Selain itu, menurut Maulidah (2012) dan Supriyati (2006) peran agribisnis
maupun agroindustri dalam perekonomian adalah sebagai berikut:
1. Memperluas Kesempatan Kerja dan Berusaha
Banyak melibatkan tenaga kerja karena sistem agribisnis menggunakan sumberdaya
alam yang ada yang dapat diperbaharui serta lebih banyak tenaga kerja yang
dilibatkan baik yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan.
2. Menciptakan Lapangan Pekerjaan,
khususnya dapat menarik tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri hasil
pertanian (agroindustri);
3. Menciptakan Nilai Tambah Hasil Pertanian di Dalam Negeri
Pengembangan agroindustri dapat menciptakan nilai tambah dari hasil pertanian
hingga mampu menciptakan pasar berbagai produk pertanian dan produk olahannya
4. Berperan Dalam Pelestarian Lingkungan
Kegiatan agribisnis yang berlandaskan pada pendayagunaan keanekaragaman
ekosistem di seluruh tanah air memiliki potensi melestarikan lingkungan hidup.
5. Meningkatkan Penerimaan Devisa melalui Peningkatan Ekspor Hasil Agroindustri;
selama ini selain ekspor migas, hanya agribisnis yang mampu memberikan net-ekspor
secara konsisten. Peranan agribisnis dalam penyediaan bahan pangan. Ketersediaan
berbagai ragam dan kualitas pangan dalam jumlah pada waktu dan tempat yang
terjangkau masyarakat merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan pembangunan
di Indonesia.
6. Mewujudkan Pemerataan Pembangunan
pemerataan pembangunan sangat ditentukan oleh ‘teknologi’ yang digunakan dalam
menghasilkan output nasional, yaitu apakah bias atau pro terhadap faktor-faktor
produksi yang dimiliki oleh rakyat banyak. Saat ini faktor produksi yang banyak
dimiliki oleh sebagian besar rakyat adalah sumber daya lahan, flora dan fauna, serta
sumber daya manusia. Untuk mewujudkan pemerataan di Indonesia perlu digunakan
‘teknologi’ produksi output nasional yang banyak menggunakan sumber daya
tersebut, yaitu agribisnis.
7. Mampu meningkatkan efisiensi sector pertanian
Agribisnis berperan dalam meningkatkan efisiensi sector pertanian hingga menjadi
kegiatan yang sangat produktif melalui proses modernisasi pertanian.
8. Penyediaan Bahan Pangan
Ketersediaan berbagai ragam dan kualitas pangan dalam jumlah pada waktu dan
tempat yang terjangkau masyarakat merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan
pem-bangunan di Indonesia. Sejarah modern Indonesia menunjukkan bahwa krisis
pangan secara langsung mempengaruhi kondisi sosial, politik, dan keamanan nasional
C. Permasalahan Umum Pekerja dan Kendala Penerapan K3
a. Kecelaaan Kerja
Tingkat pencapaian penerapan SMK3 di suatu perusahaan jasa konstruksi di
Indonesia juga menjadi sorotan. Kurangnya perhatian dalam menerapkan SMK3,
membuat penerapannya cenderung tidak mencapai 100% (Juliantina, et.al, 2013;
Udiana, et.al, 2012; Kurniawan, 2015). Menurut PP No. 50 Tahun 2012, Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3
adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka
pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja
yang aman, efisien, dan produktif.. Terutama di Indonesia masih sangat rendah untuk
terlaksana secara baik. Tidak diherankan angka kecelakaan kerja masih sulit menurun.
Berikut terdapat beberapa faktor yang utama penyebab kecelakaan kerja yaitu tenaga
kerja tidak memakai alat pelindung diri (APD), terbatasnya dana K3, rendahnya
prioritas K3 oleh manajemen perusahaan, kurangnya pengetahuan mengenai K3,
lemahnya sanksi dari perusahaan, rendahnya budaya dan disiplin k3, kontraktor
memaksakan bekerja hingga larut malam.
