ABSTRAK
Kata kunci: Proporsi Pendapatan Rumah Tangga, Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga,
Petani Padi.
PENDAHULUAN
1
dan sebagainya). Khusus untuk sumberdaya lahan pertanian, hingga saat ini menghadapi
tantangan dan tekanan yang semakin kuat. Tingkat persaingan dengan peruntukan
pengembangan industri dan pemukiman (terutama di Pulau Jawa) telah sangat
mengkhawatirkan bagi eksistensi pertanian, khususnya sebagai sektor yang
berkepentingan dalam pengadaan pangan nasional.
Persaingan penggunaan lahan tersebut untuk sektor non-pertanian tampaknya
tidak dapat dihindarkan dan semakin meningkat tiap tahun. Data dari beberapa referensi
menunjukkan bahwa lahan produktif yang beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi
non-pertanian di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera mencapai 35.000 hektar. Di Pulau
Jawa, laju alih fungsi lahan sawah tersebut mencapai 13.400 ha per tahun (Kompas,
Desember 2005). Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan lebih
dari 50.000 ha sawah irigasi teknis telah menjadi lahan nonpertanian. Bila diasumsikan
yang sudah beralih fungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun dengan
produksi lima ton gabah/ha, maka kehilangan produksi mencapai 500.000 ton gabah
setiap tahun. Nilai land rent untuk penggunaan pertanian 1:500 terhadap penggunaan
lahan untuk industri, untuk perumahan 1:622, dan untuk pariwisata sebesar 1:14.
Dengan demikian, konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya tidak dapat dicegah.
Ironisnya lagi, pengembangan usaha pertanian cenderung beralih dan mengarah pada
pendayagunaan sumberdaya lahan marjinal yang produktivitas lahannya rendah,
sehingga pengusahaannya membutuhkan biaya tinggi yang dampaknya bagi pertanian
cenderung kurang menguntungkan.
Disisi lain bahwa peran sektor pertanian dalam menyumbang pendapatan secara
nasional (PDB) dinilai cukup signifikan. Kontribusi PDB sektor pertanian secara sempit
(pangan, kebun dan ternak) tahun 1996 mencapai 11,42 persen, kemudian pada tahun
2000 mengalami peningkatan menjadi 12,14 persen dan kemudian sedikit mengalami
penurunan ditahun 2007 menjadi 10,76 persen. Dalam sektor pertanian, sub-sektor
tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar terhadap PDB. Dilevel mikro,
berdasarkan hasil
Hasil penelitian Patanas (Susilowati, et.al., 2000) di Propinsi Jawa Barat
menyebutkan bahwa pada periode 1983-2000 telah terjadi kemunduran dalam hal
pemilikan lahan, di mana pemilikan lahan semakin terkonsentrasi pada kelompok kelas
sempit. Rumah tangga pemilik sawah hanya sekitar 39,0 persen sedangkan 63,0 persen
sisanya adalah tunakisma. Dari jumlah pemilik sawah tersebut, 91 persen memiliki
lahan kurang dari 0,5 hektar. Begitu pula dalam hal pemilikan lahan kering,
menunjukkan hal yang sama, di mana sekitar 99 persen rumah tangga memiliki lahan
kering kurang dari 0,5 hektar. Hasil Sensus Pertanian 2003 (BPS, 2004) menyebutkan
bahwa rumah tangga petani yang menguasai lahan dibawah 0,5 ha atau petani gurem
mengalami peningkatan yaitu dari 10,80 juta petani (1993) menjadi 13,66 juta petani
(2003).
Selanjutnya menurut Susilowati, S.H dan E. Suryani (2000) bahwa sektor
pertanian dipedesaan Jawa Tengah masih memberikan kontribusi pendapatan rumah
tangga sebesar 73 persen, dan sisanya bersumber dari pendapatan non pertanian. Hasil
kajian lainnya (Nurmanaf , A.R dan S. H Susilowati, 2000) menyimpulkan bahwa
bahwa mata pencaharian penduduk tampaknya berbeda antar pedesaan di Jawa dan luar
Jawa dalam hal proporsinya menurut sektor. Daerah pertanian lahan kering di Jawa,
rumah tangga petani lebih banyak menjadikan sektor pertanian sebagai mata
pencaharian utamanya dibanding dengan didaerah lahan pertanian sawah. Dalam hal ini
2
tampaknya aktivitas mata pencaharian non pertanian lebih berkembang di daerah lahan
sawah.
