1
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN 1
DAFTAR BAGAN 4
DAFTAR GAMBAR 5
1 PENDAHULUAN 7
1.1 Latar Belakang 7
1.2 Tujuan 8
2 METODOLOGI 8
2.1 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan 8
2.2 Metode Pelaksanaan 8
2.3 Metode Pengamatan dan Pengumpulan Data 8
2.3.1 Keadaan Umum Perusahaan 8
2.3.2 Sarana dan Prasarana 9
2.3.3 Penyediaan Pakan 9
2.3.4 Perkandangan 9
2.3.5 Kesehatan dan Reproduksi 9
2.3.6 Pemeliharaan 9
2.3.7 Produksi Susu 10
2.3.8 Pemasaran 10
3 KEADAAN UMUM 10
3.1 Lokasi dan Tata Letak 10
a. Sejarah dan Perkembangan 11
b. Struktur Organisasi 2
c. Ketenagakerjaan 4
4 SARANA DAN PRASARANA 5
a. Luas Lahan dan Pemanfaatannya 5
b. Populasi Sapi Perah 7
c. Sumber Air dan Pemanfaatannya 8
d. Peralatan Produksi 8
5 MANAJEMEN PEMELIHARAAN PEDET DAN DARA SAPI PERAH 9
5.1 Perkandangan 9
5.1.1 Kandang Individu Pedet 10
5.1.2 Kandang Excersice Pedet dan Dara 2
5.2 Manajemen Pemeliharaan Pedet 2
5.2.1 Penanganan Saat Lahir 3
2
5.2.2 Pemberian Kolostrum 3
5.2.3 Bobot Lahir dan Pertambahan Bobot Badan 4
5.2.4 Manajemen Pemberian Pakan dan Minum Lepas Kolostrum 5
5.2.5 Sanitasi Kandang 7
5.2.6 Pencegahan dan Pengobatan Penyakit7
5.3 Manajemen Pemeliharaan Dara 2
5.3.1 Pemberian Pakan dan Minum 3
5.3.2 Sistem Perkawinan 2
5.3.3 Pemeriksaan Kebuntingan 2
5.3.4 Penanganan Kelahiran Induk 2
5.3.5 Pencegahan dan Penanganan Penyakit Sapi Dara 2
6 MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI LAKTASI 3
6.1 Perkandangan 3
6.1.2 Kandang Individu atau Ikat 2
6.1.3 Kandang Free Stall Barn 2
6.2 Manajemen Pemberian Pakan Sapi Laktasi 3
6.3 Sanitasi Kandang 2
6.4 Pemerahan 3
6.4.1 Persiapan 3
6.4.2 Pemerahan 3
6.4.3 Penanganan hasil 5
6.5 Pemeliharaan Sapi Kering Kandang 1
6.5.1 Proses Kering Kandang1
6.5.2 Periode Sapi Kering Kandang 2
6.5.3 Pemberian Pakan Sapi Kering Kandang 2
6.5.4 Kesehatan Dan Reproduksi 1
6.5.5 Pencegahan Penyakit dan Penangannya 2
6.6 Reproduksi 3
6.6.1Deteksi Estrus 3
6.6.2 Sistem Perkawinan 3
6.7 Pemasaran 4
7 SIMPULAN DAN SARAN 5
7.1 Kesimpulan 5
7.2 Saran 5
DAFTAR PUSTAKA 6
LAMPIRAN 8
3
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
4
Standard Pemberian Pakan Pedet
25
Konsumsi (Kg/ekor/hari)
20
Susu
(Liter/ekor/hari)
15 Calf S (Jantan)
Calf S (Betina)
10
Konsentrat
5 (Jantan)
Konsentrat
(Betina)
0
1 hari 8 hari 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan Hijauan (jantan)
s/d 7 s/d 1 s/d 2 s/d 3 s/d 4 s/d 5 s/d 6
hari bulan bulan bulan bulan bulan bulan Hijauan (Betina)
Umur pedet
DAFTAR GAMBAR
5
Gambar 7 Pemberian susu pedet 3
Gambar 8 Pemberian pakan pedet 7
Gambar 9 Sanitasi kandang 1 7
Gambar 10 Sanitasi kandang 2 7
Gambar 11 persediaan obat - obatan 1 2
Gambar 12 Gudang pakan 1 3
Gambar 13 Distribusi pakan 1 3
Gambar 14 Pemberian feed suplement 3
Gambar 15 pengumpulan pakan 3
Gambar 16 Truk paka 3
Gambar 17 alat IB sapi 3
Gambar 18 proses IB 1 3
Gambar 19 Proses IB 2 3
Gambar 20 Proses pemotongan kuku sapi 3
Gambar 21 Pemberian obat pada sapi 3
Gambar 22 kandang individu/ikat 2
Gambar 23 kanndang Free Stall Barn 2
Gambar 24 Gudang pakan 2 3
Gambar 25 Pendistribusian pakan sapi 2 3
Gambar 26 Mobil pendistribusian pakan sapi 3
Gambar 27 Truk pengangkut pakan sapi 2 3
Gambar 28 Lokasi chpper hijauan 3
Gambar 29 Recording pengambilan HPT 3
Gambar 30 Proses sanitasi kandang 2 3
Gambar 31 Proses sanitasi kandang 2 4
Gambar 32 Mesin perah otomatis 5
Gambar 33 Proses pemerahan susu sapi 5
Gambar 34 Mesin pengolahan susu 6
Gambar 35 Milk Can 6
Gambar 36 Proses pengolahan susu 6
Gambar 37 Mesin pengolahan susu 2 6
6
Gambar 38 Ruang pengolahan susu 6
Gambar 39 Penyimpanan susu 6
Gambar 40 Truk pengangkut susu 2
Gambar 41 Penggiringan sapi 2
Gambar 42 Lahan penggembalan 2
Gambar 43 Distribusi pakan sapi 2
Gambar 44 Persediaan obat - obatan 1
Gambar 45 Pemotongan kuku sapi 1
Gambar 46 Penyuntikan obat 1
1 PENDAHULUAN
Kebutuhan protein hewani dari daging, telur dan susu terus meningkat seiring
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya protein hewani
khususnya susu untuk kesehatan. Konsumsi susu di Indonesia saat ini masih rendah
7
dibandingkan dengan negara lainnya yaitu hanya berkisar 11,8 liter/kapita/tahun
termasuk produk olahan yang mengandung susu. Dibandingkan negara-negara
lainnya, kondisi persusuan Indonesia masih perlu perhatian lebih intens lagi. Negara
tetangga seperti Malaysia tercatat mengonsumsi susu sebanyak 36,2
liter/kapita/tahun, Myanmar mencapai 26,7 liter/kapita/tahun, Thailand mencapai
22,2 liter/kapita/tahun dan Filipina mencapai 17,8 liter/kapita/tahun. (Titin Agustina,
2016). Produksi susu di Indonesia belum mencukupi kebutuhan masyarakat itu
sendiri, sehingga hal tersebut menjadi alasan pemerintah melakukan impor susu.
Sapi perah merupakan salah satu ternak yang dimanfaatkan untuk
menghasilkan susu untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat.
Susu yang dihasilkan dari sapi perah kaya akan nutrisi seperti protein, lemak, air, dan
zat lain yang berguna untuk masa pertumbuhan. Sapi perah juga dapat menghasilkan
pedet, yang bisa dijadikan bibit sapi perah berkualitas apabila dipelihara dengan baik
dan lolos seleksi sebagai bibit unggul. Bibit merupakan salah satu faktor yang
menentukan dalam upaya pengembangan sapi perah. Kemampuan penyediaan atau
produksi bibit sapi perah dalam negeri masih perlu ditingkatkan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu diperlukan partisipasi dan kerjasama
antara Pemerintah pusat dan daerah, peternak, serta perusahaan peternakan dalam
upaya meningkatkan populasi dan produktivitas sapi perah dalam penyediaan dan
pemenuhan susu secara nasional (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan 2014).
