Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH INOVASI AGROTEKNOLOGI

Oleh:

TRISDAY YIIN PARARI

G012192003

PROGRAM STUDI MAGISTER AGROTEKNOLOGI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2020
1. Apabila saya akan membudidayakan suatu tanaman pangan tertentu di
suatu wilayah atau kawasan. Faktor-faktor yang saya pertimbangkan
agar dapat menunjukkan potensi maksimalnya yaitu: menyesuaikan komoditas
tanaman dengan letak wilayah, kondisi wilayah, topologi wilayah, iklim, kondisi tanah, air,
dan aspek pendukung budidaya lainnya, selain itu factor yang sangat perlu dipertimbangkan
yaitu kedaan kehidupan sosial masyarakat dan peluang pasar tanaman pangan tersebut di
sekitar kawasan tersebut. Misalnya:
“Pengembangan Padi Varietas Lokal di Dataran Tinggi Toraja Utara secara Organik”,
faktor yang perlu dipertimbangkan agar produksi maksimal:
a. Agroekologis Sesuai dan Dukungan Pemerintah Setempat
Di daerah dataran tinggi Toraja (700-1500 mdpl) terdapat banyak padi lokal yang
masih banyak dibudidayakan masyarakat secara konvensional padi lokal tumbuh dan
berproduksi dengan baik di daerah tersebut. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan
Perikanan Toraja Utara perkembangan padi lokal selalu mengalami peningkatan setiap
tahun dengan sebaran di wilayah di 21 kecamatan di Toraja Utara. Namun peningkatan dan
total luas tanam dan produktivitas tidak begitu signifikan karena padi unggul lokal ini
masih dikembangkan secara tradisional oleh petani serta tidak dibudidayakan sepanjang
tahun.
Berdasarkan rencana strategik (Renstra) Dinas Pertanian dan Perikanan sampai
tahun 2015 yang disesuaikan dengan Visi Bupati Toraja Utara "PARIWISATA
PENGGERAK PEMERATAAN DAN PENINGKATAN PEMBANGUNAN TORAJA
UTARA 2015", maka dalam hal menunjang kegiatan pariwisata, pengembangan padi
unggul lokal yang ada di Kabupaten Toraja Utara menjadi salah satu prioritas pokok.
Pengembangan padi-padi lokal ini akan dilakukan dengan memaksimalkan kelompok tani
dengan dukungan dana dari APBD dan APBN.
b. Peluang Pengembangan Kualitas Beras Tinggi
Petani padi sawah di Toraja Utara rata-rata masih mempertahankan
membudidayakan padi lokal karena syarat tumbuh yang cocok dan pengembangan padi
Varietas unggul yang kurang optimal karena tidak berproduksi dengan baik pada suhu
rendah di bawah 15°C, selain itu petani relative menyukai rasa padi lokal yang pada
umumnya rasanya sangat enak (Lallodo, Lea, dan Ambo), harum (Barri, Bau dan
Kombong), kandungan gizi tinggi serta ketahaman terhadap OPT dan bahan makanan
olahan lainya dan nasi padi lokal umumnya tidak mudah basi sehingga tetap
dipertahankan secara turun temurun, (Y Parari, 2019).
Di Toraja Utara terdapat 5 varietas lokal yang telah resmi disertivikasi oleh
Balai Perbenihan dan Perlindungan Tanaman, Kementrian pertanian RI pada tahun
2014 yang diusulkan oleh PEMDA Toraja Utara bersama dengan tim peneliti lainnya,
yaitu diantaranya Pare Ambo, Pare Lallodo (padi hitam), Pare Lea (padi Merah), Pare
Kombong, Bau’ (Padi Aromatik).
c. Peluang Pasar Pengembangan Padi Lokal Organik