Aspek lain yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah pengeluaran
masyarakat. Hasil kajian Sudaryanto, et al (1999) menyimpulkan bahwa tingkat
pendapatan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran untuk makanan, yang
artinya semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah porsi pengeluaran
untuk makanan.
Berpijak dari dari uraian diatas maka kajian ini bertujuan untuk (1) Menyajikan
rataan penguasaan lahan usahatani padi di berbagai agroekosistem; (2) menganalisis
dan menyajikan pangsa pendapatan serta pengeluaran rumah tangga petani padi pada
berbagai agroekosistem; dan (3) Merumuskan kesimpulan dan alternatif saran perbaikan
atas temuan hasil penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Dalam hal pengelolaan pertanian di pedesaan, beragam karakteristik rumah
tangga yang ada memiliki corak tersendiri yang akan mewarnai dinamika pembangunan
pertanian di pedesaan itu sendiri. Dalam hal ini tentunya akan sangat tergantung dari
kondisi kemajuan daerah termasuk tingkat kedinamisan para petaninya, serta dukungan
kelembagaan pertaniannya yang ada dan kondisi infrastrukturnya. Dari tingkat
perkembangan usahatani, secara garis besar dapat dibagi menjadi daerah pertanian
dengan tingkat usahatani yang maju serta daerah pertanian yang pengembangan
usahatani belum berkembang dengan baik. Daerah pertanian yang usahataninya telah
maju biasanya terdapat di daerah sentra produksi komoditi tertentu/spesifik. Sementara,
daerah pertanian usahataninya belum maju di daerah yang bukan sentra komoditi
pertanian, terisolir atau jauh dari pusat pertumbuhan dan daerah dengan kondisi lahan
yang marjinal dan sistem usahatani yang belum berkembang.
Sementara itu, penguasaan lahan dapat dijadikan sebagai gambaran pemerataan
penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian. Disamping itu, lahan pertanian
juga merupakan salah satu faktor produksi penting dalam kegiatan pertanian.
Permasalahan lahan cenderung sangat kompleks terutama di Pulau Jawa, karena: (1)
pola pemilikannya yang relatif sempit; (2) terdapatnya fenomena dengan semakin
terdesaknya kegiatan pertanian oleh kegiatan non pertanian dengan munculnya
fenomena konversi lahan yang semakin gencar; (3) terjadinya perpecahan dan
perpencaran (fragmentasi) lahan baik pada lahan sawah maupun lahan kering; (4)
terjadinya akumulasi lahan oleh sebagian kecil rumah tangga di pedesaan; dan (5)
seringkali terjadinya konflik pertanahan yang diakibatkan oleh konflik penguasaan dan
pemanfaatan lahan.
Permasalahan dalam hal lahan pertanian memiliki implikasi sosial ekonomi yang
sangat luas dan penuh komplikasi. Derivasi permasalahan yang terkait dengan struktur
penguasaan lahan tidak hanya menyangkut permasalahan efisiensi produksi tetapi juga
aspek keadilan sosial (Sumaryanto, 1996). Berbagai hasil penelitian menyangkut
struktur penguasaan lahan telah banyak dilakukan terutama oleh Tim Studi Patanas PSE
(Sumaryanto, dkk., 2002; Hurun, dkk., 2000). Struktur penguasaan lahan akan memiliki
implikasi terhadap kinerja efisiensi dan pendapatan usahatani.
3
Fakta menunjukkan bahwa struktur pendapatan rumah tangga tani masih
dominan berasal dari sektor pertanian. Pada tahun 2004 pangsa pendapatan rumah
tangga tani berbasis lahan sawah sekitar 51,33 persen berasal dari sektor pertanian.
