JUDUL ESAI
Diusulkan Oleh :
1
Integrated Farming System (IFS) Solusi Utama Untuk
Membangun Kemandirian Petani yang Berkelanjutan Guna
Mengantisipasi Maraknya Alih Fungsi Lahan di Kabupaten
Blitar
Oleh : 1)Eko Siswanto, 2)Wira Santosa
Mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar
2
permukiman atau kawasan industri (Pontoh dan Sudrajat, 2005; Kumar, 2009;
Johnson and Zuleta, 2013; Fahimuddin et al., 2016).
Alih fungsi lahan dalam bentuk konversi lahan pertanian menjadi lahan
terbangun terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dalam hal ini perlu
diimbangi dengan pembukaan lahan pertanian baru agar dapat memenuhi
kebutuhan primer. Pembukaan lahan pertanian baru pada umumnya akan
mengkonversi lahan pertanian suboptimal yang memiliki daya dukung rendah dan
berisiko mengalami kerusakan (BPS Kabupaten Blitar, 2016). Jumlah luasan lahan
pertanian tersebut jika dikomparasikan dengan luasan lahan pada sebelumnya,
maka dapat dikatakan terdapat penyusutan akibat alih fungsi lahan yang sangat
signifikan. Penyusutan lahan akibat alih fungsi lahan di kabupaten Blitar
dikarenakan semakin maraknya sektor property hingga megaproyek infrastuktur.
Alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian tentu menyebabkan berbagai
permasalahan yang perlu diselesaikan dengan baik. Semakin berkurangnya lahan
sektor pertanian berpotensi dapat menurunkan produktivitas produksi komoditas
pangan, dan dikawatirkan akan berdampak pada keberlangsungan generasi petani
dimasa mendatang. Sehingga perlu adanya pengendalian terhadap alih fungsi
lahan, sehingga dapat mencegah terjadinya krisis pangan, ekonomi dan sosial yang
akan menimbulkan instabilitas politik dan keamanan regional maupun nasional di
masa mendatang.
Berdasarkan berbagai pertimbangan terkait semakin maraknya alih fungsi
lahan ,maka dibentuklah peraturan perundang-undangan nomor 41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) guna untuk
menekan alih fungsi lahan di Indonesia kedepan. Dalam implementasinya
pemerintah harus mampu menyusun strategi, sehingga akan muncul kesadaran dari
masyarakat sendiri terutama petani sebagai pelaku utama dalam penyedia pangan.
Strategi yang dimaksud pemerintah harus mampu meminimalisasi ketergantungan
petani, memberikan jaminan pendapatan yang memadai atau layak, jaminan usaha
tani yang berkelanjutan, kesejahteraan yang baik dan cenderung mandiri. Oleh
karena itu, hal-hal itu harus dipenuhi agar petani pemilik lahan tidak mudah
melepaskan atau menjual tanahnya kepada investor.
3
Dengan adanya strategi yang tepat maka fungsi lahan tetap lestari dan alih
fungsi lahan dapat terkendalikan. Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan
yaitu dengan menciptakan Pengembangan Integrated Farming System (IFS) atau
Sistem Pertanian Terpadu (SPT). Pengembangan sistem pertanian terpadu lebih
diarahkan pada wilayah pedesaan atau kalau memungkinkan dengan modifikasi
tertentu dapat dikembangkan di wilayah peri-urban.
Sistem pertanian terpadu adalah sistem pengelolaan (modifikasi) yang
memadukan komponen pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan kedalam
suatu kesatuan yang utuh. Definisi lain menyatakan, SPT adalah suatu sistem
pengelolaan tanaman, hewan ternak dan ikan dengan lingkungannya untuk
menghasilkan suatu produk yang optimal dan sifatnya cenderung tertutup terhadap
masukan luar (Preston, 2000).
Sistem pertanian tepadu akan berdampak signifikan untuk memenuhi kriteria
pembangunan pertanian berkelanjutan karena berbasis organik dan dikembangkan
dengan berbasis sumber daya lokal. Tujuan dari diterapkannya sistem pertanian
terpadu adalah untuk menekan seminimal mungkin input dari luar (input/masukan
rendah) dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dalam rangka menjaga
kedaulatan pangan (Supangkat, 2009). Terdapat beberapa prinsip keterpaduan
dalam sistem pertanian terpadu (SPT) yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai
berikut :
1. Agroekosistem yang berkeanekaragaman tinggi yang memberi jaminan yang
lebih tinggi bagi petani secara berkelanjutan
2. Diperlukan keanekaragaman fungsional yang dapat dicapai dengan
mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling
melengkapi dan berhubungan dalam interaksi sinergetik dan positif.
3. Diperlukan adanya dukungan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan
teknologi, permodalan, hubungan produk dan konsumen, serta masalah
keseimbangan misi pertanian dalam pembangunan guna menerapkan sistem
pertanian yang berkelanjutan.
4. Memanfaatkan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang
maksimal yang menghasilkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu
yang menggunakan sumberdaya dan input yang ada secara optimal
4
5. Menentukan kombinasi pertanian,peternakan, perikanan dan input yang
mengarah pada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta
konservasi sumberdaya yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga
kerja dan modal.
5
Sistem pertanian terpadu memiliki keuntungan baik aspek ekonomi maupun
ekologi. Keuntungan yang dimaksud, yaitu lebih adaptif terhadap perubahan, ramah
lingkungan, hemat energi, keanekaragaman hayati tinggi, lebih resisten, usaha lebih
diversifikatif, diversifikasi produk lebih tinggi, produk lebih sehat dengan
minimalisir residu senyawa berbahaya, keberlanjutan usaha tani lebih baik, serapan
tenaga kerja lebih baik dan sinambung (Sutanto, 2002; Supangkat, 2009). Sistem
seperti ini ternyata juga mampu memperbaiki produktivitas padi di lahan petani.
Kalau biasanya hanya 5-6 ton/hektar dapat meningkat menjadi 7,6-8 ton/hektar
(Agus, 2006). Produktivitas cabai besar dapat ditingkatkan dari 0,5 kg/tanaman
menjadi 0,7 kg/tanaman (Nurcholis dkk., 2010).
Sistem pertanian terpadu menjadi efektif jika komponen penyusunnya
berdasar pada sumberdaya lokal sehingga keberlanjutannya lebih terjamin. Sistem
pertanian terpadu lebih familiar dengan kultur lokal mengingat sistem ini telah
dikembangkan secara konvensional oleh petani Indonesia pada umumnya. Oleh
karena itu, penerapan sistem ini secara kultural tidak mengalami hambatan. Secara
umum, penerapan sistem pertanian terpadu berbasis potensi lokal mampu
menopang keberlanjutan pembangunan pertanian yang berkelanjutan baik di
tingkat mikro, meso, mapun makro. Dampak positif penerapan sistem ini lebih
dominan dibandingkan dampak negatifnya, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan karena sistem ini sejalan dengan konsep conserving while using
(Suprodjo, 2009).
Pengembangan model sistem pertanian terpadu berbasis pada kondisi lokal
dengan memanfaatkan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang
maksimal, sehingga mampu membentuk sistem pertanian yang lebih kompleks dan
terpadu dengan memanfaatkan input dan sumber daya secara optimal. Tantangan
yang ditemui dalam penerapan sistem pertanian terpadu dengan mengkombinasikan
bidang pertanian, perikanan ,peternakan dan input lebih mengarah pada
produktivitas tinggi, serta menjaga keamanan produksi dan konservasi sumberdaya
yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal. Sehingga
upaya menemukan perpaduan sumberdaya lahan yang sesuai maka secara alamiah
dapat memperbaiki sifat marjinal dari lahan dan dapat meningkatkan produktivitas
lahan, serta pada akhirnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat.