Pada tahun 2009, permintaan pangan organik di Indonesia diperkirakan
mencapai 1.141.102 ton, sedangkan produksi belum mencapai separuh dari
permintaan. Dengan demikian, peluang pasar padi organik masih sangat terbuka dan
sangat menjanjikan bagi Kabupaten Toraja Utara. Sehingga hal ini membuka peluang
besar bagi pengembangan padi lokal di Toraja Utara dan pada saat ini sebagian
petani di Kabupaten Toraja Utara sudah mulai mengembangkan budidaya padi
organik dengan varietas unggul lokal (Y. Limbongan dkk, 2013). Berdasarkan data
di atas maka pengembangan padi lokal organic secara berkelanjutan di 21 kecamatan
di Toraja Utara perlu dioptimalkan.
Karena memiliki nilai mempunyai banyak keunggulan pada segi mutu dan
kualitas beras serta diorganikkan sehingga beras padi lokal Toraja relative mahal di
pasaran, di Pasar Lokal Toraja (Bolu, Rantepao) harga padi ambo ( Rp. 25.000/kg),
Lallodo (20.000/kg), Pare Lea (14.000/kg), Pare Bau’ (16.000), dan pare Kombong
(18.000/kg) (Y Parari, 2019) berdasarkan hal ini padi Lokal ini sangat berpotensi
dikembangkan ke depannya bukan hanya di Toraja tapi di Indonesia.
d. Peluang Pengembangan dari Segi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Di tana Toraja dan Toraja Utara padi lokal sangat kental dalam kehidupan
masyarakat bahkan padi lokal sudah dianggap sebagai bagian dari adat dan budaya
masyarakat Toraja buktinya lumbung-lumbung yang dibuat oleh orang Toraja
merupakan tempat menyimpan hasil panen padi hal ini sudah dianggap tradisi turun
temurun, tradisi “Mak Rampun Pare” merupakan kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama mengumpulkan hasil panen dari sawah menuju ke lumbung padi,
tradisi Ma’ Piong Barra’ merupakan kegiatan syukuran hasil panen pada setiap
periode panen sehingga sangat berpeluang dikembangkan secara intensif.
Inovasi Baru yang Akan Diterapkan Agar produksi Maksimal
1. Berdasarkan semua uraian di atas tentang peluang besar pengembangan padi
lokal Toraja di Toraja Utara Inovasi yang perlu diterapkan yaitu perbaikan
budidaya secara optimal melalui kelompok-kelompok tani dimaksimalkan pola
pikir meraka tetang cara bertani organic dengan baik yang dibarengi dengan
penggunaan teknologi secara efisien dalam budidaya dan pengolahan pasca
panen.
2. Pemanfaatan Padi Lokal Toraja dalam bidang pemuliaan. Padi lokal memiliki
banyak keunggulan pada segi mutu beras dan ketahanan OPT, akan tetapi
memiki kekurangan yaitu spesifik lokasi, umur dalam, anakan sedikit, tidak
respon pemupukan, kerontokan sulit sehingga indeks produksi kurang
disbandingkan varietas unggul Nasional. (Y. Parari, 2019). Berdasarkan
permasalahan ini sehingga muncul inovasi baru dari Perguruan Tinggi UKIT
mencoba merakit Padi Tipe Baru yang menggunakan Padi Lokal Toraja sebagai
tetua (sumber genetic) dengan 5 varietas lokal Toraja disilangkan dengan VUB
Inpari 4 pada tahun 2017 oleh (Y. Parari, 2019), dengan tujuan mengasilkan
padi PTB unggul bermutu, gizi tinggi, rasa, aroma yang tajam, tahan OPT dan
lingkungan Suboptimal, produksi tinggi, umur genjah, dan dapat disebarluaskan
agroekologinya di seluruh Indonesia.

