organisme seperti penyebaran, keragaman harian,
keragaman vertical dan horizontal. (Umar,2010).

Suhu dan kelembaban udara sangat erat hubungannya, karena jika


kelembaban udara berubah, maka suhu juga akan berubah. Di musim penghujan
suhu udara rendah, kelembaban tinggi, memungkinkan tumbuhnya jamur pada
kertas, atau kertas menjadi bergelombang karena naik turunnya suhu udara.
Kelembaban udara berbanding terbalik dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu
udara, maka kelembaban udaranya semakin kecil. Hal ini dikarenakan dengan
tingginya suhu udara akan terjadi presipitasi (pengembunan) molekul air yang
dikandung udara sehingga muatan air dalam udara menurun (Lakitan,2002).

Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu juga sangat erat dengan faktor-


faktor yang mempengaruhi kelembapan udara dalam berbagai hubungan yaitu:

1. Pengaruh tanah dan air, semakin banyak jumlah uap air baik diudara maupun
didalam tanah, maka kelembapan akan semakin tinggi.

2. Ada atau tidaknya vegetasi, semakin rapatnya jarak antara vegetasi maka
kelembapan makin tinggi, namun suhu akan menjadi sangat rendah.

3. Pengaruh ketinggian tempat, semakin tingginya suatu tempat maka suhu


ditempat tersebut akan semakin rendah dan kelembapan udara semakin tinggi
(Lakitan, 2002).

28
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan tempat

Praktikum Agroklimatologi Materi Pengukuran Kelembaban Nisbi


dilaksanakan hari Jum’at, 20 September 2019 pada pukul 14.50-16.30 di
Stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.

3.2. Alat dan bahan

3.2.1. Alat

1. Termometer basa dan kering (dry and wet).


2. Sangkar steven son.
3. Handphone.

3.2.1. Bahan

1. Air.

3.3. Cara Kerja

1. Mempersiapkan alat dan bahan.


2. Mengisi air diwadah termometer basa dan kering (dry and wet).
3. Memasukkan termometer basa dan kering (dry and wet) ke dalam sangkar
stevenson.
4. Mengamati perubahan yang terjadi pada termometer basa dan kering (dry
and wet) selama 30 menit.
5. Mencatat hasil pengamatan.
6. Mendokumentasikan hasil pengamatan.
7. Merapikan kembali alat dan bahan.

29
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil pengamatan

Tabel 3.1 hasil pengamatan Kelembaban Nisbi

Gambar Keterangan

Suhu termometer basah adalah


23⁰C dan suhu termometer kering
adalah 31⁰C. Diperoleh 49%
kelembaban relatif dari suhu basah
dan suhu kering.

Gambar 3.1
Termometer Bola
Basah dan Bola
Kering

4.1.1 Hasil perhitungan

Suhu basah: 23⁰C

Suhu kering: 31⁰C

Penyelesaian= suhu bola kering – suhu bola basah

= 31 – 23

= 8⁰C

Jadi, sesuai dengan tabel kelembabab relatif (%) dengan selisih suhu bola
kering dan bola basah adalah 8⁰C dan dilihat suhu bola keringnya 31⁰C,
maka diperoleh kelembaban nisbinya sebesar 49%.

4.2. Pembahasan

30
Kelembaban udara adalah ukuran banyaknya uap air di udara. Sedangkan
kelembaban nisbi adalah perbandingan antara kelembaban udara aktual dengan
kapasitas udara untuk menampung air. Pada praktikum ini alat uang digunakan
untuk mengukur kelembaban udara adalah thermometer bola basah dan bola
kering. Thermometer ini dipasang tegak dan diletakkan di dalam sangkar
stevenson.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu yang ada pada bola kering
setelah didiamkan selama 30 menit di dalam sangkar steven son adalah sebesar
31⁰C sementara suhu bola basahnya sebesar 23⁰C. Nilai presentasi kelembaban
nisbi (relative humidity (RH)) dapat dihitung melalui tabel kelembaban relatif
yang diperoleh berdasarkan selisih suhu bola kering dan suhu bola basah yaitu
sebesar 8⁰C. Mengacu pada tabel kelembaban, didapatkan bahwa presentase
kelembaban nisbinya adalah 49%. Presentase nilai RH ini hampir mendekati ideal,
kelembaban ideal ada pada angka 50-55%. Menurut Departemen Geofisika dan
Meteorologi, IPB (2012) RH lebih tinggi pada malam hari dibandingkan siang
hari, karena tekanan uap jenuh semakin tinggi dengan naiknya suhu udara
sedangkan tekanan uap aktual relatif tetap pada siang maupun malam hari.

Pengukuran kelembaban relatif ini menunjukkan bahwa udara hampir


lembab. Hal ini sesuai dengan pendapat Harisuryo,dkk (2015), yang menyatakan
bahwa kenaikan suhu cenderung diikuti oleh turunnya kelembaban, begitu pula
sebaliknya. Selain karena suhu tinggi rendahnya kelembaban udara bergantung
pada beberapa faktor menurut Umar (2010), yaitu suhu, tekanan udara, pergerakan
angin, kuantitas dan kualitas penyinaran, vegetasi, ketersediaan air di suatu tempat
(air, tanah dan perairan). Kelembaban juga salah satu faktor ekologis yang
mempengaruhi aktivitas organisme seperti penyebaran, keragaman harian,
keragaman vertikal dan horizontal. Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi
berbeda-beda. Pada umumnya, kelembaban tertinggi ada di khatulistiwa
sedangkan terendah ada pada lintang 40⁰ daerah rendah curah hujan kecil
(Kartasapoetra, 2004).

BAB V

31
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


kelembaban nisbi atau kelembaban relatif dapat diukur dengan menggunakan
peralatan sederhana. Pengukuran kelembaban relatif dilakukan untuk
membandingkan antara uap air di udara pada suhu yang sama, dengan jumlah uap
air maksimum yang dikandung udara dan dinyatakan dengan persen. Pada suhu
udara yang semakin naik maka kelembaban relatif akan semakin kecil.

DAFTAR PUSTAKA

32
Handoko. 2002. Klimatologi Dasar. Bogor: FMIPA IPB.

Harisuryo, R., Sumardi, Budi, S. 2015. Sistem Pengukuran Data Suhu


Kelembaban dan Tekanan Udara dengan Telemetri Berbasis Frekuens
Radio. Transient, Vol 4, No. 3. Semarang: Universitas Diponegoro.
Diakses dari https ://ejournal3.undip.ac.id

Holton. 2006. Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman.

Jakarta: Bina Aksara.

Kartasapoetra, A.G. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanaman Edisi


Revisi. Bumi Aksara. Jakarta

Lakitan. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tjasyono, 2008. Klimatologi Umum. Bandung: ITB Bandung.

Umar, M. Ruslan. 2010. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Makassar:


Universitas Hasanuddin.