6
Pengembangan sistem pertanian terpadu pada lahan sawah dengan
mengkombinasikan pertanian, peternakan dan perikanan. Sistem pertanian terpadu
mampu meningkatkan kemampuan petani dalam memproduksi pupuk organik dan
kemudian dapat membudayakan pertanian organik. Pertanian organik akan dapat
menghasilkan produk pertanian dengan kualitas tinggi dan higienis yang tidak
terkontaminasi dengan bahan kimia yang kurang baik bagi kesehatan. Kegiatan
budidaya pertanian dapat memadukan berbagai komponen, seperti tanaman buah
rumput (cover crop) dan ternak. Untuk mengatasi kendala di lahan miring dapat
dilakukan langkah-langkah, sebagai berikut:
1. Penghijauan lahan miring yang mempunyai tutupan lahan rendah dianjurkan
untuk menanam tanaman berupa tanaman buah atau tanaman industri yang
tidak berukuran besar dengan kombinasi rumput sebagai penutup lahan.
2. Pengembangan peternakan sapi, dengan sumber pakan berasal dari rumput
yang di tanam
3. Pengembangan instalasi biogas yang berfungsi mengolah limbah berupa
kotoran ternak menjadi biogas.
4. Pengembangan pupuk organikyang berbahan baku dari hasil outlet biogas.
7
Gambar 3. Model SPT lahan miring
8
Pada konsep pengembangan lahan marjinal dapat memadukan konsep sistem
pertanian terpadu dengan memanfaatkan tanaman untuk pakan ternak, pemanfaatan
kotoran ternak untuk pupuk maupun biogas, dan pemanfaatan tanaman tahunan
sebagai konservasi tanah dan air. Pada lahan miring atau lahan terkendala erosi
perlu dihindari budidaya tanaman umbi-umbian. Ketela pohon yang dibudidayakan
pada lahan yang memiliki potensi erosi dapat meningkatkan laju erosi karena
mengusik tanah sampai kedalaman lebih dari 30 cm pada saat pemanenan, sehingga
dapat merusak struktur yang sudah mantap. Disisi lain, tanaman ketela mampu
berproduksi di tanah yang miskin akan unsur hara dan dapat menguras unsur hara
tanah sehingga dapat mempercepat pemiskinan tanah jika tidak disertai dengan
pemberian pupuk organik.
9
hujan sehingga tidak cepat turun ke lahan bawahan sebagai runoff. Usaha
konservasi tanah dan air di kawasan atasan merupakan solusi utama dalam
mengatasi permasalahan kekeringan maupun banjir. Disisi lain perlu adanya
pembuatan bangunan atau embung sehingga mampu membantu proses peresapan
air di lahan atasan (upland) dengan baik.
Beberapa konsep tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
resapan air di kawasan tangkapan air, sehingga air hujan tidak langsung turun ke
lahan bawahan. Sedangkan pada lahan marjinal dapat dilakukan dengan sistem
Surjan artinya tanaman yang dusahakan dalam satu petak ada beberapa atau lebih
dari dua macam. Untuk daerah atasan yang lahannya cenderung kering dan kurang
air salah satunya dengan menanam tanaman palawija dan tanaman hortikultura
yang dikombinasikan dengan padi, sedangkan untuk irigasi pengairannya
mengandalkan dari sumur kapiler. Daerah bawah yang mengalami kekeringan
masih mendapatkan air irigasi secara bergiliran meskipun distribusinya tidak bisa
selalu merata. Untuk penanganan lahan banjir dapat dilakukan dengan cara
perbaikan sistem drainase dan tutupan lahan sehingga dapat mengonservasi air.