2. Dalam upaya peningkatan produksi dengan inovasi-inovasi salama ini di


bidang pertanian ternyata hanyalah kerusakan karena pada umumnya
kegiatan pertanian memberi efek bagi lingkungan karena pada saat ini factor-
faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan pertanian, yaitu pada aspek:
A. Pengolahan Lahan Intensif (produksi) Berkelanjutan dengan Teknologi
Pembukaan lahan baru dan pengolahan lahan secara terus menerus dilakukan
petani seiring kemajuan teknologi ALSINTAN di bidang pertanian tanpa mengimbangi
dengan pemberian bahan organik kembali ke dalam tanah merupakan salah satu kegiatan
yang menurunkan kandungan bahan organic tanah karena lapisan sub soil tanah semakin
lapuk atau pencucian unsur hara (Firmansyah, 2003). selain itu pengolahan lahan dapat
merusak biologi tanah berupa microba dan organisme lain dalam tanah. Kenyataannya
pada saat ini patani lebih suka menggunakan pupuk kimia sebagai inovasi alternative
cepat didapatkan dibandingkan pupuk organik dalam budidaya tanaman sehingga sangat
berpotensi merusak struktur tanah yaitu tanah semakin padat dan meningkatkan
ketergantungan tanah akan pupuk kimia
Sedangkan pada lahan sawah irigasi di Indonesia, diketahui sebagai penyumbang
hasil padi terbesar di Indonesia yang dikelola secara berkelanjutan terus-menerus demi
peningkatan produksi hasil (Indeks panen) untuk ketahanan dan swasembada pangan
nasional dengan memanfaatkan teknologi inovasi yang modern seperti alat bajak modern,
irigasi modern, inovasi benih unggul, inovasi jarak tanam, inovasi pengendalian OPT dan
gulma sudah sangat canggih dalam upaya budidaya peningkatan produksi seperti
penggunaan alat-alat seperti drone, mesin-mesin control lainnya, namun tanah tidak dapat
digantikan alat atau teknologi, di Indonesia petani tidak memperhatikan kesehatan tanah
tersebut, karena sebagian besar petani masih menganggap tanah akan tetap subur,
produktif, dan berkelanjutan tanpa harus diperhatikan (Sumarno dan Kartasasmita 2011).
Lahan sawah irigasi yang diintensifkan secara teknologi akan menurunkan produktivitas
lahan (miskin unsur hara) dan ketimpangan unsur hara bagi padi, selain itu lahan yang
diolah secara terus menerus akan meningkatkan kehilangan hara akibat pencucian oleh
arus permukaan pada saat musim hujan atau banjir sehingga tanah menjadi rusak
(Sisworo, 2006) dan selain dapat miningkatkan kemasaman tanah dan keracunan logam
Al akan meningkat.
B. penggunaan perstisida, fungisida dan herbisida
Penggunaan inovasi dalam pengendalian OPT rata-rata dilakukan dengan menggunakan
pestisida, fungisida, dan herbisida karena proses mendapatkan dan pengaplikasian cepat
serta lebih reaktif dibandingkan dengan bahan alami serta dapat meningkatkan produksi
hasil akan tetapi berdampak negative bagi tanah yaitu membunuh microorganisme dalam
tanah secara perlahan karena sebagian besar jatuh ke tanah (Uhera, 1993). Selain
berdampak bagi tanah pestisida juga dapat mengancam kesehatan manusia lewat tanaman
yang disemprot pestisida yang masuk ke dalam jaringan atau organ tanaman dan
diketahui senyawa dalam pestisida tidak mudah terurai (Sai’id, 1994)
Solusi:
1. Seiring dengan kemajuan teknologi Alsintan di bidang budidaya pertanian sebaiknya
diimbangi dengan perbaikan lingkungan atau lahan terutama dalam pengolahan lahan,
misalnya pada saat pegolahan lahan sebaiknya diberikan pupuk organic, serta bahan-
bahan lain yang dapat memperbaiki struktur tanah (microba, micoriza, PGPR, dll)
bersamaan dengan pembalikan tanah oleh mesin saat pengolahan berlangsung agar
bahan organik langsung dibenamkan bercampur dengan tanah sehingga struktur tanah
tetap optimal dan tidak mudah tercuci. Khusus pada lahan padi sawah sebaiknya.
2. Pentingnya penerapan sistem pertanian terpadu (SPT) dalam suatu wilayah yaitu
memadukan beberapa tanaman dalam satu wilayah misalnya sistem rotasi tanaman
dan sistem tumpang sari. Selain itu penanaman tanaman pelindung dan pagar kebun
dengan menggunakan tanam legume seperti gamal dan kaliandra dapat meningkatkan
fiksasi N pada lahan tersebut dan dapat meperbaiki tanah lewat jumlah Azobacter
pada akarnya. Selain itu inovasi baru dapat dilakukan dengan memadukan kegiatan
pertanian dengan kegiatan lain seperti beternak dan perikanan sehingga limbah dari
kegiatan tersebut dapat dimanfaatkan ke lahan pertanian secara organik dan dapat
menunjang pendapatan petani semakin meningkat.
3. Pentingnya peran serta pemerintah melaui penyuluh-penyuluh atau stake holders di
bidang pertanian dalam masyarakat untuk memperbaiki mindset petani tentang cara-
cara penerapan teknologi tepat guna, karena selama ini petani hanya berfokus pada
peningkatan produksi hasil dan tidak memperhatikan kesehatan lahan dan lingkungan
secara berkelanjutan.

