Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AGROFORESTRI

INTERAKSI TANAMAN TEGAKAN PINUS DENGAN TANAMAN


REMPAH DI DUSUN GONDANG DESA GROWONG KECAMATAN
TEMPURAN

Disusun oleh:
Kelompok 2

No Nama NIM
1 Rois Awaludin S. 1510401034
2 Millaturrif’ah 1510401041
3 Muthia Ramadhana 1510401043
4 Taufik Hidayat 1510401047

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agroforestry merupakan system penggunaan lahan yang


mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan
lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan
(pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah,
ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman
berkayu dengan komponen lainnya (Huxley 1999). Pemanfaatan lahan
dengan system agroforestry menguntungkan bagi petani karena terdiri dari
tanaman semusim dan tahunan yang hasilnya lebih produktif (Hairiah, dkk,
2003), terutama dalam bidang ekonomi. Berbagai daerah di Indonesia sudah
banyak menerapkan system agroforestry. Salah satu daerah yang menerapkan
system agroforestry yaitu dusun Gondang, desa Growong, kecamatan
Tempuran, Kabupaten Magelang. System agroforestry yang diterapkan di
Desa Growong yaitu kombinasi tanaman kehutanan pinus dengan tanaman
obat.
Lahan kehutanan yang digunakan untuk budidaya tanaman obat yaitu
tanaman tegakan pinus milik Perhutani. Desa Growong memiliki luas lahan
kehutanan yang digunakan untuk budidaya seluas ±13 ha. Jenis tanahnya
tanah lincat yang apabila terkena panas, tanahnya kering mudah retak dan
apabila terkena air, tanahnya gembur. Suhu di desa Growong sekitar 27ºC
dan pH sekitar 6 keatas. Ketinggian tempatnya sekitar 550 m dpl. Komoditas
yang ditanam dibawah tegakan pohon pinus, salah satunya tanaman jahe.
Intensitas cahaya untuk penanaman jahe sekitar 70%. Makalah agroforestry
dibuat untuk mengetahui interaksi antara tanaman tegakan pinus dengan
tanaman obat-obatan atau tanaman jahe.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah agroforestry di desa Growong, diantaranya:
1 Bagaimana budidaya tanaman tegakan pinus?
2 Bagaimana budidaya tanaman obat-obatan jahe?
3 Bagaimana budidaya agroforestry tanaman tegakan pinus dengan
tanaman obat-obatan?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari agroforestry di desa Growong yaitu:
1 Mengetahui budidaya tanaman tegakan pinus
2 Mengetahui budidaya tanaman obat-obatan jahe
3 Mengetahui agroforestry tanaman tegakan pinus dengan tanaman obat-
obatan jahe

1.4 Manfaat
1 Mendapatkan informasi bagi para petani untuk menerapkan system
agroforestry tanaman tegakan pinus dengan tanaman obat-obatan jahe
2 Mendapatkan informasi dan pembelajaran bagi pihak-pihak yang
terkait dalam pengembangan sistem agroforestri tanaman tegakan
pinus dengan tanaman obat-obatan jahe
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Agroforestry Secara Umum
Agroforestri atau dikenal juga sebagai suatu sistem usahatani atau
pertanian hutan merupakan suatu sistem penggunaan lahan secara spasial
yang dilakukan oleh manusia dengan menerapkan berbagai teknologi yang
ada melalui pemanfaatan tanaman semusim, tanaman tahunan (perdu, palem,
bambu, dan sebagainya) dan/atau ternak dalam waktu bersamaan atau
bergiliran pada suatu periode tertentu sehingga terbentuk interaksi ekologi,
sosial, dan ekonomi di dalamnya (Hairiah dkk., 2003; Latumahina dan
Sahureka, 2006). Menurut Santoso dkk. (2003), agroforestri memiliki
beberapa ciri khas dibandingkan sistem penggunaan lahan lain, yaitu:
1. Adanya interaksi kuat antara komponen pepohonan dan bukan
pepohonan.
2. Integrasi dua atau lebih jenis tanaman (salah satunya tanaman berkayu).
3. Memberikan dua atau lebih hasil dari penggunaan sistem agroforestri.
4. Siklusnya lebih dari satu tahun.
5. Dapat digunakan pada lahan berlereng curam, berbatu, berawa, ataupun
tanah marginal di mana sistem penggunaan lahan lain kurang cocok.

