Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SISTEM PRODUKSI TERNAK BERELANJUTAN

“INTEGRATED FARMINF SYSTEM”

Disusun oleh:

Kelompok 3

Raden Ayu Puspita Sari Putri 200110180118

Rizky Maulia 200110180121

Fitri Nuraeni 200110180172

M. Yusuf Bahtiar 200110180180

Sultan Basiri 200110180206

M. Firdaus Susanto 200110180248

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah
Pengendalian Mutu Hasil Ternak yang berjudul ““Integrated Farming System”.
Dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
penyusun mengucapkan terimakasih kepada kepada Ibu Indrawati Yudha Asmara, S.Pt., M.Si dan
Pak Dr. Ir. Iwan Setiawan, DEA. selaku dosen mata kuliah Sistem Produksi Ternak Berkelanjutan
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Penyusunan makalah ini tentu tidak terlepas dari kesalahan, maka dari itu penyusun
menerima kritikan dan saran yang membangun demi menyempurnakan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan meningkatkan pengetahuan bagi yang membacanya.

Sumedang, November 2021

Penyusun
I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dengan bentangan alam yang sangat luas yang kaya
dengan beranekaragam flora dan faunanya. Kekayaan dari bentangan alam yang luas tersebut
menjadikan sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja dalam sector pertanian. Namun
mengingat sempitnya lahan yang dimiliki petani, perlunya dilakukan peningkatan produksi
ternak yang dititikberatkan pada usaha tani intensifikasi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertanian di Indonesia maupun
di dunia dengan menerapkan sistem pertanian terpadu (Bio Cycle Farming). Sistem pertanian
terpadu adalah sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan,
kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan
dapat menjadi salah satu solusi alternatif bagi peningkatan produktivitas lahan, program
pembangunan dan konservasi lingkungan serta pengembangan desa secara terpadu (PIAT
UGM, 2010).
Dengan penerapan sistem pertanian terpadu ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
jangka pendek, menengah, dan panjang petani berupa sandang, pangan dan papan. Sistem
pertanian terpadu ini memiliki berbagai metode, seperti usaha tani campuran (Mixed Farming
System), Sistem produksi tanaman ternak (Crops-Livestock Production System). Model
pertanian Tekno-ekologis di ekosistem lahan sawah dan model pertanian tekno-ekologis di
lahan perkebunan-ternak.
Dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai sistem pertanian terpadu yang
menggunakan metode usaha tani campuran (Mixed Farming System). Dimana Mixed Farming
System ini merupakan sistem pertanian yang mengintegrasikan beberapa sector (pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) yang dikelola secara terpadu dan
berorientasi ekologis, sehingga dapat diperoleh peningkatan nilai ekonomi, tingkat efisiensi
dan produktivitas yang tinggi (HMRH ITB, 2012).
Pada makalah ini akan menjelaskan mengenai prinsip, design model, konsep dan kelebihan
dan kekurangan dari penerapan sistem pertanian terpadu berupa mixed farming system di
Indonesia.
1.2.Rumusan Masalah
1) Bagaimana prinsip dari Integrated Farming/Mix Farming System.
2) Bagaimana design model dari Integrated Farming/Mix Farming System.
3) Bagaimana konsep dari Integrated Farming/Mix Farming System.
4) Apa saja kelebihan dan kekurangan dari Integrated Farming/Mix Farming System.

1.3.Tujuan
1) Mengetahui prinsip dari Integrated Farming/Mix Farming System.
2) Mengetahui dan memahami design model Integrated Farming/Mix Farming System.
3) Mengetahui dan memahami konsep dari penerapan Integrated Farming/Mix Farming
System.
4) Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari penerapan Integrated Farming/Mix Farming
System.
II
PEMBAHASAN