3. Asal mula inovasi pertanian secara berkelanjutan, adopsi inovasi agroteknologi


A. Inovasi Agroteknologi mulai diterapkan pada awal tahun 1980-an oleh para pakar
pertanian FAO (Food Agriculture Organization) yang diciptakan dengan tujuan
menghasilkan bahan pangan, kayu, serat untuk mencukupi kebutuhan dan
kesejateraan hidup manusia, sedangkan menurut Conwey (1997) mengemukakan
bahwa pertanian berkelanjutan dengan konteks agroekosistem untuk memadukan
hasil produksi, pemerataan dan stabilitas.
Revolusi hijau yang dilakukan akibat kemrosatan hasil pertanian
merupakan cikal bakal konsep dasar terbentuknya pertanian berkelanjutan. Revulusi
hijau sukses dilakukan tetapi berdampak buruk bagi lingkungan pada saat itu yaitu
erosi tanah yang sangat kritis, pencemaran air, kerusakan tanah, bahaya pencemaran
lingkungan akibat penggunaan bahan kimia berlebihan. Karena terjadinya kerusakan
lingkungan akibat revulusi hijau muncul LISA (Low Input Sustainable Agriculture)
dari kalangan pakar Aronomi dan ilmu tanah yang brupaya meminalkan penggunaan
bahan kimia dalam budidaya pertanian (pupuk kimia, pestisida, bahan bakar dll)
untuk memperbaiki sistem keberlangsungan pertanian secara optimal secara sehat
dalam jangka waktu panjang. Seiring berkembangnya waktu dan kemajuan teknologi
manusia mulai berpikir tentang metode baru dalam pengmabngan pertanian mulai
dari pemanfaatan logam sederhana, hewan sebagai pembajak lahan, kemudian
muncul pemikiran baru bagaiman mengurangi tenaga, efisiensi waktu, pengerjaan
optimal, hasil meningkat sehingga diciptakan alat mekanisasi pertanian modern yang
diimbangi metode-metode budidaya yang sampai sekarang yang sangat membantu
budidaya dan pascananen di bidang pertanian, misalnya traktor, penggilingan, alat
tanam, alat panen dll.
B. Inovasi-inovasi baru agroteknologi berkelanjutan sudah diadopsi oleh petani di
Indonesia saat ini akan tetapi hanya hanya saja tidak semua petani sudah
menerapkannya hanya beberapa petani saja sedangkan petani kecil dan petani di
daerah pedalaman masih banyak kurang mengerti akan inovasi baru yang diterapkan
sehingga meraka tetap menerapkan metode-metode terdahulu yang mereka pakai
sebelumnya, misalnya saja petani masih banyak petani menggunakan sistem tanam
acak disbanding legowo tetapi sudah diketahui hasil legowo lebih tinggi diabanding
acak, selain itu juga petani kecil belum mampu bersaing di pasaran karena kurang
inovasi pada saat panen dan penanganan pasca panen masih kurang efektif pada
petani konvensional (Nugraha, 2012). Dan pada kondisi saat ini apabila saya amati
pertanian di daerah saya khususnya Toraja para petani kurang focus akan pertanian
mereka karena mereka beranggapan yang penting sudah dibudidayakan sesuai
dengan komoditasnya dalam hal ini petani kurang memperhatikan secara intensif
pemeliharaan, pupuk apa yang cocok, kapan dipupuk, kapan pindah tanam,
bagaimana supaya buah banyak, dan apabila terjadi serangan OPT meraka kurang
memperhatiakn pestisida yang sesuai, dan apabila sudah panen tiba hanya beberapa
saja yang dipasarkan karena kurangnya manajemen mereka dan distribusi yang agak
sulit karena akses yang kurang memadai pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa
pemahaman masyarakat akan inovasi berkelanjutan di daerah-daerah pedalaman,
Selain itu kondisi wilayah juga sangat menetukan penerapan inovasi. Sedangkan