Keadaan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada rumah tangga tani di desa-desa
berbasis lahan kering, dimana sekitar 53,38 persen sumber pendapatannya berasal dari
sektor pertanian. Fenomena ini semakin memperkuat bahwa sektor pertanian masih
tetap merupakan sektor andalan bagi rumah tangga tani dalam membiayai hidup
keluarganya, di samping pendapatan tambahan dari luar pertanian. Sementara itu,
menurut World Bank (1994) bahwa pendapatan masyarakat turut mempengaruhi tingkat
pengeluaran mereka.
Analisis Data
Unit analisis yang digunakan dalam studi ini adalah rumah tangga petani padi
pada berbagai agroekosistem di lokasi penelitian. Analisis data yang digunakan adalah
analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung
rataan, analisis share atau pangsa dari data pendapatan dan pengeluaran rumah tangga
yang ada. Untuk mendukung analisis kuantitatif juga dilakukan analisis deskriptif
kualitatif. Dalam analisis share atau pangsa, maka formula yang digunakan adalah
sebagai berikut:
AE pi
SAE pi n
*100
TAE
i 1
p
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Persentase Rumah Tangga Petani Padi Berdasarkan Strata Penguasaan Lahan
di Lokasi Penelitian, 2007 (Persen).
B. Jawa Tengah
3. Grobogan (Dt. Tgi)
- Irigasi 83,70 13,99 2,31 100,00 0,00 0,00
- Non Irigasi 83,69 14,00 2,31 81,05 16,44 2,51
4. Blora (Dt. Rdh).
- Irigasi 68,00 24,06 7,94 95,43 4,11 0,46
- Non Irigasi 96,09 3,91 0,00 41,13 58,87 0,00
5
Lain halnya dengan di Kabupaten Indramayu (mewakili agroekosistem dataran
rendah), persentase RT pada daerah dataran rendah beririgasi tampak persentase rumah
tangga yang memiliki lahan sawah relatif berimbang pada strata penguasaan <0,5 ha
dan 0,5-0,99 ha, yaitu sebesar 44,89 dan 47,59 persen. Sedangkan pada lahan non sawah
secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 99,70 persen. Hal
yang sama pada daerah dataran rendah non irigasi persentase rumah tangga yang
memiliki lahan sawah relatif berimbang pada strata penguasaan <0,5 ha dan 0,5-0,99
yaitu sebesar 41,89 dan 36,42 persen. Sedangkan pada lahan non sawah secara dominan
berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 81,05 persen.
6
penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (34,61%), kemudian disusul
oleh pendapatan dari usaha sayuran di lahan sawah dan tegalan (12,40%). Pada kegiatan
usaha non pertanian ternyata pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI/Pegawai merupakan
sumber utama pendapatan rumah tangga (33,68%) dan disusul oleh kegiatan usaha
lainnya, usaha perdagangan (berdagang hasil bumi dan ternak), dan buruh non pertanian
dengan kontribusi pendapatannya masing-masing sebesar 6,62; 5,60 dan 3,08 persen
(Tabel 3).
Tabel 2. Proporsi Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah pada Agroekosistem
Dataran Rendah Irigasi di Kabupaten Indramayu dan Grobogan, 2007 (%)
Tabel 3. Proporsi Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah pada Agroekosistem
Dataran Rendah Non Irigasi di Kabupaten Indramayu dan Blora, 2007 (%)
7
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada agroekosistem dataran rendah
non irigasi di Indramayu dan Blora maka kontribusi pendapatan yang paling dominan
berasal dari kegiatan usaha pertanian terutama dari usahatani padi sawah di lahan sawah
non irigasi.
Sementara itu, di Propinsi Jawa Barat yaitu di daerah dataran tinggi irigasi
Kabupaten Cianjur, kontribusi pendapatan rumah tangga yang berasal dari usaha
pertanian mencapai 45,48 persen, sedangkan dari usaha non pertanian mencapai 54,52
persen. Pada kegiatan usaha pertanian, kontribusi pendapatan terbesar dari kegiatan
usaha tani padi sawah sebesar 31,78 persen, dan berikutnya dari kegiatan usahatani
palawija. Sementara, kontribusi pendapatan rumah tangga dominan dari kegiatan usaha
non pertanian berasal dari pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI/Pensiunan/ Pegawai
sebesar 40,72 persen dan selanjutnya diikuti oleh sumber pendapatan dari usaha buruh
non pertanian. Dari gambaran diatas, bahwa kontribusi pendapatan rumah tangga antara
pertanian dan pertanian relatif hampir seimbang. Kegiatan usaha non pertanian di
daerah ini cukup beragam, namun hanya dilakukan oleh beberapa rumah tangga saja
(terbatas jumlahnya).
