Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN

PEMBUATAN PELLET PAKAN AYAM

Nama: AGUSTAF UMBU HINA MABARADITA

Nim: 1705030093

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya naikan kehadapan TUHAN Yang Maha Esa karna atas rahmat dan karuniaNya
saya bisa menyelesaikan tugas berupa laporan ya

ng diberikan oleh dosen saya sebagai syarat untuk nilai akhir pada matakuliah industri pakan.

Tidak lupa saya berterimakasih kepada setiap orang yang telah membantu saya dalam
menyelesaiakn tulisan ini.

Dengan adanya tulisan ini saya berharap bisa menambah wawasan bagi siapa saja yang membaca
tulisan ini.
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pelleting merupakan salah satu metode pengolahan pakan secara mekanik yang banyak
diterapkan di industri pakan unggas, khususnya ayam. Ayam merupakan ternak yang bersifat
selektif terhadap pakan, yaitu cenderung memilih bahan pakan yang disukai. Ayam menyukai
pakan berbentuk biji-bijian (grains) terkait dengan morfologi sistem pencernaannya, yaitu
memiliki paruh untuk mematuk dan gizzard sebagai lokasi pencernaan secara mekanik.

Pengolahan pakan menjadi bentuk pellet (pelleting) memiliki sejumlah keuntungan, antara lain
meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan,
membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama
penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin
(Patrick dan Schaible, 1979). Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk
pellet adalah meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan atau sifat bulky,
dengan demikian akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer.
Selain itu, pellet juga memerlukan lebih sedikit tempat penyimpanan dan biaya transportasi jika
dibandingkan dengan bahan-bahan pakan penyusun pellet.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pellet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat
atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan (Parker, 1988). Keambaan
pakan yang diolah menjadi pellet berkurang karena densitasnya meningkat. Pellet yang memiliki
densitas tinggi akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer, serta
mencegah de-mixing yaitu peruraian kembali komponen penyusun pellet sehingga konsumsi
pakan sesuai dengan kebutuhan standar (Stevens,1987).

Menurut hasil sejumlah penelitian, manfaat pelleting adalah untuk memudahkan penanganan
pakan dan meningkatkan performans ternak. Pelleting meningkatkan kepadatan dan daya alir,
mencegah pakan tercecer dan diterbangkan angin, serta meningkatkan konversi ransum.
Peningkatan performans terjadi karena terjadi peningkatan kecernaan, penurunan pemisahan
bahan penyusun ransum, lebih sedikit energi untuk mencerna pakan, serta peningkatan
palatabilitas (Behnke, 1998 dalam Briggs et al., 1999).

Patrick dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet adalah meningkatkan
konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri
patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan,
menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin. Stevent (1981)
menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pelet adalah 1) meningkatkan densitas pakan
sehingga mengurangi keambaan, mengurangi tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi,
memudahkan penanganan dan penyajian pakan; 2) densitas yang tinggi akan meningkatkan
konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer; 3) mencegah “de-mixing” yaitu peruraian
kembali komponen penyusun pelet sehingga konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan standar.
Proses pengolahan pelet merujuk pada Pujaningsih (2006) terdiri dari 3 tahap, yaitu pengolahan
pendahuluan, pembuatan pelet dan perlakuan akhir.

Pembuatan pelet terdiri dari proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan. Perlakuan akhir
terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan. Menurut Pfost (1964), proses penting
dalam pembuatan pelet adalah pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning), pencetakan
(extruding) dan pendinginan (cooling).

Proses kondisioning adalah proses pemanasan dengan uap air pada bahan yang ditujukan untuk
gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan pelet
menjadi kompak, durasinya mantap, tekstur dan kekerasannya bagus (Pujaningsih, 2006). Proses
kondisioning ditujukan untuk gelatinisasi dan melunakkan bahan agar mempermudah
pencetakan. Disamping itu juga bertujuan untuk membuat : (1) Pakan menjadi steril, terbebas
dari kuman atau bibit penyakit; (2) Menjadikan pati dari bahan baku yang ada sebagai perekat;
(3) Pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak mudah mencernanya dan (4) Menciptakan aroma
pakan yang lebih merangsang nafsu makan ternak.

Walker (1984) menjelaskan bahwa selama proses kondisioning terjadi penurunan kandungan
bahan kering sampai 20% akibat peningkatan kadar air bahan dan menguapnya sebagian bahan
organik. Proses kondisioning akan optimal bila kadar air bahan berkisar 15 – 18%. Winarno
(1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa kadar air yang lebih dari 20% akan menurunkan
kekentalan larutan gel hasil gelatinisasi.

