Anda di halaman 1dari 16

METODE FBA (FUNCTIONAL BRANCH ANALYSIS) UNTUK MENGHITUNG NUE (NUTRIENT USE

EFFICIENCY) PADA SISTEM AGROFORESTRI BERBASIS SENGON

1. Pendahuluan

Sengon (Paraserienthes falcataria) saat ini menjadi komoditas unggulan dengan harga jual yang
tinggi, biaya invetasi dan perawatan yang relative mudah dan murah dan cepat tumbuh. Sengon
diusahakan secara besar – besaran pada hutan tanaman industri untuk memenuhi kebutuhan
pabrik plywood dan pulp and paper.
Pada pengembangan hutan rakyat, jenis sengon dipilih karena nilai jual yang tinggi dan memiliki
fungsi lain sebagai pakan ternak, kayu bakar, kayu perkakas dan dipercaya mampu menyuburkan
tanah walaupun masyarakat belum mengusahakan dengan maksimal.
Jenis sengon sudah selayaknya dikembangkan lebih serius karena pengembangan hutan rakyat
sengon di Kabupaten Lumajang telah berhasil menarik investor untuk mengembangkan industri
veneer dan plywood. Ptoduksi pada tahun 2003 saja mencapai 707.016 m 3 dengan 45 industri
pengolahan dan lima diantaranya sudah mengekspor produknya ke AS, Eropa dan Jepang
(www.perhutani.go.id).
Sengon merupakan jenis MPTS (multi purpose trees spesies) karena memiliki kemampuan untuk
meningkatkan kesuburan tanah. Akar Sengon mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium
menyerap nitrogen bebas menjadi nitrogen tersedia sehingga dapat digunakan bagi tanaman.
Selain itu dengan akar tunggang yang cukup kuat menembus kedalam tanah, akar rambutnya
tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol kepermukaan tanah. oleh karena itu tanah
disekitar pohon sengon menjadi subur.
Keunggulan tanaman sengon mendorong diperlukannya pengetahuan mengenai status nutrisi
pada pertanaman untuk mengetahui seberapa banyak input yang harus ditambahkan pada
pertanaman dan untuk memberikan dasar bagi rekomendasi pelaksanaan pertanaman dimasa
yang akan datang.

1
2. Landasan Teori

a. Agroforestri
Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan
lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan
tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang
dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan
ekonomis antar berbagai komponen yang ada (ICRAF dalam www.lablink.or.id).
Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan dimana komponen pohon dihadirkan
(dikembangkan) dengan komponen pertanian dan atau perikanan dan atau peternakan dan
saling berinteraksi secara ekologis dan ekonomis dalam unit manajemen, waktu dan tempat
yang bersamaan (Lundgren dan Raintree, 1983). Agroforestri memiliki karakteristik berbasis
keluarga petani dengan luasan kepemilikan lahan yang biasanya sempit namun pada
kenyataannya merupakan salah satu sektor terpenting di indonesia. Rerata ukuran kepemilikan
lahan oleh petani di daerah jawa sekitar 0.20 ha sementara di luar pulau jawa pada umumnya
sekitar 0.80 ha ( Martaamidjaja, 1996 ). Singkatnya, agroforestri merupakan sistem pengelolaan
lahan yang menggabungkan sistem pertanian, kehutanan, dan peternakan dalam satu lahan. Jadi
di kawasan tersebut ditanami tanaman tahunan (pohon), tanaman semusim (tanaman pangan)
dan ternak.

Gambar 1. Percampuran Tanaman dalam Agroforestri


Sumber : http://aa-agroforestry.blogspot.com

Sebagai contoh masyarakat di sekitar kawasan hutan jati melakukan budidaya jagung di bawah
tegakan tanaman jati dengan dipadukan beternak lebah hutan. Masyarakat di Wonosari
menanam padi gogo, jagung dan ketela pohon di bawah tegakan pohon jati dalam satu lahan.
Agroforestri sangat berprospek untuk dikembangkan karena memiliki beberapa manfaat
diantaranya: memperbaiki sifat fisik tanah, mengurangi gas rumah kaca dan mempertahankan
cadangan karbon, serta mempertahankan keanekaragaman hayati.