Masih di Kabupaten Cianjur dengan daerah agroekosistem dataran tinggi non
irigasi, kontribusi pendapatan rumah tangga dari sector pertanian justru lebih tinggi
dibanding dengan dari usaha non pertanian (58,43 % vs 41,57 %). Pada usaha pertanian,
secara signifikan tampak sekitar 54,22 persen pendapatan berasal dari kegiatan
usahatani padi sawah, sedangkan pada usaha non pertanian kontribusinya secara
dominan berasal dari kegiatan usaha buruh non pertanian (buruh angkut) yang mencapai
41,57 persen dan dari usaha dagang (dagang hasil pertanian di pasar dan lainnya).
Tabel 4. Proporsi Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah pada Agroekosistem
Dataran Tinggi Irigasi di Kabupaten Cianjur, 2007 (%)
8
ketahanan pangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga
didominasi pengeluaran untuk pangan pokok yang terdiri atas kelompok pangan padi-
padian, umbi-umbian dan mi. Pangsa pengeluaran untuk kelompok pangan ini bervariasi
antar komoditas maupun agroekosistem.
Pada komoditas padi, tidak terlihat perbedaan pola hubungan yang tegas
besarnya pangsa pengeluaran untuk pangan pokok antara rumahtangga petani padi di
daerah agrosistem sawah irigasi dengan daerah sawah non irigasi. Secara agregat,
pangsa pengeluaran pangan pokok tertinggi terdapat di daerah sawah non irigasi di
Kabupaten Cianjur yang mencapai 38.4 persen dari total pengeluaran pangan
rumahtangga.
Dalam analisis juga terlihat bahwa pangsa pengeluaran pangan pokok di daerah
sawah irigasi non irigasi lebih rendah dibandingkan di daerah sawah irigasi, kecuali di
Kabupaten Grobogan yang termasuk daerah agroekosistem sawah irigasi dimana pangsa
pengeluaran pangan pokok rumahtangga petani padi mencapai 28.6 persen.
Urutan kedua pangsa pengeluaran pangan terbesar adalah pada pangan sumber
potein hewani maupun nabati, yang berkisar antara 7.2 – 18.4 persen. Pangsa
pengeluaran pangan hewani+nabati yang relatif rendah (<10 %) terdapat pada lokasi
dengan agroekosistem sawah non irigasi Kabupaten Blora dan agroekosistem sawah
irigasi di Indramayu. Jenis-jenis pangan kelompok pangan hewani+nabati yang
dikonsumsi rumahtangga antara lain: ikan (segar dan olahan), daging, telur, susu, tempe
dan tahu.
Hasil analisis di tingkat regional data SUSENAS di Propinsi Jawa Barat dan
Jawa Tengah kisaran pangsa pengeluaran rumahtangga pertanian di pedesaan untuk
pangan hewani saja pada tahun 2005 berkisar antara 11.4 – 19.9 persen. Menarik
diperhatikan, bahwa di beberapa lokasi pengeluaran rumahtangga untuk membeli rokok
ternyata cukup besar. Pada rumahtangga petani padi di daerah sawah irigasi di
Kabupaten Cianjur, misalnya, pangsa pengeluaran rokok mencapai 15.8 persen dari total
pengeluaran rumahtangga. Demikian pula pada rumahtangga petani padi di daerah
sawah non irigasi di Indramayu mencapai 12.3 persen.
Proporsi pengeluaran rumahtangga pertanian untuk konsumsi non pangan
bervariasi antar lokasi. Namun, secara umum pos pengeluaran non pangan yang
mendapat prioritas dan memiliki pangsa relatif besar adalah untuk konsumsi energi yang
meliputi biaya listrik, minyak tanah, dan bahan bakar minyak (BBM) serta untuk
investasi sumberdaya manusia yang mencakup pengeluaran untuk pendidikan dan biaya
kesehatan. Bila disimak menurut tipe agroekosistem terkesan bahwa di daerah-daerah
sawah irigasi dengan komoditas utama padi pangsa pengeluaran untuk investasi
sumberdaya manusia, khususnya biaya pendidikan, relatif dominan.