33
MATERI IV PENGUKURAN CURAH
HUJAN

BAB I

34
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hujan merupakan satu bentuk presipitasi yang berwujud cairan. Presipitasi


sendiri dapat berwujud padat (misalnya salju dan hujan es) atau aerosol seperti
embun dan kabut). Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi
dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi karena sebagian
menguap ketika jatuh melalui udara kering. Hujan jenis ini disebut virga. Hujan
memainkan peran penting dalam siklus hidrologi. Lembaban dari laut mnguap,
berubah menjadi awan, terkumpul menjadi awan mendung, lalu turun kembali ke
bumi, dan akhirnya kambali ke laut melalui sungai untuk menanggulangi daur
ulang itu semua. Jumlah air hujan di ukur menggunakan pengukur hujan atau
omborometer. Ia dinyatakan sebagai kedalaman air yang terkumpul pada
permukaan datar, dan diukur kurang lebih 0,25mm. Satuan curah hujan menurt SI
adalah millimeter, yang merupakan penyingkatan dari liter per meter persegi.

Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama
periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi millimeter (mm) diatas
permukaan horizontal. Curah hujan juga dapat diartikan sebagai ketinggian air
hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap,
dan tidak mengalir.

Jenis-jenis hujan berdasarkan terjadinya: hujan siklonal, yaitu hujan yang


terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar. Hujan
zenihal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator akibat pertemuan
angin pasat timur laut dengan air pasat tenggara. Kemudian angin tersebut naik
dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan
menjadi jenuh dan turunlah hujan. Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi
karena angin yang mengandung uap air bergerak horizontal. Angin tersebut naik
menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi.
Terjadilah hujan di sekitar pegunungan. Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi
apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara yang panas.

35
Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut sebagai bidang front karena
lebih berat massa udara dingin lebih berada dibawah. Di sekitar bidang front
inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal. Hujan muson atau
hujan musiman, yaitu hujan yang terjadi karena angin musim (angin muson).
Penyebab terjadinya angin muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan
matahari antara garis balik utara dan garis balik selatan.

1.2 Tujuan Praktikum

Memahami cara pengukuran curah hujan dengan menggunakan


ombrometer tipe observatorium serta mengetahui jumlah hujan harian dan
intensitas hujan

BAB II

36
TINJAUAN PUSTAKA

Hujan jatuh ke bumi baik langsung maupun melalui media misalnya,


melalui tanaman (vegetasi). Di bumi air mengalir dan bergerak dengan berbagai
cara. Pada retensi (tempat penyimpanan) air akan menetap untuk beberapa waktu.
Retensi dapat berupa retensi alam seperti daerah-daerah cekungan, danau tempat-
tempat yang rendah, dll. Maupun reteni buatan seperti tampungan, sumur,
embung, waduk, dll. Secara gravitasi (alami) air mengalir dari daerah yang tinggi
ke daerah yang rendah, sampai ke daerah pantai dan akhirnya akan bermuara ke
laut. Aliran ini disebut aliran permukaan tanah karena bergerak di atas permukaan
tanah. Aliran ini biasanya akan memasuki daerah tangkapan atau daerah aliran
menuju ke sistem jaringan sungai, sistem danau atau waduk. Dalam sistem sungai
aliran mengalir mulai dari sistem sungai kecik ke sistem sungai besar dan
akhirnya menuju mulut sungai atau sering disebut estuary yaitu tempat
bertemunya sungai dengan laut.
Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam
waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain gauge.
Curah hujan diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan. Curah hujan yang jatuh
di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah bentuk
medan/topografi, arah lereng medan, arah angin yang sejajar dengan garis pantai
dan jarak perjalanan angin diatas medan datar. Hujan merupakan peristiwa
sampainya air dalam bentuk cair maupun padat yang dicurahkan dari atmosfer ke
permukaan bumi (Handoko, 2003). Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung
menjadi aliran maupun tidak langsung yaitu melalui vegetasi atau media lainnya
akan membentuk siklus aliran air mulai dari tempat tinggi (gunung dan
pegunungan) menuju ke tempat yang rendah baik di permukaan tanah maupun di
dalam tanah yang berakhir di laut.
Peranan air dalam kehidupan sangat besar. Mekanisme kompleks
kehidupan tidak mungkin berfungsi tanpa kehadiran air. Bagian terbesar bumi dan
makhluk hidup juga terdiri air. Air yang berasal dari hujan merupakan fenomena
alam yang paling penting bagi terjadinya kehidupan di bumi. Butiran hujan selain
membawa molekul air juga membawa materi yang penting bagi kehidupan seperti

37
pupuk bagi tumbuhan. Meskipun air hujan sangat penting bagi kehidupan.
Namun, di pihak lain Indonesia belum mampu mengamati fenomena banyaknya
curah hujan yang terjadi pada suatu tempat secara otomatis dan tercatat pada
database. Akibatnya data curah hujan tidak dapat dimanfaatkan.
Curah hujan dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan otomatis atau
yang manual. Alat-alat pengukur tersebut harus diletakkan pada daerah yang
masih alamiah, sehingga curah hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang
luas. Salah satu tipe pengukur hujan manual yang paling banyak dipakai adalah
tipe observatorium (obs) atau sering disebut ombrometer. Curah hujan dari
pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan dibagi dengan luas mulut
penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat baku dengan mulut penakar
seluas 100 cm2 dan dipasang dengan ketinggian mulut penakar 1,2 m dari
permukaan tanah. (Jumin, 2002).
Jenis-jenis hujan berdasarkan curah hujan (definisi BMG)
·        hujan sedang, 20 - 50 mm per hari
·        hujan lebat, 50-100 mm per hari
·        hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari.
Air hujan terdiri atas : ion-ion natrium, kalium, kalsium, khlo, bikarbinat,
dan sulfat ynag merupakan jumlah yang besar bersama-sama. Ammonia, nitra,
nitrit, nitrogen, dan susunan-susunan nitrogen lain. Bagian yang kecil misalnya:
iodine, bromine, boron, besi, almunium, dan silica. Asal unsur-unsur ini adalah
lautan, sungai-sungai atau danau, permukaan tanah, vegetasi, industri, dan
gunung-gunung berapi. Air hujan pH-nya berkisar antara 3,0-9,8.
(Wisnubroto, 2006).
Disini hujan dapat didefenisikan sebagai bentuk endapan yang sering
dijumpai,dan endapan merupakan curah hujan. Endapan disini dapat berbentuk
seperti hujan, gerimis, salju, dan batu es hujan (hail). Didaerah tropis hujannya
lebih lebat dari pada di daerah lintang tinggi. Garis yang menghubungkan titik-
titik dengan curah hujan sama selama periode tertentu disebut isohyet. Distribusi
curah hujan bulanannya kebalikan dari jenis monson. Pola curah hujan jenis lokal
lebih banyak dipengaruh oleh lokal. Daerah yang memiliki jenis lokal yang sangat
sedikit yaitu daerah ambon. (Bayong Tjasjono, 2007) 

38
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

39
3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan di stasiun Agroklimatologi UPN "Veteran"


Jawa Timur pada hari Jum'at 20 September 2019 pada pukul 14.50-16.20 WIB.

3.2 Alat Dan Bahan

3.2.1 Alat

1. Ombrometer tipe observatorium (manual).

2. Gelas ukur satuan tinggi hujan

3. Alat tulis

4. Lembar pengamatan

5. Selang Air

6. Stopwatch

3.2.2 Bahan

1. Air

3.3 Cara Kerja

1. Menyiapkan alat dan bahan.


2. Meletakkan ombrometer di tempat yang datar.
3. Menyirami ombrometer dari atas menggunakan selang air secara
konstan
dan optimal
4. Mengaktifkan stopwatch ketika sedang menyirami dari selang airn
selama 15 menit.
5. Mengukur jumlah air selama 15 menit dengan menggunakan gelas
ukur
secara tepat

40
6. Menulis data curah hujan

41
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Pengukuran Curah Hujan

No Gambar Keterangan
.
1.