Terdapat dua golongan bangsa sapi perah yang lazim diternakkan, yaitu bangsa
sapi perah yang berasal dari iklim subtropis dan iklim tropis. Sapi yang lazim
diternakkan di indonesia adalah bangsa sapi perah subtropis yaitu FH (Friesian
Holstein) dengan ciri tubuh yang khas yaitu warna putih dan hitam. Jenis sapi perah
ini banyak tersebar mulai dari Belanda, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan
Indonesia.Penyebaran sapi FH (Friesian Holstein) di Indonesia adalah pada dataran
tinggi atau daerah pegunungan di pulau Jawa dengan ketinggian 700 m diatas
permukaan laut dengan suhu antara 16 sampai 230c (Ako, 2013).
Manajemen pemeliharaan sapi perah di BBPTU & HPT Baturraden merupakan
bagian yang sangat penting dalam menghasilkan susu yang merupakan produk utama
dalam usaha sapi perah. Peternak / petugas kandang harus memiliki keterampilan dan
pengetahuan dalam manajemen pemeliharaan yang baik agar menghasilkan produk
susu yang optimal dan berkualitas. Di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan
Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden berada pada sisi selatan kaki gunung
slamet dengan ketinggian 700 m diatas permukaan laut. Balai ini merupakan salah
satu tempat yang mengelola pemeliharaan dan pembibitan, serta kondisi daerah di
balai sangat cocok untuk sapi perah. Balai ini juga bagus untuk praktik kerja
lapangan bagi para mahasiswa peternakan karena memiliki fasilitas dan sarana
prasarana yang sudah memadai untuk praktik lapangan.
8
1.2 Tujuan
2 METODOLOGI
Penelitian ini memperoleh data sebagai bahan laporan praktek kerja lapangan
dengan menggunakan beberapa metode serta pembahasan masalah selama
melakukan praktek kerja lapangan pada perusahaan terkait. Metode yang digunakan
yaitu wawancara dan pengamatan.
2.3.1 Keadaan Umum Perusahaan
9
2.3.3 Penyediaan Pakan
2.3.4 Perkandangan
2.3.6 Pemeliharaan
10
2.3.8 Pemasaran
3 KEADAAN UMUM
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU &
HPT), bertempat di Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, provinsi Jawa
Tengah. Balai ini terletak di bagian kaki gunung Slamet di ketinggan 600 – 700 mdpl
dengan curah hujan mencapai 3.000 - 3.500 mm/tahun dan temperatur lingkungan
21-30 0C serta tingkat kelembaban atau Relative Humidity (RH) mencapai 70-80 %.
Rata – rata suhu kandang di BBPTU – HPT Baturraden adalah 20 0C dan
kelembaban 70 – 80%. Di habitat aslinya sapi perah bangsa Friesian Holstein hidup
dengan suhu udara optimum yaitu 10-13 0C untuk dapat mempertahankan nafsu
makan dan kesehatan.
Pengaruh langsung suhu udara dan kelembaban terhadap kemampuan produksi
sapi perah adalah konsumsi pakan karena apabila suhu meningkat akan
menyebabkan menurunnya nafsu makan, turunnya gerak laju pakan dalam ransum
serta efisiensi penggunaan energi untuk produksi susu dan status faali tubuh. Suhu
tubuh normal sapi perah berkisar antara 38 – 39,3 0C dengan rata – rata 38,6 0C
(Djaja W. dkk., 2009). Suhu udara dan kelembaban kandang di BBPTU – HPT
Baturraden sudah memenuhi standar kenyamanan sapi perah untuk berproduksi
secara optimal karena dengan suhu rata – rata 24 0C sapi masih dapat berproduksi
dengan baik. Suhu kritis untuk sapi perah yang berada di daerah tropis yaitu 27 0C
memperlihatkan produksi susu semakin menurun.
11
Bagan 1 denah dan farm Tegalsari
Keterangan :
A : Gedung Kantor 4 : Kandang D A2 : Klinik Hewan
B : Kandang Free Stall 1 5 : Kandang E A3 : Pemerahan Susu
C : Kandang Free Stall 2 6 : Kandang F A4 : Penyimpanan Susu
D : Instalasi Biogas 7 : Kandang G (Pedet) A5 :Pengolahan Pakan
1 : Kandang A 8 : Kandang H (Pedet) A6 : Gudang Konsentrat
2 : Kandang B 9 : Kandang I (Pedet) A7 : Penimbangan HPT
3 : Kandang C A1 : Gudang Chopper
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah & Hijauan Pakan Ternak
(BBPTU-SP & HPT) Baturraden, ditetapkan berdasarkan Peraturan Mentri Pertanian
(Permentan) Nomor 55/Permentan/OT.140/5/2013, berdiri sejak Tahun 1953 oleh
Pemerintah Daerah RI dan diresmikan oleh P.J.M.Wakil Presiden Drs, Mohammad
Hatta pada tanggal 22 Juli 1953 dengan nama induk Taman Ternak Baturraden.
Periode tahun 1971-1974 merupakan periode penantian status Induk
Taman Ternak, tahun 1974 Induk Taman Ternak memperoleh anggaran rutin untuk
rehabilitasi dengan nama Induk Pembibitan Ternak Baturraden. Tanggal 25 mei
1978, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 313/Kpts/Orng/5/78
12
ditetapkan kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja Balai
Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Baturraden (BBTHMT
Baturraden). Sejak saat itu BPT-HMT Baturraden merupakan Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal Peternakan dengan status Eselon 3B. Selama periode BPT-HMT
mengalami beberapa kali pergantian pemimpin yaitu: Drh. Soebijono (1978-1983),
Drh. Iswono Dasuki (1983-1990), Ir. Santoso Budiyatno (1990-2000), Ir.H.
Hardiarto (2000-2002).
Tanggal 24 Juli 2002 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No. 290
tahun 2002, BPT-HMT berubah menjadi Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU)
Sapi Perah dengan status Eselon 3A. Periode BPTU Sapi Perah merupakan periode
yang paling singkat yaitu hamper 2 tahun (2002-2004) dengan kepala Ir. Hartono.
Tanggal 30 Desember 2003 sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.
630/Kpts/OT.140/12/2003, BPTU Sapi Perah Baturraden berubah menjadi Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU Sapi Perah) sampai saat ini.
Dari ditetapkannya nama menjadi BBPTU Sapi Perah Baturraden mengalami
pergantian sebanyak tiga kali, yaitu: Ir. Jackly PL Toruan (2004-2005), Ir. Djodi
Achmad Hussain Suparto, MM (2005-2009), Ir. Abubakar, SE., MM (2009-2010), Ir.
Ali Rachman , M.Si (2011-2015), Ir. Sugiono, MP (2016-sekarang).
b. Struktur Organisasi
13
Struktur organisasi BBPTUHPT baturraden 2019
14
KEPALA BALAI BESAR
Ir Ai Rachman, Msi
KEBAUM
Ir Siti Bunaida
15
c. Ketenagakerjaan
BBPTU dan HPT Baturraden memiliki pegawai sebanyak 352 orang tenaga
kerja. Sistem ketenagakerjaan pegawai dibagi menjadi dua, yaitu Pegawai Negri
Sipil (PNS) sebanyak 155 orang tenaga kerja dan Pegawai Honorer (tidak tetap)
sebanyak 193 orang tenaga kerja. Para pegawai memiliki jam kerja disesuaikan
dengan Standar Operasional (SOP) yang sudah ditentukan oleh BBPTU dan HPT
Baturraden. Pegawai kantor mulai bekerja dimulai pada pukul 07.30 WIB sampai
dengan pukul 16.00 WIB. Sedangkan, para pegawai kandang mulai bekerja pada
pukul 05.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. Pegawai memiliki hari libur satu
hari dalam seminggu secara bergilir yang bertujuan supaya ternak tetap terkontrol
dengan baik.