Efek lain dari proses kondisioning yaitu menguapnya asam lemak rantai pendek, denaturasi
protein, kerusakan vitamin bahkan terjadinya reaksi “Maillard”. Reaksi ‘Maillard’ yaitu
polimerisasi gula pereduksi dengan asam amino primer membentuk senyawa melanoidin
berwarna coklat, proses ini terjadi akibat adanya pemanasan (Muller, 1988). Warna coklat pada
bahan ini menurut Muller (1988) menurunkan mutu penampakan warna pelet. Nikersond dan
Louis (1978) menambahkan bahwa pemanasan dapat menyebabkan dehidrasi pada gula. Gula
yang terdehidrasi membentuk polimer sesama gula yang diikuti oleh gugus amina membentuk
senyawa coklat.

Pujaningsih (2006) melaporkan bahwa diameter pelet untuk sapi perah dan sapi pedaging adalah
1,9 cm (0,75 inci), untuk anak babi 1,5 cm (0,59 inci) dan babi masa pertumbuhan 1,6 cm (0,62
inci), untuk ayam pedaging periode starter dan finisher 1,2 cm (0,48 inci). Garis tengah pelet
untuk pakan dengan konsentrasi protein tinggi adalah 1,7 cm (0,67 inci) dan 0,97 cm (0,38 inci)
untuk pakan yang mengandung urea.
BAB III

MATERI DAN METODE

Laporan ini dibuat berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan di video youtube

Bahan: bahan yang digunakan untuk kebutuhan 50 kg pakan

1. dedak padi 11 kg

2. jagung 9 kg

3. bungkil kedelai 4,5 kg

4. onggok 15 kg

5. bungkil kelapa 5 kg

6. bungkil sait

7. tetes 2,5 kg

8. CaCO3 0,4 kg

9. premix 0,1 kg

Alat:

1. gayung

2. timbangan

3. mesin pencetakan pellet

Prosedur kerja:
1. tuangkan bahan yang paling banyak hingga yang paling sedikit dan dituangkan secara
berlapis, yaitu mulai dari dedak padi hingga yang paing sedikit, yaitu premix. Boleh dituangkan
dilaintai ( lantai yang bersih ).

2. aduk semua bahan hingga tercampur rata.

3. bahan diisi dalam karung untuk difermentasi selama 1 hari.

4. bahan siap dicetak menjadi pelet


BAB IV

PEMBAHASAN

pelet adalah bentuk makanan buatan yang dibuat daribeberapa macam bahan yang kita ramu dan
kita jadikan adonan, kemudian kita cetak sehingga merupakan batangan atau bulatan kecil-kecil.
Ukurannya berkisar antara 1-2 cm. Jadi pelet tidak berupa tepung, tidak berupa butiran, dan tidak
pula berupa larutan (Setyono, 2012). Permasalahan yang sering menjadi kendala yaitu
penyediaan pakan buatan ini memerlukan biaya yang relatif tinggi, bahkan mencapai 60-70%
dari komponen biaya produksi (Emma, 2006). Formulasi merupakan salah satu tahap operasi
yang esensial dalam pengolahan pakan ikan. Akurasi penyusunan formulasi sangat menentukan
hasil produksi yang diperoleh serta efisiensi biaya pengolahan. Sebaliknya kekeliruan di dalam
formulasi tidak hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan, tetapi juga mengakibatkan
pemborosan bahan baki, defisiensi, nutrient dan lain lain. Upaya untuk mengantisipasinya dapat
dilakukan dengan menyusun suatu formulasi pakan yang seimbang dan bermutu serta maksimal
(Suriatna, 1990).

Pembuatan pellet diawali dengan mempersipkan semua jenis bahan yang akan dibutuhkan,
seperti tepung ikan, dedak, bekatul padi, tapung beras, tepung jagung, dan air.

A. Dedak Padi

Dedak adalah hasil samping proses penggilingan padi. Untuk menghasilkan beras, bulir padi
harus digiling, yaitu suatu proses untuk memecahkan kulit padi menjadi beras pecah kulit.

Pemanfaatan dedak sebagai bahan pakan ternak sudah umum dilakukan. Pada usaha pembibitan
sapi , dedak padi dapat menggantikan konsentrat komersial hingga 100%, terutama pada dedak
padi kualitas sedang sampai baik yang biasa disebut dengan pecah kulit (PK) 2 atau sparator.

