Anda di halaman 1dari 11

PRAKTIKUM LAPANG

NISBAH KESETARAAN LAHAN

Disusun Oleh:

MUCHAMMAD FAJAR HIDAYATULLAH

NPM. 20025010080

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA


TIMUR

SURABAYA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Bawang merah dan jahe merupakan jenis komoditi hortikultura yang sangat populer
di Indonesia, karena selain diusahakan oleh banyak petani juga seringkali menimbulkan
gejolak harga bagi masyarakat. Bawang merah dan jahe, berperan sebagai bumbu dapur
untuk penyedap rasa makanan maupun obat-obatan. Bawang merah dan jahe merupakan
sayuran rempah yang dibutuhkan rumah tangga dalam jumlah sedikit, namun rutin setiap
hari, terutama bawang merah.
Kebutuhan masyarakat terhadap bawang merah dan jahe terus meningkat dari tahun
ke tahun, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, diversifikasi pangan masyarakat
dan industri makanan siap saji yang membutuhkan bahan baku dari hasil olahan bawang
merah dan jahe. Kondisi tersebut menyebabkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian
secara serius mengembangkan program Upaya khusus (UPSUS) untuk peningkatan produksi
bawang merah dan jahe, agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, tanpa tergantung
kepada impor (Zero Import). Dengan demikian bawang merah dan cabe memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, sehingga menjadikan usaha budidaya bawang merah dan jahe memiliki
prospek yang sangat baik untuk terus dikembangkan oleh masyarakat.
Dari tahun 2009 konsumsi bawang merah secara nasional mencapai 2,52
kg/kapita/tahun, dan mengalami penurunan menjadi hanya 2,06 kg/kapita/tahun pada tahun
2013 (BPS, 2013). Hal ini disebabkan karena harga bawang merah yang terus mengalami
peningkatan yang tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Berdasarkan
data Kementerian Pertanian (2016) diketahui bahwa luas panen bawang merah dari tahun
2012 adalah 99.519 Ha dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga tahun
2016 luas panen sudah mencapai 148.434 Ha, namun produktivitas bawang merah di
Sulawesi Tengah masih sangat rendah (3,37-5,31 ton/ha) dibandingkan produktivitas nasional
yang sudah mencapai (9,66–10,22 ton/ha). Masih rendahnya produktivitas bawang merah di
indonesia, terutama disebabkan oleh penerapan teknik budidaya yang belum optimal.
Sistem tumpang sari merupakan salah satu pola tanam yang dapat meningkatkan
produktivitas lahan. Beberapa keuntungan dari sistem ini adalah efisiensi penggunaan air dan
lahan, pengurangan populasi gulma, dan peningkatan pendapatan total pada sistem usaha tani.
Evaluasi keuntungan atau kerugian yang ditimbulkan dari pola tanam tumpangsari dengan
monokultur dapat dihitung dari Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Berdasarkan uraian diatas
diperlukan analisis nilai NKL untuk mengetahui hasil terbaik pada pola tanam tumpangsari
berbagai varietas tanaman Bawang merah dan tanaman jahe.

1.2 Tujuan Kegiatan

Tujuan dari praktikum lapang pola tanam adalah agar mahasiswa dapat mengetahui
nisbah kesetaraan lahan pad lahan pertanian di desa purworejo Kecamatan Ngantang,
Kabupaten Malang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pola Tanam

Pola tanam dapat didefinisikan sebagai pengaturan jenis tanaman atau urutan jenis
tanaman yang diusahakan pada sebidang lahan dalam kurun waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Dalam pengertian pola tanam tersebut ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu
jenis tanaman, lahan dan kurun waktu tertentu. Dalam bidang budidaya tanaman dikenal
pola tanam secara monokultur dan tumpang sari. Pada pola tanam monokultur, tanaman
yang dibudidayakan dalam satu lahan hanya satu jenis sehingga lebih mudah dalam
perawatannya namun rentan terserang hama penyakit. Sedangkan pada pola tanam
tupangsari, terdapat beberapa jenis tanaman yang dibudidayakan dalam satu lahan
sehingga tidak rentan terserang hama penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2017). Selain itu pola tanam tumpang sari juga mempunyai keuntungan secara
ekonomi, yaitu meningkatkan efisiensi penggunaan faktor produksi dan meningkatkan
pendapatan petani.