Didapatkan volume air hujan


selama 15 menit= 200 mm

Gambar 4.1 Gelas Ukur

4.1.1 Perhitungan

- Volume air hujan selama 15 menit = 200 mm

- Jari-jari penakar hujan = 2cm = 20mm

Maka luas lingkaran penangkap hujan adalah:

Lo = ᴫ x r2

Lo = 3,14 x 202

Lo = 3,14 x 400

Lo = 1256

Untuk menghitung besar curah hujan adalah volume air dibagi dengan luas
bidang samping pada penakar.

CH= V/L0 = CH = 200/1256 = 0,159 mm

42
Besar curah hujan yang didapat sebesar 0,159 mm. Untuk mengukur
intensitas hujan menggunakan rumus:

` I = CH/W

Keterangan:

I = Intensitas hujan

CH = Curah hujan (mm)

W = Waktu (Jam)

Maka: I = 0,159/ ⅟4 Jam

I = 0,159 x 4

I = 0,636 mm

Sehingga, didapat hasil pengamatan dengan curah hujan sebesar 0,159 mm


serta Intensitas curah hujan sebesar 0,636 mm.

4.2 Pembahasan
Pengukuran curah hujan dilakukan dengan menggunakan alat yang
bernama ombrometer tipe observatorium. Alat ini adalah alat pengukur hujan
yang terdiri dari corong dan botol penampung yang berada di dalam tabung
silinder. Alat ini ditempatkan di tempat terbuka yang tidak dipengaruhi oleh
pohon-pohon dan gedung-gedung yang ada disekitarnya. Air hujan yang jatuh
akan tertampung di dalam tabung silinder. Dengan mengukur volume air yang
tertampung dan luas corong akan dapat diketahui kedalaman hujan. Curah hujan
yang kurang dari 0,1 mm dicatat sebagai 0,0 mm, yang harus dibedakan dengan
tidak ada hujan yang dicatat dengan (-) (Bambang Triatmojo, 2008).
Curah hujan ialah jumlah air yang jatuh pada permukaan tanah selama
periode tertentu bila tidak terjadi evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang

43
diukur dalam satuan tinggi. Tinggi air hujan 1 mm berarti air hujan pada bidang
seluas 1 m2 berisi 1 liter. Unsur-unsur hujan yang perlu diperhatikan ialah jumlah
curah hujan, dan intensitas atau kekuatan tetesan hujan (Arifin, 2010).
Hasil pengukuran curah hujan didapat sebesar 0,159 serta intensitas curah
hujan sebesar 0,636 mm. Menurut Linsley (1996), bentuk-bentuk hujan adalah
sebagai berikut:
1. Gerimis (dazzle), yang kadang-kadang disebut mist, terdiri dari tetes-tetes
air yang tipis, biasanya dengan diameter antara 0,1 dan 0,5 mm, dengan
kecepatan jatuh yang demikian lambatnya sehingga kelihatan seolah-olah
melayang dengan intensitas jarang melebihi 1 mm/jam.
2. Hujan (rain), terdiri dari tetes-tetes air yang mempunyai diameter lebih
besar dari 0,5 mm.
3. Glase dalam selimut es, biasanya bersih dan halus, yang terbentuk pada
permukaan yang terbuka oleh pembekuan atau air yang sangat dingin yang
diendapkan oleh hujan atau gerimis. Berat jenisnya dapat mencapai 0,8
sampai 0,9.
4. Rime adalah endapan butiran es yang tak tembus cahaya dan berwarna
putih, yang kurang lebih dipisahkan oleh udara yang tertangkap dan
terbentuk oleh pembekuan air dingin dengan sangat cepat menimpa benda-
benda yang terbuka. Berat jenisnya dapat serendah 0,2 sampai 0,3.
5. Salju adalah campuran kristal-kristal es yang sebagian besar berbentuk
heksagonal yang kompleks dan bercabang, dan umumnya menggumpal
menjadi kumpulan salju (snowflake), diameternya dapat mencapai
beberapa inci. Berat jenis rata-ratanya sering dianggap sebesar 0,1.
6. Hujan es (hail) adalah hujan dalam bentuk bola-bola es, yang dihasilkan
dalam awan-awan konvektif, kebanyakan cumolonimbus. Batu-batu es
(hailstones) dapat berbentuk sferadional, kerucut, atau bentuk yang tidak
beraturan, dan diameternya berkisar dari sekitar 5 sampai 125 mm. Berat
jenisnya sekitar 0,8 mm.
Serta Linsley (1996) juga mengemukakan jenis-jenis hujan berdasarkan intensitas
curah hujan, yaitu:
1) Hujan ringan, kecepatan jatuh sampai 2,5 mm/jam

44
2) Hujan menengah, kecepatan jatuh 2,5-7,6 mm/jam
3) Hujan lebat, lebih dari 7,6 mm/jam

Untuk intensitas hujan, mengacu pada standar internasional (WMO) adalah


sebagai berikut:

Tabel 4.2 Kriteria Hujan Standar Internasional


Kriteria Hujan Intensitas Hujan Intensitas per hari

Sangat Ringan < 0.1 mm < 5.0 mm


Ringan 1.1 – 5.0 mm 5.0 – 20 mm
Sedang / Normal 5.0 – 10 mm 20 – 50 mm
Lebat 10 – 20 mm 50 – 100 mm
Sangat Lebat >20 mm >100 mm

Sehingga berdasarkan data yang diperoleh, curah hujan dikategorikan


ringan/gerimis (dazzle).

45
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hasil data yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan yaitu intensitas curah
hujan sebesar 0,636 mm/jam merupakan hujan ringan yang dikategorikan sebagai
gerimis (dazzle).

46
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, MS. 2010. Modul Klimatologi. Jawa Timur: Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya.

Bayong Tjasjono, 2007. Klimatologi Dasar Landasan Pemahaman Fisika


Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim Jurusan Geofisika dan
Meteorologi. FMIPA-IPB: Bogor.

Handoko, 2003, Klimatologi Dasar, Bogor: FMIPA-IPB

Linsley, R.K., Kohler, M.A., Paulhus, J.L, & Hermawan, Y. 1996. Hidrologi
Untuk Insinyur (Edisi Ketiga) Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jumin, Hasan Basri, 2002, Dasar-Dasar Agronomi, Jakarta: PT. Rajagrafindo.

Triatmodjo, B. 2013. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset Yogyakarta


Wisnubroto,S,S.S.L Aminah, dan Nitisapto, M. 2006. Asas-asas Meteorologi
Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. UGM
Yogyakarta dan Ghalia Indonasia: Jakarta.

47
MATERI V PENGUKURAN EVAPORASI

48
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Evaporasi atau penguapan merupakan hilangnya air menjadi uap melalui


proses perubahan fase yaitu cair menjadi gas. Hilangnya air menjadi uap dapat
juga melalui permukaan vegetasi dengan nama transpirasi. Jumlah air yang hilang
akibat gabungan dari evaporasi dan transpirasi disebut evapotranspirasi.