16
4 SARANA DAN PRASARANA
BBPTU & HPT Baturraden, memiliki luas lahan total 241,06 Ha yang terbagi
dalam 3 lokasi yang berbeda, ke-3nya yaitu:
1) Farm sapi perah dan kambing perah (PE dan Saanen) Limpakuwus seluas
96,79 Ha
17
3) Rearing Unit Manggala seluas 100 Ha
Dengan demikian persentase luas lahan yang dimiliki oleh BBPTU & HPT
Baturraden adalah sebagai berikut :
Luas (Ha)
Rearing Farm
Manggala; Limpakuwus;
100 96,79
Farm
Tegasari;
31,18
18
b. Populasi Sapi Perah
Jenis sapi perah yang digunakan di BBPTU & HPT Baturraden adalah sapi
perah Friesian Holstein (FH). Mukhtar (2006) menyebutkan Sapi Peranakan friesian
holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH)
dengan sapi lokal atau setempat yang ada di Indonesia. Menurut Rustamadji (2004),
sapi FH memiliki warna cukup terkenal yaitu belang hitam putih dengan pembatas
yang jelas dan tidak ada warna bayangan serta mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan sehingga bangsa sapi ini dapat dijumpai hamper seluruh dunia. Siregar
(1992) menjelaskan sapi FH betina dewasa memiliki rata-rata bobot badan bekisar
antara 570-730 kg dan panjang laktasi rata-rata kurang dari 10 bulan. Pane (1993)
menambahkan bahwa produksi susu sapi PFH relatif tinggi namun masih lebih
rendah dibandingkan dengan sapi FH.
Populasi ternak sapi perah yang terdapat di BBPTU & HPT Baturraden terdiri
atas pedet, sapi dara, laktasi kosong, laktasi bunting, kering kosong, dan kering
bunting. Populasi dan komposisi sapi perah yang dipelihara di BBPTU & HPT
Baturraden disajikan pada Tabel 2.
19
Bagan 5 Persentase populasi sapi perah di BBPTU SP & HPT Baturraden
Persentase populasi Induk laktasi di BBPTU & HPT Baturraden, tergolong
kecil / tidak ideal yaitu sekitar 22,78 % dari total populasi, Menurut (Siregar, 1995)
dalam pemeliharaan sapi perah jumlah induk laktasi harus lebih besar dari 80 % dari
jumlah keseluruhan sapi perah di sebuah perusahaan. Total persentase induk laktasi
yang kecil disebabkan karena fokus / tujuan utama BBPTU & HPT Baturraden yaitu
menyediakan bibit ternak unggul khususnya bibit ternak ruminansia, dan penyediaan
hijauan makanan ternak, sehingga hasil produk susu merupakan hasil ke-2, setelah
hasil penyediaan bibit ternak unggul.
c. Sumber Air dan Pemanfaatannya
Air adalah salah satu aspek penting dalam pemeliharaan sapi perah di BBPTU
& HPT Baturraden. Air dimanfaatkan sebagai minum sapi, sanitasi kandang, sanitasi
pegawai, memandikan sapi, pembersihan pada ambing sebelum pemerahan, dan
sanitasi peralatan. Sumber air yang digunakan berasal dari gunung slamet. Air
tersebut ditampung di dalam penampung air dengan kapasitas 1000 liter/penampung
air. Penampung air yang digunakan biasanya untuk sanitasi di kandang Free Stall
Barn dan untuk kepentingan lainnya.
d. Peralatan Produksi
20
Tabel 3 Peralatan Kandang
Jenis Peralatan Peralatan yang digunakan
Cooling Unit Bulk cooler, pipeline miker, sikat
pencuci alat perah, selang air panas
Dehorning Besi, pemanas besi, gunting tanduk
berukuran besar dan kecil, kapas
steril, yodium tincur, vaseline,
pulring, tail kendali.
Gudang Hijauan Makanan Ternak Sekop, timbangan, karung, roda
(Gudang HMT) pakan.
Gudang pakan konsentrat Mesin chopper, keranjang hijauan,
sekop, garpu, sapu lidi, karung.
Kandang Selang air, sekop, tongkat pembersih
bedding.
Gunting Kuku Palu kuku, pahat kuku, rennet, tali
kendali, sabuk kendali, pullring,
yodium tincur, kapas steril.
Kendaraan Penunjang Truk, coolbox car.
Kesehatan Hewan Buku catatan, stetoskop,
thermometer, obat – obatan.
Pasteurisasi Peralatan pasteurisasi, steam boiler,
bottle washer, sikat thermometer,
cup sealer, filler.
Reproduksi Container, N2 cair, IB gun, gloves,
termos, cup thawing, gunting, straw,
alat pencatat.
5.1 Perkandangan
21
(2003) bahwa dengan kandang, pengamatan terhadap pencuri sapi akan lebih terjaga,
selain itu kandang yang di bangun harus dapat menunjang peternak baik dalam segi
ekonomis maupun segi kemudahan dalam pemeliharaan ternak. Sebaiknya kandang
20-30 cm lebih tinggi dari tanah sekitarnya dan kandang diarahkan ke timur agar
bagian dalam kandang memperoleh sinar matahari pagi yang memadai
(Siregar,2001) Sehingga di Harapkan dengan adanya bangunan kandang ini sapi
tidak berkeliaran di sembarang tempat dan kotorannya pun dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Perkandangan pada pedet dan dara memiliki beberapa macam
antara lain:
Kandang individu pedet adalah kandang yang berisi satu ekor pedet.dimana
kandang pedet di BBPTU & HPT Baturraden dipisahkan dari induknya. Terdapat
tiga kandang individu di BBPTU & HPT Baturraden, yang terdiri dari kandang pedet
individu G, kandang pedet individu H dan kandang I. Masing-masing kandang
dibedakan berdasarkan umur pedet itu sendiri dan mempunyai kapasitas tampung
yang berbeda. Setiap kandang dapat menampung 40 pedet.
Tipe kandang pedet ini yaitu tipe atap monitor yang terbuat dari bahan genteng.
Bahan pada masing-masing pens terbuat dari besi dan kayu. Teradapat dua selokan
pada kandang dengan tujuan untuk memudahkan pembersihan atau sanitasi, selokan
tersedut mengarah pada saluran pembuangan limbah. Kemiringan lantai pada kedua
kandang ini yaitu 2% , hal ini sudah sesuai menurut pendapat Yani A (2007)
menyatakan bahwa lantai dibuat miring 2 - 5 %, kemiringan laantai tidak boleh
terlalu miring. Didepan pens pada kandang pedet terdapat tuga buah lingkaran besi
yang berfungsi untuk meletakan ember yang berisi susu dan hay. Bedding yang
digunakan pada masing-masing pens kandang adalah jerami kering. Tujuan
penggunaan jerami sebagai bedding ini sebagai penghangat untuk pedet, dan agar
kaki pedet tidak terperosok. Menurut Anonimus 1995 menyatakan bahwa Ukuran
kandang individu untuk pedet umur 0 sampai dengan 4 minggu adalah 0, 75 x 1, 5 m
dan umur 4 sampai dengan 8 minggu 1,0 x 1,8 m ( Anonimus, 1995 ). Terdapat
lampu yang berada pada atas pens yang berfungsi sebagai penerangan dan
penghangat untuk pedet. Pengaturan pintu pedet dengan penutupan tirai pada pintu
diperhatikan untuk mengatur sirkulasi udara pada kandang.
22
Gambar 5 kandang Gambar 6 kandang
Gambar 4 Kandang pedet 2 2 pedet 3
pedet 1
5.1.2 Kandang Excersice Pedet dan Dara
Blok 1 9.536,5
Blok 2 5950
Blok 3 11.614,82
Blok 4 5.164,42
Blok 5 3.638,5
Blok 6 628,88
Total 36.533,12
Pedet adalah anak sapi yang baru lahir hinga umur 8 bulan. Pedet yang baru
lahir membutuhkan perawatan khusus, ketelitian, kecermatan dan ketekunan
dibandingkan dengan pemeliharaan sapi dewasa. Pemeliharaan pedet mulai dari
lahir hingga disapih merupakan bagian penting dalam kelangsungan suatu usaha
sapi perah (Purwanto dan Muslih, 2006). Pemeliharaan pedet yang berada di
BBPTU dan HPT meliputi penanganan saat dilahirkan, pemberian kolostrum,
pemberian pakan dan minum, bobot lahir dan pertambahan bobot badan, sanitasi
kandang, serta pencegahan dan pengobatan penyakit.