2.1 Integrated Farming System/Sistem Pertanian Terpadu


Sistem pertanian terpadu adalah sistem pengelolaan (usaha) yang memadukan
komponen pertanian, seperti tanaman, hewan dan ikan dalam suatu kesatuan yang utuh.
Definisi lain menyatakan, SPT adalah suatu sistem pengelolaan tanaman, hewan ternak dan
ikan dengan lingkungannya untuk menghasilkan suatu produk yang optimal dan sifatnya
cenderung tertutup terhadap masukan luar (Preston, 2000). Sistem ini akan signifikan
dampak positifnya dan memenuhi kriteria pembangunan pertanian berkelanjutan karena
berbasis organik dan dikembangkan/diarahkan berbasispotensi lokal (sumberdaya lokal).
Tujuan penerapan sistem tersebut yaitu untuk menekan seminimal mungkin input dari luar
(input/masukan rendah) sehingga dampak negatif sebagaimana disebutkan di atas,
semaksimal mungkin dapat dihindaridan berkelanjutan (Supangkat, 2009). Prinsip
keterpaduan dalam SPT yang harus diperhatikan, yaitu:
1) Agroekosistem yang berkeanekaragaman tinggi yang memberi jaminan yang lebih
tinggi bagi petani secara berkelanjutan;
2) Diperlukan keanekaragaman fungsional yang dapat dicapai dengan mengkombinasikan
spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling melengkapi dan berhubungan dalam
interaksi sinergetik dan positif, dan bukan hanya kestabilan yang dapat diperbaiki, namun
juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang lebih rendah;
3) Dalam menerapkan pertanian berkelanjutan diperlukan dukungan sumberdaya
manusia, pengetahuan dan teknologi, permodalan, hubungan produk dan konsumen,
serta masalah keseimbangan misi pertanian dalam pembangunan;
4) Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang maksimal dalam
menghasilkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu yang menggunakan
sumberdaya dan input yang ada secara optimal;
5) Menentukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas
yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumberdaya yang relatif sesuai
dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal.
2.1.1 Desain Model Integrated Farming

Sistem ini membentuk suatu agroekositem yang masif. Agroekosistem dengan


keanekaragamnnya tinggi seperti ini akan memberi jaminan keberhasilan usaha tani yang lebih tinggi.
Keanekaragaman fungsional bisa dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang
memiliki sifat saling melengkapi dan berhubungan dalam interaksi sinergetik dan positif, sehingga
bukan hanya kestabilan yang dapat diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input
yang lebih rendah. Kelebihan sistem ini, antara lain input dari luar minimal atau bahkan tidak
diperlukan karena adanya daur limbah di antara organisme penyusunnya, biodiversitas meningkat
apalagi dengan penggunaan sumberdaya lokal, peningkatan fiksasi nitrogen, resistensi tanaman
terhadap jasad pengganggu lebih tinggi dan hasil samping bahan bakar biogas untuk rumah tangga
(Rodriguez and Preston 1997 cit. Preston, 2000).

SPT akan lebih handal apabila komponen penyusunnya merupakan sumberdaya lokal sehingga
keberlanjutannya lebih terjamin. Misal, komponen tanaman bersumber dari varietas lokal karena
varietas ini lebih responsif terhadap lingkungan tumbuhnya sehingga tidak memerlukan masukan
energi tinggi dari luar dan lebih tahan atau lebih mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi (fisik, kimia, hayati maupun ekonomi).Sedangkan, benih/bibit hibrida memiliki
kelemahan, antara lain tidak mampu beradaptasi secara optimal dengan agroklimat lokal, menurunkan
vigor dalam persilangan murni, seringkali benih hasil rekayasa tidak
terbebas dari bibit hama dan penyakit dan menciptakan ketergantungan petani terhadap benih
buatan pabrik setiap musim tanam (Goering, 1993 dalam Salikin, 2003). SPT lebih familiar dengan
kultur lokal mengingat sistem ini sebenarnya telah dikembangkan secara konvensional oleh petani
Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, penerapan sistem ini secara kultural tidak mengalami
hambatan. Secara umum, penerapan SPT berbasis potensi lokal akan mampu menopang
keberlanjutan pembangunan pertanian berkelanjutan baik pada tingkat mikro, meso
(kabupaten/provinsi) mapun makro (nasional). Dampak positif penerapan sistem ini lebih dominan
dibandingkan dampak negatifnya, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan karena
sistem ini sejalan dengan konsep conserving while using (Suprodjo, 2009).
Pengembangan Desain Model dari Integrated Farming Berbasis Lokal

Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang maksimal


mengakibatkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu yang menggunakan sumberdaya dan
input yang ada secara optimal. Tantangannya adalah menemukan kombinasi tanaman, hewan dan
input yang mengarah pada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi
sumberdaya yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal. Upaya
menemukan perpaduan sumberdaya lahan yang sesuai maka secara alamiah dapat memperbaiki
sifat marjinal dari lahan dan dapat meningkatkan produktivitas lahan, serta pada akhirnya dapat
meningkatkan ekonomi masyarakat. Gambar 2 memberikan contoh pengembangan pertanian
terpadu untuk lahan sawah dengan kombinasi tanaman, ternak dan ikan.
Pengembangan lahan, terutama lahan marjinal dengan faktor kendala lahan miring
disesuaikan dengan kegiatan pertanian yang ada di daerah tersebut. Kegiatan budidaya pertanian
dapat memadukan berbagai komponen, seperti tanaman buah rumput (cover crop) dan ternak.
Untuk mengatasi kendala di lahan miring dapat dipilih langkah-langkah, sebagai berikut:
1) Penghijauan lahan miring yang mempunyai tutupan lahan rendah dianjurkan untuk menanam
tanaman berupa tanaman buah atau tanaman industri yang tidak berukuran besar dengan
kombinasi rumput sebagai penutup lahan. Tanaman buah berupa pisang, jambu, dll. Untuk
tanaman industri dapat berupa kopi, cengkeh, vanili dengan kombinasi lamtoro;
2) Pengembangan peternakan sapi, dengan sumber pakan berasal dari rumput yang di tanam;
3) Pengembangan instalasi biogas yang berfungsi mengolah limbah berupa kotoran ternak
menjadi biogas sehingga bisa menjadi kawasan mandiri energi; dan (4) Pengembangan
pupuk organikyang berbahan baku dari hasil outlet biogas.
Gambar. 4 Konsep pengembangan lahan marjinal pada lahan dengan tutupan yang rendah
yaitu dengan menggunakan tanaman yang berfungsi sebagai tutupan lahan dan dapat bernilai
ekonomi tanpa menebang pohon, atau tanaman hutan dengan hasil bukan kayu. Pada konsep ini
dapat dipadukan untuk pengembangan pertanian lainnya secara terpadu yaitu dengan
memanfaatkan tanaman untuk makanan ternak, pengolahan biogas dari kotoran ternak,
pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk tanaman, dan pemanfaatan tanaman tinggi untuk
konservasi air (missal Enau).
Selanjutnya, konsep pengembangan lahandengan spesifikasirawan erosi dilakukan dengan
menggunakan tutupan lahan yang ditanami beberapa tanaman. Pada konsep ini dapat dipadukan
untuk pengembangan pertanian lainnya secara terpadu yaitu dengan memanfaatkan tanaman untuk
makanan ternak, pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk organik, dan pemanfaatan tanaman
tahunan untuk konservasi tanah air. Bagan konsep pengembangan Pertanian di lahan marjinal
dengan kendala erosi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Menunjukkan bahwa pada pengembangan kawasan hutan yang mempunyai
potensi erosi dapat dilakukan dengan pengembangan wanatani. Dalam sistem wanatani ini dapat
dilakukan pemanfaatan lahan hutan untuk lumbung pangan berupa tanaman umbi-umbian. Petani
dapat mengambil rumput atau hijauan dari tumbuhan lain untuk pakan ternak. Adapun untuk
menghadapi musim kemarau dapat melakukan pemprosesan rumput dengan fermentasi, sehingga
pakan dapat tersedia sepanjang waktu. Adapun kotoran ternak dapat diproses menjadi biogas dan
pupuk organik.