Tingkat pencapaian penerapan SMK3 di suatu perusahaan jasa konstruksi di
Indonesia juga menjadi sorotan. Kurangnya perhatian dalam menerapkan SMK3,
membuat penerapannya cenderung tidak mencapai 100% (Juliantina, et.al, 2013;
Udiana, et.al, 2012; Kurniawan, 2015). 1Indonesia mengambarkan salah satu negara
berkembang yang sedang mengelola pembangunan yang signifikan di bidang
agroindustri. Keselamatan Kerja telah diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1970
tentang keselamatn kerja dalam pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 ayat (3). Keselamatan dan
kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan
manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan
makmur (Mangkunegara, 2002 dalam Kurniawan, 2015).111.
b. Penyakit Akibat Kerja
Faktor keselamatan kerja menjadi sangat penting karena terkait dengan kinerja
karyawan dan pada gilirannya, pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas
keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Penyakit
Akibat Kerja (PAK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan di Indonesia
belum tercatat dengan baik. Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
alat kerja bahan, pekerjaan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian,
penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease.
Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Penyakit
Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang
ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan
dengan pekerjaan.( Hebbie Ilma Adzim, 2013)
Penyebab Penyakit Akibat Kerja Tedapat beberapa penyebab PAK yang umum
terjadi di tempat kerja, berikut beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan penyebab
dari penyakit yang ada di tempat kerja.
a) Golongan fisik: bising, radiasi, suhu ekstrim, tekanan udara, vibrasi, penerangan
Efek pencahayaan pada mata, kekuatan pencahayaan beraneka ragam, yaitu berkisar
2.000-100.000 lux di tempat terbuka sepanjang hari dan pada malam hari dengan
pencahayaan buatan 50-500 lux. Kelelahan pada mata ditandai oleh :
1. Iritasi pada mata / conjunctiva
2. Penglihatan ganda
3. Sakit kepala
4. Daya akomodasi dan konvergensi turun
5. Ketajaman penglihatan
b) Penyakit Silikosis dispengaruhi oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2 ,
yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudianmenumpuk. Debu silika
bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton,
bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda) dll. Selain dari itu, debu
silika juga banyak terkandung di tempat penampang besi, timah putih dan tambang
batu bara. Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkam
debu silika bebas SiO2 .
c) Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau
serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam
silikat, namun yang paling utama adalah magnesium silikat. Debu asbes banyak
dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat
asbes, pabrik beratap asbes dan lain sebagainya.
d) Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu
batu bara. Penyakit ini biasanya ditemukan pada pekerja-pekerja tambang batubara
atau pada pekerja-pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara, seperti
pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker), dan juga pada kapal laut
bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan
bakar batubara. Penyakit antrakosis ada tiga macam, yaitu: penyakit antrakosis
murni, penyakit silikoantrakosis, dan penyakit tuberkolosilkoantrakosis.
e) Penyakit Beriliosis Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang
berupa logam murni, oksida, sulfat, maupun dalam bentuk halogenida, dapat
menyebabkan penyakit saluran pernafasan yang disebut beriliosis. Debu logam
tersebut dapat menyebabkan nasoparingtis, bronchitis, dan pneumonitis yang
ditandai dengan pertanda sedikit demam, batuk kering, dan sesak nafas. Penyakit
beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja industri yang menggunakan logam
campuran berilium, tembaga, pekerja pada pabrik fluoresen, pabrik pembuatan
tabung radio, dan juga pada pekerja pengolahan bahan penunjang industri nuklir
f) Penyakit Saluran Pernafasan (PAK) pada saluran pernafasan dapat bersifat akut
maupun kronis. Akut misalnya asma akibat kerja. Sering didiagnosis sebagai
tracheobronchitis akut atau karena virus kronis, misal: asbestosis. Seperti gejala
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau edema paru akut. Penyakit ini
disebabkan oleh bahan kimia seperti nitrogen oksida.
g) Penyakit Kulit pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak mengancam
kehidupan, dan akan sembuh sendiri. Dermatitis kontak yang dilaporkan, 90%
merupakan penyakit kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Penting riwayat
pekerjaan dalam mengidentifikasi iritan yang merupakan penyebab, membuat peka,
atau karena faktor lain.
h) Kerusakan Pendengaran banyak kasus gangguan pendengaran menonjol akibat
pajanan kebisingan yang lama, ada beberapa kasus bukan karena pekerjaan. Riwayat
pekerjaan secara detail sebaiknya didapatkan dari setiap orang dengan gangguan
pendengaran. Dibuat rekomendasi tentang pencegahan terjadinya hilang
pendengaran.