Pedet setelah dilahirkan dari induk hal yang pertama dilakukan adalah
membersihkan lendir di rongga mulut, hidung dan seluruh tubuhnya. Petugas akan
memasukan jarinya ke mulut pedet guna membersihkan lendir atau menyiram air
ke tubuh pedet dan sering kali mengerakan kaki belakang sehingga lendir keluar
dari rongga mulut dan hidung. Tujuannya agar pedet tidak sulit untuk bernafas
dan pedet bisa menghirup oksigen dengan bebas. Petugas memisahkan pedet dari
induknya dengan diangkat menggunakan kereta dorong dari kandang lahir.
Setelah pemisahan dengan induk dilakukan penimbangan bobot lahir yang
kemudian di catat oleh petugas. Pencatatan bobot lahir ini disertai dengan no
eartag induk, tanggal beranak, jenis kelamin. Langkah selanjutnya adalah
pemberian iodium tincture 10% pada tali pusar pedet, yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi pada tali pusar. Setelah penimbangan pedet
dipindahkan pada sebuah box atau pens yang sudah diberi jerami kering dan
bersih agar tercipta lingkungan yang hangat. Petugas akan memberikan susu
kolostrum sebanyak 2 liter pada pedet, yang maksimal dilakukan 1-2 jam pedet
tersebut dilahirkan. 3-7 hari pedet diberi tanda pengenal atau eartag yang
berfungsi sebagai identitas ternak serta pencatatan sebagai data recording
sehingga dapat memudahkan saat pemeliharaan. Hal yang terlewati yaitu petugas
tidak memotong tali pusar pedet, yang saya amati bahwa tali pusar pada pedet
yang umur hampir 1 minggu masih terlihat panjang yang artinya tidak dipotong.
Pemotongan tali pusar berfungsi untuk menghindari predator dan infeksi penyakit.
Selain itu pedet yang baru lahir diharuskan beberapa saat bersama dengan
induknya, hal ini untuk membantu uterus (rahim) bergerak atau berkontraksi lebih
kuat sehingga melancerkan pengeluaran plasenta.
5.2.2 Pemberian Kolostrum
Kolostrum adalah produksi susu awal yang berwarna kuning, agak kental
dan berubah menjadi susu biasa sesudah 4 sampai dengan 5 hari. Soetarno (2003)
menyatakan bahwa kolustrum sebaiknya diberikan antara 30-60 menit setelah
pedet lahir. Pemberian kolustrum bertujuan untuk memberikan antibodi pada
pedet yang baru . Kolostrum sangat penting untuk pedet setelah lahir karena
kolostrum mengandung zat pelindung atau antibodi yang dapat menjaga
ketahanan tubuh pedet dari penyakit berbahaya (Soetarno, 2003). Kolostrum juga
mengandung vitamin A, 10-100 kali lebih banyak dibandingkan susu biasa,
vitamin D tiga kali lebih banyak, protein 4-7 kali lebih banyak dan bersifat
laksantia (menguras) sehingga membantu membersihkan dan melancarkan
pencernaan pedet (Nurdin 2011).
Kolostrum diberikan pada saat pedet dilahirkan sebanyak 2 liter. Pemberian
kolostrum ini dilakukan dengan menggunakan dot yang memiliki kapasitas 2,5
liter, Setelah 3 hari diganti dengan ember untuk pemberiannya dan perlahan
petugas mengajari meminum susu dengan memasukan tangannya yang sudah
dicelupi susu . Jari telunjuk yang dihisap-isap, perlahan-lahan dimasukkan sedikit
demi sedikit kedalam ember yang berisi kolostrum dan dibiarkan beberapa menit
mengisap-isap jari telunjuk dan kolostrum turut terserap sedikit-sedikit. Kemudian
jari telunjuk perlahan-lahan dilepas dari pedet. Perlakuan demikian perlu diulang-
ulang sehingga akhirnya pedet mau minum kolostrum dari ember tanpa bantuan
lagi atau dengan menggunakan botol yang diberi selang karet lunak. Selanjutnya
selama 7 hari kolostrum diberikan rutin setiap pagi dan sore sebanyak 4 liter.
5.2.3 Bobot Lahir dan Pertambahan Bobot Badan
Pedet yang sudah berumur 8 hari yang berada di BBPTU dan HPT diberi
susu dan tidak diberi kolostrum kembali. Susu yang diberikan 5 liter/ekor/ hari,
diberikan pada pagi dan sore hari masing-masing 2,5 liter setiap pemberiannya.
Susu dberikan dengan dituangkan dalam ember yang sudah ditakar dengan gelas
ukur, susu tersebut berasal dari hasil pemerahan. Pada umur pedet yang sudah
beruur 3-4 bulan, pemberian susu sebanyak 4 liter untuk satu ekor dalam sehari.
Pemberian susu pada umur pedet 3-4 bulan dilakukan dengan cara dituangkan
dalam wadah seperti pada gambar 13. Nurdin (2011) menyatakan bahwa
banyaknya pemberian susu pada pedet adalah 10% berat badan sampai bobot
badan mencapai 60 kg.
Selain susu, pemberian pakan dan air minum harus diperhatikan dengan
baik. Pemberian air minum pada pedet umur 1-2 bulan diberikan pada saat siang
hari digembalakan, pemberian pada saat itu tidak terbatas atau adlibitum.
Pemberian air minum pada pedet umur 3-4 bulan dilakukan juga secara
adlibitium, dimana selalu diberikan pada saat tempat minum air tersebut habis.
Air minum diberikan yang bersih dan segar dan selalu tersedia sehingga pedet
dapat minum sesukanya. Rasyaf (2004) menyebutkan air merupakan komponen
yang sangat penting untuk metabolisme tubuh, apabila ternak kekurangan air
maka akan terjadi dehidrasi dan akan berakibat fatal bagi produktivitas ternak.
Pemberian air minum diberikan adlibitum sehingga sapi tidak mengalami
kehausan dan penambahan air minum pada tempat minum dua kali sehari.
Calf starter atau konsentrat (pakan khusus pedet), yaitu pakan formula atau
konsentrat yang mengandung protein kasar (PK) 16 – 18 % protein dengan
kandungan energi tinggi dan mengandung suplemen vitamin A dan D serta
tepung tulang. Hal nini untuk menghindari kekurangan konsumsi kalsium dan
fosfor setelah pedet disapih. Pemberian calf starter dimulai pada umur 8 hari,
pakan ini diberikan sehari sekali pada saat pedet digembalakan sebanyak 1,2
kg/e/hari perekor pada wadah seperti pada gambar 15 . Pada umur pedet 3-4 bulan
calf starter diberikan sebanyak 1.5 kg/e/hari , diberikan bersamaan dengan
pemberian rumput di tempat pakan. Pemberian Calf starter ditujukan untuk
membiasakan pedet dapat mengkonsumsi pakan padat. Pedet dikenalkan pakan
calf starter bertujuan untuk merangsang perkembangan retikulo rumen pada pedet
(Arif 2010). Selain pakan calf starter, pedet pada umur 8 hari mulai dikenalkan
pada hay sebagai pakan pengenalan rumput. Hay adalah bahan pakan yang
dikeringkan sampai kadar airnya mencapai 10-15% (Ako 2013). Pemberian hay
kepada pedet yang masih menyusu, hanya untuk diperkenalkan saja guna
merangsang pertumbuhan rumen. Pemberian hay dilakukan pada saat
digembalakan pukul 09.00 WIB dan setelah pemberian susu pada pukul 15.30.