Klasifikasi sistem Agroforestri


Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek
sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan
dimaksudkan untuk menunjukkan kompleksitas agroroforestri dibandingkan
budidaya tunggal (monoculture; baik di sektor kehutanan atau di sektor
pertanian). Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam
menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di
lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan
manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan, berikut merupakan
klasifikasi sistem agroforestri yang terdapat pada lapangan:
a) Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya.
Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan,
pertanian, atau peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri
dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1) Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems) adalah sistem
agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan
(tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian
(tanaman non-kayu);
2) Silvopastura (Silvopastural systems) adalah Sistem agroforestri
yang meliputi komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan
komponen peternakan (binatang ternak/ pasture) disebut
sebagai sistem silvopastura;
3) Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems) adalah
pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan
pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan (binatang) pada
unit manajemen lahan yang sama.
b) Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan.
Meskipun kita telah mengenal agroforestri sebagai sistem
penggunaan lahan, tetapi seringkali digunakan istilah teknis yang berbeda
atau lebih spesifik, seperti sistem, sub-sistem, praktik, dan teknologi
(Nair, 1993).
1) Sistem agroforestri, didasarkan pada komposisi biologis serta
pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-
ekonominya. Istilah sistem sebenarnya bersifat umum.
2) Sub-sistem agroforestri, menunjukkan hirarki yang lebih rendah
daripada sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian
dari sistem itu sendiri.
3) Praktek agroforestri, menjurus kepada operasional pengelolaan
lahan yang khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada
kepentingan atau kebutuhan. Prakter agroforestri juga merupakan
pengalaman dari petani lokal atau unit manajemen yang lain,
yang didalamnya terdapat komponenkomponen agroforestri.
4) Teknologi agroforestri, merupakan inovasi atau penyempurnaan
melalui intervensi ilmiah terhadap sistem-sistem atau praktik-
praktik agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
c) Klasifikasi berdasarkan masa perkembangannya
Ditinjau dari masa perkembangannya, terdapat dua kelompok besar
agroforestri, yaitu
1) agroforestri tradisional/klasik (traditional/ classical
agroforestry); Thaman (1988), mendefinisikan agroforestri
tradisional atau agroforestri klasik sebagai setiap sistem
pertanian, di mana pohon-pohonan baik yang berasal dari
penanaman atau pemeliharaan tegakan atau tanaman yang telah
ada menjadi bagian terpadu, sosial-ekonomi dan ekologis dari
keseluruhan sistem (agroecosystem);
2) agroforestri moderen (modern/ modern agroforestry). Berbagai
bentuk dan teknologi agroforestri yang dikembangkan setelah
diperkenalkan istilah agroforestri pada akhir tahun 70-an,
dikategorikan sebagai agroforestri moderen.
d) Klasifikasi berdasarkan zona agroekologi
Menurut Nair (1989), klasifikasi agroforestri dapat juga ditinjau dari
penyebarannya atau didasarkan pada zona agroekologi, yaitu:
1) agroforestri yang berada di wilayah tropis lembab dataran rendah
(lowland tropical humid tropic);
2) agroforestri pada wilayah tropis lembab dataran tinggi (high-land
tropical humid tropic);
3) agroforestri pada wilayah sub-tropis lembab dataran rendah
(lowland humid sub-tropic);
4) agroforestri pada wilayah sub-tropis dataran tinggi (highland
humid sub-tropic). Dalam konteks Indonesia,
Klasifikasi seperti ini dapat didasarkan pada wilayah agroekologi