2
Secara umum agroforestri mampu memperbaiki kondisi ekologi (lingkungan), meningkatkan
pendapatan masyarakat (ekonomi) dan menciptakan lapangan kerja (sosial) serta
mempertahankan kearifan lokal (sosial).

Gambar 2. Agroforestri dan komponennya


Sumber : http://aa-agroforestry.blogspot.com

Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-
komponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi
matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi
penggunaan air dan meminimalkan runoff serta erosi. Dengan demikian mempertahankan
manfaat-manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara
dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan keseluruhan
yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan menjaganya. Keuntungan terhadap
tanah yang diperoleh melalui penerapan agroforestri antara lain adalah: memperbaiki kesuburan
tanah, menekan terjadinya erosi, mencegah perkembangan hama dan penyakit, dan menekan
populasi gulma.
Peran utama agroforestri dalam mempertahankan kesuburan tanah, antara lain melalui empat
mekanisme: mempertahankan kandungan bahan organik tanah, mengurangi kehilangan hara ke
lapisan tanah bawah, menambah N dari hasil penambatan N bebas dari udara, memperbaiki sifat
fisik tanah.
Teknik konservasi tanah dan air pada daerah berlereng dilakukan dengan pembuatan terasering
atau melakukan penanaman mengikuti garis kontur didalam lorong dengan menggunakan
tanaman penyangga berupa campuran tanaman tahunan (perkebunan, buah-buahan, polong-
polongan dan tanaman industri) sayuran dan rumput untuk pakan ternak.
Sistem agroforestri pada umumnya dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas
sebagaimana pada sistem hutan. Sistem agroforestri mampu mempertahankan sifat-sifat fisik
tanah melalui:

3
a. Menghasilkan seresah sehingga bisa menambahkan bahan organik tanah
b. Meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran
c. Mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran

Sifat-sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang
pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah,
kemampuan menahan air dan laju infiltrasi. Lapisan atas tanah merupakan tempat yang
mewadahi berbagai proses dan kegiatan kimia, fisik dan biologi yakni organisme makro dan
mikro termasuk perakaran tanaman dan pepohonan. Untuk menunjang berlangsungnya proses-
proses kimia, fisik dan biologi yang cepat diperlukan air dan udara yang tersedia pada saat yang
tepat dan dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu tanah harus memiliki sifat fisik yang bisa
mendukung terjadinya sirkulasi udara dan air yang baik.
Aspek terpenting dalam komponen tanah adalah sifat fisik lapisan atas, kemampuan sistem
agroforestri untuk mempertahankan kehidupan dan kegiatan makro-fauna, menjaga
kemantapan dan kontinyuitas ruangan pori serta mendorong daya hantar air atau laju infiltrasi
yang tinggi. Pengembangan agroforestri secara umum sangat menguntungkan karena memberi
manfaat terhadap kelestarian alam dan meningkatkan ekonomi penduduk.

b. Sengon
Sengon dalam bahasa latin disebut Albazia Falcataria, termasuk famili Mimosaceae, keluarga
petai – petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut :
a. Jawa : jeunjing, jeunjing laut (sunda), kalbi, sengon landi, sengon laut, atau sengon
sabrang (jawa).
b. Maluku : seja (Ambon), sikat (Banda), tawa (Ternate), dan gosui (Tidore)
Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon adalah kayunya.
Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30–45 meter dengan diameter batang sekitar 70 – 80
cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu,
tidak beralur dan tidak mengelupas.