2.2 KONSEP INTEGRATED FARMING


Integrated farming merupakan salah satu konsep pelaksanaan pertanian. Integrated farming
memungkinkan petani mendapatkan berbagai keuntungan dari alam dan ekologi dan bertentangan
dengan pemakaian bahan kimia (Bradley, 2009). Sustainable integrated farming sistem terdiri dari
banyak aspek seperti produksi organik, bisnis yang terintegrasi vertikal, manajemen rantai
penawaran, dan menciptakan citra produk untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan
(Bradley, 2009). Integrated farming merupakan gabungan dan perluasan dari intensifikasi dan
diversifikasi pertanian dimana integrated farming menerapkan prinsip penggunaan lahan
seoptimal mungkin dengan menganekaragamkan produk pertanian. Produk pertanian yang
dimaksud disini bukan hanya dari pertanian nabati tapi juga hewani (ternak).
Konsep terapan sistem pertanian terpadu akan menghasilkan F4, yang terdiri dari Food, Feed,
Fuel dan Fertilizer.
a. F1 (Food) : Sumber pangan bagi manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan, jamur,
sayuran, dll), produk peternakan (daging, susu, telur, dll), produk budidaya ikan air tawar
(lele, mujair, nila, gurami, dll.) dan hasil perkebunan (salak, pisang, kayu manis, sirsak,
dll.).
b. F2 (Feed) : Pakan ternak termasuk di dalamnya ruminasia (sapai, kambing, kerbau,
kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dll), pakan ikan budidaya
air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi).
c. F3 (Fuel): Akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi panas
(bio gas) untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas untuk industri
makanan di kawasan pedesaan juga untuk industry kecil . Hasil akhir dari bio gas adalah
bio fertilizer berupa pupuk organik cair dan kompos.
d. F4 (Fertilizer) : Sisa produk pertanian melalui proses dekomposer maupun pirolisis
akan menghasikan pupuk kompos (organik fertilizer) dengan berbagai kandungan unsur
hara dan C-Organik yang relatif tinggi.
Pada integrated farming diusahakan semua sumber daya yang ada dapat terpakai semua dan
tidak ada yang menjadi limbah tidak berguna. Pertanian yang dilakukan menggunakan sistem organik
dimana pertanian tidak menggunakan obat kimia sama sekali. Komposter yang ada merupakan
komposter yang mengolah kotoran ternak, bukan limbah rumah tangga. Kotoran ternak di olah menjadi
pupuk dan biogas. Pupuk digunakan untuk menyuburkan minapadi, lahan sayuran, lahan pakan dan
dapat pula dijual jika jumlahnya surplus. Biogas digunakan untuk menghidupkan aliran listrik di
seluruh kawasan pertanian terpadu. Keberadaan ladang pakan untuk mencukupi pakan sapi perah. Dari
program integrated farming, tidak semua hasilnya langsung dapat dinikmati. Beberapa subkegiatan
pertanian menghasilkan beberapa output yang kemudian akan digunakan sebagai input subkegiatan
yang lain. Selain manfaat langsung tersebut, progam integrated farming juga memiliki dampak sosial
yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduk.
2.2.1 Keuntungan dan Kekurangan Integrated Farming
Sistem Pertanian Terpadu (SPT) atau Integrated Farming System (IFS) membentuk suatu
agroekositem yang masif. Agroekosistem dengan keanekaragamnnya tinggi seperti ini akan