Pengembangan sistem pertanian terpadu saat ini masih lamban dan belum
memenuhi kaidah keterpaduan sistemnya. Masih banyaknya petani yang masih
menerapkan sistem pertanian terpadu ini hanya bersifat parsial atau linear, artinya
pengelolaan hanya terfokus ke salah satu komponen saja, misal ternak saja atau
tanaman saja atau ikan saja. Padahal dalam pengelolaan sistem pertanian terpadu
terdiri atas beberapa subsistem pengelolaan, yaitu pengelolaan tanaman terpadu
(Integrated Crop Management/ICM), pengelolaan ternak terpadu (Integrated
Livestock Management/ILM), pengelolaan nutrien terpadu (Integrated Nutrient
Management/INM), pengelolaan organisme pengganggu tanaman terpadu
(Integated Pest Management/IPM), dan pengelolaan air terpadu (Integrated
Moisture Management/IMM), (Agus, 2006 dalam Kedaulatan Rakyat, 2006).
Sebagai salah satu ilustrasi, terdapat beberapa alasan kenapa petani di
kabupaten Blitar enggan menggunakan limbah ternak sebagai bahan pupuk, antara
lain minimnya tenaga kerja untuk pengangkutan, seringkali tumbuh gulma, terasa
gatal di kaki setelah aplikasi, dan bau (Musyofi, 2007). Hasil penelitian Zaini et al.
(2002) dalam Bamualim dan Bess (2009) menyatakan bahwa integrasi tanaman
10
padi dan ternak dapat meningkatkan produksi padi 0,55 ton/ha pada musim tanam
I (MT-I) dan 0,3 ton/ha pada MT-II.
Gambar 6. Konsep Pengembangan SPT pada lahan marjinal kekeringan dan atau
banjir
11
Ayam yang sudah
petelur berjalan
Ayam
pedaging
Itik
Entok
Sumber: Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Blitar (Disnak.jatimprov.go.id ).
12
permasalahan dalam pengembangan SPT sehingga belum dapat berkembang secara
optimal. Beberapa hal yang dapat menghambat sistem pertanian terpadu antara lain:
1. Kurangnya pemahaman terkait konsep sistem pertanian terpadu oleh
berbagai pihak, baik petani maupun fasilitator.
2. Tingkat hasil dan produktivitas dari penerapan sistem pertanian terpadu
belum meyakinkan petani pada umumnya
3. Model sistem pertanian terpadu yang dikembangkan kurang sesuai dengan
kondisi ekosistem disekitar
4. Integrasi vertikal dan horisontal belum didasarkan pada potensi lokal serta
keberadaan Integrator kurang begitu diperhatikan
5. Minimnya kajian secara komprehensif dan integralistik berkaitan dengan
sistem pertanian terpadu yang berkelanjutan.
6. Kebijakan pembangunan sektor pertanian saat ini belum mampu mendukung
secara jelas pengembangan sistem pertanian terpadu.
13
REFERENSI
Badan Pusat Statistik.2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 : Badan Pusat Statistik
Kabupaten Blitar
Dahlan Fagi, A.M., Subandriyo dan I.W. Rusastra. Sistem Integrasi Ternak
Tanaman: Padi-Sawit-Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Dinas Peternakan. 2013. Data Statistik Populasi Ternak Kab/Kota di Jawa Timur.
At http://www.disnak.jatimprov.go.id. Diakses pada 18 September 2019
Fagi, A.M. dan Irsal Las. 2007. Membekali Petani dengan Teknologi Maju Berbasis
Kearifan Lokal pada Era Revolusi Hijau Lestari. Dalam Kasryno, F., E.
Pasandaran dan A.M. Fagi. Membalik Arus: Menuai Kemadirian Petani.
Yayasan Padi Indonesia, Bogor.
14
Pontoh, N.K. dan Sudrajat, D.J. (2005). Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan
Dengan Limpasan Air Permukaan: Studi Kasus Kota Bogor. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. 16(3): 44-56.
15
Lampira 1. Lembar Pernyataan Orisinalitas Karya
16
Lampira 2. Formulir Pendaftaran
FORMULIR PENDAFTARAN
DEBAT ILMIAH NASIONAL
TAJAK BANUA 2019
17