Hay diberikan pada tempat pakan seperti gambar 14 dan pada sore diberikan
menggunakan ember dengan jumlah pemberian 0,1 kg/e/hari. Setelah umur pedet
berumur 4-6 bulan, mulai pemberian hijauan yang diberikan 10 kg/e/hari pada
pagi dan sore hari. Penyapihan pada pedet dilakukan berdasarkan umur dan jenis
kelamin. BPT-SP dan HPT melakukan menyapihan dengan sapi betina umur 5
bulan dan sapi jantan umur 4 bulan. Sapi jantan dijual untuk penggemukan atau
dijadikan pejantan jika menunjukan performa bagus. Sedangkan betina untuk
produksi susu serta anak.
Berikut ini program pemberian pakan pedet di farm BBPTU & HPT
Baturraden :
Calf S (Betina)
10
Konsentrat
5 (Jantan)
Konsentrat
(Betina)
0
1 hari 8 hari 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan Hijauan (jantan)
s/d 7 s/d 1 s/d 2 s/d 3 s/d 4 s/d 5 s/d 6
hari bulan bulan bulan bulan bulan bulan Hijauan (Betina)
Umur pedet
Sanitasi merupakan hal yang penting agar sapi pedet terhindar dari berbagai
penyakit. Sanitasi kandang pedet di BBPTU & HPT Baturraden dilakukan secara
intensif meliputi membersihkan kotoran feses menggunakan sekop, serta
membersihkan tempat pakan dan tempat air minum. Sanitasi lingkungan didaerah
lingkungan kandang berupa menyapu lingkungan area kandang dengan
menggunakan sapu lidi. Menurut Abidin (2002) menyatakan bahwa kandang atau
tempat yang kotor merupakan sumber utama hidupnya kuman dan akan
menimbulkan penyakit. Penggantian bedding pada kandang box pedet dilakukan
dengan mengganti alas berupa jerami dengan jerami baru, penggantian bedding ini
dilakukan pada semua kandang pedet. Untuk sanitasi dikandang ikat dilakukan
dengan menghancurkan feses dan disalurkan ke selokan. Pada kandang Free Stall
Barn sanitasi dilakukan dengan menyerok dan menghancurkan feses lalu disiram
air dan dibuka genangan air untuk mendorong feses ke sekolan. Feses mengalir ke
perkebunan atau tempat HPT.
Penyakit yang sering terjadi menyerang ternak pedet adalah penyakit diare
dan kembung. Menurut (Nurdin,2016) menyatakan bahwa penyakit diare
disebabkan oleh pengelolaan yang sangat minim, seperti lingkungan yang kotor
dan kekurangan susu sehingga kondisi tubuh menurun.Menurut (Azizzadeh et al ,
2012) Kematian pedet tertinggi disebabkan oleh diare. Ciri-ciri penyakit diare
pada pedet yakni dilihat dari kotoran feses yang cair dan feses berwarna hijau
muda. Penanganan penyakit diare di BBPTU & HPT Baturraden adalah dengan
pemberian anti bakteri colibact bolus cair dengan dosis 1 ml per 20 kg bobot
badan dan vitamin biosalamin dengan dosis 3 ml per ekor yang dilakukan dengan
cara intramuscular. Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sedini mungkin
dengan pemberian kolostrum tepat waktu, susu diberikan dalam keadaan hangat,
berikan rumput yang kering atau telah dilayukan, kandang selalu bersih, dan pedet
ditempatkan pada kandang individu.
Penyakit kembung (bloat) adalah kondisi terlalu merengangnya rumen dan
retikulum oleh banyaknya gas berasal dari fermentasi, baik bercampur dengan
makanan padat maupun terpisah. Penyebab terjadinya bloat adalah gangguan
eruktasi, absorps CO2, dan gangguan flatus (Ako 2013). Penanganan penyakit
kembung yang pertama dilakukan yaitu dengan metode herbal yaitu dengan
menggunakan kunyit yang dicampur bersama gula merah dan air hangat.
Kemudian penanganan selanjutnya yaitu pengobatan secara tradisional dengan
pemberian minyak kayu putih secukupnya yang dicampur dengan irisan bawang
merah secukupnya, pemberian dilakukan dengan cara mengoleskan pada bagian
perut pedet yang membesar. Pemberian obat timpanol dalam bentuk cair atau anti
bloat dengan dosis 25 ml per ekor dengan menggunakan tambahan air hangat
sebanyak 100 ml, pemberian obat dilakukan dengan metode oral.
Pencegahan penyakit selanjutnya pada ternak pedet yaitu dengan pemberian
obat cacing flukicide dengan kandungan 12.5% dilakukan pada umur 6 bulan pada
pedet lepas sapih. Pemberian dilakukan setiap 3 bulan sekali dengan dosis 6 ml
per 100 kg bobot badan diberikan dengan metode oral yang dilakukan oleh
keswan BBPTU & HPT Baturraden.
Gambar 11 persediaan obat - obatan 1
5.3 Manajemen Pemeliharaan Dara
Pemberian pakan sapi dara di UPTD BPT-SP dan HPT terdiri dari pakan
hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan berupa rumput gajah (Pennisetum
purpureum) dan legume Indigofera yang sebelum diberikan hijauan tersebut di
potog-potong menggunakan mesin chopper. Pencacahan atau pemotongan ini
bertujuan agar meningkatkan tingkat palatabilitas pada pakan. Menurut pendapat
Tilman et al (1998), bahwa perlakuan pakan yang dipotong atau digiling dapat
meningkatkan konsumsi pakan dan meningkatkan pencernaan. Pemberian pakan
hijauan dilakukan dengan frekuensi tiga kali yaitu pagi, siang dan sore hari pada
pukul 08.00 WIB, 12.00 WIB dan 15.00 WIB. Jumlah pemberian pakan hijauan
pada sapi dara sebanyak 50 kg/ekor/hari , yang ditakar menggunakan mesin
jaylor.
Pakan konsentrat yang diberikan di BBPTU & HPT Baturraden untuk sapi
dara diberikan 5 kg/ekor/hari, dilakukan dengan frekuensi dua kali yaitu pagi dan
sore pukul 08.00 WIB dan 15.00 WIB. Konsentrat yang diberikan yaitu konsentrat
komersil yang kandungannya nutrisinya sesai dengan yang dibutuhkan sapi.
Pemberian konsentrat menggunakan ember yang memeliki takaran 5 kg, dan
diberikan setelah pakan rumput. Sudono et al (2003) menyatakan bahwa
pemberian pakan berupa rumput 10% dan konsentrat 1-1.5% dari bobot hidup.
Selain itu, konsentart diberikan bersamaan dengan pemberian mineral, hal ini
bertujuan untuk menguatkan otot dan tulang sehingga ternak tidak mudah
terserang penyakit dan tidak mudah ambruk. Pemberian mineral sebanyak 0,5 kg
– 2 kg/100 kg pakan, menurut Achroni (2013) menyatakan bahwa mineral
berfungsi untuk membentuk tulang (kerangka), gigi, darah, jaringan tubuh, dan
untuk berproduksi serta merupakan komponen enzim yang berfungsi penting
dalam proses metabolisme.
Selain pemberian pakan utama berupa konsentart dan hijauan. Sapi perah
dara diberi pakan tambahan yaitu silase. Silase merupakan pakan yang diawetkan
dengan cara fermentasi secara anaerob dari bahan baku yang berupa tanaman
hijauan yang dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang disebut silo selama
kurang lebih 3 minggu. Silase yang digunakan berupa tebon tanaman jagung tanpa
adanya tambahan apapun. Pemberian silase dilakukan dengan frekuensi satu kali
dengan jumlah 2 kg/ekor/hari pada pukul 12.00 WIB. Pemberian pakan tambahan
silase sifatnya tidak kontinyu artinya hanya diberikan pada saat tersedia bahannya
dan stoknya.