Untuk wilayah dengan komoditas utama padi kisaran pangsa investasi
sumberdaya manusia antara 9.4 persen hingga 13.5 persen. Situasi demikian
memberikan gambaran bahwa di kalangan petani kesadaran tentang pentingnya
pendidikan untuk masa depan anggota keluarga sudah cukup baik, sehingga mereka
tidak segan untuk berhemat pada pos pengeluaran yang lain untuk dapat membiayai
kebutuhan sekolah anak-anak yang semakin mahal. Kecenderungan perilaku seperti ini
dapat menjadi salah satu modal untuk peningkatan kinerja rumahtangga petani di masa
mendatang. Di masa mendatang diharapkan rataan tingkat pendidikan ini dapat lebih
tinggi seiring dengan kesadaran para petani untuk mengalokasikan biaya pendidikan
yang lebih besar pada struktur pengeluaran rumahtangga mereka.
9
Dominasi pengeluaran untuk energi pada struktur pengeluaran non pangan
rumahtangga terjadi di sebagian daerah agroekosistem sawah non irigasi. Besarnya
pangsa pengeluaran rumahtangga untuk energi tidak semata-mata karena faktor
preferensi terhadap sumber energi dan faktor kendala anggaran tetapi juga karena faktor
keterbatasan yang melingkupi aksesibilitas dan ketersediaan sarana/prasarana lain di
wilayah dimana mereka tinggal. Terbatasnya sarana jalan dan alat transportasi,
misalnya, menyebabkan biaya transport dan pengeluaran bensin rumahtangga
meningkat.
Tabel 5. Struktur pangsa pengeluaran rumahtangga petani padi menurut agro ekosistem,
2007(%).
1) Secara umum dapat disimpulkan bahwa persentase rumah tangga padi dalam
penguasaan lahan pada berbagai agroekosistem secara dominan (diatas 80%) berada
pada strata < 0,5 ha misalnya di kabupaten grobogan (mewakili agroekosistem
dataran tinggi) dan Blora (mewakili agroekosistem dataran rendah) Propinsi Jawa
Tengah. Hal senada juga terdapat di Kabupaten Cianjur Jawa Barat (mewakili
agroekosistem dataran tinggi). Sementara, di Kabupaten Indramayu (mewakili
agroekosistem dataran rendah), persentase RT pada daerah dataran rendah beririgasi
(lahan sawah) relatif berimbang yaitu pada strata penguasaan <0,5 ha dan 0,5-0,99
ha, yaitu sebesar 44,89 dan 47,59 persen. Sedangkan pada daerah beririgasi (lahan
non sawah) bahwa secara dominan berada pada strata penguasaan <0,5 ha yaitu
sebesar 99,70 persen. Selanjutnya pada daerah dataran rendah non irigasi
Indramayu, bahwa persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah relatif
berimbang pada strata penguasaan <0,5 ha dan 0,5-0,99 yaitu sebesar 41,89 dan
36,42 persen. Sedangkan pada lahan non sawah secara dominan berada pada strata
penguasaan <0,5 ha yaitu sebesar 81,05 persen.
10
2) Bila dipandang dari sisi pendapatan rumah tangga petani pada petani padi sawah di
dataran rendah irigasi Kabupaten Indramayu menunjukkan proporsi yang cukup
berimbang antara pendapatan dari usaha pertanian dan non pertanian (54,10% vs.
45,90%). Pada kegiatan usaha pertanian, usahatani padi sawah masih menjadi
penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (47,40%). Hal senada juga
terlihat pada petani padi sawah di dataran rendah irigasi Kabupaten Grobogan,
secara total menunjukkan proporsi yang cukup berimbang antara pendapatan dari
usaha pertanian dan non pertanian (49,91% vs. 50,09%). Pada kegiatan usaha
pertanian, usahatani padi sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap
pendapatan rumah tangga (23,87%).
3) Selanjutnya pada daerah dataran rendah non irigasi seperti di Kabupaten Indramayu
secara total menunjukkan proporsi pendapatan yang cukup dominan terdapat pada
usaha pertanian dibandingkan dengan usaha non pertanian (68,74% vs. 31,26%).
Pada kegiatan usaha pertanian, ternyata usahatani padi sawah masih menjadi
penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (40,76%). Sedikit berbeda
dengan di Blora, pada petani padi sawah di dataran rendah irigasi kabupaten ini
tampaknya secara total menunjukkan proporsi yang cukup berimbang antara
pendapatan dari usaha pertanian dan non pertanian (49,16% vs. 50,84%). Pada
kegiatan usaha pertanian, ternyata usahatani padi sawah tadah hujan masih menjadi
penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (34,61%). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pada agroekosistem dataran rendah non irigasi
di Indramayu dan Blora maka kontribusi pendapatan yang paling dominan berasal
dari kegiatan usaha pertanian terutama dari usahatani padi sawah di lahan sawah non
irigasi.
4) Di Propinsi Jawa Barat yaitu di daerah dataran tinggi irigasi Kabupaten Cianjur,
kontribusi pendapatan rumah tangga yang berasal dari usaha pertanian mencapai
45,48 persen, sedangkan dari usaha non pertanian mencapai 54,52 persen. Pada
kegiatan usaha pertanian, kontribusi pendapatan terbesar dari kegiatan usaha tani
padi sawah sebesar 31,78 persen. Masih di Kabupaten Cianjur dengan daerah
agroekosistem dataran tinggi non irigasi, kontribusi pendapatan rumah tangga dari
sector pertanian justru lebih tinggi dibanding dengan dari usaha non pertanian
(58,43 % vs 41,57 %). Pada usaha pertanian, secara signifikan tampak sekitar 54,22
persen pendapatan berasal dari kegiatan usahatani padi sawah.
5) Bila dianalisis dari sisi pengeluaran rumah tangga, bahwa pengeluaran pangan
rumahtangga didominasi pengeluaran untuk pangan pokok yang terdiri atas
kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian dan mi. Pangsa pengeluaran untuk
kelompok pangan ini bervariasi antar komoditas maupun agroekosistem. Pada
komoditas padi, tidak terlihat perbedaan pola hubungan yang tegas besarnya pangsa
pengeluaran untuk pangan pokok antara rumahtangga petani padi di daerah
agrosistem sawah irigasi dengan daerah sawah non irigasi. Secara agregat, pangsa
pengeluaran pangan pokok tertinggi terdapat di daerah sawah non irigasi di
Kabupaten Cianjur yang mencapai 38.4 persen dari total pengeluaran pangan
rumahtangga.
6) Dalam analisis juga terlihat bahwa pangsa pengeluaran pangan pokok di daerah
sawah irigasi non irigasi lebih rendah dibandingkan di daerah sawah irigasi, kecuali
di Kabupaten Grobogan yang termasuk daerah agroekosistem sawah irigasi dimana
pangsa pengeluaran pangan pokok rumahtangga petani padi mencapai 28.6 persen.
11
7) Proporsi pengeluaran rumahtangga pertanian untuk konsumsi non pangan bervariasi
antar lokasi. Namun, secara umum pos pengeluaran non pangan yang mendapat
prioritas dan memiliki pangsa relatif besar adalah untuk konsumsi energi yang
meliputi biaya listrik, minyak tanah, dan bahan bakar minyak (BBM) serta untuk
investasi sumberdaya manusia yang mencakup pengeluaran untuk pendidikan dan
biaya kesehatan. Bila disimak menurut tipe agroekosistem terkesan bahwa di
daerah-daerah sawah irigasi dengan komoditas utama padi pangsa pengeluaran
untuk investasi sumberdaya manusia, khususnya biaya pendidikan, relatif dominan.
8) Situasi demikian memberikan gambaran bahwa di kalangan petani kesadaran
tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anggota keluarga sudah cukup
baik, sehingga mereka tidak segan untuk berhemat pada pos pengeluaran yang lain
untuk dapat membiayai kebutuhan sekolah anak-anak yang semakin mahal.
Kecenderungan perilaku seperti ini dapat menjadi salah satu modal untuk
peningkatan kinerja rumahtangga petani di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
12