memberi jaminan keberhasilan usaha tani yang lebih tinggi. Keanekaragaman fungsional bisa
dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling
melengkapi dan berhubungan dalam interaksi sinergetik dan positif, sehingga bukan hanya
kestabilan yang dapat diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang
lebih rendah. Kelebihan sistem ini, antara lain input dari luar minimal atau bahkan tidak diperlukan
karena adanya daur limbah di antara organisme penyusunnya, biodiversitas meningkat apalagi
dengan penggunaan sumberdaya lokal, peningkatan fiksasi nitrogen, resistensi tanaman terhadap
jasad pengganggu lebih tinggi dan hasil samping bahan bakar biogas untuk rumah tangga
(Rodriguez and Preston 1997 cit. Preston, 2000).
Dikatakan pula bahwa SPT memiliki keuntungan baik aspek ekologi maupun ekonomi.
Keuntungan yang dimaksud, yaitu lebih adaptif terhadap perubahan (habitat lebih stabil), ramah
lingkungan (UTARA/usaha tani ramah lingkungan), hemat energi (tidak ada energi yang
terbuang), keanekaragaman hayati tinggi, lebih resisten, usaha lebih diversifikatif (risiko
kegagalan relatif rendah), diversifikasi produk lebih tinggi, produk lebih sehat (minimalisasi
Prosiding Seminar Nasional | M. Nurcholis dan G. Supangkat 75 residu senyawa berbahaya),
keberlanjutan usaha tani lebih baik, serapan tenaga kerja lebih baik dan sinambung (Sutanto, 2002;
Supangkat, 2009). Sistem seperti ini ternyata juga mampu memperbaiki produktivitas padi di lahan
petani. Kalau biasanya hanya 5-6 ton/hektar dapat meningkat menjadi 7,6-8 ton/hektar (Agus,
2006). Produktivitas cabai besar dapat ditingkatkan dari 0,5 kg/tanaman menjadi 0,7 kg/tanaman
(Nurcholis dkk., 2010).
SPT akan lebih handal apabila komponen penyusunnya merupakan sumberdaya lokal sehingga
keberlanjutannya lebih terjamin. Misal, komponen tanaman bersumber dari varietas lokal karena
varietas ini lebih responsif terhadap lingkungan tumbuhnya sehingga tidak memerlukan masukan
energi tinggi dari luar dan lebih tahan atau lebih mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi (fisik, kimia, hayati maupun ekonomi).Sedangkan, benih/bibit hibrida memiliki
kelemahan, antara lain tidak mampu beradaptasi secara optimal dengan agroklimat lokal, menurunkan
vigor dalam persilangan murni, seringkali benih hasil rekayasa tidak terbebas dari bibit hama dan
penyakit dan menciptakan ketergantungan petani terhadap benih buatan pabrik setiap musim tanam
(Goering, 1993 dalam Salikin, 2003). SPT lebih familiar dengan kultur lokal mengingat sistem ini
sebenarnya telah dikembangkan secara konvensional oleh petani Indonesia pada umumnya. Oleh
karena itu, penerapan sistem ini secara kultural tidak mengalami hambatan. Secara umum, penerapan
SPT berbasis potensi lokal akan mampu menopang
keberlanjutan pembangunan pertanian berkelanjutan baik pada tingkat mikro, meso
(kabupaten/provinsi) mapun makro (nasional). Dampak positif penerapan sistem ini lebih dominan
dibandingkan dampak negatifnya, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan karena
sistem ini sejalan dengan konsep conserving while using (Suprodjo, 2009).
KESIMPULAN