Air minum yang diberikan di BBPTU & HPT Baturraden pada sapi perah
ara dilakukan secara adlibitium. Menurut Siregar (1995), bahwa cara yang paling
baik untuk memenuhi kebutuhan air minum ternak ruminansia adalah dengan
penyediaan air yang selalu ada dalam kandang sekitar 30 liter – 40 liter/ekor/hari.
6.1 Perkandangan
Kandang individu atau ikat yang ada di BBPTU & HPT Baturraden
merupakan kandang sapi laktasi kandang tersebut merupakan kandang semi
modern yang bertipe permanen terbuat dari beton. Arah kandang membujur dari
timur ke barat terdiri atas dua baris yang saling membelakangi tail to tail, didepan
area kandang terdapat kolam dipping untuk kaki tipe kandang terbuka, tipe atap
monitor lantai terbuat dari semen alasnya dari karpet karet, tiang dan kerangka
dari besi serta atap dari seng. Proses pemerahan sapi dilepas dan digiring lewat
gang way menuju tempat pemerahan.
Gambar 22 kandang individu/ikat
6.1.3 Kandang Free Stall Barn
Kandang Free Stall Barn yang ada di BBPTU & HPT Baturraden
merupakan kandang sapi laktasi kandang tersebut merupakan kandang modern,
arah kandang membujur dari arah timur kearah barat terdiri dari dua baris sejajar
dengan ada pengunci kepala sapi agar pada saat makan tidak bolak balik, didepan
area kandang terdapat kolam dipping untuk kaki, tipe kandang terbuka, tipe atap
monitor, lantai terbuat dari semen alasnya dari karpet karet, tiang dan kerangka
dari besi serta atap dari seng Kapasitas dari kandang Free Stall Barn adalah 150
ekor. Untuk proses pemerahan sapi digiring lewat gang way menuju tempat
pemerahan.
Jenis dan jumlah pakan yang diberikan pada kandang laktasi dapat dilihat
pada tabel berikut.
Bungkil Kelapa 20
Bungkil Kedelai 4
Pollard 26
Mineral 2
Onggok 23
Dedak 5
Total 100
Gambar 29 Recording pengambilan HPT
6.3 Sanitasi Kandang
Pemerahan sapi perah laktasi di BBPTU & HPT Baturraden dilakukan dua
kali pemerahan dalam satu hari, pemerahan ini dilakukan sesuai dengan produksi
susu yang dihasilkan. Jadwal pemerahan yang teratur dan seimbang akan
memberikan produksi susu yang lebih baik dari pada pemerahan yang tidak
teratur dan seimbang. Sebelum pemerahan dilakukan, ambing terlebih dahulu di
cuci agar susu tidak terkontaminasi oleh kotoran. Kemudian menyiapkan
peralatan yang sebelumnya telah dibersihkan untuk memerah. Pemerahan
dilakukan menggunakan alat perah otomatis, alat ini sudah bisa langsung
digunakan tanpa menguras energy yang lebih dari pekerja. Peralatan pemerahan
yang disiapkan yaitu mesin perah, ember, kain, milk can.
Sistem pemerahan pada BBPTU & HPT Baturraden menggunakan mesin.
Mesin perah yang digunakan yaitu pipeline system (sistem pipa) dan mesin perah
portable system. Mesin perah pipeline system digunakan pada kandang pemerahan
farm limpakuwus yang susunya langsung dialirkan ke cooling unit sehingga lebih
efektif, mempermudah proses pemerahan dan lebih terjaga kualitas susu.
Sedangkan pada kandang di farm tegalsari menggunakan portable system yang
mesin perahnya dapat dipindahkan dari satu ternak ke ternak lain, namun susu
hasil pemerahan harus dipindah dengan menyaring susu mesin portable ke milk
can. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan susu dengan benda asing seperti
kotoran atau bulu yang ikut saat proses pemerahan. Kemudian di angkut oleh
petugas kandang dengan menggunakan gerobak ke cooling unit agar susu tetap
terjaga kualitasnya. Untuk susu yang diperah untuk kebutuhan pedet langsung
dipisahkan dan diberikan langsung pada pedet. Setelah selesai dilkukan
pemerahan, puting sapi di dipping menggunakan masofilm. Menurut Safangat dkk
(2013) teat dipping setelah pemerahan harus dilakukan karena dapat mencegah
mikroba masuk kedalam puting sehingga mastitis dapat di cegah dan
dikendalikan. Lalu alat pemerah di cuci dengan air panas.
Susu yang dihasilkan dari sapi di BBPTU & HPT Baturraden diperah
melalui pipa maupun menggunakan mesin perah portable akan dimasukan ke
dalam coolong unit (bulk cooler) yang bersuhu 3-5oC yang dilengkapi dengan
pengaduk (agrigator). Hal ini dilakukan untuk menjaga susu tidak tercemari
bakteri atau bakteri patogen yang ada pada susu tidak dapat berkembang karena
susu adalah salah satu hasil pangan dari hewan yang mudah rusak (perishable).
Susu segar setiap hari dijual kepada konsumen pada pagi hari setelah pemerahan
dalam bentuk kemasan plastik per 1 L. Sisa susu segar yang tidak dikemas,
disimpan di cooling unit.
Pencatatan produksi susu dilakukan disetiap kandang selama satu minggu
sekali pada hari rabu. Hal ini untuk mengetahui kemampuan berproduksi susu dari
setiap ekor sapi perah induk yang dipelihara di BBPTU & HPT Baturraden. Dari
kemampuan berproduksi susu tersebut akan dapat ditentukan apakah sapi-sapi
perah yang dipelihara ekonomis untuk dipelihara terus, dan apakah sapi perah
induk dapat dijadikan bibit atau tidak.
Masa kering kandang merupakan masa saat sapi perah berproduksi namun
harus diberhentikan pemerahannya. Masa kering kandang biasa terjadi pada akhir
bulan ketujuh usia kebuntingan. Masa kering kandang juga merupakan masa
persiapan indukan mejelang melahirkan (Syarif dan Harianto, 2011).
6.5.1 Proses Kering Kandang
Waktu pengeringan pada ternak yang diterapkan di BBPTU & HPT Cikole
adalah ternak yang memasuki umur kebuntingan 7 bulan. Waktu pengeringan
ternak berlangsung selama 2 bulan atau 60 hari. Waktu pengeringan sangat
berpengaruh terhadap produksi susu pada laktasi berikutnya. Waktu kering yang
optimal yaitu berkisar diantara 40 sampai 69 hari. Apabila waktu pengeringan
terlalu singkat, misalnya 20 sampai 29 hari akan berdampak pada penurunan
produksi susu pada laktasi berikutnya (Schaeffer dan Henderson, 1972., cit.
Anggraeni, 2007).
Berdasarkan pada uraian diatas, maka waktu pengeringan yang diterapkan di
BBPTU & HPT Baturraden, sudah sesuai dengan materi yang didapat di
perkuliahan, yaitu pengeringan pada ternak selama 2 bulan atau 60 hari sebelum
sapi tersebut melahirkan. Menurut Fanani (2009), sapi kering kandang dimasukan
ke dalam kandang melahirkan. Panjang pendeknya kering kandang mempengaruhi
produksi susu laktasi berikutnya. Kering kandang yang terlalu pendek akan
mengakibatkan produksi susu berkurang 5-10% pada masa laktasi berikutnya,
sedangkan kering kandang yang dilakukan lebih dari 60 hari tidak akan
menambah produksi susu. Menurut Anggraeni (2007), lama kering yang singkat
dapat merugikan pada produksi susu selanjutnya maka waktu tersebut cukup
untuk memberikan waktu bagi sel-sel epithel ambing untuk beregresi, proliferasi,
dan diferensiasi.
6.5.3 Pemberian Pakan Sapi Kering Kandang
Pakan yang diberikan pada sapi yang sedang mengalami kering kandang di
BBPTU & HPT Baturraden berupa hijauan dan konsentrat komersial, dengan
tambahan silase. Pakan yang diberikan pada sapi yang sedang kering kandang
berbeda dengan pakan yang diberikan pada sapi laktasi yang belum dikeringkan.