petani yang sudah mengodopsi inovasi teknologi yaitu mereka yang telah memiliki
modal atau kondisi ekonomi yang cukup serta telah mendalami ilmu pertanian secara
berkelanjutan.
4. Suatu inovasi Agroteknologi tidak serta merta langsung diterima dan
diaplikasikan oleh petani, karena petani dipengaruhi oleh beberapa factor
yaitu:
1. Petani biasanya merasa lebih tahu akan cara-cara sistem bertani dengan cara mereka
sendiri, dalam hal ini mereka telah memakai cara-cara bertani secara terus menerus
sehingga meraka lebih suka dibandingkan dengan penerapan inovasi baru. Pertanian ini
biasanya dipengaruhi oleh social budaya masyarakat sehingga penggunaan inovasi tidak
digunakan.
2. Kondisi ekonomi petani sangat menetukan penggunaan inovasi, dimana diketahui inovasi
agroteknologi tidak lepas dari penggunaan prasarana teknologi pertanian (alsintan) yang
tentunya memiliki biaya dalam pengaplikasian, sehingga petani-petani kurang mampu
tidak dapat mengadopsinya sehingga pengembangan pertaniannya lambat.
3. Pengetahuan dan Keterampilan Petani akan inovasi agroteknologi
Diketahui petani hanya mau memakai inovasi apabila telah melihat dan membuktikan
inovasi tersebut, akan tetapi pada saat ini tenaga-tenaga penyuluh yang menerapkan
masih kurang jauh dari harapan sehingga pengembangan akan pola pikir akan inovasi
masih kurang berkembang dengan baik (Syukri, 2008). Pada saat ini telah dilihat dalam
kelompok-kelompok tani sudah banyak bantuan pemerintah melalui prasarana pertanian
(traktor, msin tanam, panen, prosesing) akan tetapi kenyataannya alat tersebut masih
belum maksimal karena ketrampilan petani menggunakan alat tersebut masih kurang dan
biasanya kurang cocok dengan lahan pada lereng gunung, lahan sawah dalam, selain itu
sebagian petani belum memahami cara pemeliharaan alat mesin sehingga cepat rusak dan
tidak berfungsi lagi.
4. Lemahnya modal usaha
Dapat dilihat pada kondisi pertanian saat ini masih banyak sistem pertanian yang tidak
bertujuan untuk usaha pertanian dan hanya difokuskan untuk tujuan konsumsi saja dan
meraka focus akan bidang lain seperti pekerja kantoran, buruh atau bidang lain dengan
kata lain sebagai lain agar lahan meraka tidak kosong dan kebanyakan meraka tidak
memikirkan ke pasaran.
5. Lemahnya penangan panen dan Pasca Panen
Pada petani di daerah-daerah pada umumnya menggunakan sistem pertanian
konvensional dan kurang memperhatikan metode-metode panen serta pasca panen secara
tepat dan berkelanjutan dan pada umumnya mereka berharap agar proses panen dan pasca
panen cepat selesai karena banyak kegiatan lain, dan diketahui salah satu vase kritis
dalam budidaya tanaman pangan yaitu pada saat panen dan pasca panen. Menurut
penelitian Nugraha (2012) susut hasi pada padi sawah pada saat panen sebanyak 9.5%
pada saat panen secara konvensional gebot sedangkan dengan penggunaan mesin 2.5%,
namun masalahnya banyak tetapi petani tidak mampu membeli alat panen dan lahan
lereng dan petak kecil tidak bisa menggunakan mesin.
6. Penggunaan benih varietas
Pada saat ini masih banyak petani yang mengunakan benih varietas unggul tanpa
memperhatikan deskripsinya karena mereka ingin peningkatan produksi hasil yang tinggi
dan cepat. Namun kenyataanya justru produksi semakin sedikit, gagal panen, terserang
OPT, karena penggunaan varietas tidak sesuai dengan lokasi sesuai dengan syarat
tumbuhnya.
Solusi
Berdasarkan permasalahan di atas terkait kendala pengembangan inovasi khususnya bagi