yang sedikit berbeda. Pada zona klimatis utama, terdapat 4 wilayah
yaitu :
1) zona monsoon (khususnya di Jawa dan Bali);
2) zona tropis lembab (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi); serta
3) zona kering atau semiarid (Nusa Tenggara). Pembagian
berdasarkan zona ekologi klimatis utama di atas, dapat pula
berdasarkan ekologi lokal, antara lain
4) zona kepulauan (Nusa Tenggara atau Kepuluan Maluku); dan
5) zona pegunungan (Jawa, Sumatera, dan Papua).
e) Klasifikasi berdasarkan orientasi ekonomi
Banyak pihak yang berpandangan bahwa agroforestri dikembangkan
untuk memecahkan permasalahan kemiskinan dan petani kecil, karena
adanya busung lapar (sebagai contoh di Jawa yang memiliki kepadatan
penduduk >700 jiwa/km2) atau kondisi lingkungan hidup yang sulit
akibat aspek geografis (keterisolasian wilayah) atau aspek ekologis
(wilayah-wilayah beriklim kering). Pendapat ini tidak dapat disalahkan
seratus persen, karena kenyataannya selama ini memang program-
program (proyek-proyek) pengembangan agroforestri lebih banyak
dijumpai pada negara-negara berkembang yang miskin di wilayah tropis
(Afrika, Asia, dan Amerika Latin). Dalam implementasi, agroforestri
dibuktikan sebagai sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung
orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsistem saja, melainkan
pada tingkatan semi-komersial hingga komersial sekalipun (Nair, 1989).
f) Klasifikasi berdasarkan sistem produksi
Ditinjau dari sistem produksi menurut A.S. Mustofa. D. Tony, S.A. Hadi,
dan W. Nurheni, 2003 terdapat tiga pengklasifikasian agroforestri
berdasar sistem produksi, yaitu
1) agroforestri berbasis hutan (Forest Based Agroforestry); Forest Based
Agroforestry systems pada dasarnya adalah bebagai bentuk
agroforestri yang diawali dengan pembukaan sebagian areal hutan
atau belukar untuk aktivitas pertanian,dan dikenal dengan sebutan
agroforest;
2) agroforestri berbasis pada pertanian (Farm based Agroforestry); Farm
based Agroforestry systems dianggap lebih teratur dibandingkan
dengan agroforest (forest based agroforestry) dengan produk utama
tanaman pertanian dan atau peternakan tergantung sistem produksi
pertanian dominan di daerah tersebut. Komponen kehutanan
merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktivitas atau
keberlanjutan sistem;
3) agroforestri berbasis pada keluarga (Household based Agroforestry);
Agroforestri yang dikembangakan pada areal pekarangan rumah ini di
Banglades juga disebut agroforestri pekarangan (homestead
agroforestry). Di Indonesia, yang terkenal adalah model kebun talun
di Jawa Barat. Sedangkan di Kalimantan Timur, ada kebun
pekarangan tradisinal yang dimiliki oleh sayu keluarga besar (clan).
Kondisi ini bisa terjadi karena pada masa lampau beberapa keluarga
tinggal bersama-sama pada rumah panjang (atau disebut sebagai
‘lamin’). Di berbagai daerah di Indonesia, pekarangan biasanya
ditanam pohon buah-buahan dengan tanaman pangan.
g) Klasifikasi berdasarkan lingkup manajemen
Klasifikasi agroforestri berdasarkan lingkup manajemennya, adalah
sebagai berikut
1) agroforestri pada tingkat tapak (skala plot);
2) agroforestri pada tingkat bentang lahan.
h) Klasifikasi berdasarkan jenisnya
Berdasarkan Arsyad, 2006 menyatakan bahwa tindakan konservasi lahan
yang dilakukan dengan cara wanatani (agoforestri) memiliki banyak jenis,
diantaranya adalah
1) kebun Pekarangan, yakni kebun campuran yang terdiri atas campuran
yang tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghassilkan buah-
buahan dan sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar
rumah;
2) talun Kebun, adalah suatu sistem wanatani tradisional dimana
sebidang tanah ditanami dengan berbagai macam tanaman yang diatur
secara spasial dan urutan temporal;
3) pertanaman lorong, yakni suatu bentuk penggunaan yang menanam
tanaman semusim atau tanaman pangan dilorong atau gang yang ada
diantara pagar tanaman pohon atau semak (Kang, et al, dalam Arsyad
, 2006);
4) permaculture, merupakan suatu sistem yang terpadu dan berkembang