Sapi kering kandang diberikan pakan hijauan sebanyak 50 kg/ekor/hari dengan
frekuensi pemberian sebanyak tiga kali dalam sehari dan pemberian konsentrat
komersial sebanyak 5 kg/ekor/hari dengan frekuensi pemberian sebanyak satu kali
dalam sehari. Ternak kering juga diberikan silase sebanyak 5 kg/ekor/hari dengan
frekuensi pemberian sebanyak satu kali dalam sehari. Namun perbedaan
pemberian pakan terletak pada pemberian konsentrat. Konsentrat yang diberikan
pada sapi kering lebih sedikit dibandingkan dengan konsentrat yang diberikan
pada sapi laktasi. Hal ini dimaksudkan agar produksi susu berkurang. Ako (2013),
menyatakan bahwa ciri-ciri fisiologis ternak pada masa kering adalah tingkat
kebutuhan nutrisi rendah, kebutuhan digunakan untuk memenuhi hidup pokok,
dan perkembangan janin.
Gambar 41
Penggiringan sapi Gambar 42 Lahan Gambar 43 Distribusi
penggembalan pakan sapi
Gambar 44
Persediaan obat -
obatan
Gambar 45
Gambar 46
Pemotongan kuku
Penyuntikan obat
sapi
6.5.5.1 Diare atau Mencret
Pada sapi perah, kejadian mastitis lebih sering disebabkan oleh infeksi
bakteri dibandingkan oleh agen penyebab lainnya seperti cendawan atau kapang
(Karimuribo et al, 2008). Faktor yang menyebabkan mastitis yaitu, lingkungan,
terutama sanitasi dan higienis lingkungan kandang tempat pemeliharaan, posisi
dan keadaan lantai, sistem pembuangan kotoran, sistem pemerahan, iklim, serta
peternak itu sendiri dan peralatan yang digunakan.
Mastitis dibagi menjadi dua macam, mastitis klinis dan subklinis. Pada
BBPTU & HPT Baturraden yang sering ditemukan adalah gejalas mastitis
subklinis. Yang ditandai dengan keadaan abnormalitas pada ambing dan susu
yang dihasilkan. Secara fisik perubahan susu yang terjadi adalah menggumpal
atau cair seperti air, terdapat darah atau nanah pada susu. Mastitis klinis juga
menunjukkan gejala panca radang, yaitu panas, bengkak, sakit, terasa keras dan
sakit bila dipegang (Nurdin, 2011). Pada BBPTU & HPT Baturraden penanganan
penyakit ini dilakukan dengan membuang susu pada ambing yang mengalami
peradangan sampai tuntas, menggunakan full hand (seluruh jari). Hal ini bertujuan
untuk membuang atau mengeluarkan kuman yang terdapat dalam ambing yang
dapat menyebabkan penularan pada ambing-ambing lainnya lalu, menyuntikkan
obat mastilax dengan dosis 5 ml melalui puting sapi intramammary 1syringe yang
mengalami radang, dan dilakukan selama 3 hari. Susu sapi yang telah diberikan
obat tidak boleh dikonsumsi selama tiga hari. Pada fase kering diberikan obat
dryclox untuk mencegahnya bakteri masuk. Setelah pemerahan dilakukan,
celupkan puting pada cairan iodine. Cara pengobatan mastitis pada sapi kering
kandang dan sapi laktasi sama, yang berbeda yaitu kandungan obat yang
digunakan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan terhadap mastitis adalah
dengan membersihkan lantai kandang secara teratur, menjaga keadaan ambing
tetap bersih dan higienis setiap akan dilakukan pemerahan, melakukan teat
dipping setelah pemerahan dengan menggunakan larutan yodium dan melakukan
pemeriksaan mastitis secara rutin.
6.6 Reproduksi
6.6.1Deteksi Estrus
Deteksi estrus yang tepat merupakan faktor yang penting dalam program
perkawinan agar fertilisasi dapat dilakukan pada saat yang tepat. Deteksi estrus
yang dilakukan di BBPTU & HPT Baturraden menggunakan cara manual atau
visual dengan melihat sapi yang mengeluarkan tanda – tanda estrus (vulva merah,
bengkak, dan mengeluarkan lendir). Sapi yang terdeteksi estrus kemudian dicatat
nomor eartag dan disesuaikan dengan data pencatatan untuk melihat tanggal
beranak terakhir. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui masa kosong pada sapi
tersebut. Sapi di BBPTU & HPT Baturraden yang telah dilewati masa kosong 60
hari akan dilakukan inseminasi. “Sapi birahi yang telah melewati masa kosong 60
sampai 70 hari adalah sapi yang layak untuk diinseminasi, karena perkawinan atau
inseminasi sebaiknya dilakukan sekitar 60 hari setelah partus” (Feradis 2010).
6.6.2 Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan dibagi menjadi dua cara yaitu perkawinan alam dan
perkawinan buatan yang biasa dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB).
Perkawinan alam merupakan perkawinan yang terjadi secara alami tanpa campur
tangan manusia, sedangkan perkawinan buatan atau Inseminasi Buatan (IB)
adalah perkawinan dengan bantuan terknologi serta campur tangan manusia.
Menurut Fanani (2009), Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya
memasukkan semen kedalam saluran reproduksi hewan.Secara umum teknik IB
terdiri dari dua metode yakni metode inseminasi vaginaskop atau speculum dan
metode rectovaginal. Keberhasilan kebuntingan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satu faktor yang dominan adalah posisi deposisi semen dalam saluran
reproduksi ternak betina. Faktor inseminator dalam pelaksanaan Inseminasi
Buatan (IB) adalah salah satu dari lima aspek penentu keberhasilan IB, yakni
kualitas semen beku ditingkat peternak, pengetahuan dan kepedulian peternak
dalam melakukan deteksi birahi, Body Condition Score (BCS) sapi, kesehatan
ternak terutama yang terkait dengan alat-alat reproduksi, serta keterampilan dan
sikap inseminator, dan waktu IB yang tepat (Feradis 2010). Body Condition Score
(BCS) sapi yang dikawinkan sekitar BCS 3-4.Perkawinan yang dilakukan di
BBPTU & HPT Baturraden adalah perkawinan buatan atau yang disebut
Inseminasi Buatan (IB). Persiapan dalam melakukan inseminasi sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah perkawinan ternak. Persiapan
inseminasi tersebut meliputi: proses pengecekan data – data sapi yang estrus,
kebersihan alat – alat inseminasi, proses dalam pengambilan straw dari container,
serta persiapan air hangat untuk thawing straw dengan suhu yang tepat. Waktu
yang tepat dalam melakukan inseminasi adalah kunci proses perkawinan. Kriteria
dalam perkawinan yang diterapkan di BBPTU & HPT Baturraden yaitu dilakukan
pada dara berumur 14 sampai 16 bulan dengan kisaran bobot badan 285 – 300 Kg
sehingga dihrapkan pada umur 24- 25 bulan dapat beranak pertama dan
mengasilkan produksi susu.
Prosedur pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) yang dilakukan di BBPTU &
HPT Baturraden yaitu diawali melapor kepada pihak inseminator jika terdapat
sapi yang estrus agar pihak inseminator dapat menentukan waktu yang tepat untuk
pelaksanaan IB, prosedur yang kedua adalah mempersiapkan alat – alat inseminasi
(gunting arteri, insemination gun, plastic sheet, glove, termos straw, termos
thawing,pingset dan menyiapkan air untuk thawing dengan suhu 35 sampai 37°
C), prosedur yang ketiga adalah inseminator menggunakan sarung tangan (glove)
yang telah diberi pelicin untuk melakukan palpasi rektal. Setelah itu ambil straw
yang berisi semen beku di dalam termos straw yang diisi N2 cair, kemudian
melakukan proses pencairan (thawing) menggunakan air hangat suhu 35 sampai
37° C selama 30 detik tetapi jika menggunakan air biasa proses pencairan
(thawing) dilakukan selama >30 detik. Jumlah straw yang dibawa inseminator
disesuaikan dengan jumlah sapi yang akan di inseminasi di BBPTU & HPT
Baturraden.