1. Menurut supangat (2009), prinsip keterpaduan dalam SPT (Integrated Farming System)
keterpaduan dalam SPT yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Agroekosistem yang
berkeanekaragaman tinggi ; (2) Diperlukan keanekaragaman fungsional yang dapat
dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan; (3) Dalam menerapkan
pertanian berkelanjutan diperlukan dukungan sumberdaya manusia, pengetahuan dan
teknologi, permodalan, hubungan produk dan konsumen, serta masalah keseimbangan
misi pertanian dalam pembangunan; (4) Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai
pada tingkat yang maksimal dalam menghasilkan sistem pertanian yang kompleks dan
terpadu yang menggunakan sumberdaya dan input yang ada secara optimal; (5)
Menentukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas
yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumberdaya yang relatif sesuai dengan
keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal.
2. Desain model dari integrated farming salah satunya ialah, dengan model yang
berkonsepkan pengembangan lahan marjinal pada lahan dengan tutupan yang rendah yaitu
dengan menggunakan tanaman yang berfungsi sebagai tutupan lahan dan dapat bernilai
ekonomi tanpa menebang pohon, atau tanaman hutan dengan hasil bukan kayu. Pada
konsep ini dapat dipadukan untuk pengembangan pertanian lainnya secara terpadu yaitu
dengan memanfaatkan tanaman untuk makanan ternak, pengolahan biogas dari kotoran
ternak, pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk tanaman, dan pemanfaatan tanaman tinggi
untuk konservasi air (missal Enau)
3. Konsep terapan sistem pertanian terpadu (Integrated Farming System) akan menghasilkan F4,
yang terdiri dari (1) Food, Sumber pangan bagi manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-
kaangan, jamur, sayuran, dll), produk peternakan (daging, susu, telur, dll), produk
budidaya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurami,dll.) dan hasil perkebunan (salak, pisang,
kayu manis, sirsak, dll.). (2) Feed, Pakan ternak termasuk di dalamnya ruminasia (sapai,
kambing, kerbau, kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dll), pakan
ikan budidaya air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi). (3). Fuel, Akan dihasilkan energi
dalam berbagai bentuk mulai energi panas (bio gas) untuk kebutuhan
domestik/masak memasak, energi panas untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga
untuk industry kecil . Hasil akhir dari bio gas adalah bio fertilizer berupa pupuk pupuk
organik cair dan kompos.dan; (4). Fertilizer, Sisa produk pertanian melalui proses
dekomposer maupun pirolisis akan menghasikan pupuk kompos (organik fertilizer) dengan
berbagai kandungan unsur hara dan C-Organik yang relatif tinggi.
4. Keuntungan dan kekurangan dari integrated farming ialah SPT memiliki keuntungan baik
aspek ekologi maupun ekonomi. Keuntungan yang dimaksud, yaitu lebih adaptif terhadap
perubahan (habitat lebih stabil), ramah lingkungan (UTARA/usaha tani ramah lingkungan),
hemat energi (tidak ada energi yang terbuang), keanekaragaman hayati tinggi, lebih resisten,
usaha lebih diversifikatif (risiko kegagalan relatif rendah), diversifikasi produk lebih tinggi,
produk lebih sehat, sedangkan kekurangannya antara lain tidak mampu beradaptasi secara
optimal dengan agroklimat lokal, menurunkan vigor dalam persilangan murni, seringkali benih
hasil rekayasa tidak terbebas dari bibit hama dan penyakit dan menciptakan ketergantungan
petani terhadap benih buatan pabrik setiap musim tanam
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pertanian Provinsi DIY. 2010. Master Plan Integrated Farming Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.Dinas Pertanian Provinsi DIY, Yogyakarta.
HMRH ITB. 2012. Smart-Integrated Farming System, Sistem Pembangunan Pertanian
Menuju Indonesia Negeri Mandiri Pangan. Di akses dari
https://hmrh.sith.itb.ac.id/smart-integrated-farming-system-sistem-pembangunan-
pertanian-menuju-indonesia-negeri-mandiri-pangan/. Pada 17 November 2021.
PIAT UGM. 2010. Model Pertanian Terpadu. Universitas Gadjah Mada Pusat Inovasi
Agroteknologi. Diakses dari https://piat.ugm.ac.id/2010/01/19/model/pertanian-
terpadu/ pada 17 November 2021.
Preston, T.R. 2000. Livestock Production from Local Resources in an Integrated
Farming System; a Sustainable Alternative for the Benefit of Small Scale
Farmers and the Environment. Workshop-seminar "Making better use of local
feed resources" SAREC-UAF, January , 2000.
Salikin, K.A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.
Supangkat, G. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu, Keunggulan dan
Pengembangannya. Workshop Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu. Dinas
Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 14 Desember 2009.
Nurcholis, M., G. Supangkat dan D. Haryanto. 2010. Pengembangan Sistem Pertanian
Terpadu untuk mendukung mendukung kemandirian Desa Banjararum,
Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Laporan Pengabdian
Masyarakat Iptek bagi Wilayah (IbW) DP2M Ditjen Dikti Depdiknas tahun
2010.
Salikin, K.A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.
Supangkat, G. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu, Keunggulan dan Pengembangannya.
Workshop Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu. Dinas Pertanian Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 14 Desember 2009
Suprodjo, S.W. 2009. Konservasi Ekosistem. Disampaikan pada Kuliah Perdana
Program Studi Ilmu Lingkungan tanggal 21 Desember 2009, Fakultas Geografi
UGM, Yogyakarta.
.

Anda mungkin juga menyukai