terdiri atas berbagai tanaman tahunan atau tanaman yang dapat

tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dan hewan yang

bermanfaat bagi manusia (Mollison dan Holmgren dalam Arsyad,

2006).

2.2 Tanaman Pinus

Pinus merkusii Jungh. et deVries merupakan satu-satunya jenis pinus


yang tumbuh di Indonesia salah satunya tumbuh di Sumatera Utara dan
sebaran alaminya sampai di Asia Tenggara antara lain Laos, Kamboja,
Thailand, Vietnam, dan diFlipina.Pinus merkusii Jungh.et deVries termasuk
suku Pinacea nama daerah Pinus (Jawa), tusam (Sumatera) (Siregar, 2005).
Pohon pinus tersebut pertama kali ditemukan di daerah Sipirok, Tapanuli
Selatan Sumatera Utara seorang ahli botani dari Jerman oleh
Dr.F.R.Junghuhn pada tahun 1841.Tumbuhan ini tergolong jenis cepat
tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan yang khusus (Harahap, 2000).
Sistematika klasifikasi tanaman pinus adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Class : Pinopsida
Ordo : Pinales
Famili : Pinaceae
Genus : Pinus
Spesies : Pinus merkusii Jungh. et deVries
Nama lokal : Pinus
Pinus merkusii dapat tumbuh di tanah kurang subur, tanah berpasir,
dan tanah berbatu, dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1.700 m
diatas permukaan laut.Di hutan alam masih banyak ditemukan pohon besar
berukuran tinggi 70 m dengan diameter 170 cm (Harahap dan Izudin, 2002).
Deskripsi botani pinus pada umumya batang berkayu, bulat, keras,
bercabang horizontal, kulit retak-retak seperti saluran dan berwarna cokelat,
daunya majemuk dan bentuk jarum (Agusta, 2000) memiliki buah dengan
perisai ujung berbentuk jajaran genjang, akhirnya merenggang, (Steenis and
Van, 2003) tinggi kisaran 20-40 m dan diameter 30-60 cm (Hidayat dan
Hansen, 2001).
Sebagai tanaman penghijauan tanaman pinus dapat: a). mengurangi
lahan longsor (landslide) karena mempunyai perakaran yang dalam dan berat
pohon pinus yang tidak terlalu berat dan terlalu ringan dapat meningkatkan
tegangan kekang pada bidang longsor, menjadikan pinus memiliki potensi
untuk mengurangi kerentanan dan terjadinya longsor, b). mengurangi erosi
karena tajuknya dapat menghambat tenaga kinetik jatuhan air hujan c).
sersahnya dapat menghalangi pukulan air hujan secara langsung sehingga
erosi percik (splash erosion) berkurang, d). daun pinus mempunyai nilai
vapotranspirasi yang tinggi, sehingga akan cepat mengurangi kadar lengas
dalam tanah (tanah tidak mudah menjadi jenuh air) (Sukarno, et al., 2013) dan
e). sersah yang terdekomposisi akan membentuk agregat-agregat tanah,
sehingga akan meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi aliran permukaan
(surface run off). Di samping sebagai tanaman penghijauan, kayu pinus dapat
digunakan untuk kertas dan bubur kertas, tripleks, vinir, sutera tiruan dll.
Getahnya dapat dijadikan gondorukem, sabun, perekat, cat, kosmetik dll.
(Khaerudin, 1994).
Seresah Daun Tanaman Pinus
Serasah daun Pinus spp. memiliki komponen lignin yang sangat tinggi
sehingga bersifat rekalsitran (Delaney et al. 1996). Serasah dengan sifat
seperti ini sulit didegradasi sehingga hanya cendawan tertentu yang mampu
hidup pada habitat ini. Cendawan pada serasah Pinus di HPGW perlu
dipelajari karena informasi tentang keragaman cendawan saprob pada serasah
ini belum ada.
Dekomposisi serasah dedaunan akan dibantu oleh keberadaan
cendawan. Namun dekomposisi juga dipengaruhi oleh kandungan lignin suatu
substrat (Aprianis, 2011). Kandungan rasio C/N dan lignin pada serasah Pinus
asal HPGW tidak diketahui karena komposisi nutrisi serasah tidak dianalisis.
Menurut Girisha et al. (2003) rasio C/N pada daun jarum P. radiata yang
masih hijau sebesar 28.44 + 0.62 dan pada daun jarum yang baru gugur
sebesar 64.74 + 2.82. Setelah satu tahun dekomposisi terjadi perubahan rasio
C/N. Delaney et al. (1996) menyatakan bahwa serasah P. strobus menyisakan
63-75%. massa dengan lignin sebagai komponen terbesar (64.2%) dengan
rasio C/N yang tinggi yaitu 83 setelah satu tahun dekomposisi. Tertinggalnya
lignin sebagai komponen terbesar menunjukkan bahwa secara alami serasah
Pinus bersifat rekalsitran. Aprianis (2011) menyatakan bahwa lignin
merupakan makromolekul yang sulit terurai oleh mikroorganisme tanah
Selain lignin, kandungan kimia tanah, suhu, oksigen, kelembapan, pH,
ketersediaan hara organik juga mempengaruhi cepat atau lambatnya
dekomposisi serasah. Sifat rekalsitran suatu substrat menyebabkan hanya
sedikit cendawan yang mampu menggunakan substrat. Pada studi lapangan
ini ditemukan tiga genus cendawan yaitu Curvularia sp., Excipularia sp. dan
Lophodermium sp. Dua dari tiga jenis cendawan yang ditemukan termasuk
hifomiset, yaitu Curvularia sp. dan Excipularia sp. Sedangkan
Lophodermium sp. merupakan cendawan askomiset. Cendawan hifomiset
merupakan cendawan yang sering dijumpai pada substrat jaringan tumbuhan,
kayu dan kulit kayu, kotoran hewan, insekta dan arthtropoda, dan beberapa
cendawan tak terkecuali liken (Seifert et. al 2011).
2.3 Tanaman Rempah-Rempah
Jahe (Zingiber officinale rosc) merupakan salah satu dari temu-temuan
suku Zingiberaceae yang menempati posisi yang sangat penting dalam
perekonomian masyarakat Indonesia serta memiliki banyak kegunaanya
(Hapsoh, et al., 2010). Bentuk rimpang jahe bercabang-cabang dan tidak
teratur. Tanaman jahe dapat diperbanyak dengan menanam rhizoma yang
sudah cukup tua, minimal berumur 9 bulan (Koswara, 1995). Jahe merupakan
rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dalam bidang kesehatan. Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar
dari India sampai Cina ( Paimin dan Murhanato, 2008)
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Musales
Family : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale (Rukmana, 2000).
Akar merupakan bagian terpenting dari tanaman jahe. Pada bagian ini
tumbuh tunas-tunas baru yang kelak akan menjadi tanaman. Akar tunggal
(rimpang) tertanam kuat didalam tanah dan makin membesar dengan
pertambahan usia serta membentuk rhizoma-rhizoma baru (Rukmana, 2000).
Panjang daunnya 15-23 cm dan lebar 0,8-2,5 cm. Tangkainya berbulu atau
gundul. Ketika daun mengering dan mati, pangkal tangkainya (rimpang) tetap
hidup dalam tanah. Rimpang tersebut akan bertunas dan tumbuh menjadi
tanaman baru setelah terkena hujan . Rimpang jahe berbuku-buku, gemuk,
agak pipih, membentuk akar serabut. Rimpang tersebut tertanam dalam tanah
dan semakin membesar sesuai dengan bertambahnya usia dengan membentuk
rimpang-rimpang baru. Di dalam sel-sel rimpang tersimpan minyak atsiri
yang aromatis dan oleoresin khas jahe (Harmono dan Andoko, 2005).
Rimpang yang akan digunakan untuk bibit harus sudah tua minimal
berumur 10 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain kandungan serat tinggi
dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah mengelupas, warna kulit
mengkilat menampakkan tanda bernas. Rimpang yang terpilih untuk
dijadikan benih, sebaiknya mempunyai 2 - 3 bakal mata tunas yang baik
dengan bobot sekitar 25 -60 g untuk jahe putih besar, 20 - 40 g untuk jahe
putih kecil dan jahe merah. Jahe putih besar yang dipanen tua membutuhkan
bibit 2-3 ton/ha dan 5 ton/ha untuk jahe putih besar yang dipanen muda
(Rostiana dkk., 2005).
Tanaman jahe mempunyai daya adaptasi yang luas di daerah tropis,
sehingga dapat tumbuh di daratan rendah sampai pegunungan. Namun, untuk
tumbuh dan berproduksi secara optimal, tanaman jahe membutuhkan kondisi
lingkungan tumbuh yang sesuai. Jahe cocok ditanam di daerah tropis dengan
kisaran suhu 20 - 35ºC, suhu optimum 25-30ºC.