1.2. Tanaman Bawang Merah

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas tanaman


hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat khususnnya digunakan sebagai
bumbu memasak (Irfan, 2013). Bawang merah diperkaya memiliki nilai jual yang tinggi,
oleh karena itu budidaya bawang merah di Indonesia harus di lakukan secara intensif agar
mendapatkan hasil produksi yang maksimal (Supriyadi, Rochdjatun dan Djauhari, 2013).
Seperti petani yang ada di Dusun Pakan, Desa Purworejo, Kecamatan Ngantang
Kabupaten malang, bahwa petani disana memperbanyak bawang merah secara vegetative,
yaitu melalui umbinya. Metode tersebut memiliki beberapa kekurangan diantaranya
adalah umbi bibit yang berkualitas sulit didapat karena umbi sering membawa penyakit
virus yang ditularkan oleh tanaman asal, adanya dormansi benih, volume bibit umbi
besar, rentan terhadap hama dan penyakit serta biaya penyediaan bibit cukup mahal yaitu
40% dari total produksi bawang merah (Sopha dan Basuki, 2010). Selain itu kekurangan
dari petani yang memperbanyak tanaman bawang merah menggunakan umbi, yaitu
terbatasnya ketersediaan benih - benih bawang merah yang bermutu, dan harus memiliki
modal yang cukup untuk membeli umbi bawang merah yang berkualitas (Pangestuti dan
Sulistyaningsih, 2011).

1.3. Tanaman Jahe

Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu komoditas yang sudah sejak
ribuan tahun yang lalu digunakan sebagai bagian dari ramuan rempah-rempah yang
diperdagangkan secara luas di dunia. Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc) juga
merupakan tanaman obat dan rempah yang berupa rumpun berbatang semu dan
membentuk rimpang. Jahe memiliki nilai ekonomis tinggi baik secara ekonomi maupun
khasiatnya. Masyarakat Indonesia umumnya telah mengenal dan memanfaatkan tanaman
ini dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai kepentingan seperti: campuran bahan
makanan, minuman, kosmetik, parfum dan lain-lain mulai dari tingkat tradisional di
pedesaan sampai tingkat modern di perkotaan. Tanaman jahe untuk dikonsumsi segar di
panen pada umur 8 bulan, sedangkan untuk keperluan bibit dipanen umur 10 bulan atau
lebih. Sementara untuk keperluan asinan jahe, jahe awet dipanen muda berumur 3-4
bulan( BBPPTP, 2008). Jahe juga mengandung gizi cukup tinggi antara lain 58 % pati,
8% protein, 3-5 % oleoresin dan 1-3 % minyak atsiri (Sari et al.,2006).

1.4. Nisbah Kesetaraan Lahan

Nisbah kesetaraan lahan (NKL) adalah jumlah nisbah hasil antara tanaman yang
tumpangsarikan terhadap hasil tanaman secara tunggal atau monokultur pada tingkat
managemen yang sama yang merupakan salah satu cara untuk menghitung produkstivitas
lahan yang ditanam dua atau lebih jenis tanaman yang ditumpangsarikan. (Suwardi dan
Syafruddin, 2015) Nisbah kesetaraan lahan >1 berarti menguntungkan. Apabila salah satu
spesies tanaman tertekan (Tidak saling menguntungkan) maka nilai NKL kurang dari
satu. Rumus umum untuk menghitung NKL menurut Mao et al. (2012): NKL = 𝑌𝑡 / 𝑌𝑚
NKL = nisbah kesetaraan lahan , Yt =hasil pada tumpangsari, Ym = hasil pada
monokultur.