petani kecil dan petani di daerah spesifik, solusi tahapan agar petani bisa menerima yaitu:
1. Penyesuaian benih unggul dengan wilayah pertanian
menurut penelitian Y Limbongan (2008) varietas yang dilepas memiliki
karakteristik pada umumnya di budidayakan pada lahan optimal, sehingga kurang
berpotensi di lingkungan sub optimal, misalnya varietas unggul tahan suhu rendah
(+1000 mdpl) masih sangat jarang dikembangkan dan rata-rata lahan rawa, gogo, dan
irigasi yang babyak dilepas. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan
peneliti-peneliti terkait hal ini ke depannya.
2. Upaya peningkatan kemampuan dan keterampilan petani
Upaya perbaikan penanganan peningkatan kemampuan dan ketrampilan
petani dimulai dari pelatihan perubahan pola pikir yaitu memfokuskan sector
pertanian yang digeluti, melatih pola pikir manajemen waktu dan olah jual di pasca
panen. Pelatihan keterampilan dapat dilakukan melalui pengenalan mekaninsasi dan
metode pertanian dengan inovasi yang baik mulai dari tahapan awal budidaya dan
menemukan titik kritisnya yang dapat diatasi bersama-sama. Peningkatan
kemampuan dapat dilakukan melalui pelatihan dan pembinaan baik dalam
penggunaan atau pengoperasian alat sampai dengan teknik perbengkelannya
(Nugraha, 2012).
3. Penerapan Teknologi spesifik lokasi
Dalam upaya penerapan inovasi berkelanjutan diperlukan inovasi yang cocok
dengan wilayah pertanian sehingga petani sangat cepat mengadopsi inovasi tersebut.
Pada saat ini petani telah banyak menerapkannya misalnya pembustan bedeng-bedeng
pada lahan miring, penerapan teknologi traktor mini, modifikasi alat panen dengan
mesin pemotomg rumput dll.
4. Pembinaan Kelembagaan
Penerapan inovasi teknologi berkelanjutan perlu didukung kelembagaan yang
kuat, misalnya kelembagaan keuangan desa, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan
teknis, penyebaran informasi, yang diperkuat dengan kebijakan dan aturan yang
dikeluarkan dari instansi terkait dalam pelaksanaannya (Nugraha, 2012).
5. Manajemen Lapangan
Penyusunan rencana operasional jasa dalam proses budidaya mulai dari jasa
pengolahan lahan, jasa penanaman, jasa pemeliharaan, jasa pemanenan, jasa
perontokan, jasa pengeringan, jasa penggilingan dan jasa distribusi dapat dihitung
berdasarkan permintaan petani yang sesuai dengan RDK (Rencana Difinitif
Kelompok), luas areal dalam satu kelompok sesuai dengan jumlah dan kapasitas
alsintan pada satu daerah. Alokasi pekerjaan tersebut nantinya dapat diintegrasikan
dalam penyusunan rencana kelompok sehingga sistem pertanian lebih efektif dan
terstruktur lebih baik.
5. Tantangan yang dihadapi semakin banyak dari tahun ke tahun dalam
upaya peningkatan produksi tanaman pangan.
Komoditas tanaman pangan yang saya angkat yaitu terkait upaya peningkatan produksi padi
varietas unggul spesifik dataran tinggi (suhu rendah). Dalam upaya peningkatan produksi
padi varietas unggul di suhu rendah memiliki banyak tantangan karena hanya beberapa
varietas unggul yang dilepas mampu berproduksi maksimal di daerah dengan suhu di bawah
12°C (Lee, 2001), sehingga petani sawah daerah dataran tinggi hanya memproduksi padi
lokal yang spesifik yang memiliki produksi lebih kecil, kegiatan budidaya dan pascapanen
lama dibandingkan varietas unggul, sehingga diperlukan adanya inovasi baru dalam
pengembangannya antara lain:
a. Parakitan benih spesifik toleran suhu rendah

Perakitan benih varietas unggul sangat penting dilakukan ke erah ke depan ini
dimana diketahui di Indonesia memiliki sebaran wilayah yang memiliki banyak lahan
sub-optimal yang dapat menekan pertumbuhan tanaman pangan khususnya padi,
diantaranya lahan masam, kekeringan, pesisir (salin), keracunan logam, naungan, dan
cekaman suhu rendah. Namun selama ini pengembangan padi unggul tahan suhu rendah
masih kurang diperhatikan karena wilayah sebarannya yang agak kecil disbanding pesisir
dan irigasi, namun penting dilakukan agar masyarakat di daerah-daerah dataran tinggi
dapat menanam varietas unggul untuk kemajuan ekonomi meraka maupun menyumbang
peningkatan produksi pangan nasional. Perakitan padi unggul toleran suhu rendah
dilakuakn dengan cara pemuliaan tanaman misalnya hibridasi atau mutasi dengan
memanfaatkan padi lokal yang telah beradaptasi baik di daerah tersebut sebagai sumber
genetic kemudian disilangkan dengan padi varietas unggul nasional dengan tujuan
memperoleh benih yang unggul toleran suhu rendah beradaptasi baik di daerah dataran
tinggi. Pemuliaan tanaman padi dengan memanfaatkan varietas lokal dengan
memperhatikan keunggulan spesifik yang dimiliki varietas lokal tersebut diharapkan
dapat meningkatkan keunggulan varietas padi yang dibudidayakan di lokalita spesifik
(Sitaresmi., et al 2013), setelah dilakukan pemuliaan (persilangan) tentunya dilakukan
seleksi yaitu pemilihan galur yang toleran dengan produksi tinggi serta bermutu galur ini
terus dikembangkan terus menerus hingga mencapai tingkat homogen dan siap dilepas
jadi varietas baru unggul dataran tinggi umur genjah produksi dan gizi tinggi.
b. Kegiatan Budidaya (olah lahan)
Di daerah dataran tinggi pada umumnya letak posisi wilayahnya berupa
kemiringan sehingga lahan khususnya lahan sawah tadah hujan bepetak-petak dengan
ukuran relative kecil sehingga pengolahan lahan relative lama karena perbaikan pematang
bersaman dengan pengolahan, selain itu tidak dapat dilalui traktor. Dalam hal ini perlu
diterapkan inovasi baru dengan penggunaan mesin olah lahan mini.
c. Panen
Kondisi wilayah yang tidak mendukung mesin panen dalam kegiatan pemanenan di
daerah dataran tinggi, sehingga perlu dilakukan inovasi baru secara mekanis
terhadapap mesin pertanian berupa modifikasi alat pemotong rumput menjadi alat
panen yang dikombinasikan dengan mesin perontok terbukti dapat mempercepat
kegiatan panen dibandingkan potong langsung perontokan gebot. Selain itu inovasi
yang perlu diterapkan yaitu sistem perlu dilakukan panen secara beregu (kelompok)
bukan pengeroyokan karena selama ini rata-rata scara panen keroyokan dilakukan di
panen konvensioal hal ini dapat meningkatkan susut hasil. Berdasarkan penelitian
Nugraha (2012) Inovasi sederhana yang perlu mendapat perhatian dan mudah
diterapkan yaitu panen dengan sistem berkelompok dengan anggota 10-15 orang,
dengan cara panen potong atas, hasil panen langsung dimasukan ke dalam karung
plastik dan perontokan menggunakan power thresher dengan alas terpal berukuran 8m
x 8m dapat menekan terjadinya susut antara 3-5% hasil yang setara dengan 20-75 kg
gabah per hektar atau Rp. 90.000 – 337.500,- per hektar.
d. Potensi Pengolahan hasil
Diketahui mutu dimiliki padi lokal sangat tinggi karena memiliki rasa enak,
harum, dan gizi tinggi sehingga memiliki nilai jual tinggi sehingga peluang pasar
tinggi. Selain itu pengolahan beras padi lokal memiliki potensi untuk diolah menjadi
bahan makanan olahan yang sangat enak dan bergizi yang tentunya memiliki harga
yang tinggi pula, misalnya tepung, tumpeng, olahan kue, dll.
DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2011. Toraja dalam Angka. BPS Toraja Utara.