Evaporasi merupakan proses pemekatan larutan dengan cara mendidihkan


atau menguapkan pelarut. Proses evaporasi akan menurunkan aktivitas air dalam
bahan hasil pertanian, penurunan akivitas air ini akan membuat bahan lebih awet
karena proses pertumbuan pada mikroba akan terhambat. Proses evaporasi selain
bertujuan untuk menurunkan aktivitas air, evaporasi juga dapat meningkatkan
konsentrasi atau viskositas larutan dan evaporasi akan memperkecil volume
larutan sehingga akan menghemat biaya pengepakan, penyimpanan, dan
transportasi.

Proses evaporasi pada umumnya diukur dengan menggunakan alat


bernama evaporimeter. Tujuan dari praktikum pengukuran evaporasi adalah untuk
mengetahui jumlah penguapan air. Selain itu praktikum ini juga bertujuan untuk
mengetahui fungsi dan cara kerja evaporimeter yang ada di stasiun klimatologi
Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.

1.2 Tujuan

1. Memahami cara pengukuran evaporasi dengan evaporimeter

2. Mengetahui cara menghitung evaporasi

49
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Evaporasi merupakan proses pemekatan larutan dengan cara mendidihkan


atau menguapkan pelarut Evaporasi terus menerus memerlukan pemindahan uap
air dari permukaan sedikit ke atas, tanpa memindahkan udara disekitarnya, udara
tersebut akan jenuh dengan uap air dan evaporasi tersebut akan berhenti.
Keperluan kedua untuk evaporasi adalah suatu  yang menghasilkan sumber panas.
Permukaan tersebut akan menjadi dingin akibat terjadinya evaporasi. Penguapan
air akan menurunkan suhu dan juga akan menurunkan tekanan uap air jenuh. Bila
tidak ada sumber panas, kesetimbangan tidak lama dicapai dan evaporasi berhenti.

Evaporasi juga dipengaruhi oleh sifat fisika atau kimia cairan. Evaporasi
ini juga menyebabkan hilangnya air dari suatu bahan ini merupakan bagian dari
proses pengeringan. Cara ini dilakukan dengan menurunkan kelembaban nisbi
udara dengan mengalirkan udara panas disekeliling bahan, sehingga tekanan uap
air bahan lebih besar daripada tekanan uap air diudara. Evaporasi terus-menerus
memerlukan pemindahan uap air dari permukaan sedikit ke atas, tanpa
memindahkan udara disekitarnya.

Tumbuhan melakukan evapotranspirasi yaitu gabungan antara evaporasi


dan transpirasi. Evaporasi adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap dan
bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke atmosfer. Sedangkan
penguapan dari permukaan tanaman disebut transpirasi. Menurut Supriyadi (2014)
faktor – faktor yang mempengaruhi evapotraspirasi adalah:

1. Suhu air / udara


Semakin tinggi suhunya maka penguapannya semakin besar

2. Kelembaban relatif
Udara yang semakin lembab maka penguapan kecil

3. Kecepatan angin
Makin cepat anginnya maka penguapan makin besar

50
4. Tekanan udara
Tekanan udara berpengaruh pada gerakan udara yang menimbulkan
angin

5. Sinar matahari
Radiasi matahari mempengaruhi suhu udara sehingga berpengaruh
terhadap penguapan

6. Vegetasi
Adanya tanaman di permukaan bumi akan mengurangi penguapan
dibanding dengan permukaan bumi yang gundul.

Evaporasi juga digunakan dalam mengolah hasil pertanian dan dilakukan


untuk mendapatkan bahan dengan menurunkan tingkat aktivasi air dalam bahan
sehingga memperkecil peluang hidup mikroorganisme (Praptiningsih, 2010).
Bahan hasil pertanian merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan tidak tahan
lama.

51
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Pengukuran Evaporasi dilaksanakan pada Jumat, 20 September


2019 pukul 14.50-16.20 WIB bertempat di Stasiun Agroklimatologi Fakultas
Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.

3.2 Alat dan bahan

3.2.1 Alat

1. Evaporimeter

2. Penggaris Besi

3.2.2 Bahan

1. Air

3.3 Cara Kerja

1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Mengukur ketinggian air pada panci kelas A dengan empat mata arah yang

berbeda sebagai ketinggian awal

3. Menunggu selama 1 jam dibawah sinar matahari langsung

4. Mengukur kembali ketinggian air sebagai hasil penyusutan

5. Mendokumentasikan hasil.

52
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tabel Hasil Pengamatan

Tabel 5.1 Pengukuran Evaporasi


Pengukuran Ke- Arah Arah Arah Arah Selatan
Utara Timur Barat
Pengukuran ke-1 15,2 cm 16,0 cm 17,2 cm 16,1 cm
Rata-rata = 16,1 cm
Pengukuran ke-2 15 cm 15,8 cm 17,1 cm 16 cm
Rata-rata = 15,9 cm

4.2 Pembahasan

Evaporasi adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari
permukaan tanah dan permukaan air ke atmosfer. Pengamatan evaporasi yang
kami lakukan menggunakan evaporimater tipe Open pan atau panci terbuka. Hal
tersebut sesuai dengan Siswanti (2011), yang menyatakan bahwa evaporimeter
panci terbuka adalah alat untuk mengukur penguapan atau evaporasi.

Pengukuran evaporasi pada evaporimeter panci terbuka ini adalah dengan


cara mengukur kedalaman air menggunakan penggaris. Kemudian pengukuran
dilakukan kembali setelah satu jam. Dari hasil pengukuran diperoleh data pada
pengukurun pertama rata-rata kedalaman air adalah sebesar 16,1 cm. Kemudian
pada pengukuran kedua didapatkan rata-rata hasil sebesar 15,9 cm. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa ketinggian air berkurang sebesar 0,2 cm.

Evaporasi yang kami lakukan tidak berjalan secara maksimal. Hal tersebut
disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya adalah pengukuran yang
dilakukan pada sore hari. Pada sore hari ini matahari tidak terlalu panas sehingga
suhu yang sampai ke bumi juga tidak terlalu besar dan menyebabkan penguapan
yang tinggi. Wati, dkk (2015) menyebutkan bahwa proses evaporasi
membutuhkan energi dari radiasi matahari dimana bahan laten dalam jumlah
banyak dipindahkan dari permukaan bumi ke atmosfer. Laju evaporasi bergantung

53
pada tiga faktor yaitu defisit tekanan uap air, suhu dan pergerakan udara. Selain
itu hasil pengamatan evaporasi yang tidak berjalan sempurna ini juga disebabkan
karena evaporasi merupakan komponen yang paling sulit diketahui atau diukur
diantara berbagai komponen daur hidrologi, karena interaksi yang kompleks yang
melibatkan komponen-komponen evaporasi di lahan, vegetasi dan sistem atmosfer
(Wati, dkk, 2015).

54
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Evaporimeter panci terbuka merupakan salah satu alat yang digunakan


untuk mengukur proses evaporasi. Dari pengamatan dan pengukuran yang telah
dilakukan disimpulkan bahwa proses evaporasi tidak berjalan sempurna. Hal ini
disebabkan karena faktor suhu udara yang ada tidak terlalu tinggi karena
pengukuran dilakukan pada sore hari, sehingga menghambat proses penguapan.

55
DAFTAR PUSTAKA

Praptiningsih. 2010. Buku Ajar Teknologi Pangan. Jember: Fakultas Teknologi


Pangan Universitas Negeri Jember.

Siswanti, K. Y. (2011). Model Fungsi Transfer Multivariat dan Aplikasinya untuk


Meramalkan Curah Hujan di Kota Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta

Supriyadi, Teguh. (2014). Buku Ajar Agroklimatologi FP-UTP Surakarta 2014.


Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan

Wati, T., Hidayat, P., Ardhasena, S. (2015). Pengaruh Parameter Cuaca Terhadap
Proses Evaporasi pada Interval Waktu Yang Berbeda. Jurnal
Meteorologi dan Geofisika Vol. 16 No. 3 Tahun 2015: 155-165
(online). (http://puslitbang.bmkg.go.id). Diakses 27 November 2019.

56
MATERI VI PENGUKURAN
KECEPATAN ANGIN

57
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angin adalah aliran udara yang terjadi diatas permukaan bumi, yang
disebabkan oleh perbedaan tekanan udara pada dua arah yang berdekatan.
Perbedaan tekanan ini disebabkan oleh suhu udara sebagai akibat perbadaan
pemanasan permukaan bumi oleh matahari. Semakin besar tekanan udara maka
semakin kencang pula angin yang akan ditimbulkan. Angin lokal contohnya
terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara di dua tempat yang berdekatan
seperti di laut dan di darat. Ada 3 hal yang penting menyangkut sifat angin yaitu:
kekuatan angin, arah angin, dan kecepatan angin.

Tekanan udara dipermukaan bumi diakibatkan oleh lapisan udara yang


berada pada atmosfer bumi. Semakin bertambah ketinggian suatu tempat, maka
makin rendah tekanan udara. Lapisan udara pada permukaan bumi memberikan
tekanan sebesar 1033,3 gram/cm2. Ini berarti pada saerah seluas 1 cm2 udara
memberikan tekanan sebesar 1033 gram. Tekanan udara pada permukaan bumi
oleh lapisan atmosfer adalah sebesar 1 atmosfer. Tekanan udara sebesar 1
atmosfer ini sama dengan 76 cm Hg, didalam metereologi, satuan udara yang
dipakai adalah Bar.

Faktor pendorong bergeraknya massa udara adalah perbedaan tekanan


udara antara satu tempat dengan tempat yang lain. Angin selalu bertiup dari
tempat dengan udara tekanan tinggi ke tempat yang tekanan udaranya lebih
rendah.

Jika tidak ada gaya lain yang mempengaruhi, maka angin akan bergerak
secara langsung dari udara bertekanan tinggi ke udara bertekanan rendah. Akan
tetapi, perputaran bumi pada sumbunya akan menimbulkan gaya yang akan
mempengaruhi arah pergerakan angin.

58
Perbedaan tekanan udara menimbulkan aliran udara. Udara yang mengalir
disebut angin. Udara mengalir dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang
bertekanan rendah.

1.2 Tujuan

1.Untuk mengetahui cara kerja dari alat pengukur kecepatan angin


(Anemometer)

2. Untuk mengetahui kecepatan angin di suatu daerah pada waktu tertentu.

59
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Angin merupakan suatu vektor yang mempunyai besaran dan arah.


Besaran yang dimaksud adalah kecepatannya sedang arahnya adalah darimana
datangnya angin. Kecepatan angin dapat dihitung dari jelajah angin (cup counter
anemometer) dibagi waktu (lamanya periode pengukuran). Mengukur arah angin
haruslah ada angin atau cup- counter anemometer dalam keadaan
bergerak.  (Tjasyono, 2005).

Arah angin biasa dinyatakan dengan arah dari mana angin tersebut datang,
sedangkan kecepatan angin biasanya dinyatakan dalam satuan meter/detik,
km/jam dan mil/jam. Alat yang digunakan untuk mengukur kecepatan angin
disebut Anemometer. Ada beberapa jenis anemometer : Anemometer mangkuk
(cup anemometer), anemometer baling-baling (propeler anemometer)
anemometer arus konstan (constan current anemometer). Namun yang umum
digunakan adalah anemometer mangkuk. Kecepatan angin di alam biasanya dapat
dikenali dengan tanda-tanda yang diakibatkan oleh tiupan angin tersebut
(Soemeinaboedhy, 2006).

Angin yang tidak menguntungkan bagi pertanian adalah angin fohn,


karena dapat melayukan tanaman. Angin fohn terjadi karena udara yang
mengandung uap air membentur pengunungan atau gunung yang tinggi, sehingga
naik. Makin ke atas, suhu makin dingin dan terjadilah kondensasi yang
selanjutnya terbentuk titik-titik air. Titik-titik air itu kemudian jatuh sebagai hujan
sebelum mencapai puncak pada lereng pertama. Angin terus bergerak menuju
puncak, kemudian jatuh pada lereng berikutnya sampai kelembah. Karena sudah
menjatuhkan hujan maka angin yang menuruni lereng ini bersifat kering. Akibat
cepatnya gerakan menuruni lereng, angin menjadi pasang sehingga angin fohn
memiliki sifat menurun, kering, dan panas (Wahyuningsih, 2004).

Massa udara yang bergerak disebut angin. Angin dapat bergerak secara
horizontal maupun secara vertikal dengan kecepatan yang bervariasi dan

60
berfluktuasi secara dinamis. Faktor pendorong bergeraknya massa udara adalah
perbedaan tekanan udara antara satu tempat dengan tempat yang lain. Angin
selalu bertiup dari tempat dengan tekanan udara tinggi ke yang tekanan udara
lebih rendah. Jika tidak ada gaya lain yang mempengaruhi, maka angin akan
bergerak secara langsung dari udara bertekanan tinggi ke udara bertekanan
rendah. Akan tetapi, perputaran bumi pada sumbunya, akan menimbulkan gaya
yang akan mempengaruhi arah pergerakan angin. Pengaruh perputaran bumi
terhadap arah angin disebut pengaruh Coriolis (Lakitan,2002).

Tekanan udara adalah tekanan yang diberikan oleh udara karena beratnya
kepada setiap bidang seluas 1 cm2 yang mendatar dari permukaan bumi. Hal ini
dapat dipahami bahwa setiap lapisan udara yang dibawah mendapat tekanan udara
dari yang diatasnya. Oleh karena itu lapisan yang dibawah keadaan tegang.
Ketegangan itu sangat besar sehingga berat udara yang diatasnya bertahan dalam
keadaan seimbang. Tinggi barometer ialah panjang kolom air raksa yang
seimbang dengan tekanan udara pada waktu itu (Kensaku, 2002).

Hubungan antara tekanan udara dan ketinggian tempat ini dimanfaatkan


dalam merancang alat pengukuran ketinggian tempat yang disebut Altimeter.
Tekanan udara umumnya menurun sebesar 11 mb untuk setiap bertambahnnya
ketinggian tempat sebesar 100 meter. Tekanan udara dipengaruhi oleh suhu, suhu
udara didaerah tropis menunjukkan fluktasi musiman yang sangat kecil. Oleh
sebab itu dapat dipahami jika tekanan udara dikawasan tropis relatif konstan
(Takeda, 2005).

61
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Pengukuran Kecepatan Angin ini dilakukan pada pukul 14.50-


16.30 WIB. Pada hari Jumat, 20 September 2019 bertempat di Stasiun
Agroklimatologi “UPN Veteran Jawa Timur”.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

1. Anemometer

2. Tiang anemometer

3. Gawai

4. Alat tulis

3.2.2 Bahan

1. Lembar Pengamatan

3.3 Langkah Kerja

1. Menyiapkan alat yang akan digunakan untuk praktikum

2. Melakukan pengamatan dengan menempatkan anemometer pada


ketinggian 1 m, 1,5 m, 2 m, dan 2,5 m secara bergantian. Masing-masing
ketinggian dilakukan pengamatan selama 10 detik untuk menentukan
kecepatan tertinggi

3. Mendokumentasikan dan mencatat hasil pengamatan

62
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 6.1 Hasil Pengamatan Kecepatan Angin

No t (s) h (m) V (m/s) V (km/jam) Gambar


4.2 1. 10 1 1,8 6,48

Gambar 6.1
Hasil Kecepatan 1 m
2 10 1,5 4,8 17,28

Gambar 6.2
Hasil Kecepatan 1,5 m
3. 10 2 5,8 20,88

Gambar 6.3
Hasil Kecepatan 2 m
4 10 2,5 7,3 26,28

Gambar 6.4
Hasil Kecepatan 2,5 m

Pembahasan

63
Angin adalah gerakan atau perpindahan masa udara pada arah horizontal
yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara dari satu tempat dengan tempat
lainnya. Angin diartikan pula sebagai gerakan relatif udara terhadap permukaan
bumi, pada arah horizontal atau hampir horinzontal. Masa udara ini mempunyai
sifat yang dibedakan antara lain oleh kelembaban (RH) dan suhunya, sehingga
dikenal adanya angin basah, angin kering dan sebagainya. Sifat-sifat ini
dipengaruhi oleh tiga hal utama, yaitu (1) daerah asalnya dan (2) daerah yang
dilewatinya dan (3) lama atau jarak pergerakannya.

Kecepatan angin adalah jarak tempuh angin atau pergerakan udara


persatuan waktu dan dinyatakan dalam satuan meter perdetik (m/d),
kilometer perjam (km/jam), dan mil perjam (mil/jam). Kecepatan angin
bervariasi dengan ketinggian dari permukaan tanah, sehingga dikenal
adanya profil angin, dimana makin tinggi maka gerakan angin makin
cepat. Kecepatan angin diukur dengan menggunakan alat yang disebut
anemometer atau anemograf.

Anemometer adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengukur


kecepatan angin dan menentukan arah. Anemometer merupakan salah
satu instrumen yang sering digunakan oleh balai cuaca seperti BMKG.
Satuan meteorologinya adalah knots. Satuan yang digunakan adalah
meter/detik (Mahar, dkk 2017)

Angin terjadi karena perbedaan tekanan udara.  Tekanan udara


disuatu tempat sama dengan berat udara di tempat itu.  Faktor yang
mempengaruhi tekanan udara adalah suhu dan tinggi tempat, jika
temperatur udara tinggi (akibat pemanasan langsung dari matahari
maupun radiasi gelombang panjang dari bumi) maka volume udara
bertambah besar atau mengembang, massa jenisnya berkurang sehingga
tekanannya menjadi berkurang.  Sebaliknya, jika suhu udara rendah maka
volume udara menyusut hingga massa jenisnya bertambah besar.  Selain
suhu, faktor lain yang mempengaruhi tekanan udara adalah tinggi
tempat.  Makin tinggi tempat, maka lapisan udara semakin tipis dan
renggang, akibatnya tekanan udara makin rendah.

64
Arah angin adalah arah dari mana tiupan angin berasal. Bila angin
itu datang dari selatan, maka arah anginnya adalah utara, datangnya dari
laut dan dinyatakan sebagai angin laut. Arah angin untuk daerah
dipermukaan biasanya dinyatakan dalam 16 arah kompas yang dikenal
dengan istlah Wind Rose, sedangkan untuk angin didaerah atas
dinyatakan dengan derajat dimulai dari arah utara bergerak searah jarum
jam sampai diarah yang bersangkutan. Bila tidak ada tiupan angin maka
arah angin dinyatakan dengan kode 00 dan bila angin berasal dari titik
utara dinyatakan dengan 3600.

Semakin tinggi penempatan anemometer maka kecepatan angin


akan semakin kuat. Pertama anemometer ditempatkan pada ketinggian 1
meter dan dihasilkan kecepatan angin sebesar 1,8 m/s. Berikutnya
anemometer ditempatkan pada ketinggian 1,5 meter sehingga dihasilkan
kecepatan sebesar 4,8 m/s. Pada ketinggian 2 meter anemometer
menunjukan hasil 5,8 m/s. Sedangkan pada ketinggian 2,5 meter
dihasilkan kecepatan angin 7,3 m/s. Sehingga dapat diketahui bahwa
besarnya kecepatan angin tergantung pada tinggi dan rendahnya tempat
pengukuran. Tingginya kecepatan angin pada tempat yang tinggi
disebabkan angin dapat berhembus tanpa penghalang, sedangkan
ditempat yang rendah angin tidak dapat berhembus dengan bebas karena
terhalang oleh benda-benda, pohon, bangunan, dan lain sebagainya.

BAB V

PENUTUP

65
5.1 Kesimpulan

1. Pada perhitungan kecepatan angin yang dilakukan bahwa setiap waktu


kecepatan angin itu berubah. Angin berubah - ubah karena angin
merupakan udara yang bergerak yang diakibatkan oleh rotasi bumi. Angin
juga berubah - ubah karena adanya perbedaan tekanan udara (tekanan
tinggi ke tekanan rendah) di sekitarnya. Angin merupakan udara yang
bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah atau dari suhu udara yang
rendah ke suhu udara yang tinggi.

2. Angin adalah aliran udara yang terjadi diatas permukaan bumi, yang
disebabkan oleh perbedaan tekanan udara pada dua arah yang berdekatan.
Kecepatan angin diukur dengan menggunakan alat yang disebut
Anemometer atau Anemograf. Faktor pendorong bergeraknya massa udara
adalah perbedaan tekanan udara antara satu tempat dengan tempat yang
lain.

DAFTAR PUSTAKA

66
Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-dasar Klimatologi, Raja Grafindo Persada, Null.

Takeda, Kensaku. 2005. Hidrologi Pertanian. PT. Pratya Utama, Bogor.

Wahyuningsih, Utami. 2004. Geografi. Pabelan, Jakarta.

Tjasyono, Bayong. 2005. Klimatologi. ITB: Bandung.

Soemeinaboedhy, Nyoman I, 2006. Agroklimatologi. UPT Universitas Mataram:


Mataram.

67
MATERI VII PENENTUAN
KLASIFIKASI IKLIM DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

68
1.1 Latar Belakang
Iklim dapat didefinisikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka
waktu tertentu dan cuaca menyatakan status atmosfer pada sembarang waktu
tertentu. Dua unsur utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia
sebagai daerah tropis ekuatorial mempunyai variasi suhu yang kecil,
sementara variasi curah hujannya cukup besar. Oleh karena itu, curah hujan
merupakan unsur iklim yang sering diamati dibandingkan suhu.
Dalam dunia pertanian, iklim sangat berpengaruh dalam tumbuh dan
berkembangnya suatu tanaman sehingga dalam penanaman tanaman
dibutuhkan penentuan iklim atau cuaca yang cocok agar tanaman dapat
berproduksi dengan baik. Klasifikasi iklim dapat membantu memudahkan
petani untuk menentukan letak penanaman yang cocok untuk suatu tanaman
sehingga dapat optimal pertumbuhannya
Unsur iklim mempengaruhi hampir semua aspek kegiatan pertanian baik
perencanaan jangka panjang, jangka pendek maupun sehari-hari. Kebutuhan
akan informasi iklim yang tepat guna semakin dirasakan strategis dalam
menunjang progam pertanian. Oleh karena itu, usaha yang paling bijaksana
adalah menyesuaikan pola pertanian dan jenis tanaman/komoditas pertanian
yang diusahakan dengan pola iklim setempat. penyesuaian tersebut harus
didasarkan kepada idensifikasi, pemahaman atau interprestasi yang tepat
terhadap iklim pada setiap agroekosistem dan lokasi spesifik atau lahan.
Dengan demikian dalam memilah-milah wilayah dengan kondisi iklim yang
sesuai untuk komoditas pertanian tertentu atau komoditas pertanian untuk
wilayah tertentu diperlukan idensifikasi dan interpretasi iklim yang lebih
komprehensif.
Suatu metode klasifikasi iklim berguna untuk memperoleh efisiensi
informasi dalam bentuk yang umum dan sederhana. Bahwa tujuan klasifikasi
iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi
unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti
angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan
unsur aktif untuk tujuan khusus.

69
1.2 Tujuan
Mengetahui berbagai sistem klasifikasi iklim dan cara
mengklasifikasikannya.

70
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Iklim adalah rata-rata kondisi cuaca dalam jangka waktu yang lama dan
meliputi tempat yang luas. Iklim dikaji dalam bidang klimatologi. Terjadinya
perbedaan iklim di muka bumi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu rotasi dan
revolusi bumi yang berdasar pada garis lintang dan bujur, topografi bumi, tekanan
udara, luas permukaan tanah dan hutan. Pengklasifikasian iklim hanya memilih
data iklim yang mempengaruhi secara langsung aktivitas dalam bidang yang
diamati seperti pola tanam komoditas bahanpangan atau perkebunan
(Lakitan,2002). Oleh karena itu pembagian iklim disuatu tempat didasarkan pada
tiga tipe iklim. Pembagian iklim berdasarkan tujuan penggunaanya yaitu tipe
iklim Mohr, tipe iklim Schmidt-Ferguson dan tipe iklim Oldeman (Dewi,2005).
Klasikasi iklim umumnya sangat spesifik yang diudasarkan atas tujuan
penggunannya, misalnya untuk kegunaan dibidang pertanian.

Klasifikasi iklim yang spesifik sesuai dengan kegunannya ini tetap


menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi dengan hanya memilih
data tentang unsur atau unsur-unsur iklim yang relevan, yang secara langsung
akan mempengaruhi aktifitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut. Tipe iklim
Schmidt-Ferguson merupakan perbaikan dari tipe iklim Mohr. Pencarian rata-rata
bulan basah dan bulan kering atau nilai Q dalam klasifikasi iklim Schmidt-
Ferguson dilakukan dengan cara membandingkan jumlah bulan kering dengan
bulan basah selama pengamatan (Syakur,2008). Bulan kering adalah bulan dengan
curah hujan <60 mm, bulan lembab yaitu bulan dengan curah hujan antara 600-
100 mm, bulan basah adalah bulan dengan curah hujan 100 mm (Guslim,2009)
Iklim ini digunakan untuk menentukkan pemetaan pola tanam komoditas
perkebunan dan hutan. Tipe iklim Schmidt-Ferguson digunakan untuk tanaman
keras atau tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan. Pemetaan komoditas
tanaman yang cocok ditanam pada iklim adalah tanaman pangan seperti padi.

71
Klasifikasi iklim yang tepat digunakan untuk pemetaan pola tanam pada
bidang pertanian adalah klasifikasi iklim menurut Oldeman. Klasifikasi iklim
menurut Oldeman memakai unsur curah hujan sebagai dasar penentuan klasifikasi
iklimnya. Kriteria dalam klasifikasi iklim didasrkan pada perhitungan bulan basah
(BB), bulan kering (BK), dan bulan kering (BK) dengan batasan memperhatikan
peluang hujan, hujan efektif, dan kebutuhan air tanaman (Fadholi dan
Supriyatin,2012). Tipe iklim Oldeman digunakan untuk pemetaan pola tanam padi
dan palawija sebagai bahan pangan. Komoditas tanaman yang cocok ditanam
berdasarkan iklim Oldeman adalah padi dan palawija dengan sistem pertanian
yang lebih maju dari tipe iklim sebelumnya. Bulan basah adalah suatu bulan yang
curah hujan rata-rata lebih besar dari 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang
curah hujan rata-rata lebih besar dari 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang
curah hujannya sama atau lebih kecil 100mm (Runtunwu dan Syahbudin, 2007).

72
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum yang berjudul Penentuan Klasifikasi Iklim di Indonesia


dilakukan pada Jum’at 15 November 2019 pada pukul 14.50-16.20 di Fakultas
Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran’’ Jawa Timur.

3.2 Alat dan Bahan

1. Alat Tulis

2. Kalkulator

3. Data curah hujan minimal 5 tahun dari suatu stasiun Klimatologi


Pertanian

3.3 Cara Kerja

3.3.1 Menurut Schmidt

1. Menyiapkan alat dan bahan


2. Menentukan BB, BL, dan BK dari setiap data
3. Menjumlahkan masing-masing BB,BL dan BK
4. Menghitung nilai Q dengan memasukkan data rata-rata BK dibagi
BB dikali 100%
5. Mengidentifikasi nilai Q dengan menentukan tipe iklim sesuai data
tabel Schmidt-Ferguson
3.3.2 Menurut Oldeman
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Menentukan rata-rata curah hujan tiap bulan
3. Menentukan BB dan BK

73
4. Mengidentifikasi zona dan sub zona
5. Menentukan tanaman pertanian sesuai data yang diperoleh

74
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Tabel7.1 Data curah hujan daerah Banyuwangi

BULAN 2014 2015 2016 2017 2018


Januari 216,60 150,10 116,10 244,00 474,30
Februari 227,30 202,70 238,50 224,80 276,00
Maret 28,30 225,90 66,90 121,10 161,90
April 127,00 84,30 48,70 83,70 28,90
Mei 19,40 87,10 100,00 150,90 5,90
Juni 16,90 58,80 172,70 173,20 33,10
Juli 136,10 TTU 81,90 118,40 68,50
Agustus 24,30 19,90 145,10 48,20 69,40
Septembe TTU 0,80 22,80 9,30 9,00
r
Oktober 36,50 TTU 76,70 113,20 0,70
November 91,50 TTU 121,70 192,50 239,20
Desember 172,80 148,20 255,70 276,60 97,60