4
Gambar 3. Pohon Sengon Dewasa
Sumber : http://hutbun.cilacapkab.go.id

Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV - V. Kayu sengon digunakan untuk
tiang bangunan rumah, papan peti kemas, peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan
kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lainnya. Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai
payung dengan rimbun daun yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip
ganda dengan anak daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus,
berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen dan karbon
dioksida dari udara bebas. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus kedalam
tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol kepermukaan tanah.
Akar rambutnya berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon
sengon menjadi subur.
Bunga tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai berukuran sekitar 0,5 – 1 cm, berwarna
putih kekuning-kuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum bunga mekar terdiri dari bunga
jantan dan bunga betina, dengan cara penyerbukan yang dibantu oleh angin atau serangga.
Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 6 – 12 cm. Setiap polong
buah berisi 15 – 30 biji. Bentuk biji mirip perisai kecil dan jika sudah tua biji akan berwarna coklat
kehitaman, agak keras, dan berlilin.

c. Agroforestri berbasis sengon

Budidaya menanam kayu sengon (Paraserianthes falcataria) di lahan penduduk di Jawa


berkembang pesat sejalan dengan berkembangnya pasar kayu sengon itu sendiri. Kayu sengon
ini menurut sejarahnya sekitar tahun 50-an ditanam di lahan hutan secara murni tetapi
kemudian tidak berlanjut karena serangan hama penggerek batang (Xyloborud detruents).
Ternyata tanaman sengon milik masyarakat di dataran tinggi yang ditanam bercampur dengan
jenis lainnya tidak mengalami hal yang sama, setelah itu sengon menjadi jenis populer di luar
lahan kehutanan. (Hairiah et al., 2003).

5
Pengusahaan agroforestri dengan sengon dapat meningkatkan makrofauna dan produktifitas
tanaman sela. Produktivitas tanaman pada sistem agroforestri berbasis sengon dipengaruhi oleh
teknologi budidaya tanaman sela, terutama pemilihan jenis tanaman sela, pengaturan
populasinya dan aplikasi mulsa (5a) Bobot kering total tanaman sela tertinggi ditunjukkan oleh
tanaman rumput gajah, diikuti ubijalar dan jagung, masing-masing sebesar (10,03, 6,97 dan 6,05)
t/ha, Bobot kering total dan hasil panen tanaman sela semakin meningkat dengan meningkatnya
populasi tanaman sela, yaitu rata-rata (9,31 dan 28,11) t/ha pada populasi tertinggi (84.168
tanaman/ha), Bobot kering total dan hasil panen tanaman ubi jalar pada pemberian mulsa sisa
tanaman jagung sebesar (9,90 dan 16,59 t/ha) (meningkat sebesar 30% dan 12% jika dibanding
tanpa pemulsaan (Sugiyarto, 2009).
Keunggulan sengon juga dilaporkan oleh Purwanto et al. (2007) pada penelitian perbandingan
penaung kopi dimana Kopi dengan penaung sengon terbukti mempunyai nitrifikasi potensial
53% lebih rendah dan nisbah konsentrasi NH 4+/N-mineral 20% lebih tinggi dibanding kopi
dengan penaung Gliricidia. Kebun kopi dengan penaung sengon juga mempunyai kandungan
C—organik 17% lebih tinggi, N-total 40% lebih tinggi, P-tersedia 112% lebih tinggi daripada
penaung Gliricidia.

d. Nutrient Use Efficiency


Beberapa metode untuk mengekspesikan nilai NUE crop telah dievaluasi oleh Gourley et al.
(1994). Mereka berkesimpulan bahwa istilah satu nilai yang disajikan untuk NUE seringkali bukan
merupakan indikator yang baik untuk menyatakan produksi yang efisien pada pengellaan dengan
input nutrisi yang tendah. Definisi NUE yang ditujukkan dibawah ini selalu merupakan kebalikan
dari konsentrasi nutrisi biomassa dan akan memberikan nilai yang sangat tinggi pada crop – crop
dengan nutrisi yang kurang dengan hasil panen yang sangat rendah. Lebih lanjut, hal ini tidak
memperhitungkan kehilangan dari sistem produksi, dimana dapat terjadi banyak variasi
(Jørgensen & Hansen, 1998).

NUE = produksi biomassa kering / kandungan nutrisi (g/g)

NUE dapat ditentukan untuk berbagai macam jenis nutrisi sesuai keinginan pada tingkatan :

 Dedaunan
 Crop dibagian atas (aboveground crop)
 Crop secara keseluruhan

Waktu untuk menghitung NUE untuk semua crop dalam pertanaman biasanya dilakuakan pada
saat pemanenan komersialnya.