Penyakit yang menyerang tanaman jahe adalah sebagai berikut :

1) Penyakit layu bakteri. Penyebab penyakit layu pada tanaman jahe


adalah bakteri R. solanacearum. Pada umumnya gejala penyakit mulai
muncul pada tanaman berumur 3 atau 4 bulan yang diawali dengan
terjadinya daun-daun yang menguning dan menggulung hingga
seluruh bagian daun dan tanaman menjadi mati.
2) Bercak daun. Penyebabnya adalah cendawan Phyllosticta sp. serangan
di awal pertumbuhan dapat menyebabkan produksi turun karena
banyak daun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Infeksi diduga
terjadi saat daun baru pada awal membuka penuh.
3) Busuk rimpang. Penyebabnya adalah beberapa jenis cendawan antara
lain : kelompok Rhizoctonia sp., Fusarium sp., Fusarium oxysporum.
Gejala yang terlihat pada bagian tanaman terdapat berupa daun
menguning dan tersebar.
Media tanam berfungsi sebagai tempat tumbuh akar tanaman yang
ditanam dan untuk menyerap larutan nutrisi saat disiram atau diteteskan
kemudian larutan nutrisi tersebut diserap oleh perakaran. Syarat yang
digunakan untuk media tanam antara lain steril, porus ringan, mudah didapat
dan murah. Tanaman membutuhkan unsur hara yang tepat untuk mencukupi
kebutuhan tanaman. Selain itu tanaman juga membutuhkan air dan sinar
matahari untuk dapat melangsungkan daur hidupnya. Menurut Iswanto
(2002), media tanam yang baik harus memenuhi kriteria antara lain; tidak
mudah lapuk, tidak mudah menjadi sumber penyakit, aerasi baik, mampu
mengikat air dan unsur hara dengan baik mudah didapat dan harga relatif
murah. Maka sangat cocok untuk memanfaatkan lahan tegakan hutan pinus
sebagai media tanaman bagi berbagai macam tanaman rimpang, seperti jahe.

2.4 Interaksi Antara Tanaman Pinus Dengan Tanaman Rempah-Rempah


Tujuan pengembangan ilmu kehutanan sosial adalah untuk
menyiapkan tenaga ahli yang mampu mengamalkan ilmu pengetahuan
kehutanan masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat
desa hutan khususnya dan masyarakat yang lebih luas melalui pengelolaan
hutan yang lestari (Suharjito, 2014).
Terdapat empat landasan untuk mengembangkan ilmu kehutanan
sosial. Pertama, keberadaan praktik-praktik community forestry (kehutanan
masyarakat) tersebar di berbagai wilayah Indonesiadan negara-negara lain,
baik di barat maupun timur, utara maupunselatan. Kedua, keberadaan praktik
kehutanan masyarakat merupakan sumber pengetahuan, sebagai landasan
epistemologis. Kehutanan masyarakat merupakan objek penelitian karena ada
fakta-fakta atau gejala-gejala empiris yang dapat diamati dan diukur. Ketiga,
berdasarkan pandangan metodologis, penelitian dan pengembangan ilmu
kehutanan masyarakat dapat dilakukan secara induktif dan deduktif. Kempat,
berdasarkan pandangan aksiologis, praktik-praktik kehutanan masyarakat
menunjukkan adanya pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma yang
dibangun oleh para pelaku praktik kehutanan masyarakat (Suharjito, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Aprianis, Y. 2011. Produksi dan Laju Dekomposisi Seresah Acacia crassicarpa


A. Cunn. Di PT. Arara Abadi. Tekno Hutan Tanaman. 4(1) : 4-11.

Delaney, MT., et all. 1996. Red Maple and White Pine Liter. Quality: initial
changes with decomposition. MAFES Technical Bulletin. 162.

Girisha, GK., et all. 2003. Decomposition and Nutrient Dynamics of Green and
Freshly Fallen Radiata Pine (Pinus radiata) needles. Forest Ecology and
Management. 179 : 169-181.

Hairiah, K., Widianto, Suprayogo, D., Widodo, R.H., Purnomosidhi, P., Rahayu,
S., dan Van Noordwijk, M. 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator
Daerah Aliran Sungai yang (DAS) Sehat. Buku Word Agroforestry Center
(ICRAF). Bogor. 52 hlm.

Hapsoh, et all. 2010.

Harmono dan Andoko, 2005

Koswara.1995.

Paimin dan Murhanato, 2008

Rukmana, Rahmat. 2000.

Santoso, H. 2011. Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa.Tafsir setengah hati


pengelolaan hutan berbasis masyarakat versi Kementerian Kehutanan RI.
Jurnal Kehutunan Masyarakat. 3 (1) : 53-78.

Seifert, K., et all. 2011. The Genera of Hyphomycetes. Utretch (AN) CBS-KNAW
Fungal Biodiversity Centre.

Anda mungkin juga menyukai