Tabel 7.2 Data Menurut Schmidt Ferguson

TAHUN BB BL BK
2014 5 1 5
2015 4 2 3
2016 6 3 3
2017 9 1 2
2018 4 3 5

Rata−Rata BK
Q= x 100 %
Rata−Rata BB

75
3,6
Q= x 100%
5,6

= 64,29 % (Tergolong Daerah Sedang)

Tabel 7.3 Data Menurut Oldeman

BULAN RATA-RATA KLASIFIKASI BULAN


Januari 240,22 BB
Februari 243,86 BB
Maret 120,82 BB
April 74,52 BK
Mei 72,66 BK
Juni 91,04 BK
Juli 80,98 BK
Agustus 60,38 BK
Sepetember 8,38 BK
Oktober 45,42 BK
November 128,98 BK
Desember 170,18 BK

4.2 Pembahasan

Unsur-unsur iklim yang menunjukkan pola keragaman yang jelas


merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering
dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya
sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan penggunaannya misalnya untuk
pertanian, penerbangan dan kelautan. Pengklasifikasian iklim yang sangat spesifik
tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih
data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi
aktifitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002).

Berdasarkan data yang didapat menurut Schmidt-Ferguson iklim di daerah


Banyuwangi masuk kriteria sedang dengan Q = 64,29% sesuai data nilai tersebut
masuk kriteria 60 ≤ Q ˂ 100, maka tipe iklim masuk D, dengan D adalah daerah
sedang hutan musiman. Tanaman tahunan pada hutan musim merupakan tanaman
yang tahan terhadap musim hujan maupun musim kemarau panjang sekalipun.
Hal ini dikarenakan tanaman yang tumbuh dihutan musim mampu beradaptasi,
misal pada musim hujan tanaman tumbuh subur hingga dunnya berkanopi,

76
sedangkan pada musim kemarau tanaman akan menggugurkan daunnya untuk
mengurangi penguapan. Tanaman pada daerah hutan musiman merupakan tipe
tanaman tahunan yang tahan akan suhu tinggi dan mampu beradaptasi pada
musim hujan dan musim kemarau. Biasanya tanaman yang tumbuh adalah
tanaman homogen (satu jenis tanaman). Contoh tumbuhan yang tumbuh di hutan
musiman Banyuwangi yaitu Pilang (Acacia leucophloea), Widoro Bukol
(Ziziphus mauritiana), Mimba (Azadirachta indica).

Menurut metode Oldeman tujuannya adalah menentukan tanaman


pertanian. Setelah diketahui rata-rata BB BK daerah Banyuwangi masuk kedalam
zona D dan sub zona 4. Berdasarkan klasifiklasi Oldeman tanaman pertanian
daerah Banyuwangi masuk dalam tipe iklim D4 dengan penjabaran hanya
memungkinkan 1 kali padi atau 1 kali palawija setahun tergantung pada adanya
persediaan air irigasi. Tanaman dengan produktifitas terbesar di Banyuwangi ialah
padi dan tanaman lainnya antara lain jagung. Kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang
tanah, kacang hijau termasuk kedalam tanaman musiman. Tanaman pertanian
musiman lebih banyak membutuhkan air dibandingkan tanaman tahunan. Sebab
tanaman musiman tidak mampu beradaptasi dengan baik dalam hal pasokan air.
Jika kekurangan air tanaman musiman akan mati atau produktifitasnya akan
menurun.

Tanaman yang cocok di daerah Banyuwangi ialah padi dan palawija. Padi
adalah bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Sistem pembudidayaan padi pada
umumnya dibagi menjadi dua yaitu padi sawah dan padi gogo (padi huma dan
padi ladang). Padi sawah semasa hidupnya selalu tergenang air, sedangkan padi
gogo dalam keaadaan tidak tergenang atau kering. Kombinasi ini disebut gogo
rancah, padi ditanam diawal musim hujan lalu saat musim hujan datang maka
akan tergenang air (Purwono dan Purnamawati, 2007).  Tanaman padi dapat hidup
baik didaerah yang berhawa panas dengan suhu 32,5°C dan kelembaban yang
tinggi kira-kira 83,3% (Wiyono, 2010). Padi dapat tumbuh baik dengan curah
hujan rata-rata 200 mm per bulan (Dewi, 2005). Umumnya tanaman padi berumur
110 hari sampai 120 hari atau sering disebut umur genjah (Usman et al., 2014).

77
Palawija atau tanaman kedua setelah padi, biasa di tanam ketika air sudah
tidak mencukupi untuk menanam padi, selain membutuhkan waktu yang lama
padi membutuhkan banyak air, sementara palawija tidak, tanaman palawija dapat
tumbuh hanya dengan menyiram setiap hari, ataupun tidak sama sekali tergantung
kelembaban tanah itu sendiri. Beberapa jenis tanaman palawija yaitu mentimun,
kacang panjang, kacang hijau, kacang tanah, ubi jalar, wortel, kedelai, jagung dan
singkong. Curah hujan yang sesuai dengan tanaman palawija yaitu 1500-2500
mm/tahun. Kelembaban udara optimal yang diperlukan yaitu 60-65 %.  Rata-rata
palawija ditanam pada awal musim kemarau agar bisa dipanen saat musim
penghujan (Purwono dan Purnamawati, 2007).

78
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Klasifikasi Schmidt-Ferguson sama dengan kriteria BK dan BB oleh


Mohr, namun perbedaannya dalam cara perhitungan BK dan BB akhir selama
jangka waktu dan curah hujan itu dihitung. Klasifikasi Schmidt-Ferguson untuk
mengetahui pola tanam tanaman perkebunan dan perhutanan. Sedangkan
klasifikasi Oldeman ditujukan pada komoditi pertanian tanaman pangan utama
seperti padi, jagung, kedelai dan tanaman palawija lainnya.

79
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, N. K. 2005. Kesesuaian Iklim Terhadap Pertumbuhan Tanaman. Jurnal


Biologi 1 (2) : 1-15.

Fadholi, A dan Supriyatin, D. 2012. Sistem Pola Tanam di Wilayah Priangan


Berdasarkan Iklim Oldeman. Jurnal Pendidikan Geografi

Guslim. 2009. Agroklimatologi. USU Press. Medan

Lakitan, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi. cetakan ke-dua. Raja Grafindo


Persada. Jakarta

Purwono dan Purnamawati, H. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan


Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Purwono dan R. Hartono. 2006. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Sawadaya.


Jakarta.ion). J. Agrotekbis 2(1) : 32-37.

Runtunuwu dan Syahbudidin, H. 2007. Perubahan Pola Curah Hujan dan


Dampaknya Terhadap Periode Masa Tanam. Jurnal Tanah dan Iklim.

Usman, Z., U. Made dan Adriaton. 2014. Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Padi
(Oryza sativa L.) Pada Berbagai Umur Semai Dengan Teknik Budidaya
SRI (system of rice intensification). J. Agrotekbis 2(1) : 32-37.

Wiyono, S. 2010. Perubahan Iklim Dan Ledakan Hama Dan Penyakit Tanaman.


Institut Pertanian Bogor. Bogor.

80

Anda mungkin juga menyukai