6
e. Biomassa
Biomassa dapat dibedakan kedalam dua kategori. yaitu biomassa diatas permukaan tanah
(Aboveground Biomass) dan Biomassa dibawah permukaan tanah (Belowground Biomass).
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui besarnya biomassa tanaman, Secara garis
besar ada dua metode pendugaan biomassa diatas permukaan tanah. Yaitu Metode Pemanenan,
dan Metode Pendugaan Tidak Langsung. Model Functional Branching analysis atau Model
Pengulangan Cabang adalah Suatu model pendugaan biomassa pohon dengan metode
pendugaan tidak langsung, berdasarkan diameter dan panjang batang sebelum dan sesudah
percabangan.
Model ini mengasumsikan bahwa kuadrat diameter batang sebelum percabangan sama dengan
jumlah kuadrat diameter batang setelah percabangan, dan adanya kesamaan atau pengulangan
bentuk percabangan dalam berbagai skala. Adapun bentuk hubungan fungsional dari model ini
berbentuk geometrik, dengan bentuk umum : Y = a D b atau dalam bentuk logaritmik : Log, Y =
Log, a + b Log, D, dimana, Y adalah biomasa pohon, D adalah diameter setinggi dada serta a dan
b masing-masing adalah intersep dan slope, keduanya merupakan konstanta.
Penetapan biomasa tanaman tersebut seringkali melibatkan perusakan (destructive) lahan
dan membutuhkan biaya dan tenaga banyak, sehingga ketersediaan data biomasa terutama akar
sangat terbatas. Guna mengurangi perusakan lahan, estimasi biomasa batang pohon
khususnya untuk kondisi hutan) telah banyak dilakukan yaitu menggunakan persamaan
alometrik yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) dan peneliti lainnya. Estimasi ini dibuat
berdasarkan penggunaan berbagai persamaan aljabar dan beberapa parameter pengukuran
secara destructive. Namun demikian, persamaan tersebut hanya berlaku untuk kondisi iklim dan
jenis tanaman yang spesifik, sehingga bila digunakan pada kondisi baru hasil estimasinya
seringkali dua kali lebih tinggi dari pada kondisi sebenarnya di lapangan. Hal tersebut terjadi
antara lain disebabkan oleh adanya pola sebaran kanopi dan pola percabangan yang
berbeda. Untuk itu pengetahuan dasar pengembangan persamaan alometrik dalam
hubungannya dengan bentuk kanopi pohon sangat diperlukan. Analisis Cabang Fungsional
(Functional Branch Analysis, FBA) telah diperkenalkan oleh Van Noordwik dan Mulia
(2001) merupakan dasar utama yang dipakai untuk mengembangkan persamaan alometrik.
Model ini merupakan suatu model yang dibuat berdasarkan observasi pola percabangan pohon,
selanjutnya dikembangkan menjadi persamaan-persamaan empiris yang berlaku untuk
berbagai jenis pohon di hutan atau bahkan untuk pohon secara individual dalam satu luasan
pengambilan contoh (sampling area). Langkah langkah pengembangan model ini secara
skematis disajikan pada Gambar 4.

7
Gambar 4. Langkah –langkah penyusunan model matematis untuk estimasi biomasa pohon
(Van Noordwijk, 1999)

3. METODE PENELITIAN
a. Perhitungan Biomassa umum
perhitungan biomassa seara umu akan dijelaskan dalam bagan alir untuk memudahkan
pemahaman konsep.

Pohon Lain Sengon


Crop
s
FBA (Functional Branch
Aalysisis) Berat Basah
oven 10 Plot (2 x 2m)
Tanaman dibagi dalam level

800C
abovegorund : bellowegorund Catat jenis
1. A1 (sama dengan
perakaran): Berat kering konstan
2. A2
1. B1 Berat Basah
3. A3
2. B2 Timbang
4. Seterusnya
kalau ada 3. B3
4. Seterusnya 600C
kalau ada

Tabel 1. Bagan Alir Perhitungan Biomassa Secara Umum.