Firmansyah A. 2010. Respon Tanaman Terhadap Aluminium. Balai Pengkajian Teknologi


Pertanian Kalimantan Tengah. Agipura Vol. 6 No. 2.

Hallowel, C., 1997. Time. Vol. 150 (17A). Time inc, Asia, pp 22-26

Lee MH. 2001. Low Temperature Tolerance Rice: The Korean Excperience. ACIAR.
Proceeding. Filifinas: International Rice Recearch Institute (IRRI).

Limbongan, Y.L., 2013. Interrelasi Komponen Tumbuh dengan Hasil Tanaman Padi Sawah Di
Dataran Tinggi. Tesis Magister Sains, Universitas Hasanuddin Makassar.

Limbongan, Y.L., 2008. Genetic Analysis and Selection of Lowland Rice (Oryza sativa L) for
Adaptation In Highland Ecosystem. Bogor Agricultural University, Bogor.

Nugraha, S. 2012. Inovasi Teknologi Pascapanen Untuk Mengurangi Susut Hasil Dan
Mempertahankan Mutu Gabah/Beras Di Tingkat Petani. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian

Parari, T. Y. 2019. Karakterisasi dan Daya Gabung F1 dan F1 Resiprokal 5 Padi Varietas Lokal
Toraja disilangkan dengan PTB Inpari 4. Skripsi S1 UKI Toraja. (tidak dipublikasikan)

Sai’id, E.G 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebua Cacatan Bagi Kita Semua, Agrotek Vol 2(1).
IPB Bogor. Hal 71-72

Sisworo, W.H. 2006. Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan Tantangan Abad XXI.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Jakarta. 207.p

Sitaresmi .T, W. Rina, Rakhmi A.T, Yunani N, dan Susanto U. 2013. Pemanfaatan Plasma
Nutfah Padi Varietas Lokal dalam Perakitan Varietas Unggul. BB Padi. IPTEK
TANAMAN PANGAN VOL. 8 NO. 1.

Sumarno dan U.G Kartasasmita. 211. Analisis Tingkat Adopsi Teknologi Produksi Padi Sawah
mengacu Produktivitas Optimal Berkelanjutan. Laporan Akhir Penelitian Analisis
Kebijakan Teknis. Pustlitbang Tanaman Pangan Bogor (Belum Dipublikasikan)

Syukri, A.B. (2008). Agrot5eknologi Buah-Buahan. Medan:USU Press 2008.

Anda mungkin juga menyukai