Kandungan nutrisi
Jumlah (%)

Energi metabolis (ME)=2100 kkal/kg

Protein Kasar (PK)=12,9

Lemak kasar (LK)=13

Serat kasar (SK)=11,4

Kalsium (Ca)=0,07

Fosfor (P)=1,5 (0,21 % tidak terikat fitat)

Kadar Air=10,61

Protein=9,96

Lemak=5,96

BETN=37,32

Serat Kasar=30,39

Bahan Kering=92,68

Bahan Organik=85,01

Protein Kasar=9,55

Serat Kasar=23,55

Energi Gross=3563 kkal/kg

B. Jagung

Jagung atau Zea mays menempati urutan pertama dalam jajaran bahan baku asal nabati yang
digunakan dalam proses pembuatan pakan di pabrik pakan. Jagung mempunyai kandungan
energi metabolis yang tinggi sekitar 3370 kkal/kg, tetapi kandungan protein kasar yang rendah
kualitasnya sekitar 8-13% dan kandungan serat kasarnya juga rendah sekitar 2%. Ada beberapa
jenis jagung yang dikenal di Indonesia, yaitu jagung merah, kuning, dan putih. Untuk bahan baku
pakan unggas sebaiknya dipilih jenis jagung kuning atau agak merah karena jenis ini
mengandung karoten yang disebut Xanthophyll yang mempunyai pengaruh terhadap pigmen
kuning dalam cadangan lemak dan kuning telur, juga kandungan vitamin A cukup tinggi.
Sedangkan jagung putih mempunyai kemampuan yang sama dengan jagung kuning, hanya tanpa
xanthophyll dan praktis tidak mengandung vitamin A. Jagung Opaque-2 merupakan jagung yang
mengandung lysine tinggi yaitu sekitar 50% lebih besar dibanding jagung biasa, juga kandungan
protein kasar lebih tinggi sekitar 11%, tetapi biaya produksi menjadi tinggi. Pemakaian jagung
dalam formulasi pakan berkisar antara 25% hingga 50% dari total formula ransum.

C. Bungkil Kedalai

Bungkil kedelai umumnya hanya sebuah limbah bekas pembuatan minyak kedelai. Tetapi, pada
dasarnya bungkil ini dapat dijadikan pakan alternatif untuk hewan ternak yang mengandung
vitamin dan gizi.

Kandungan dalam bungkil ini diantaranya seperti serat kasar 6%, protein 42,7%, serta energi
2240 kkal per kg. Selain itu, bungkil kedelai memiliki kandungan vitamin seperti vitamin A, dan
vitamin B1, serta kandungan mineral seperti zat besi dan kalsium.

D. Onggok

Limbah industri pengolahan singkong ternyata bisa bermanfaat sebagai pakan ternak. Tentu saja,
limbah industri singkong yang sering disebut onggok ini harus melalui proses pengolahan
terlebih dahulu untuk menjadi pakan ternak yang mempunyai nilai gizi tinggi.

Meski limbah, onggok masih memiliki kandungan karbohidrat sebagai sumber energi, nilai gizi,
protein, lemak, dan air yang tinggi. Oleh karena itu, onggok memang cocok menjadi pakan
hewan ternak. Sebagai ampas pati singkong (ubi kayu) yang mengandung banyak karbohidrat,
onggok dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Nilai gizi yang terkandung pada onggok
adalah protein 3,6%, lemak 2,3%, air 20,31 % dan abu 4,4%.

E. Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar atau
kering. Mutu standar bungkil kelapa meliputi kandungan nutrisi dan batas tolerasi aflatoxin
(Chuzaemi et al., 1997). Bungkil kelapa diperoleh dari ampas kopra. Bungkil kelapa
mengandung 11% air, minyak 20%, protein 45%, karbohidrat 12%, abu 5%, BO 84% dan BETN
45,5%. Bungkil kelapa banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi (Hamid et al., 1999).

Protein kasar yang terkandung pada bungkil kelapa mencapai 23%, dan kandungan seratnya
yang mudah dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan sumber energi
yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti sebagai bahan pakan pedet
terutama untuk menstimulasi rumen dan pakan asal bungkil kelapa juga terbukti ternak dapat
menghasilkan susu yang lebih kental dan rasa yang enak (Mariyono dan Romjali, 2007).

Penambahan bungkil kelapa dapat meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan
pertambahan bobot badan harian. Ternak ruminansia yang mendapatkan pakan berkualitas
rendah sebaiknya diberikan pakan tambahan yang kaya akan nitrogen untuk merangsang
pertumbuhan dan aktivitas mikroba di dalam rumen (Marsetyo, 2006).

F. Bungkil Sawit

Selama ini, bungkil sawit masih dijadikan limbah semata dari perkebunan sawit. Padahal bungkil
sawit memiliki potensi yang bila diolah dengan tepat guna akan sangat berpotensi sebagai pakan
sapi. Bungkil inti sawit untuk pakan ternak, perlu diberi perhatian khusus untuk kalangan
pengusaha peternakan khususnya sapi potong.

Bungkil inti sawit memiliki nilai protein sekitar 14 – 17%, serat kasar 12 – 18%, lemak 10 –
11%. Dengan nilai nutrisi seperti ini, bungkil inti sawit sangat baik untuk dimanfaatkan untuk
pakan ternak.