8
b. Perhitungan Biomassa dengan FBA
 Pendugaan Biomasa Batang
Langkah-langkah pengambilan data di lapangan yang dianjurkan untuk pendugaan
biomasa
batang adalah:
a) Pilih satu pohon dewasa
b) Ukur diameter dan panjang masing-masing batang (hingga 50-100 batang),
banyaknya daun pada batang tersebut, serta catat nomor batang dan nomor asal batang
tersebut. Pengukuran diameter dilakukan dua kali dengan arah yang berbeda pada
tengah-tengah batang. Hal ini untuk memperhitungkan bentuk batang yang tidak bulat.
Catat nomor batang dan asal batang tersebut. Perhatikan gambar 5 dapat dilihat cara
pemberian nomor cabang untuk memudahkan dalam menentukan asal cabang.
Biasanya, batang utama diberi nomor 1, lalu batang –batang setelahnya diberi nomor 2,
3, dan seterusnya, sehingga nomor asal batang utama adalah 0 (nol).

Gambar 6. Skematis pengukuran panjang (L) dan diameter batang. Titik pengukuran diameter batang (D)
diambil di tengah-tengah (ß), kecuali jika dbh dapat diukur, maka pada batang pertama diambil diameter
pada ketinggian 1.3 m

Tabel 2. Form isian biomassa batang

9
c) Ukur berat kering untuk setiap volume kayu, cabang dan ranting menggunakan metode
perhitungan biomassa umum seperti yang telah dijeaskan diatas.
d) Ukur panjang ujung ranting yang tidak ditumbuhi daun.

 Pendugaan Biomasa Akar


Untuk pendugaan biomasa akar, langkah-langkah pengambilan datanya adalah sebagai
berikut: a. Pilih satu pohon dewasa. Beberapa foto akar pohon dapat dilihat pada Gambar 7
dibawah ini.

Gambar 7. Penggalian akar proximal nangka (kiri) dan akar proximal pohon Peltophorum
(kanan).

b. Ukur diameter dan arah akar-akar proksimal itu (horizontal atau vertikal), sehingga
menghasilkan tabel sebagai berikut :

Tabel 3. Form isian biomassa batang

c. Menghitung NUE dari Hasil Perhitungan Biomassa

menghitung NUE biasa dilakukan setelah melakukan pengujian berat kering biomassa, biomassa
yang didapatkan diambil untuk sebagai sampel untuk pengujian abu untuk mengetahui kadar –
kadar mineral / nutrisi yang terkandung dalam abu biomassa kering yang sudah dilakukan
pengarangan sebelumnya. Nilai utama yang dicari adalah kadar C (carbon), kemudian dilakukan
perhitungan kesetimbangan untuk mineral lain seperti N, P, K, O, H dan lain sebagainya dengan
mengikuti perhitungan perbandingan berat molekul. Bagan alir perhitungan NUE digambarkan
dibawah ini.

10
Hasil Berat Kering Biomassa

Timbang + hitung jumlah biomassa total Kering Biomassa

Uji Pengarangan

Hitung kadar Carbon

Uji Abu (Lab)

Hitung kadar N, O, P, K
(Konversi dari kadar C)

Menghitung kadar mineral lain

Tabel 4. Bagan Alir perhitungan NUE dari Hasil Perhitungan Biomassa.

4. POTENSI PERHITUNGAN NUE DENGAN FBA

Jenis sengon memiliki perakaran yang dalam sehingga kemungkinan akan diperlukan estimasi
perhitungan, namun metode FBA dapat diterapkan pada perhitungan. Karena menggunakan
sistem pertanaman agroforestri maka akan dihitung biomassa jenis pohon (sengon dan non
sengon) dan jenis Crop (non pohon). Perbedaan nilai biomassa dan nilai NUE terutama untuk
kadar nitrogen akan membuktikan potensi penambah kesuburan tanah yang selama ini
disematkan pada jenis sengon.
Karena belum ditemukan studi kasus untuk jenis sengon dalam pertanaman agroforestri makan
bab ini akan bersifat adaptasi dari tulisan yang dilakukan oleh peneliti luar.
Efisiensi penggunaan nutrisi pada produksi crops untuk energi menjadi penting untuk
meminimalkan input yang diperlukan. Lebih lanjut, kandungan nutrisi tinggi dalam crops untuk
energi merupakan parameter kualitas yang negatif dalam pembakaran seiring dengan
peningkatan jumlah abu yang harus dihadapi, pengurangan kandungan biomassa energi dan
dapat memberikan emisi yang berbahaya seperti NOx (Lewandowski & Kicherer, 1997;
Obernberger et al., 1997).
Pada kasus yang sama, tanaman – tanaman crop dengan nilai NUE yang rendah lebih dapat
dipilih jika tujuan utamanya adalah untuk pemindahan nutrisi – nutrisi yang berlebih. Hal ini

11
terjadi ketika crops untuk energi diusahakan pada bidang zona penyangga daerah riparian atau
untuk perlakuan pada daerah buangan limbah atau endapan lumpur (Geber, 2000).
Hal penting lainnya dari perhitungan NUE adalah untuk mengetahui status nutrisi pada
pertanaman agroforestri sehingga dapat diketahui input – input yang harus ditambahkan,
peningkatan pendapatan petani tercapai apabila efisiensi penggunaan pupuk dapat dicapai.
Pemupukan tanaman padi ditingkat petani masih bersifat umum belum memperhatikan status
hara tanah dan kebutuhan hara tanaman.
Pemupukan berimbang berarti penambahan hara agar semua hara esensial dalam tanah
optimum bagi pertumbuhan tanaman. Ketersediaan hara dalam tanah dipengaruhi
olehA.Kasno : Produksi padi dan serapan hara N, P, dan K reaksi tanah, kadar C-organik, KTK, dan
tekstur tanah serta air tanah. Kemampuan masing-masing tanaman atau varietas menyerap
unsur hara dari tanah berbeda, hal ini disebabkan oleh potensi hasil tanaman yang berbeda.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tanah yang sama yang ditanami
tanaman/varietas berbeda kebutuhan pupuknya juga berbeda. Daya sangga masing - masing
tanah berbeda, sehingga kebutuhan hara verietas berbeda pada tanah yang sama akan
berbeda. Penambahan hara tanah hanya dilakukan pada tanah dengan hara yang kurang saja,
rekomendasi pemupukan bervariasi dan bersifat spesifik lokasi sesuai dengan tingkat kesuburan
tanah dan jenis tanaman/varietas (Kasno, 2007).
Hanson et al. (1994) melaporkan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan hara dalam tanah dan
polusi khususnya diakibatkan oleh pemupukan fosfat. Selain itu, penanaman bibit unggul
disertai pemupukan dosis tinggi menyebabkan unsur hara makro sekunder dan unsur mikro
makin terkuras (Cox and Kamprath, 1972).
NUE mewakili kondisi unsur hara secara spesifik dalam suatu pertanaman (misal : N, P, K, dan
lain - lain). Penelitian NUE di Indonesia masih sangat jarang sehingga sangat sulit melakukan
pembahasan secara menyeluruh dan detail. Paper ini menyajikan konsepsi dalam penelitian NUE
untuk melihat status nutrisi pada pertanaman dengan metode perbandingan jika sudah
ditemukan kadar C dari abu biomassa maka kadar N, P, K dan unsur lainnya dapat diestimasi
dengan melakukan perbandingan berat atom. Oleh karena itu diperlukan perhitungan biomassa
untuk mencari NUE.

12
Tabel 4. Nutrient use efficiency (g biomassa kering/ g nutrisi) pada beberapa energy crops, pohon
kehutanan dan crop pertanian konvensional. Dihitung untuk material aboveground pada saat pemanenan.
Nilai yang ditunjukkan adalah untuk N, P dan K. (Sumber : Jørgensen dan Schelde, 2001)

Secara umum, sebenarnya jenis pohon – pohon dan rerumputan berlignin yang dipilih untuk
tujuan pembakaran (kayu bakar) memiliki NUE yang lebih besar daripada jenis untuk tujuan
pangan dan pakan. Crops untuk energi ini biasanya dipanen setelah masa kelayuan dan
retranslokasi dan atau saat pelindihan dari nutrisi – nutrisi dari crop dan tidak sama pada crop
pangan. Organ yang berfungsi untuk penyimpanan biomassa biasanya tidak dipanen untuk
kebutuhan energi. Sebagai contoh sebagai contoh, beberapa jenis dipanen pada saat konsentrasi
N tidak banyak berubah namun konsentrasi K berkurang delapan kali lipatnya.

Gambar 8. Konsentrasi N dan K selama musim pertumbuhan pada tiga jenis genotipe Miscanthus
(Jørgensen, 1997).

13
Pada crops berkayu, NUE tergantung secara signifikan pada luasan rotasi pemanenan dimana
dapat merubah rasio diantara kulit kayu yang kaya nutrisi dengan batang kayunya. Adegbidi et al.
(2001) menemukan peningkatan NUE pada N, P, K and Mg pada dua klon pohon Willow dari
pemanen tahunan sampai pada 3 tahun rotasi. Meskipun demikian Lodhiyal & Lodhiyal (1997)
hanya menemukan peningkatan NUE nutrisi P ketika terjadi peningkatan rotasi jenis Poplar dari
tahun 1 ke tahun ke 4.
NUE dapat bervariasi pada tingkatan genus tetapi variasi ini dapat terjadi hanya pada satu genus.
Pada tabel NUE-N tertinggi tercatat pada Miscanthus sacchariflorus yang ditanam di Portugal dan
di Panen pada musim semi akan tetapi untuj jenis Miscanthus sinensis yang malah empat kali
lebih rendah (Lewandowski et al., 2001).
Dari sisi aliran fotosintesis, jenis crops C4 memiliki efisiensi lebih tinggi pada penggunaan N
daripada jenis C3 (Long, 1983). Meskipun demikian, jenis pohon yang menyimpan yang rendah
nutrisi material berlingnin pada bagian batang dan hanya memiliki fraksi kekayaan nutrisi kulit
batang dan dedaunan yang rendah dapat saja memiliki nilai NUE yang tinggi.
NUE merupakan pengukuran yang baik terhadap kemampuan sebuah tanaman untuk
memproduksi cadangan pakannya dengan pemindahan nutrisi esensial yang rendah. Meskipun
demikian, nilai NUE yang rendah tidak menunjukkan kenyataan keseluruhan sistem, terutama
untuk nitrogen karena dapat dengan mudah terjadi gasifikasi NOx atau terlinding menjadi Nitrat
dan seluruh nutrisi dapat hilang karena adanya run off permukaan. Sehingga terdapat beberapa
peneliti yang menyarankan perumusan NUE menjadi
NUEsistem : produksi biomassa kering/(kandungan nutrisi +kehilangan nutrisi)

Kandungan nutrisi tanah biasanya berganti selama periode produksi, tetapi perubahan ini tidak
perlu dimasukkan dalam perhitungan NUEsistem, hal ini dapat dianggap sebagai reaksi proses
bolak – balik metaboisme dan bukan merupakan kehilangan nutrisi. Jika memungkinkan untuk
mendaur ulang abu dari pembakaran biomassa pada lahan maka jumlah nutrisi yang didaur
ulang kemungkinan dapat dikurangi dari perhitungan NUEsistem. Selain itu, biomassa hijau
(basah) masih dapat digunakan untuk produksi biogas, walaupun tidak memberikan energi
sebesar dengan pembakaran (Sander, 2000) tetapi memiliki keuntungan membiarkan semua
nutrisi (bahkan nitrogen) dalam cairan penggasan yang potensial untuk daur ulang. Sistem
seperti ini dapat memberikan potensi yang sangat tinggi untuk nilai NUEsistem.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009 Botani Sengon. Http://Www.Lablink.Or.Id/Env/Agro/Sengon/Sngn-Bi.Htm. Diakses


5 Juni 2009.

Anonim. 2009. Keanekaragaman Makroinvertebrata Tanah Dan Produktivitas Tanaman Sela Pada
Sistem Agroforestri Berbasis Sengon Penulis : Dr. Sugiyarto, M.Si.
Http://Www.Uns.Ac.Id/Cp/ Penelitian.Php?Act=Det&Ida=235. Diakses 5 Juni 209.