c. Kendala Peneraan K3
Menurut Dr. F.A. Gunawan, dalam bukunya yang berjudul “Safety
Leadership: Kepemimpinan Keselamatan Kerja”, memaparkan 8 hambatan
pelaksanaan K3 di Indonesia, yaitu:
1. Masih banyak pimpinan perusahaan yang hanya mengembangkan target produksi
dan menyesuaikan biaya tanpa memperhitungkan besar kecilnya risiko yang timbul
dari ketentuan yang diambil. Pihak manajemen masih berpikir bahwa keselamatan
kerja hanya menaikkan biaya dan menghambat produksi. Mereka belum melihat
faktor biaya dari segi risiko keselamatan yang mungkin terjadi terhadap bisnis.
2. Manajemen perusahaan memberikan prioritas rendah pada program K3 dalam
program perusahaan. Hampir di banyak perusahaan yang ada, program K3 tidak
pernah dibahas dalam rapat-rapat yang diselenggarakan perusahaan tersebut.
perusahaan hanya terlalu fokus pada produksi perusahaan sedangkan program K3
tersebut sangat dibelakangkan. Jika sudah terjadi kecelakaan, barulah perusahaan
akan mengingat mengenai K3 tersebut. Namun tetap perusahaan tidak
memprioritaskan program K3 dalam pengoperasiannya. harus terjadi kecelakaan
terlebih dahulu baru mereka mengendalikan segi keselamatan. Segi keselamatan
akan diperkuat kembali apabila sudah terdapat korban terlebih dahulu. Kebiasaan
tersebut menimbulkan tidak konsistennya pelaksanaan sistem manajemen
keselamatan kerja apabila belum terjadi kecelakaan dengan korban jiwa. Apalagi
saat terjadi kecelakaan inipun, banyak pihak yang mencari kambing hitam dan
tidak memperbaiki sistem yang menjadi pokok permasalahan dari kejadian
tersebut. Jadi tidak heran akan bermunculan korban lain dengan pola kecelakaan
yang serupa.
3. Masih banyak perusahaan yang hanya mengutamakan pencapaian kinerja jangka
pendek, laba jangka pendek misalnya pada hal ini menyebabkan upaya
keselamatan kerja yang seringkali tersingkirkan oleh tuntutan kinerja keuangan
tersebut. Keadaan ini mengakibatkan lingkungan kerja yang rawan risiko
keselamatan kerja.
4. Masih rendahnya kesadaran sebagian besar tenaga kerja terhadap keselamatan
kerja. Banyak tenaga kerja yang hanya patuh terhadap peraturan dan prosedur
keselamatan apabila diawasi. Sedangkan pengawasan tidak mungkin dilakukan
sepanjang waktu. Hal ini dapat memperburuk dengan pemikiran bahwa mereka
akan tetap selamat ketika melakukan hal-hal berbau jalan pintas yang berisiko
tinggi. Sebagimana nasib tidak sial maka akan tetap selamat.
5. Keadaan ekonomi dan sosial di Indonesia sering dijadikan alasan pelanggaran
terhadap peraturan keselamatan. Misalnya, dengan alasan memberdayakan sumber
daya lokal, maka pimpinan mengizinkan penggunaan tenaga kerja lokal yang tidak
sesuai kompetensinya menjadi pekerja musiman tanpa memberikan pemahaman
dan kemampuan di industri yang memiliki risiko tinggi.
6. Terdapat kesenjangan antara kenyataan dalam era teknologi tinggi yang tercantum
adanya bahaya dan Risiko dengan kesadaran dan cara pandang manusia terhadap
risiko tersebut. Sehingga banyak pimpinan dan pekerja yang tidak sadar telah
mengambil jalan pintas yang berisiko tinggi dalam melaksanakan aktivitas
pekerjaannya.
7. Belum terbentuk perpaduan keselamatan kerja dalam kurikulum pendidikan yang
terkait. Di negara maju seorang lulusan teknik kimia sudah dibekali dengan Ilmu
mengidentifikasi, memahami dan mengendalikan bahaya yang ada dalam proses
industrinya. Di Indonesia masih belum sepenuhnya diterapkan, sehingga para
lulusan yang memiliki bidang berisiko tinggi masih banyak yang belum memiliki
kesadaran akan bahaya dan risiko.