Proses inseminasi dilakukan oleh inseminator yang telah mempunyai
sertifikat. Setelah semen dicairkan (thawing), straw dimasukan kedalam IB gun
dan gunting sumbat lab yang berada di ujung straw serta tutup menggunakan
plastic sheet, dan kencangkan cincin IB gun. Setelah itu tembakan semen pada
cervix posisi 1 cm dari ujung cervix, kemudian catat identitas sapi yang telah di
inseminasi pencatatan meliputi no. Recording dan nama straw yang di IB kan.
6.7 Pemasaran
Rantai tataniaga pemasaran susu di BBPTU & HPT Baturraden ada 2 yaitu
dikirim ke koperasi dan ada yang olah langsung menjadi berbagai produk.
Koperasi
Susu yang didapatkan hasil pemerahan di BBPTU & HPT Baturraden diolah
dan diberi kemasan. Ada bermacam produk yang dihasilkan yaitu susu UHT,
permen caramel dan yogurt. Pelaksanaan produksi hanya dilakukan pada saat
event tertentu atau apabila ada pesanan.
Berikut ini adalah tabel jenis produk dan harga produk yang dihasilkan oleh
BBPTU & HPT Baturraden :
7.1 Kesimpulan
Dari hasil Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang kami lakukan di BBPTU &
HPT Baturraden, dapat diambil kesimpulan, bahwa manajemen pemeliharaan sapi
perah dari mulai laktasi, dara dan pedet sudah sesuai dengan standar. Mulai dari
pedet antara lain sanitasi, pemberian kolostrum, pakan, pertambahan bobot badan,
penanganan penyakit pada pedet sesuai sehingga menghasilkan bibit yang baik.
Serta pemeliharaan pada dara yang optimal dan sesuai dengan literatur yang
ditemukan dari mulai pakan, perkawinan, dan kebuntingan. Manajemen pada sapi
laktasi juga sudah di dilakuakn dengan cukup baik karena sudah sesuai Standar
Operasional Prosedur (SOP), yang diberlakukan oleh BBPTU & HPT Baturraden,
sehingga produksi susu sapi yang di hasilkan dapat mencapai rata-rata produksi
susu sapi FH di Indonesia .
7.2 Saran
Berdasarkan hasil praktek kerja lapang di BBPTU & HPT Baturraden dapat
disarankan bahwa perlu adanya pertimbangan persentase jumlah sapi produktif
(sapi laktasi, induk kering), dan sapi kurang produktif (sapi afkir/dibiarkan), atau
rasio Sapi pejantan/jantan, yang dalam sebuah farm karena persentase sapi
produktif (induk laktasi) berpengaruh terhadap cash flow , karena jika persentase
popuasi sapi kurang produktif terlalu banyak maka hasil penjualan susu terbebani
oleh modal operasional sapi – sapi yang kurang produktif.
Disamping itu juga perlu diperhatikan rasio jumlah pegawai yang bekerja di
BBPTU & HPT dan jumlah sapi yang dipelihara, karena dalam skala industri
sudah tidak efisien dengan pengeluaran tenaga kerga, dan hasil dari produk
penjualan susu yang dihasilkan, dan diharapkan BBPTU & HPT Baturraden,
menambah skala usaha, agar modal tenaga kerja menjadi lebih efisien, dan juga
memberi kesempatan lowongan kerja bagi masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. .Jakarta PT. Agro Media Pustaka
Achroni, Daud. 2013. Kiat Khusus Usaha Ternak Sapi Perah Skala Kecil.
Yogyakarta. Trans Idea Publishing.
Ako, A. 2013. Ilmu Ternak Perah Daerah Tropis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonimus. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Anggraeni. 2007. Pengaruh Lama Kering Pada Produksi Susu Sapi Perah.
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia 2007. Balai Penelitian Ternak.
Bogor. 167-173
Azizzadeh, et al. 2012. Factors Affecting Calf Mortality in Iranian Holstein Dairy
Herds. Preventive Veterinary Medicine. 104 (2012) : 335-340
Ditjenpkh, ‘Direktorat Jendral Pertanian dan Kesehatan Hewan’, 2014,
www.ditjenpkh.pertanian.go.id [Diakses 9 September 2019]
Djaja, W et al. 2009. Aspek Manajemen Usaha Sapi Perah. Pusat Penelitian
Pengembangan Peternakan. Bogor.
Fanani et al. 2013. Kinerja Produksi Sapi Perah Peternakan Friesian Holstein
(PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Tropical Animal
Husbandry. 2(1): 21-27
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Afabeta. Bandung
Fikar dan Ruhyadi. 2010. Buku Pintar dan Bisnis Ternak Sapi Potong .
Agromedia. Jakarta
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Frandson, R, D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Karimuribo, et al. 2008. Prevalence of Subclinical Masitis dan Associated Risk
Factors in Smallholder Dairy Coes in Tanzania. Vet Rec., 163 (1); 16-21
Marawali, et al. 2001. Dasar – Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Jakarta (ID).
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan
Kerja Sama PTN Indonesia Timur
Mukhtar, Ashry. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. Surakarta: LPP UNS Press.
Murti, T, W. 2014. Ilmu Manajemen dan Industri Ternak Perah. Bandung.
Pustaka Reka Cipta.
Nurdin, Ellyza. 2016. Ternak Perah dan Prospek Perkembangannya. Edisi
Pertama. Plantaxia. Surabaya.
Nurdin E. 2011. Manajemen Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Pane, I. 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Purwanto, H., D. Muslih. 2006. Tata Laksana Pemeliharaan Pedet Sapi Perah.
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian.
Rasyaf, M. 2004. Makanan Ayam Broiler. Jakarta : Penebar Swadaya
Rustamadji, B. 2004. Dairy Science I. Laboratory of Dairy Animal. Faculty of
Animal Science. Gadjah Mada University.
Rukmana. 2009. Pemeliharaan Sapi Perah Secara Intensif.Titian Ilmu. Bandung.
Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susus dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi
Produksi Ternak. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan
Samad, M, A. 2008. Animal Husbandry dan Veterinery Science. Vol II.
Myemensingh (Bangladesh): Bangladesh Agricultural University.
Schaeffer, et al. 1972. Effects of Days Dry and Days Open on Holstein Milk
Production. J Dairy Sci. 55 : 107 – 112
Setjenper,’Sekretariat Jendral Pertanian’, 2014,
www.epublikasi.setjen.pertanian.go.id [Diakses 9 September 2019]
Siregar, S. 1992. Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha Sapi Perah.
Penebar Swadaya. Jakarta
Siregar. 1995. Sapi Perah., Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. PT
Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, S.B. 2001. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, S.B. 2003. Teknis Pemeliharaan Ternak Sapi dan Analisis Usaha.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Soetarno, T. 2003. Manajemen Ternak Perah. Hand Out Mata Kuliah Ternak
Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gagjah Mada. Yogyakarta.
Sudono, et al. 2003. Beternak Sapi Perah Secaa Intensif. Jakarta (ID): Agromedia
Pustaka.
Sugeng, B. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
Sugeng, Y, B. 2003. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Supar. 2001. Pemberdayaan plasma Nutfah Mikroba Veteriner Dalam
Pengembangan Peternakan: Harapan Vaksin Escerrechia Coli
Enterotoksigenik, Enterpatogenik dan Verotoksigenik Isolate Local Untuk
Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada Anak Sapi dan Babi. Wartazoa
11 :36-43..
Syarif, E, K. Dan Harianto. 2011. Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Jakarta :
Agromedia Pusaka.
Tilman, et al. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Ke-6, Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Yani, A. 2007. Analisis dan Simulasi Distribusi Suhu Udara Pada Kandang Sapi
Perah Menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Tesis Sekolah
Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor
Kandang isolasi
Kandang Frehstall Recording evaluasi
Rearing Manggala