G. Tetes

Molasses atau tetes tebu adalah cairan dari hasil sampingan yang didapatkan dari pengolahan
gula melalui proses kristalisasi berulang. Kata Molasses berasal dari bahasa latin mel yang
berarti madu. Salah Satu manfaat Molasses adalah pembuatan pakan ternak yang telah lama
diketahui semenjak pabrik gula yang pertama didirikan.

Molasses dapat digunakan sebagai pakan ternak secara langsung dicampurkan pada pakan
konsentrat ataupun melalui proses pengolahan fermentasi pada pembuatan konsentrat sebagai
bahan campuran, activator dalam pembuatan sillase. Molasses merupakan bahan pakan yang
mengandung karbohidrat tinggi. Selain itu, terkandung vitamin B kompleks dan vitamin –
vitamin yang larut dalam air.

H. CaCO3

Kapur atau dalam rumus kimianya CaCO3 adalah bahan utama mineral sebagai sumber mineral
makro kalsium (Ca). Kapur berasal dari hasil penambangan gunung kapur. Ketersediaan kalsium
dalam kapur tergantung dari tingkat kemurnian kapur dan kelarutannya. Penggunaan kapur
dalam ransum berkisar antara 0.5 - 2%. Kapur umumnya diberikan dalam campuran konsentrat
atau dicampur dengan bahan lainnya.

I. Premix

Dalam dunia peternakan, premiks dikenal sebagai bahan tambahan yang dicampurkan dalam
ransum untuk meningkatkan kandungan nutrisi yang ada di dalamnya. Asam amino, vitamin, dan
mineral adalah beberapa nutrisi yang sering terkandung dalam premiks.

Adapun komponen mesin yang dipakai dalam pembuatan pellet adalah

Bagian-bagian utama Mesin Pembuat Pelet adalah sebagai berikut:

1. Dudukan Mesin, berfungsi sebagai konstruksi utama yang menyokong semua komponen
dan sistem yang bekerja pada Mesin Pembuat Pelet

2. Sistem Transmisi Puli, berfungsi sebagai penerus daya berupa putaran dari motor listrik
ke poros utama atau screw extruder.

3. Hopper, berfungsi sebagai pengumpan bahan baku pakan ternak agar terarah menuju
Screw Extruder.

4. Poros Utama, berfungsi sebagai penyokong Screw Extruder

5. Screw Extruder, berfungsi sebagai pengaduk dan pendorong bahan baku pakan ternak
agar tercampur dengan baik dan bergerak menuju saringan pencetak pelet.

6. Housing Screw, berfungsi sebagai dudukan Screw Extruder dan pengarah bahan baku
pakan ternak agar dapat teraduk dan terdorong oleh screw extruder dengan sempurna.
7. Saringan Pencetak Pelet, berfungsi sebagai saringan yang mengubah campuran bahan
baku pakan ternak yang telah diaduk menjadi butiran-butiran pelet yang homogen.

8. Corong Outlet, berfungsi sebagai pengarah butiran-butiran pelet yang keluar dari mesin.

9. Motor Listrik, berfungsi sebagai penggerak utama sistem mesin.


BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN

pelet adalah bentuk makanan buatan yang dibuat daribeberapa macam bahan yang kita ramu dan
kita jadikan adonan, kemudian kita cetak sehingga merupakan batangan atau bulatan kecil-kecil.

Pellet dibuat dengan menggunakan tepung ikan, bekatul padi, dedak, tepung jangung, tepung
beras, dan air.

Pellet dicetak dengan mesin pencetak pellet baik manual maupun otomatis.
DAFTAR PUSTAKA
Behnke, K.C. 1994. Factors Affecting Pellet Quality. Maryland Nutrition Conference,
Department of Poulty Science and Animal Science, University of Maryland.
Briggs, J.L. D.E. Maier, B.A. Watkins, dan K.C. Behnke. 1999. Effect of ingredients and
processing parameters on pellet quality.
Patrick dan Schaible (1980). feeds and nutrition. West Virginia Univ., Morgantown, W. Va., USA
Parker, 1988. Host feeding and nutrient sufficiency for zooxanthellae in the sea anemone
Aiptasia pallida
Menurut Pfost,1964. Optimasi Pembuatan Pellet Rumput Gajah (Pennisetum purpurium)
sebagai Peluang Ekspor untuk Pakan Ternak Ruminansia. Politeknik Negeri Lampung.
Pujaningsih (2006) . Pengaruh Penambahan Level Molases terhadap Kualitas Fisik dan
Organoleptik Pellet Pakan Kambing Periode Penggemukan. Undergraduate thesis, Fakultas
Peternakan Dan Pertanian Undip.

Stevens, C. A. 1987. Starch gelatinization and the influence of particle size, steam pressure and
die speed on the pelleting process. Ph.D.Dissertation. Kansas State University, Manhattan, KS.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai