Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH CROSSBREEDING SAPI SIMMENTAL DAN

SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)


Dosen Pengampu Mata Kuliah Pemuliaan Ternak:
Prof. Dr. Ir. V. M. Ani. N., M.Sc

ANGGOTA KELOMPOK C - 1:

1. Muhammad Fatkhi Suad 175050100111044 / No. Abs 02


2. Mei Rika Novia Sari 175050100111047 / No. Abs 03
3. Muhammad Choirur R. 175050100111066 / No. Abs 04

KELAS C
_____________________________

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menulis makalah ini dengan judul “Cross Breeding Sapi
Simmental Dan Sapi Peranakan Ongole (PO)” dengan baik.

Adapun maksud dan tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas
terstruktur matakuliah Pemuliaan Ternak. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah mendukung dalam menyusun makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai pihak
untuk meningkatkan dan memperbaiki makalah agar menjadi lebih baik kedepannya.

Malang, 11 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan .............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 3
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................. 5
3.1 Pengertian Crossbreeding ................................................................................ 5
3.2 Karakteristik Sapi Peranakan Ongole .......................................................... 5
3.3 Karakteristik Sapi Simmental ....................................................................... 6
3.1 Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO) .............................................. 6
3.1.1 Bobot badan awal, bobot badan akhir dan PBBH ................................... 7
3.1.2 Bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, komponen karkas, dan
meat-bone rati ......................................................................................... 8
3.2 Perbandingan Karakteristik Sapi Simmental-PO dan PO ......................... 9
3.2.1 Kuantitatif ............................................................................................... 9
3.2.2 Kualitatif .............................................................................................. 10
3.3 Dampak Crossbreeding Terhadap Kinerja Reproduksi Sapi ................... 11
3.3.1 Kinerja Reproduksi Sapi Betina Crossbreeding ................................... 13
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 15

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Bobot badan awal, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan harian
sapi PO dan SimPO yang dipelihara secara feedlot (initial body weight, final
body weight, and average daily gain of PO and SimPO crossbred cattle
raised in the feedlot system) ............................................................................. 7
2. Bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, komponen karkas dan meat-
bone ratio sapi PO dan SimPO yang dipelihara secara feedlot (slaughter
weight, carcass weight, carcass percentage, carcass component and meat-
bone ratio of PO and SimPO crossbred cattle raised in the feedlot system) ... 8
3. Hasil karakteristik kuantitatif Sapi PO dan SimPo dengan gigi seri
berganti ............................................................................................................ 9
4. Hasil karakteristik kualitatif Sapi PO dan SimPO dengan gigi seri berganti 2
.......................................................................................................................... 10
5. Kinerja reproduksi sapi PO dan crossbred Simental-PO aseptor inseminasi
buatan di D.I. Yogyakarta ............................................................................... 12
6. Reproduksi klinis sapi PO dan crossbred Simental-PO aseptor inseminasi
buatan di D.I. Yogyakarta ............................................................................... 12
7. Kinerja reproduksi sapi PO dan silangan Simmental-PO akseptor IB ............ 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peternakan adalah salah satu bidang pertanian yang menghasilkan komoditas daging,
susu, telur dan hasil olahannya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kebutuhan gizi
masyarakat Indonesia adalah peternakan sapi potong melalui konsumsi daging. Keberhasilan
peternakan sapi potong tidak hanya terletak pada pengembangan jumlah ternak, melainkan
usaha untuk perawatan dan pengawasan sehingga diharapkan kesehatan ternak dapat terjaga.
Program peningkatan genetik merupakan salah satu orientasi utama dalam usaha peternakan
sapi potong yang sudah maju.
Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak strategis yang dapat mendukung
stabilitas nasional. Produksi daging nasional belum mampu mengimbangi permintaan
konsumen di dalam negeri, sehingga memacu peningkatan jumlah impor daging maupun sapi
bakalan dari negara lain. Peningkatan impor sapi potong dan daging merupakan indikasi
peningkatan permintaan daging dan atau ketidaksanggupan pemenuhan kebutuhan yang harus
disuplai oleh produksi sapi potong dalam negeri. Pada tahun 2004, produksi daging nasional
baru tercapai 66% (380.059 ton) dan kekurangannya dicukupi melalui impor (34%). Pasokan
impor daging diprediksikan semakin meningkat hingga mencapai 70% pada tahun 2020.
Dalam upaya peningkatan produksi daging dalam negeri dan pencapaian program
kecukupan daging, pemerintah telah menerapkan kebijakan melalui peningkatan populasi dan
produktivitas sapi potong, antara lain dengan intensifikasi kawin alam, Inseminasi Buatan
(IB) dan pemanfaatan betina eks impor serta penjaringan ternak sapi produktif di peternakan
rakyat sebagai upaya mempertahankan mutu bibit ternak. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan mutu genetik sapi PO adalah memasukkan darah baru atau
kawin silang (crossbreeding) melalui program Inseminasi Buatan (IB) dengan menggunakan
mani beku dari dari beberapa bangsa yaitu: Simmental, Limusin, Brahman, dan PO yang di
IB ke sapi PO betina (Trismiati dkk, 2012).
Hal ini juga di dukung oleh pendapat Parera dan Bambang, (2014) yang menyatakan
dalam rangka meningkatkan populasi ternak untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri maka
pemerintah melakukan program pegembangan peternakan seperti crossbreeding. Simmental
Peranakan Ongole (SimPO) merupakan salah satu hasil program crossbreeding ternak sapi di
Indonesia. Keunggulan beternak sapi SimPO memiliki bobot lahir yang tinggi, adaptasi yang
baik dengan lingkungan dan pakan serat kasar serta memiliki penampilan yang eksotik.
Alasan ini mengakibatkan nilai jual yang lebih tinggi, pendapatan peternak lebih
besar, serta dapat menjadi kebanggaan peternak. Pada dasarnya sapi hasil persilangan ini
(Simpo) diperuntukkan sebagai sapi final stock (sapi yang dipersiapkan untuk langsung
dipotong). Namun, pemanfaatan sapi-sapi ini sebagai indukan menyebabkan beberapa
fenomena yang disadari atau tidak, justru merugikan peternak. Selain juga menyebabkan
adanya ancaman kepunahan bangsa sapi lokal.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat di rumuskan masalahnya sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana sistem perkawinan crossbreeding?
1.2.2 Bagaimana karakteristik sapi PO, Simmental dan SimPO?
1.2.3 Bagaimana perbandingan antara sapi PO dan sapi SimPO?
1.2.4 Bagaimana dampak dari crossbreeding terhadap kinerja reproduksi sapi?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui sistem perkawinan crossbreeding?
1.3.2 Untuk mengetahui karakteristik sapi PO, Simmental dan SimPO?
1.3.3 Untuk mengetahui perbandingan antara sapi PO dan sapi SimPO?
1.3.4 Untuk mengetahui dampak dari crossbreeding terhadap kinerja reproduksi sapi?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi hasil silangan mempunyai pertumbuhan yang cepat dan tubuh yang besar.
Persilangan atau crossbreeding bermanfaat untuk dua alasan utama. Pertama, sistem
persilangan yang baik dirancang agar memungkinkan peternak untuk menggabungkan
karakteristik yang diinginkan dari beberapa keturunan, agar dapat menutupi beberapa sifat
yang lemah dari suatu keturunan. Manfaat kedua dari heterosis, yang disebut sebagai hibrida.
Manfaat persilangan ini juga memungkinkan produsen untuk menghasilkan kawanan dengan
keturunan baru (Endrawati dkk, 2010). Peningkatan produktivitas sapi potong melalui
program persilangan (crossbreeding) antara sapi Limousin atau Simmental dengan sapi
Peranakan Ongole telah lama dilakukan melalui sistem perkawinan inseminasi buatan (IB).
Tujuan utama dari persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang
semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan (Trifena dkk, 2011)
Sapi Ongole termasuk Bos Indicus dan merupakan sapi tipe dwiguna (pekerja dan
pedaging). Ciri sapi Peranakan Ongole adalah warna kulit putih kelabu di seluruh tubuh dan
bagian kepala, leher, serta lutut berwarna gelap sampai hitam. Ukuran tubuh sapi Peranakan
Ongole yang besar dengan kepala relatif pendek, dahi cembung, bertanduk pendek, berpunuk
besar, bergelambir dan mempunyai lipatan - lipatan kulit di bawah perut serta leher (Astuti et
al., 2002). Menurut Trifena dkk, (2011) sapi simmental peranakan ongole (SIMPO)
merupakan hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi PO. Hasil persilangan
keturunan pertama antara sapi Simmental dengan sapi PO yaitu sapi SIMPO memiliki
proporsi darah sapi Simmental dan sapi PO masing-masing 50%. Hal ini juga diperkuat
dengan pernyataan Sahala dkk, (2016) sapi Simmenal Peranakan Ongole merupakan sapi
hasil persilangan antara pejantan sapi Simmental dengan induk sapi Peranakan Ongole (PO)
yaitu kebanyakan merupakan hasil perkawinan dengan inseminasi buatan (IB).
Tujuan persilangan yaitu mendapatkan ternak sapi yang memiliki produktivitas tinggi,
dalam arti bobot badan, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis yang cenderung
panas. Saat ini, sapi SIMPO merupakan salah satu sapi silangan yang banyak digemari dan
diternakkan oleh peternak lokal karena kemampuan pertumbuhannya yang cepat dan
menguntungkan secara ekonomis (Suliani dkk, 2017).
Rerata pertambahan bobot badan harian sapi PO adalah 0,86±0,18 kg/ekor/hari dan
SimPO adalah 0,99±0,20 kg/ekor/hari. Perbedaan yang tidak nyata ini diduga karena pakan
yang diberikan pada kedua kelompok kualitasnya sama (Carvalho dkk, 2010). Menurut
Soeparno (2005) bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain genotip, jenis
kelamin, hormon, dan kastrasi. Jenis, komposisi kimia, dan konsumsi pakan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan. Konsumsi protein dan energi yang tinggi akan
menghasilkan pertumbuhan yang cepat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain
genotip, jenis kelamin, hormon, dan kastrasi. Jenis, komposisi kimia, dan konsumsi pakan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan. Konsumsi protein dan energi yang
tinggi akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat (Soeparno, 2005).

3
Secara teoritis, sapi crossbred hasil IB, terutama yang proporsi Bos taurus-nya lebih
dari 50% mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar. Sebagai konsekuensinya, kebutuhan
pakan untuk maintenance jauh lebih besar dibandingkan dengan sapi lokal yangukurannya
lebih kecil. Sering dijumpai peternak yangtidak mampu menyediakan pakan cukup, sampai
dapat menyebabkan kematian pada ternaknya. Salah satu penyebab kegagalan program IB di
NTT adalah faktor kekurangan pakan, karena ada interaksi antara genotipe dengan
lingkungan (GEI). Lima puluh persen hasil IB adalah anak betina yang harus diperlihara
untuk replacement. Bila sapi betina silangan ini kurang pakan, badan akan menjadi sangat
kurus, dan biasanya sulit berahi, atau berahi tapi tidak nyata (silent heat), atau ada berahi
tetapi tidak terjadi kebuntingan (rebreeding). Seandainya sapi silangan ini mampu bunting,
tetapi kemudian kekurangan pakan, maka kemungkinan besar akan terjadi keguguran
(Diwyanto dan Inounu, 2009).
Dari beberapa laporan (Putro, 2009; Sumadi, 2009) mengisyaratkan bahwa S/C sapi
silangan cenderung semakin meningkat, yang rata-rata di atas 2 (dua). Bahkan untuk
beberapa kasus banyak kejadian nilai S/C dapat mencapai di atas 3 (tiga), sehingga jarak
beranak lebih dari 18 bulan. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab rendahnya
angka konsepsi ini, yaitu: (i) kualitas semen di tingkat peternak menurun, (ii) kondisi
resepien yang tidak baik karena faktor genetik, atau faktor fisiologis karena kurang pakan,
(iii) deteksi berahi yang tidak tepat karena kelalaian peternak atau karena silent heat, serta
(iv) keterampilan inseminator yang masih perlu ditingkatkan.
Penurunan kinerja reproduksi ini oleh Diwyanto, (2002) diduga sebagai akibat adanya
pengaruh genetic environmental interaction, di samping kemungkinan telah banyak
terjadi inbreeding akibat persilangan yang tidak terencana dan tidak tercatat. Dari
pengamatan pedet-pedet hasil IB, perkawinan silang akan banyak memunculkan sifat-sifat
gen resesif, antara lain berbentuk kematian pedet dalam kandungan, lahir mati (stillbirth),
kasus-kasus teratologi seperti hidrosephalus dan atresia ani (tidak mempunyai lubang anus).

Konsumsi protein dan energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan
yang lebih cepat (Soeparno, 2005). Menurut Soeparno (2005), bobot hidup berkorelasi
dengan persentase lemak karkas, persentase karkas berkisar antara 50-60%.

4
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Crossbreeding


Crossbreeding adalah salah satu bentuk usaha perbaikan genetik, dimana salah satu
cara untuk melakukan crossbreeding yaitu melalui Inseminasi Buatan (IB), dengan cara
menyilangkan dua bangsa ternak yang berbeda sehingga diharapkan meningkatnya sifat
heterozigot yang berujung pada menutupi kekurangan dari masing-masing individu ternak.
Pada peternakan sapi khusunya sapi potong secara luas digunakan dalam komersial produksi
daging sapi karena manfaat yang ditawarkan produsen sapi.
Perbaikan efisiensi dapat didramatisir jika kombinasi persilangan dapat digunakan
secara tepat. Persilangan tidak dapat menghilangkan kebutuhan sapi ras yang tinggi
dikarenakan sistem yang efisien yang baik ditandai dengan dihasilkannya sapi ras unggul.
Seperti menurut Endrawati dkk, (2010) yang menyatakan bahwa sapi hasil silangan
mempunyai pertumbuhan yang cepat dan tubuh yang besar. Persilangan atau crossbreeding
bermanfaat untuk dua alasan utama. Pertama, sistem persilangan yang baik dirancang agar
memungkinkan peternak untuk menggabungkan karakteristik yang diinginkan dari beberapa
keturunan, agar dapat menutupi beberapa sifat yang lemah dari suatu keturunan. Manfaat
kedua dari heterosis, yang disebut sebagai hibrida. Manfaat persilangan ini juga
memungkinkan produsen untuk menghasilkan kawanan dengan keturunan baru.
Perbaikan performa sapi potong secara genetik melalui crossbreeding lebih banyak
dipraktikkan dibandingkan melalui cara seleksi. Hal ini dapat dimaklumi karena hasil
persilangan segera dapat diketahui dibandingkan hasil pelaksanaan seleksi, kelemahan
persilangan adalah peluang hilangnya plasma nutfah. Trifena dkk, (2011) menyatakan
peningkatan produktivitas sapi potong melalui program persilangan (crossbreeding) antara
sapi Limousin atau Simmental dengan sapi Peranakan Ongole telah lama dilakukan melalui
sistem perkawinan inseminasi buatan (IB). Tujuan utama dari persilangan adalah
menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa
ternak ke dalam satu bangsa silangan.

3.2 Karakteristik Sapi Peranakan Ongole


Bos Indicus atau sapi zebu merupakan sapi berpunuk yang pada awalnya berkembang
di India, tetapi saat ini sudah menyebar ke barbagai negara, termasuk negara tropis, seperti
Indonesia, Afrika dan Amerika. Sapi Ongole, Peranakan Ongole, dan Brahman merupakan
keturunan sapi Zebu. Sapi Peranakan Ongole merupakan sapi hasil grading up antara Sapi
Ongole jantan dengan Sapi Jawa betina yang dilakukan sekitar tahun 1930. Sapi Ongole
termasuk Bos Indicus dan merupakan sapi tipe dwiguna (pekerja dan pedaging).
Ciri Sapi Peranakan Ongole adalah warna kulit putih kelabu di seluruh tubuh dan
bagian kepala, leher, serta lutut berwarna gelap sampai hitam. Ukuran tubuh sapi Peranakan
Ongole yang besar dengan kepala relatif pendek, dahi cembung, bertanduk pendek, berpunuk
besar, bergelambir dan mempunyai lipatan - lipatan kulit di bawah perut serta leher (Astuti et
al., 2002).

5
Sapi PO Betina
3.3 Karakteristik Sapi Simmental
Bos Taurus merupakan bangsa - bangsa sapi potong dan sapi perah di Eropa. Sapi -
sapi tersebut akhirnya menyebar ke berbagai penjuru dunia seperti Amerika, Australia, dan
Selandia Baru. Sapi keturunan Bos Taurus yang dikembangkan di Indonesia, antara lain
Aberdeen Angus, Hereford, Shorthorn, Charolais, Simmental, dan Limousin.
Sapi Simmental berasal dari sebuah provinsi di Prancis yang banyak berbukit batu.
Warnanya mulai dari kuning sampai merah keemasan, tanduknya berwarna coklat,
perbedaanya dengan sapi limousine yaitu pada kepalanya ada segitiga bulu berwarna putih
dan pada kakinya juga berwarna putih, bobot lahirnya tergolong besar. Betina dewasa dapat
mencapai 575 kg sedangkan pejantan dewasa mencapai berat 1100 kg. Fertilitas cukup tinggi,
mudah melahirkan, mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhannya
cepat. Pertambahan bobot badan harian sapi simental bisa 0,80 - 1,60 kg/hari.

Sapi Simmental Jantan

3.4 Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO)


Menurut Trifena dkk, (2011) sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO) merupakan
hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi PO. Hasil persilangan keturunan pertama
antara sapi Simmental dengan sapi PO yaitu sapi SimPO memiliki proporsi darah sapi
Simmental dan sapi PO masing-masing 50%. Karakteristik sapi ini menyerupai sapi PO,
Simmental dan perpaduan kedua ciri sapi PO dan sapi Simmental, antara lain:
1) Warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih sampai coklat kemerahan,
2) Warna kipas ekor, ujung hidung, lingkar mata, dan tanduk ada yang berwarna hitam dan
coklat kemerahan,
3) Profil kepala datar, panjang dan lebar, dahi berwarna putih,
4) Tidak memiliki kalasa,
5) Mempunyai gelambir kecil,

6
6) Pertulangan besar, postur tubuh Panjang dan besar, warna tracak bervariasi dari hitam
dan coklat kemerahan.
Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Sahala dkk, (2016) sapi Simmenal
Peranakan Ongole merupakan sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Simmental dengan
induk sapi Peranakan Ongole (PO) yaitu kebanyakan merupakan hasil perkawinan dengan
inseminasi buatan (IB). Sapi Simmental PO mempunyai darah dari sapi Simmental dan
Peranakan Ongole, sehingga ciri-ciri sapi ini dapat menyerupai sapi Simmental, Peranakan
Ongole atau perpaduan ciri-ciri Simmental dan Peranakan Ongole. Selain pertambahan bobot
badan yang tinggi sapi SIMPO juga memiliki nilai ekonomis seperti yang dijelaskan Suliani,
dkk (2017) tujuan persilangan yaitu mendapatkan ternak sapi yang memiliki produktivitas
tinggi, dalam arti bobot badan, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis yang
cenderung panas. Saat ini, sapi SIMPO merupakan salah satu sapi silangan yang banyak
digemari dan diternakkan oleh peternak lokal karena kemampuan pertumbuhannya yang
cepat dan menguntungkan secara ekonomis.

Sapi SIMPO
Alasan peternak sapi potong di Indonesia lebih menyukai persilangan dengan Bos
taurus (Simmental dan Limousin), antara lain karena berat lahir lebih besar, pertumbuhan
lebih cepat, adaptasi baik pada lingkungan serta pakan yang sederhana, ukuran tubuh dewasa
lebih besar dan penampilan yang eksotik. Alasan ini mengakibatkan nilai jual lebih tinggi,
pendapatan peternak lebih besar, serta dapat menjadi kebanggaan peternak.
Kondisi saat ini program crossbreeding dalam grading up sapi lokal dengan semen
beku Simmental atau Limousin semakin banyak dijumpai di pedesaan indukan sapi silangan
F1 (50% darah Bos taurus), F2 (75%), F3 (87,5%), F4 (93,75%) dan F5 (96,875%). Fakta
menunjukkan bahwa sapi silangan indukan milik rakyat dengan darah Bos taurus lebih dari
87,5% mempunyai kecenderungan sulit bunting, bahkan dari fertilitasnya sudah kelihatan
adanya penurunan sejak F1.
3.4.1 Bobot badan awal, bobot badan akhir dan PBBH
Tabel 1. Bobot badan awal, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan harian
sapi PO dan SimPO yang dipelihara secara feedlot (initial body weight, final body weight,
and average daily gain of PO and SimPO crossbred cattle raised in the feedlot system)
Bangsa Sapi (cattle breed)
Variabel (variable)
PO SimPO
Bobot badan awal (kg) 315,6 ± 39,46 368,3 ± 13,23
Bobot badan akhir (kg) 383,3 ± 50,83 437,0 ± 11,62
ns
PBBH (kg/ekor/hari) 0,86 ± 0,18 0,99 ± 0,20
ns
non significant (P>0,05)

7
Rerata bobot badan awal, bobot badan akhir dan PBBH sapi PO dan SimPO selama
periode penggemukan tersaji pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan pertambahan bobot badan harian yang nyata dari kedua bangsa sapi yang
digunakan dalam penelitian. Rerata pertambahan bobot badan harian sapi PO adalah
0,86±0,18 kg/ekor/hari dan SimPO adalah 0,99±0,20 kg/ekor/hari. Perbedaan yang tidak
nyata ini diduga karena pakan yang diberikan pada kedua kelompok kualitasnya sama
(Carvalho dkk, 2010). Menurut Soeparno (2005) bahwa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan antara lain genotip, jenis kelamin, hormon, dan kastrasi. Jenis, komposisi kimia,
dan konsumsi pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan. Konsumsi
protein dan energi yang tinggi akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat.
3.4.2 Bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, komponen karkas, dan meat-
bone ratio
Tabel 2. Bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, komponen karkas dan meat-
bone ratio sapi PO dan SimPO yang dipelihara secara feedlot (slaughter weight, carcass
weight, carcass percentage, carcass component and meat-bone ratio of PO and SimPO
crossbred cattle raised in the feedlot system)
Bangsa Sapi (cattle breed)
Variabel (variable)
PO SimPO
ns
Bobot potong (kg) 395,66 ± 58,45 442,83 ± 11,40
Bobot karkas (kg) 195,00 ± 25,69a 224,17 ± 9,70b
Persentase karkas (%) 49,40 ± 1,27a 51,18 ± 0,70b
Komponen karkas (%)
Dagingns 81,31 ± 1,74 81,80 ± 2,37
Tulang ns 18,69 ± 1,74 18,19 ± 2,37
ns
Meat-bone ratio (%) 4,39 ± 0,50 4,57 ± 0,67
ns
non significant (P>0,05)
a.b
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Rerata bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, komponen karkas, dan meat-
bone ratio sapi PO dan SimPO dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata bobot potong dari kedua bangsa
sapi yang digunakan dalam penelitian. Rerata bobot potong PO 395,67±58,45 kg/ekor/hari
dan SimPO 442,83±11,40 kg/ekor/hari.
Perbedaan yang tidak nyata ini karena pakan yang diberikan kepada kedua perlakuan
kualitasnya sama dan menghasilkan PBBH yang tidak berbeda. Jenis pakan, konsumsi dan
komposisi kimia pakan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan. Konsumsi protein dan
energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat (Soeparno,
2005). Besarnya bobot karkas sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak saat sebelum dipotong
dan bobot kosong tubuh ternak. Bobot potong sangat berhubungan erat dengan pertumbuhan.
Pertumbuhan sangat ditentukan oleh faktor pakan yang diberikan sehingga dapat
menghasilkan bobot potong yang maksimal. Kondisi tersebut sangat berpengaruh langsung
terhadap bobot karkas dan persentase karkas. Menurut Soeparno (2005), bobot hidup
berkorelasi dengan persentase lemak karkas, persentase karkas berkisar antara 50-60%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata komponen karkas dari kedua perlakuan yang
meliputi persentase daging PO 81,31±1,74% dan SimPO 81,80±2,37%, dan persentase tulang
PO 18,69± 1,74% dan SimPO 18,19±2,37%. Persentase daging SimPO lebih besar dari PO,

8
sedangkan persentase tulang PO lebih besar dari SimPO, namun berdasarkan hasil analisa
statistik dari kedua perlakuan tersebut tidak terdapat perbedaan yang nyata. Perbedaan
persentase daging dan tulang disebabkan oleh adanya variasi lemak karkas yang tinggi.

3.5 Perbandingan Karakteristik Sapi Simmental-PO dan PO


Berikut adalah perbandingan antara sapi SimPO dan PO
3.5.1 Kuantitatif
Tabel 3. Hasil karakteristik kuantitatif Sapi PO dan Simpo dengan gigi seri berganti 2
Peubah Rata rata saat Gigi seri berganti 2
PO SIMPO
Bobot Badan 340,36 ± 46,21 387,48 ± 46,43
Lingkar Dada 154,84 ± 9,51 167,80 ± 7,98
Panjang Badan 111,94 ± 4,46 117,54 ± 7,00
Tinggi Pundak 127,48 ± 4,05 130,46 ± 3,46
a. Bobot Badan
Rata-rata bobot badan Sapi PO dengan gigi seri berganti 2 lebih rendah
dibandingkan dengan Sapi SimPO dengan gigi seri berganti 2. Pada umumnya akan
berbeda sekitar 40 – 100 Kg. Bangsa ternak mempengaruhi bobot badan ternak.
Pertambahan bobot hidup sapi Bos Taurus lebih baik daripada Bos Indicus. Faktor udara
yang tinggi dapat memengaruhi tingkat konsumsi pakan pada ternak. Suhu lingkungan
ternak dapat mempengaruhi suhu tubuh ternak, aktivitas organ-organ tubuh, kegiatan
merumput (makan) dan produksi. Dalam hal ini maka dengan crossbreeding sapi
Simmental PO mampu meningkatkan produktifitas yaitu pertambahan bobot badan. Hal
ini tentu diinginkan oleh peternak dimana sapinya memiliki keunggulan bobot badan.
b. Lingkar Dada
Rata-rata lingkar dada Sapi PO dengan gigi seri berganti 2 lebih tinggi
dibandingkan dengan SNI (2015) bahwa lingkar dada Sapi PO jantan dengan gigi seri
berganti 2 kelas I (175 cm). Umur berpengaruh terhadap pertumbuhan badan sapi yang
berpengaruh juga terhadap bobot sapi. Pertumbuhan dari tubuh hewan mempunyai arti
penting dalam suatu proses produksi, karena produksi yang tinggi dapat dicapai dengan
adanya pertumbuhan yang cepat dari hewan tersebut. Dimana kita tahu bahwa lingkar
dada berkorelasi positif dengan bobot badan, diana sapi SIMPO memiliki bobot badan
lebih tinggi dibanding dengan sapi PO.
c. Panjang Badan
Sapi SimPO mempunyai badan yang lebih panjang dibandingkan dengan sapi PO.
Dengan postur tubuh yang lebih panjang memiliki daya tarik sendiri bagi para peternak
karena sapinya terlihat lebih gagah.
d. Tinggi Pundak
Sapi SIMPO juga unggul di tinggi pundak dibandingkan dengan sapi PO, dimana
saat sapi terlihat tinggi besar sapi tersebut digemari oleh peternak.

3.5.2 Kualitatif

9
Tabel 4. Hasil karakteristik kualitatif Sapi PO dan SimPO dengan gigi seri berganti 2
Rata-rata saat gigi seri berganti 2
Peubah Keterangan
PO SIMPO
Ada 90% 52%
Tanduk
Tidak Ada 10% 48%
Ada 100% 52%
Punuk
Tidak Ada - 48%
Ada 100% 100%
Gelambir
Tidak Ada - -
Putih 100% -
Warna Coklat Putih - 62%
Putih Hitam - 24%
a. Tanduk
Ternak sapi pada dasarnya memilikitanduk, namun fungsinya sebagai alat
pertahanan diri. Ternak sapi yang dipelihara secara intensif perlu dilakukan pemotongan
pada tanduk untuk keamanan peternak saat handling sapi dan juga untuk keamanan sapi
sendiri. Sapi PO bertanduk sebesar 90% dan yang tidak bertanduk 10%. Sapi PO memiliki
tanduk yang pendek, kadang-kadang hanya bungkil saja, dan tanduk betina lebih panjang
dari jantan. Sapi Simpo memiliki tanduk walaupun relatif kecil.
b. Punuk
Punuk tidak dijumpai pada bangsa sapi subtropis seperti Simental dan Limosin. Punuk
merupakan kumpulan lemak yang membantu ternak dalam mekanisme penyimpanan
makanan dan air sehingga dapat dimanfaatkan dalam keadaan kelaparan atau kondisi
lingkungan yang kritis. Ditinjau dari segi produktivitas, besar kecilnya punuk
mempengaruhi bobot badan sapi. Sapi PO berpunuk sebesar 100%. Sapi Simpo yang
berpunuk sebesar 52% dan yang tidak berpunuk 48%. Sapi Simpo tidak bergumba atau
berpunuk. Hal ini diduga karena secara genetik mewarisi sifat tetuanya.
c. Gelambir
Bagian bawah leher hingga tali pusar di bawah perut, muncul gelambir yang panjang
dan berlipat-lipat. Gelambir yang panjang bermanfaat dalam mekanisme pengaturan suhu
tubuh ternak di iklim yang panas yaitu dengan semakin luasnya permukaan kulit yang dapat
membantu proses pendinginan, serta semakin banyaknya pori-pori yang membantu
keluarnya keringat. Sapi PO dan Sapi Simpo memiliki gelambir (100%). Sapi PO memiliki
lipatan-lipatan kulit yang terdapat di bawah leher. dan perut. Sapi Simpo tidak memiliki
gelambir. Jika ada dikemungkinkan karena mewarisi genetik Sapi PO.
d. Warna Kulit (Bulu)
Umumnya Sapi PO memiliki warna kulit (bulu) yaitu putih. Sapi Simpo memiliki
warna bulu krem agak kecoklatan dan terdapat warna putih pada dahi. Sapi PO berwarna
putih (100%). Sapi Simpo memiliki warna kulit (bulu) yaitu coklat putih (62%), putih
coklat hitam (14%), dan putih hitam (24%). Sapi – sapi hasil persilangan antara Sapi
Simental dengan Sapi PO mengalami perubahan fenotipik secara kualitatif misalnya warna
bulu, warna moncong, dan warna tracak.

10
3.6 Dampak Crossbreeding Terhadap Kinerja Reproduksi Sapi
Secara teoritis, sapi crossbred hasil IB, terutama yang proporsi Bos taurus-nya lebih
dari 50% mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar. Sebagai konsekuensinya, kebutuhan
pakan untuk maintenance jauh lebih besar dibandingkan dengan sapi lokal yangukurannya
lebih kecil. Sering dijumpai peternak yangtidak mampu menyediakan pakan cukup, sampai
dapat menyebabkan kematian pada ternaknya. Salah satu penyebab kegagalan program IB di
NTT adalah faktor kekurangan pakan, karena ada interaksi antara genotipe dengan
lingkungan (GEI). Lima puluh persen hasil IB adalah anak betina yang harus diperlihara
untuk replacement. Bila sapi betina silangan ini kurang pakan, badan akan menjadi sangat
kurus, dan biasanya sulit berahi, atau berahi tapi tidak nyata (silent heat), atau ada berahi
tetapi tidak terjadi kebuntingan (rebreeding). Seandainya sapi silangan ini mampu bunting,
tetapi kemudian kekurangan pakan, maka kemungkinan besar akan terjadi keguguran
(Diwyanto dan Inounu, 2009).
Dengan demikian, sapi silangan yang kurang mendapat perawatan dengan baik akan
menjadi sapi yang tidak produktif (Tabel 5) yang dicirikan dengan:
a. Angka konsepsi atau conception rate (CR) menurun,
b. Inseminasi per konsepsi (S/C) yang tinggi, dan
c. Hari-hari kosong (days open) yang semakin panjang (Putro, 2009).
Hal ini selanjutkan akan berdampak pada calving interval yang panjang, serta masa
produktif atau longivity yang pendek. Penyebab terjadinya hal-hal tersebut adalah gangguan
reproduksi (Tabel 6), seperti:
a. Persentase anestrus pasca beranak yang tinggi,
b. Persentase gangguan endometris yang meningkat,
c. Frekuensi perkawinan ulang atau repeat breeding yang membesar, serta
d. Meningkatnya kejadian korpus luteum persisten (Putro, 2009).
Fenomena ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa jumlah sapi bakalan hasil
IB tidak mampu memenuhi kebutuhan usaha feedlotter yang saat ini berkembang pesat.
Kegagalan reproduksi atau tidak tercapainya efisiensi reproduksi secara optimal
tersebut di atas merupakan akibat dari faktor lingkungan, hormonal, genetik, dan penyakit.
Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu proses reproduksi sapi crossbred yang pada
gilirannya akan menyebabkan anestrus, infertilitas akibat kegagalan fertilisasi dan kematian
embrio dini, kematian fetus, atau kematian perinatal dan neonatal. Sapi crossbred juga sering
dijumpai mengalami siklus estrus yang tidak normal, seperti siklus estrus pendek, siklus
estrus panjang, split estrus, nymphomania, dan silent estrus (berahi tenang) atau quite
ovulation. Siklus estrus pendek pada sapi crossbred biasanya terjadi tanpa adanya tanda-
tanda berahi yang mudah diamati. Kejadian nymphomania pada sapi crossbred ditandai
dengan estrus yang terlihat terus menerus atau estrus dengan interval yang tidak teratur, serta
sering keluar banyak mukus dari vulva, dan lain sebagainya.

11
Tabel 5. Kinerja reproduksi sapi PO dan crossbred Simental-PO aseptor inseminasi
buatan di D.I. Yogyakarta
F-1 atau
Back-cross 1 Back-cross 2 Back-cross 3 (>
Kinerja crossbreed
PO (75% Bos (87,5% Bos 87,5 % Bos
reproduksi (50% bos
taurus) taurus) taurus)
taurus)
Conception
80 68 60 39 34
rate (CR), %
Service per
conception 1,20 1,90 2,30 3,40 3,50
(S/C)
Days open,
158 189 205 236 219
hari

Tabel 6. Reproduksi klinis sapi PO dan crossbred Simental-PO aseptor inseminasi buatan di
D.I. Yogyakarta

F-1 atau
Back-cross 1 Back-cross 2 Back-cross 3 (>
Reproduksi crossbreed
PO (75% Bos (87,5% Bos 87,5 % Bos
klinis (50% bos
taurus) taurus) taurus)
taurus)
Anestrus post
38 44 58 68 76
partum, %
Endometris, % 8 17 22 31 28
Repeat
28 38 47 62 68
breeding, %
Korpus
Luteum 6 13 15 19 16
Persisten, %
Sumber: (Diwyanto dan Inounu, 2009).

Dari hasil pengamatan di lapang serta kajian oleh beberapa peneliti, sapi silangan
mempunyai keunggulan dari segi performans produksi (berat lahir, berat sapih, berat setahun
(yearling)), dan PBHH, dibandingkan dengan sapi lokal. Akan tetapi di sisi lain sapi silangan
juga mempunyai beberapa kekurangan antara lain:
a. Reproduktivitas sapi silangan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan sapi lokal;
b. Sebagian sapi silangan mudah terkena penyakit mata (kasus di lapangan/DIY) atau
rentan terhadap serangan parasit; serta
c. Berdasarkan analisis finansial usaha pemeliharaan sapi silangan mempunyai nilai NPV
yang kecil bahkan negatif. Hal ini dikarenakan sapi-sapi crossbred biasanya mempunyai
ukuran tubuh besar sehingga juga memerlukan input eksternal yang lebih besar
(Hardjosubroto, 2002).
Dari beberapa laporan (Putro, 2009; Sumadi, 2009) mengisyaratkan bahwa S/C sapi
silangan cenderung semakin meningkat, yang rata-rata di atas 2 (dua). Bahkan untuk
beberapa kasus banyak kejadian nilai S/C dapat mencapai di atas 3 (tiga), sehingga jarak
beranak lebih dari 18 bulan. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab rendahnya
angka konsepsi ini, yaitu: (i) kualitas semen di tingkat peternak menurun, (ii) kondisi
resepien yang tidak baik karena faktor genetik, atau faktor fisiologis karena kurang pakan,

12
(iii) deteksi berahi yang tidak tepat karena kelalaian peternak atau karena silent heat, serta
(iv) keterampilan inseminator yang masih perlu ditingkatkan.

3.6.1 Kinerja Reproduksi Sapi Betina Crossbreeding


Aplikasi IB pada indukan sapi silangan menunjukkan penurunan kinerja reproduksi,
antara lain semakin menurunnya angka konsepsi (conception rate = CR), semakin
meningkatnya jumlah inseminasi per kebuntingan (services per conception = S/C) dan hari-
hari kosong (days open) dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Pengamatan Putro,
(2008) pada kelompok sapi PO dan silangan akseptor IB di Daerah Istimewa Yogyakarta
menunjukkan hal tersebut (Tabel 7).

Tabel 7. Kinerja reproduksi sapi PO dan silangan Simmental-PO akseptor IB


Kinerja Reproduksi PO F1 F2 F3 F4
Angka konsepsi (CR) 80% 68% 60% 39% 34%
Inseminasi per konsepsi (S/C) 1,20 1,90 2,30 3,40 3,50
Days open (Hari-hari kosong) 158 hari 189 hari 205 hari 236 hari 219 hari
Anestrus pasca beranak 38% 44% 58% 68% 76%
Endometritis 8% 17% 22% 31% 28%
Repeat breeding 28% 38% 47% 62% 68%
Korpus luteum persisten 6% 13% 15% 19% 16%
Sumber: Putro, (2008)
Penurunan kinerja reproduksi terlihat dengan semakin menurunnya angka konsepsi,
meningkatnya jumlah inseminasi per konsepsi dan hari-hari kosong pasca beranak dengan
semakin banyaknya angka F, atau dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Pada kasus ini
kebetulan semua sapi betina diinseminasi buatan dengan semen beku bangsa Simmental. Pada
peternakan sapi rakyat, pemeliharaan tradisional dan pakan yang kurang memadai dari segi
kualitas maupun kuantitasnya agaknya merupakn penyebab utama menurunnya kunerja
reproduksi ini. Disamping itu, masalah pakan sangat mempengaruhi skor kondisi tubuh
(SKT) yang umumnya lebih rendah dari optimum bagi proses reproduksi (3,0-3,5, dari skor
1,0-5,0). Rerata SKT sapi silangan yang relatif rendah ini sangat berpengaruh pada kinerja
reproduksi.
Penurunan kinerja reproduksi ini oleh Diwyanto, (2002) diduga sebagai akibat adanya
pengaruh genetic environmental interaction, di samping kemungkinan telah banyak
terjadi inbreeding akibat persilangan yang tidak terencana dan tidak tercatat. Dari
pengamatan pedet-pedet hasil IB, perkawinan silang akan banyak memunculkan sifat-sifat
gen resesif, antara lain berbentuk kematian pedet dalam kandungan, lahir mati (stillbirth),
kasus-kasus teratologi seperti hidrosephalus dan atresia ani (tidak mempunyai lubang anus).

13
BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Crossbreeding merupakan


persilangan antar ternak dari bangsa (breed) yang berbeda. Crossbreeding sapi potong
mempunyai tujuan antara lain: a) membentuk bangsa teranak baru (composite breed), b)
meningkatkan produksi ternak lokal, c) mendapatkan efek heterosis (sifat yang muncul dari
persilangan yang berbeda dari induknya), d) mendapatkan komplementari bangsa (breed
complementary).
Inseminasi buatan memungkinkan program crossbreeding antara sapi betina lokal dan
semen beku pejantan Bos taurus. Keadaan ini menyebabkan jumlah sapi silangan F1, F2, F3
dan F4 semakin banyak dijumpai, serta semakin sulitnya ditemui sapi PO di pulau Jawa. Oleh
sebab itu perlu adanya peraturan dan pengawasan yang ketat dari pemangku kepentingan
sehingga proses kawin silang antarsapi lokal dengan eksotis tidak dimaksudkan untuk
menciptakan bangsa baru sehingga tidak mencemari kemurnian sumber daya genetik ternak
lokal yang telah adaptif dengan kondisi lingkungan Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Maria, W. Hardjosubroto, Sunardi, and S. Bintara. 2002. Livestock Breeding And
Reproduction In Indonesia: Past And Future1. International Seminar on Tropical
Animal Production. Vol 1(1) : 1-7.

Carvalho, M. D. C. D. E., Soeparno, dan N. Ngadiyono. 2010. Pertumbuhan Dan Produksi


Karkas Sapi Peranakan Ongole Dan Simmental Peranakan Ongole Jantan Yang
Dipelihara Secara Feedlot. Buletin Peternakan. Vol. 34(1): 38-46.

Diwyanto, K., 2002. Program Pemuliaan Sapi Potong: Suatu Pemikiran. Makalah Seminar
Nasional Kebijakan Breeding, Puslitbangnak, Deptan RI, Bogor

Diwyanto, K. dan I. Inounu. 2009. Dampak Crossbreeding Dalam Program Inseminasi


Buatan Terhadap Kinerja Reproduksi Dan Budidaya Sapi Potong. Wartazoa. Vol.
19(2): 93 – 102.

Endrawati, Eny, E. Baliarti, dan S. P. S. Budhi. 2010. Performans Induk Sapi Silangan
Simmental – Peranakan Ongole Dan Induk Sapi Peranakan Ongole Dengan Pakan
Hijauan Dan Konsentrat. Buletin Peternakan. Vol 34 (2) : 86 – 93.

Hardjosubroto, W. 2002. Arah dan sasaran penelitian dan pengembangan sapi potong di
Indonesia: Tinjauan dari segi pemuliaan ternak. Disampaikan dalam acara
Workshop Sapi Potong. Malang, 11 – 12 April 2002. Puslitbang Peternakan,
Bogor.

Parera, Hermilinda dan B. Hadisutanto. 2014.Tingkat Fertilisasi Oosit Sapi Silangan


Simmental Peranakan Ongole Secara In Vitro. Jurnal Ilmu Ternak. Vol 1 (6) : 28 –
31.

Putro, P.P. 2009. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi Induk Turunannya: Hasil
Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta, 8 Agustus 2009.

Putro, P. P. 2008. Kinerja reproduksi sapi betina crossing PO-Simmental. Bagian Reproduksi
dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.

Sahala, Josua, R. Widiati, dan E. Baliarti. 2016. Analisis Kelayakan Finansial Usaha
Penggemukan Sapi Simmental Peranakan Ongole Dan Faktor-Faktor Yang
Berpengaruh Terhadap Jumlah Kepemilikan Pada Peternakan Rakyat Di
Kabupaten Karanganyar. Buletin Peternakan Vol. 40 (1) : 75-82.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Suliani, S., A. Pramono, J. Riyanto, dan S. Prastowo. 2017. Hubungan Ukuran-Ukuran


Tubuh Terhadap Bobot Badan Sapi Simmental Peranakan Ongole Jantan Pada
Berbagai Kelompok Umur di Rumah Pemotongan Hewan Sapi Jagalan Surakarta.
Sains Peternakan. Vol. 15 (1): 16-21.

15
Sumadi. 2009. Sebaran Populasi, Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Sapi Potong di
Pulau Jawa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Produksi
Ternak pada Fak. Peternakan UGM, 30 Juni 2009.

Trifena, I. G. S. Budisatria, dan T. Hartatik. 2011. Perubahan Fenotip Sapi Peranakan


Ongole, Simpo, Dan Limpo Pada Keturunan Pertama Dan Keturunan Kedua
(Backcross). Buletin Peternakan. Vol. 35 (1) : 11 – 16.

Trismiati, Eka, Mudawamah dan Sumartono. 2012. Perbedaan Fenotipe Panjang Badan dan
Lingkar Dada Sapi F1 Peranakan Ongole (Po) Dan Sapi Fi Simpo Di Kecamatan
Subah Kabupdaten Sambas. Jurnal Ilmu Peternakan. Vol 3 (2) : 1-6.

16

Anda mungkin juga menyukai