Kondisi tanah harus mampu mendukung kemampuan tumbuh kombinasi tanaman


yang dipilih. Evaluasi keuntungan atau kerugian yang ditimbulkan dari pola tanam
tumpangsari dengan monokultur dapat dihitung dari Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). NKL
merupakan perbandingan jumlah nilai tanaman yang ditanam secara tumpang sari dengan
tanaman secara monokultur pada pengelolaan yang sama. Perlakuan yang menghasilkan
NKL kurang dari 1 berarti idak menguntungkan untuk pertanaman tumpangsari. Sistem
tumpangsari dinilai lebih menguntungkan jika NKL lebih besar dari satu (Herlina 2011).
Kegunaan dari Nilai Kesetaraan Lahan adalah untuk membandingkan pola tanam
tumpang sari dan monokultur, dari masing-masing kombinasi tanaman dari pola tanam
tumpang sari, manfaat dari bentuk pola tanam, dan membandingkan efisiensi dari
penggunaan lahan dari masing masing pola tanam.
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum lapang pola tanam materi nisbah kesetaraan lahan ini dilaksanakan pada
senin, 5 Desember 2022. pukul 05.00-selesai. Bertempat di Dusun Pakan, Desa Purworejo,
Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kamera ponsel, alat tulis, dan
buku catatan.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah lahan pertanian kecamatan
ngantang , kabupaten malang

3.3. Langkah Kerja

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan

2. Menganalisis pola lahan pertanian yang dikembangkan pada desa yang diobservasi

3. Mewawancarai petani

4. Menulis data tanaman hasil tumpangsari dan monokultur

5. Menghitung nilai NKL dari data yang telah diperoleh.

6. Menganalisis nilai NKL yang diperoleh.

7. dokumentasikan bentuk pola tanam yang dikembangkan

8. Menyusun laporan hasil praktikum lapang


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

4.1.1. Tabel Pengamatan Lahan Tumpang Sari Tanaman Jahe dan Bawang Merah

No. Sistem pola tanam Hasil panen

Monokultur

1 Bawang merah 4 kwintal/ 3,2 ton

Polikultur

1 Bawang merah 4 kwintal/3,2 ton

2 Jahe 50 kg/ 1,2 kwintal

NKL = + = 1 + 0 = 1 (menguntungkan)

4.2. Pembahasan

Pada praktikum lapang materi pola tanam dilaksanakan pada lahan pertanian di desa
Purworejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Pelaksanaan praktikum ini merupakan
implementasi dan praktek dari program mata kuliah pola tanam. Pada kegiatan ini mahasiswa
dihadapkan pada banyak pengamatan tentang hasil panen serta nisbah kesetaraan lahan. Pada
lahan di desa purworejo ini telah menerapkan dua sistem pola tanam yaitu monokultur dan
polikultur.

Meningkatkan hasil produksi sangatlah penting untuk menunjang keberlangsungan


pertanian dan kehidupan bagi para petani. Perkembangan pola tanam sangatlah penting
dilakukan, perpindahan dari monokultur ke polikultur memberikan manfaat dan hasil
produksi yang cukup meningkat. Menanam secara tumpangsari akan dapat meningkatkan
pendapatan petani, karena dengan menanam secara tumpangsari penggunaan sarana produksi
dapat lebih rendah dibanding pola tanam secara monokultur (Hermawati, 2016). Pola tanam
secara tumpangsari dapat meningkatkan produksi, hal ini disebabkan karena berkurangnya
hama dan penyakit dengan keadaan di atas keuntungan usahatani tersebut dapat ditingkatkan.
Tingkat produktivitas lahan dari sistem tanam tumpang sari terhadap monokultur, dapat
dinilai berdasarkan NKL.

Land Equivalent Ratio (LER) adalah jumlah nisbah hasil antara tanaman yang
ditumpangsarikan terhadap hasil tanaman secara tunggal atau monokultur pada tingkat
manajemen yang sama merupakan salah satu cara untuk menghitung produktivitas lahan yang
ditanam dua atau lebih jenis tanamana yang ditumpangsarikan (Yuwariah et al., 2018).
Menghitung Nilai Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL) bertujuan untuk mendapatkan pola tanam
tumpangsari yang mempunyai nilai produktivitas lahan yang tinggi dan efisien. Tingkat
produktivitas lahan dari sistem tanam tumpang sari terhadap monokultur, dapat dinilai
berdasarkan NKL.

Secara keseluruhan berdasarkan perhitungan nilai NKL kedua lahan yaitu polikultur
tanaman bawang merah dan jahe serta, monokultur tanaman bawang merah. Diperoleh hasil
perhitungan nilai NKL adalah berjumlah lebih dari 1. Nilai rata-rata NKL yang besar lebih
dari 1 menggambarkan bahwa pertanaman campuran menguntungkan jika ditanam secara
tumpang sari dibanding pertanaman tunggal pada luas lahan yang sama (Yuwariah et al.,
2018).
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum Pola Tanam materi Nilai Nisbah Kesetaraan Lahan dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Tingkat produktivitas lahan dari sistem tanam tumpang sari terhadap monokultur,
dapat dinilai berdasarkan NKL.

2. perhitungan nilai NKL kedua lahan yaitu polikultur tanaman bawang merah dan jahe
serta, monokultur tanaman bawang merah. Diperoleh hasil perhitungan nilai NKL
adalah berjumlah lebih dari 1

3. Nilai rata-rata NKL yang besar lebih dari 1 menggambarkan bahwa pertanaman
campuran menguntungkan jika ditanam secara tumpang sari dibanding pertanaman
tunggal pada luas lahan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2013. Produksi Bawang. Pusat Pengembangan Hortikultura. Badan Pusat Statistik.

Jakarta

Hermawati, D. T. 2016. Kajian Ekonomi antara Pola Tanam Monokultur dan Tumpangsari

Tanaman Jagung, Kubis dan Bayam. INOVASI, Volume XVIII, Nomor 1, 66 - 71

Mao L, Zhang L, Li W, Werf W, Sun J, Spiertz H, Li L. 2012. Yield advantage and water

saving in maize/pea intercrop. Field Crops Research 138 (1): 11–20

Irfan, M. (2013). Respon Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Terhadap Zat Pengatur
Tumbuh dan Unsur Hara. Jurnal Agroteknologi. Vol. 3 No. 2, Februari 2013:35-40.

Pangestuti, R. dan E. Sulistyaningsih. 2011. Potensi Penggunaan TSS (True Seed Shallot)
sebagai Sumber Benih Bawang Merah di Indonesia. Hal 258-266. Di dalam:
Prosiding Semiloka Nasional, Seminar Dukungan Agro-Inovasi untuk
Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng dan Pemprov Jateng.
Semarang 14 Juli 2011. Semarang. Universitas Diponegoro.

Rahayu, E, dan Berlian, N. V. 2015. Pedoman Bertanam Bawang Merah. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Suwardi dan Syafruddin. 2015. Pemanfaatan Lahan Pada Tanam Sistem Legowo Bawang
Merah Dengan Tumpangsari Kacang Hijau. Prosiding Seminar Nasional Serealia
213-221

Sopha, G.A. dan S. B. Rofik. 2010. Pengaruh Komposisi Media Semai Lokal Terhadap
Pertumbuhan Bibit Bawang Merah Asal Biji (True Shallot Seed). Jurnal Ilmu-ilmu
Hayati dan Fisik 12(1):22-29.

Yuwariah, Y., Irwan, A. W., Syafi, M., & Ruswandi, D. 2018. Pertumbuhan dan Hasil
Bawang Merah pada Pola Tanam Tumpangsari dengan Kedelai di Arjasari
Kabupaten Bandung. Jurnal Agrotek Indonesia, 3(1), 51–65

Anda mungkin juga menyukai