8. Lemahnya Pemerintah dalam menerapkan peraturan keselamatan kerja. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan jumlah dan mutu dari Para ahli keselamatan kerja
yang ada dipemerintah. Lemahnya penerapan diperburuk oleh sikap pembiaran
yang dilandasi alasan ekonomi.
Incident rate adalah angka yang menunjukkan kecelakaan kerja dari seribu
tenaga kerja.
Incident rate tergolong tinggi bila perusahaan dengan jumlah pekerja 1–10
dengan IR > 2,1, perusahaan dengan jumlah pekerja 11–49 dengan IR > 1,2,
perusahaan dengan jumlah pekerja 50–249 dengan IR > 2,7, dan perusahaan
dengan jumlah pekerja 250–999 dengan IR > 1,1
2. Frequency Rate
Frequency rate adalah angka yang menunjukkan jumlah kejadian
kecelakaan kerja per satu juta jam kerja orang. Frequency rate menujukkan
tingkat bahaya tempat kerja. Tingkat bahaya tergolong tinggi jika FR ≥ 10,
sedang jika 5 FR 10, rendah jika FR 5
3. Severity Rate
Severity rate adalah angka yang menunjukkan total hari kerja yang hilang
akibat kecelakaan kerja per satu juta jam kerja orang. Tingkat keparahan
merupakan ukuran dengan cutting point 0, jadi perusahaan seharusnya tidak
kehilangan hari kerja produktif akibat kecelakaan kerja
4. Safe-T Score
a. Statistika K3 Agribisnis
Statistik K3 di bidang agribisnis, kelompok kami mengambil contoh di PT.
Surya Intisari Raya (SIR) Sei. Luku yang terdapat di Kabupaten Siak dan Kota
Pekanbaru. PT. Surya Intisari Raya merupakan perusahaan yang bergerak dibidang
perkebunan kelapa sawit dan pengolahan tandan buah sawit (TBS) menjadi Crude
Palm Oil (CPO) dan Palm Karnel (PK) yang berada di naungan induk perusahaan
First Resources Group.
Jumlah karyawan di PT. Surya Intisari Raya (SIR) Kebun Sei Lukut pada
bagian pemanenan tandan buah sawit berubah-ubah pada tahun 2013 samoa 2015.
Perubahan jumlah karyawan tersebut disebabkan oleh adanya karyawan baru yang
masuk ataupun karyawan lama yang mengundurkan diri atau dipecat. Pada tahun
2013 PT. Surya Intisari Raya (SIR) Sei. Luku mempekerjakan 228 karyawan,
sedangkan pada tahun 2014 mempekerjakan 212 karyawan dan pada tahun 2015
mempekerjakan 234 karyawan yang bekerja dibagian pemanenan tandan buah sawit.
Jam kerja karyawan yang ditetapkan oleh perusahaan tersebut yaitu 7 jam per hari.
Maka hari kerja rata-rata karyawan pemanen tandan buah sawit dalam sebulan yaitu
25 hari dan 2100 jam kerja dalam setahun.
1. Kecelakaan kerja
Kecelakaan kerja yang dialami oleh karyawan pemanenan tandan buah sawit
disebabkan oleh beberapa jenis kecelakaan, yaitu :
- Tertimpa pelepah atau buah sawit
- Dijatuhi berondolan sawit, serbuk bunga sawit atau sampah lainnya
- Tertusuk duri sawit
- Tersandung, terpleset atau terjatuh
- Terluka atau cidera karena alat kerja
Data kecelakaan yang terjadi antara tahun 2013 sampai 2015 terdapat 955
kecelakaan dengan 272 kasus kecelakaan pada tahun 2013, 372 kasus kecelakaan
pada tahun 2014 dan 311 kasus kecelakaan kerja pada tahun 2015.
2. Hari kerja yang hilang
Dari banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi pada tahun 2013 sampai 2015
menimbulkan banyaknya hari kerja yang hilang. Jumlah hari kerja yang hilang
pada tahun 2013 hingga 2015 yaitu 1434 hari dengan 426 hari pada tahun 2013,
568 hari pada tahun 2014 dan 440 hari pada tahun 2015.
3. Frequency rate
a. Frequency rate tahun 2013
Diketahui :
Jumlah kecelakaan tahun 2013 : 272 kasus
Jumlah karyawan tahun 2013 : 228 karyawan
Jumlah hari kerja yang hilang tahun 2013 : 426 hari
Jumlah jam orang kerja tahun 2013 = (jumlah karyawan tahun 2013 x jumlah
jam kerja pertahun) – (jumlah hari hilang tahun 2013 x jam kerja perorang
perhari)
= (228 x 2.100) – (426 x 7)
= 478.800 – 2.982
= 475.818 jam
jumlah kecelakaan tahun 2013 x 200.000
FR =
jumlah jam orang kerja tahun 2013
272 x 200.000
=
475.818
= 114,33 115 orang
jadi, terdapat 115 orang mengalami kecelakaan kerja setiap 200.000 jam pada
tahun 2013
b. Frequency rate tahun 2014
Diketahui :
Jumlah kecelakaan tahun 2014 : 372 kasus
Jumlah karyawan tahun 2014 : 212 karyawan
Jumlah hari kerja yang hilang tahun 2014 : 568 hari
Jumlah jam orang kerja tahun 2014 = (jumlah karyawan tahun 2014 x jumlah
jam kerja pertahun) – (jumlah hari hilang tahun 2014 x jam kerja perorang
perhari)
= (212 x 2.100) – (568 x 7)
= 445.200 – 3.976
= 441.224 jam
jumlah kecelakaan tahun2014 x 200.000
FR =
jumlah jam orang kerja tahun 2014
372 x 200.000
=
441.224
= 168,62 169 orang
Jadi, terdapat 169 orang mengalami kecelakaan kerja setiap 200.000 jam pada
tahun 2014
c. Frequency rate tahun 2015
Diketahui :
Jumlah kecelakaan tahun 2015 : 311 kasus
Jumlah karyawan tahun 2015 : 234 karyawan
Jumlah hari kerja yang hilang tahun 2015 : 440 hari
Jumlah jam orang kerja tahun 2015 = (jumlah karyawan tahun 2015 x jumlah
jam kerja pertahun) – (jumlah hari hilang tahun 2015 x jam kerja perorang
perhari)
= (234 x 2.100) – (440 x 7)
= 491.400 – 3.080
= 488.320 jam
jumlah kecelakaan tahun 2015 x 200.000
FR =
jumlah jam orang kerja tahun 2015
311 x 200.000
=
488.320
= 127,38 128 orang
Jadi, terdapat 128 orang mengalami kecelakaan kerja setiap 200.000 jam pada
tahun 2015
4. Severity rate
a. Severity rate tahun 2013
Diketahui :
Jumlah hari hilang tahun 2013 : 426 hari
Jumlah jam orang kerja tahun 2013 : 475.818 hari
jumlah hari hilang tahun 2013 x 200.000
SR = jumlah jam orang kerja tahun 2013
426 x 200.000
=
475.818
= 179,06 180 hari
Jadi perusahaan kehilangan 180 hari kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2013
b. Severity rate tahun 2014
Diketahui :
Jumlah hari hilang tahun 2014 : 568 hari
Jumlah jam orang kerja tahun 2014 : 441.224 hari
jumlah hari hilang tahun 2014 x 200.000
SR = jumlah jam orang kerja tahun 2014
568 x 200.000
=
441.224
= 257,47 258 hari
Jadi perusahaan kehilangan 258 hari kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2014
c. Severity rate tahun 2015
Diketahui :
Jumlah hari hilang tahun 2015 : 440 hari
Jumlah jam orang kerja tahun 2015 : 488.320 hari
jumlah hari hilang tahun 2015 x 200.000
SR = jumlah jam orang kerja tahun 2015
440 x 200.000
=
488.320
= 180,21 181 hari
Jadi perusahaan kehilangan 181 hari kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2015
Hasil perhitungan statistik kecelakaan diatas, angka Frequency Rate dan Severity
Rate tergolong tinggi dan cenderung mengaami kenaikan. Dari perhitungan
tersebut dapat dikatakan juga bahwa pihak manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja perusahaan gagal dalam meminimalisir angka kecelakaan kerja.
1) Kecelakaan kerja
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa selama tahun 2012 hingga 2016 telah
terjadi 303 kejadian kecelakaan kerja di PT. Kutai Timber Indonesia. Angka
kejadian kecelakaan tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebanyak 84 kejadian
kecelakaan, sedangkan angka kecelakaan terendah terjadi pada tahun 2015
sebanyak 42 kejadian.
c) Incident Rate
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa incident rate kecelakaan kerja PT. Kutai
Timber Indonesia pada tahun 2012 hingga 2016 tergolong tinggi, karena melebihi
standar yakni IR > 1,1. Incident rate pada periode 2012–2016 cenderung menurun,
kecuali pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 1,9. Tahun 2012
menghasilkan incident rate tertinggi, yakni sebesar 22,1 yang berarti dari 1.000
pekerja terjadi 22 kecelakaan kerja. Tahun 2013 menghasilkan incident rate
sebesar 17,6 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi 18 kecelakaan kerja. Tahun
2014 menghasilkan incident rate sebesar 15 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi
15 kecelakaan kerja. Selanjutnya tahun 2015 menghasilkan incident rate sebesar
10,6 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi 11 kecelakaan kerja. Terakhir pada
tahun 2016 menghasilkan incident rate sebesar 12,5 yang berarti dari 1.000
pekerja terjadi 12 kecelakaan kerja.
2) Frequency Rate
Pada tahun 2012, PT. Kutai Timber Indonesia tergolong perusahaan dengan
tingkat bahaya tinggi karena FR ≥ 10. Nilai kekerapan kejadian Kecelakaan kerja
pada tahun 2012 sebesar 10,6 yang bermakna terjadi 11 kecelakaan kerja pada
setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3801 orang pekerja. Pada tahun 2012 hingga
2016 terjadi penurunan frequency rate dengan 5 < FR < 10, sehingga PT. Kutai
Timber Indonesia tergolong perusahaan dengan tingkat bahaya sedang. Tahun
2013 memiliki frequency rate sebesar 8,44 yang bermakna terjadi 9 kecelakaan
kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3859 orang pekerja. Tahun 2014
memiliki nilai kekerapan sebesar 7,18yang bermakna terjadi 8 kecelakaan kerja
pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3938 orang pekerja. Selanjutnya tahun
2015 memiliki frequency rate sebesar 5,08yang bermakna terjadi 6 kecelakaan
kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3964 orang pekerja. Pada tahun
2016 nilai kekerapan mengalami peningkatan menjadi 5,98 yang bermakna terjadi
6 kecelakaan kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 4001 orang pekerja.
3) Severity Rate
Tahun 2012 menghasilkan severity rate sebesar 869,75 yang bermakna terjadi
870 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam kerja pada
total 3801 orang pekerja. Pada tahun 2013 severity rate mengalami penurunan,
yakni sebesar 339 yang bermakna terjadi 339 hari kerja yang hilang akibat
kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3859 orang pekerja. Tahun
2014 nilai keparahan mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni 32,6
yang bermakna terjadi 33 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap
1.000.000 jam kerja pada total 3938 orang pekerja. Tahun 2015 severity rate
mengalami peningkatan yang sangat tinggi, yakni sebesar 780,15 yang bermakna
terjadi 781 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam
kerja pada total 3964 orang pekerja. Tahun 2016 nilai kekerapan sebesar 770,2
yang bermakna terjadi 771 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap
1.000.000 jam kerja pada total 4001 orang pekerja.
4) Safe-T Score
Pada tahun 2013 dan 2014 tidak terjadi perubahan berarti baik peningkatan
maupun penurunan dalam pelaksanaan upaya pencegahan kecelakaan kerja, hal ini
dibuktikan oleh nilai Safe T-Score pada tahun 2013 dan 2014 berada dalam
interval -2 hingga +2. Pada tahun 2015 nilai perhitungan Safe T-Score
menunjukkan angka -2,25 yang bermakna program K3 pada tahun 2015
mengalami perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2016 nilai Safe
T-Score menjadi 1,15 yang bermakna program pengendalian kecelakaan kerja
tidak mengalami perubahan berarti dibandingkan tahun sebelumnya
5) Kesimpulan
Kinerja K3 di PT. Kutai Timber Indonesia cenderung tidak mengalami
perubahan yang berarti. Peningkatan kinerja K3 PT. Kutai Timber Indonesia
hanya terjadi pada tahun 2015. Hasil ini menunjukkan bahwa program
pengendalian kecelakaan kerja di PT. Kutai timber Indonesia tidak mengalami
banyak perubahan.
DAFTAR PUSTAKA