Adegbidi, H. G., Volk, T. A., White, E. H., Abrahamson, L. P., Briggs, R. D. & Bickelhaupt D. H.
2001. Biomass and nutrient removal by willow clones in experimental bioenergy
plantations in New York. Submitted for Biomass and Bioenergy.

Brown S, 1997. Estimating Biomasas Change Of Tropical Forest, A Primer. FAO Forestry Paper
134, FAO, Rome.

Cox, F.R., And Kamprath. 1972. Micronutrient Soil Test. In: Micronutrient In Agriculture. Ed: J.J.
Mortvedt, P.M. Giordano, And W.L. Lindsay. SSSA Inc. Madison Wiscosin, USA.

Gourley, C.J.P., Allan, D.L., & Russelle, M.P., 1994. Plant nutrient efficiency: A comparison of
definitions and suggested improvement. Plant and Soil 158, 29-37.

Hanson, R.G., Sudjadi, M., Hardjono, A., Sudaryanto, T., And Dhanke, W. 1994. Soil Fertility
And Fertilizer Use Study In Indonesia. Draft Report And Roposal Prepared For Agency
For Gricultural Research And Development And The World Bank.

Jørgensen, Uffe And Kirsten Schelde. 2001. Energy Crop Water And Nutrient Use Efficiency.
Danish Institute Of Agricultural Sciences (DIAS) Department Of Crop Physiology And Soil
Science Research Centre Foulum, Tjele. Denmark

Jørgensen, U. & Hansen, E. M., 1998. Nitrate leaching from Miscanthus, willow, grain crops and
rape. In: Proceedings of the IEA workshop on environmental aspects of energy crops
production (Wörgetter , M. & Jørgensen U. eds.), BLT Austria, 207-218.

Jørgensen, U. 1997. Genotypic variation in dry matter accumulation and content of N, K and
Cl in Miscanthus in Denmark. Biomass and Bioenergy, 12, 155-169.

Lewandowski, I., Clifton-Brown, J., Andersson, B., Basch, G., Christian, D.G., Jørgensen, U.,
Mortensen, J., Riche, A.B., Schwarz, K.U., Tayebi, K. & Teixeira, F. 2001. Combustion
qualities of Miscanthus genotypes as influenced by site conditions and harvest time.
Submitted to Crop Science.

Lodhiyal, L.S. & Lodhiyal, N., 1997. Nutrient cycling and nutrient use efficiency in short rotation,
high density Central Himalayan Tarai poplar plantations. Annals of Botany 79, 517-527.

Long, S. P., 1983. C4 photosynthesis at low temperatures. Plant Cell and Environment 6, 345-363.

15
Purwanto, Eko Handayanto, Didik Suprayogo, John Bako Baon, Dan Kurniatun Hairiah. 2007.
Nitrifikasi Potensial Dan Nitrogen-Mineral Tanah Pada Sistem Agroforestri Kopi Dengan
Berbagai Pohon Penaung. Rwanto, Handayanto, Suprayogo, Baon, Dan Hairiah. Pelita
Perkebunan 2007, 23(1), 38 – 56.

Sander, B., 2000. Utilisation of energy crops for combined heat and power, biogas or liquid
biofuels. In: Do energy crops have a future in Denmark? (Jørgensen, U. ed.) DJF rapport
Markbrug nr. 29, 42-50.

Van Noordwijk M, 1999. Functional Branch Analysis To Derive Alometrik Equations Of Trees.
Dalam: Murdyarso D, Van Noordwijk M And Suyamto DA (Eds.), Modelling Global Change
Impacts On The Soil Environment. IC-SEA Report No 6: 77-79.

Van Noordwijk M And Mulia R, 2001. Functional Branch Analysis As Tool For Fractal Scaling
Above And Belowground Trees For Their Additive And Non-Additive Properties (In Press).

Widyaningsih, Wahyu. 2009. Cara Teknis Budidaya Tanaman Sengon Http://Qyutciz.Blogspot.


Com /2009/01/Cara-Teknis-Budidaya-Tanaman-Sengon.Html. Diakses 5 Juni 2009.

16

Anda mungkin juga menyukai